You are on page 1of 5

Agroteksos Vol. 20 No.

2-3, Desember 2010


139
FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN DI PULAU LOMBOK
DETERMINANTS OF FOOD SECURITY ON LOMBOK ISLAND
Taslim Sjah dan Sri Supartiningsih
Fakultas Pertanian, Universitas Mataram
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan mengamanatkan bahwa pangan harus tersedia
bagi rumahtangga dalam jumlah dan kualitas yang cukup, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan
pangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Tulisan ini mendeskripsikan faktor-faktor yang
menentukan ketahanan pangan di Pulau Lombok. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang
berusaha mendeskripsikan tujuan tulisan ini, dengan menggunakan data sekunder. Selanjutnya, data
penelitian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan suatu rumahtangga
menjadi tahan pangan atau tidak. Faktor penentu utama adalah pendapatan rumahtangga, yang sangat
mempengaruhi daya beli rumahtangga terhadap bahan pangan. Faktor-faktor lain seperti pendidikan,
ukuran keluarga, pekerjaan sampingan, dan jenis lahan secara langsung atau tidak langsung berkontribusi
terhadap besarnya pendapatan rumahtangga. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan agar empat
faktor penentu terakhir inilah yang perlu digarap atau dikelola untuk meningkatkan ketahanan pangan
rumahtangga.
ABSTRACT
The regulation number 7, 1996 on food governs that food must be available sufficiently for
households in terms of quantity and quality, secure, equally distributed and reachable. Food security
can be influence by many factors. This paper describes factors that affect food security on Lombok
Island. This study is descriptive research, aiming at describing the purpose of this paper, by using
secondary data. The collected data were analyzed in quantitative and qualitative manners.
This study concludes that there are many factors that may influence household food security. The
main factor is household income, which influence purchasing power to food. Other factors, such as,
education, family size, additional job, and type of land contribute directly or indirectly to the household
income. Therefore, this study suggested that these last four mentioned factors require to be managed for
the purpose of enhancing household food security.
_________________________________________
Kata kunci: faktor penentu, ketahanan pangan, pulau Lombok
Keywords: determinants, food security, Lombok island



PENDAHULUAN
Sektor pertanian telah menjadi fokus
pembangunan ekonomi Indonesia hingga saat ini
(Departemen Pertanian RI, 2001). Secara
khusus target pembangunan pertanian seperti
yang disampaikan oleh Menteri Pertanian RI
(2010) adalah untuk mencapai swasembada
pangan yang berkelanjutan, diversifikasi pangan,
peningkatan nilai tambah dan peningkatan
kesejahteraan petani. Pada dasarnya fokus
pembangunan pertanian ini adalah untuk
mencapai ketahanan pangan masyarakat dari
berbagai aspek, yaitu aspek ketersediaan
(produksi), distribusi (akses), dan konsumsi.
Demikian pentingnya ketahanan pangan tersebut
sehingga secara khusus ditetapkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Undang-Undang tersebut mengamanatkan
bahwa pangan harus tersedia bagi rumahtangga
dalam jumlah dan kualitas yang cukup, aman,
merata dan terjangkau, atau yang lebih dikenal
dengan istilah ketahanan pangan. Sejalan
dengan amanat undang-undang tersebut, LIPI
(2004) menyatakan bahwa ketahanan pangan
bagi suatu bangsa merupakan hal yang strategis.
Pulau Lombok merupakan daerah agraris
dengan dua tipe lahan yang kontras, yaitu lahan
basah (sawah) dan lahan kering (misalnya Klock
and Sjah, 2007), dan lahan kering mendominasi
lahan pertanian yang ada (BPS NTB, 2010).
Lahan kering relatif kurang produktif
dibandingkan dengan lahan sawah (Sjah, 1998;
Sjah, 2000; Sjah et al., 2005). Keadaan lahan

T. Sjah & S. Supartiningsih: Faktor penentu ketahanan
140
yang kurang produktif ini masih ditambah
dengan penguasaan lahan yang sempit (Parman
and Sunarpi, 2005). Dominasi lahan kering dan
penguasaan lahan yang sempit berdampak pada
rendahnya produksi petani, sehingga petani
dapat mengalami keadaan tidak tahan pangan.
Selain itu, ketahanan pangan tidak hanya
dipengaruhi oleh ketersediaan produksi, tetapi
juga oleh faktor-faktor lain terkait langsung atau
tidak langsung dengan aspek produksi,
distribusi, dan konsumsi pangan. Telah banyak
upaya yang dilakukan pemerintah atau
masyarakat meningkatkan ketahanan pangan
masyarakat Indonesia, dan sebagian telah
menunjukkan hasil positif dan sebagian lagi
belum. Untuk meningkatkan efektivitas
program ketahanan pangan perlu dimulai dengan
pengetahuan tentang faktor-faktor yang
penentunya, agar dapat dimabil tindakan yang
tepat. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan
faktor-faktor yang menentukan ketahanan
pangan di Pulau Lombok.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang berusaha mendeskripsikan
(menggambarkan) suatu keadaan atau fenomena
yang diteliti (Babbie, 2004; Roumasset, 1981;
Simon, 1969). Sumber data untuk tulisan ini
berasal dari data sekunder yang telah
dikumpulkan oleh beberapa peneliti (Chaeroni,
2010; Isnaeni, 2009; Rengganis, 2010; Ridwan,
2009) yang melakukan studi di beberapa lokasi
yang berbeda di Pulau Lombok. Sampel desa
dan kecamatan penelitian serta jumlah responden
disajikan dalam Tabel 1. Prosedur lengkap
penentuan sampel beserta dasar penentuannya
dapat dilihat pada masing-masing tesis atau
karya tulis tersebut. Data penelitian dianalisis
secara kuantitatif dan kualitatif (Neuman, 1997;
Taylor and Trumbull, 2000; Trumbull, 2000),
dengan fokus yang lebih terhadap unsur
kualitatifnya untuk memberi pemahaman
terhadap topik yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
banyak faktor yang dapat mempengaruhi
ketahanan pangan suatu rumahtangga, dari aspek
produksi (ketersediaan), distribusi (akses), dan
konsumsi pangan. Untuk keperluan kemudahan
pembahasan dalam tulisan ini ketahanan pangan
dikategorikan menjadi dua saja, yaitu tahan
pangan dan tidak tahan pangan (kurang tahan
pangan dianggap sama dengan tidak tahan
pangan). Faktor-faktor penentu ketahanan
pangan di Pulau Lombok disajikan dan dibahas
pada bagian ini. Tampaknya dua faktor pertama
yang dibahas (yaitu pendapatan dan pendidikan)
merupakan faktor yang lebih menentukan
ketahanan pangan rumahtangga. Faktor-faktor
penentu selanjutnya tampaknya merupakan
faktor yang sangat terkait secara langsung atau
tidak langsung dengan dua faktor penentu
pertama tersebut.



Tabel 1. Sampel desa dan kecamatan penelitian serta jumlah responden

Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah sampel (n)
Gunung Sari Gunung Sari
Kekeri
10
10
Lombok Barat
Gerung Dasan Geres
Banyu Urip
Kebon Ayu
Gerung Utara
Tempos
10
10
27
12
11
Lombok Utara Bayan Akar-akar
Mumbul Sari
10
10
Praya Barat Daya Montong Ajan
Batu Jangkih
21
25
Praya Barat Selong Belanak 15
Praya Timur Bilelando
Semoyang
8
25
Lombok Tengah
Pujut Rembitan 35
Total 239



Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010
141
Pendapatan
Sangat jelas bahwa pendapatan merupakan
faktor penentu ketahanan pangan, dalam arti
bahwa dengan pendapatan (uang) dimungkinkan
untuk membeli bahan pangan sehingga
kebutuhan akan pangan menjadi terpenuhi atau
rumahtangga menjadi tahan pangan. Pendapatan
yang cukup akan memungkinkan tercapainya
ketahanan pangan dan sebaliknya pendapatan
yang kurang dapat menyebabkan rumahtangga
menjadi tidak atau kurang tahan pangan.
Penjelasan tentang pengaruh pendapatan
terhadap daya beli produk atau jasa (termasuk
bahan pangan) dapat ditemui dalam banyak
literatur ekonomi mikro dan ekonomi terkait
lainnya (lihat misalnya McIver, 2001; Penson et
al., 2002; Seitz et al., 2002; Van Tassel, 2004).
Mereka menjelaskan bahwa pendapatan yang
lebih besar mempunyai daya beli yang lebih
tinggi sehingga memungkinkan pembelian
(permintaan) barang atau jasa (termasuk bahan
pangan) yang lebih banyak sehingga
memungkinkan rumahtangga tersebut menjadi
lebih tahan pangan.
Pendapatan berpengaruh positif terhadap
ketahanan pangan ditemukan oleh Rengganis
(2010), yang menyimpulkan bahwa setiap
kenaikan pendapatan sebesar Rp 1.000 akan
meningkatkan peluang ketahanan pangan
rumahtangga sebesar 1,002 kali. Sejalan dengan
ini penelitian oleh Chaeroni (2010) juga
menyimpulkan bahwa rumahtangga dengan
pendapatan tinggi (dikategorikan sebagai
pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp
149.000 ke atas) mempunyai peluang untuk
tahan pangan sebesar 1,043 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan rumahtangga dengan
pendapatan rendah.
Namun demikian penelitian lain yang
dilakukan oleh Isnaeni (2009) menemukan hasil
yang sebaliknya. Isnaeni (2009) menyimpulkan
bahwa pendapatan tinggi (diartikan sebagai
pendapatan rumahtangga per bulan sebesar Rp
700.000 ke atas) berpeluang untuk tidak tahan
pangan sebesar 2,5 % lebih tinggi dibandingkan
dengan rumahtangga yang berpendapatan lebih
rendah dari angka tersebut. Terkait dengan ini
penelitian Isnaeni (2009) menemukan bahwa
kelompok rumahtangga yang berpendaptan lebih
tinggi cenderung untuk mengkonsumsi lebih
banyak bahan non pangan atau lebih cenderung
melupakan konsumsi bahan pangan secara
mencukupi sehingga rumahtangga mereka
menjadi cenderung untuk menjadi tidak tahan
pangan.

Pendidikan
Pendidikan berpengaruh luas pada berbagai
aspek kehidupan manusia, sehingga banyak
negara (termasuk Indonesia) berusaha untuk
meningkatkan pendidikan warganya, dan
demikian juga warga masyarakat secara individu
berusaha memperoleh pendidikan yang layak
bagi dirinya dan/atau anggota keluarganya.
Melalui pendidikan diharapkan terjadinya
peningkatan pengetahuan dan pemahaman
terhadap sesuatu termasuk pentingnya
memenuhi kebutuhan pangan bagi rumahtangga,
sehingga menciptakan ketahanan pangan
rumahtangga. Selanjutnya, pendidikan bersama
dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap
sesuatu juga akan membuka peluang untuk
melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang
bermuara kepada pendapatan. Pendapatan
akhirnya mempengaruhi ketahanan rumah-
tangga.
Hasil penelitian Rengganis (2010)
menunjukkan bahwa rumahtangga dengan
kepala rumahtangga (suami) yang berpendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan
tinggi mempunyai peluang tahan pangan 2,764
kali dibandingkan dengan rumahtangga yang
kepala keluarganya berpendidikan SMP ke
bawah.
Temuan bahwa pendidikan dapat
meningkatkan peluang ketahanan pangan
bertentangan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Isnaeni (2009). Peneliti ini
menemukan bahwa pendidikan yang lebih tinggi
justeru lebih berpeluang untuk menurunkan
ketahanan pangan rumahtangga. Ditemukan
bahwa rumahtangga yang kepala rumah-
tangganya berpendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT)
berpeluang menjadi tidak tahan pangan 1,6 %
lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga
yang kepala rumahtangganya berpendidikan
SMP ke bawah. Mungkin pendidikan tinggi
menyebabkan seseorang atau rumahtangga
menjadi lebih konsumptif terhadap barang-
barang yang tampak secara fisik lebih menarik
seperti penyediaan perabot rumahtangga atau
pakaian yang lebih mewah dan mahal sehingga
menelantarkan kebutuhan pangan yang
mencukupi. Penjelasan lain yang mungkin
terhadap temuan yang kontradiktif ini antara lain
bahwa pendidikan yang diperoleh tidak atau
kurang mengandung aspek pengetahuan gizi
yang mengarah kepada ketahanan pangan. Hasil
penelitian ini mengarahkan kepada semakin
pentingnya kampanye atau penyebaran informasi
tentang keseimbangan gizi bagi kehidupan
manusia atau masyarakat.

T. Sjah & S. Supartiningsih: Faktor penentu ketahanan
142
Ukuran keluarga
Ketahanan pangan rumahtangga merupakan
kemampuan rumahtangga untuk memenuhi
kebutuhan pangan rumahtangga yang
bersangkutan. Semakin besar ukuran keluarga
maka semakin banyak jumlah orang yang perlu
dipenuhi kebutuhannya, sehingga keluarga yang
lebih besar dan yang mempunyai pendapatan
yang sama akan mempunyai peluang tidak tahan
pangan yang lebih besar dibandingkan dengan
keluarga yang lebih kecil. Pernyataan ini sesuai
dengan hasil penelitian pengaruh ukuran
keluarga terhadap ketahanan pangan di beberapa
lokasi di Pulau Lombok (Isnaeni, 2009;
Rengganis, 2010). Isnaeni (2009) menemukan
bahwa keluarga yang lebih besar (diartikan
sebagai keluarga berukuran 5 orang atau lebih)
mempunyai peluang untuk tidak tahan pangan
sebesar 0,2 % dibandingkan dengan keluarga
berukuran yang lebih kecil. Demikian juga
dengan hasil penelitian Rengganis (2010) yang
mengkonfirmasi hasil ini dengan menyimpulkan
bahwa keluarga yang lebih besar (diartikan
sebagai keluarga yang beranggotakan 4 orang
atau lebih) mempunyai peluang untuk tidak
tahan pangan sebesar 1,2955 lebih besar
dibandingkan dengan keluarga yang lebih kecil.
Namun demikian, kedua peneliti ini menemukan
bahwa ukuran keluarga tidak signifikan
pengaruhnya terhadap ketahanan pangan
keluarga.

Pekerjaan sampingan
Pekerjaan merupakan sumber penghasilan
(pendapatan) bagi seseorang atau suatu
rumahtangga, dan selanjutnya pendapatan
tersebut dapat digunakan untuk membeli
berbagai kebutuhan termasuk bahan pangan.
Semakin baik dan banyak pekerjaan akan
cenderung memberi pendapatan yang lebih
tinggi. Pekerjaan tambahan tentu saja akan
menambah penghasilan terhadap pendapatan
dari pekerjaan pokok, sehingga pendapatan
keseluruhan menjadi lebih besar. Jadi, pengaruh
pekerjaan (ada atau tidak adanya pekerjaan)
akan sangat terkait atau berbanding lurus dengan
pengaruh pendapatan.
Namun demikian, tidak semua pekerjaan
tambahan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil
penelitian Ridwan (2009) menunjukkan bahwa
dari enam macam pekerjaan tambahan, terdapat
hanya dua pekerjaan tambahan yang menjadikan
suatu rumahtangga menjadi tahan pangan, yaitu
pekerjaan sebagai buruh tani dan tukang ojek.
Pendapatan yang diberikan oleh kedua macam
pekerjaan yang baru saja disebutkan ini adalah
kurang lebih Rp 3 juta per tahun. Empat macam
pekerjaan tambahan lainnya (menanam palawija,
tukang bangunan, buruh bangunan, dan jualan
warung) memberikan pendapatan per tahun
antara Rp 1 juta Rp 2,4 juta. Dengan
demikian, menjadi lebih jelas bahwa pendapatan
menjadi faktor penentu utama ketahanan pangan
rumahtangga, seperti telah disampaikan pada
bagian sebelumnya.

Jenis lahan
Penelitian Ridwan (2009) juga
menghasilkan bahwa jenis lahan yang
diusahakan petani juga berpengaruh positif
terhadap peningkatan ketahanan pangan
rumahtangga. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa rumahtangga yang
berusahatani pada lahan basah (sawah)
merupakan rumahtangga yang tahan pangan,
sedangkan rumahtangga yang hidup dari
usahatani lahan kering merupakan rumahtangga
yang tidak tahan pangan. Seperti diketahui
bahwa lahan basah mempunyai produktivitas
yang lebih tinggi dari pada lahan kering,
sehingga dengan harga produk yang sama maka
lahan basah akan memberikan pendapatan yang
lebih tinggi pula. Jadi, pengaruh jenis lahan ini
terhadap ketahanan pangan adalah melalui
produktivitas dan akhirnya pendapatan. Sekali
lagi, pendapatan merupakan faktor utama yang
menentukan ketahanan pangan rumahtangga.
KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada
beberapa faktor yang menentukan suatu
rumahtangga menjadi tahan pangan atau tidak.
Faktor penentu utama adalah pendapatan
rumahtangga, yang sangat mempengaruhi daya
beli rumahtangga terhadap bahan pangan.
Faktor-faktor lain seperti pendidikan, ukuran
keluarga, pekerjaan sampingan, dan jenis lahan
secara langsung atau tidak langsung
berkontribusi terhadap besarnya pendapatan
rumahtangga. Oleh karena itu, penelitian ini
sekaligus menyarankan agar empat faktor
penentu terakhir inilah yang perlu digarap atau
dikelola untuk meningkatkan ketahanan
pangan rumahtangga.
DAFTAR PUSTAKA
Babbie, E., 2004. The practice of social research
(10). Wadsworth, Belmont.
BPS NTB, 2010. Nusa Tenggara Barat Dalam
Angka 2010 (Nusa Tenggara Barat in

Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010
143
Figures 2010). Badan Pusat Statistik Nusa
Tenggara Barat, Mataram.
Chaeroni, A., 2010. Kajian ketahanan pangan
dan status gizi rumahtangga petani di
Kabupaten Lombok Tengah. University of
Mataram, Mataram.
Departemen Pertanian RI, 2001. Rencana
Strategis Pengembangan Perkebunan
(Strategi Adaptasi dengan Ruang Lingkup
Global dan Otonomi Daerah). Direktorat
Jenderal Bina Produksi Pertanian,
Departemen Pertanian RI, Jakarta.
Isnaeni, I., 2009. Studi ketahanan pangan
rumahtangga di Kabupaten Lombok Barat.
University of Mataram, Mataram.
Klock, J., and T. Sjah (Eds.), 2007. Water
Management in Lombok, Indonesia:
Challenges and Solutions. University of
Mataram Press, Mataram.
LIPI, 2004. Ketahanan Pangan Rumahtangga di
Perdesaan: Konsep dan Ukuran. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
McIver, J., 2001. Micro economics. McGraw-
Hill, Roseville, NSW, Australia.
Menteri Pertanian RI, 2010. Rencana Strategis
Kementerian Pertanian Tahun 2010 - 2014.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia,
Jakarta.
Neuman, W.L., 1997. Social research methods:
Qualitative and quantitative approaches.
Allyn and Bacon, Boston.
Parman, and Sunarpi, 2005. "Sustainable
agricultural development in Lombok," in
Mitsudo, H. and R.H. Sayuti (Eds),
Sustainable Lombok: The rich nature and
rich people in the 21
st
Century, Mataram
University Press, Mataram.
Penson, J.B.J., O.J. Capps, and C.P.I. Rosson,
2002. Introduction to agricultural
economics (3rd). Prentice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey.
Rengganis, B.S., 2010. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan
rumahtangga di Kecamatan Gerung
Kabupaten Lombok Barat. University of
Mataram, Mataram.
Ridwan, 2009. "Upaya alternatif pemenuhan
kebutuhan pokok beras untuk meningkatkan
ketahanan pangan rumahtangga petani
gurem di Kabupaten Lombok Tengah."
Agroteksos 19, 71-80.
Roumasset, J.A., 1981. Positive methods of
agricultural analysis. The Australian
National University, Canberra.
Seitz, W.D., G.C. Nelson, and H.G. Halcrow,
2002. Economics of resources, agriculture,
and food (2). McGraw-Hill, New York.
Simon, J.L., 1969. Basic research methods in
social science. Random House, New York.
Sjah, T., 1998. Farming systems and farmer
decisions on new cropping land in East
Lombok Indonesia. Natural and Rural
Systems Management, University of
Queensland, Gatton.
Sjah, T., 2000. "Keputusan produksi usahatani
sawah baru Lombok Timur (Farm
production decision on new cropping lands
in East Lombok)." Oryza 6 (22), 151-161.
Sjah, T., D. Cameron, and K. Woodford, 2005.
"Trend of farm productivity on new
cropping lands in East Lombok, Indonesia."
Agroteksos 14, 283-290.
Taylor, G.R., and M. Trumbull, 2000. "Practical
applications for developing research
paradigms in quantitative and qualitative
research," in Taylor, G.R. (Eds), Integrating
quantitative and qualitative methods in
research, University Press of America,
Lanham.
Trumbull, M., 2000. "Qualitative research
methods," in Taylor, G.R. (Eds),
Integrating quantitative and qualitative
methods in research, University Press of
America, Lanham.
Van Tassel, E., 2004. "Household bargaining
and microfinance." Journal of Development
Economics 74, 449-468.

You might also like