Professional Documents
Culture Documents
Hidup manusia tidak dapat lepas dari fungsi ruang dan waktu. Waktu yang telah dilewati
disebut masa lalu, yang sedang dialami dinamai masa kini, dan yang akan datang
dikatakan sebagai masa depan. Untuk memudahkan dalam membangun persepsi durasi,
dibuatlah satuan waktu: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Satu satuan
waktu – hari misalnya – dapat dipersepsikan sebagai lama oleh satu pihak, sementara
pihak lain dapat memersepsikannya sebagai sebentar. Relativitas dan persepsi individu
sangat dominan dalam menentukan lama/singkatnya fungsi waktu. Teknologi yang ada
pada saat ini belum dapat mempercepat detik menjadi – misalnya – “super detik”,
teknologi yang ada baru mampu membuat alat ukur waktu dan membuat alat transportasi
yang dapat menyingkat waktu perjalanan.
Berkaitan dengan masa – masa yang telah, sedang dan akan dilalui, tidak ada pula
kesepakatan universal yang menyatakan bahwa masa depan adalah sekian kali fungsi
waktu lagi ke depan. Sedetikpun di depan kita sudah dapat disebut masa depan. Tetapi
apakah sesingkat itu? Pertanyaan ini diajukan oleh mereka yang mengangap bahwa wakti
sedetik sangat singkat, sementara mungkin dari pengalamannya waktu sedetik bisa
dirasakan sangat lama. Jika demikian, kapan sebaiknya masa depan kita tetapkan?
Menjawab secara presisi pertanyaan inipun perlu memerhatikan kelaziman yang
berlaku.Sebagian orang membagi masa (depan) ke dalam tiga tingkatan: jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang. Sejatinya pembagian ini dimaksudkan untuk
membedakan suatu siklus aktivitas manusia, yang ketika berakhir akan berulang lagi
dengan siklus baru hingga mencapai keadaan puncak (peak of the cycle).
Kaitan teknologi dengan dengan waktu sama seperti hubungan antara manusia dengan
masa. Semakin lama menjalani fungsinya, mengabdi pada kodratnya, tidak selalu berarti
semakin berguna, karena selalu muncul teknologi baru yang lebih canggih dan sekaligus
dapat menggantikan teknologi sebelumnya. Tidak demikian halnya dengan informasi,
sebagian informasi memiliki sifat keusangan (obsolence) namun ada sebagian lain yang
mampu bertahan dan bahkan dibutuhkan sepanjang masa. Bertolak dari pemahaman ini,
dalam memroyeksikan informasi yang akan dibutuhkan masyarakat di masa depan
membutuhkan pemahaman bagi penyedia informasi untuk menentukan jenis informasi
apa yang siklus hidup dan masfaatnya berusia singkat, sedang dan jangka panjang.
Sebagai contoh, informasi harga komoditas pertanian sebagaimana sering disiarkan oleh
1
Disajikan sebagai makalah dalam Seminar Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
di Masa Depan, diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan SDM – Depkominfo, Jakarta 14
Desember 2005.
1
Radio Republik Indonesia (RRI) memiliki dampak dan manfaat yang masanya relatif
singkat, baik bagi petani maupun pedagang sayur mayur tersebut, siklusnya harian atau
paling lama mingguan. Sementara itu, informasi tentang rencana pemerintah untuk
melakukan registrasi nomor telepon selular prabayar, merupakan informasi yang
bersiklus sedang, karena informasi tersebut akan terus bergulir di tengah masyarakat
hingga pelaksanaan registrasi berlangsung dan – secara ekstrem – semua pelanggan
prabayar sudah terdaftar. Jenis informasi yang dapat dikelompokkan memiliki usia
jangka panjang antara lain seperti informasi pendidikan dan ketrampilan, informasi
layanan publik, informasi tentang ilmu pengetahuan (sains), dan lain sebagainya.
2. Permasalahan Umum
Informasi dapat dipandang sebagai sarana (means) dan sebagai tujuan (ends). Pada
pengertian pertama, informasi dipercaya memiliki kekuatan dan peran yang bila didaya –
gunakan dapat memberi manfaat bagi penggunanya untuk memperbaiki kualitas
hidupnya. Dari teori inilah kemudian muncul berbagai upaya menyediakan informasi:
baik isi informasinya, cara menyampaikannya, media untuk menyajikan informasi,
hingga bagaimana mengolah dan memanfaatkannya bagi pembuatan keputusan. Dengan
asumsi variabel lain dalam pengambilan keputusan diabaikan, nilai informasi yang
dihasilkan dari sebuah sistem informasi ditentukan dari perbedaan dampak dari keputusan
yang ditetapkan menggunakan input informasi dari sistem informasi dibandingkan
dengan tanpa input informasi. Permasalahan umum yang sering dihadapi para eksekutif
di organisasi privat dan publik, adalah seringkali mereka tidak dapat membedakan apakah
informasi yang digunakan untuk membuat keputusan tersebut berasal dari output sistem
informasi yang ada di organisasinya, atau diperolehnya dari sumber lain. Selain itu,
masih kuatnya anggapan di antara eksekutif, bahwa investasi teknologi informasi dan
komunikasi yang dikelolanya dalam suatu sistem informasi lebih merupakan alat kerja
pada level operasional, bukan sebagai management supporting-tools.
Paradoks pertama, di satu sisi banyak yang percaya bahwa informasi merupakan sarana
terbaik untuk mencapai sasaran organisasi, namun di sisi lain, masih banyak eksekutif
yang tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan kemampuan sistem informasi yang
dimilikinya. Persoalannya bisa saja terletak pada ketidak - mampuan organisasi sistem
informasi menyajikan informasi yang dibutuhkan eksekutif dan atau masyarakat.
Mengacu pada teori ekonomi, jika sisi penawaran tidak dapat memenuhi sisi permintaan,
maka solusi yang dapat diambil berupa mencari subsitusi. Artinya, investasi teknologi
informasi dan komunikasi yang dibangun dalam suatu sistem informasi menjadi kurang
bermanfaat, karena pengguna sasaran lebih menyukai alternatif lain dalam memperoleh
informasi. Paradoks kedua, jika semua orang memiliki perilaku positif, maka dapat
diperkirakan tidak akan ada penyalah-gunaan informasi. Atau jika semua orang dapat
menggunakan informasi dengan baik, maka semua orang memiliki peluang yang lebih
besar untuk meningkatkan kesejahteraannya. Persoalannya, tidak semua orang
berkarakter positif dan tidak semua orang mampu menggunakan informasi. Paradoks ini
berkenaan dengan substansi atau isi informasi dan dampak yang ditunjukkan oleh
manusia penyedia atau pengguna informasi.
2
Paradoks ketiga terkait dengan peran informasi sebagai sarana meningkat kesejahteraan
adalah munculnya kesenjangan informasi (information gaps). Jika semua orang dapat
mengakses dan memperoleh informasi yang diinginkan, maka semakin besar peluang
meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Persoalannya, tidak semua informasi dapat
diperoleh secara gratis. Sama seperti manusia menghirup udara untuk memperoleh
oksigen, jika menghirup udara bebas, tidak perlu membayar, tetapi jika menginginkan
udara dengan kandungan oksigen lebih tinggi tentunya harus membeli oksigen dalam
tabung. Informasi sejatinya juga demikian, banyak informasi yang lalu lalang di hadapan
kita, di radio, di televisi, media cetak dan lain sebagainya yang kita tidak haru
smembayar untuk memperolehnya, paling banter harus punya pesawat penerima radio
atau televisi sendiri. Kesenjangan informasi muncul karena tidak semua orang mampu
membeli radio, televisi, komputer, melanggan Internet, membeli buku, dan lain
sebagainya. Sementara, mereka yang mampu menyediakan informasi, berpeluang untuk
lebih mudah dalam mencapai tujuan hidupnya. Semakin besar kesenjangan informasi,
semakin besar pula ketidak- efisienan dalam pemanfaatan tersedianya informasi publik.
Paradigma baru kebijakan publik mengatakan bahwa sebelum membuat suatu kebijakan,
sebaiknya pemerintah juga memperhatikan kelompok masyarakat yang akan menjadi
sasaran dari kebijakan tersebut. Memperhatikan dalam konteks ini adalah apakah
kelompok sasaran kebijakan ini: membutuhkan kebijakan tersebut? mampu
melaksanakan kebijakan? dirugikan atau diuntungkan? Kemungkina menerima atau
3
menolak? dan hingga kapan kebijakan yang akan ditetapkan masih sesuai untuk
kelompok masyarakat tersebut? Dalam paper ini, ada dua muatan yang ingin
diketengahkan, memperkirakan kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi masa
depan untuk dapat menyediakannya, dan mempersiapkan kebijakan publik agar
masyarakat dapat secara optimal menyediakan dan sekaligus memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi tersebut.
Konsep pemikiran untuk muatan yang pertama dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia
bukan merupakan pemain dominan dalam menghasilkan teknologi informasi dan
komnukasi, melainkan lebih sebagai pengguna. Sehingga tantangannya adalah
kemampuan untuk melihat apa saja yang sedang dikerjakan oleh penghasil teknologi,
membandingkan apakah bakal teknologi baru ini akan sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat Indonesia dan memberi dampak positif ketika digunakan. Selain itu, yang
juga menjadi tantangan adalah: bagaimana menyediakan, berapa banyak yang harus
disediakan, siapa saja yang perlu dibantu untuk memperoleh dan dapat menggunakan
sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan cakupan wilayah geografis sepanjang lebih dari 4000 km dan dengan lebih dari
sepuluh ribu pulau dan ratusan kelompok etnik, Indonesia memiliki masyarakat yang
modern hingga yang masih hidup dalam suasana primitif. Karakterisitik sosial semacam
ini, berdampak pula terhadap pola kebutuhan informasi. Pada ekstrem atas, bagi mereka
yang tinggal di daerah urban, dengan latar belakang pendidikan tinggi dan kondisi
ekonomi yang cukup atau tergolong mampu, informasi menjadi kebutuhan primer yang
harus terpenuhi. Kebutuhan informasi dapat dipenuhi melalui media radio, televisi
(nasional dan internasional), cetak, elektronik (Internet), komunikasi telepon, dan lain
sebagainya. Tidak demikian halnya pada ekstrem terbawah, mereka yang tergolong masih
primitif, informasi sebagaimana format yang dibutuhkan oleh kelompok pertama besar
kemungkinan tidak terlalu dibutuhkan oleh kelompok ini. Informasi yang dibutuhkan
bersifat lokal, tradisional, tidak perlu ada sentuhan teknologi informasi berbasis
komputer, dan lebih banyak berorientasi pada mempertahankan kelangsungan hidup.
Informasi dalam pengertian masyarakat modern tidak relevan pada kelompok ekstrem
bawah ini, bagi mereka yang lebih penting – barangkali – adalah in-for-nasi.
Di antara dua ekstrim ini, terdapat kelas – kelas sosial atau kelompok masyarakat yang
adaptasi terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta tingkat kebutuhan terhadap
informasi sangat beragam. Persoalannya, bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan
informasi secara mandiri, sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan sarana
dan prasarana teknologi informasi masih relatif kecil. Kemandirian, fasilitasi pemerintah,
penggunaan bersama sumber daya informasi, kemitraan publik-privat, pembagian
kelompok masyarakat berdasarkan pada kesamaan kebutuhan terhadap jenis informasi
tertentu, akan menjadi warna pengembangan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi di masa depan.
4
Sudah saatnya bagi kita untuk memilah – milah pengguna informasi. Hal ini peting
mengingat terdapat banyak sekali perbedaan kesiapan masyarakat dalam memanfaatkan
informasi, mendefinisikan kebutuhan informasi, dan memenuhi kebutuhan informasi.
Perbedaan ini sebagian besar disebabkan antara lain oleh lokasi geografis tempat tinggal,
wilayah mobilitas, bidang profesi, tingkat kemakmuran ekonomi, tingkat pendidikan, dan
ketersediaan sarana akses informasi. Memahami perbedaan tingkat adaptasi masyarakat
terhadap teknologi informasi akan membantu pembuat kebijakan dalam merencanakan
dan membuat kebijakan publik, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan tepat
sasaran dan tepat guna.
Dari segi keakraban pengguna terhadap Teknologi Informasi pengguna informasi dapat
dibedakan ke dalam empat kelompok: Mahir (Advance), Biasa (Ordinary), Pemula
(Novice), dan belum menjadi pengguna (Not Yet). Kelompok Mahir adalah mereka yang
aktivitas ekonominya sangat tergantung kepada tersedianya teknologi informasi, sehingga
ketersediaan TIK dan akses informasi menjadi sangat penting. Untuk menunjang
kebutuhannya, kelompok Mahir dapat menggunakan sebagian besar perangkat elektronik
(electronic gadgets) yang tergolong mutakhir, ditandai dengan kemampuan untuk
menggunakan secara intensif semua kelengkapan (features) yang ada pada perangkat
elektronik tersebut. Dalam beberapa hal, kelompok mahir dapat lahir dari bidang
pendidikan dan para profesional.
Secara skematik, proses-proses sosial yang berlangsung antara masyarakat dan internet
itu adalah seperti dalam Gambar 1 berikut:
5
Gambar 1
4. Karakter Informasi
Para ahli informasi mengajukan persyaratan agar informasi dapat dikatakan berkualitas.
Pertama, informasi harus akurat, substansi informasi disampaikan sama dengan fakta
sebenarnya. Akurasi sangat penting, perbedaan antara fakta dan informasi yang disajikan
dapat membawa petaka bagi pengguna informasi. Hambatan yang dapat ditunjuk sebagai
penyebab ketidak-akuratan dalam menyaikan informasi antara lain: tidak tersedia alat
ukur yang layak digunakan, atau tersedia alat ukur tetapi pelapor fakta (pembuat
informasi) tidak dapat menggunakan sarana ukur tersebut dengan baik, atau ada interest
tertentu dari penyaji informasi sehingga informasi sengaja dibuat tdak akurat, atau ada
kelalaian atau kesalahan dalam pemrosesan fakta/data menjadi informasi sehingga
informasi menjadi tidak akurat. Kedua, informasi yang tersedia hendaknya sesuai
(relevance) dengan penyajinya atau kelompok sasaran yang diharapkan akan
menggunakan informasi tersebut. Semakin sesuai informasi terhadap sasaran
penggunanya semakin efektif dan efisien. Dalam kasus website Internet, sering dijumpai
sajian informasi yang tidak sesuai dengan tujuan dari dibuatnya website itu sendiri atau
kelompok pengguna yang ingin disasar. Website suatu pemda yang dalam pernyataan
misinya dimaksudkan untuk mengundang investor asing ternyata ditulis dalam bahasa
Indonesia.
6
Ketiga, informasi yang disajikan hendaknya selalu terbarukan (updated), sementara
informasi lama masih dapat diakses oleh mereka yang memerlukan. Aktivitas manusia
tidak ernah berhenti, ketika di belahan dunia bagian timur sedang terlelap tidur mereka
yang tinggal di belahan barat sedang berkativitas menikmati masa siang hari.
Ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan setiap kejadian di
manapun di muka bumi dalam waktu relatif singkat dapat diketahui oleh orang – orang di
seantero dunia. Dalam disiplin jurnalistik, setiap peristiwa adalah informasi, semain cepat
publik mengetahui telah terjadi suatu peristiwa, semakin bermanfaat informasi yang
dilaporkan. Penyajian informasi perlu mempertimbangkan siklus hidup informasi dan
golongan – golongan informasi. Suatu informasi yang siklus hidupnya cepat namun
terpampang dalam waktu cukup lama di suatu situs berita, menjadi berkurang maknanya
dan malah mencerminkan pengelolanya tidak memahami bagaimana mengelola
informasi. Keempat, informasi harus relatif murah sehingga semakin banyak masyarakat
yang mampu memperolehnya. Murah tidak berarti gratis. Informasi yang terdapat di situs
www.detik.com misalnya, meski untuk membacanya kitatidak harus membayar
langganan atau membeli sebagaimana berlaku pada koran cetak, namun tetap saja
pembaca harus mengeluarkan biaya akses Internet. Murah dalam pengertian ini adalah
total biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh informasi (total cost of information
acquisition).
Karakteristik kelima dari informasi yang dibutuhkan di masa depan adalah mudah
dimengerti baik arti, maksud dan tujuannya. Sarana prasarana teknologi informasi dan
komunikasi pada umumnya neutral terhadap karateristik kelima ini. Artinya, tercapainya
persyaratan ini sepenuhnya tergantung pada penyaji informasi. Paradigma yang harus
dipegang, bukan hanya menyajikan apa yang ingin disajikan, tetapi menyajikan apa yang
ingin dibaca, dinikmati, dipelajari oleh publik kelompok sasaran. Ketersediaan dan
kemudahan akses informasi dari mana saja, oleh siapa saja, kapan saja, dengan alat apa
saja menjadi ciri keenam dari informasi yang akan dibutuhkan di masa depan. Mobilitas
manusia yang semakin tinggi, menuntut penyedia informasi untuk melayani kelompok
sosial seperti ini. Keterbatasan sarana komunikasi tetap, mendorong dapatnya tersaji
informasi melalui media telepon selular, atau perangkat lain yang mobile. Karakter
ketujuh, manfaat informasi secara agregat akan dilihat dari seberapa besar informasi yang
tersedia di domain publik dapat menambah kecerdasan serta kearifan penggunanya.
Informasi dapat tersedia banyak sekali, bisa diakses dari mana saja oleh siapa saja,
akurat, murah, dan terbarukan, namun bila isinya buruk, penggunanya gagal
menggunakan informasi untuk hal – hal yang baik, atau tidak menjadi tambah pintar dari
mengonsumsi informasi tersebut, diduga ada yang salah dalam sistem masyarakat dan
atau pengelolaan sarana prasarana teknologi informasi dan komunikasi.
Kajian tentang hubungan teknologi dan kinerja organisasi sudah lama dan banyak
dilakukan. Dalam literatur organisasi, teknologi didefinisikan sebagai sarana (means),
aktivitas, dan pengetahuan (knowledge) yang digunakan untuk mengubah material dan
input menjadi output (Scott, 1987:18 dalam Jaffe, 2001: 185). Hampir semua organisasi
7
menggunakan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter bisnisnya.
Teknologi proses pada indusri kimia misalnya, terus mengalami perubahan sama seperti
teknologi cetak pada industri percetakan. Joan Woodward (1958) membagi hubungan
teknologi dengan pekerja dalam proses produksi ke dalam tiga kelompok: small batch
and unit production, large batch and mass production, dan continuous process
production. Kajian Woodward ini sesuai dengan kondisi pada waktu itu, yang ditandai
dengan penggunaan teknologi dalam industri manufaktur. Ketika faktor produksi tidak
lagi bertumpu pada tanah (land), orang (men) dan uang (money), dan bertambah dengan
informasi, maka kajian Woodward menjadi kurang relevan lagi untuk suasana sekarang.
Shoshana Zuboff dalam In the Age of Smart Machine (1984) mengawali kajian tentang
peran informasi dalam pengaruhnya terhadap perilaku organisasi. Visi positif yang
diajukan Zuboff dalam pengaruh teknologi terhadap organisasi antara lain berkenaan
dengan perbaikan dalam metoda koordinasi. Teknologi menjadi sumber yang dapat
memberikan dukungan bagi munculnya inovasi, penggunaan bersama informasi, kerja
sama antar dan intra organisasi. Terbukanya akses informasi membantu mewujudkan
iklim tanggung jawab bersama, rasa memiliki kebersamaan (mutual ownership), dan
penyelesaian persoalan secara bersama (team problem solving). Sebaliknya, teknologi
juga dapat dipersepsikan negatif jika digunakan sebagai metoda untuk mengendalikan
atau memonitor pekerja, sehingga manajemen menjadi “jauh” (remote) dari para
pelaksana di lapangan, iklim ketidak – percayaan di antara manajemen dan pekerja dapat
tumbuh jika teknologi digunakan untuk memata – matai perilaku anggota organisasi.
Berangkat dari kajian – kajian di atas dan dikaitkan dengan proyeksi kebutuhan informasi
di masa mendatang, pelajaran yang dapat ditarik antara lain: pertama, individu atau
organisasi hendaknya dapat menentukan apakah sudah waktunya memiliki sarana akses
informasi dan layak mengonsumsi konten informasi tertentu. Meski ketersediaan TI dan
informasi dapat mendorong inovasi untuk menghasilkan produk atau proses produksi
yang baru, namun ketidak – siapan secara ekonomi dan manajemen dalam mengonsumsi
informasi, alih – alih meningkatkan kesejahteraan justru sebaliknya menjadikan tambah
miskin dan tidak produktif. Kedua, ketika sudah mampu memiliki akses informasi dan
sudah mulai menikmati informasi yang dibutuhkan, perlu disadari bahwa efisiensi
melekat pada kemampuan untuk mengotomatisasikan kegiatan rutin dan prosedur standar
sementara pada saat bersamaan menuntut pengguna informasi untuk melakukan analisis,
8
pembuatan keputusan, melakukan program ulang dan memberikan umpan balik yang
semuanya hanya dapat dicerna dan dilakukan oleh manusia bukan oleh mesin. Artinya,
ketersediaan informasi merupakan hal penting, namun yang juga tak kalah pentingnya
adalah bagaimana membangun kemampuan untuk menggunakan informasi secara efisien
dan berdaya guna. Hal ini sejalan dengan pendapat Castells bahwa aplikasi TI dalam
bentuk penyajian informasi, pada gilirannya menuntut peningkatan secara dramatis
kemampuan otak manusia untuk memberikan input dalam proses kerja sistem informasi,
serta menstimulasikan kebutuhan yang lebih besar terhadap pekerja terdidik yang otonom
dan mampu merencanakan serta mengeksekusi serangkaian program kerja.
Pelajaran ketiga, kemampuan memilih dan mengunakan informasi secara efektif dan
efisien, perlu dilanjutkan dengan proses keterbukaan dalam tata kelola organisasi yang
berorientasi pada mengurangi kompleksitas. Semakin besar proses tata kelola suatu
organisai menjadi terbuka (transparan) semakin besar pula peluang hilangnya kendala
birokrasi. Dalam keadaan seperti ini akan terbuka lebar gairah inovasi, penyelesaian
persoalan secara kreatif, dan keterhubungan (engagement) yang bertanggung jawab. Pada
tahap ini, untuk menjaga agar sajian informasi tetap memiliki dampak positif terhadap
organisasi, manajemen perlu mempersiapkan diri untuk melakukan transformasi struktur,
budaya dan kepemimpinan. Perubahan struktur dapat berupa pengelompokan ulang unit –
unit kerja atau penambahan/pengurangan bagian – bagian yang diperlukan atau tidak
dibutuhkan lagi sejalan dengan dinamika organisasi. Budaya keterbukaan menjadi ciri
dari organisasi yang bekerja berbasis informasi, sementara dalam kondisi seperti itu, gaya
kepemimpinan perlu disesuaikan dengan perubahan lingkungan, bukan lingkungan yang
harus menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan. Keempat, dengan kemampuan
individu atau organisasi untuk memilah dan memilih informasi, ketersediaan basis
informasi yang mencukupi, dan keterbukaan terhadap perubahan mengikuti dinamika
lingkungan, organisasi memiliki peluang lebih besar untuk melayani stakeholders yang
memiliki perbedaan kepentingan. Organisasi yang berhasil masuk pada tahap ini dapat
membangun tata kelola pengetahuan (knowledge management), yang pada masanya akan
dapat memfasilitasi kemenanagan dalam persaingan.
Organisasi Maya
Bentuk organisasi yang diperkirakan akan mewabah dalam tahun – tahun mendatang
sejalan dengan perkembangan Internet adalah organisasi maya (Virtual Organization /
VO). Davidow dan Malone dalam The Virtual Corporations (1993) mendefinisikan VO
sebagai suatu organisasi yang telah mengadopsi setiap tren manajemen dan lontaran
desas – desus (buzzword). VO memanfaatkan komputer dalam proses produksi;
mengumpulkan, menganalisa informasi dan membagi informasi tersebut dengan
pelanggan, distributor, dan pemasok; memanfaatkan proses produksi yang ramping,
menghasilkan produk/jasa yang berkualitas, orientasi kerja kelompok, dan fleksibel;
mengijinkan pegawai untuk bekerja secara otonom, bertanggung jawab, dan belajar
secara berkelanjutan. VO memiliki kapasitas operasional yang tidak dapat
direpresentasikan dalam cara – cara yang lazim digunakan oleh perusahaan konvensional.
9
Jika dibandingkan dengan organisasi konvensional, VO tidak memiliki lokasi kantor
secara fisik, demikian juga tidak ada bagian – bagian atau departemen sebagaimana
organisasi konvensional. VO mudah berkembang dengan fasilitasi Internet. Implikasi
positif dari fenomena VO antara lain, menjadi organisasi alternatif yang dapat didirikan
oleh pemula bisnis yang masih memiliki keterbasan aset dan akses pasar, namun
memiliki kemampuan teknologi informasi yang cukup tinggi. Sementara itu, implikasi
negatif VO antara lain, kesulitan bagi aparat pajak untuk melakukan penarikan pajak,
sebagaian besar VO tidak berbadan hukum, karena orientasi pasarnya luar negeri,
seringkali kemajuan VO tidak dapat diikuti oleh instansi pemerintah yang berwenang
membina bisnis TI.
Fenomena VO juga terjadi di Indonesia, bahkan sebagian besar pemain dotcom Indonesia
berawal sebagai VO, ada wujudnya di dunia maya, tetapi tidak ada badan hukum, atau
organisasinya dalam pengertian konvensional. VO di Indonesia banyak didirikan oleh
mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi di bidang komputer
dan bisnis. Jika dilihat dari model kelas –kelas pengguna TI dan informasi maka pelaku
VO tergolong pengguna mahir (advance) yang relatif sedikit memerlukan bantuan
pemerintah dalam akses kepada informasi. Yang dapat dilakukan pemerintah untuk
kelompok ini adalah fasilitasi dan bimbingan sehingga mereka tidak menjadi kehilangan
semangat ketika bisnis VO-nya tidak suskes, atau beralih menjadi kriminal karena
kemampuannya dalam mengelola TI sementara kehidupan dalam dunia nyata semakin
susah.
Inovasi dapat menghasilkan sukses luar biasa bagi perusahaan. Inovasi pada dasarnya
berkenaan dengan perubahan, selain itu juga berkaitan dengan resiko karena seringkali
inovasi merupakan luaran aktivitas penelitian dan pengembangan yang hasilnya tidak
dapat dipastikan (Barney, 2002). Diperkirakan hanya 12 – 20% dari proyek – proyek
penelitian dan pengembangan (R&D) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan. Oleh
karena itu, meski inovasi dapat memfasilitasi perubahan yang diinginkan organisasi –
berupa penggunaan teknologi dan produk baru yang memberikan keuntungan – ia dapat
pula menimbulkan hasil lain yang tidak diharapkan – seperti misalnya teknologi yang
tidak efisien atau produk yang tidak disukai pelanggan (Khalil, 2000).
10
upaya inovasi tidak banyak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja
perusahaan.
Pada sisi lain, Teknologi Informasi dan Komnunikasi (TIK) mengalami perubahan peran
dan perlakuan. Jika semula TIK diperlakukan sebagai alat manajemen (McLeod, 1998;
Laudon & Laudon, 2004; Turban et all, 1996; Martin et all, 2002) pada perkembangan
akhir – akhir ini mengalami perubahan peran dan perlakuan. TIK tidak lagi hanya
diperlakukan sebagai alat manajemen untuk menyajikan informasi bagi pengambilan
keputusan. Dengan munculnya Internet, TIK berubah menjadi tulang punggung bisnis
yang menentukan daya saing dan atau hidup matinya organisasi (Callon, 1996; Applegate
et all, 1999). Lebih jauh dikatakan, TIK memfasilitasi upaya inovasi (Jones, 2004; Khalil,
2000). Organisasi perlu mengelola TIK dengan menyusun strategi sesuai dengan
kedudukan TIK dalam organisasi (Ward & Peppard, 2003). Strategi Teknologi Informasi
dan Komunikasi (STIK) sebagaimana dimaksud, mensyaratkan adanya manajemen
perubahan yang dikelola dengan baik (Bertoli & Hermel 2004).
Pengetahuan dan informasi yang dimiliki tidak menjamin terjadinya inovasi, kemampuan
untuk secara kreatif memanfaatkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki merupakan
kunci menuju inovasi dan penciptaan keunggulan bersaing (Jones, 2004). Diperlukan
faktor internal dan eksternal pendukung munculnya inovasi dalam organisasi. Beberapa
faktor internal yang berpengaruh terhadap inovasi seperti: struktur, ukuran, usia
organisasi, budaya, personalia (people), prosedur, dan teknologi. Di antara faktor tersebut
dapat berperan menghambat atau mendukung langkah inovasi. Hambatan alamiah yang
seringkali dihadapi dalam upaya inovasi antara lain: struktur organisasi yang padat
11
(dense), keterbatasan sumber daya, keengganan untuk mendelegasikan kewenangan, dan
tingkat pemeriksaan internal yang tinggi (Aiken dan Hage, 1971; Pierce dan Delbecq,
1977). Dalam menghadapi potensi hambatan tersebut, manajer dituntut memahami
karakter organisasi. Karakteristik organisasi yang inovatif ditandai adanya: komitment
untuk mengendalikan lingkungan; struktur organisasi yang memberikan kebebasan untuk
berkreasi; kepemimpinan yang mendorong organisasi untuk berinovasi; dan sistem
manajemen yang melayani misi organisasi (Light, 1998).
12
bahwa Finlandia, lambat laun mengalami perubahan menyajikan bahasa Inggris seiring
dengan kebutuhan agar lebih banyak investor, turis dan pihak asing bersedia berkunjung
dan menlain bisnis dengan industri Finlandia. Lebih jauh, pemerintah juga menyediakan
sarana akses Internet bagi sekolah, perpustakaan umum, dan berbagai sarana publik
lainnya. Akhir tahun 2002, Finlandia menempati posisi tertinggi di dunia dalam tingkat
koneksi kepada Internet: 230 sambungan per 1000 orang. Kebijakan yang dilakukan
pemerintah Finlandia menunjukkan bagaimana sebaiknya pemerintah memfasilitasi dan
menyediakan saran akses informasi sekaligus juga memfasilitasi tersedianya konten
informasi yang dapat membantu industri untuk berkembang.
Akhir 1990-an muncul istilah New Economy (NE) yang menandai kehadiran bisnis
Internet (baca: dotcom). Gaungnya sempat melambungkan harga saham perusahaan
dotcom di Amerika dan beberapa negara maju lainnya. Di Indonesia, pengaruh NE juga
sempat terasa di periode tahun 2001, ditandai dengan munculnya hampir seribu
perusahaan dotcom2. Harapan tinggi yang dipertaruhkan pada bisnis dotcom ternyata
tidak mudah diwujdukan, banyak perusahaan dotcom yang harus ditutup karena laba
yang dijanjikan tidak kunjung mewujud. Sebagian pihak masih percaya bahwa NE
dengan aktor dotcom akan kembali menjadi fenomena bisnis yang memberi keuntungan
besar bagi investor. Persoalannya, dinamika masyarakat terus bergulir, meski banyak
dotcom hancur namun Teknologi Informasi dan Internet sebagai salah satu wujudnya
masih tetap menjadi penentu pola bisnis global. Kenichi Ohmae dalam The Next Global
Stage (2005, halaman 18) menyebutkan ekonomi global yang ditandai dengan hilangnya
batas (borderless) bukan lagi impian atau opsi melainkan sudah menjadi kenyataan.
Kondisi ini tercapai berkat adanya revolusi cyber, tetapi tidak sama dengan ihwal
mengenai revolusi cyber itu sendiri. Artinya, pergulatan cyber menjadikan borderless
sebagai suatu realita.
Borderless dalam kajian Kenichi Ohmae tidak menyangkut batas wilayah atau kedaulatan
negara secar fisik, karena negara masih mengawasi lalu lintas barang dan orang pada
wilayah perbatasannya untuk alasan kemanan dan keselamatan publik. Jika dikaitkan
dengan aktivitas bisnis, maka borderless yang dimaskud berlaku untuk komunikasi
(communications), modal (capital), perusahaan (corporations) dan konsumen
(consumers). Yang menarik ke-empat elemen ini dapat dikonversikan menjadi informasi
digital dan mengalir melalui jaringan telekomunikasi atau komunikasi data yang sudah
ada sejak puluhan tahu lalu. Setiap negara yang terhubung ke dalam jaringan
telekomunikasi global memliki peluang untuk menjadi borderless terhadap ke empat
elemen tersebut.
Persoalan yang perlu dicermati dalam melihat informasi yang dibutuhkan masyarakat
Indonesia di masa depan berkaitan dengan meningkatnya dorongan ekonomi global
antara lain, bagaimana pelaku bisnis pada setiap tingkatan dapat secara resiprokal
2
Sumber Majalah Warta Ekonomi, Bulan Maret 2001. Perusahaan dotcom dibedakan ke dalam dua
kelompok: click and mortar, dan brick and mortar. Yang pertama merupakan perusahaan yang berbasis
Internet (contoh: Detik.com), sedangkan yang kedua merupakan perusahaan konvensional yang menambah
lini layanan melalui Internet (contoh: www.klikbca.com ).
13
menghasilkan dan memperoleh informasi yang sesuai dengan dinamika pasar global
dengan memperhatikan kondisi domestik. Ketersediaan sarana akses informais menjadi
suatu keniscayaan yang harus dimiliki. Demikian juga dengan konten, orientasi
penyediaan materi konten tidak hanya pemenuhan bagi pasar domestik, namun juga
diproyeksikan untuk pasar global. Penyajian informasi pada front-desk, perlu didukung
dengan peningkatan efisiensi dan kualitas produksi sehingga jika tayangan informasi
yang dipasang di website-nya mendapat sambutan internasional, dapat ditindak-lanjuti
dengan layanan profesional berstandar internasional pula. Di sisi lain, pelaku usaha juga
seyogyanya mulai terbiasa dengan memanfaatkan Internet untuk memperoleh informasi
guna meningkatkan pengetahuan, jaringan, ketrampilan dan akses pasar. Internet sebagai
hutan informasi menyediakan informasi hampir tak terbatas (untuk mengatakan sulitnya
dikuantifikasi). Mencari informasi yang dibutuhkan dari Internet bagaikan mencari
sebuah pohon di tengah belantara. Diperlukan ketrampilan teknis agar pengguna Internet
dengan cepat dapat memperoleh informasi yang dinginkannya. Jika tidak memiliki
ketrampilan semacam ini, dapat diperkirakan utilisasi sarana akses informasi menjadi
kurang efisien atau bahkan tidak produktif.
8. Konten Informasi
Menteri Ristek Dr. Kusmayanto Kadiman dalam Sambutan pada Hari Teknologi
Nasional 9 Agustus 2005 yang lalu menyatakan bahwa Pengembangan di bidang
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) diarahkan pada perluasan infrastruktur
mencakup telekomunikasi, internet dan komputer agar terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat. Pemanfaatan TIK diharapkan dapat menjadi “enabler” dalam pertumbuhan
ekonomi, pemicu tumbuhnya “Good corporate governance” dan sekaligus menjadi alat
untuk mengembangkan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Saat ini telah
dikembangkan inisiatif Indonesia Go Open Source (IGOS) yang dipeloponi oleh 5 (lima)
kementerian; Kominfo, Hukum dan HAM, MenPAN, Diknas dan Ristek. Pada tahun
2005 ini telah diluncurkan aplikasi perangkat lunak berbasis Open Source produksi anak
bangsa antara lain: Software IGOS untuk Warnet, Desktop IGOS, dan Pustaka Digital
(Digital Library). Sudah cukupkah ini semua bagi Indonesia di masa depan? Jawabnya
tentu belum cukup.
14
semacam ini adalah tidak mampu menyajikan informasi yang tidak terstruktur dan
informasi yang bahan bakunya tidak terdapat pada data base yang tersedia.
Pengembangan ke depan, diperkirakan berkisar untuk mengatasi kelemahan yang ada
pada saat ini. Sistem informasi korporat yang dapat menampilkan berbagai jenis
kebutuhan informasi pada semua lini menjadi tantangan bagi para pengembang.
Aplikasi konten informasi apa saja yang kiranya akan menjadi primadona di setahun dua
tahun mendatang? Meski belum dapat dipastikan, proyeksi kebutuhan dengan melihat
fakta meningkatnya mobilitas masyarakat, bertambahnya layanan akses telekomunikasi,
makin banyak dan murahnya perangkat telepon selular yang memiliki fitur menyajikan
voice, image dan data, tidak diberlakukannya lagi persyaratan ijin ISP, dibebaskannya
penggunaan spektrum frekuensi 2.4GHz, beberapa aplikasi konten diperkirakan akan
muncul.
Peta Digital
Peta digital digunakan bagi layanan Global Positioning System (GPS), guna mendukung
laju mobilitas masyarakat yang membutuhkan informasi tentang posisi suatu objek.
Lebih jauh, peta digital dapat digunakan oleh polisi untuk mengatasi kemacetan lalu
lintas di perkotaan, mencari kendaraan yang dicuri, menentukan wilayah perbatasan,
mencari lokasi atau alamat rumah/gedung (Location-Based Service - LBS), dan lain
sebagainya. Di beberapa kota besar layanan LBS sudah banyak dipakai oleh restaurant
pesan –antar, jasa ekspedisi untuk mengetahui lokasi pelanggan, jasa perbankan untuk
memberikan informasi kantor/ATM terdekat, dan lain – lain. Dengan makin luasnya
wilayah perkotaan, bertambahnya jumlah penduduk, makin banyaknya jalan baru,
bertambah banyaknya gedung – gedung baru, dan adana tuntutan untuk meningkatkan
kualitas layanan kepada pelanggan, peta digital merupakan salah satu sarana yang cukup
penting untuk tidak digunakan di masa depan.
Distance Learning
Aktivitas belajar jarak jauh di Indonesia sudah lama berlangsung. Eksistensi Universitas
Terbuka (UT) sudah lebih dari 20 tahun. Demikian pula, pada masa pemerintahan
Soeharto pernah ada program Kelompok Pendengar, Pembaca Pemirsa (Kelompencapir).
15
Pada kedua model belajar jarak jauh ini, media komunikasi yang digunakan adalah media
cetak melalui pos, radio, dan televisi. Karena sifatnya yang ada pada ketiga media
tersebut, kegiatan belajar mengajar di UT maupun Kelompencapir tidak dapat dilakukan
secara interactive, sehingga selalu terjadi jeda waktu antara pengiriman informasi dan
penerimaannya. Kelompencapir sekarang sudah tidak ada lagi, namun keberadaan UT
masih terus berlanjut.
Sementara itu di negara – negara maju bejalar jarak jauh merupakan salah satu alterntif
dalam proses penyebaran ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan manusia.
Munculnya Internet menjadikan layanan Open University (OU) menjadi tidak hanya
dapat dilaksanakan pada wilayah negara tertentu, tetapi sekarang sudah melewati batas
fisik kedaulatan negara. Sehingga, sebagai contoh: seorang mahasiswa Indonesia dapat
mengikuti program OU yang diselenggarakan oleh Massachussett Institute of Technology
(MIT) dari Amerika Serikat. Atau seoarng yang tinggal di pedalaman China masih bisa
mengikuti kuliah yang diselenggarakan oleh Universitas Boconi Italy tanpa harus
meninggalkan kediamannya. Belajar dari keberhasilan orang lain, Indonesia semestinya
dapat meningkatkan pemanfaatan Internet untuk kegiatan belajar jarak jauh.
Multimedia Tele-Conference
Wilayah yang luas, mobilitas tinggi, jaringan bisnis tersebar di seluruh Indonesia bahkan
luar negeri, keharusan untuk mengurusi banyak hal pada suatu masa sekaligus,
kompleksitas bisnis yangmakin meningkat, meningkatnya kebutuhan koordinasi antar
unit bisnis yang tersebar, tuntutan pembuatan keputusan dengan cepat dan akurat,
ketersediaan fasilitas broadband dan layanan Internet, ini semua menjadi faktor
pendorong makin besarnya layanan informasi Multimedia Tele-Conference.
E-Layanan Publik
Koran elektronik
16
Internet mendorong semua orang dapat menjadi sumber berita. Dominasi penerbit
sebagai pusat kendali informasi tidak lagi berlaku. Jika semula sajian informasi melalui
media cetak dilakukan berdasarkan periode tertentu (harian, mingguan, bulanan),maka
sekaranag informasi dapat tersaji seketika (realtime). Metoda akses-nyapun berubah, jika
semula pembaca harus membeli, sekarang cukup dengan tersambung ke Internet dan
login. Narasumber dan pemasang iklan memiliki pilihan lebih banyak untuk dapat
menyampaikan informasi yang dimilikinya. Mereka dapat juga memasang informasi yang
sama di situs Internet yang dikelola sendiri. Kegairahan menghasilkan informasi terus
meningkat terutama di kalangan muda dengan membuat situs Internet. Koran elektronik
akan terus berkembang di masa depan.
9. Perlu Kewaspadaan
a. pengiriman surat berantai, spam, iklan yang tidak sesuai dengan konteks, provokasi
ke diskusi yang tidak sehat, materi yang menyinggung orang lain;
b. penyisipan virus atau worm secara sengaja dalam e-mail yang dikirimkan;
c. penyalahgunaan internet untuk melakukan tindakan kriminal yang meliputi
percabulan (obscenity), pornografi, perusakan situs (defacing), mengikuti aktivitas
seseorang (stalking), mengganti alamat IP (spoofing), Spamming, Hacking,
Cracking, dan Troyan Horse yang dapat berakibat sangat fatal dan merugikan banyak
orang.
10. Kesimpulan
b. TIK jika digunakan dengan baik dapat berdampak positif, menghasilkan informasi
yang berkualitas, mendorong inovasi dan meningkatkan kinerja.
c. Beberapa aplikasi informasi yang sudah tersedia pada saat ini diperkirakan akan
terus berkembang sementara seiring dengan dinamika sosial akan muncul layanan
informasi baru yang betumpu pada kemajuan TIK.
d. Ketidak-sadaran akan adanya etika tidak tertulis dalam ber-Internet dan kekurang-
dewasaan dalam penggunaan email, chatting, dan mailing list dapat menyeret para
17
penggunanya kepada situasi yang tidak sehat jika salah satu pihak tidak mengerti
budaya yang seyogyanya di terapkan bersama-sama dalam ber-Internet
18
Daftar Pustaka
19