You are on page 1of 9

CASE REPORT

Nama : Ny. S
Usia : 44 tahun

Diagnosis Pra Bedah : Cholelitiasis symptomatis
Jenis Pembedahan : Laparoskopik kolesistektomi
Diagnosis Pasca Bedah : Post laparoskopik kolelitiasis
Jenis Anestesia : General Anestesia
Lama Operasi : 3 jam 10 menit
Lama Anastesia : 3 jam 30 menit

Keadaan Pra Bedah
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 40 kg
Golongan Darah (Rhesus) : O (+)
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 36,8
0
C
Hb : 13,5 g/dL
Ht : 37,6 %

Sirkulasi : Akral: hangat, CRT <2/<2, Riw. Hipertensi
BJ I dan II reguler, murmur -, gallop -
Masa Pendarahan: 3.00, Masa pembekuan: 13.00
Respirasi : Airway: clear, malampati I, gigi palsu -, gigi goyang: -
BND: vesikuler, ronkhi: -/- , wheezing: -/-
Riwayat Asma: -
Saraf : GCS : E4V5M6, Kesadaran :komposmentis
Gastrointestinal : BU : +
Na: 130 mmol/L, K: 3,62 mmol/L, Cl: 103,08 mmol/L
Renal : Ureum: 11mg/dL
Kreatinin: 1 mg/dL
Metabolik : Riw DM: - , GDS: 87 mg/dL
Status Fisik : ASA 2
Medikasi Pra Bedah : -
Anestesia dengan : PM : Miloz + Fentanyl
I : Propofol
M : Isoflurnce + N20 + 02
Relaksasi dengan : Roculax
Teknik Anestesia : Preoksigenisasi, induksi, intubasi, ETT KK No.7.0, cuff +,
guedel no.3
Respirasi : Kontrol, TV: 500, RR:12
Posisi : Supine
Infus : RL
Keadaan Akhir Pembedahan : TD: 150/105 mmHg, N: 80 x/menit, SPO2: 99%
Hipersensitivitas / Alergi : -




















Premedikasi Medikasi
Miloz 5 mg Propofol 100 mg Kalnex 250 mg
Fentanyl 100 mcg Roculac 30 mg Roculac 10 mg
Pemberian: IV Cedantron 8mg Fentanyl 100 mcg
Efek : Pasien
tenang, mengantuk
Fentanyl 50 mcg Fentanyl 50 mcg
Fentanyl 50 mcg Remopain 30 mg

Jumlah Medikasi Jumlah Cairan Transfusi Catatan Jumlah Pendarahan
Miloz 5 mg
Fentanyl 350 mcg
Propofol 100 mg
Cedantron 8 mg
Kalnex 250 mg
Roculac 40 mg
Remopain 30 mg
RL 250 cc
Asering 1000 cc
Urin : 200 cc 60 70 cc






TINJAUAN PUSTAKA

KOLELITIASIS

Kolelitiasis merupakan kondisi dimana ditemukannya batu pada kantung empedu.
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien dengan batu
asimtomatik, pasien dengn batu empedu simtomatik, dan pasien dengan komplikasi batu
empedeu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis) gejala batu mpedu yang dapat
dipercaya adalah kolik bilier. Gejala ini didefinisikan sebagai nyeri diperut atas, berlangsung
lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri diperut atas atau
epigastrium tetapi bisa saja di kiri atau prekordial.
Penanganan profilaktik uuntuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan. Pada
umumnya pasien tersebut tidak memberi keluhan dan komposisi batu tidak berhubungan
dengan keluhan. Apabila akhirnya akan timbul keluhan ringan, maka penanganan akan
elektif.
Pada batu empedu simtomatik, teknik kolisistektomi laparoskopikk yang telah
diperkenalkan pada akhir dekade 1980 telah menggantikan teknik operasi kolisistektomi
terbuka pada sebagian besar kasus. Kolisistektomi terbuka masih dibutuhkan apabila
kolisistektomi laparoskopikk gagal atau tidak memungkinkan.
Kolisistektomi laparoskopikk adalah teknik pembedahan invasif minimal didalam
rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera, dan
instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat atau menyentuh langsung kantung
empedunya.Sejak awal dikenalkan, teknik laparoskopikk ini telah memperlihatkan banyak
keunggulan dibanding dengan teknik bedah konvensional. Rasa nyeri yang minimal,
masapulih yang cepat, masa rawat yang pendek dan luka parut yang minimal menjadi
kelebihan bedah laparoskopikk.

PERTIMBANGAN ANASTESI SELAMA OPERASI LAPAROSKOPIKK

Pada prosedur laparoskopik abdomen, perubahan hemodinamika dan pernapasan
keduanya berasal dari tiga asal-usul yang sama. Yang pertama tekanan intra-abdominal yang
dibuat oleh pneumoperitoneum, yang kedua adalah keberadaan insuflasi gas yang diabsorbsi
oleh darah, dan yang ketiga adalah posisi Trendelemburg atau anti-Trendelemburg pasien.
Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan abdominal, meninggikan diafragma, dan
menekan pembuluh darah besar dan kecil. Tekanan intraabdominal diperoleh sepanjang
prosedur ini, yang biasanya 12mmHg, meningkatkan tekanan vena central, denyut nadi,
resistensi pembuluh darah sistemik meningkat hingga 65%, dan resistensi pembvuluh darah
pulmonar meningkat hingga 90%. Curah jantung dapat meningkat apabila pasien dalam
posisi Tredenlemburg atau pasien dengan curah jantung meningkat.
Ketika tekanan intra abdominal meningkat hingga 15 mmHg, karena kelebihhan
insufisiensi atau karena dinding otot abdomen resitensi terhadap induflasi atau batuk atau
tube, kompresi vena cava, menyebabkan penurunan aliran balik dan curah jantung.
Peningkatan diafragma akan meningkatkan tekanan intra torakal dan menurunkan curah
jantung. Kadar CO yang rendah dapat dikompensasi pada pasien dengan kondisi tubuh sehat
dengan meningkatkan denyut nadi dan tekanan arteri,memperoleh status hemodinamik yang
stabil, tetapi jika perdarahan akut terjadi, pasien akan turun dengan cepat ke status yang tidak
stabil. Aritmia dan bradikardi sering muncul pada pasien.
Seluruh studi penelitian melaporkan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik
selama pneumoperitoneum. Resistensi pembuluh darah sistemik juga meningkat dalam studi
dimana tidak ada penurunan curah jantung. Sedangkan jantung normal mentolelir
peningkatan afterload pada kondisi fisiologis, perubahan afterload yang diproduksi oleh
pneumoperitoneum dapat mengakibatkan efek pada pasien dengan penyakit jantung dan
dapat menyebabkan penurunan curah jantung lebih lanjut.
Karbondioksida pneumoperitoneum menginduksi absorbsi gas sehingga terjadi
kecenderungan hiperkapnia. Jika ventilasi paru tidak cukup untuk mengeleminasi, CO2
diabsorbsi dari pneumoperitoneum., kemudian hiperkapnia muncul dan menghasilkan
asidosis yang dapat mendepresi fungsi miokard dan faktor predisposisi aritmia dan kerusakan
sistem kardiovaskular. Karbondioksida juga memberikan efek pada jantung, dikarenakan
aritmia dan kemungkinan penurunan kontraksibilitas. Inilah yang menjadi alasan Helium
direkomendasikan sebagai gas insufflasi pada pasien dengan resiko jantung atau keterbatasan
paru untuk mengeleminasi CO2.
Emboli gas melalui pembuluh darah yang terbuka dapat mengakibatkan perubahan
hemodinamik berat, yang dapat mengakibatkan kegagalan sistem kardiovaskular dikarenakan
aliran balik vena. Posisi anti-Trendelemburg meningkatkan kehebatan emboli dan ini
mengakibatkan tertundanya pengobatan ini.
Ketika operasi laparoskopik dilakukan dibagian inferior abdomen, seperti pada bagian
ginekologi atau operasi panggul, posisi Trendelemburg merupakan posisi wajib. Ini dapat
meningkatkan aliran balik vena dan mengkompensasi kehilangan darah. Bagaimanapun juga
jantung pasien dapat meningkatkan preload jantung. Lebih dari itu perubahan pernapasan
yang dihasilkan oleh pengangkatan diafragma, dikarenakan tekanan intra abdominal yang
berlebihan pada posisi trendelemburg, dapat menjadikan peningkatan intratorakal.
Kenyataannya, pada kombinasi dengan tekanan inspirasi yang lebih tinggi diperlukan akan
meningkatkan impedansi jantung, atau dengan kata lain curah jantung. Pada akhirnya
insufisiensi ginjal dapat menjelaskan hubungan dengan peningkatan tekanan intra abdominal
karena pasca operasi.

PERUBAHAN RESPIRASI PADA LAPAROSKOPIK

Perubahan patologi pernapasan terjadi selama operasi laparoskopik diinduksi oleh
pneumoperitoneum dan posisi pasien (Trendelemburg atau anti-Trendelemburg). Kenaikan
tekanan intra abdominal mengangkat diafragma, menurunkan volume intra toraks dan
mengganggu mekanisme ventilasi.
Tekanan maksimum yang direkomendasikan adalah 10-15 mmHg dikarenakan
perubahan pernapasan dapat ditoleransi pada level tersebut. Lebih dari 15 mmHg, tekanan
jalan nafas meningkat bersamaan dengan peningkatan tekanan intra torakal
Pneumoperitoneum menurunkan batas kembang paru. Batas kembang paru berkurang
30% hingga 50% pada kondisi sehat, obesitas, dan pasien dengan ASA III atau IV.
CO2 tersebar didalam darah dan akan dieliminasikan selama ekspirasi. Tetapi ini juga
akan dikumulasi didalam jaringan lemak ataupun otot, yang menjelaskan tingginya
karbondioksida selama beberapa menit setelah akhir insuflasi.

KOMPLIKASI RESPIRATORI

Emfisema Subkutan CO2
Emfisema subkutan CO2 dapat berkembang menjadi komplikasi yang dapat terjaddi
secara kebetulan dari insuflasi ekstraperitoneal, tetapi dapat juga dipikirkan sebagai efek
samping yang tidak dapat dihindarkan dari prosedur pembedahan laparoskopikk tertentu yang
membutuhkan insuflasi ekstraperitoneal intensional seperti pada perbaikan hernia inginalis,
pembedahan ginjal, dan limfadenektomi pelvis. Pembukaan peritoneum diatas hiatus
diafragmatika membiarkan perjalanan CO2 dalam tekanan melalui mediastinum untuk daerah
cervicocephalik. Dalam situasi ini, VCO2, PaCO2, dan PEt CO2 meningkat. Peningkatan
apapun dari PEt CO2 telah menjadi tanda komplikasi ini.

Pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumopericardium
Pergerakan gas selama pembentukan pneumoperitoneum dapat menghasilkan
pneumomediastinum, pneumothoraks unilateral dan bilateral, dan pneumopericardium. Defek
pada diafragma atau titik lemah pada aorta dan hiatus esofagus dapat memungkinkan gas
berpindah kedalam thoraks. Pneumothoraks juga dapat berkembang sekunder terhadap
robekan pleura selama prosedur pembedahan laparoskopik pada tingkat gastroesophageal
junction (misalnya, fundoplikasio untuk hiatus hernia). Komplikasi ini berpotensi serius dan
dapa mengakibatkan gangguan respirasi dan hemodinamik. Capnothoraks mengakibatkan
penurunan kemampuan kembang paru dan tekanan jalan nafas meningkat. VCO2, PaCO2,
dan PetCO2 juga meningkat. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan melakukan auskultasi
pada dada dan pemeriksaan foto thoraks. Ketika capnothoraks timbul salama laparoskopik
berlangsung, kita dapat melakukan beberapa pedoman dibawah ini:
a. Hentikan pemberian CO2
b. Sesuaikan pengaturan ventilator untuk mengkoreksi hipoksemia.
c. Gunakan positive end-expiratory pressure (PEEP)
d. Kurangi IAP sebanyak mungkin
e. Memelihara komunikasi dengan ahli bedah
f. Hindari thorakosintesis kecuali jika diperlukan, karena pneumothoraks spontan
sembuh setelah

PERUBAHAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN POSISI PASIEN

Posisi pasien di meja operasi selama prosedur laparoskopik berlangsung harus diikuti
dengan prinsip-prinsip umum dibanding dengan operasi lainnya yang dilakukan general
anestesi. Kondisi hemodinamik dapat mengakibatkan hipoperfusi yang terjadi selama
prosedur berlangsung, sehingga dapat mempengaruhi daerah kulit yang terkompresi oleh alat
laparoskopik tersebut. Prosedur laparoskopik biasanya memakan waktu lebih lama, sehingga
perlu diperhatikan aturan-aturan yang ada.
Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi harus dipikirkan selama prosedur
berlangsung, tetapi ada faktor-faktor spesifik yang bergantung pada prosedur tertentu. Faktor
spesifik yang berhubungan dengan posisi pasien adalah: Prosedur abdomen bagian atas,
abdomen bagian bawah, histeroskopi dan prosedur urologi.

Prosedur abdomen bagian atas
Pada laparoskopik abdomen bagian atas pasien harus diposisikan pada posisi anti-
Trendelemburg, hal ini dikarenakan penurunan diafragma dan ventilasi menyebabkan
menurunnya tekanan inspirasi, yang menyebabkan menurunnya tekanan vena dan curah
jantung hinggaa 50%. Pada orang muda dan sehatdapat mengkompensasi ini dengan
meningkatkan detak jantung dan resistensi pembuluh darah, untuk mencegah terjadinya
hipotensi. Tetapi pada orang tua atau orang dengan penyakit sistemik, kompensasi ini tidak
efektif, sehingga hipotensi atau gagal jantung terjadi.

Prosedur abdomen bagian bawah
Pada laparoskopik abdomen bagian bawah, digunakan posisi Trendelemburg. Ini
membuat kondisi ventilator memburuk, tetapi memperbaiki aliran balik vena dan
meningkatkan curah jantung pada orang sehat. Orang yang memiliki kekurangan
kemampuan jantung menyebabkan CO meningkat sehingga menjadi gagal jantung. Ketika
posisi litotomi seperti pada ginekologi atau prosedur intestinal,kenaikan aliran balik vena
meningkat. Posisi Trendelemburg dengan tekanan intraabdominal dapat menyebbabkan
takikardi yng dikarenakan edema cerebral sedang.

Histeroskopi dan prosedur urologi
Dibagi menjadi dua posisi, yaitu: dorsal decubitus dan posisi litotomi. Hipotermia
menjadi komplikasi pada operasi ini, tetapi dapat dihindarkan dengan memonitoring suhu
pasien dan menggunakan cairang intravena yang hangat.

MONITORING

Laparoskopik terkait dengan kondisi postoperasi yang lebih baik (lebih tidak sakit,
waktu yang diperlukan untuk sembuh lebih cepat) membuat pasien lebih mudah untuk
kembali beraktifitas normal, tetapi tidak berarti menurunkan stress selama masa operasi,
terutama pada pasien dengan gangguan sistemik. Teknik monitoring yang dilakukan sama
dengan operasi terbuka lainnya.

Monitoring ASA I dan II
Standard monitoring termasuk: EKG, tekanan darah, auskultasi, suhu, dan konsentrasi
oksigen. Kontrol ventilator juga merupakan hal penting ( volume, tekanan inspirasi,
konsentrasi oksigen). EKG bertujuan untuk mendeteksi aritmia atau adanya iskemik. End-
Tidal concentration of carbon dioxide (EtCO2) merupakan stadar dari monitoring operasi
pada umumnya, tetapi ha ini menjadi sangat penting pada laparoskopik. EtCO2 menolong
untuk mengontrol absorbsi CO2. Pada pasien dengan kondisi sehat, EtCO2 memberi nilai 4-8
mmHg, tetapi nilai ini dapat meningkat pada kondisi syok. Nilai EtCO2 yang terlalu kecil
dapat dipirkan bahwa terjadi emboli, hipotensi atau gagal jantung. Tekanan intraabdominal
dan absorbsi CO2 mewajibkan ahli anestesi untuk membuat penyesuaian ventilasi untuk
menjamin eliminasi karbondioksida. Hal penting lainnya adalah mengatur suhu tubuh pasien,
karena hipotermia berbahaya pada tindakan dengan jangka waktu lama, sehingga cairan
pengganti dan obat anestesi akan lebih mudah bekerja apabila hipotermia dihindarkan.
Tekanan inspirasi yang tinggi pada ventilator dapat merubah dinamika intratorakal
dan fungsi kardiovaskular, tetapi dapat juga dibuat penghisap seperti pergerakan pada trakeal
tube dikarenakan ketidaknyamanan faringeal dan perubahan suara sehingga dapat menjadi
masalah sepanjang proses pemulihan pasien. Emfisema subkutan sealu menjadi resiko pada
laparoskopik.

Monitoring ASA III, IV, dan V
Tidak ada pedoman umum didalam monitoring pasien dengan penyakit sistemik.
Bergantung pada status kardiovaskular dan status respiratori dan bergantung pada komplikasi
yang diperkirakan terjadi, setiap teknik yang dilakukan memiliki standard monitoring yang
berbeda.. pada pasien dengan penyakit jantung, riwayat hipertensi, dan atau volume
pembuluhdarah berubah bermakna, nilai tekanan arteri dan garis kurva menjadi sangat
penting. Pada pasien dengan penyakit paru penting untuk mengawasi kurva PaCO2 EtCO2
Karena kemampuan eliminasi paru dapat terganggu.
Memonitoring Central Venous Pressure (CVP) merupakan hal yang paling banyak
digunakan untuk menentukan dan mengobati kehilangan volume intravaskular. Tetapi
penggunaannya pada prosedur laparoskopik masih kontroversial. Peningkatan tekanan
intraabdominal dan intratorakal dapat menginterfrensi dan menyebabkan kesalahan
penilaian. Ketika laparoskopik abdomen bagian atas dengan posisi anti trendelemburg
dilakukan, monitoring CVP dapat berguna, walaupun diketahui mungkin dapat memberi hasil
yang salah.

You might also like