You are on page 1of 18

7

MAKALAH
SISTEM PENETAPAN KURS
D
I
S
U
S
U
N
OLEH

AMINAH
12040047
MATA KULIAH : KEUANGAN INTERNASIONAL






JURUSAN EKONOMI MANAJEMEN
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
LHOKSEUMAWE
2013


SISTEM PENETAPAN KURS

A. Nilai Tukar
Pengertian nilai tukar menurut Mudrajat Kuncoro, (2005:27-31), adalah
merupakan jumlah mata uang dalam negeri yang harus dibayarkan untuk memperoleh
satu unit mata uang asing. Menurut Krugman (2005:73), adalah harga mata uang
suatu negara terhadap negara lain atau mata uang suatu negara dinyatakan dalam
mata uang negara lain.
Nilai tukar atau dikenal pula sebagai kurs dalam keuangan adalah sebuah
perjanjian yang dikenal sebagai nilai tukar mata uang terhadap pembayaran saat kini
atau di kemudian hari, antara dua mata uang masing-masing negara atau wilayah.
Nilai tukar yang berdasarkan pada kekuatan pasar akan selalu berubah
disetiap kali nilai-nilai salah satu dari dua komponen mata uang berubah. Sebuah
mata uang akan cenderung menjadi lebih berharga bila permintaan menjadi lebih
besar dari pasokan yang tersedia. Nilai tukar akan menjadi berkurang bila permintaan
kurang dari suplai yang tersedia.
Perubahan nilai tukar yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan atau
penurunan nilai mata uang domestic terhadap mata uang asing yang diistilahkan
sebagai berikut:
1. Depresiasi adalah peningkatan harga mata uang asing di dalam negeri. Atau
menurunnya nilai mata uang domestik dikaitkan dengan mata uang asing,
yang disebabkan karena mekanisme pasar. Istilah lain yang menunjukkan
penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing adalah
Devaluasi. Devaluasi adalah peningkatan harga mata uang asing di dalam
negeri. Atau menurunnya nilai mata uang domestik dikaitkan dengan mata
uang asing, yang dilakukan dengan sengaja oleh pemerintah melalui kebijakan
moneter.


2. Apresiasi adalah penurunan harga mata uang asing di dalam negeri. Atau
meningkatnya nilai mata uang domestik dikaitkan dengan mata uang asing.
Istilah lain yang menunjukkan peningkatan nilai mata uang domestik terhadap
mata uang asing adalah Revaluasi. Revaluasi adalah penurunan harga mata
uang asing di dalam negeri. Atau meningkatnya nilai mata uang domestik
dikaitkan dengan mata uang asing yang dilakukan dengan sengaja oleh
pemerintah melalui kebijakan moneter.

B. Sistem Nilai Tukar
Sejak periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di
Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, yaitu Sistem Nilai Tukar
Tetap, Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas, dan terakhir Sistem Nilai Tukar
Mengambang Terkendali.
1. Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ) dimana lembaga otoritas
moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun
permintaan terhadap valuta asing yang terjadi. Bila terjadi kekurangan atau kelebihan
penawaran atau permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam
hal ini akan mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar ke arah yang
telah ditetapkan. Tindakan yang diambil oleh otoritas moneter bisa berupa pembelian
ataupun penjualan valuta asing, bila tindakan ini tidak mampu mengatasinya, maka
akan dilakukan penjatahan valuta asing (Hendra Halwani, 2005).
Bagaimana peran pemerintah dalam sistem niali tukar tetap dapat dijelaskan
dalam tiga kondisi sebagai berikut:
(a) Jika nilai tukar mata uang suatu negara terhadap dollar yang ditetapkan sama
dengan nilai tukar keseimbangan di pasar valas, maka Bank Sentral tidak
perlu melakukan tindakan apa-apa untuk mempengaruhi nilai tukar. Hal ini
ditunjukkan oleh Gambar 1 Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai tukar


tetap yang telah disepakati yaitu sebesar OA sama dengan nilai tukar
keseimbangan di pasar valas.
D$
S$
Rp/$
Q$
A
E
O
N
i
l
a
i

T
u
k
a
r

Gambar 1
Nilai Tukar Tetap sama dengan Tingkat Keseimbangan di Pasar Valas

(b) Tetapi supply dan demand valas tidak pernah tetap selamanya. Karena banyak
perubahan-perubahan seperti perubahan tingkat harga, tingkat pendapatan,
tingkat suku bunga, ekspektasi, dan sebagainya, sehingga penawaran dan
permintaan valas akan berubah pula. Gambar 2. menunjukkan kondisi dimana
pada tingkat nilai tukar tetap yang telah disepakati sebesar OA lebih tinggi
dari nilai tukar keseimbangannya di pasar valas. Pada tingkat nilai tukar OA,
supply valas lebih besar dari permintaannya, sehingga otoritas moneter harus
mengambil tindakan agar supaya nilai tukar tetap berada pada tingkat OA
(sesuai dengan kesepakatan bersama), yaitu dengan cara membeli kelebihan
valas di pasar sebesar BC dan menyimpannya dalam cadangan devisa. Pada
kondisi ini, dikatakan dollar sebagai mata uang yang mengalami overvalued,
artinya mata uang yang dipertahankan nilainya di atas tingkat keseimbangan
pasarnya.


D$
S$
Rp/$
Q$
A
E
O
N
i
l
a
i

t
u
k
a
r
B
C

Gambar 2
Nilai Tukar Tetap Lebih Tinggi Dari Nilai Tukar Keseimbangan di Pasar Valas

(c) Sebaliknya, dapat saja terjadi dimana nilai tukar tetap (OA) berada di bawah
nilai tukar keseimbangan di pasar valas, seperti diperlihatkan oleh Gambar 3
Pada nilai tukar sebesar OA permintaan valas lebih besar dibandingkan
penawarannya. Oleh karena itu otoritas moneter perlu melakukan intervensi
dengan cara menjual cadangan devisanya ke pasar sebesar DE, sehingga nilai
tukar dapat dipertahankan sebesar OA. Pada kondisi ini dikatakan bahwa mata
uang dollar mengalami undervalued, artinya mata uang yang nilai tukarnya
dipertahankan berada di bawah nilai tukar keseimbangannya.


D$
S$
Rp/$
Q$
A
E
O
N
i
l
a
i

T
u
k
a
r
D
E

Gambar 3
Nilai Tukar Tetap Lebih Rendah Dari Nilai Tukar Keseimbangan di Pasar Valas

2. Sistem Nilai Tukar Mengambang
Nilai tukar mengambang, dimana pemerintah tidak mencampuri tingkat nilai
tukar sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta asing di
pasar valas. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk mencapai penyesuaian yang
lebih berkesinambungan pada posisi keseimbangan eksternal (external equilibrium
position). Tetapi kemudian timbul indikasi bahwa beberapa persoalan akibat dari kurs
yang fluktuatif akan timbul, terutama karena karakteristik ekonomi dan struktur
kelembagaan pada negara berkembang masih sederhana.Dalam sistem nilai tukar
mengambang bebas ini diperlukan sistem perekonomian yang sudah mapan (Eric
Yuliana, 2000).
Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Floating Exchange Rate System)
adalah sistem nilai tukar (kurs) mengambang yang ditetapkan melalui mekanisme
permintaan dan penawaran pada pasar valuta asing (bursa valas). Mulai berlaku 19
Maret 1973, yang ditandai dengan enam negara Eropa memberlakukan mata uang
mereka dengan kurs mengambang terhadap USD. Sistem ini dibagi menjadi:


1. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rate system), yaitu
sistem penentuan kurs valuta asing di pasar valas yang terjadi tanpa campur
tangan pemerintah.
2. Sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate system),
yaitu penentuan kurs di bursa valas terjadi dengan campur tangan pemerintah
yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valas melalui berbagai kebijakan
fiskal, moneter, dan perdagangan luar negeri.
Bagaimana sistem nilai tukar mengambang bebas dan mengambang terkendali
ini bekerja dijelaskan sebagai berikut:
Pada Gambar 4. pada kondisi awal permintaan valas (USD) diperlihatkan oleh
kurva DVA1 dan penawaran valas diperlihatkan oleh kurva SVA, sehingga kurs
keseimbangan yang terjadi antara Rupiah terhadap dollar adalah sebesar Rp 3000/$
pada titik E1.






Gambar 4.
Penentuan Nilai Tukar Pada Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas

DVA2
DVA1
SVA
Rp/$
$
100
150
Rp 3000/$
Rp 4500/$
E1
E2
0



Misalnya permintaan valas (USD) meningkat, sehingga kurva DVA1 bergeser
menjadi DVA2, sementara penawaran Valas-nya tetap, maka keseimbangan bergeser
ke titik E2, dan kurs yang terjadi adalah Rp 4500/$. Sesuai dengan hukum
permintaan kalau permintaan meningkat sedangkan penawarannya tetap, maka
harganya akan naik. Demikian juga dengan valas, pada saat permintaan USD naik
sedangkan penawarannya tetap, maka harga USD menjadi naik. Atau diperlukan
Rupiah lebih banyak untuk membeli satu dollar, atau dikatakan Rupiah mengalami
depresiasi. Sebaliknya jika terjadi penurunan USD dengan penawaran yang tetap,
maka harga USD akan turun. Atau diperlukan Rupiah lebih sedikit untuk membeli
satu dollar, atau dikatakan Rupiah mengalami apresiasi.
Pada Gambar 5. misalnya pada posisi awal permintaan valas (USD) diwakili
oleh kurva DVA1 dan penawaran valas (USD) diwakili oleh kurva SVA1, sehingga
kurs yang terjadi adalah Rp 3000/$ pada titik E1. Kemudian permintaan valas
mengalami peningkatan menjadi DVA2, sedangkan penawarannya tetap pada SVA1,
sehingga dollar mengalami apresiasi (nilainya naik) terhadap rupiah menjadi Rp
6000/$ atau rupiah mengalami depresiasi (nilainya turun) terhadap dollar, pada titik
E2. Dalam sistem mengambang terkendali, penentuan nilai tukar pada bursa valas
dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Jadi kalau pemerintah ingin mempertahankan
nilai kurs pada tingkat Rp 3000/$, maka untuk mengembalikan nilai kurs pada tingkat
tersebut, pemerintah dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kurs
tersebut melalui kebijakan moneter dan fiskal.














Gambar 5.
Penentuan Nilai Tukar Pada Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali

Untuk kasus seperti digambarkan dalam Gambar 5. tersebut, maka untuk
mengembalikan kurs pada tingkat Rp 3000/$, pemerintah dapat melakukan kebijakan
untuk menambah penawaran valas, dengan cara menjual cadangan valasnya ke bursa
valas. Sehingga jumlah valas yang tersedia di bursa valas akan bertambah, yang
diperlihatkan oleh pergeseran kurva SVA1 menjadi SVA2, dan keseimbangan
sekarang berada pada titik E3, kurs kembali pada tingkat Rp 3000/$ dengan jumlah $
yang lebih besar.
Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada
periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami
tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar.
Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil yang melanda Thailand
dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia. Untuk
mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot
exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs berjangka) dan
untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk selanjutnya
tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat.
DVA2
DVA1
SVA1
Rp/$
$
100
150
Rp 3000/$
Rp 6000/$
E1
E2
E3
SVA2
300
0



Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus
berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk
menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti
mekanisme pasar.
C. Inflasi dan Nilai Tukar
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga barang
dan jasa secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang
saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan
kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Kenaikan harga satu atau dua barang tiddak bisa disebut dengan inflasi,
kecuali harga barang tersebut bisa mengakibatkan barang lain menjadi ikut naik.
Misalnya kenaikan harga telur, sefangkan harga barang yang lain konstan tidak bisa
disebut dengan inflasi. Akan tetapi harga minyak dan listrik akan mengakibatkan
harga-harga barang lain menjadi naik. Kenaikan harga minyak dan listrik ini dapat
memicu terjadinya inflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks
Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli
2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei
Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut
secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa
jenis barang/jasa di setiap kota.







Dalam menghitung inflasi secara umum digunakan rumus:

Dimana :
= Inflasi
IHK
t
= Indeks Harga Konsumen tahun-t
IHK
t-1
= Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari
suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang
besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar
pada pasar pertama atas suatu komoditas.
2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level
harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu
ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar
harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

Menurut Boediono (1996), inflasi dapat di bedakan menjadi 2 jenis :
1. Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya
peningkatan agregat dari masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil
produksi di pasar barang.
2. Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya kurva
penawaran agregat kea rah kiri atas (turun). Faktor-faktor yang menyebabkan
bergesernya kurva penawaran agregat adalah meningkatnya harga-harga
faktor produksi (baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri) di pasar
faktor produksi, sehingga menaikkan harga komoditi di pasar komoditi.



Dan penggolongan inflasi menurut asalnya (Boediono, 1996), dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh
kesalahan pengolahan perekonomian baik di sektor riil maupun di sektor moneter
dalam negeri okeh para pelaku ekonomi maupun masyarakat dan yang kedua
imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga-harga komoditi
di luar negeri (di negara asing yang mempunyai hubungan dengan negara yang
bersangkutan).
Bagaimana hubungan antara inflasi dengan nilai tukar dapat dijelaskan dengan
Gambar 2.6. berikut ini. Diasumsikan bahwa kondisi awal nilai tukar rupiah terhadap
dollar USA adalah pada tingkat Rp 3000/$, dengan kurva penawaran dan permintaan
dollar (SVA1 dan DVA1) berpotongan pada titik A. Lalu misalnya tingkat harga di
Indonesia meningkat tetapi tingkat harga di USA tetap. Peningkatan harga di
Indonesia menyebabkan pada nilai tukar berapapun, barang dan jasa USA menjadi
lebih menarik baik bagi penduduk Indonesia maupun bagi orang USA sendiri. Karena
barang dan jasa Indonesia lebih mahal, maka permintaan barang dan jasa dari luar
negeri (USA) menjadi berkurang. Atau dengan kata lain, ekspor Indonesia ke USA
berkurang. Kondisi ini akan menyebabkan penawaran (supply) dollar menurun, yang
diperlihatkan oleh pergeseran kurva supply valas SVA1 bergeser ke kanan atas
menjadi SVA2, dengan jumlah permintaan dollar tetap sebesar DVA1, maka nilai
tukar akan mengalami peningkatan (Rupiah mengalami depresiasi), keseimbangan
nilai tukar di pasar valas bergeser dari titik A ke titik B.



DVA2
DVA1
SVA2
Rp/$
$
100
150
Rp 3000/$
Rp 6000/$
A
C
SVA1
300
B
0

Gambar 6.
Perubahan Nilai Tukar yang Disebabkan Karena Perubahan Harga Relatif

Disamping itu, peningkatan harga di Indonesia sementara harga barang di luar
negeri tetap, akan menyebabkan harga barang impor menjadi lebih murah
dibandingkan barang domestik. Hal ini akan menyebabkan barang impor menjadi
lebih menarik, sehingga impor akan meningkat. Peningkatan impor akan
mempengaruhi permintaan valas (dollar), yang diperlihatkan oleh pergeseran kurva
demand valas ke kanan atas dari DVA1 menjadi DVA2. Keseimbangan nilai tukar
bergeser dari titik B ke titik C, dan nilai tukar meningkat lagi atau Rupiah menjadi
semakin terdepresiasi atau semakin melemah.
Dengan demikian peningkatan harga barang-barang domestik (relatif terhadap
harga barang-barang luar negeri) menyebabkan mata uang domestik mengalami
depresiasi, sebaliknya penurunan harga barang-barang domestik (relatif terhadap
harga barang-barang luar negeri) menyebabkan mata uang domestik mengalami
apresiasi.




D. Ekspor-Impor dan Nilai Tukar
Bagi perkembangan perekonomian Indonesia, kegiatan ekspor dan impor
merupakan salah satu kegiatan ekonomi untuk memperlancar pembangunan nasional,
yaitu dengan meningkatkan ekspor dan menekan impor. Meskipun demikian, karena
Indonesia masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, maka
impor masih tetap dilakukan. Pengertian impor itu sendiri adalah proses memasukkan
barang dari luar negeri ke dalam negeri.
Nilai ekspor adalah semua pendapatan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar Negeri, nilai ekspor mencerminkan permintaan barang dan jasa yang
dihasilkan perekonomian Indonesia oleh masyarakat luar negeri. Kenaikan nilai
ekspor merupakan indikasi kenaikan permintaan oleh masyarakat luar negeri terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan perekonomian.
Pada dasarnya ekspor domestik yang dilakukan oleh suatu negara akan
berdampak positif terhadap peningkatan devisa yang akan diterima oleh negera
pengekspor tersebut. Peningkatan cadangan devisa tersebut akan jelas pengaruhnya
terhadap peningkatan supply valas. Peningkatan supply dengan permintaan valas
yang tetap akan berdampak kepada penurunan harga valas itu sendiri dan nilai tukar
mata uang domestik mengalami penguatan atau apresiasi. Sebaliknya jika impor
mengalami kenaikan justru akan menyebabkan meningkatnya permintaan valas
sebagai akibat dari kewajiban pembayaran kepada pihak asing. Meningkatnya
permintaan valas dengan supply valas yang tetap akan menyebbakan harga valas
meningkat atau dengan kata lain mata uang domestik melemah atau mengalami
depresiasi. Jadi secara teoritis ekspor mempunyai hubungan negatif dengan nilai
tukar, sedangkan impor mempunyai hubungan positif dengan nilai tukar.

F. Suku Bunga SBI dan Nilai Tukar
Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah uang
beredar (sasaran kuantitas) dan atau suku bunga (sasaran harga), seperti disebutkan
dalam UU RI No. 23 Th. 1999 tentang Bank Indonesia, pasal 1 ayat 10. Dalam


transmisi kebijakan moneter melalui tingkat suku bunga, Bank Indonesia dapat secara
langsung mempengaruhi tingkat suku bunga jangka pendek, yaitu diantaranya adalah
melalui pengaturan tingkat suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Penetapan
suku bunga ini selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga
kredit.
Bagaimana perubahan suku bunga di dalam negeri (atau suku bunga SBI) dan
pengaruhnya terhadap nilai tukar mata uang domestic terhadap mata uang asing dapat
dijelaskan dengan menggunakan teori Klasik yang mengatakan bahwa tabungan
merupakan fungsi dari tingkat suku bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin
tingga pula keinginan masyarakat untuk menabung.
Sejalan dengan teori tersebut, teori permintaan asset keuangan menyebutkan
bahwa faktor-faktor yang paling menentukan permintaan asset keuangan di dalam
negeri dan asset keuangan luar negeri adalah penghasilan yang diharapkan (expected
return) akan diperoleh dari asset keuangan domestik relatif terhadap asset keuangan
luar negeri. Apabila penghasilan dari asset keuangan domestic lebih besar dari
penghasilan dari asset keuangan luar negeri maka para investor akan memilih
menyimpan dananya dalam mata uang domestik daripada dalam mata uang asing.
Atau dapat dijelaskan dengan Gambar 7 berikut. Jika suku bunga domestik dari i
d
1

menjadi i
d
2
maka expected return deposito mata uang domestik naik dari ER
d1
menjadi ER
d2
dan mengakibatkan nilai tukar bergerak dari E1 ke E2 atau mata uang
domestik mengalami apresiasi.


US$/Rp
Tingkat Suku Bunga
Domestik
E1
E2
ER
d1
ER
f1
0
ER
d2
E3
ER
d3
d
i
2
d
i
3
d
i
1


Gambar 7.
Perubahan Nilai Tukar karena Perubahan Suku Bunga Domestik

E. Jumlah Uang Beredar dan Nilai Tukar
Secara mudah dan sederhana dapat dikatakan apa yang dimaksud dengan
jumlah uang yang beredar adalah total persediaan uang dalam suatu perekonomian
pada saat tertentu (biasanya satu tahun anggaran). Jadi berdasarkan pengertian di atas
kita ketahui bahwa uang beredar itu bukanlah uang yang hanya beredar dan berada di
tangan masyarakat, akan tetapi dalam pengertian keseluruhan jumlah uang yang
dikeluarkan secara resmi baik oleh bank sentral berupa uang kartal, maupun uang
giral dan uang kuasi (tabungan, valas dan sebagainya).
Menurut Iskandar Putong, jumlah uang beredar dalam arti sempit dan sering
dinotasikan sebagai M1 adalah berupa uang kartal + giral, sedangkan uang yang
beredar dalam arti luas adalah M1 ditambahkan dengan uang kuasi (terkadang disebut
juga near money) yaitu deposito berjangka (pendek), Pinjaman semalam antar bank,
tabungan dan rekening valas pihak swasta domestic. Dalam arti yang lebih luas lagi
disebut M3, yaitu M2 ditambah sertifikat deposito. Total uang beredar (penawaran
uang) adalah sebesar : M1 + M2 + M3 Mn = M
t



Menurut Sadono Sukirno uang beredar adalah semua jenis uang yang berada
di perekonomian, yaitu jumlah dari mata uang yang beredar ditambah dengan uang
giral dalam bank-bank umum. (1998:207).
Sadono membedakan uang beredar menjadi dua pengertian (1998:207) :
1. Dalam pengertian yang sempit uang beredar adalah mata uang dalam
peredaran ditambah uang giral yang dimiliki oleh perseorangan-perseorangan,
perusahaan-perusahaan, dan badan-badan pemerintah.
2. Dalam pengertian luas uang beredar meliputi: uang dalam peredaran, uang
giral dan uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan,
dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik.
Uang beredar dalam pengertian luas ini dinamakan dengan likuiditas
perekonomian M2, dan dalam pengertian sempit dari uang beredar selalu disingkat
M1.
Menurut Samuelson dan Nordhous uang beredar dibedakan menjadi dua yakni
(1992:467):
1. M1 (Narrow money / transaction money) adalah alat pembayaran yang sah
(uang koin maupun uang kertas) + Rekening koran.
2. M2 (Broad money / near money) adalah M1 + Tabungan di bank.
Pengaruh permintaan dan penawaran dari uang dapat menentukan suku bunga.
Mengingat suku bunga merupakan harga yang dibayarkan untuk uang yang
digunakan, maka suku bunga merupakan penentu dalam pasar uang. Dimana pasar
uang tersebut dipengaruhi oleh keinginan masyarakat untuk menyimpan uang dan
kebijakan moneter dari pemerintah. Bila kebijakan moneter menetapkan peredaran
uang itu berkurang maka suku bunga pasar meningkat, begitu pula jika permintaan
terhadap uang meningkat maka suku bunga bisa meningkat pula (Samuelson dan
Nordhous, 1998:505).
Penawaran (supply) uang di setiap negara diasumsikan ditentukan secara
independen oleh otoritas moneter negara yang bersangkutan. Permintaan (demand)
uang, sebaliknya, ditentukan oleh tingkat pendapatan riil, tingkat harga, dan tingkat


suku bunga. Semakin tinggi pendapatan riil dan tingkat harga, maka semakin besar
permintaan akan uang, karena semakin banyak transaksi yang dilakukan, sehingga
uang memerlukan uang lebih banyak. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin
besar keinginan untuk menabung, sehingga semakin sedikit permintaan akan uang.
Dalam jangka panjang, penambahan supply uang ini akan menyebabkan harga
barang-barang di dalam negeri naik dan mata uang domestik terdepresiasi. Hal ini
sejalan dengan rumus Irving Fisher, yaitu :
MV = PQ
dimana M menunjukkan jumlah uang, V adalah tingkat perputaran uang (velocity),
yakni berapa kali suatu mata uang pindah tangan (misalnya untuk transaksi) dari satu
orang ke orang lain dalam suatu periode tertentu, P adalah harga barang, dan Q
adalah volume barang yang menjadi objek dalam transaksi. Jika diasumsikan bahwa
V relatif tetap sebab pola pembayaran dan kebiasaan bertransaksi diperkirakan relatif
konstan. Q juga tetap Sehingga hubungan antara M dan P dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Q
MV
P
V
PQ
M atau
Jika jumlah uang ditambah sehingga menjadi dua kali lipat, tingkat harga akan
naik dua kali lipat juga, begitu juga jika jumlah uang menjadi setengahnya, tingkat
harga akan menjadi setengahnya. Perubahan tingkat harga yang disebabkan karena
perubahan jumlah uang beredar ini selanjutnya akan menyebabkan perubahan nilai
tukar. Jika jumlah beredar bertambah maka harga-harga akan naik dan nilai tukar
mata uang domestik akan terdepresiasi, sebaliknya penurunan jumlah uang beredar
akan menurunkan harga-harga dan mata uang domestik akan terapresiasi.

You might also like