Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawa
n Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkat an Pujangga baru yang romantik - idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan in i banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-p uisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judu l "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan ang katan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. contoh: ELEGI Oleh : Asrul Sani Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan. Kita yang mau mencipta dan akan tewas akan berlaku untuk ini dengan cinta, dan akan jatuh seperti permata mahkota berderi sebutir demi sebutir Apa juga masih akan tiba, Mesra yang kita bawa, tiadalah kita biarkan hilang karena hisapan pasir Engkau yang telah berani menyerukan Kebenaranmu dari gunung dan keluasan Sekali masa akan ditimpa angin dan hujan Jika suaramu hilang dan engkau mati. Maka kami akan berduka, dan kanan menghormat bersama kekasih kami. Kita semua berdiri di belakang tapal, Dari suatu malam ramai, Dari suatu kegelapan tiada berkata, Dari waktu terlalu cepat dan kita mau tahan, Dari perceraian - tiada mungkin, Dan sinar mata yang tiada terlupakan. Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan, Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan senja, Terik yang keras tiada lagi akan sanggup mengeringkan kembang kerenyam* Pepohonan sekali lai akan berdahan panjang Dan buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang. Laut India akan melempar parang Bercerita dari kembar cinta dan perceraian Aku akan minta, supaya engkau Berdiri curam, atas puncak dibakar panas dan sekali lagi berseru, akan pelajaran baru. Waktu itu angin Juni akan bertambah tenang Karena bulan berangkat tua Kemarau akan segan kepada bunga yang telah berkembang. Di sini telah datang suatu perasaan, Serta kita akan menderita dan tertawa. Tawa dan derita dari yang tewas yang mencipta..... PRAJURIT JAGA MALAM oleh : Chairil Anwar Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ? Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...... Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ! (1948) Siasat, Th III, No. 96 1949 ratap ibu oleh : trisno sumardjo Anakku tuan remaja putri, Buah hati cahaya mata; Hari raya sebesar ini, Mengapa tuan tak bangun jua. Bangun tuan, bangun nak kandung, Bangun nak sayang, muda rupawan; Sampai hati anakku tuan, Membiarkan bunda duduk berkabung. Lihatlah nasi telah terhidang, Pakailah kain berlipat-lipat: Tuan penanti jamu yang datang, Akan penjelang kaum kerabat. Bunyi tabuh menggegar bumi, Bunyi petasan gegap gempita; Penuh sesak di jalan raya, Segala umat bersuka hati. Parau suara kering rangkungan, Memanggil tuan emas juita; Mengapa tidak tuan dengarkan, Suka melihat ibu berduka. Tersirap darah gemetar tulang, Melihat gadis duduk bersenda; Wajah tuan sedikit tak hilang, Serasa anakku duduk beserta. Aduhai gadis anakku sayang, Masih teringat, terbayang-bayang; Di hari raya tahun dahulu, Tuan duduk di hadapan ibu. Bunda selalu dengar-dengaran, Sebagai mendengar suara tuan; Perangai menjadi bayangan mata, Peninggalan seakan racun yang bisa. Anakku, tak tertahan tak terderita, Tersekanq nasi dalam rangkungan; Terbang semangat letih anggota, Bila bunda teringat tuan. Ke rimba mana bunda berjalan, Lautan mana kan bunda arung; Agar bertemu anakku tuan, Supaya terhibur hati yang murung. Anakku, kekasih ibu, Buah hati junjungan ulu; Lengang rasanya kampung negara, Sunyi senyap di hari raya, Bunda sebagai hidup sendiri, Selama tuan tak ada lagi. Tidak berguna sawah dan bendar, Emas intan tidak berharga; Rumah besar rasa terbakar, Untuk siapa kekuatan bunda. Aduh kekasih, aduh nak sayang, Di mana tuan terbaring seorang; Bawalah ibu sama berjalan, Mengapa bunda tuan tinggalkan, Tanah Air : oleh : s. rukiah (I)
Hanya senyumanmu saja / suram mendalam. / Selainnya masih gelap berselubung / ta k kenal bintang. / Sedang hari baru tiba kepada senja!
Ini aku tidak tahu / haruskah aku nantikan Engkau / dengan bercermin di langit m endung melalui malam kelam / yang belum tentu ia berbulan?!
(II)
Lihat! Alam tiada semarak lagi / Langit tinggal bayangnya saja / melengkung cura m! Di situ rupanya penuh bertimbun kekayaan. / Surga! Begitu tiap manusia bilang / tapi bila datang kebinasaan / dari kedahsatan benci dan pembunuhan / di situ, di situ pula kita terpelanting / ke dalam jurang!
Jika begini / tak ada lagi yang tampak menguak harapan / hanya itu senyumanmu sa ja / yang suram mendalam. / sedang hari baru tiba kepada senja!
(III)
kekasihku, / di sini, di antara bunga-bunga kuncup yang belum tahu / warna serta wanginya ini / dengan bercermin di kabut mendung ini / akan kunantikan Engkau / sampai hariku satu-satu berlepasan!
Kapan itu selubung gelap pecah terbuka / dan kapan lagi itu / bayangan bulan yan g kecut muram jadi ketawa / menyentakkan layar malam bertemu dengan matari / men gulur pagi bercinta?
Dalam kemestian melalui malam ini / aku tidak peduli kepada jam mati / yang lupa akan detikan, / Cuma itu saja: senyumanmu! / suram mendalam / bayang kurban keb engisan kubuat jadi pedoman! malam-chairil anwar Mulai kelam belum buntu malam kami masih berjaga Thermopylae?- - jagal tidak dikenal ? - tapi nanti sebelum siang membentang kami sudah tenggelam hilang Zaman Baru, No. 11-12 20-30 Agustus 1957