You are on page 1of 10

1

BELAJAR BAHASA TIDAK SEKADAR MEMAHAMI


KOMPETENSI BAHASA


I. PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan respon dari sebuah kajian tentang Pemahaman
Lintas Budaya dalam Konteks Pembelajaran oleh Nenden Sri Lengkanawati.
Berdasarkan kajian tersebut ada beberapa hal yang amat substansial yang
terabaikan oleh Sri Lengkanawati. Karena tulisan tersebut merupakan hasil
penelitian, oleh karena itu suatu hasil penelitian akan dapat menyampaikan
informasi yang jelas manakala telah merefleksikan tujuan-tujuan yang dibuat.
Dengan demikian tidak akan menimbulkan sikap skeptis terhadap pembaca
yang akan membaca. Untuk melihat hal-hal apa saja yang terabaikan, dalam
makalah ini penulis mencoba menampilkan judul baru dan dalam rangka
menyimak kembali tujuan, research dan metode yang telah diangkatnya.

II. PEMBAHASAN
A. Komunikasi Efektif
Perlu menjadi catatan bahwa terciptanya suasana komunikasi
yang efektif hanya dapat terjadi bila kedua belah pihak partisipan
mempunyai pengetahuan yang kurang lebih sama tentang media yang
digunakan. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa yang dipakai
merupakan dasar terjadinya komunikasi. Pengetahuan semacam ini
disebut kompetensi bahasa. Namun demikian kompetensi bahasa
2
yang dimiliki seseorang tidak menjamin atau tidak serta merta dapat
diterapkan sebagai media komunikasi yang efektif.
Kita yang memiliki bahasa ibu sejak lahir berarti kita
mengetahui seluk-beluk kebahasaannya sebagai suatu sistem secara
keseluruhan, dan jika kita menguasai suatu bahasa diluar bahasa ibu
seperti bahasa Jepang berarti langue kita bertambah dengan
pertimbangan apakah kita memahami seluk-beluk kebahasaannya
secara menyeluruh atau tidak. Mendalami suatu bahasa tidaklah
sekedar memahami kompetensi bahasanya. Ada unsur-unsur diluar
kaidah-kaidah kebahasaannya yang perlu dipahami. Diluar dari pada
itu adalah makna denotatif, unsur nonkebahasaan, gesture yang
memperhatikan tendensi kulturalnya. Sekiranya unsur-unsur inilah
yang harus dapat menyertai kompetensi bahasa dalam proses
komunikasi lisan. Dengan tidak harus mengabaikan unsur-unsur yang
ada maka akan tercipta suatu performansi komunikasi yang benar-
benar efektif dan kontekstual.

B. Kontak Bahasa
Setiap bahasa yang bertemu dengan bahasa lain pasti terjadi
kontak. Hal ini terjadi karena pengaruh bahasa satu dengan yang
lainnya secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya kontak
bahasa bagi komunitas pemakai bahasa menimbulkan interferensi.
Kontak bahasa yang menimbulkan interferensi itu dipandang sebagai
fenomena yang wajar dan positif. Hal ini terjadi karena adanya
3
pemindahan unsur-unsur bahasa satu ke dalam bahasa lain baik
sadar maupun tidak sadar.

C. Kontak Budaya
Memasukkan unsur budaya lain ke dalam budaya sendiri
merupakan peluang yang diberikan oleh adanya kontak budaya.
Realisasinya selalu berselingan atau bisa juga bersamaan di dalam
lingkungan tertentu yang sering dinilai orang suatu hal yang aneh.
Realisasinya terjadi setelah terjadi suatu penjaringan yang sewajarnya
agar tidak dipandang orang suatu hal yang aneh. Oleh karena adanya
kontak budaya lain yang telah terjaring dengan budaya sendiri, kontak
budaya juga notabene mempengaruhi eksistensi berbahasa orang.

D. Lintas Budaya
Lintas budaya dalam hal ini kita berada atau masuk secara
langsung ataupun tidak langsung ke dalam budaya lain. Yang
dimaksud dengan budaya lain adalah segala kebiasaan-kebiasaan
yang dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat tertentu yang meliputi
aspek tradisi, nilai, bahasa, kepercayaan dan semua pola pikir
sebagai suatu pewarisan dari generasi kegenerasinya. Jika kita
mendalami salah satu unsur budaya tertentu misalnya bahasa maka
mau tidak mau kita juga harus memahami segala unsur budaya
bahasa yang dipelajari agar dapat mengisyaratkan kita untuk dapat
berkomunikasi dengan efektif.
4
Belajar bahasa kedua dengan harus masuk secara langsung
kedalam budaya bahasa tersebut memberi peluang terjadinya kejutan
budaya. Karena dimana individu akan merasakan budaya yang benar-
benar kaku sehingga kejutan budayapun ditandai dengan berbagai
sikap seperti cemas, nervous dan sebagainya.
Hal penting di dalam usaha memperkecil bahkan dapat
menghilangkan kejutan budaya secara terus menerus proses adaptasi
bisa dijadikan konsep berpikir awal kita tatkala harus berada di dalam
budaya lain. Kata adaptasi semula digunakan dalam bidang biologi,
kemudian ilmu sosial budaya dan digunakannya unutk mencoba
memahami pola penyesuaian manusia terhadap lingkungan alam dan
usaha untuk lebih survival.
Kajian konsep adaptasi terhadap proses pendidikan berarti
suatu hal yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya yang kemudian
ditemukan, diterapkan dalam lingkungan itu juga sehingga terjadinya
suatu proses penyesuaian dan pembudayaan.
Pindah dari satu budaya ke budaya yang lain memerlukan
penyesuaian. Hal ini pada umumnya dialami oleh mereka yang untuk
pertama kali tinggal di negeri lain dalam waktu tertentu, seperti yang
pernah diutarakan oleh Sri Lengkanawati mengenai respondennya
yang telah mengikuti tugas belajar di luar negeri. Adapun tahapan-
tahapan yang mau tidak mau akan dilalui tatkala berada di lingkungan
budaya lain yakni;

5
a. Masa berbunga-bunga
b. Masa resah
c. Penyesuaian awal
d. Masa risau
e. Penerimaan dan perpaduan


E. Beberapa Esensi yang ditulis Sri Lengkanawati
Pembelajaran bahasa kedua tidak lepas dari budaya bahasa
tersebut sebab baik wacana lisan maupun tulisan sarat dengan
budaya bahasa tersebut (Sri Lengkanawati, 2001:28). Gebhard dalam
artikel Sri Lengkanawati lebih menegaskan bahwa pemahaman
konsep lintas budaya akan bermanfaat bagi para siswa atau guru
dalam beradaptasi dengan pihak-pihak penutur asli bahasa sasaran
baik verbal maupun non verbal (2001:38).
Pemahaman lintas budaya dalam konteks pembelajaran
bahasa mewarnai pola berbahasa yang bisa menimbulkan berbagai
masalah seperti salah pengertian dalam pengaplikasian baik lisan
maupun tulisan. Sehingga dapat dibenarkan apa yang telah
diutarakan oleh Sri Lengkanawati bahwasannya ketunaan
pengetahuan dan pemahaman budaya bahasa sasaran akan
menimbulkan konflik budaya dalam diri pembelajar. Dalam suatu
ukuran tertentu Sri Lengkanawati memaparkan beberapa poin tentang
proses penyesuaian menurut Wurzel dan Livine, Adelman yang
6
penulis pikir terlalu universal dalam rangka mengatasi fenomena yang
ada.
Setidaknya dengan memunculkan tahapan-tahapan yang
bersahaja dengan penjelasan yang bersahaja pula kemungkinan
dapat dipahami untuk memperkecil terjadinya antithesis budaya
sendiri terhadap budaya lain.
a. Metode
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan suatu
generalisasi misalnya mengetahui pengetahuan responden tentang
budaya bahasa sasaran dan sebagainya. Bila kita ingin menyelidiki
responden yang pernah ke luar negeri namun masih relatif kurang
maka membatasinya pada jumlah yang kecil dapat kita lakukan dalam
pengambilan sampel. Sampel itu harus representatif bagi
keseluruhan populasi. Apa yang ditemukan dalam penelitian sampel
diangggap juga berlaku bagi populasi.
Sampel yang diambil dalam penelitian Sri Lengknawati yang
mewakili populasi adalah dua orang responden yang pernah belajar di
Amerika yang di singkat dengan R1 yaitu dosen non jurusan bahasa
Inggris yang belajar sekitar tahun 1990-an, dan R2 yaitu dosen
jurusan bahasa Inggris yang belajar sekitar tahun 1970-an. Pemilihan
sampel ini diambil dengan maksud untuk melihat perbedaan persepsi
antara kedua responden mengenai budaya bahasa sasaran.
Pengambilan sampel oleh Sri Lengkanawati, jika disimak, tidak
merefleksikan tujuan-tujuan yang telah dibuat. Bahawasannya Sri
7
Lengkanawati tidak hanya membandingkan persepsi responden
dengan budaya Amerika tapi juga budaya Jepang. Pada bagian
abstrak artikel tercatat ada lima orang responden dengan masing-
masing latar belakang dua orang yang belajar di Amerika dan tiga
orang yang belajar di Jepang. Yang menjadi pertanyaan, mengapa
dalam sampel hanya terdapat dua orang responden, kemana tiga
orang responden yang sekiranya akan memberikan gambaran
mengenai budaya Jepang itu? Masalah ini dipertanyakan terlepas dari
hasil penelitian seutuhnya, terbatas dari apa yang ada di dalam artikel.
Artinya apa yang ditanyakan tidak lebih dari apa yang tertulis dalam
artikelnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dalam rangka
menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat adalah metode
Cross Sectional Survey (Wallen, 1990). Yang dimaksud dengan
metode ini adalah untuk mencari informasi yang berkaitan dengan
kemampuan, sikap, pendapat dan pengetahuan siswa tentang
sesuatu.

b. Analisis Data
Analisis data yang telah dilakukan adalah dikalsifikasikan
kedalam kategori-kategori seperti yang terurai dalam artikel. Artinya
data yang diperoleh dari kedua responden kira-kira masuk dalam
kategori mana dari kategori yang sudah ditetapkan. Tapi
sesungguhnya analisis data dengan memunculkan kategori-kategori
8
tersebut tidak pernah digeneralisasikan dengan data yang diperoleh
dari kedua responden. Sri Lengkanawati hanya menguraikan secara
umum dan sepertinya tidak menjelaskan persepsi responden dengan
kategori yang ada. Sehingga para pembaca mungkin tidak tahu jelas
hal apa saja yang dilakukan responden yang notabene berhubungan
dengan kategori yang ditetapkan.
Dari hasil analisis data, ada beberapa temuan yang diperoleh
seperti pengetahuan responden tentang budaya bahasa sasaran
seperti apa, bagaimana mengatasi kejutan budaya dan sebagainya.
Namun Sri Lengkanawati tidak pernah mengeksploitasikan secara
khusus persepsi responden 1 dan 2 mengingat mereka berbeda latar
belakang dan waktu belajarnya. Dari hasil temuannya terlalu yakin dia
mengatakan bahwa baik R1 maupun R2 tidak begitu mengalami
kejutan budaya.
Responden Sri Lengkanawati juga terlalu tendensius
mengatakan bahwa pada umumnya budaya bahasa yang mereka
pelajari baik. Akan tetapi sesungguhnya dari sudut pandang mana
mereka memandang sehingga orang lain tidak akan pernah
menganggap remeh budaya bahasa ibu kita. Pada dasarnya masing-
masing negara memiliki budaya, tradisi yang berbeda, ada yang
dipandang baik maupun buruk oleh orang dalam sendiri ataupun
orang luar. Baik untuk kita belum tentu baik untuk orang lain yang latar
belakang budayanya berbeda.

9
III. PENUTUP
Usaha mencipatakan komunikasi yang efektif atau performansi
komunikasi notabene tidaklah sekedar memahami kompetensi bahasanya.
Akan tetapi lebih dari pada itu yaitu unsur non kebahasaannya atau
memahami unsur-unsur budayanya yang merupakan induk utama dari
bahasa. Bahasa yang dipelajari selalu merefleksikan nilai-nilai budaya yang
substansial.
Pada bagian akhir artikel, Sri Lengkanawati mencoba
menstranskripsikan berbagai perbedaan budaya bahasa sasaran dengan
bahasa ibu. Apapun yang diutarakan mengenai persepsi responden terhadap
budaya bahasa sasaran dalam konteks Amerika pada umumnya positif.
Pernyataan tersebut wajar-wajar saja, jika realita dalam masyarakatnya
demikian.
Sangat hati-hati sehingga tidak pernah tercatat dalam artikel Sri
Lengkanawati bahwa budaya bahasa ibu amat buruk manakala dibandingkan
dengan budaya bahasa sasaran. Namun penulis makalah ini dapat
menangkap bahwasannya apa yang dituliskan oleh Sri Lengkanawati
mengenai pengetahuan dan persepsi kedua responden terhadap budaya
bahasa sasaran pada umumnya baik telah mengisyaratkan agar kita dapat
belajar dari budaya bahasa sasaran tersebut. Bukan karena kepentingan kita
sebagai pembelajar bahasa akan tetapi lebih daripada itu, yaitu dalam
rangka merubah pola pikir kita sehari-hari baik di kampus maupun di rumah.


10
DAFTAR BACAAN

Al-Barry, Sofyan, H. 2000. Kamus Ilmiah Kontemporer.Pustaka Setia:
Bandung
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya
Nenden Sri Lengkanawati. 2001. Pemahaman Lintas Budaya dalam Konteks
Pembelajaran. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

You might also like