2. Regularitas Sosial 3. Data Agregat, bukan Individual 4. Bahasa Variabel
Teori bukan filsafat atau keimanan:
Ilmu ditandai dengan istilah logico-empirical yang artinya didasarkan pada dua hal: (1) logika atau penalaran rasional dan (2) pengamatan atas gejala empirik. Artinya, setiap hal dikatakan ilmiah kalau masuk akal dan bisa dibuktikan dengan apa yang diamati. Teori berkenaan dengan aspek logika keilmuan sedangkan riset berkenaan dengan aspek pengamatan. Teori sosial ilmiah berkenaan dengan apa yang senyatanya terjadi (what is), bukan apa yang seharusnya terjadi (what should be). Hal ini menjadikan ilmu sosial tidak memperdebatkan tentang nilai. Ilmu sosial tidak menunjukkan apakah kapitalisme lebih baik atau lebih buruk daripada sosialisme, kecuali diukur dari kondisi-kondisi tertentu yang telah disepakati sebelumnya, misalnya diukur dari pemberian kebebasan, kapitalisme lebih memberikan kebebasan daripada sosialisme.
Regularitas Sosial (Keteraturan sosial)
Asumsi dasarnya: kehidupan sosial sedinamis apapun adalah teratur, bukannya samasekali kacau atau acak. Asumsi keteraturan itu menjadi dasar bagi semua ilmu, namun dibandigkan dengan ilmu alam, ilmu sosial mempunyai kekhasan dan keterbatasan. Contoh: es mencair pada suhu tertentu, namun orang yang nampak alim ada yang berprofesi sebagai pencuri. Namun kalau mengamati sebagian besar orang yang nampak alim maka sebagian besar tidak pernah mencuri. Ada tiga keberatan terhadap asumsi regularitas dalam ilmu sosial: (1) beberapa hal yang dianggap sebagai "keteraturan" merupakan hal yang nampaknya dibuat-buat (trivial). Misalnya "promosi jabatan yang adil meningkatkan moral prajurit." Ketika diteliti, prajurit yang lambat dipromosikan menganggap sistem promosinya tidak adil, dan prajurit yang dipromosikan cepat menganggap sistem promosi itu adil. (2) Kasus-kasus yang tercatat berlawanan dengan "keteraturan" itu menjadikan apa yang dianggap sebagai keterauran bukanlah benar-benar sebuah keteraturan; (3) Orang yang terlibat dalam "keteraturan sosial" itu sebenarnya bisa saja merusak keteraturan itu jika mereka mau (menyangkut adanya sikap atau attitude). Data Agregat, bukannya Individual Ilmuwan sosial lebih mempelajari pola-pola sosial daripada sifat-sifat individual. Keseluruhan pola-pola teratur itu mencerminkan adanya tindakan dan situasi yang bersifat agregat dari banyak individu. Sekalipun kadang kala ulmuwan sosial mempelajari motivasi (dorongan) yang mempengaruhi tingkah-laku seseorang, individu itu sendiri jarang sekali dijadikan obyek kajian ilmu soaial. Ilmu sosial tidak menghasilkan teori tentang seseorang, melainkan hanya mengenai hakikat kehidupan berkelompok (kehidupan sosial). Kadang kala keteraturan agregatif merupakan hal yang menakjubkan. Ambil contoh, laju kelahiran. Orang punya anak didasarkan pada rentang variasi alasan yang sangat lebar. Beberapa mengatakan bahwa itu kehendak orang tua mereka, beberapa mengatakan itu merupakan kesempurnaannya sebagai laki- laki dan wanita, beberapa karena ingin mempererat tali perkawinan, beberapa lagi karena "kecelakaan." Tetapi di luar semua perbedaan alasan mempunyai anak itu, secara keseluruhan laju kelahiran anak dalam suatu masyarakat menunjukkan angka yang konsisten dari tahun ke tahun. Jika tahun ini ada 19,1 anak lahir per seribu penduduk, maka tahun depan juga angkanya dekat dengan 19,1 per seribu, sekalipun angka laju kelahiran itu mungkin akan meningkat atau merosot dalam periode yang lama. Seandainya laju kelahiran di suatu masyarakat adalah 19,1 lalu 35,6 lalu 7,8 lalu 28,9 lalu 16,2 dalam waktu lima tahun berturut-turut, para demografer akan jatuh pingsan seketika! Dengan demikian, teori sosial berkenaan dengan tingkah-laku agregat, bukan tingkah-laku individual. Tujuan ilmu sosial adalah menjelaskan mengapa pola-pola agregatif tingkah-laku masyarakat sedemikian teraturnya bahkan ketika orang-orang yang termasuk di dalamnya berubah dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, ilmu sosial tidak berusaha menjelaskan tentang masyarakat itu sendiri, melainkan lebih bertujuan menjelaskan sistem sosial di mana masyarakat itu berkehidupan, yakni sistem yang menjelaskan mengapa masyarakat melakukan apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu elemen-elemen dalam sistem tersebut bukanlah masyarakat, melainkan variabel-variabel.
Ilmu Sosial ber-Bahasa Variabel
Ilustrasi: obyek seorang dokter adalah pasien. Jika si pasien sakit, tugas dokter itu membuatnya sembuh. Tetapi seorang peneliti kesehatan obyeknya adalah penyakit. Mungkin melihat pada pasien yang sama, namun pasien itu relevan baginya hanya kalau dia menderita penyakit yang ditelitinya. Ini bukan berarti bahwa peneliti kesehatan tak peduli dengan orang sakit. Tujuan penelitiannya juga untuk melindungi semua manusia dari penyakit. Sebab kalau penyakit itu bisa dipelajarinya tanpa melihat pada pasien langsung (misalnya di lab) dia akan melakukan itu. Dengan analogi itu ingin dikatakan di sini bahwa ilmu sosial memuat studi mengenai variabel-variabel dan atribut-atribut yang menyusunnya. Teori- teori ilmu sosial dituliskan dalam bahasa variabel, dan menggambarkan masyarakat yang memuat variabel-variabel itu. (mengenai variabel akan dijelaskan lebih jauh di bab 3).
Sikap Ilmuwan 1. Skeptis 2. Rival hypothesis
Ketika ada yang mengatakan bahwa A menyebabkan B, seseorang yang
“berpikir sebagaimana seorang ilmuwan sosial” bertanya apakah hubungan itu benar-benar hubungan kausal. Adalah mudah untuk mengajukan pertanyaan- pertanyaan semacam itu terhadap hasil-hasil penelitian orang lain, tetapi yang lebih penting adalah menanyakan kepada mereka mengenai hasil penelitian kita. Ada banyak alasan mengapa kita sebaiknya bersikap skeptis terhadap suatu pernyataan kausal, yang pada kesan pertama sepertinya merupakan pemikiran yang masuk akal. Kita membaca koran harian bahwa orang-orang Jepang makan lebih sedikit daging merah dan jumlahnya lebih sedikit yang terkena serangan jantung daripada orang Amerika Serikat. Mengamati hal ini sendiri sangat menarik. Sebagai tambahan, penjelasan – terlampau banyak makan steak akan membawa lebih tinggi angka serangan jantung di Amerika Serikat – adalah masuk akal. Ilmuwan sosial yang skeptis menanyakan mengenai akurasi data (bagaimana kita bisa mengetahui tentang kebiasaan makan? Sampel apa yang digunakan? Apakah serangan jantung diklasifikasikan secara mirip di Jepang dan Amerika Serikat sehingga kita bisa membandingkan fenomena yang mirip?). Anggaplah bahwa datanya akurat, tapi tetaplah ada hal lain yang mungkin menjelaskan: Adakah variabel-variabel lain (perbedaan-perbedaan pola makan, ciri-ciri kondisi dasar genetik, gaya hidup) yang mungkin menjelaskan gejala tersebut? Bisakah kita secara tidak sengaja memutarbalikkan antara sebab dan akibat? Sangat sulit untuk membayangkan bagaimana dengan tidak mengalami serangan jantung akan menyebabkan seseorang makan lebih sedikit daging walau itupun mungkin. Mungkin orang kehilangan selera makannya terhadap hamburger dan steak pada waktu yang sudah terlambat dalam hidupnya. Jika ini kasusnya, mereka yang tidak mengalami serangan jantung (untuk alasan apapun) akan hidup lebih lama dan makan lebih sedikit daging. Fakta ini akan menghasilkan hubungan yang sama yang membawa para peneliti untuk menyimpulkan bahwa daging merupakan biangnya serangan jantung. Tentunya bukanlah tujuan kita untuk mengetengahkan telaah medis seperti itu. Namun kita semata-mata menggambarkan bagaimana para ilmuwan sosial mendekati permasalahan penarikan kesimpulan: yakni dengan skeptisisme dan suatu perhatian bagi penjelasan-penjelasan alternatif yang mungkin bisa dikemukakan. Penarikan kesimpulan sebab-akibat (inferensi kausal) dengan demikian menjadi suatu proses di mana masing-masing konklusi menjadi suatu kondisi bagi penelitian lebih lanjut untuk mempertajam dan mengujinya. Melalui pemahaman suksesif itu kita mencoba semakin dekat dan semakin dekat pada inferensi kausal yang akurat.