You are on page 1of 23

0

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Bayi Berat Lahir Rendah

1. Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi
yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir.

2. Epidemiologi
Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh
kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di
negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik
menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan
angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat
lahir lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam
peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak
serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa
depan . Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah
dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah
multicenter diperoleh angka BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara
nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %.
Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran
program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%

3. Etiologi
Persalinan kurang bulan/prematur
Bayi lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu. Pada umumnya
bayi kurang bulan disebabkan tidak mampunyai uterus menahan janin,
gangguan selama kehamilan, lepasnya plasenta lenih cepat dari waktunya
atau rangsangan yang memudahkan terjadinya kontraksi uterus sebelum
1

cukup bulan. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat tubuh
yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidp di luar rahim. Semakin
muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin berkurang dan
prognosanya semakin kurang baik. Kelompok BBLR ini sering
mendapatkan penyulit atau komplikasi akibat kurang matangnya organ
karena masa gestasi yang kurang (prematur)

Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan
Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan adalah bayi yang mengalami
hambatan pertumbuhan saat dalam kandungan (janin tumbuh lambat atau
retardasi pertumbuhan intrauterin) dengan berat lahir < persentil ke 3
grafik pertumbuhan janin (Lubchenco). Hal ini dapat disebabkan oleh
terganggunya sirkulasi dan efisiensi plasenta, kurang baiknya keadaan
umum ibu atau gizi ibu, atau hambatan pertumbuhan yang berasal dari
bayinya sendiri. Kondisi bayi lahir kecil sangat tergantung pada usia
kehamilan saat dilahirkan dan berapa lama terjadinya hambatan
pertumbuhan itu dalam kandungan.

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor
ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti
penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga
merupakan penyebab terjadinya BBLR .
(1) Faktor ibu
Penyakit
Seperti malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
Komplikasi pada kehamilan.
Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan
antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran
preterm.
Usia Ibu dan paritas
Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia muda
2

Faktor kebiasaan ibu
Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu
pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan
kromosom.
(3) Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi,
radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun

4. Komplikasi
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara
lain :
Hipotermia
Hipoglikemia
Gangguan cairan dan elektrolit
Hiperbilirubinemia
Sindroma gawat nafas
Paten duktus arteriosus
Infeksi
Perdarahan intraventrikuler
Apnea of Prematurity
Anemia
Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan
berat lahir rendah (BBLR) antara lain:
Gangguan perkembangan
Gangguan pertumbuhan
Gangguan penglihatan (Retinopati)
Gangguan pendengaran Penyakit paru kronis
Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

3

5. Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dapat diketahui dengan dilakukan
anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
.

Anamnesis
Umur ibu
Riwayat persalinan sebelumnya
Jumlah paritas, jarak kelahiran sebelumnya
Kenaikan berat badan ibu selama hamil
Aktivitas ibu yang berlebihan
Trauma pada ibu (termasuk post coital trauma)
Penyakit yang diderita selama hamil
Obat-obatan yang diminum selama hamil
Pemeriksaan fisik
Berat badan lahir <2500 g
Untuk BBLR kurang bulan
Tanda prematuritas
Tulang rawan telinga belum terbentuk
Masih terdapat lanugo (rambut halus pada kulit)
Refleks masih lemah
Alat kelamin luar : pada perempuan labium mayus belum
menutup labium minus, pada laki-laki belum terjadi
penurunan testis dan kulit testis rata (rugae testis belum
terbentuk)
Untuk BBLR Kecil untuk Masa Kehamilan
Tanda janin Tumbuh Lambat
Tidak dijumpai tanda prematuritas seperti tersebut diatas
Kulit keriput
Kuku lebih panjang




4

6. Manajemen Umum
Setiap menemukan BBLR, lakukan manajemen umum sebagai berikut :
1. Stabilisasi suhu, jaga bayi tetap hangat (KMC)
2. Jaga jalan nafas tetap bersih dan terbuka
3. Nilai segera kondisi bayi tentang tanda vital : pernafasan,
denyut jantung, warna kulit dan aktifitas
4. Bila bayi mengalami gangguan nafas, dikelola dengan gangguan
nafas
5. Bila bayi kejang, hentikan kejang dengan antikonvulsan
6. Bila bayi dehidrasi, pasang jalur intravena, berikan cairan
rehidrasi IV
7. Kelola sesuai dengan kondisi spesifik atau komplikasinya

7. Pemantauan
a) Kenaikan berat badan dan pemberian minum setelah umur 7 hari
Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama.
Bayi dengan berat lahir >1500 g dapat kehilangan berat sampai
10%. Berat lahir biasanya tercapai kembali dalam 14 hari
kecuali apabila terjadi kmplikasi.
Setelah berat lahir tercapai kembali, kenaikan berat badan
selama tiga bulan seharusnya :
b) 150-200 g seminggu untuk bayi <1500 g (misalnya 20-30 g/hari)
c) 200-250 g seminggu untuk bayi 1500-2500 g (misalnya 30-35
g/hari)
Bila bayi sudah mendapat ASI secara penuh (pada semua
kategori berat) dan telah berusia lebih dari 7 hari :
d) Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 mL/kg/hari sampai tercapai
jumlah 180 mL/kg/hari
e) Apabila kenaikan berat tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian
ASI sampai 200 mL/kg/hari
f) Apabila kenaikan berat tetap kurang dari batas yang telah
disebutkan di atas dalam waktu lebih dari seminggu padahal bayi
5

sudah mendapat ASI 200 mL/kg/hari, tangani sebagai
Kemungkinan kenaikan berat bdan tidak adekuat.
g) Tanda kecukupan pemberian ASI
h) Buang air kecil minimal 6 kali dalam 24 jam
i) Bayi tidur lelap setelah pemberian ASI
j) Peningkatan berat badan setelah 7 hari pertama sebanyak 20 gram
setiap hari
k) Periksa pada saat ibu meneteki, apabila pada satu payudara dihisap,
ASI akan menetes dari payudara yang lain.

8. Pemulangan penderita
1. Suhu bayi stabil
2. Toleransi minum per oral baik, diutamakan pemberian ASI
3. Ibu sanggup merawat BBLR di rumah.
6

B. Ikterus Neonatorum

1. Pendahuluan
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.
Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus
terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di RSU
Dr. Soetomo Surabaya ikterus patologis 9,8% (tahun 2002) dan 15,66%
(tahun 2003). RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14
kali/bulan (tahun 2002). Di Hospital Bersalin Kualalumpur dengan tripple
phototherapy tidak ada lagi kasus yang memerlukan tindakan transfusi
tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije Universitiet Medisch Centrum
Amsterdam dengan double phototherapy (tahun 2003).
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan
pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan
gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu,
setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama apabila
ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar
bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86mol/L) dalam 24 jam. Proses
hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1
minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan
tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar
akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. Walaupun pada tahun 1970-an
kasus kernikterus sudah tidak ditemukan lagi di Washington, namun pada
tahun 1990-an ditemukan 31 kasus kernikterus (data Georgetown
University Medical Centre Washington D.C. tahun 2002).

2. Definisi
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin
dalam darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus)
tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila
7

serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 mol/L), sedangkan pada neonatus baru
tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86mol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan
terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut Excessive
Physiological Jaundice.

Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis
(Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonatus > 95
0
/
00
menurut Normogram Bhutani.

3. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses
eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau
bilirubin IX (Gbr. 2). Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam
lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan
mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin
dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga
bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam
hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin
(protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini
timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam
air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar
bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan
keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi
8

kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi entero
hepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin
indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena
terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara
lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan
mencapai puncaknya pada hari ke 5 7, kemudian akan menurun kembali
pada hari ke 10 14. Kadar bilirubinpun biasanya tidak > 10 mg/dL (171
mol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 mol/L) pada bayi
cukup bulan.
Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan
atau konjungasi hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang akan
mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian.
Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah
dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka pada hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus
dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, sehingga pengobatanpun dapat
dilaksanakan dini. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan
efek patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi. Di RS Dr.
Soetomo Surabaya, bayi dinyatakan menderita bilirubinemia apabila kadar
bilirubin total > 12 mg/dL (> 205 mol/L) pada bayi cukup bulan,
sedangkan pada bayi kurang bulan bila kadarnya > 10 mg/dL (>171
mol/L





9

).














4. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
A. Penyebab yang sering:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis 2. Inkompatibilitas golongan darah ABO
3. Breast Milk Jaundice 4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus 5.
Infeksi 6. Hematoma sefal, hematoma subdural, excessive bruising 7.
IDM (Infant of Diabetic Mother) 8. Polisitemia / hiperviskositas 9.
Prematuritas / BBLR 10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi asidosis,
hipoglikemia 11. Lain-lain

B. Penyebab yang jarang:
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase) 2. Defisiensi
piruvat kinase 3. Sferositosis kongenital 4. Lucey Driscoll syndrome
(ikterus neonatorum familial) 5. Hipotiroidism 6. Hemoglobinopathy


10

Macam Macam Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Menurut IKA, 2002 penyebab ikterus terbagi atas :
1. Ikterus pra hepatic : Terjadi akibat produksi bilirubin yang mengikat
yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
2. Ikterus pasca hepatik (obstruktif) : Adanya bendungan dalam saluran
empedu (kolistasis) yang mengakibatkan peninggian konjugasi bilirubin
yang larut dalam air yang terbagi menjadi :
a. Intrahepatik : bila penyumbatan terjadi antara hati dengan ductus
koleductus.
b. Ekstrahepatik : bila penyumbatan terjadi pada ductus koleductus.
3. Ikterus hepatoseluler (hepatik) : Kerusakan sel hati yang menyebabkan
konjugasi blirubin terganggu.

5. Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
11

Inkompatibilitas golongan darah (dengan Coombs test positip)
Usia kehamilan < 38 minggu
Penyakit-penyakit hemolitik (G
6
PD, end tidal CO )
Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
Hematoma sefal, bruising
ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)
Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun
kterus sebelum bayi dipulangkan
Infant Diabetic Mother, makrosomia
Polisitemia

Anamnesis
Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu
DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi
sebelumnya
Riwayat inkompatibilitas darah
Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran
hepar dan limpa.

Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah
lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan
lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar
lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna
kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat
12

timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab
ikterus tersebut.

Tabel 1. Perkiraan klinis derajat ikterus
Usia Ikterus terlihat pada Klasifikasi
Hari 1
Hari 2
Hari 3 dst.
Setiap ikterus yang terlihat
Lengan dan tungkai
Tangan dan kaki
Ikterus berat
(Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In :
Managing Newborn Problems : a guide for doctor, nurses and midwives,
WHO, 2003 : F-77-F-89)

Tabel 2. Klasifikasi Ikterus
Tanya dan Lihat Tanda / Gejala Klasifikasi
Mulai kapan ikterus ?
Daerah mana yang ikterus ?
Bayinya kurang bulan ?
Warna tinja ?
Ikterus segera setelah lahir
Ikterus pada 2 hari pertama
Ikterus pada usia > 14 hari
Ikterus lutut/ siku/ lebih
Bayi kurang bulan
Tinja pucat
Ikterus patologis
Ikterus usia 3-13 hari
Tanda patologis (-)
Ikterus fisiologis
(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus
Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda
Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes
RI, 2001)
Gejala dan tanda klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
a) Dehidrasi
o Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum,
muntah-muntah)
13

b) Pucat
o Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis.
Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi
G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
c) Trauma lahir
o Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
d) Pletorik (penumpukan darah)
o Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan
memotong tali pusat, bayi KMK
e) Letargik dan gejala sepsis lainnya
f) Petekiae (bintik merah di kulit)
o Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau
eritroblastosis
g) Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
o Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital,
penyakit hati
h) Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
i) Omfalitis (peradangan umbilikus)
j) Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
k) Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
l) Feses dempul disertai urin warna coklat
o Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan
ke bagian hepatologi.

6. Kern ikterus
Gejala kernikterus dikelompokkan menjadi :
Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama
kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan
hipotoni.
Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry)
meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya
14

menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis).

7. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin
indirek pada otak. Pada kernikterus gejala klinik pada permulaan tidak
jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar,
gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot
meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus. bayi yang selamat
biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis

8. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus
dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi
yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang
hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,
lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar
dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serumbilirubin.
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk
menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel
darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL
(<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang
mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
Golongan darah dan Coombs test
Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G
6
PD atau ETCOc
Bilirubin direk

15

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin
juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi
tukar.


9. Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah
untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang
dapat menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat
dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih
cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal).

Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim
yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini
efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal
masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin
dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga
menurunkan siklus enterohepatika

Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin
(plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian
kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang
juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula
bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan
Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis,
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.


16

Tabel 3. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
Usia
Terapi sinar Transfusi tukar
Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*
mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L
Hari
1
Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari
2
15 260 13 220 25 425 15 260
Hari
3
18 310 16 270 30 510 20 340
Hari
4 dst
20 340 17 290 30 510 20 340
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on
Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn
infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

10. Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer
sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar
tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan
terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang
berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin
yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam
plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus
meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.

Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua
penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi
dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari
17

pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar,
terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa
buah lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak
yang berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal
(380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah
kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan
sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu
setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih
menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai
mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan
kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar
dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi
sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena
cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu
ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di
pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10
mg/dL (<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100
jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan
apabila ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang
perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan
kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya
bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan
sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.

18


11. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat
dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula
antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat
bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul
perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada
indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat
kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin
(Tabel 4)







19

Tabel 4. Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan
Komplikasi

Berat Bayi
(gram)
Tidak Komplikasi
(mg/dL)
Rasio
Bili/Alb
Ada Komplikasi
(mg/dL)
Rasio
Bili/Alb
< 1250 13 5.2 10 4
1250 1499 15 6 13 5.2
1500 1999 17 6.8 15 6
2000 2499 18 7.2 17 6.8
2500 20 8 18 7.2

Konversi mg/dL menjadi mmol/L dengan mengalikan 17.1
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on
Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn
infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
Yang dimaksud ada komplikasi apabila :
1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal 35
O
C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi 1000 g
12,15


Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah
yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip.
Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,
sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila
20

keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang
kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat
dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah
darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
1. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
2. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
3. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia.

Tabel 5. Volume Darah pada Transfusi Tukar

Kebutuhan Rumus*
Double Volume BB x volume darah x 2
Single Volume BB x volume darah
Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang Hct yang diinginkan)
Hct sekarang
Anemia BB x volume darah x (Hb yang diinginkan Hb sekarang)
(Hb donor Hb sekarang)
BB x volume darah x (PCV yang diinginkan PCV sekarang)
(PCV donor)

* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB
* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang
diperlukan harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan
di ruangan yang aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau
tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan.
21

Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar
seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas
sarana dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau
transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah
kondisi bayi stabil (transportable) dengan memperhatikan syarat-syarat
rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan R, Alatas H. Perinatologi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak 3; edisi ke-
4. Jakarta : FKUI, 1985;1051-7.
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu
Kebidanan; edisi ke-3. Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2002;771-83.
3. Arifuddin J, Palada P. BBLR-LBW. Dalam : Perinatologi dan Tumbuh
Kembang. Jakarta : FKUI, 2004;9-11.
4. Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant, In :
Nelson Textbook of pediatrics; 17 th ed. California: Saunders. 2004; 550-
8.
5. Saifuddin, AB, Adrianz, G. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam : Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1.
Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8.
6. Gomella, TL, Cunningham MD. Management of the Extremely Low Birth
Infant During the First Weekof Life. In : Lange Neonatology; 5 th ed. New
York : Medical Publishing Division, 2002; 120-31
7. Etika Risa, dkk. 2007. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi
Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr.
Soetomo-Surabaya
8. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
9. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED. 2008. Buku Acuan Pelayanan
Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta.

You might also like