Penyusun : Kelompok V/XI-IA 4 - Allathifah Desnia O. (04) - Ayu Hapsari W. (08) - Effran R. (15) - Rafika Amalia A. (30)
DINAS PENDIDIKAN KOTA PASURUAN UPT SMA NEGERI 1 KOTA PASURUAN Jl.Soekarno-Hatta No.40 Pasuruan 2014
Sindrom Ujian Nasional Selalu Diidap Siswa Menjelang Kelulusan? Di Indonesia, Ujian Nasional atau biasa disebut UN, dilaksanakan setiap tahun dalam bentuk tes tertulis untuk siswa, disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan masing-masing, dan berguna untuk menentukan kelulusan siswa. Beberapa tahun terakhir, ada beberapa perombakan sistem dari pelaksanaan ujian tahunan ini. Dari perolehan nilai ujian inilah, kita mendapatkan gambaran kemampuan siswa di bidang akademik yang cenderung fluktuatif di setiap tahunnya. Putri Ardianingrum dalam artikelnya mengungkapkan bahwa diperlukan biaya kurang lebih 580 milyar untuk pelaksanaan UN. Biaya itu digunakan antara lain untuk mencetak soal, biaya pengawasan, biaya pengoreksian, biaya pembuatan soal dan berbagai hal lainnya. Dapat dibayangkan betapa pentingnya Ujian Nasional ini hingga menghabiskan sejumlah milyaran rupiah. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga guru dan siswa harus siap akan ujian kelulusan ini, agar biaya tadi tak terbuang percuma. Pengeluaran besar negara ini juga berpengaruh pada waktu ujian nasional ini diadakan. Negara tidak akan mengambil ujian kelulusan yang sistemnya rumit, apalagi dilakukan dalam rentang waktu lama. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, siswa dalam tingkat sekolah tertentu dapat teruji kelulusannya dari hasil belajarnya beberapa tahun. Memang terlihat konyol. Bagaimana bisa usaha belajar siswa hanya dinilai dalam selang waktu beberapa hari? Memang itulah usaha negara untuk mempermudah kita, para siswa. Tapi, tidak semua orang sepaham dengan pemikiran bahwa UN mempermudah siswa. Bukan sesuatu yang jarang, melihat siswa lebih takut akan ujian nasional daripada tidak mengerti pelajaran di sekolah. Padahal jika ditelaah kembali, ujian nasional adalah ujian untuk menguji pengetahuan kita setelah mengenyam pendidikan di sekolah. Belajar lalu menghadapi tes. Itulah sistemnya. Tapi tidak saat ini. Tak peduli apa yang siswa dapat, apa yang guru terangkan, hal terpenting bagi mereka adalah lulus dan mendapat nilai UN baik. Itulah tujuan mereka bersekolah saat ini. Sindrom UN. Memang tidak semengerikan sindrom lainnya yang mampu membuat orang jadi pingsan, demam, kejang atau hal semacamnya. Justru akan terlihat menyeramkan bagi seseorang yang mengidapnya, yaitu siswa. Mereka akan mengalami sebuah ketakutan yang luar biasa, stress, bahkan depresi berkepanjangan. Keterlibatan emosi siswa dalam menghadapi ujian nasional akibat tekanan dari lingkungan sekitar. Itulah yang mengganggu mereka. Aku harus lulus, Nilai UN harus baik. Pemicu terbesar seseorang untuk menghalalkan segala cara, adalah tekanan untuk tidak mengecewakan pihak yang memercayainya. Parahnya lagi, beberapa tahun terakhir banyak siswa dengan tekanan-tekanan, entah dari orangtua, guru, ataupun teman sepergaulan, intimidasi oleh ketidakpercayaan pada diri sendiri, menimbulkan penyimpangan dalam meloloskan diri dari sistem UN yang sudah sejak lama berlaku di negara kita. Sehingga pada saat ini, citra UN yang muncul ialah penuh skandal dan komplain dari berbagai pihak. Membawa banyak handphone pada hari UN, mencari kunci jawaban UNseperti yang kami kutip dari abilmababil.blogspot.com, hal-hal tersebut adalah ragam aksi yang dilakukan siswa menjelang UN. Tidak sedikit siswa yang mengalami kegilaan setelah menjalankan UN atau sampai melakukan aksi bunuh diri. Yang memalukan, bukan lantaran mereka merasa bersalah karena tidak mengerjakan UN dengan baik, namun karena menyesal telah menyontek kunci jawaban yang salah. Jika ini berlangsung terus-menerus, tak terelakkan lagi jika sistem pendidikan negara ini akan mengalami disfungsi permanen. Bukannya berfungsi mendidik siswa berdasarkan sistem, namun menekan siswa dengan sistem yang ada. Menyalahkan banyak pihak dalam hal ini tak akan bisa mengubah apapun. Harus ada solusi yang efektif, melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Jika tujuan awal UN adalah menyaring dan menguji kelulusan siswa berdasarkan sistem yang tertata, maka semua pihak harus menghormati dan patuh terhadap peraturan. Apa hasil yang kita dapat dengan menyalahkan pemerintah dan memaksa eliminasi ujian nasional dari program pendidikan Indonesia? Apa bedanya ujian nasional dihapuskan dengan tidak? Apa siswa juga akan berubah untuk membenahi perilakunya dan ada jaminan mereka tidak akan berbuat curang? Sesuatu yang tipis sekali kemungkinannya untuk benar-benar terjadi. Yang bisa dilakukan saat ini adalah membenahi, bukannya menghapuskan. Sebagai generasi muda bangsa yang sepatutnya berbudi pekerti luhur, tidak seharusnya kita meracuni sistem pendidikan kita dengan kecerobohan individu. Dalam artian, kita tidak seharusnya mengotori tujuan UN yang sebenarnya dan seharusnya melaksanakan ujian tersebut dengan patuh dan jujur. Selain menilik dari kekurangan siswa, kita perlu membenahi sistem kepanitiaan ujian nasional itu sendiri. Lembaga yang mengurus pelaksanaan ujian nasional harusnya diseleksi secara ketat dan pengawasan yang harus ditingkatkan, entah itu oleh badan intel negara maupun pihak kepolisian, untuk menghindari segala macam kecurangan dari pihak intern. Kemudian dari pihak distributor naskah soal. Mereka juga harus bertanggungjawab dan lebih displin, serta lebih ketat dalam pendistribusian naskah soal ke tiap daerah, supaya tidak ada kejadian kekurangan soal ataupun soal terlambat sampai ke tangan siswa, yang seringkali terjadi di tiap penyelanggaraan UN, terutama pada daerah yang sulit jangkauannya. Jauh sebelum pelaksanaan UN, naskah soal juga sudah harus matang, benar-benar sudah diseleksi, tidak ada cacat ataupun rusak, mengingat naskah soal juga termasuk dalam dokumen negara yang sangat rahasia. Untuk itu diperlukan peningkatan intelektual dalam seleksi staf pengurus naskah soal. Kesimpulannya, baik dari pihak penyelenggara maupun peserta, harus mampu mengintropeksi diri dahulu sebelum saling menyalahkan dan belajar untuk membenahi tiap kesalahan supaya tidak terulang kesalahan yang sama dari tahun sebelumnya.