Professional Documents
Culture Documents
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan
kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut
disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan.
Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah
api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar
kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang
akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera
mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban
baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-
pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan
kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas
Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada
komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai
seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh
kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen
Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan
segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan
diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada
Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak
menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta
persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu
brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di
Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata
yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang
yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari
mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste
Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan:
“Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28
Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau
dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan
bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang
Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang
berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan
persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya
dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang
terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8
Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir
Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau
salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang
didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR
Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta
Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling,
TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot
Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-
pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian,
bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku
tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian
Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan
Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari
Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur
melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan
Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda
Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari
Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam
pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad
untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran
serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para
pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya,
melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo,
Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran
listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik
untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa
dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari
udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan
hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya
laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan
banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur
musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau
dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu
Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta
korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya
mengibarkan bendera putih, meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis
dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a
position before, that any further fighting would lead to their being wiped out. "
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain
Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos
pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan
tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta
Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di
Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak
agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC
- aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada
persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia
mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah
kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan
kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa
besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya
kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara
dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan
saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota
Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih,
masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower,
yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung.
Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
“We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali
ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi
bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno
beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya
dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden
Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan
dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between
President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th
October 1945.” Isinya a.l.:
· Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno,
Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
· Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus
diberhentikan.
· Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo
hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir
Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran
segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23
Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet
tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu
menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak
pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal
sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
· The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of
the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
· The Allied forces shall not guard the city.
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui
pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car;
which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully
murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa
antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh
secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi
kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D,
Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8
Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already
casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain
it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell
them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade
Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the
building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he
and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I
allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving
Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The
Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did
not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang
terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin
melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah
keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan
kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa
Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar
pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun
tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur,
sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah
lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak
adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti
dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that
some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to
give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby
mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka
di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian
membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and
marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly
refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to
some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our
arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded
this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh
dari KaptenShaw
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, perlu diteliti
lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj.
Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang
menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang
diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan
Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata,
Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W.
Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November
1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang
pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa
Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan
Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison
Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada
bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith
dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith
menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were ordered by Col.
L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to proceed to the Government offices,
where we were each to collect an Indonesian representative. From there one of us was to go north, and
the other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back to their barracks. Brigadier
Mallaby was at this time in conference with the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone
except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt.
Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white
flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River,
which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff
fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches
to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well
received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we
were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly
deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The
mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords
were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched
(sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused
to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of
the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival
in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this:
on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any
further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the
company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary
orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep
concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on
the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the
entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to
a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as
possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of
us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a
half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to
some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them
came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on
the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke
to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss
this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him
again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and
shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the
noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was
the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this
second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and
myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order
to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the
Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to
me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s
shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and
threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I
went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived
into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is
presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After
five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak Inggris yang
memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak
mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan terhadap Mallaby,
dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left
(the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say
at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam mobil yang sempit
dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat
dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan
jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith
menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was
too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly
could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not
now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say
that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I
can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not
personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there
was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to
hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to
countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at
least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building
should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of
time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the
orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai akibat tembakan
pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul
20.30 dan keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia.
Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30
detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh Mallaby telah
mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur.
Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan
kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri tubuh lain.
Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W. Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk memulai
menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw untuk memerintahkan tentara
Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka
telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal,
untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat
tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan. Jelas untuk
membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith
melemparkan granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan
Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak
akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan
pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena
tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith,
adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota
PETA. Trisnaningprojo ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan
Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil
yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan,
bahwa Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar
mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat
gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di
sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain Smith melempar granat tidak
dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi
Mallaby setelah penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah tewas
seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi sketsa lokasi pada saat
kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri
mobil, sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari
posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian
tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan. Berbeda,
apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda tersebut benar
mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika bertiga masih duduk di bagian
belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak
satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak
dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan,
bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan Gubernur Militer
Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan ((Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby,
John Murray, London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting
that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a
deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of
everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time,
had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him
and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well
have been different.”
Setelah Letnan Jenderal Sir Phillip Christison mengeluarkan ancamannya, dalam waktu
singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat
besar, mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai. Pada 1
November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta dengan HMS Sussex
dan mendaratkan 1.500 Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-
Indian Division, berangkat dari Malaysia memimpin pasukannya dan tiba di Surabaya tanggal 3
November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-
angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam
pertempuran di El Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, Perwira Jerman
yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari
Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby. Rincian pasukan
Divisi 5:
Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan
HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan
kapal pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart,
kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan
meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat
tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa
bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8
Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Yang pertama
berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan
“Instructions”. Yang kedua merupakan penjelasan/rincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November pukul
14.00. adalah :
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly
attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese
Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and
order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing,
interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered
when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes
are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all
the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders
will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.
Instructions
My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th.
November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the the
Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They
will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100
yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their
heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either
to the roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the Mosque or to the
junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag
and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the
preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to return to their homes.
Arms and equipment so dumped will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and
guarded untill dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular
T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of
firearms of conealing them will be liable to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave
by 19.00 hours on 9th November and go only towards Modjokerto or Sidoardjo by road.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
Mansergh telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga boleh dikatakan tidak
akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi
dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00. Mereka harus
datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus
diletakkan di tempat berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu
harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan ditahan, dan harus siap
untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.”
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the Chief
Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will
approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100
yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their
heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional
surrender.)
Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” Dengan
formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan
militer di Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa
Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan
kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol, tombak, pisau, pedang, keris,
bambu runcing, tulup, panah berbisa atau alat tajam yang dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya memutuskan, untuk tidak menyerah
kepada tentara Sekutu dan memilih untuk melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari meriam-meriam kapal
pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam hari. Meriam-meriam di kapal-kapal
perang dan bom-bom dari udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah
pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan juga pasar-pasar.
Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang
dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak
menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota segera memerintahkan pengungsian
semua wanita dan anak-anak ke luar kota.
Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik Indonesia maupun internasional
mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang
bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat
tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa korban-
korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke
pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan
di selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon
bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung
kantor yang kosong ... Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri
secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank
Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan
cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat dilupakannya:
“… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua kakinya hancur terlindas roda
kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan
kedua kakinya melintang di atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api yang lewat, sehingga
kedua kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih sadar waktu dibaringkan ke tempat tidur, tetapi
sebelum kita dapat menolongnya dia berseru:
‘Merdeka! Hidup Indonesia!’,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda yang menatap wajah anak
perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun, yang tewas akibat lengannya putus terkena pecahan
peluru mortir. Dia menggendong anak itu ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya telah
tewas ketika sampai di Sepanjang. Kami menanyakan:
‘Di mana ayah anak ini?’
Ibu muda itu menjawab: ‘Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.’
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, tercatat
“hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke
Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan
mengenai jumlah korban yang tewas. Abdulgani menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat
Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala
kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah yang
dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam
kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul,
Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat
dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain, Kolonel dr. Wiliater
Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat agresi militer Inggris dapat melebihi angka 20.000,
dan sebagian terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan
tentara Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja
tewas atau luka-luka, termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah
sakitnya ikut terkena bom. Pelaku sejarah yang menjadi saksi mata menilai pemboman tersebut adalah
suatu kebiadaban.
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai 22 November 1945 di
Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di pihak
Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, korban di pihak Inggris
dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas, luka-
luka atau hilang (18 perwira dan 374 prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris dalam
pertempuran dari tanggal 28 Oktober – 28 November 1945 mencapai 1.500 orang yang tewas,
luka-luka dan hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan melakukan desersi
dan bergabung dengan pihak Republik Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent to which they proved
that Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate, intellectual cult but a people-wide, tough and
urgent affair.”
Willy Meelhuijsen dalam bukunya “Revolutie in Soerabaya, 17 agustus – 1 december 1945” mengutip
seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang menulis:
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of Sourabaya, but their
sacrificial resistance there created a symbol of rallying cry for the Revolution. It also convinced the
British thet wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a
turning point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality. Many had quite
genuinely believed that the Republic represented only a gang of collaborators without popular support.
No longer could any serious observer defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari empat pertempuran dan perlawanan terhadap
tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran “Medan-Area” dan Bandung Lautan Api-
yang membuat Inggris menyadari, bahwa masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan
militer, dan Inggris sebagai tulasng punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke meja
perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan Linggajati.
I. Alasan psikologis-emosional.
· Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23
yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan
Jepang di hutan-rimba Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh
rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal
yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang,
sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak
Inggris.
· Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II,
mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah
kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris memuncak
pada 10 November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang
mereka berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban
yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert
Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di
Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
· Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), hasil pertemuan rahasia antara
Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam
arti mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut
diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini terbukti dari surat Vice Admiral Lord Louis
Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada komandan-komandan divisi, yang isinya:
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the
surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and
civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the
colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown
themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep
anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain
the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return
the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” dan “……the
local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed
before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
· Melaksanakan Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian antara Inggris dan Belanda yang
ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, yang isinya kesediaan Inggris membantu
Belanda dalam upaya untuk kembali berkuasa di Indonesia. Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut
diperkokoh oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang
dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco tanggal 10 Desember 1945
menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di Singapura, Letnan Jenderal Christison telah
mendapat kekuasaan seluas-luasnya untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan
kekerasan untuk mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang
dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda. Di samping melampiaskan dendam
mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya- dipersenjatai Jepang” kelihatannya Inggris
memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan
Belanda, serta menjalankan hasil keputusan Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada
“Status Quo” seperti sebelum invasi Jepang.
Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November
1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando, dari mulai Panglima Tertinggi Tentara
Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI),
Letnan Jenderal Sir Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima
Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan brigade, seluruhnya
adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan
permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan menggunakan
kaidah kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari kronologi kejadian,
dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri
dan diteliti satu persatu, maka rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:
· Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. Mengenai apakah dia
tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith,
susah dibuktikan.
· Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, Komandan Kompi “D”, Brigade
ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut
Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah
menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober
dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
· Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari
Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
· Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 Oktober, yang isinya
melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi
Pamflet mengenai butir ini ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-
Hawthorn tanggal 30 Oktober.
Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah kausalitas, dari rangkaian
kejadian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa pemicu segala malapetaka dan tragedi kemanusiaan
yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27 Oktober
1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan Inggris.
Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa negara di San Francisco, yang
menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni 1945. Kesepakatan beberapa negara di San Francisco tersebut
menjadi dasar pembentukan PBB, yang diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain tidak konsisten
dengan Atlantic Charter yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris, Inggris sebagai salah satu
negara pendiri PBB melanggar beberapa prinsip yang telah mereka tentukan sendiri. Ini dapat dilihat
dari Preambel serta beberapa pasal Anggaran Dasar PBB. Dalam informasi yang dikeluarkan oleh PBB
tertera:
“The United Nations was established on 24th October 1945 by 51 countries committed to preserving
peace through international cooperation and collective security. When States become Members of the
United Nations, they agree to accept the obligations of the UN Charter, an international treaty which
sets out basic principles of international relations. According to the Charter, the UN has four purposes:
to maintain international peace and security, to develop friendly relations among nations, to cooperate
in solving international problems and in promoting respect for human rights, and to be a centre for
harmonizing the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the UN, all the Member
States - large and small, rich and poor, with differing political views and social systems - have a voice
and vote in this process.”
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November 1945, setelah berdirinya
PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri dan anggota PBB, Inggris telah menandatangani
persyaratan untuk mematuhi Charter for Peace, Preambel dan Anggaran Dasar PBB. Kelihatannya
memang benar, bahwa Inggris terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun perjanjian yang telah mereka
setujui dan tandatangani.
The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 1, shall act in
accordance with the following Principles.
1. All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that
international peace and security, and justice, are not endangered. All Members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political
independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
2. All Members shall give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with
the present Charter, and shall refrain from giving assistance to any state against which the United
Nations is taking preventive or enforcement action.
3. The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in
accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace
and security.
4. Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters
which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to
submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the
application of enforcement measures under Chapter Vll.
· Pelanggaran HAM
- Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crime against humanity)
Di dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil. Tindakan tentara Inggris
untuk membalas dendam dendam atas tewasnya seorang perwira tinggi, telah mengakibatkan tewasnya
belasan ribu, bahkan mungkin lebih dari 20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya banyak
sarana/prasarana nonmiliter, karena waktu itu sasaran militer sendiri tidak banyak di dalam kota
Surabaya.
- Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 100.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced persons) ke luar kota
Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, karena dalam situasi kepanikan,
tidak sempat memikirkan untuk membawa benda berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh pengungsi
tersebut berlanjut selama berbulan-bulan, sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.
Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu Belanda kembali
berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada merupakan perjanjian rahasia antara Churchill dan
Roosevelt di sela-sela konferensi Yalta dan perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda (lihat
dokumen Lord Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau penunggangan tugas Allied Forces
serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Allied Forces kepada tentara
Inggris dan Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik hidden agenda di konferensi Yalta yang
diperkuat dengan deklarasi Potsdam, serta perjanjian bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs
Agreement, tidak sejalan dengan tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando
Tentara Sekutu Asia Tenggara.
This book analyzes the simultaneous sea, land and air campaign by British forces against the defenders
of the East Java capital of Surabaya in November 1945.
To this day, it remains a bitter memory for older Indonesians.
In the author's opinion, there are two main reasons why Britain, which did not hold colonial authority
over Indonesia, launched the invasion.
First, there were psychological and emotional reasons at play, since Britain was victorious in World
War II. Second, the British were bound by a treaty with the Dutch stemming from the conference at
Yalta on Feb. 11, 1945, and the Postdam Declaration, which took place on July 26, 1945.
The objectives of the treaty were "to reestablish civilian rule, and return the colony to Dutch
administration," as well as "to maintain the status quo which existed before the Japanese invasion".
They can be found in a letter dated Sept. 2, 1945 by the Allied Forces' Supreme Commander South East
Asia Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. British assistance was also in line with the Civil Affairs
Agreement between the Dutch and Britain in Chequers, Britain, on Aug. 24, 1945.
The author also outlines the violations committed by British troops. They include infringements upon
the sovereignty of the fledgling nation of Indonesia, human rights abuses -- including crimes against
humanity and forced displacement -- and war crimes.
Apart from its thorough dissection of this bloody chapter of Indonesian history, this book carries
something else of equally important historical significance: an official apology from the British
government. It was expressed by British Ambassador to Indonesia Richard Gozney in the name of the
British government during a seminar on the Battle of Surabaya in Jakarta in October 2000.
It was a sympathetic act -- one which has yet to be offered by the Dutch who, as a colonial power, ruled
Indonesia for centuries.--