You are on page 1of 4

Produksi social teks dan konsep estetika dalam sastra kita

Hal yang cukup mempengaruhi kreativitas para pengarang kita akhir-akhir ini yang
juga bermuara kepada estetika karya adalah “gangguan” apa yang dapat kita sebut
sebagai aspek produksi sosial teks. Satu di antara yang berhubungan dan
mempengaruhi pengarang kita hari ini adalah soal peran industri media cetak dan
penerbitan. Dunia popularitas dan pencitraan yang muncul sebagai efek samping dari
dunia industri media cetak dan penerbitan akhir-akhir ini lebih menyebabkan
munculnya kebudayaan massa yang tak terelakkan.

Melalui industri media cetak dan penerbitan, lahirlah pengarang-pengarang, sejumlah


pengarang, bahkan pengarang muda belia dengan berbagai karya sastra yang
memperlihatkan ciri estetika tersendiri. Hal ini sesungguhnya dapat dipahami dan tak
mungkin dilepaskan dari kondisi produksi sosial teksnya. Koran dan media cetak
lainnya diterbitkan di mana-mana oleh siapa saja. Sesiapa pun dengan mudah dapat
memublikasikan hasil karyanya dengan cara apa saja. Pengarang yang memiliki
kapital bisa memodali penerbitan karyanya sendiri, tentu setelah melalui kalkulasi
perhitungan bisnis.

Karya-karya semacam ini tampak lebih “laris-manis” di pasaran daripada karya-karya


cerpen atau novel yang dihasilkan oleh para pengarang dan cerpenis mapan.
Penampilan fisik para cerpenis dan penulis novel yang disebutkan terakhir ini tidak
begitu berbeda dengan para selebritis pada tataran “gaya hidup”, tampilan mereka
bahkan berciri metroseksual. Mereka tidak (belum?) tampak sebagai sosok intelektual
sebagaimana layaknya para pemikir kebudayaan yang kita kenal sebelumnya.
Kebudayaan massa yang tumbuh dan berkembang drastis ini sekaligus menyebabkan
pengkajian terhadap akar tradisi budaya dan juga pengkajian silang antarbudaya yang
sungguh-sungguh dari para sastrawan dan cerpenis kita belum tergarap secara
maksimal sebagaimana tampak pada hasil-hasil karya mereka. Menurut Budi Darma
di sinilah letak persoalan sesungguhnya.

Budi Darma berpendapat bahwa pengarang kita tidak seharusnya mengangkat unsur-
unsur kebudayaan dan persoalan manusia dan kemanusiaan secara harafiah. Kerja
para pengarang bukanlah kerja inventarisasi, tetapi menangkap dan mengangkat
kelebat jiwa dan semangat unsur-unsur tersebut. Oleh sebab itu, Budi Darma
berkesimpulan bahwa terlepas dari mutu karya sastrawan, termasuk cerpenis kita yang
bagus, seharusnya masih diragukan apakah sastrawan dan cerpenis tersebut telah
benar-benar menampilkan hasil galian yang sebenarnya.

Fenomena Baru

Munculnya fenomena baru di dalam proses penciptaan, penerbitan, dan pemublikasian


karya sastra Indonesia memunculkan pertanyaan lainnya, yaitu apakah masih penting
dan relevan membicarakan aspek estetika karya secara dikotomi. Bagaimana
menjelaskan fenomena tentang seorang siswa SMP, dengan uang tabungannya
menerbitkan karya yang mereka tulis yang mereka sebut sebagai novel atau cerpen,
dan kemudian karya mereka itu terbukti laris, laku, disukai, dan digemari oleh
pembaca (seusia) nya. Mereka menulis apa yang mereka namakan cerpen dan novel
itu menurut ukuran mereka sendiri.

Mereka tidak peduli dengan berbagai pakem dan aturan tentang apa yang kita sebut
cerpen dan novel sebelumnya. Apa yang mereka anggap menarik untuk ditulis
mereka tulis dan apa yang mereka anggap tidak perlu ditulis mereka tinggalkan.
Mereka begitu menikmatinya di dalam menghasilkan karya, menerbitkannya, hingga
menikmati efek samping yang mereka perloleh dari kesemuanya itu, yaitu popularitas
dan dunia pencitraan. Juga bagaimana sebaiknya kita harus menjelaskan fenomena
“meledaknya” novel Laskar Pelangi dan novel Ayat-Ayat Cinta di dalam kancah
penerbitan kita hari ini.

Apalagi setelah novel-novel ini difilmkan dan ditonton oleh begitu banyak orang,
bahkan oleh para pemimpin negara. Ketika para pembesar negeri ini menonton film-
film itu, media massa memublikasikannya secara fantastis. Apakah dapat dijelaskan
melalui suatu kajian teoretis bahwa kedua novel ini keunggulan estetikanya memang
melebihi novel Keluarga Gerilya, novel Mereka yang Dilumpuhkan karya Pramudya
Ananta Toer dan novel Olenka karya Budi Darma?
Situasi budaya massa ini tampaknya ikut mempengaruhi sebagian besar sastrawan kita
di dalam upaya menerbitkan karya-karya mereka. Hubungan antara sastrawan dan
penerbit tidak sekadar urusan benefit, tetapi mungkin lebih pada aspek profit. Penerbit
punya kekuatan untuk mengatur apa yang mungkin disebut sastra, baik persoalan jenis
karya maupun dalam hal tematik dan stilistik.

Suatu ciptaan sastra, mampu muncul dan bertahan atau sebaliknya tidak mampu
bertahan di tengah-tengah masyarakatnya, dalam beberapa hal memang disebabkan
oleh karya itu sendiri. Maksudnya, meskipun karya itu diciptakan, disadur, atau
disalin kembali oleh pengarang atau penulis, tetap saja pengarang atau penulis
menjadi tidak mutlak. Dalam kerangka alur pikiran ini, pengarang atau penulis hanya
berperan sebagai “bidan” dan bukan “ibu” bagi ciptaan sastra.

Ciptaan sastra itu merupakan “anak kandung” dari segenap lingkungan sosial yang
menjadi “ibu kandung” nya. Oleh sebab itu, jika suatu ciptaan sastra mampu muncul
dan bertahan di tengah-tengah publiknya, mungkin ia berutang kepada kenyataan
sosial yang melingkupinya, misalnya antara lain, keberadaan bahasa dan simbol-
simbol yang telah ada sebelumnya, invensi, atau penemuan alat tulis (mesin tik,
komputer, komputer note book), percetakan dan penerbitan, media-massa, orientasi
nilai budaya masyarakat, dan kondisi sosial politik.

Umar Junus menguatkan kenyataan ini dengan mengatakan bahwa sebuah karya seni,
sastra misalnya, tercipta dan diciptakan bukan sekadar dilandasi faktor estetika
semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek lainnya itu adalah
seperangkat kenyataan sosial di sekeliling pengarang, penulis, penyalin, atau
penyadur. Perangkat sosial itu misalnya yang berhubungan dengan (a) seks, (b)
pekerjaan, (c) pendidikan, (d) tempat tinggal, (e) agama, (f) nilai dan sikap hidup
masyarakat, (g) kompetensi dan kesanggupan bahasa dan sastra masyarakat, dan (h)
pengalaman analisisnya yang memungkinkannya mempertanyakan suatu nilai yang
tak dapat lagi diterimanya.

Dengan kenyataan ini, maka dapatlah dipahami bahwa sesungguhnya proses produksi
suatu cipta karya seni (cerpen, novel, puisi, teks drama) dapat ditentukan dan
dikontrol baik muatan estetiknya bahkan jumlah produksinya, sedemikian rupanya,
oleh apa yang kita disebut sebagai galeri, media-massa, koran, majalah, penerbit,
komunitas, fans club, paket wisata, dan semacamnya.

Sekadar bahan diskusi, bagaimana seharusnya kita menyikapi apa yang ditulis Andre
Hirata di dalam tetralogi Laskar pelangi-nya itu? Maksudnya, sudahkah kita pastikan
secara estetika apakah yang ditulis oleh Andre Hirata itu novel (fiksi), memoar,
autobiografi, atau apa namanya? Jika novel sebagaimana yang dinyatakan oleh
banyak pihak dan oleh penulisnya sendiri, mengapa di dunia nyata muncul sosok
sungguhan ibu guru Muslimah dan tokoh-tokoh lainnya.

Bahkan karena begitu “kacaunya” kita memaknai kondisi produksi sosial teks itu,
pemerintah secara resmi memberikan penghargaan kepada Ibu Muslimah sebagai guru
yang pantas diteladani hanya karena ia dilukiskan sebagai guru yang inspiratif di
dalam cerita yang disebut novel oleh salah seorang bekas muridnya. Beribu bahkan
puluhan ribu guru kongkret lainnya yang sungguh-sungguh mengabdi kepada dunia
pendidikan pada wilayah yang bahkan lebih terpencil dibandingkan Pulau Belitung
tetapi tidak ada bekas muridnya yang menuliskannya di dalam cerita mendadak
terkesima.

Guru yang baik, yang pantas diberikan satyalencana oleh kepala negara ternyata
indikatornya tidak lagi jelas. Pencitraan oleh media massa yang kemudian diakui
bersama ternyata dapat juga dijadikan indikator oleh pemerintah. Dunia fiksi dan
persepsi pada kasus ini ternyata berjalan sejajar dengan dunia nyata dan objektif
faktual. Kalau sudah begini masih pentingkah membicarakan estetika sastra secara
dikotomi?*

Padang Ekspres, Minggu, 25 Januari 2009

You might also like