You are on page 1of 5

BATASAN DAN EPIDEMIOLOGI

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu


dys- (buruk) dan -peptein (pencernaan).
1

Berdasarkan konsensus International Panel of
Clinical Investigators, dispepsia didefnisikan
sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang
terutama dirasakan di daerah perut bagian
atas,
2
sedangkan menurut Kriteria Roma III
terbaru,
3,4
dispepsia fungsional didefnisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau
lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut
penuh setelah makan, cepat kenyang, atau
rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan
sebelum diagnosis.
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang
sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-
hari.
5
Menurut studi berbasiskan populasi
pada tahun 2007, ditemukan peningkatan
prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9%
pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun
2003.
6
Istilah dispepsia sendiri mulai gencar
dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini
dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai
penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya
penyakit yang mengenai lambung, atau yang
lebih dikenal sebagai penyakit maag.
5
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010,
dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi,
yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana
layanan kesehatan primer.
7
Bahkan, sebuah
studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan
bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan
dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori
yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan
lanjutan.
8
KLASIFIKASI
Dispepsia terbagi atas dua subklasifkasi, yakni
dispepsia organik dan dispepsia fungsional,
Akreditasi IDI 4 SKP
Dispepsia
Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan
Divisi Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat
kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan se-
belum diagnosis. Dispepsia terbagi menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional diklasifkasikan kembali menjadi
postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome (Kriteria Roma III). Selain itu juga dibagi menjadi ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-
like dyspepsia. Penelitian-penelitian patomekanisme dispepsia berfokus pada mekanisme patofsiologi abnormalitas fungsi motorik lambung,
infeksi Helicobacter pylori, dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait gangguan cemas dan depresi. Diagnosis dispepsia hendaknya lebih
ditekankan pada upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifk organik yang mungkin, bukan pada karakteristik detail
gejala-gejala dispepsia. Diagnosis dispepsia fungsional dilakukan berdasarkan Kriteria Roma III. Penting mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarm-
ing features) pada pasien dengan keluhan dispepsia agar segera dirujuk.
Kata kunci: dispepsia fungsional, Helicobacter pylori, ulcer-like dyspepsia
ABSTRACT
Functional dyspepsia is a syndrome with symptoms of stomach fullness and heartburn during the last 3 months, with onset at least 6 months before
diagnosis. It can be divided into organic and functional type; functional dyspepsia is further classifed to postprandial dis
epigastric pain syndrome (Rome Criteria III). It also can be classifed to ulcer-like dyspepsia and dysmotility-like dyspepsia. Research on path-
omechanism focus on gastric motoric function, H. pylori infection and pscyhosocial factors, particularly on anxiety and depression. Diagnosis is
based on Rome Criteria III, stressed on exclusion of organic causes. It is important to detect alarming features and referred accordingly to more
complete facilities. Murdani Abdullah, Jefri Gunawan. Dyspepsia.
Key words: functional dyspepsia, Helicobacter pylori, ulcer-like dyspepsia
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
647
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 647 9/14/2012 10:11:02 AM
tress syndrome dan
648
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
jika kemungkinan penyakit organik telah ber-
hasil dieksklusi.
9
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelom-
pok, yakni postprandial distress syndrome dan
epigastric pain syndrome. Postprandial distress
syndrome mewakili kelompok dengan perasa-
an begah setelah makan dan perasaan cepat
kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan di-
rasakan dan tidak begitu terkait dengan makan
seperti halnya postprandial distress syndrome.
Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan
untuk membedakan antara gastroesophageal
refux disease (GERD), irritable bowel syndrome
(IBS), dan dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit
banyak disebabkan oleh ketidakseragaman
berbagai institusi dalam mendefnisikan
masing-masing entitas klinis tersebut.
10
El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa
sebagian besar pasien dengan uninvestigated
dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ter-
nyata memiliki diagnosis dispepsia fungsio-
nal.
11
Talley secara khusus melaporkan sebuah
sistem klasifkasi dispepsia, yaitu Nepean Dys-
pepsia Index, yang hingga kini banyak divalida-
si dan digunakan dalam penelitian di berbagai
negara, termasuk baru-baru ini di China.
12,13
PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk
mendiagnosis dispepsia adalah adanya
nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada
perut bagian atas. Apabila kelainan organik
ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis
banding dispepsia organik, sedangkan bila
tidak ditemukan kelainan organik apa pun,
dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia
fungsional merupakan diagnosis by exclusion,
sehingga idealnya terlebih dahulu harus
benar-benar dipastikan tidak ada kelainan
yang bersifat organik. Dalam salah satu
sistem penggolongan, dispepsia fungsional
diklasifkasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia
dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak
dapat masuk ke dalam 2 subklasifkasi di atas,
didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifk.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan
bila sulit membedakan antara dispepsia
fungsional dan organik, terutama bila gejala
yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi
mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun
dan didapatkan tanda-tanda bahaya.
9,14,15

Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam Amer-
ican Journal of Gastroenterology, menegaskan
kriteria diagnostik dispepsia fungsional se-
perti tertera pada boks 1.
4
Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih
dengan IBS. Pasien IBS, khususnya dengan
predominan konstipasi, mengalami keter-
lambatan pengosongan lambung sehingga
akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala
saluran pencernaan bagian atas yang me-
nyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada
pasien dispepsia, sering kali juga disertai de-
ngan gejala-gejala saluran pencernaan bawah
yang menyerupai IBS. Untuk membedakan-
nya, beberapa ahli mengemukakan sebuah
cara, yakni dengan meminta pasien menun-
juk lokasi di perut yang terasa paling nyeri;
dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut
dapat didiferensiasi.
10,16
Quigley et al. menge-
mukakan sebuah pendekatan baru, yaitu de-
ngan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional
sebagai bagian dari spektrum penyakit fung-
sional saluran cerna.
10
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan
setelah penyebab lain dispepsia berhasil
dieksklusi.
17
Karena itu, upaya diagnosis di-
tekankan pada upaya mengeksklusi penyakit-
penyakit serius atau penyebab spesifk organik
yang mungkin, bukan menggali karakteristik
detail dan mendalam dari gejala-gejala dis-
pepsia yang dikeluhkan pasien.
18
Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional
4
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi
saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi
beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi
beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang,
paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfngter Oddi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 648 9/14/2012 10:11:02 AM
Boks 1
649
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
FAKTOR RISIKO
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih
berisiko mengalami dispepsia: konsumsi ka-
fein berlebihan, minum minuman beralkohol,
merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta
berdomisili di daerah dengan prevalensi H.
pylori tinggi.
15
MEKANISME PATOLOGIS
Dari sudut pandang patofsiologis, proses
yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional
adalah hipersekresi asam lambung, infeksi
Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal,
dan hipersensitivitas viseral.
5
Ferri et al. (2012)
menegaskan bahwa patofsiologi dispepsia
hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan
penelitian-penelitian masih terus dilakukan
terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti di bawah ini:
17
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung,
khususnya keterlambatan pengosongan
lambung, hipomotilitas antrum, hubungan
antara volume lambung saat puasa yang
rendah dengan pengosongan lambung yang
lebih cepat, serta gastric compliance yang
lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait
dengan gangguan cemas dan depresi.
Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya mem-
punyai tingkat sekresi asam lambung, baik
sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga
terdapat peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan
rasa tidak enak di perut.
5
Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada
dispepsia fungsional belum sepenuhnya di-
mengerti dan diterima. Kekerapan infeksi
H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50%
dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok
orang sehat. Mulai ada kecenderungan
untuk melakukan eradikasi H. pylori pada
dispepsia fungsional dengan H. pylori positif
yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku.
5
Dismotilitas
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah
menjadi fokus perhatian dan beragam
abnormalitas motorik telah dilaporkan, di
antaranya keterlambatan pengosongan
lambung, akomodasi fundus terganggu,
distensi antrum, kontraktilitas fundus
postprandial, dan dismotilitas duodenal.
19
Beragam studi melaporkan bahwa pada
dispepsia fungsional, terjadi perlambatan
pengosongan lambung dan hipomotilitas
antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus
dimengerti bahwa proses motilitas
gastrointestinal merupakan proses yang
sangat kompleks, sehingga gangguan
pengosongan lambung saja tidak dapat
mutlak menjadi penyebab tunggal adanya
gangguan motilitas.
2
Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi,
pasien dispepsia dicurigai mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi
balon di gaster atau duodenum, meskipun
mekanisme pastinya masih belum dipahami.
5
Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut
memainkan peranan penting pada semua
gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi
pada 30-40% pasien dengan dispepsia
fungsional.
19
Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan
melalui uji klinis pada tahun 2012.
20
Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam
dimasukkan ke dalam lambung pasien
dispepsia fungsional dan orang sehat.
Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala
dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia
fungsional. Hal ini membuktikan peranan
penting hipersensitivitas dalam patofsiologi
dispepsia.
Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan
dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati
vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa
cepat kenyang.
5
Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada
pemeriksaan elektrogastrograf terdeteksi
pada beberapa kasus dispepsia fungsional,
tetapi peranannya masih perlu dibuktikan
lebih lanjut.
5
Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui
dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Tabel 1 Diagnosis banding dispepsia fungsional dan prevalensinya
16
Diagnosis banding Prevalensi*
Dispepsia fungsional (nonulkus) mencapai 70%
Ulkus peptikum 15-25%
Esofagitis refuks 5-15%
Kanker esofageal atau kanker lambung <2 %
Kanker organ-organ perut, terutama kanker pankreas Jarang
Penyakit traktus biliaris Jarang
Malabsorpsi karbohidrat (laktosa, sorbitol, fruktosa, manitol) Jarang
Gastroparesis Jarang
Hepatoma Jarang
Penyakit-penyakit infltratif pada saluran pencernaan (Crohns disease atau sarkoidosis) Jarang
Parasit usus (Giardia spp, Strongyloides spp) Jarang
Penyakit iskemik usus Jarang
Dispepsia imbas obat (contoh: OAINS, eritromisin, steroid) Jarang
Gangguan metabolik (hiperkalsemia, hiperkalemia) Jarang
Pankreatitis Jarang
Gangguan sistemik (diabetes melitus, gangguan tiroid and paratiroid, gangguan
jaringan ikat)
Jarang
*Berdasarkan penelitian yang didasarkan pada temuan endoskopis pada pasien dengan keluhan dispepsia.
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 649 9/14/2012 10:11:04 AM
650
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon
motilin yang menyebabkan gangguan
motilitas antroduodenal. Dalam beberapa
percobaan, progesteron, estradiol, dan
prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot
polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.
5
Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional
dibanding kasus kontrol.
5
Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi
fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang men-
dahului keluhan mual setelah pemberian sti-
mulus berupa stres. Kontroversi masih banyak
ditemukan pada upaya menghubungkan faktor
psikologis stres kehidupan, fungsi autonom,
dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian
yang karakteristik untuk kelompok dispepsia
fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi
dipaparkan adanya kecenderungan masa
kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual,
atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia
fungsional.
5
Faktor genetik
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai
dipertimbangkan, seiring dengan terdapatnya
bukti-bukti penelitian yang menemukan
adanya interaksi antara polimorfsme gen-
gen terkait respons imun dengan infeksi
Helicobacter pylori pada pasien dengan
dispepsia fungsional.
21
PENGELOLAAN
Pedoman terbaru pengelolaan uninvestigated
dyspepsia merekomendasikan pemeriksaan
Helicobacter pylori dilakukan terlebih
dahulu sebelum dilakukan pengobatan
terhadap infeksi tersebut.
6
American
College of Gastroenterology Guidelines
for the Management of Dyspepsia (2005),
mengemukakan pentingnya mendeteksi
tanda-tanda bahaya (alarming features) pada
pasien dengan keluhan dispepsia. Apabila
didapatkan tanda-tanda bahaya (seperti
gejala dispepsia yang baru muncul pada
usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,
anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah,
disfagia progresif, odinofagia, perdarahan,
anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran
kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan
kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum,
pembedahan lambung, dan keganasan),
tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk
keperluan diagnostik sangat dianjurkan.
Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas,
terdapat 2 tindakan yang dapat dilakukan:
(1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada
tidaknya infeksi Helicobacter pylori dengan uji
noninvasif yang tervalidasi disertai pemberian
obat penekan asam bila eradikasi berhasil,
tetapi gejala masih tetap ada, (2) Pengobatan
empiris menggunakan proton-pump inhibitor
(PPI) untuk 4-8 minggu.
11
American College of
Physicians menyatakan bahwa pengobatan
empiris menggunakan obat antisekresi
ini merupakan tulang punggung utama
pengobatan dispepsia dan masih dipraktikkan
secara luas hingga saat ini.
22
Alternatif (1)
dianjurkan untuk mengobati populasi dengan
prevalensi infeksi H. pylori tingkat sedang
sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2)
disarankan pada populasi dengan prevalensi
infeksi H. pylori rendah.
11

Sebuah studi di Denmark (2011) telah berhasil
menerapkan test-and-treat secara massal
dengan cara melakukan urea breath test
(UBT) di rumah-rumah.
9
Namun, dalam upaya
eradikasi H. Pylori, perlu diwaspadai adanya
resistensi tehadap pengobatan antibiotik
yang diberikan; dalam studi di Spanyol (2012),
ditemukan peningkatan resistensi terhadap
levofoksasin yang hampir menyamai tingkat
resistensi terhadap klaritromisin.
23

Selanjutnya, langkah yang perlu dilakukan
adalah menyingkirkan kemungkinan
penyebab organik. Apabila kemungkinan
tersebut telah disingkirkan, untuk makin
mengoptimalkan pengelolaan pasien
dispepsia fungsional, perlu diketahui
subklasifkasi dispepsia fungsional tersebut.
Apabila ditemukan ulcer-like dyspepsia,
pengobatan antasida, antagonis reseptor H2,
dan PPI sangat dianjurkan. Apabila didapatkan
dysmotility-like dyspepsia, pengobatan
dengan agen prokinetik merupakan pilihan
yang lebih baik.
7

Mengingat adanya hubungan dengan faktor
psikosomatis pada pasien dispepsia fungsional,
patut dipertimbangkan pemberian obat-obat
psikotropik dan intervensi secara psikologis,
sekalipun bukti keuntungan terapi ini belum
secara ekstensif didapatkan.
22
Terapi terbaru, seperti ekstrak herbal
STW 5, masih memerlukan penelitian-
penelitian preklinis yang intensif sebelum
dapat digunakan.
9
Guo (2011) melaporkan
efektivitas akupunktur dalam meningkatkan
motilin plasma, frekuensi elektrogastrografk,
pengosongan lambung, dan meredakan
gejala-gejala dispepsia fungsional, terlebih
bila dikombinasikan dengan obat-obat yang
sudah ada.
24
PROGNOSIS
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pa-
sien dispepsia fungsional memiliki prognosis
kualitas hidup lebih rendah dibandingkan
dengan individu dengan dispepsia organik.
Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga
lebih sering dialami oleh individu dispepsia
fungsional.
25
Lebih jauh diteliti, terungkap
bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama
yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami
depresi dan gangguan psikiatris.
18
KAPAN HARUS MERUJUK?
Pasien dispepsia harus dirujuk ke dokter
spesialis terkait jika ditemukan tanda dan
gejala di bawah ini
17
:
1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda
bahaya (alarming features) seperti berikut:
perdarahan saluran cerna, sulit menelan,
nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa
dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan,
dan penurunan berat badan, atau ada indikasi
endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis
gastroenterologi atau rumah sakit dengan
fasilitas endoskopi.
2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada
kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis
jantung.
SIMPULAN
Dispepsia fungsional adalah sindrom yang
mencakup salah satu atau lebih gejala-gejala
berikut ini: perasaan perut penuh setelah
makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di
ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam
3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala
sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.
Dispepsia secara klasik terbagi atas dispepsia
organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia
fungsional diklasifkasikan kembali menjadi
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 650 9/14/2012 10:11:06 AM
651
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012
postprandial distress syndrome dan epigastric
pain syndrome (Kriteria Roma III). Selain itu,
juga dibagi menjadi ulcer-like dyspepsia dan
dysmotility-like dyspepsia.
Hingga tahun 2012, penelitian-penelitian
mengenai patomekanisme dispepsia ber-
fokus pada upaya mengurai mekanisme
patofsiologis yang disebabkan abnormalitas
fungsi motorik lambung, infeksi Helicobacter
pylori, dan faktor-faktor psikososial, khususnya
terkait gangguan cemas dan depresi. Diagnosis
dispepsia hendaknya lebih ditekankan pada
upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius
atau penyebab spesifk organik yang mungkin,
bukan menggali karakteristik detail gejala-
gejala dispepsia yang dikemukakan pasien.
Diagnosis dispepsia fungsional dilakukan
berdasarkan Kriteria Roma III.
American College of Gastroenterology
Guidelines for the Management of Dyspepsia
(2005) mengemukakan pentingnya men-
deteksi tanda-tanda bahaya (alarming features)
pada pasien dengan keluhan dispepsia, yang
penting untuk menentukan pengelolaan
selanjutnya. Segera rujuk apabila didapatkan
tanda-tanda bahaya tersebut atau terdapat
tanda-tanda yang mengarah pada gangguan
jantung.
Skema 2 Algoritma pengelolaan pasien dengan dispepsia
11, 14
EGD: esofagogastroduodenoskopi, PPI: proton-pump inhibitor, Hp: Helicobacter pylori
*
Tanda-tanda bahaya sebagaimana yang disebutkan pada paragraf di atas
Bila gagal Bila gagal
Bila gagal Bila gagal
Dispepsia
(belum terinvestigasi)
Usia >55 tahun atau adanya
tanda-tanda bahaya
*
Usia < 55 th. tanpa tanda-
tanda bahaya
*
EGD
Prevalensi Hp
<10%
Prevalensi Hp
>10%
Terapi percobaan
dengan PPI
Terapi test and
treat untuk Hp
Terapi test and
treat untuk Hp
Terapi percobaan
dengan PPI
Pertimbangkan EGD Pertimbangkan EGD
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonner GF. Upper gastrointestinal evaluation related to the pelvic foor. In: Davila GW, Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction. 1st ed. Springer-Verlag London Limited;
2006. p. 67-8.
2. Talley NJ, Colin-Jones D, Koch KL, Koch M, Nyren O, Stanghellini V. Functional dyspepsia: a classifcation with guidelines for diagnosis and management. Gastroenterol Int. 1991;4:145.
3. Talley NJ, Stanghellini V, Heading RC, Koch KL, Malagelada JR, Tytgat GN. Functional gastroduodenal disorders. Gastroenterology. 2006;130:1466-79.
4. Appendix B: Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. Am J Gastroenterol. 2010;105:798801.
5. Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 354-6.
6. Halder SL, Locke GR 3rd, Schleck CD, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd, Talley NJ. Natural history of functional gastrointestinal disorders: a 12-year longitudinal population-based study. Gas-
troenterology. 2007;133:799-807.
7. Lacy BE, Talley NJ, Camilleri M. Functional dyspepsia: Time to change clinical trial design. Am J Gastroenterol. 2010;105:2525-9.
8. Dahlerup S, Andersen RC, Nielsen BS, Schjdt I, Christensen LA, Gerdes LU, et al. First-time urea breath tests performed at home by 36,629 patients: a study of Helicobacter pylori prevalence
in primary care. Helicobacter. 2011;16(6):468-74.
9. Montalto M, Santoro L, Vastola M, Curigliano V, Cammarota G, Manna R, et al. Functional dyspepsia: defnition, classifcation, clinical and therapeutic management. [Article in Italian]. Ann
Ital Med Int. 2004 Apr-Jun;19(2):84-9.
10. Quigley EM, Keohane J. Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol. 2008; 24:692-7.
11. El-Serag HB, Talley NJ. Systematic review: the prevalence and clinical course of functional dyspepsia. Aliment Pharmacol Ther. 2004;19:643-54.
12. Talley NJ, Haque M, Wyeth JW, Stace NH, Tytgat GN, Stanghellini V, et al. Development of a new dyspepsia impact scale: the Nepean Dyspepsia Index. Ailment Pharmacol Ther.
1999;13(2):225-35.
13. Tian XP. Translation and validation of the Nepean Dyspepsia Index for functional dyspepsia in China. World J Gastroenterol. 2009; 15(25): 3173-7.
14. Talley NJ, Vakil N, and the Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J Gastroenterol 2005;100:2324-
37.
15. Tack J, Bisschops R, Sarnelli G. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology. 2004;127:1239-55.
16. Kaji M, Fujiwara Y, Shiba M, Kohata Y, Yamagami H, Tanigawa T, et al. Prevalence of overlaps between GERD, FD and IBS and impact on health-related quality of life. J Gastroenterol Hepatol.
2010;25(6):1151-6.
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 651 9/12/2012 10:47:59 AM

You might also like