You are on page 1of 8

1

Tonsilitis difteri

Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun, dibawa ibunya ke klinik THT, bayi menangis lemah,
suara parau, sesak. Riwayat imunisasi tidak jelas, suhu subfebril, nadi lambat, anak sedikit
gelisah, sesak, stridor, refraksi suprasternal, infraclavicula, infrasternal. Tonsil diliputi selaput
putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Bull neck +
Anamnesis
Mengajukan beberapa pertanyaan ke pasien sebagai anamnesis:
apakah ada riwayat flu ?
apakah terjadi sumbatan hidung ?
apakah menjaga kebersihan gigi dan mulut ?
apakah gusi membengkak ?
apakah memiliki riwayat nyeri tenggorokan ?
apakah terasa sakit saat menelan ?
apakah suara menjadi parau ?
KU :menangis lemah, suara parau, sesak.
RPS :
Menangis lemah.
Suara parau.
Sesak.
Sedikit gelisah.
Leher membesar menyerupai leher sapi.
RPD : tidak ada.
1




Pemeriksaan fisik
TTV :
Suhu : subfebril (38,5
0
C 39,5
0
C)
Heart rate(HR) : nadi lambat (< 60 X/menit).
Respiratory rate (RR) : terlihat sesak
Tekanan darah : -
2

Inspeksi :
Tampak lemah.
Suara parau.
Sedikit gelisah.
Refraksi suprasternal, infra clavicula, dan infra sternal.
Leher terlihat membesar (Bull neck +).
Tonsil diliputi selaput putih keabu-abuan.
palpasi :
Selaput putih keabu-abuan yang meliputi tonsil mudah berdarah bila diangkat.
Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening pada leher.
Auskultasi paru : Stridor.
2


Pemeriksaan penunjang
Tes schick
Tes kulit ini digunakan untuk menetukan status imunitas penderita.tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Caranya : 0,1 ml (1/50 MLD) cairan toksin difteri disuntikkan intradermal. Bila dalam
tubuh penderita tidak ada anti toksin, terjadi pembengkakan, eritema dan sakit yang
terjadi 3-5 hari setelah suntikan. Bila pada tubuh penderita terdapat anti toksin maka
toksin akan dinetralisir sehingga tidak terjadi reaksi kulit.
2


Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pembuatan preparat langsung kuman (dari
permukaan bawah membran semu). Medium transpor yang dapat dipakai adalah agar
MacConkey atau Loeffler.
2


Diagnosa kerja
Diagnosa kerjapada kasus ini adalah tonsilitis difteri.
Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu : tonsil faringeal, tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius.Tonsilitis akut
adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus,
streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus.
2

Tonsilitis difteri adalah salah satu penyakit yang termasuk tonsilitis membranosa.
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi
tertinggi pada usia2-5tahun.
3

Diagnosa banding
3

Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptococcus haemoliticus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul endemik. Oleh karena itu perlu adanya
pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.
3

Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Spirochaeta atau treponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin
C.
Gejala penyakit ini adalah demam sampai suhu 39
0
C, nyeri kepala, badan
lemah, dan kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
Pada pemeriksaan ditemukan mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
3

Penyakit kelainan darah
1. Leukemia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan, di mukosa mulut,
gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil
membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang
hebat di tenggorokan.
3


2. Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidotropin, sulfa
dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di
sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia
dan saluran cerna.
3


3. Infeksi mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral.
Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan.
Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak, dan regio inguinalis. Gambaran
darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas
yang lain ialah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (reaksi Paul Bunnel).
3


Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang
termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan
4

laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan
per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
4

Epidemiologi
Tonsilitis, penyebaran infeksinya melalui udara, tangan, dan ciuman. Dapat terjadi
pada semua umur, terutama anak-anak.
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok
setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada
individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi
primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit
ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh
fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum
mendapatkan imunisasi.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.
4

Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa / kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa
saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes kesekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini
merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino terminal) dan fragmen B (carboxy terminal)
yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul
toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated
pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan
toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asi difikasi secara
alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membrane endosom
ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein
dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah
diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A daripada ribosome. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
5

merupakan pindahan gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A kekedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase
melalui proses :
NAD
+
+ EF
2
(aktif) ---
toksin
---> ADP-ribosil-EF
2
(inaktif) + H
2
+ Nicotinamide ADP-
ribosil-EF2 yang inaktif .
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di
daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang,
eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
4

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus
pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-
cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis
dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak
edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada
ginjal.
5

Manifestasi klinis
Gejala umum
Seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri
menelan.
3

6

Gejala lokal
Yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makain lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Dalam 24 jam
membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula
membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat.
Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya.
Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck). Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak.
3


Gejala akibat eksotoksin
Yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio
cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
3

Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta
otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan
otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
3

Penatalaksanaan
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25 50 mg per kg berat badan dibagi 3 dosis
selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari.
Antipiretik untuk simtomatis.
Trakeostomi bila perlu untuk mengatasi sumbatan jalan napas.
Tonsilektomi dilakukan pada kasus karier.
Edukasi :
o Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi.
o Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2 -3 minggu.
3

Pencegahan
7

Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada
umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit
ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.

Khusus
Terdiridariimunisasi DPT dan pengobatancarrier.
5

Prognosis
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %.
Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering
terjadi akibat miokarditis.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-
anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring
(48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
6

Kesimpulan
Hipotesa diterima yaitu anak laki-laki berusia 4 tahun dengan gejala gelisah,
menangis lemah, suara parau, sesak, sedikit gelisah, suhu subfebril, nadi lambat, refraksi
suprasternal, refraksi infraclavicula, refraksi infrasternal, tonsil ada selaput putih keabu-abuan
dan mudah berdarah bila diangkat, bull neck +, menderita tonsilitis difteri.
Daftar pustaka
1. Medical School of Jenderal Soedirman University : Health Study Club. 2011. Diakses
26 Maret 2013, dari http://hscfkunsoed.blogspot.com/2011/05/anamnesis.html.
2. Cody, D. Thane R, dkk.. Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Jakarta : EGC.
2001. Hal. 292-294.
3. Soepardi, Efiaty Arsyad. Iskandar, Nurbaiti. Bashiruddin, Jenny. Restuti, Ratna Dwi.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed.
6. Jakarta : FKUI. 2011. Hal. 222-223.
8

4. Adams, GL. Penyakit-penyakitNasfaringdanOrofaring. Dalam: BOIES
BukuAjarPenyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology). Ed. 6. Jakarta :EGC.
2001. Hal. 303-306.
5. Widyasari, Jessie. Difteri tonsil. 27 Agustus 2010. Diakses 26 Maret 2013,
darihttp://www.scribd.com/doc/36494895/difteri-tonsil.
6. Garna Herry, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Ed. 2.
Bandung : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 2000. Hal. 172.

You might also like