You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits Rasulullah saw. telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah

sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Rasulullah saw.

merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. Hadits atau disebut juga

dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada

Rasulullah saw., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits,

sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak

terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa

hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya

diperlukan pendekatan khusus.

Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi

(sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara

tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis

hadits-nya, dan karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka

menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan

ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada

zaman Nabi secara keseluruhan.


Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi

secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman1 mengatakan

"hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan hadits

yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat

umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah.

Dari uraian tersebut, penulis terinspirasi untuk menyusun suatu makalah

tentang perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad saw. dan masa

sahabat. yang merupakan kajian yang sangat efektif dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat diuraikan rumusan masalahnya

sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan hadits pada masa Rasulullah saw?

2. Bagaimana perkembangan hadits pada masa Sahabat?

A. Tujuan dan Kegunaaan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan hadits pada masa Rasulullah saw.

2. Untuk mengetahui perkembangan hadits pada masa Sahabat.

Sedangkan tujuan dari penulisan makalah ini adalah kita dapat mengetahui

sejarah perkembangan hadits pada masa Rasulullah masih hidup dan setelah

wafat yakni masa para sahabat-sahabat.

1 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka Pintu
Ijtihad, (Cet. 1; Bandung: Pustaka, 1995), h. 12
BAB II

PEMBAHASAN

Hadits merupakan manhaj Rasulullah saw. yang terperinci dalam pengajaran

Islam, aplikasi atau penerapannya dan pendidikan umat padanya, yang termanivestasi

dalam firman Allah swt yakni Q.S. Ali-Imran (3) ; 164, sebagai berikut:

   


  
  
 
 
 
 
Terjemahnya: Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan
Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.2

Hadits merupakan sumber acuan kedua bagi Islam setelah Al-Qur’an. Al-

Qur’an merupakan undang-undang dasar yang memuat prinsip-prinsip dan kaidah-

kaidah dasar Islam; akidah, ibadah, akhlak, muamalat dan adab susilanya.

Hadits merupakan penjelasan teoritis dan peraktek terapan bagi Al-Qur’an

dalam semuanya itu. Oleh karena itu, harus mengikutinya dan mengamalkan apa

yang dibawahnya dari hukum-hukum dan pengarahan-pengarahan. Mentaati

2 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Revisi Terjemah;


Semarang ; CV. Toha Putra, 1989), h. 104
Rasulullah saw. pada dasarnya adalah wajib, sebagaimana ditaatinya dalam hal yang

disampaikannya dari ayat-ayat Al-Qur’an.3

A. Perkembangan Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para

sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal

ini disebabkan, Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau.

Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits

beliau. Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. misalnya

berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat

dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah

menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M),

Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M),

Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M),

dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa

seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.4

Sebelumnya penulis akan menjelaskan definisi hadits. Kata "Hadits" atau

al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-

qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu

3 Yusuf Al-Qardhawy, Pengantar Kajian Islam Studi Analistik Komprehensif, tentang


Pilar-pilar Subtansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al-
Kausar, 1997), h. 380

4 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Cet. II;
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998), h. 34
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

Kata jamaknya, ialah al-ahadis. 5

Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam

memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga

beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang

mendefinisikan hadits, adalah :

Segala perkataan Nabi saw, perbuatan, dan hal ihwalnya. Ulama hadits

menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang

Nabi saw, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah

kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan

pengertian hadits dengan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa

perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya.

Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits adalah sesuatu yang

didasarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun

sifatnya. 6

Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli

hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah

hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik perkataan

maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan

terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal

5 Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Cet. 1; Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 22

6 Ibid, h. 23
atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian

ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari

bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke

dalam aqwal atau afal-nya.

Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits adalah segala perkataan

Nabi saw. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’.7

Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli

ushul, terdapat persamaan yaitu; memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu

yang disandarkan kepada Rasul saw, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan

ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya.

Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau

bersumber dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.

Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan

Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.

Sedangkan pengertian sunnah adalah menurut bahasa berarti: “jalan dan

kebiasaan yang baik atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy,8

pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang

dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah,

walaupun tidak baik.

7 Ibid.

8 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., h. 35


Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah

segala yang dinukilkan dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan,

maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang

demikian itu sebelum Nabi saw., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun

sesudahnya.

Nabi saw hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka

selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Bahwa tidak ada

ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak

dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak

ada di rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul

dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di

dalam hadlar. 9

Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi

menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi

contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku

Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan

Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan

mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.

Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk

mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya.

Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa

untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul saw.

9 Ibid
menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat

selalu ingin mengikuti pengajiannya".

Ada beberapa teknik atau cara Rasul saw. dalam menyampaikan Hadits

kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk

itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi saw. dalam menyampaikan Hadits,

sebagai berikut:

Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis

al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk

menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan

diri untuk mengikuti kegiatannya.

Dalam banyak kesempatan Rasul saw. juga menyampaikan haditsnya

melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya

kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits,

para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh

Rasul saw. sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa

orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh

Abdullah bin Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan

dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut

hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap

para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan

bertanya kepada Rasul saw, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.

Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada'

dan fathu Makkah. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para
sahabatnya (jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek

ibadah dan muamalah.

Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog

langsung kepada Nabi saw. Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu

secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul saw. sebagai sumber Hadits, baik

itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul saw. dengan mereka

tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan

mereka. Para sahabat menerima Hadits dari Rasul saw. adakalanya langsung dari

beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang

dilakukan Nabi saw, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang

kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai

pembicaan tentang suatu persoalan. Indah sekali, betapa bahagia dan indahnya

umat pada saat itu.

Cara para sahabat menerima hadits pada masa Rasulullah saw. berbeda

cara yang dilakukan oleh generasi setelah itu. Cara para sahabat menerima di

masa Nabi Muhammad saw. dilakukan oleh sahabat yang dekat dengan beliau,

seperti kaulafah rasyidin, di masa Rasulullah para sahabat mempunyai minat

yang besar untuk memperoleh hadits dari pada Rasulullah saw. itu sendiri. Oleh

karena itu, mereka berusaha kesar mengikuti Rasulullah saw., agar perbuatan,

perkataan atau taqrir beliau dapat mereka terima atau mereka liat secara

langsung.10

10 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Cet. 1; Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 88
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan

pendidikan di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih

hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih

hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada

mereka. Ada juga sejumalah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau

salinannya. Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nam

orang-orang yang masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500

orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama orang-orang yang mengikuti

perang.

Bahkan seperempat abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat

gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan

menjelang akhir abad pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada

para gubernur. Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak

tahun pertama Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat

bisa bertemu dengan beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit

seperti sekarang ini. Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar,

rumah dan dalam perjalanan. Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah

saw. yang kita kenal sabagai hadits akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a.

dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka.

Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadits

secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah

agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah

berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah,

Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya.

Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW,

kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an

sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat

mengumpulkan hadits-hadits shahih dan menafsirkannya dalam sebuah kitab.

Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi

pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah

sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap

orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan

sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan

lain.

Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba

mengelompokkannya kedalam beberapa periode, seperti yang dirumuskan oleh

M Hasbi Asyiddiqi,11 yang membagi kedalam beberapa periode pada masa Nabi

dan sahabat, yaitu pada abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga

periode . Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)

Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari

Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru

negeri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh

istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga

11 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., h. 36


memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya

diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yakni:

”Dan ceritakanlah dari padaku, tidak ada keberatan bagimu untuk


menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang
berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya
di neraka.”

Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua

cara :

a. Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka dengar dari Rasulullah

Saw.

b. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan

mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan

Nabi.12

Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits

beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW

berkhutbah, setelah seorang dari Yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah

tuliskanlah untukku”, tulislah Abu Syah ini.” .

Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits.

Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun,

termasuk perkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada sahifah-

sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani

mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah

12 Ibid., h. 38
diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti

sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;

‫ب َفَواّلِذى َنْفِسى ِبَيِدِه َما يَْخُرُج ِمُن فمى ِإّل َحّق‬
ْ ‫اْكُت‬

Artinya : ”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari
mulutku kecuali kebenaran”

Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini

adalah pendapat para ulama yakni;

1. Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang

memerintahkan menulis.

2. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus

diizinkan.

3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan

mencampur adukannya dengan al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis

ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.

4. Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-

Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilarang.

5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal

dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits

diizinkan.

A. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat


Kata sahabat menurut bahasa Arab adalah musytaq dari kata syuhbah,

berarti oleh yang menemani yang lain tanpa dibatasi jumlah dan waktu, itulah

sebabnya para ahli hadits mengemukakan rumusan tentang sahabat yang akag

sedikit beda dengan satu dengan yang lainnya. Salah satu ahli hadits

mendefinisikan sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad

saw., dengan ketentuan ia beriman, meriwayatkan hadits atau tidak.13

Pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan

hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam

masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan

hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak

periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudiannya

dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan

penyebarannya.

Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang

sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan

hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.

Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit

memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat

berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang

penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang

awam, karena beliau sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.

13 Mustafa Amin Ibrahim Al-Fazi Muhadarafih, Umulum Al-Hadits (Kairo; Jami’ul Al-
Ashar, 1971), h. 44
Pada masa Khulafa Rasyidin, periwayatan sangat sedikit dan agak lamban,

terutama pada masa Abu Bakar dan Umar. Pada masa ini periwayatan hadits

dilakukan dengan sangat hati-hati, beliau tidak sembarang menerima. Menerima

hadits sebagaimana yang terjadi pada suatu hari.

Dalam suaru riwayat bahwa Abu Musa Al-Asyari mendatangi rumah

Umar, setibanya dirumahnya Umar ia memberikan salam sebanyak tiga kali,

Umar tidak menjawab sekalipun. Abu Musa pun tidak jadi masuk kerumah

Umar. Ketika melihat Abu Musa tidak ada lagi, lalu Umar mengejarnya sampai

ketemu dan bertanya pada Abu Musa, kenapa anda berbalik? Abu Musa

menjawab, bahwa kata Rasulullah saw. barang siapa mengucapkan salam tiga

kali baru tidak dijawab maka tidak dibenarkan masuk kedalam rumah tersebut.

Lalu Umar mengatakan, saya tidak percaya apa yang kamu sampaikan sebelum

kamu menghadirkan seorang saksi, yang menjadi saksi apa yang kamu

sampaikan.14

Dalam ketelitian dalam meneriwayatkan hadits, bukan saja Umar Ibnu

Hattab dan Abu Bakar, Usman Ibnu Affan pun termasuk sahabat yang sangat

teliti dalam meriwayatkan hadits.

Para sahabat selalu berusaha agar periwayatan hadits bisa tersebar luas

keberbagai pelosok daerah Hal ini terwujud setelah Rasulullah saw. wafat, yang

nampak sekali pada masa Usman, karena mereka memberikan kelonggaran

kepada para sahabat untuk menyebarluaskan periwayatan hadits kedaerah-daerah

14 Nawir Yuslem, op. cit., h. 113


lain yang dimulai dengan penyebaran syiar agama Islam, mengikuti pula

penyebaran hadits.

Selain dengan kondisi tersebut, dan dalam tuntutan untuk mengajarkan

ilmu agama kepada masyarakat yang baru memeluk agama Islam, maka khalifah

Usman Ibnu Affan serta Ali Ibnu Abi Thalib, mulai memberikan kelongggaran-

kelonggaran kepada para sahabat dalam rangka menyebarluaskan periwayatan

hadits, sehingga terjadi penukaran informasi, mereka memberikan dan menerima

satu sama lain, sehingga terjadi keikhtisaran riwayat al-Hadits, serta peningkatan

kualitas periwayatan hadits.15

Berita tentang perilaku Nabi Muhammad saw. (sabda, perbuatan, sikap)

didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan

saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang

kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu

disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah

sahabat). Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi

selanjutnya lagi yaitu para tabi'it-tabi'in dan seterusnya hingga sampai kepada

pembuku hadist (mudawwin).

Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam

benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk

melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai

keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.

15 Daniel Djuned, Paradigma Baru Study Ilmu Hadits (Cet. 1; Banda Aceh: Citra Karya,
2002), h. 13
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering

menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al-Hadits

yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya.

Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering

bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang

diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada

waktu Nabi Muhammad masih hidup.

Dengan demikian pelaksanaan Al-Hadist dikalangan umat Islam saat itu

selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara

langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah

berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al-Hadist yang telah diamalkan/ditaati

oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut

sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran

Al Hadist.

Meski pada masa itu Al Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun

ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan

untuk kepentingan umum). Diantaranya ialah :

1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)

2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu

soal denda atau ganti rugi).

Adapun masa perkembangan hadits pada sahabat dibagi dalam beberapa masa

yakni:

1. Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya

tidak menimbulkan masalah mengenai Al-Hadits karena sahabat besar masih

cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat

bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai

Al-Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu

untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 -

644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas

hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru

khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan

macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat

tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan

untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para

sahabat makin saling bertemu bertukar Al-Hadist.

Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian

Al-Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang

sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para

tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini

berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat

diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang

diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu,

sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis

apalagi dibukukan.

2. Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali

bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam

yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang

bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan

kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al-

Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung

guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan /

perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak

mungkin memalsukan Al-Qur’an, karena selain sudah didiwankan

(dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang

bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al-Qur’an belaka untuk memenuhi

keinginan atau pahamnya.

3. Masa Pendiwanan dan Penyusunan


Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al-

Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa

abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan

Al-Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al-Hadits

yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al-Hadits marfu' ialah Al-Hadits yang

berisi perilaku Nabi Muhammad, Al-Hadits mauquf ialah Al-Hadits yang

berisi perilaku sahabat dan Al-Hadits maqthu' ialah Al-Hadits yang berisi

perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :

a. Ahmad bin Hambal

b. 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi

c. Musaddad Al Bashri

d. Nu'am bin Hammad Al Khuza'i


e. 'Utsman bin Abi Syu'bah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat ditarik sebuah kesimpulan

adalah sebagai berikut:

1. Nabi SAW., menyampaikan Haditsnya melalui beberapa teknik atau cara

yaitu:

a. Melalui jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi,.


b. Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya

melalui para sahabat tertentu.

c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka.

d. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya.

e. Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdialog

langsung kepada Nabi saw.

1. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat, yakni dalam pelaksananya

sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafa Rasyidin dapat dikatakan masih

agak lambat dan hati-hati, tetapi karena perkembangan maka para sahabat

memberikan kelonggaran-kelonggaran untuk meriwayatkah hadits Nabi

Muhammad saw.

A. Saran

Dari kesimpulan tersebut penulis memberikan saran-saran kepada berbagai

pihak agar memperbanyak penelitian-penelitian yang berkaitan dengan hadits

Nabi Muhammad, yang sangat penting untuk diketahui. Karena ini merupakan

sumber hukum kedua bagi umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Djuned, Daniel. Paradigma Baru Study Ilmu Hadits. Cet. 1; Banda Aceh: Citra
Karya, 2002

Muhadarafih, Mustafa Amin Ibrahim Al-Fazi. Umulum Al-Hadits. Kairo; Jami’ul Al-
Ashar, 1971

Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka


Pintu Ijtihad. Cet. 1; Bandung: Pustaka, 1995

Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.
2; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. Cet. 1; Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001
PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
DAN SAHABAT

Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah BPKI
Semester I Prodi Ekonomi Islam Jurusan Syariah
Oleh

KELOMPOK VII

– ST. RAHMAWATI
– AGUSTINA
– MURSALIM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)


WATAMPONE
2009

KATA PENGANTAR

  

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan Allah Swt. karena atas rahmat dan

inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

Perkembangan Hadits Pada Masa Nabi Muhammad saw. dan Sahabat, dapat

diselesaikan dengan baik

Shalawat dan taslim atas junjungan Nabi Muhammad Saw. sebagai rahmat

seluruh alam sebagai pelengkap dan penyempurna ajaran sebelumnya menuju

keselamatan dunia dan akhirat. Dan makalah ini mudah-mudahan memberikan

sumbangsi dan bermanfaat bagi penulis dam masyarakat umumnya.

Dalam proses penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa tanpa

bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, makalah
ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, dan masih banyak kekurangan yang perluh

diberikan kritikan dan saran dari berbagai pihak.

Akhirnya hanyalah kepada Allah swt. jualah penulis memohon semoga

bantuan dan partisipasinya mendapat limpahan pahala disisi-Nya. Amin ya rabbal

alamin.

Watampone, 20 Oktober 2009

Penulis,

Kelompok VII

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan dan Kegunaan 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hadits pada Masa Nabi Muhammad saw. 4
B. Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 21
B. Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23

You might also like