You are on page 1of 13

Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin

Ismail bin
Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asyari Abdullah bin Qais bin
Hadhar. Abu Musa Al-Asyari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam yang masyhur.
Beliau -Abul Hasan Al-Asyari- Rahimahullah dilahirkan pada tahun 260 H di Bashrah, Irak.
Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman
pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qanaah dan kezuhudannya.
Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam
kelompok Mutazilah.
Ketika beliau keluar dari pemikiran Mutazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad
dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau
belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Yaqub al-Muqri,
Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ulama thabaqah mereka
Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al-
Marwazi, Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad
al-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shuluki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-
Syairazi, dan yang lainnya.
Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin,
Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma fi Raddi ala Ahlil Bida, al-Mujaz, al-Umad fi Ruyah, Fushul fi
Raddi alal Mulhidin, Khalqul Amal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash wal Am,
Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu
alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami fi Raddi alal Khalidi,
Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail
Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful
Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Quran al-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, al-Imam Abul Hasan al-Asyari memiliki 55 tulisan.
Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al-Asyari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoinya
dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
**http://fatwasyafii.wordpress.com/2010/05/21/biografi-al-imam-abul-hasan-al-asyari-260-
324-h/
Orang yang pertama tama mendirikan atau menyusun ilmu tauhid ialah Abu Hasan Al-Asyari
dan Abu Manshur al-Maturidi dan pengikut pengikut mereka. Tentu kita jangan hanya
mengetahui nama nama mereka sebagai pendiri pendiri ilmu Tauhid tapi sekurang kurangnya
harus mengetahui siapa mereka itu? Di bawah ini terlampir ringkasan sejarah mereka:
1- ABU AL-HASAN AL-ASYARI
Nama lengkapnya Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq al-Asyari al-Yamani al-Bashri.
Al-Asyari kabilah yang berasal dari Yaman, tapi beliau lahir dan besar di Bashrah Iraq.
Abu al-Hasan Al-Asyari lahir di Basra tahun 260 H, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad
sampai beliau wafat tahun 324H. Beliau adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asyari.
Sebelum mendirikan faham Asyari, beliau sempat berguru pada seorang Mutazilah terkenal,
yaitu Abi Ali al-Jubbai, namun pada tahun 299 H dia mengumumkan keluar dari faham
Mutazilah, dan mendirikan faham baru yaitu faham atau thariqah Ahli Sunnah Wal Jamaah
yang kemudian dikenal sebagai thariqah Asyariah. Banyak tokoh pemikir islam yang
mendukung pemikiran-pemikiran beliau, salah satunya yang terkenal adalah Imam besar Al-
Ghazali, terutama di bidang ilmu Kalam, Tauhid dan Ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya, tetapi banyak masyarakat muslim
yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti dan mendukung pendapat dan
faham beliau dinamakan pengikut Asyariyyah, bahkan tidak sedikit nama nama mereka
dinisbatkan kepada nama imamnya (Al-Asyari). Diantaranya pengarang kitab ini AlAqaid Ad-
Diniyyah, Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf sangat menyenangi jika namanya dinisbatkan
kepada nama Abu Hasan Al-Asyari
Di Asia mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti faham imam Abu Hasan Al-
Asyari, yang diserasikan dengan faham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu
Manshur Al-Maturidi terutama pelajaran yang menyangkut pengenalan sifat-sifat Allah yang
terkenal dengan nama sifat 20. Pelajaran ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren di
seluruh Indoneisa, dan di sekolah-sekolah formal pada umumnya seperti Jamiat Khair (dahulu)
yang dipelopori oleh Habib Utsman bin Yahya dan Habib Ali Al-Habsyi
http://hasanassaggaf.wordpress.com/2010/05/31/pendiri-ilmu-tauhid/
**Manfaat, Tujuan, dan Sumber ilmu Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh Seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus
dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajiban sebagai hamba
Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam hal pelaksanaan ibadat, tingkah
laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari.
Maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja tetapi lebih jauh dari itu,
sebab tauhid mengandung sifat-sifat :
1. Sebagai sumber dan motifator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
2. Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan
ibadah dengan penuh keikhlasan.
3. Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan kegoncangan hidup yang dapat
menyesatkan.
4. Mengantarkan manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.
**Nama lain dari Ilmu Tauhid
A. Ilmu Kalam
Disebut Ilmu Kalam karena :
1. Pembicaraan pokok yang dipersoalkan pada permulaan Islam adalah firman (kalam) Allah
yaitu Al-Quran, apakah ia makhluk diciptakan (non azali) atau tidak diciptakan (azali).
2. Dasar pembicaraan Ilmu Kalam adalah dalil-dalil akal pikiran sehingga kelihatan mereka ahli
bicara. Dalil naqli baru digunakan sesudah ditetapkan kebenaran persoalan dari segi akal
pikiran.
3. Pembuktian kepercayaan agama sangat mirip dengan falsafah logika, maka untuk
membedakannya disebut dengan Ilmu Kalam.
B. Usuhuluddin
Disebut Ilmu Ushuluddin (ilmu aqaid) karena pokok pembicaraannya adalah dasar-dasar
kepercayaan agama yang menjadi pondasi agama Islam.
Ilmu Kalam menjadi ilmu yang berdiri sendiri, mulai masa pemerintahan Daulah Abbasyiah
(Khalifah Al-Makmun) ketika Mazhab Mutazilah menjadi Mazhab negara. Mazhab ini telah
mempelajari filsafat dan memadukan metodanya dengan metoda Ilmu Kalam. Sebelumnya ilmu
yang membicarakan kepercayaan masih disebut dengan al-fiqhu fi ad-din, sebagai imbangan
ilmu fiqh yang dinamakan dengan al-fiqhu al-ilmi. Imam Hanafi sendiri menamakan bukunya
tentang kepercayaan itu dengan al-fiqhu al-akbar.
Pemakaian theologi Islam untuk Ilmu Kalam masih dapat dibenarkan karena pengertiannya
tidak berbeda, sebab Ilmu Kalam membicarakan Wujud Tuhan, Sifat-Sifat Wajib, Sifat Jaiz
(boleh) dan Sifat Mustahil pada Tuhan. Membicarakan Wujud Rasul, dengan Sifat-Sifatnya baik
Wajib, Jaiz dan Mustahil pada mereka.
Juga dibicarakan tujuan ke-utus-an mereka, pertanggungan jawab manusia di akhirat, balasan
dan siksaan, semua itu bisa dicapai dengan dalil pikiran yang yakin dan intuitif. Di samping itu
juga Ilmu Kalam memberi alasan akan kebenaran kepercayaan tersebut serta membantah
orang yang mengingkarinya dan yang menyeleweng daripadanya.
Jadi pengertian Theologi Islam dan Ilmu Kalam memiliki kesesuaian makna. Adanya
kepercayaan kepada Tuhan dan segala sesuatu yang bertalian dengannya, hubungan Tuhan
dengan alam semesta dan manusia, disamping kepercayaan kepada soal-soal gaib lainnya yang
kadang-kadang akal manusia itu tidak mampu lagi menjangkaunya.
C. Aqidah
Secara bahasa:
Diambil dari kata dasar al-aqdu yaitu ikatan
Secara istilah syari:
Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang
meyakininya.
http://maariffuadi.blogspot.com/2013/06/pengertian-nama-dan-manfaat-ilmu-tauhid_12.html
**


Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asyari,*3+
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asyariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asyariyah.

Abul Hasan Al-Asyaari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia
berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafii di Masjid Al-
Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubbai, seorang ketua Muktazilah di
Bashrah.

Al-Asyari yang semula berpaham Mutazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-
Jubbai seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab
yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar. Kejadian ini terjadi beberapa
kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada
sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan
Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asyari menyendiri
selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu
terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asyari menganut faham Mutazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu,
secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya
telah meninggalkan faham Mutazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5]
Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asyari meninggalkan faham Mutazilah
adalah mengakuan Al-Asyari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga
kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mutazilah dan membela
faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan
pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang
pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-
Quran, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabiin, serta imam
ahli hadits.

Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-
dan.html#ixzz2u47nxRIdMetodologi Pemikiran Asy'ari
Tak pelak lagi, bahwa letak keunggulan Asyari dari tokoh-tokoh lainnya adalah segi
metodologisnya yang moderat antara dua ekstrimis: ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan ekstrim tekstualis yang literlijk.Yang pertama diekspresikan
oleh Mutazilah dan yang kedua oleh Hanabilah.
Asyari menilai bahwa kedua kutub pemikiran tersebut masing-masing mempunyai titik
kelemahan yang bisa berimplikasi kepada kehancuran Islam. Yang pertama akan
menggiring aqidah kepada persoalan-persoalan filsafat yang merusak orisinilitas Islam
dan yang kedua akan berimplikasi kepada stagnasi pemikiran. Untuk itu, kata Asyari, tak
ada pilihan lain kecuali berupaya untuk memadukan kedua ekstrimis ini sehingga bisa
menciptakan spirit dan integritas ummat. Jalan satu-satunya menurut Asyari adalah
mendudukkan akal dan nash secara selaras.57 Berpijak dari kerangka metodologis ini,
maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidak
menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sikh (seperti terkesan hal itu ada
pada para Filososof), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan
itupun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asyari, sebagai seorang pendukung
ahlul Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari kitab maupun yang
dari sunnah, menurut makna harfiah atau literernya. Oleh karena itu, kalaupun ia
melakukan takwil, ia lakukan secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi
dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi
kaum Hambali dan metode takwil kaum Mutazilah. Di tengah-tengah berkecamuknya
dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode
yang ditempuh al-Asyari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak.
Itulah alasan utama penerimaan faham Asyari secara universal dan itu pula yang
membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.58
http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Apr97/1.htm
Abu Hasan al-Asyari membuat pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan
hujah-hujah logik akal serta teks-teks al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang
dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah Muktazilah yang pesat berkembang pada
masa itu. Beliau berjaya mengumpulkan ramai murid dan pengikut. Kemudian, lahir
golongan Ahli Sunnah wal Jamaah dikenali sebagaiAsyairah iaitu golongan pengikut fahaman
Abu Hasan al Asyari.

Antara teori Abu Hasan al-Asyari adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah secara
terperinci iaitu:

BIL : 1
SIFAT WAJIB : WUJUD
MAKNA : Ada
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu ada. Mustahil Allah itu tiada.


BIL : 2
SIFAT WAJIB :QIDAM
MAKNA : Sedia
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu sedia ada. Mustahil didahului oleh Adam (tiada)


BIL : 3
SIFAT WAJIB : BAQA
MAKNA : Kekal
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu bersifat kekal. Mustahil ia dikatakan fana (binasa)


BIL : 4
SIFAT WAJIB : MUKHALAFATUHU LILHAWADIS
MAKNA : Tidak sama dengan yang baharu
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu tidak mempunyai sifat-sifat yang baharu yakni dijadikan dan
dihancurkan. Mustahil bersamaan dengan yang baharu.


BIL : 5
SIFAT WAJIB : QIYAMUHUU BINAFSIH
MAKNA : Berdiri dengan dirinya sendiri
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu bersendiri. Mustahil tidak berdiri dengan dirinya sendiri
atau berdiri pada lainnya.


BIL : 6
SIFAT WAJIB : WAHADAANIYAT
MAKNA : Esa
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu Maha Esa Dzat-Nya, Esa sifat-Nya dan esa juga perangai-Nya.
Mustahil ia mempunyai Dzat, sifat dan perangai yang berbilang-bilang.


BIL : 7
SIFAT WAJIB : QUDRAT
MAKNA : Kuasa
SIFAT MUSTAHIL : Alah Taala itu Maha Berkuasa. Mustahil Allah itu lemah atau tidak
berkuasa.


BIL : 8
SIFAT WAJIB : IRADAT
MAKNA : Menentukan
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu Menentukan segala-galanya. Mustahil Allah Taala itu terpaksa
dan dipaksa.


BIL : 9
SIFAT WAJIB : ILMU
MAKNA : Mengetahui
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu amat mengetahui segala-galanya. Mustahil Allah tidak
mengetahui.


BIL : 10
SIFAT WAJIB : HAYAT
MAKNA : Hidup
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu sentiasa hidup yakni sentiasa ada. Mustahil Allah Taala itu
tiada atau mati.


BIL : 11
SIFAT WAJIB : SAMA
MAKNA : Mendengar
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu tidak tuli (pekak). Mustahil Allah tuli atau tidak mendengar.


BIL : 12
SIFAT WAJIB : BASAR
MAKNA : Melihat
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu sentiasa melihat. Mustahil Allah Taala itu buta.


BIL : 13
SIFAT WAJIB : KALAM
MAKNA : Berkata-kata
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu berkata-kata. Mustahil Allah Taala itu tidak bercakap atau
bisu.


Beliau juga menghuraikan perkara taklid iaitu mengambil pendapat orang lain tanpa hujah yang
menguatkannya ataupun tidak dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu. Beliau
menghuraikan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-rukun
iman.

Imam Abu Hassan al-Asyaari juga terkenal dengan teori al-Kasbu (usaha) di dalam
membincangkan kudrat Allah Taala dan perbuatan manusia, iaitu pandangannya
adalahpertengahan di antara golongan Jabariyyah dengan Muktazillah. Golongan Muktazillah
berpandangan bahawa manusia yang menciptakan perbuatannya sendiri. Golongan Jabariyyah
pula berpendapat bahawa manusia tidak mempunyai kuasa untuk mencipta perbuatan apatah
lagi berusaha untuk melakukan sesuatu. Manakala Imam Abu Hassan al-Asyaari berpandangan
bahawa manusia tidak mempunyai kuasa untuk mencipta perbuatannya akan tetapi berkuasa
untuk berusaha. http://jamaluddinab.blogspot.com/2011/01/iktiqad-imam-abu-hassan-al-
asyari.html

Pemikiran-pemikiran Al-Asyari yang terpenting adalah berikut ini :
1. Tuhan dan Sifatnya.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah atak dapat
dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asyari di
hadapkan dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujasimah
dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain esensinya.
Adapun tangan , kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara arfiah,
melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-asari
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat di bandingkan dengan sifat-
sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh
dengan menyangkut realitasnya (hagigah) tidak terpisah dari esensinya. Dengan demikian,
tidak berbeda dengan-Nya.
2. Pelaku Dosa Besar
Terhadap dosa besar, agaknya Al-Asyari, sebagai wakil ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-
orang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun malakukan dosa besar, seperti bercina dan
mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besarnya di lakukannya
dengan anggapan bahwa hal ini di bolehkan (halal) dan tidak menyakini keharamannya, ia
dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak pelaku dosa besar apabila ia meninggalkan dan tidak dapat
bertaubat, maka menurut Al-asyari, hal itu bergantung pada kebijakan tuhan yang maha
berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa itu mendapat
syafaat nabi Saw, sehingga terlepas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang
dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya.
Stelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, dia akan di maksudkan kedalam surga.
3. Iman dan Kufur
Agak pelik untuk memahami makna iman yang di berikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asyari sebab, di
dalam karya-karya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinikan iman secara
berbeda-beda. Dalam Muqallat dan Al-Ibanah di sebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal
dan dapat bertambah dan serta berkurang. Diantara defenisi iman yang diinginkan Al-Asyari di
jelaskan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asyairah. Ia menulis:
Al-Asyari berkata: Iman secara esensial adalah tashdiq bin al-janan membenarkan dengan
kalbu. Sedangkan mengatakan (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama
(amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu cabang-cabang iman. Oleh sebab itu, siapapun
yang membenarkan ke Esaan Tuhan dengan kalbunya dan membenarkan utusanya serta apa
yang mereka bawadarinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih dan keimanan
seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut
Keterangan Asy-Syahrastani diatas, di samping mengorvergansikan kedua definisi yang berbeda
yang di berikan Al-asyari dalam maqalat, Al-Ibanah, dan Al-luma kepada satu titik pertemuan,
juga menempatkan ketiga unsur iaman itu(tashdiq, qawl,amal) pada posisinya masing-masing.
Jadi, bagi Al-Asyari dan juga Asyariyah, pesyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah
tasdiq, yang jika diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatain.
4. PerbuatanTuhan
Menurut aliran Asy-ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik manusia, sebagaimana
dikatakan kaum mutazilah, tidak dapat di terima karena bertentangan dengan faham
kekuasaan dan kehendak mutlah Tuhan. Hal ini di tegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan
bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian
Tuhan dapat berbuat dengan sekendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagai mana di katakan
Al-Ghazali, perbuatan bersifat tidak wajib (jaiz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai
sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak
berkewajiban apa-apa, aliran Asy-ariyah menerima faham pemberian beban diluar ke mampuan
manusia. Al-Asyari sendiri, dengan tegas mengatakan alluma, bawa Tuhan dapat meletakkan
yang dapat di pikul pada manusia.
Aliran Al-asyariah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan
menjalankan ancaman yang tersebut Al-Quran dan Hadist. Disini timbullah persoalan bagi
Asyariyah karena di dalam Al-Quran dikatakan tagas bahwa siapa yang berbuat jahat akan
masuk neraka. Untuk mangatasi ini, kata-kata Arab, man alaldzina dan sebainya yang
menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh As-Asyari, bukan semua orang tetapi
sebagian. Dengan demikian kata siapa dalam ayat Barang siapa menelan harta anak yatim
piatu dengan cara tidak adil, maka ia sebanarnya menelan api masuk kedam perutnya
mengandung bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim. Adapun
yang sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak tuhan,
dengan interprestasi demikianlah.
5. Perbuatan Manusia
Dalam faham asy-ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil
yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan
faham jabariyah dari pada dengan faham muktazilah. Untuk menjelaskan dasar
pijakannya,asyari,pendiri aliran Asyariyah, memakai teori al-kasb. Teori al-kasbAsyari dapat
dijelaskan sebagai berikut : sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasap
utuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori khab ini, manusia kehilangan
keaktifan, sehingga mereka bersifat fasif dalam perbuatanya.
Pada prinsipnya, aliran Asy-ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia di ciptakan Allah,
sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mengujudkan. Allah menciptakan
perbuatan manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan
tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb bagi manusia.
Mengenai hakikat Al-Quran,aliran Mutazilah berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk
sehingga tidak kekal. Mereka beragumen bahwa Al-Quran itu sendiri tersusun dari kata-kata
dan kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf.Menurut Abd.Al-Jabbar,
huruf hamzah umpamanya dalam kalimat al-hamdulillah, mendahului huruflam dan
huruf lam mendahului huruf ha, Demikian pula surat dan ayat pun ada yang terdahulu dan ada
yang akan datang kemudian tidaklah dapat dikatakan qadim.
6. Kehendak mutlak tuhan dan keadilan tuhan.
Kaum Asyariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu
semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan
manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu
pada tempat yang sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki
serta mempergunakanya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan tuhan
mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan
dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hambanya atau
memberi siksa dengan sekehendak hatinya,dan itu semua adalah adil bagi tuhan.
Aliran Asyariyah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak
mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatanya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan
kehendak dan perbuatannya, mengemukakan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan haruslah
berlaku semutlak-mutlaknya. Al-asyari sendiri Tuhan yang dapat membuat hukum serta
menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh di katakan oleh asyari, kalau
emang tuhan menginginkan, ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asyariyah memberi makna
keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap
makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Dengan demikian, ketidak-adilan di fahami
dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendaknya terhadap makhluk-Nya atau dengan kata
lain di katakan tidak adil bila di pahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
http://sejarah.kompasiana.com/2012/12/30/sejarah-dan-pemikiran-golongan-asyariyah-ahlu-
sunnah-wal-jamaah-515141.html Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah seorang sunni yang mencintai
ilmu hadits dan berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana penuturan Abu
Bakr Ibnu Furak. Bahkan, menjelang wafatnya, sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul
Hasan kecil dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits
kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil
Arab karya al-Imam Ibnu Hazm 1/163, al-Ansab karya al-Imam as-Samani 1/266, Nihayatul Arab fi
Marifatil Ansab karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 35, dan
Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)
Ditinjau dari garis keturunannya, al-Imam Abul Hasan al-Asyari adalah keturunan dari sahabat Abdullah
bin Qais bin Hadhdhar al-Asyari al-Yamani z, yang dikenal dengan sebutan Abu Musa al-Asyari z. Beliau
adalah salah seorang sahabat Nabi n yang terkenal akan keilmuan dan keindahan suaranya dalam
membaca al-Quran. Adapun pernyataan Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ibrahim al-Ahwazi dalam kitabnya
Matsalib Ibni Abi Bisyr bahwa al-Imam Abul Hasan al-Asyari bukan keturunan Abu Musa al-Asyari z,
namun keturunan Yahudi yang kakeknya diislamkan oleh sebagian orang dari kabilah al-Asyar, menurut
al-Imam Ibnu Asakir t hal ini merupakan kedustaan dan kebodohan yang nyata. (Lihat al-Ansab karya al-
Imam as-Samani 1/266, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Beliau adalah guru dan Imam Besar dalam
ilmu kalam, pembela sunnah Sayyidil Mursalin, membetulkan aqidah kaum muslimin yang sudah rusak,
berguru ilmu kalam kepada Abi Ali Al-Jabaaiy yang merupakan guru besar Mutazilah. Kemudian Abu Hasan
Al-Asyari meninggalkan Jabaaiy dan menjauhkan diri dari Faham Mutazilah lalu membongkar kesesatan
Mutazilah. Beliau menolak faham Mutazilah dan menyusun kitab tentang kesalahan faham Mutazilah.
Kemudian, Abu Hasan Al-Asyari memasuki Baghdad dan belajar ilmu hadits dan fiqih pada Syaikh Zakaria
As-Saajiy dan lainnya, hingga Beliau wafat di Baghdad.
Berkata al-Khathib al-Baghdadiy : Abu Hasan Al-Asyari Al-Mutakallimin mempunyai kitab dan karangan
yang tidak kurang dari 55 kitab untuk menolak faham mulhidah dan lainnya, yakni faham Mutazilah,
Rafidhah, Jahmiyyah, Khawarij, dan seluruh faham bidah yang lain.
(Sumber: Kitab Thabaqat Asy-Syafiiyyah karangan Ibnu Qadhi Syuhbah, Kitab Abu Hasan Al-Asyari Al-
Asyari karangan Himad bin Muhammad al-Anshar)

http://orgawam.wordpress.com/2011/08/21/abu-hasan-al-asy%E2%80%99ari-260-324h/

You might also like