You are on page 1of 25

SARI PUSTAKA I Kepada Yth:

AUTOSOMAL DOMINANT OPTIC ATROPHY




Sari Marina
Komang Dian Lestari
Ni Nyoman Rina Kurniasari
( Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap I )
PEMBIMBING:
dr. A. A. Mas Putrawati T., SpM
DR. dr. N Sri Budayanti, SpMK(K)



Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
RSUP Sanglah
Denpasar
2013


PENDAHULUAN
Autosomal Dominant Optic Atrophy (ADOA) adalah kelainan optik neuropati
herediter yang berkaitan dengan mutasi pada kromosom 3. Autosomal Dominant
Optic Atrophy merupakan kelainan optik neuropati herediter dengan angka prevalensi
yang paling tinggi, dengan perkiraan prevalensi berkisar 1:50.000 atau mencapai
setinggi 1:10.000 di Denmark. Manifestasi klinis ADOA pada umumnya berupa
atrofi optik bilateral pada anak-anak atau remaja. (Schiefer et al, 2007; Biousse V and
Newman NJ,2001; American Academy of Ophthalmology, 2012)
Eiberg dkk pertama kali menemukan gen OPA 1 terkait dengan ADOA pada 3
keluarga di Denmark tahun 1994. Johnston dkk (1999) dan Votruba dkk (2003)
menemukan hal yang sama di negara Kuba dan Amerika.
Penderita pada umumnya tidak menyadari terhadap adanya gangguan fungsi
penglihatan yang menurun. Tajam penglihatan dapat menurun secara perlahan-lahan
seiring dengan bertambahnya usia, dan belum ditemukan pengobatan yang dapat
memperbaiki gangguan tajam penglihatan secara signifikan. Lapang pandang
umumnya tampak normal dan kemampuan membaca biasanya baik pada kasus yang
ringan. (Schiefer et al, 2007; Krieglstein et al,2008).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah Visual Evoked Potential
(VEP), Electroretinography (ERG), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
pemeriksaan genetik molekuler. Diagnosis ADOA dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang (American Academy of
Ophthalmology, 2011-2012; Votruba et al, 2003).
Tujuan penulisan sari pustaka ADOA adalah untuk membahas penyakit ini
lebih dalam. Penyakit ADOA merupakan kelainan optik herediter dengan prevalensi
tertinggi, namun sering kali terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosa ADOA
dengan penyakit lain. Autosomal Dominant Optic Atrophy seringkali hanya
terdiagnosis sebagai atrofi optik, sehingga penatalaksanaan yang komprehensif sulit
diberikan. Pemahaman yang lebih dalam diharapkan dapat membantu mendeteksi


ADOA secara dini, memberikan penatalaksanaan yang tepat dan memberikan edukasi
yang tepat.

DEFINISI
Autosomal dominant optic atrophy (ADOA) merupakan salah satu bentuk optik
neuropati herediter yang umum ditemukan. ADOA merupakan kelainan genetik
autosomal dominan dengan ekspresi genetik yang bervariasi (American Academy of
Ophthalmology, 2012).
Manifestasi klinis ADOA umumnya muncul pada dekade pertama kehidupan,
dengan gejala awal berupa hilangnya penglihatan, hal tersebut sering terdeteksi
pertama kali pada saat skrining rutin di sekolah. Gejala ini sering mengenai kedua
mata. Kehilangan tajam penglihatan pada pemeriksaan ADOA biasanya berada pada
kategori sedang, rata-rata 20/50-20/70, meskipun dapat terjadi penurunan secara
progresif. Penderita pada umumnya dapat mempertahankan penglihatan >20/200.
Gangguan penglihatan warna yang terjadi pada ADOA berupa tritanopia yang
merupakan salah satu indikator pendukung (American Academy of Ophthalmology,
2012).

ANATOMI DAN FISIOLOGI SARAF OPTIK
Saraf optik secara anatomis dimulai dari papil saraf optik, tetapi secara fisiologis dan
fungsional dimulai dari lapisan sel ganglion yang meliputi seluruh retina. Saraf optik
terdiri dari 4 bagian secara topografis, antara lain bagian intraokular, bagian
intraorbital, bagian intrakanalikular, dan bagian intrakranial. Bagian intraokular yang
terdiri dari papil saraf optik, prelaminar, dan laminar. Bagian intraorbital yang berada
dalam selubung otot. Bagian intrakanalikular letaknya dalam kanal optik. Bagian
intrakranial yang berakhir di kiasma optik. Saraf optik memiliki panjang bervariasi,
dari 35 mm hingga 55 mm, dengan rata-rata 40 mm (American Academy of
Ophthalmology, 2012).


Bagian intraokular saraf optik umumnya disebut sebagai papil saraf optik.
Papil saraf optik berbentuk oval, berwarna merah muda, berukuran diameter
horizontal 1,5 mm dan vertikal 1,75 mm. Bagian ini merupakan pertemuan dari
sekitar 1-1,2 juta akson sel ganglion, menembus sklera melalui lamina kribosa, yang
mengandung 200-300 saluran. Akson saraf optik tergantung pada produksi
metabolisme badan sel saraf di retina. Transport aksonal dari hasil metabolisme
terjadi sepanjang panjang saraf optik. Suplai darah untuk bagian intraokular saraf
optik berasal dari arteriol retina dan cabang arteri siliaris posterior.







Gambar1. Gambaran 3 dimensi papil saraf optik. (American Academy of Ophthalmology, 2012)

Saraf optik yang terletak dibelakang sklera mempunyai selubung dura yang
berdekatan dengan kanal optik periorbita, dan membran arakhnoid yang menyokong
dan melindungi akson dan berdekatan dengan arakhnoid dari rongga subdural
intrakranial melalui kanal optik. Saraf optik dibelakang lamina kribosa memiliki
diameter bertambah dari 1,5 mm menjadi 3 mm akibat adanya selubung mielin
(American Academy of Ophthalmology, 2012).
Bagian intraorbital dari saraf optik mempunyai panjang sekitar 28 mm.
Bagian ini mendapat suplai darah dari cabang-cabang intraneural arteri sentralis
retina, cabang-cabang piamater dari arteri sentral retina dan koroid (American
Academy of Ophthalmology, 2012).
Bagian intrakanalikular dari saraf optik panjangnya sekitar 4-10 mm, berjalan
melalui foramen optik bersama-sama dengan arteri oftalmika dan saraf simpatik


menuju rongga kranial. Bagian intrakranial panjangnya 10 mm dan berjalan medial
menuju kiasma optikum (American Academy of Ophthalmology, 2012).
Transport aksoplasmik merupakan proses fisiologi normal dimana organela
sitoplasmik dalam neuron mengalami pergerakan ke satu arah diantara badan sel dan
sinaps terminal. Transport aksonal orthograde meliputi gerakan dari badan sel ke
sinaps yakni nukleus genikulatum lateral, dan transport retrograde ditandai oleh
gerakan yang berlawanan, yakni menuju ke badan sel. Transport aksoplasmik dapat
terganggu oleh berbagai proses patologis antara lain penyumbatan akson secara
mekanis, gangguan sistem sirkulasi, serta pemberian obat-obatan (Kanski, 2007).

Gambar 2. Transport aksoplasmik normal (Kanski, 2007)

EMBRIOLOGI SARAF OPTIK
Nervus optikus berkembang dari tonjolan optik, yang merupakan penghubung antara
vesikel optik dengan otak bagian depan. Tonjolan optik ini berawal pada bagian
dalam tersusun oleh kumpulan sel-sel neuroektodermal yang dikelilingi oleh
kumpulan sel saraf yang belum berdiferensiasi. Beberapa sel dari bagian dalam
mengalami vakuolisasi dan degenerasi setelah usia kehamilan enam minggu, serta
serabut saraf dari sel ganglion bermigrasi melalui ruangan yang terbentuk. Sel di
tempat lain akan berdiferensiasi menjadi sel glial. Optik disk sudah terbentuk dengan
arteri hyaloid pada usia kehamilan 7 minggu, dikelilingi akson-akson dan diselimuti
oleh sel-sel glial yang sebagian akan menghilang pada bulan ketujuh. Sel-sel glial
juga akan mengangkat elemen glial pada lamina kribrosa dalam 8 minggu usia


kehamilan. Mielinisasi meluas dari otak menuju ke perifer menuruni nervus optikus
dan saat lahir telah mencapai lamina kribrosa. Mielinisasi selesai pada usia 3 bulan.
Perubahan sel-sel pada neural crest menjadi piamater, arakhnoid, dan duramater dari
nervus optikus akan dimulai pada usia kehamilan tujuh minggu, dimana akan
terbentuk sempurna pada usia kehamilan empat bulan (American Academy of
Ophthalmology, 2012).

Jumlah akson pada nervus optikus akan meningkat dari 1,9 juta sel pada usia
kehamilan 10-12 minggu menjadi 3,7 juta sel pada usia kehamilan enam belas
minggu. Jumlah ini akan menurun kembali menjadi 1,1 juta setelah 33 minggu yang
seperti jumlah akson nervus optikus pada orang dewasa. Berkurangnya jumlah akson
sejalan dengan berkurangnya jumlah sel ganglion di retina fetal dan hal ini dapat
berhubungan dengan lapisan korpus genikulatum lateral di bagian dorsal (American
Academy of Ophthalmology, 2012).
Akson-akson akan berkembang membentuk korpus genikulatum lateral,
kemudian terjadi persilangan parsial di kiasma optikum. Sel-sel yang terletak pada
bagian tengah kiasma akan memberikan eksitasi atau inhibitor yang mengatur impuls
spesifik di akson di sisi ipsilateral. Penyelubungan mielin dimulai dari kiasma di usia
kehamilan 7 bulan, kemudian berlanjut ke mata dan berhenti di lamina kribrosa 1
bulan setelah kelahiran (American Academy of Ophthalmology, 2012).
Respon pada beberapa janin terhadap cahaya di usia kehamilan 8 minggu
telah menunjukkan terbentuknya jalur saraf dari mata ke sentral. Pertumbuhan saraf
yang terjadi 50% dari diskus diusia kehamilan 5 bulan dan nervus optikus, 75% di
saat kelahiran, dan 95% pada bayi usia hampir 1 tahun (American Academy of
Ophthalmology, 2012).
Penderita ADOA mengalami gangguan pada perkembangan saraf optik, hal
tersebut sudah terjadi sejak proses embriologi. Kerusakan terjadi pada mitokondria
yang membentuk sel-sel ganglion yang menuju saraf optik (American Academy of
Ophthalmology, 2012).



Gambar 3. Perkembangan retina dan saraf optik (American Academy of
Ophthalmology, 2012).

EPIDEMIOLOGI
Autosomal Dominant Optic Atrophy merupakan kelainan neuropati optik herediter
paling sering dengan prevalensi 1:10.000 sampai 1:50.000 di Denmark. Prevalensi di
Indonesia belum pernah dilaporkan sampai saat ini. Prevalensi ADOA menurut jenis
kelamin menunjukkan tidak ada perbedaan (Chan JW, 2007).

ETIOPATOGENESIS
Autosomal Dominant Optic Atrophy adalah salah satu penyakit neurooftalmologi
yang diturunkan secara dominan. Eiberg dkk pertama kali mengidentifikasi mutasi
gen OPA 1 sebagai dasar patogenesis dari ADOA. Lokus gen OPA 1 diidentifikasi
pada kromosom region 3q28-q29 (Alavi et al, 2007,Yen et al, 2010, Shimizu et al,
2003).
Gen OPA 1 merupakan gen yang berperan utama dalam patogenesis ADOA,
walaupun terdapat beberapa gen lain yang juga ikut berperan (Lenaers, 2012).



Tabel 1. Gen dan lokus yang berperan dalam terjadinya DOA (Lenaers, 2012)

Gen OPA 1 adalah salah satu gen nukleus yang mengkode protein
mitokondria. Gen OPA 1 terdiri dari 31 ekson dan menghasilkan 8 jenis isoform
melalui mekanisme splicing. m-RNA dari isoform 1 mengkode 960 asam amino
protein dynamin-related guanosine triphospatase (GTPase). OPA 1 terletak pada
lengan panjang (q) kromosom 3 diantara posisi 28 dan 29. Gen ini terletak pada
lengan panjang kromosom 3 diantara posisi 28 dan 29. Letak gen tersebut lebih
tepatnya pada pasangan basa 193,310,931 hingga pasangan basa 193,415,599 pada
kromosom 3.

Gambar 4. Letak gen OPA 1 (Fraser dkk, 2007)

OPA 1 merupakan protein dynamin-related guanosine triphospatase (GTPase)
yang terdiri dari domain N-terminal, domain GTPase, domain tengah, dan domain C-


terminal yang merupakan domain GTPase efektor (GED). Protein tersebut berperan
dalam proses fusi mitokondria dan menjaga integritas membran mitokondria untuk
keperluan metabolisme. Gen OPA 1 diekspresikan pada seluruh jaringan tubuh
manusia. Kadar gen OPA 1 ditemukan paling tinggi pada bagian retina diikuti oleh
otak, testis, jantung dan otot skeletal (Lenaers, 2012; Krieglstein, 2008; Votruba,
2003).
Pemahaman mengenai fungsi dan fisiologi normal mitokondria sangat penting
dalam menjelaskan patogenesis ADOA. Mitokondria memiliki fungsi penting dalam
pembentukan ATP melalui mekanisme fosforilasi oksidasi. Gen OPA 1 adalah salah
satu gen nukleus yang mengkode protein mitokondria. Protein ini nantinya akan
menjadi bahan pembentuk komplek rantai respirasi dalam sistem fosforilasi oksidasi.
Sel-sel yang memiliki metabolisme tinggi seperti sel saraf sangat bergantung pada
energi yang dihasilkan oleh mitokondria. OPA 1 juga mengkode protein mitokondria
yang berfungsi di luar sistem fosforilasi, seperti stabilisasi membran mitokondria, fusi
mitokondria di sitosol, dan pemecahan molekul pro apoptosis sitokrom c. Gangguan
gen OPA 1 mengakibatkan fragmentasi jaringan mitokondria, hilangnya membran
potensial dan disorganisasi krista sehingga akan terjadi perubahan besar dalam bentuk
morfologi mitokondria. Mutasi akan mengakibatkan tidak terurainya sitokrom c,
sehingga menghasilkan reaksi apoptosis sel. Gangguan fungsi dari OPA 1 adalah
dasar patogenesis ADOA. (Alavi dkk 2007; Davies dkk, 2007; Fraser dkk, 2007)
Mutasi gen OPA 1 yang cenderung bermanifestasi pada mata belum dapat
dijelaskan secara pasti, namun terdapat teori yang menyebutkan bahwa hilangnya satu
alel sudah cukup menurunkan jumlah protein OPA 1 secara kritis di bawah ambang
yang dibutuhkan dalam fungsi mitokondria normal. Sel ganglion retina memiliki
kebutuhan energi yang tinggi, sehingga sangat rentan terhadap perubahan fungsi
mitokondria. Mutasi OPA 1 mengakibatkan kekacauan dalam fungsi mitokondria di
sel ganglion retina dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari sel ganglion di otak
(Yen et al, 2010, Lenaers, 2012; Krieglstein, 2008; Votruba, 2003).



Gambar 5. Pengaruh DNA nucleus dalam fungsi mitokondria. (Fraser dkk, 2007)

Mutasi gen OPA 1 dilaporkan menyebabkan dominant optic atrophy lebih dari
100 jenis. Jenis mutasi gen OPA 1 terdiri dari mutasi missense, nonsense, in-frame
deletion, frame shift deletion dan splice site. Mutasi mengakibatkan hilangnya alel
pada lebih dari 50% kasus (Lenaers, 2012; Krieglstein, 2008; Votruba, 2003). Yen
dkk melakukan penelitian pada 24 subjek dari 10 pedigree di Cina yang tidak
berkaitan. Empat mutasi gen OPA 1 terdeteksi pada subjek penelitian. Mutasi terdiri
atas 2 mutasi splicing site (c.1065+2T>C pada intron 10 dan c.1212+2insT pada
intron 12), 1 mutasi deletion (c.1776_1778delACT pada ekson 19) dan 1 mutasi
missense (c.2846 T>C pada ekson 28). Mutasi gen OPA 1 ditemukan pada 4 dari 10
keluarga (40%) dan 1 diantara 35 kasus sporadik dari atrofi optik (Yen MY dkk,
2010).




Gambar 6. Produk PCR mutasi splicing site c.1065+2T>C pada intron 10. Perbandingan antara kontrol
dan anggota keluarga.(Yen MY dkk, 2010)

Shimizu dkk pada tahun 2001 melakukan pemeriksaan di Jepang pada sebuah
keluarga. Hasil pemeriksaan dilaporkan terdeteksinya mutasi gen OPA 1 dengan
bentuk mutasi yang sama yang dilaporkan pada negara barat. Mutasi gen yang terjadi
adalah substitusi IVS12+3AT. Penelitian Shimizu dkk menemukan mutasi gen
OPA 1 berkontribusi terhadap perkembangan penyakit atrofi optik tanpa
memperhatikan kelompok etnis. (Shimizu dkk,2002)

Gambar 7. Struktur gen OPA 1 dan mutasi yang telah dilaporkan. M: mutasi missense, N:
mutasi nonsense dan frameshift, S: mutasi splice site. Tanda bintang menunjukkan posisi dari
IVS12+3AT(Shimizu dkk,2002).



Gambar 8. Rangkaian elektroperogram dari gen OPA 1 (Shimizu dkk,2002).

Penyakit mitokondria yang disebabkan oleh mutasi nukleus DNA memiliki
pola pewarisan sesuai hukum mendel. OPA 1, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, merupakan salah satu dari nukleus DNA. Pewarisan penyakit terjadi
secara autosomal dominan, dimana diperlukan setidaknya satu orang tua yang
terkena. Laki-laki maupun wanita akan memiliki kesempatan yang sama, sebesar
50% dalam mewariskan penyakit ADOA (Fraser dkk, 2007).

Gambar 9.Contoh pewarisan penyakit secara autosomal dominan. Laki-laki maupun wanita
memiliki kesempatan yangsama dalam mewariskan penyakit (Fraser dkk, 2007).

MANIFESTASI KLINIS
Autosomal Dominant Optic Atophy atau ADOA memiliki manifestasi klinis yang
cukup bervariasi. Tingkat penurunan tajam penglihatan pun menunjukkan hasil yang


beragam, dari normal hingga buta total. Manifestasi klinis dari ADOA dapat
dikelompokkan menjadi dua berdasarkan dari gejala dan tanda yang ada, yaitu non
syndromic optic atrophy dan syndromic optic atrophy (Lenaers, 2012). Non
syndromic dominant optic atrophy atau ADOA non syndromic merupakan bentuk
paling banyak yang dijumpai, dimana gejala dan tanda yang ada terbatas pada
manifestasi oftalmologi. Syndromic dominant optic atrophy terdiri dari DOAD
(Dominant Optic Atrophy and Deafness) dan DOA plus. Kedua tipe ini merupakan
ADOA yang memiliki gejala ekstraoftalmologi, dan hal ini terjadi pada kurang lebih
20% kasus ADOA. Bentuk sindrom dari DOA biasanya disertai dengan kehilangan
pendengaran sensorineural (DOAD) dan atau manifestasi lainnya seperti miopati,
eksternal oftalmoplegi progresif, neuropati perifer, stroke, sklerosis multipel atau
paraplegi spastik. Mutasi gen yang terjadi bervariasi antara gen OPA 1 hingga OPA 8
(Lenaers et al, 2012; Hudson et al, 2008).

Gejala Klinis
Pasien ADOA umumnya terdeteksi saat usia mulai sekolah, yaitu usia 4-6 tahun.
Pasien mengeluh penglihatan kabur sehingga proses belajar terganggu. Keluhan yang
sama ditemukan pula pada kerabat dekat penderita. Keluhan penglihatan kabur
semakin lama semakin berat. Gejala ini merupakan penyebab orang tua pasien
memeriksakan keluhan pada anaknya. ,

Tanda Klinis
Penurunan tajam penglihatan yang dialami biasanya lambat dan progresif, bahkan
kadang tidak disadari. Gangguan penglihatan ini bersifat bilateral irreversibel, dengan
tajam penglihatan umumnya sedang, sekitar 6/10 hingga 2/10, namun dapat pula
sangat ringan (subklinis) bahkan sangat berat (buta total) (Lenaers, 2012;Delettre-
Cribaillet, 2007).


Pemeriksaan oftalmologis funduskopi memperlihatkan gambaran diskus optik
pucat pada sisi temporal di kedua mata, menunjukkan hilangnya sel ganglion retina
yang memasuki saraf optik. Batas neuroretinal (neuroretinal rim) tampak atrofi, dan
sering pula disertai dengan adanya kresen abu-abu di temporal diskus optikus.
Gambaran lainnya yang cukup sering dijumpai adalah atrofi peripapilar.
Penggaungan papil pada ADOA merupakan hal yang sering ditemukan, sehingga
terkadang diagnosis bandingnya dapat mengarah pada Normo Tension Glaucoma
(NTG). Penelitian yang dilakukan oleh Votruba dkk (2003) menemukan gambaran
papil yang bervariasi dari pucat yang samar, pucat di temporal, hingga atrofi
sepenuhnya. Cup and Disc Ratio (CDR) pada 48% mata di penelitian tersebut
menunjukkan rasio lebih dari 0,5 dimana pada setiap pasien tersebut memiliki
tekanan intraokular yang normal.
Pemeriksaan lapangan pandang pada kasus ADOA dapat menunjukkan
skotoma sekosentral, sentral dan parasentral, sedangkan penglihatan perifer tetap
normal. Fenomena ini dapat terjadi karena tidak adanya neuroretinal rim yang sehat
dan atrofi peripapilar. Tanda klinis lain yang khas pada ADOA adalah adanya buta
warna biru-kuning (tritanopia). Diskromatopsia non spesifik dapat ditemukan pada
kasus yang berat (Votruba et al, 2003). Pemeriksaan reflek pupil pada ADOA
memperlihatkan hasil yang normal, dimana hal ini menunjukkan bahwa pada
perjalanan penyakit ini, melanopsin sel ganglion retina tidak terkena (Lenaers et al,
2012).







Tabel 2. Manifestasi klinis ADOA dan variannya (Krieglstein, 2008)



Gambar 10. Perbandingan pemeriksaan funduskopi, OCT, lapang pandang, dan penglihatan
warna pada orang normal dan ADOA (Lenaers et al, 2012)


DIAGNOSIS BANDING
Autosomal Dominant Optic Atrophy sulit dibedakan dengan Lebers Hereditary Optic
Neuropathy (LHON) dan Normo Tension Glaucoma (NTG) karena memiliki
gambaran fundus yang sama khususnya pada stadium akhir. Anamnesis riwayat mata
kabur dan riwayat keluarga, serta pemeriksaan seperti visus, tes penglihatan warna,
diperlukan untuk menetapkan diagnosis yang akurat (Evely et al, 2011).
Manifestasi Lebers Hereditary Optic Neuropathy (LHON) sulit dibedakan
dengan ADOA. Prevalensi LHON ditemukan lebih kecil dari ADOA 3,22:100.000
dan dominan pada laki-laki. Etiopatogenesis LHON didasari oleh mutasi dari
mitokondria. Onset manifestasi klinis biasanya muncul pada usia 10-30 tahun, tidak
nyeri, penurunan tajam penglihatan terjadi akut atau subakut dan stabil dalam
beberapa bulan. Pemeriksaan funduskopi pada fase awal menunjukkan diskus optik
hiperemis dengan peripapil telangiektasis. Pemeriksaan funduskopi pada fase lanjut
menunjukkan diskus optik pucat menyeluruh. (Practising ophthalmology kurikulum
NO/Orbit, 2011).
Normo Tension Glaucoma adalah kelainan optik neuropati dengan gambaran
papil nevus II dan perubahan lapang pandang yang spesifik serta tekanan intraokuli
dalam batas normal. Atrofi optik glaukomatus berkaitan dengan hilangnya rim
neuroretina dan penggaungan dari area cup. Manifestasi yang terjadi adalah
peningkatan Cup and Disc Ratio (CDR) dan defek pada lapisan serat saraf retina
(RNFL). Normo Tension Glaucoma memiliki onset usia 60 tahun dan lebih banyak
terdapat pada perempuan. Penurunan tajam penglihatan dihasilkan oleh perluasan
defek perifer nasal ke daerah sentral (Evelyn et al, 2011; Chan, 2007).

DIAGNOSIS
Diagnosis dini dari ADOA sangatlah penting untuk dilakukan berkaitan dengan
penatalaksananya. Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, temuan klinis


dan hasil pemeriksaan penunjang pada seluruh kasus yang dicurigai. (American
Academy of Ophthalmology, 2012)

Anamnesis
Anamnesis menyeluruh mengenai perjalanan penyakit merupakan langkah awal yang
penting dalam menegakkan diagnosis ADOA. Wawancara pada pasien sebaiknya
disertai dengan keluarga agar waktu dimulai menurunnya penglihatan dapat diketahui
dengan lebih pasti. Riwayat keluhan yang sama pada keluarga pasien sangat penting
untuk ditelusuri, mengingat ADOA diturunkan secara dominan. Temuan pada
setidaknya satu orang yang sakit pada keluarga dua keturunan berturut-turut, atau
tranmisi maternal akan mendukung diagnosis ADOA. Perhatian khusus juga harus
diberikan pada gejala neuropati sensoris atau perifer. ADOA merupakan penyakit
mitokondrial yang kemungkinan dapat mengakibatkan pula gejala ekstra
oftalmologis. (Lenaers dkk, 2012)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik oftalmologi yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis antara
lain tajam penglihatan, penglihatan warna, funduskopi dan lapang pandang.
(American Academy of Ophthalmology, 2012; Lenaers dkk, 2012; Delettre-Criballet
dkk, 2007; Votruba dkk, 2003)
Gangguan fungsi saraf optik berhubungan dengan gangguan tajam
penglihatan. Gangguan penglihatan pada ADOA bersifat simetris, progresif dan
ireversibel, dengan tajam penglihatan bervariasi dari ringan hingga buta total.
Penggunaan snellen chart umumnya menunjukkan gejala sedang sekitar 6/10 hingga
2/10 atau 20/40 hingga 20/400 (Lenaers, 2012;Delettre-Cribaillet, 2007).
Penglihatan warna dapat dinilai dengan tes pseudo-isokromatis (misalnya tes
Ishihara), tes Farnsworth panel D-15, atau Farnsworth-Munsell 100 Hues. Penderita


ADOA akan memperlihatkan gangguan penglihatan warna tritanopia atau
dikromatopsia (Lenaers dkk, 2012).
Pemeriksaan lapang pandang merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mengetahui fungsi saraf optik. Perimetri mengukur secara kuantitatif nilai ambang
sensitivitas retina terhadap target yang statis, juga dapat membantu melokalisasi lesi
pada jalur penglihatan. Gangguan saraf optik pada ADOA khususnya akan
menyebabkan defek lapang pandangan sekosentral, sentral dan parasentral (American
Academy of Ophthalmology, 2012; Lenaers dkk 2012, Delettre-Criballet dkk, 2007;
Votruba dkk, 2003).
Pemeriksaan secara oftalmoskopis menggunakan oftalmoskop baik direk
maupun indirek diperlukan untuk visualisasi papil. Pemeriksaan yang perlu diamati
dengan cermat adalah warna, ukuran, bentuk, ada tidaknya penggaungan, batas papil
saraf optik, serta pembuluh darahnya (American Academy of Ophthalmology, 2012).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam menegakkan diagnosis ADOA
meliputi Ocular Coherence Tomography (OCT), Visual Evoked Potential (VEP),
Electroretinography (ERG), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan pemeriksaan
genetik molekuler.
Pemeriksaan Ocular Coherence Tomography (OCT) menunjukkan reduksi
dari ketebalan lapisan serat saraf retina peripapilar pada keempat kuadran.
Pemeriksaan VEP menunjukkan pola terlambat, bahkan absen. Penelitian yang
dilakukan Heiduschka dkk (2010) pada tikus dengan ADOA menemukan adanya
reduksi amplitudo VEP. Penurunan tersebut mengindikasikan adanya gangguan
konduksi, yaitu berkurangnya transmisi stimulus cahaya dari sel ganglion retina ke
kortek visual. (Votruba dkk, 2003; Delettre-Criballet dkk, 2007)
Pemeriksaan ERG bertujuan untuk melihat respon dari berbagai tipe sel di
retina, termasuk juga sel fotoreseptor dan sel retina dalam (sel bipolar dan amakrin).


(Heiduschka dkk, 2010) Pola dari ERG pada penderita ADOA menunjukkan rasio
abnormal dari rasio N95:P50, dengan reduksi amplitudo dari gelombang N95.
Gelombang tersebut spesifik terhadap sel ganglion retina, menunjukkan atrofi yang
terjadi berasal dari sel ganglion retina. (Votruba dkk, 2003; Delettre-Criballet dkk,
2007)
Pemeriksaan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat
mendukung diagnosis ADOA, dimana akan ditemukan reduksi dari komplek
selubung saraf optik, tanpa abnormalitas dari ruang serebrospinal. (Votruba dkk,
2003)
Diagnosis klinis dari ADOA akan memerlukan investigasi genetik.
Pemeriksaan genetik molekuler dapat dilakukan dengan cara mengambil sampel
darah dari pasien dan keluarganya sebanyak kurang lebih 5ml. DNA pada darah akan
diperiksa, kemudian analisis gen OPA 1 dilakukan pada sampel DNA dengan cara
mengamplifikasi dan memotong ketiga puluh satu ekson koding dan region
introniknya. Mutasi OPA 1 dan integritas protein dapat diperiksa secara in silico, dan
dengan memeriksa alel termutasi melalui RT-PCR. Mutasi yang tetap tidak
ditemukan memerlukan pemeriksaan Multiplex Ligation Probe Amplification untuk
melihat adakah gen yang terdelesi. Identifikasi dari gen yang termutasi pada pasien
yang belum menunjukkan gejala sangat membantu dalam merencanakan konseling
genetik. (Lenaers, 2012;Delettre-Cribaillet, 2007).
Kasus sindromik ADOA memerlukan perhatian khusus, dimana pasien yang
menunjukkan gejala ekstraoftalmologi harus diperiksa secara menyeluruh oleh tim
genetik, neurooftalmologis, neurologis, dan spesialis THT. Diagnosis dari gangguan
mitokondria multisistem seringkali memerlukan pemeriksaan rantai respirasi untuk
mengetahui tingkat keparahan defisiensi energi di tingkat mitokondria. Biopsi otot
rangka biasanya dilakukan untuk menganalisa aktifitas enzim kompleks respirasi
mitokondria. (Lenaers, 2012)



PENATALAKSANAAN
Terapi ADOA belum ditemukan sampai saat ini. Penanganan yang dapat diberikan
pada pasien ADOA adalah konseling genetik dan pemeriksaan genetik untuk
membantu perencanaan keluarga.Terapi low vision seperti memperbesar objek yang
dilihat pasien, menggunakan kaca pembesar untuk membaca, mendekatkan pasien
dengan objek dan memberikan pencahayaan lebih terang dapat diterapkan pada
penderita ADOA (AAO, 2012; Chan JW, 2007).

PROGNOSIS
Manifestasi ADOA didapatkan tajam penglihatan mencapai 20/200 dengan onset
perlahan-lahan dimulai pada usia 4-6 tahun. ADOA adalah penyakit dengan
progresivitas yang lambat. ADOA jarang menunjukkan visus yang lebih buruk dari
20/200 (American Academy of Ophthalmology, 2012; Chan JW, 2007).

RINGKASAN
Autosomal Dominant Optic Atrophy (ADOA) adalah salah satu kondisi neuro-
oftalmologi herediter yang paling umum terjadi. Gen yang mengkode membran
protein mitokondrial dalam yaitu OPA 1 bertanggung jawab terhadap terjadinya
ADOA. Mutasi OPA 1 mempengaruhi fusi mitokondria, metabolism energi,
mengontrol apoptosis, kliren kalsium dan mempertahankan stabilitas genom
mitokondria.
Penyakit ADOA memiliki karakteristik berupa penurunan tajam penglihatan
yang bersifat bilateral, defek lapangan pandang berupa skotoma sekosentral, sentral,
dan parasentral, serta buta warna biru-kuning atau tritanopia. Hilangnya tajam
penglihatan bervariasi dari ringan, sedang dan berat, walaupun kebanyakan penderita
mengalami derajat sedang. Beberapa penderita ADOA juga menunjukkan gejala
ekstraoftalmologi seperti tuli sensorineural, miopati, ataxia, dan lain-lain. Perjalanan
penyakit ADOA bersifat lambat, namun progresif seiring dengan meningkatnya usia.


Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis secara dini dan tepat akan sangat membantu
dalam menentukan penatalaksanaan pada pasien ADOA.
Autosomal Dominant Optic Atrophy (ADOA) mempunyai gambaran fundus
yang sulit dibedakan dengan LHON dan NTG. Pemeriksaan penunjang genetika dan
riwayat keluarga dapat membantu pembuatan diagnosis dari ADOA.
Terapi ADOA sampai saat ini belum ditemukan. Penanganan konseling
genetik dan terapi low vision diharapkan dapat membantu keluarga pasien.



















DAFTAR PUSTAKA
Alavi M, Bette S, Schimpf S, Schuettauf F, Schraermeyer U, Wehrl H, et al. A splice
site mutation in themurine Opa1 gene features pathology of autosomal
dominant optic atrophy. Brain. 2007; 130:1029-1042.
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. Cranial Nerve. In:
Fundamental and principles of ophthalmology. Basic and clinical science
course. Section 3. San Fransisco: AAO, p. 87-97
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. The Patient With Decreased
Vision. In Neuro-Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 4.
San Francisco: AAO, p. 139
American Academy of Ophthalmology. 2011-2013. Optic neuropathy. In Practicing
Opthalmologists Curiculum Neuro Opthalmology/Orbit. p. 46-52
Biousse V, Newman NJ. 2001. Hereditary Optic Neuropathies.Pediatric
Opthalmology. Vol: 14, No: 3, p. 547-568
Davies V, Hollins A, Piechota M, Yip W, Davies JR, White K., et al. Opa1
deficiency in a mouse model of autosomal dominant optic atrophy impairs
mitochondrial morphology, optic nerve structure and visual function. Human
Molecular Genetics. 2007; 16(11):13071318.
Delettre-Cribaillet C., Hamel C.P., Lenaers G., Optic Atrophy Type 1. NCBI
Bookshelf. 2007
Evelyn CO, Danesh-Meyer HV, George XY, Michael AC, et al. 2011. Optic Disc
Evaluation in Optic Neuropathies. The optic Disc Assessment Project.
American Journal of Ophthalmology. Vol: 118, p: 964-970


Fraser JA, Biosse V, Newman NJ. In Major Review, The Neuro-opthalmology of
Mitochondrial Disease. Survey of Opthalmology. Vol: 55, No: 4, p. 229-334
Heiduschka P, Schnichels S, Fuhrmann N, Hofmeister S, Schraermeyer U, Wissinger
B et al. Electrophysiological and Histologic Assessment of Retinal Ganglion
Cell Fate in a Mouse Model for OPA1- Associated Autosomal Dominant Optic
Atrophy. Investigative Ophthalmology & Visual Science. 2010;51(3):1424-31
Hudson G., Amati-Bonneau P., Blakely E., Stewart J., He L., Schaefer A. Mutation of
OPA1 causes Dominant Optic Atrophy with External Ophthalmoplegia, Ataxia,
Deafness and Multiple Mitochondrial DNA Deletions: a novel disorder of
mtDNA maintenance. Brain. 2008;131:329-337.
Johnston RL, Seller MJ, Behnam JT, et al.1999. Dominant Optic Atrophy. Refining
the Clinical Diagnostic Criteria in Light of Genetic Linkage Studies.
Opthalmology, Vol: 106, p. 123-128
Kanski J. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6
th
ed. 2007. London:
Elsevier. p.786-789
Krieglstein GK, Weinreb RN. 2008. Inherited Optic Neuropathies. In Pediatric
Opthalmology, Neuro-opthalmology, Genetics. Essentials in Opthalmology. p.
52-59
Lenaers G., Hamel C., Delettre C., Amati-Bonneau P.,Procaccio V., Bonneau D.,et al.
Dominant Optic Atrophy. Orphanet Journal of rare Disease. 2012;7:46.
Schiefer U, Wilhelm H, Hart W. 2007. Pediatric Neuro-opthalmology. In: Clinical
Neuro-opthalmology. A Practical Guide. San Francisco, p. 252
Shimizu S, Mori N, Kishi M, Sugata H, et al. 2002. A Novel Mutations of the OPA1
Gene in a Japanese Famlily with Optic Atrophy Type 1. Jpn J Opthalmol. Vol:
46, p: 336-340


Yen MY, Wang A, Lin Y, Fann M, et al. 2010. Novel Mutations of the OPA1 Gene
in Chinese Dominant Optic Atrophy. American Academy of Opthalmology.
vol: 117, p: 392-396
Votruba M., Thiselton D., Bhattacharya S.S.. Optic Disc Morphology of patients with
OPA1 Autosomal Dominant Optic Atrophy. Br J Ophthalmol. 2003;87:48-53.

You might also like