You are on page 1of 7

BAB II

METODE

Metode yang digunakan dalam jurnal adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
Langkah awal yang dikerjakan yaitu melakukan scanning (panjang gelombang) maksimum
PGV-1 dengan kadar 10 g/ml dilihat pada 350-450 nm. Setelah itu dilakukan uji kesesuaian
sistem meliputi penentuan waktu retensi, luas area puncak, tinggi puncak, capacity factor,
tailling factor, number of theoritical plates, resolution dan dihitung rata-rata dan simpangan
baku relatif masing-masing parameter. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu preparasi sampel
dengan cara larutan PGV-1 dalam fase gerak dengan konsentrasi 100 g/ml diambil 20 l,
dimasukkan dalam 200 l darah sehingga diperoleh kadar 10 g/ml PGV-1 dalam darah,
divortex selama 30 detik, kemudian ditambah 600 l asetonitril, dan divortex kembali selama 1
menit. Campuran yang diperoleh disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 4C selama
10 menit kemudian ambil supernatan. Supernatan diinjeksikan dalam sistem KCKT sebanyak 80
l kemudian di-running pada maksimum selama 10 menit, dilakukan lima replikasi.
Selanjutnya dilakukan penentuan selektivitas dengan membandingkan kromatogram
PGV-1 dalam darah (spike) dan blanko. Penentuan LOD dan LOQ dilakukan dengan cara
membuat larutan PGV-1 dalam darah kadar 10, 20, 40, 80, dan 100 ng/ml. Supernatan didapat
dengan cara kerja sesuai dengan poin b dan diinjeksikan 80 l ke sistem KCKT. Selanjutnya
dibuat regresi linear hubungan antara luas area kromatogram terhadap kadar PGV-1. LOD dan
LOQ dihitung secara statistik melalui garis regresi linier.

Penentuan linearitas dilakukan dengan membuat larutan PGV-1 dalam darah kadar 0,1;
0,2; 0,4; 0,8; 5; 10; 20; 40; 80; dan 100 g/ml. Supernatan diperoleh dengan cara kerja b dan 80
l diinjeksikan ke sistem KCKT kemudian dibuat kurva persamaan garis lurus antara kadar
PGV-1 terhadap luas area kromatogram dan dihitung nilai koefisien korelasinya. Koefisien
korelasi dapat diteria jika nilainya lebih besar atau sama dengan 0,999.

Penentuan nilai perolehan kembali (recovery) dan kesalahan acak yaitu membuat larutan
PGV-1 dalam darah kadar 20, 50, 80 ng/ml. Lakukan cara kerja b untuk mendapatkan supernatan
kemudian diinjeksikan 80 l dalam sistem KCKT. Kadar PGV-1 masing-masing dihitung dengan
menggunakan persamaan kurva baku PGV-1 dalam darah kemudian dihitung kadar rata-ratanya,
nilai recovery (perolehan kembali), dan kesalahan acak.

Uji stabilitas PGV-1 dalam darah dilakukan dengan cara membuat larutan PGV-1 360
g/ml dengan mengencerkan 360 l larutan stok (larutan stok 1 mg/ml) dengan 640 l fase
gerak. Darah tanpa perlakuan diambil sebanyak 1,8 ml kemudian tambahkan sebanyak 100 l
larutan PGV-1 kadar 360 g/ml sehingga diperoleh 20 g/ml PGV-1 dalam darah lalu divorteks
selama 30 detik dan diamkan pada suhu kamar. Ambil 200 l campuran darah dan larutan PGV-
1 pada jam ke-0, 1, dan 2, masing-masing 3 tabung. Supernatan diperoleh sesuai cara kerja poin
b dan diinjeksikan ke KCKT sebanyak 80 l. Kadar PGV-1 dihitung menggunakan persamaan
kurva baku dalam darah dan dianalisis persentase obat yang terdegradasi.

Uji stabilitas PGV-1 dalam asetonitril dilakukan dalam suhu kamar (25-300C) dan pada
suhu penyimpanan (50C). Dari larutan stok 1 mg/ml PGV- 1 diencerkan dengan asetonitril
hingga diperoleh kadar 20 g/ml kemudian disimpan sampai waktu pengujian. Pengujian
dilakukan pada jam ke-0, 1, 2, 3 untuk penyimpanan pada suhu kamar, serta pada hari ke- 0, 1, 2,
3 untuk penyimpanan pada suhu 50C . Pengujian dilakukan dengan menginjeksikan 80 l larutan
dalam sistem KCKT dan masingmasing dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. Kadar PGV-1
diperoleh denganmenggunakan persamaan kurva baku PGV-1 dalam asetonitril dan dihitung
persentase obat yang terdegradasi.

Penetapan kadar PGV-1 dalam darah dilakukan pada tikus putih jantan Wistar yang
diberi PGV-1 secara intravena dengan dosis 20 mg/kgBB selanjutnya darah di sampling melalui
vena lateralis ekor tikus pada menit ke-2, 5, 10, 15, 20, 30, 60, 120, 240, dan 360. Darah
ditampung dalam microtube yang berisi heparin. Sampel 200 l ditambah asetonitril 620 l lalu
divortex selama 1 menit. Campuran tersebut kemudian disentrifuge selama 10 menit dengan
kecepatan 3000 rpm pada suhu 4C. Supernatan diambil kemudian disuntikkan ke dalam sistem
KCKT 80 l.

BAB III
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Penentuan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ)
Limit of detection (LOD) dan Limit of quantification (LOQ) merupakan parameter
sensitivitas suatu metode. Semakin kecil nilai LOD dan LOQ menunjukkan semakin sensitifnya
suatu metode. LOD dan LOQ mutlak ditentukan jika analit yang dianalisis konsentrasinya relatif
kecil seperti dalam matrik biologis (Indrayanto, 1994). Batas deteksi didefinisikan sebagai
konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu
dapat dikuantifikasi. LOD merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit di
atas atau di bawah nilai tertentu. Sebagai contoh, batas deteksi merupakan banyaknya sampel
yang menunjukkan respon (S) 3 kali terhadap derau (N) atau LOD = 3 S/N. Sebagaimana LOD,
LOQ juga diekspresikan sebagai konsentrasi (dengan akurasi dan presisi juga dilaporkan).
Kadang-kadang rasio signal to noise 10: 1 digunakan untuk menentukan LOQ. Perhitungan LOQ
dengan rasio signal to noise 10: 1 merupakan aturan umum, meskipun demikian perlu diingat
bahwa LOQ merupakan suatu kompromi antara konsentrasi dengan presisi dan akurasi yang
dipersyaratkan. Jadi, jika konsentrasi LOQ menurun maka presisi juga menurun. Jika presisi
tinggi dipersyaratkan, maka konsentrasi LOQ yang lebih tinggi harus dilaporkan.

Pada penelitian ini LOD ditunjukkan dengan kadar PGV-1 terkecil yang dapat dideteksi
dalam sampel dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko dengan
nilai S/N = 3. Sedangkan nilai LOQ yaitu kadar PGV-1 terendah yang masih dapat memenuhi
persyaratan cermat dan seksama dan ditandai dengan nilai S/N = 10. Nilai LOD dan LOQ
dianalisis secara statistik melalui garis regresi linier kurva baku PGV-1. Sensitivitas metode ini
terlihat dari perolehan nilai LOD = 4,93 ng/ml dan LOQ = 16,42 ng/mg.



Menentukan linieritas
Uji linieritas dilakukan untuk melihat kemampuan metode analisis dalam memberikan
respon yang baik pada berbagai macam konsentrasi analit pada suatu kurva kalibrasi untuk
menghasilkan garis lurus. Parameter adanya hubungan linier dinyatakan dengan koefisien
korelasi, dan suatu metode analisi yang valid mempunyai harga koefisien korelasi lebih dari
0,999 (Snyder et al., 1997). Data konsentrasi PGV-1 dan luas area kromatogramnya dapat dilihat
pada tabel 2.

Dari plot antara kadar PGV-1 (x) dengan luas puncak (y) diperoleh persamaan regresi
linier y = 1,119x - 0,054 (gambar 3) dan koefisien korelasi (rhitung) = 0,9999. Nilai rhitung yang
sudah mencapai 0,999 menandakan bahwa metode analisis yang digunakan sudah memenuhi
kriteria linieritas. Selain itu, dapat digunakan sebagai parameter linieritas tanpa harus disertai
pembuktian linieritas dengan parameter yang lain misalnya Vxo, Xp, Berdasarkan nilai rhitung
yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa metode analisis yang digunakan memenuhi syarat
linieritas.



Penentuan akurasi dan presisi metode
Akurasi adalah seberapa tepat alat mengukur apa yang seharusnya diukur. akurasi
dihitung berdasarakan perbandingan dengan nilai lain yang dianggap benar. akurasi disebut juga
RMSE (root mean square error). untuk koordinat, akurasi dinyatakan sebagai berikut :

Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (%recovery) analit. Menurut
Lindholm dalam pengukuran persen recovery untuk bioanalisis, nilai rata-rata persen recovery
yang diperbolehkan adalah 85 115 %.
Presisi adalah ukuran seberapa jauh suatu alat akan memberikan hasil yang konsisten.
tingkat presisi diukur oleh koefisien kesalahan standar (coefficient standard error).

Semakin kecil koefisien standard error, semakin tinggi presisi dari sampel itu. Presisi
diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi) dan dapat
dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Penelitian ini
hanya menetapkan keterulangan saja sebagai parameter presisinya. Untuk bioanalisis syarat nilai
koefisien variasi (CV) yang diijinkan maksimal 15%.
Hasil perhitungan dalam penelitian ini menunjukkna bahwa nilai uji akurasi memiliki
nilai perolehan kembali (recovery) diantara 85% sampai 115%. Sementara itu nilai presisi yang
dihasilkan memberikan nilai koefisien variasi kurang dari 15% yaitu 9,96%, 11,20%, dan 4,37%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pengukuran PVG-1 ini telah memenuhi syarat
akurasi dan presisi.



Daftar Pustaka

Indrayanto, G. 1994. Metoda validasi pada analisis dengan kromatografi. Medika-Jurnal
Kedokteran & Farmasi. 20(2): 49-51
Snyder, L.R., J.J. Kirkland, and J.L. Glajch. 1997. Practical HPLC Method
Development. 2
nd
Edition. New York: John Willey & Sons, Inc. p. 119-144, 643-728, 736

You might also like