Professional Documents
Culture Documents
1“Basil Henry Liddell Hart (1895 - 1970) – Find A Grave Memorial” diakses dari
http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=gr&GRid=15460753 20 Oktober 2009 21:09
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 2
Indirect approach
Liddell Hart menganalisis Perang Dunia I untuk menemukan penyebab tingkat korban
yang tinggi dalam perang tersebut. Ia sampai pada sekumpulan prinsip yang dianggapnya
sebagai basis seluruh strategi yang baik, prinsip-prinsip yang, menurut Liddell Hart,
diabaikan oleh hampir seluruh komandan dalam Perang Dunia I. Ia mereduksi kumpulan
prinsip ini menjadi satu frase tunggal: indirect approach (pendekatan tak langsung); dan dua
pokok fundamental:
Serangan langsung terhadap musuh yang berada pada posisi dengan kuat hampir tidak
pernah berhasil dalam percobaan.
Untuk mengalahkan musuh, keseimbangan musuh harus terlebih dahulu dirusak. Hal
ini takkan tercapai dengan serangan utama, namun harus dilakukan sebelum serangan
utama dapat berhasil.
Menurut Alex Danchev (1999), indirect approach lebih berupa sikap pikiran daripada
panah di atas peta. “Dari masa ke masa, hasil efektif dalam perang jarang dicapai kecuali
pendekatan yang digunakan bersifat tak langsung untuk memastikan bahwa musuh tak siap
untuk menghadapinya. Ketaklangsungan biasanya bersifat fisik, dan selalu psikologis.”
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 3
“Dalam strategi, cara terpanjang dan berputar seringkali adalah cara terpendek;
suatu pendekatan langsung terhadap objek akan menghabiskan tenaga sang penyerang
dan memperkeras perlawanan dengan tekanan, sebaliknya suatu pendekatan tak langsung
akan melonggarkan kewaspadaan pihak bertahan dengan merusak keseimbangannya.”
“Kebenaran yang dalam dari perang adalah bahwa hasil peperangan ditentukan
dalam pikiran para komandan yang saling berperang, bukan dalam tubuh para prajurit
mereka.”
Hal ini berarti bahwa keberhasilan perang dicapai dengan membuat musuh ragu-ragu
tentang situasi dan tujuan kita, dan dengan melakukan hal yang tak disangka musuh dan oleh
karena itu tidak dipersiapkan musuh.
Danchev melanjutkan, dalam setiap konflik kecerdasan atau hasrat, garis perlawanan
terkecil adalah garis ekspektasi terkecil. Hal ini adalah basis indirect approach. Bagi Liddell
Hart, dua masalah utama harus dipecahkan: dislokasi dan eksploitasi. Perang bukanlah urusan
posisi, atrisi, dan kelelahan, melainkan analisis, kelumpuhan, dan pemeliharaan maksimal.
Liddell Hart mengumpamakan perang bukan ibarat penggilingan, melainkan gulat atau ju-
jitsu. “Dalam perang, usaha untuk melempar lawan tanpa melepaskan tumpuan tempat
berpijaknya dan merusak keseimbanyannya hanya menghasilkan kelelahan… Pendekatan tak
langsung paling efektif adalah menarik atau mengejutkan lawan dengan gerakan palsu,
sehingga, seperti dalam ju-jitsu, lawan jatuh karena gerakan sendiri.” 3
Liddell Hart mempreskripsikan bahwa musuh harus digusarkan sebelum dipatahkan
semangatnya. Strategi indirect approach “tidak mencari pertempuran sebagaimana mencari
situasi strategis yang menguntungkan sehingga apabila situasi tersebut tidak menghasilkan
kemenangan, kelanjutannya dalam pertempuran pasti akan mencapai kemenangan.” Liddell
Hart mengungkapkan teori kemenangan tanpa pertempuran, “Strategi memiliki tujuan
mereduksi pertempuran hingga proporsi paling kecil yang mungkin… Kesempurnaan strategi
2 Alex Danchev, “Liddell Hart and the Indirect Approach” dalam The Journal of Military History,
Vol. 63, No. 2 (Apr., 1999), h. 315
3 Alex Danchev, “Liddell Hart and the Indirect Approach ”, h. 315-316
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 4
adalah dengan menghasilkan kemenangan tanpa pertempuran serius.” Hal ini terkait argumen
tentang tujuan, cara, dan hasil, “Untuk apa kemenangan desisif dalam pertempuran apabila
kita terluka hingga mati sebagai hasilnya?” Pertanyaan ini diajukan dalam artikelnya pada
1924, “The Napoleonic Fallacy” dan Clausewitzian Fallacy, yang mengkritik perang absolut
yang mencari pertempuran desisif melawan kekuatan utama musuh. 4
Liddell Hart sampai pada kesimpulan setelah mempelajari para ahli strategi dalam
sejarah, terutama Sun Tzu, Napoleon, dan Belisarius, serta kemenangan mereka. Ia percaya
bahwa indirect approach membentuk unsur-unsur umum dalam karir tokoh-tokoh yang
dipelajarinya.
Pertahanan elastis
Liddell Hart menjelaskan bahwa strategi kaku yang selalu menggunakan serangan
langsung kuat atau posisi pertahanan yang tetap harus dihindari. Ia lebih menyukai
pertahanan elastis5 yang lebih fluid, di mana suatu kesatuan bergerak dapat bergerak
seperlunya untuk memenuhi kondisi yang diperlukan untuk indirect approach. Ia menyebut
kampanye Afrika Utara Erwin Rommel6 sebagai suatu contoh klasik teorinya.
Liddell Hart meletakkan aksioma bahwa dalam peperangan modern, pertahanan
memiliki keuntungan besar daripada serangan: tak ada serangan yang berhasil kecuali sang
penyerang berhasil melakukan kejutan atau memiliki jumlah yang lebih besar dari yang
diserang dengan rasio 3:1 dalam daya tembak. Menurut Liddell Hart,
Afrika Utara dari 10 Juni 1940 hingga 16 Mei 1943. Marsekal Darat Erwin Rommel memegang
komando Korps Afrika Jerman dalam Operasi Sonnenblume untuk mendukung Tentara
Kesepuluh Italia yang dihancurkan dalam Operasi Compass dan mencegah kekalahan sempurna
Axis.
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 5
Limited war
Teori limited war Liddell Hart terkait dengan teori indirect approach-nya. Ia percaya
bahwa harga luar biasa dari pertempuran atrisi massif adalah pengorbanan yang tak perlu dan
didasarkan atas prinsip yang tak waras. Menggunakan contoh kemenangan Hannibal di
Cannae dan kemenangan Moltke di Sedan, Liddell Hart menyatakan bahwa “ada… banyak
contoh negatif untuk membuktikan bahwa penaklukan kekuatan utama musuh tak sama
dengan kemenangan.” Ia juga mengungkapkan bahwa usaha-usaha untuk mencapai suatu
tujuan dapat dengan mudah membawa kepada perang dengan cara-cara tak terbatas, perang
“di mana sang pelaku tak mengetahui kapan harus berhenti. Hal ini mengimplikasikan bahwa
tujuan dapat dikejar tanpa memperhatikan apa yang terdapat di luar itu. Sang pelaku
mengizinkan insting berperang merampas kuasa akalnya.” Definisi strategi oleh Liddell Hart
menekankan kembali subordinasi jalannya perang di bawah tujuannya, dan ia menyimpulkan
bahwa prinsip strategi bukan untuk mencari kemenangan dalam pertempuran, di mana
kekuatan perlawanan musuh dapat menjadi yang terbesar, melainkan untuk menyerang titik-
titik yang dapat diserang di mana kekalahan akan menghancurkan kapasitas moral dan fisik
untuk melawan; strategi pelumpuhan melalui dislokasi, bukan penghancuran melalui atrisi.
Prinsip indirect approach dipercaya Liddell Hart dapat menghapuskan pertempuran dalam
pengertian tradisional. Untuk mengurangi tentara wajib militer, Liddell Hart mengusulkan
pembuatan tentara termekanisasi penuh yang terdiri dari seluruh persenjataan tempur namun
terorganisasi dengan konsentrasi besar unit-unit tank, sehingga tentara wajib militer dapat
digantikan dengan tentara profesional yang lebih kecil. Tujuan terakhir Liddell Hart adalah
revolusi teori dan praktik militer yang dirancang untuk memulihkan derajat rasionalitas
dalam perang dan melindungi peradaban. 9
Teknologi
Liddell Hart mengungkapkan bahwa teknologi memengaruhi serangan atau pertahanan.
Pemikiran ini menjadi cikal-bakal revolutions in military affairs (RMA). Ia berpendapat
bahwa stalemate (jalan buntu) terjadi karena tidak ada yang mau mengorbankan pasukan
besar dengan melintasi parit di medan peperangan. Dia melihat kehadiran tank mengubah
semua itu, tank mengubah offensive (serangan) menjadi unggul. (Namun, dalam hal ini
Liddell Hart tidak deterministik. Ia beranggapan teknologi harus terserap ke dalam way of
warfare atau teknologi tidak akan mengubah offensive-defensive secara signifikan.) Sehingga,
Liddell Hart menjadi pendukung utama penggunaan tank sebagai kekuatan serangan utama
untuk membuat penetrasi dalam ke teritori musuh, memotong tentara musuh dari perbekalan
dan komando tinggi. Rommel dan Guderian dari pihak Jerman mendapat pengaruh dari buku-
bukunya dan mengembangkan “Blitzkrieg”. 10
9 Robert H. Larson, “B. H. Liddell Hart: Apostle of Limited War” dalam Military Affairs, Vol. 44,
No. 2 (Apr., 1980), h. 70-74
10 “Basil Henry Liddell Hart (1895 - 1970) – Find A Grave Memorial”
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 7
Liddell Hart dalam peperangan mekanis di luar Inggris dan peran unggulnya sebagai kritik
dan sejarawan militer.11
11 James D. Atkinson, “Liddell Hart and Warfare of the Future” dalam Military Affairs, Vol. 29,
No. 4 (Winter, 1965-1966), h. 161
12 Brian Bond, “Liddell Hart and the German Generals” dalam Military Affairs, Vol. 41, No. 1
peperangan. 13 Senada dengan pemikiran Liddell Hart, Buzan dan Herring (1998)
mengungkapkan bahwa teknologi menegaskan banyak agenda keamanan militer dan suatu
pergolakan teknologi militer, yang disebut tentang revolusi teknologi militer, tengah terjadi. 14
Pengaruh pemikiran ini tampaknya akan bertahan lama, karena seluruh revolusi teknologi
militer adalah salah satu unsur terintegrasi dari revolusi yang lebih luas di bidang sains,
teknologi, dan kondisi manusia. Apapun kekuatan penggeraknya, proses kemajuan teknologi
tersebut memiliki momentum yang berakar kuat di masyarakat, dan hal tersebut memiliki
pengaruh yang amat besar dalam seluruh aspek masyarakat, termasuk militer. Buzan dan
Herring memberikan berbagai ilustrasi yang menggambarkan kedekatan teknologi sipil dan
militer, seperti metalurgi yang membangkitkan daya tembak juga menghasilkan mesin uap,
serta ilmu kimia yang memproduksi bahan peledak juga mengembangkan industri kimia
seperti pupuk dan obat farmasi. Kesamaan fungsi sektor militer dan sipil berarti banyak
teknologi sipil memiliki aplikasi militer, namun hanya sedikit teknologi militer yang
memiliki aplikasi sipil, sehingga ada argumen bahwa seluruh masyarakat sipil industrial
memiliki potensi militer laten. Namun, kemajuan teknologi menciptakan berbagai pilihan
teknologi, sehingga muncul berbagai cara independen dalam memenuhi tuntutan militer
spesifik. Hal ini memunculkan tekanan konstan atas formulasi strategi militer, sebagaimana
dunia memasuki fase teknologi informasi seperti diklaim Alvin dan Heidi Toffler. 15
Konflik psikopolitik
Menurut James D. Atkinson (1965), pada masa Perang Dingin, dunia mengalami
keadaan damai parsial yang tak menenagkan. Jenderal William J. Donovan, kepala Office of
Strategic Services pada masa perang, menggunakan istilah “peperangan tak konvensional”
untuk menggambarkan pola baru yang bukan berupa perang maupun damai, sementara
Atkinson mengembangkan istilah “peperangan polyreconic” untuk menggambarkan
fenomena metode-metode perang dalam konteks damai, tanpa pelanggaran tajam terhadap
garis antara keadaan formal perang dan damai. Menurut Atkinson, Perang Dingin dicirikan
dengan konflik psikopolitik yang ditandai dengan perusuh dan teroris di Venezuela,
gerilyawan di Kongo, serta demonstrator “damai” di London, Paris, Tokyo, atau Washington.
Hal ini telah tertuang dalam pemikiran Liddell Hart, yang menulis bahwa “pada manusia
terdapat sumber dan dorongan utama seluruh konflik” dan karena itu “tujuan kita dalam
perang hanya dapat dicapai melalui penaklukan kehendak yang berlawanan” (1925). Dalam
buku The Strategy Of Indirect Approach (1928) ia telah memprediksi peperangan psikologis
yang dilangsungkan di seluruh dunia oleh kaum Komunis untuk memutuskan kehendak
Amerika Serikat melawan di Vietnam. Ia menulis bahwa “dislokasi keseimbangan psikologis
dan fisik musuh menjadi vital mendahului usaha penggulingannya. Dislokasi ini dihasilkan
indirect approach strategis… dapat berupa berbagai bentuk… Dalam perang, hal utama yang
paling tak dapat dikalkulasi adalah kehendak manusia, yang bermanifestasi dalam
perlawanan, yang kemudian terletak pada pemeliharaan taktik. Strategi tidak harus mengatasi
perlawanan, kecuali dari sifat dasarnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi kemungkinan
perlawanan…” Menurut Profesor Charles A. Beard, abad kedua puluh menekankan fase
aktivitas “political man” (manusia politik), dilambangkan dengan konflik psikopolitik.
Peperangan telah menjadi pertempuran semangat, gagasan, dan kehendak manusia. Karena
hal ini, Atkinson menyimpulkan bahwa konsep indirect approach strategis dan konsep
menundukkan kehendak musuh Liddell Hart akan menjadi lebih bermakna seterusnya. 16
strategy sementara aktor yang lebih lemah menggunakan indirect strategy) aktor yang lebih
lemah memiliki kecenderungan menang yang semakin meningkat dari masa ke masa. 17
Offensive (serangan) vs defensive (pertahanan)
Teori pertahanan elastis Liddell Hart menganjurkan untuk mengambil strategi pertahanan
elastis atau deep defence dalam setiap peperangan, tanpa pertimbangan lebih lanjut tentang
karakter perang yang diinginkan dan perlindungan terhadap teritori. Padahal, menurut
Wilhelm Agrell, offensive (serangan) versus defensive (pertahanan) bukan hanya perbedaan
mengenai performa sistem teknis, melainkan dua bentuk aktivitas militer yang berbeda.
Perbedaan tersebut dapat diaplikasikan ke dalam berbagai level organisasional, perspektif
waktu, dan campuran yang berbeda. Terdapat berbagai strategi dengan berbagai campuran
offensive dan defensive sebagaimana elemen aktif dan reaktif, sebagaimana dirumuskan
dalam tabel berikut.18
17 Ivan Arreguin-Toft, “How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict” dalam
International Security, Vol. 26, No. 1 (Summer, 2001), h. 93-128
18 Wilhelm Agrell, “Offensive versus Defensive: Military Strategy and Alternative Defence ” dalam
Argumen utama Agrell dalam artikelnya tersebut adalah bahwa debat offensive versus
defensive seharusnya bukanlah debat “pro” dan “kontra” tanpa menghiraukan pertanyaan
analisis fundamental yang terkait dengan sifat premis-premis bagi implementasi alternatif-
alternatif kebijakan pertahanan berdasarkan teknologi spesifik dengan efek-efek politik dan
strategis yang diharapkan. Perbedaan antara offensive dan defensive dalam perspektif historis
jauh lebih kompleks daripada perdebatan terdahulu.19 Maka, pemilihan antara offensive dan
defensive harus didasarkan pada pertimbangan level organisasional dan perspektif waktu,
serta karakteristik yang diharapkan dan perlindungan terhadap teritori sendiri.
Limited war
Dalam kasus-kasus perang yang terjadi sekarang, limited war lebih relevan. Pertama,
sebagaimana kepercayaan Liddell Hart, “pedang tipis dan tajam” tidak hanya kurang
destruktif daripada “gada”, namun juga adalah senjata militer yang superior. Kerusakan dua
Perang Dunia dan kemungkinan bencana pada perang ketiga menjadikan hal ini pesan yang
tidak dapat dihiraukan. Nuklir sebagai absolute weapon (senjata absolut), yang dapat
menghancurkan center of gravity musuh dalam satu serangan, menjadi satu-satunya senjata
yang terus-menerus dikembangkan pada masa Perang Dingin dan tetap ada hingga sekarang
(walaupun telah mengalami pembatasan jumlah dan reduksi) namun hanya digunakan sekali
dalam sejarah, yaitu pada serangan Amerika Serikat terhadap Hiroshima dan Nagasaki.
Kritik lain terhadap perang atrisi adalah bahwa seorang komandan memberi perintah
detail terhadap bawahannya, memberitahukan secara persis apa yang ia ingin mereka lakukan
dan para bawahannya melakukannya. Apabila diperintah untuk melakukannya, satu unit
19Wilhelm Agrell, “Offensive versus Defensive: Military Strategy and Alternative Defence”, h. 75-
85
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 12
prajurit akan maju kepada musuh berulang kali, menderita banyak korban, karena perintah.
Hal ini terjadi dalam Operasi Desert Storm dalam Perang Irak, ketika Angkatan Laut AS
memenetrasi perbatasan Irak dan bergerak ke Kuwait City. Untuk kebanyakan bagian, mereka
mengabaikan unit prajurit Irak dan memenetrasi di berbagai area berbeda. Para prajurit Irak
langsung menyadari bahwa terdapat Angkatan Laut di depan dan belakang mereka, merasa
terkepung dan tanpa pertolongan, terutama setelah beberapa minggu bombardir, dan dengan
cepat menyerah. Unit-unit Irak di belakang mendadak berhadapan dengan kekuatan musuh
yang tidak diharapkannya dan merasa terkejut. Angkatan Laut AS melewati sayap Irak
dengan misi memotong Kuwait dan menghancurkan Garda Republik. Namun, karena
koordinasi yang gagal, mereka tidak bergerak cukup cepat. Satu unit melihat Garda Republik
kabur dan memiliki peluang untuk menghancurkannya, namun mereka tidak melakukannya
karena mereka tidak diperintahkan untuk maju, sehingga Garda Republik dapat melarikan
diri. 20
Perang Vietnam: kekalahan teknologi
Perang Vietnam (1957-1973) menjadi satu panggung disvalidasi teori Liddell Hart
tentang keunggulan teknologi dalam peperangan. Perang yang secara de facto terjadi antara
Amerika Serikat dan Vietnam Utara ini menjadikan Amerika Serikat, yang memiliki
keunggulan teknologi militer atas Vietnam Utara, menjadi pecundang. Persenjataan dan
strategi yang dimiliki Amerika Serikat berada pada fase yang disebut oleh Alvin dan Heidi
Toffler sebagai fase industrial, sementara Vietnam Utara pada fase agrikultural. Tentara
Amerika Serikat menggunakan berbagai jenis senjata sampai dengan yang paling mutakhir.
Namun, mereka mengadopsi strategi yang salah. Interaksi strategis antara kedua pihak yang
berperang menunjukkan keterbatasan teknologi sebagai kekuatan material relatif di hadapan
gerilyawan Viet Cong. Hal ini sebagaimana diingatkan Buzan dan Herring, bahwa senjata dan
strategi fase informasi belum tentu lebih unggul daripada fase industrial. 21