You are on page 1of 19

TUTORI L

LEARNING OBJECTIVE
KECELAKAAN LALU LINTAS













DISUSUN OLEH :

Nama Mahasiswa : SLAMET WAHID KASTURY
Stambuk : G 501 10 005
Kelompok : 3


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2014




Learning objective Scenario 2 blok 21
kecelakaan lalu lntas
1. Sistem rujukan dokter umum untuk kasus emergency
Jawaban
Dalam hal rujukan, jika kemampuan dari dokter di rumah sakit tersebut tidak
memadai atau keadaan dimana sarana dari rumah sakit tidak banyak membantu maka
sebaiknya dirujuk ke rumah sakit dengan Unit penagan intensif (intensif care unit),
unit ini merupakan rantai akhir dari penanggulangan penderita dalam sistem critical
cara medicine.
Referensi
Purwadiato, agus & Budi Sampurna, 2000, kedaruratan medis edisi revisi, Binarupa Aksara,
Jakrata
2. Mekanisme distress respirasi
Jawaban
Distress respirasi disebabkan oleh desakan dari penumpukan udara pada rongga
pleura sehingga paru-paru yang terdesak akan menjadi kolaps. Penderita dengan
dengan trauma dada, fokus utama yang kita perhatikan pada breathing, gejala harus
dapat ditangani pada awal penilaian.
Defek pada dindng dada yang merobek pleura parietal, sehingga udara dapat masuk
kedalam rongga pleura. Terjadinya hubungan antara udara pada rongga pleura dan
udara dilingkungan luar, sehingga menyebabkan samanya tekanan pada rongga pleura
dengan udara di diatmosper. Jika ini didiamkan akan sangat membahayakan pada
penderita. Dikatakan pada beberapa literatur jika sebuah defek atau perlukaan pada
dinding dada lebih besar 2/3 dari diameter trakea ini akan menyebabkan udara akan
masuk melalui perlukaan ini, disebabkan tekana yang lebih kecil dari trakea. Akibat
masuknya udara lingkungan luar kedalam rongga pleura ini, berlangsung lama kolaps
paru tak terhindarkan, dan berlanjut gangguan ventilasi dan perfusi oksigen
kejaringan berkurang sehingga menyebabkan sianosis sampai distress respirasi.
Referensi
Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.
Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Tanda & gejala cedera maxillo facial beserta derajatnya
Derajat cedera Maxillofacial
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya
disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau
dan golok pada perkelahian.

a. Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka tusuk
(vulnus punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
a. Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer
tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan
yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan
sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar
praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa
Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987)

4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka Bersih.
Luka Sayat Elektif.
Steril Potensial Terinfeksi.
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur
elementarius, dan traktur genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
Luka sayat elektif.
Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.
Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius,
dan traktur genitourinarius.
Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius dan kandung empedu.
Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Perforasi viscera,abses dan trauma lama.

b. Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya Trauma pada jarinagan keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan :
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.
a. Berdiri Sendiri : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibulla, gigi dan alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibula

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.
a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita).
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III.
c. Fraktur segmental mandibula.








Le Fort I (Transverse Maxillary = Guirin Fracture): Garis fraktur melalui
diatas barisan akar gigi, palatum.
Le Fort II ( Pyramidal Fracture): Garis fraktur melalui os nasal, tulang-
tulang lakrimal,
rima orbita inferior, dasar orbita dan padazygomaticomaxillary (dibatasi oleh
tepi atas orbita dan tepi bawah baris gigiatas yaitu bagian maksila).
Le Fort III (Craniofacial disjunction / Floating maxillae): Garis-garis fraktur
melalui zygomaticofrontal, maxillofrontal dan nasofrontal.
Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort I, Le Fort
II, Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury and its surgical
implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)
Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama pada fraktur
mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang
yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah
nervus alveolaris.
9. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.
Referensi
Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.
Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sumatra Barat. Diakses dari: http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html


5. Komplikasi dari cedera maxillofacial
Jawaban
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:


a. Aspirasi.
b. Gangguan Airway.
c. Scars.
d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.
e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah,
bau, rasa.
f. Kronis sinusitis.
g. Infeksi.
h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.
i. Fraktur non union atau mal union.
j. Mal oklusi.
k. Perdarahan.
Referensi
Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries.
Attending Physician, Eastern Maine Medical Center.E medicine Journal

6. Penanganan cedera maxillofacial
Jawaban
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu
meliputi :
1. Periksa Kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada Hematoma :
a. Fraktur Zygomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat
sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada
hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
Apakah sejajar atau bergeser ?
Apakah pasien bisa melihat ?
Apakah dijumpai diplopia ?
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,
deformitas, iregularitas dan krepitasi.
Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada
fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada
regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara
sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi
atas).
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan
juga disekitarnya.



2. Palatum Mole tertarik ke arah lidah
Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum
durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan
depan memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini
diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar
jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.
Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan
forcep khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan
goyangkan
3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang
Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya, dan secara
lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring,
saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.
Catatan : jika pernapasan membahayakan dan perlu dirujuk maka sebaiknya
dilakukan tracheostomi, tetapi jika perlu dilakukan pembebasan airway segera
dilakukan krikotirodotomi.

4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepala pada salah
satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut diantara
pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan
membaik dengan cepat ketika ia melakukannya.
Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah.
Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis
ke satu sisi.
Indikasi dilakukan Tracheostomi Jika :
1. Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur
pada sepertiga wajah pasien.
2. Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat.
3. Edema glotis.
4. Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.
Jika terjadi Perdarahan :
Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit
gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep
perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan
perdarahan, Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.
Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :
1. Memperbaiki jalan napas.
2. Mengontrol perdarahan.
3. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.
4. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.

7. Pemeriksaan Intra Oral.
Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah
adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :
Mandibular floating.
Maxillar floating.
Zygomaticum floating.
Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari
struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti
adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.

Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut
tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan
resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk
mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif
dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma maksilofasial. Tindakan
pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital
sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini
dengan baik dapat berakibat fatal.


Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam
2 kelompok :
Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul
atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat
darurat.
Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat,
misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari
ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :
1. Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area
diikuti dengan teknik ATLS.
2. Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika
penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : Dengan jari,O-slik suture atau dengan handuk
3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi
4. Berikan oksigenasi yang adekuat .
5. Monitor tanda vital setiap 5 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.
7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum / elektrolit /
kreatinin.
8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung.
Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron).
Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 10 menit.


Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan
luka pada wajah :
Asepsis.
Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.
Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit.
Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.
Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.
Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.
Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang
hanya berfungsi sebagai pemegang.
Eksposur, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan
perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus
ditekan (pressure).



Perawatan Cedera maksilofasial
a. Jika pasien sadar.
Dudukkan pasien menghadap ke depan sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir
keluar.


b. Jika pasien tidak sadar
Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati hati bila ada cedera lain
yang membahayakan.
Bila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan general
anestesi.
Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur kumur dengan :
o Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
o larutan garam 2 %
o jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.


c. Obat-obatan
Tergantung dokter yang merawatnya,dengan pertimbangan kondisi dan keparahan
traumanya :
Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus diberikan
segera.
Jika terjadi kebocoran CSS diberikan sulfadimidin 1 gr setiap 6 jam s/d 48
jam. Kebocoran berhenti secara spontan. Kebocoran tidak boleh di hentikan.
Jika gelisah berikan diazepam.
Berikan anti tetanus jika diperlukan.
Referensi
Annonimous. 2010, Maxillofacial Trauma. Diakses dari :
http://www.healthofchildren.com/M/Maxillofacial-Trauma.html.

Eliastam M,Sternbach GL,Blesler MJ. 1998, Penuntun Kedaruratan Medis. Alih Bahasa
Humardja Santasa.5
th
ed.. Jakarta : EGC.

Woodruff M,Berry HE. 1966, Surgery For Dental Student.4
th
ed. Newyork : Blackwell
Scientific Publication. Hal:156 -68





7. Jelaskan tentang kondisi emergency dari gangguan penapasan dan penanganannya
Jawaban

Tension Pneumothorax
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama
semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil
(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea venous
return hipotensi & respiratory distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP , asimetris statis & dinamis
Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro
Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD
Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan
masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan
udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

HEMATOTHORAX
Definisi: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus
pada dada.
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu
diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan
yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.
Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah
yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan
depresi pernapasan
Pemeriksaan
Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)
Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru
Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks
Indikasi Operasi
Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD):
Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah
kejadian trauma.
Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut
Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut
Penatalaksanaan
Tujuan:
Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.
Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.
Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk
menghentikan perdarahan
Referensi
Wim De Jong,Sjamsuhidajat. 2005, Buku ajar ilmu bedah, edisi 2 EGC : Jakarta

8. Jelaskan tentang obstruksi jalan napas (parsial ataupun total) beserta penanganannya
Jawaban
Penanganan jalan nafas terutama ditujukan pada penderita tidak sadar, yang
memerlukan tindakan cepat sampai sumbatan teratasi. Sambil meminta pertolongan
orang lain dengan cara berteriak kita harus tetap disamping penderita. Pertama-tama
yang kita lakukan pada penderita tidak sadar dan mengalami sumbatan jalan nafas
adalah ekstensi kepala karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior
sehingga dasar lidah akan terangkat dari dinding belakang farings. Disamping
ekstensi kepala kadang-kadang masih diperlukan pendorongan mandibula ke depan
untuk membuka mulut karena kemungkinan adanya sumbatan pada hidung.
Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut
disebut gerak jalan nafas tripel (Safar). Orang yang tidak sadar rongga hidung dapat
tersumbat selama ekspirasi, karena palatum mole bertindak sebagai katup (Sabiston,
2005).

Penanganan obstruksi jalan napas partial
Segera panggil bantuan
Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis antar belikat
danpada titik silang garis antar belikat dan garis punggung tulang belakang
garis punggung tulang belakang.
Rangkul korban dari belakang dengan kedua lengan dengan mempergunakan
kepala dan kedua tangan, hentakan mendadak pada ulu hati (abdominal
thrust). Hemlich Manuver
Ulangi hingga jalan napas bebas atau korban jatuh tidak sadar.
Penanganan obstruksi jalan napas total
Pasien tidak sadar
Tidurkan terlentang buka jalan napas.
Beri napas dengan mulut ke mulut.
Ulangi napas mulut ke mulut.
Ulangi abdominal thrust 6-10 kali.
Ulangi buka mulut, bersihkan mulut dengan jari/fingersweep.
Ulangi periksa jalan napas.
Ulangi abdominal thrust 5-7 kali hingga jalan napas bebas.
Bila jalan napas tetap tersumbat pikirkan crichothyrotomy.
Berikan segera oksigen pada pasien distress napas.
Referensi
David Sabiston, 2005. Buku ajar Bedah bagian 1. EGC, Jakarta.
9. Penanganan lanjutan pada kasus di skenario (obat-obatan maupun pembedahan)
Jawaban
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara
dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada
prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan
rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura
tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial
tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka
2. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga
pleuradengan udara luar dengan cara:
a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut
b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan
tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada
di dalam botol.
2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap
ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set.
Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol
3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah
yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid
aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela
iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga
hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya
ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan
melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara
dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut. Penghisapan
dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif.
Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20
cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali,
maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara
pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga
pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.
3. Torakoskopi
Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu
torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah
a) Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b) Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c) Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel
6. Non medikamentosa
a) Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator
b) Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
c) Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema
7. Rehabilitasi
a) Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b) Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
c) Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
d) Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas.

Referensi
Prabowo A.Y. 2010. Water Seal Drainage pada pneumothorax post trauma dinding
thorax.bagian ilmu penyakit dalam. RSUD Panembahan Senipati Bantul : 2010
Sudoyo et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed IV Jakarta : EGC

10. Tanda & gejala, serta tipe dari dari trauma pada thorax
Jawaban
Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul

1. Trauma tembus (tajam)
- Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma
- Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
- Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.

2. Trauma tumpul
- Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
- Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast
injuries.
- Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru
- Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi

a. TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus,kira-kiralebih
dari 90% trauma thoraks. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul: (1)transfer
energi secara direk pada dinding dada dan organ thoraks dan (2) deselerasi deferensial,
yang dialami oleh organ thoraks ketika terjadinya impak. Benturan yangsecara direk
yang mengenai dinding torak dapat menyebabkan luka robek dan kerusakan dari jaringan
lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera thoraks dengantekanan yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehinggamenyebabkan ruptur dari organ-
organ yang berisi cairan atau gas.
b. TRAUMA TEMBUS
Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara
direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau projectile, misalnya, akan
menyebabkan kerusakan jaringan dengan stretching dan crushing dan cedera biasanya
menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada jaringan. Berat
ringannya cidera internal yang berlaku tergantung pada organ yang telah terkena dan
seberapa vital organ tersebut.






11. Pemeriksaan laboratorium u/ kasus skenario
Jawaban
a. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks
antara lain:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada
pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar
telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal
ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang
tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah
yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara
yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut,
bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak
panah merupakan bagian paru yang kolaps.

2. Analisa Gas Darah
me mb e r i k a n g a mb a r a n hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien
sering tidakdiperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang beratsecara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.

Referensi
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08PneumonatorakVentil101.pdf/08PneumonatorakVent
il101.html

You might also like