Professional Documents
Culture Documents
SIROSIS HEPATIK
OLEH
KELOMPOK 2
1. LAILATURRAHMI, S. Farm
1241012026
1241012099
1241012112
1241012149
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Patofisiologi
Sirosis menyebabkan peningkatan tekanan darah porta karena perubahan
fibrotik dalam sinusoid hati, perubahan kadar mediator vasodilatasi dan
vasokonstriktor, dan peningkatan aliran darah ke pembuluh splanknik. Kelainan
patofisiologis yang mendasarinya menyebabkan masalah yang sering ditemui,
seperti asites, hipertensi porta, dan varises esofagus, ensefalopati hepatik, dan
gangguan pembekuan darah.
darah, fibrinolisis
berlebihan,
lebih awal. Dampak dari seluruh kejadian ini adalah terbentuknya diatesis
perdarahan.
.
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan sirosis bervariasi, mulai dari
asimptomatik dengan hasil tes laboratorium abnormal hingga perdarahan akut
yang mengancam jiwa. Beberapa tanda dan gejala sirosis adalah hepatomegali,
splenomegali,
pruritus,
jaundice, eritema
palmar,
spider
angiomata
hati kolestatik autoimun. Kadar GGT plasma berkorelasi dengan baik dengan
peningkatan alkali fosfatase dan merupakan penanda sensitif untuk penyakit hati
kolestatik. Peningkatan bilirubin serum merupakan hal yang umum terjadi pada
penyakit hati stadium akhir dan obstruksi kandung empedu, tetapi terdapat
banyak penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Albumin dan faktor pembekuan
darah merupakan penanda fungsi hati pada sirosis. Trombositopenia umum
ditemukan pada 30 64% pasien sirosis.
f. Komplikasi
g. Penatalaksanaan
Tujuan terapi yang diharapkan adalah 1) perbaikan secara klinis atau
pemulihan komplikasi akut; dan 2) mencegah komplikasi. Pendekatan umum
yang dilakukan antara lain mengidentifikasi dan mengeliminasi penyebab sirosis,
menilai risiko perdarahan varises dan memulai profilaksis secara farmakologi
bila diperlukan, terapi endoskopi untuk pasien berisiko tinggi atau episode
perdarahan akut. Perlu dilakukan evaluasi terhadap tanda tanda klinis asites dan
ditangani dengan terapi farmakologi (seperti diuretik) dan paracentesis. Perlu
pemantauan untuk spontaneous bacterial peritonitis (SBP) pada pasien asites
yang mengalami perburukan akut. Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada sirosis serta membutuhkan pengawasan serta
penanganan dengan pembatasan asupan makanan, eliminasi depresan SSP, serta
terapi untuk menurunkan kadar amonia. Diperlukan pemantauan berkala untuk
tanda tanda sindrom hepatorenal, insufisiensi pulmonar, dan disfungsi
endokrin.
Penanganan varises melibatkan tiga strategi berikut: (1) profilaksis primer
untuk mencegah perdarahan, (2) terapi perdarahan varises, dan (3) profilaksis
sekunder untuk mencegah perdarahan kembali pada pasien yang telah mengalami
perdarahan. Profilaksis primer dilakukan dengan obat obat golongan -blocker
seperti propranolol atau nadolol. Obat obatan ini menurunkan tekanan porta
dengan menurunkan aliran vena porta dengan dua mekanisme, yaitu penurunan
curah jantung dan penurunan aliran darah splanknik, sehingga perdarahan dapat
dicegah dan mortalitas dapat dikurangi. Obat obat blocker harus dilanjutkan,
kecuali obat ini tidak dapat ditoleransi, karena perdarahan dapat terjadi ketika
terapi dihentikan. Semua pasien dengan sirosis dan hipertensi porta perlu
dipertimbangkan untuk menjalani pemeriksaan endoskopik dan pasien dengan
varises yang besar harus menerima profilaksis primer dengan obat blocker.
Terapi harus diawali dengan propranolol 10 mg tiga kali sehari atau nadolol 20
mg satu kali sehari, kemudian ditingkatkan perlahan hingga laju jantung saat
istirahat berkurang menjadi 55 60 kali/menit atau hingga timbul efek samping.
Endoscopic band ligation (EBL) harus dipertimbangkan pada pasien yang
dikontraindikasikan atau mengalami intoleransi terhadap obat blocker. Tidak
terdapat cukup bukti untuk menyarankan pemberian nitrat sebagai terapi
tambahan blocker untuk menurunkan tekanan portal lebih rendah lagi.
Tujuan awal penanganan perdarahan varises akut mencakup (1) resusitasi
cairan yang adekuat, (2) koreksi koagulopati dan trombositopenia, (3)
pengendalian perdarahan, (4) pencegahan perdarahan, dan (5) mempertahankan
fungsi hati. Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan koloid untuk awal dan
diikuti dengan produk darah. Terapi obat vasoaktif (somatostatin, oktreotida, atau
terlipressin) untuk menghentukan atau memperlambat perdarahan dilakukan pada
awal penanganan untuk memudahkan stabilisasi kondisi pasien. Obat obatan ini
menurunkan aliran darah splanknik dan menurunkan tekanan porta dan varises.
Penanganan dengan oktreotide atau somatostatin harus segera dimulai untuk
mengendalikan perdarahan dan memudahkan endoskopi. Oktreotide lebih dipilih
dan diberikan sebagai IV bolus dengan dosis 50 100 mcg, kemudian diikuti
dengan infus dengan laju 25 mcg/jam, maksimal 50 mcg/jam. Pasien harus
dimonitor
untuk
direkomendasikan
hipo
sebagai
atau
hiperglikemia.
terapi
lini
Vasopressin
pertama
karena
tidak
lagi
menyebabkan
BAB II
TINJAUAN KASUS
: 6 Mei 2013
: 04 67 69
Nama pasien
: Tn. K
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 53 tahun
Alamat
: Birugo Puhun
Status
: Pasien Askes
Agama
: Islam
a. Keadaan umum
: sakit sedang
b. Kesadaran
: compos mentis
c. Tekanan darah
2.3
: 120/80 mmHg
d. Nadi
: 80 kali/menit
e. Pernafasan
: 20 kali/menit
f. Suhu
: 36 C
g. Asites
: (+)
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium dengan Sampel Darah Lengkap tanggal 7 Mei
2013
Parameter
Nilai Normal
Hasil
SGOT
SGPT
Total Kolesterol
<37 U/L
<42 U/L
<220 mg%
HDL Kolesterol
>35 mg%
9,6
53
272
55
LDL kolesterol
<130 mg%
Trigliserida
Hemoglobin
Leukosit
<200 mg%
12 16
5.000 - 10.000
200.000 -
11,5
3200
Trombosit
Hematokrit
Gula Darah Puasa
Gula Darah 2 Jam Puasa
Ureum
Kreatinine
Total Protein
400.000
42 - 52%
75-115 mg%
<150 mg%
20 - 40%
0,6 - 1,1 mg%
6-8 mg%
73.000
33,3
77
90
37
1,6
6,7
10
202,6
72
Albumin
3,5-5,2 mg%
Globulin
1,5-2,5 mg%
Asam urat
3-6 mg%
Tilidon 2 x 1 tablet
Ulsafat syrup 3 x 1 C
Injeksi Gastrofer 1 x 1 iv
Injeksi Ondansetron 2 x 1 iv
BAB III
FOLLOW UP
11
3
3,7
7,5
3.1. Follow-up
a. Hari ke-1 (6 Mei 2013)
Pasien mengalami muntah, perut dan kaki membesar. Tekanan darah 120/80
mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 22 kali/menit, suhu
tubuh 37C.
Terapi yang diberikan:
o IVFD Ringer Laktat 12 jam/kolf
o Tilidon 2 x 1 tablet
o Ulsafat syrup 3 x 1 C
o Injeksi Gastrofer 1 x 1 iv
o Injeksi Ondansetron 2 x 1 iv
12
o Allopurinol 1 x 300 mg
o Pravinat 1 x 20 mg
Tilidon 3 x 10 mg
Spasmomen 2 x 1 tablet
Curcuma 2 x 1 tablet
13
BAB IV
DISKUSI
14
BAB V
KESIMPULAN
1.
Demam tifoid
Tidak ada reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang ditemukan
pada pasien.
2. Gastritis
3. Tuberkulosis
15
Terdapat masalah interaksi obat antara OAT dan antasida, tetapi tidak
signifikan secara klinis.
BAB VI
EDUKASI PASIEN
1.
Sefiksim diminum 2 kali sehari (setiap 12 jam) setelah makan dan harus
diminum sampai habis.
2.
16
3.
4.
5.
Jika air seni, air liur, atau air mata berwarna oranye kemerahan, jangan panik
karena hal itu merupakan efek samping yang biasa terjadi setelah menggunakan
OAT (Rifampisin).
6.
7.
8.
9.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi
dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
2. Menkes RI. 2006. Kepmenkes RI No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Depkes RI
3. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. 2004. The global burden of typhoid fever.
Bull WHO;82:346-53
4. Riset Kesehatan Dasar. 2009. Data demam tifoid. Kementerian Kesehatan RI
5. Kliegman, RM, Stanton, BF, Behrman, RE. 2011. Nelsons Textbook of
Pediatrics 19th Edition.Philadelpia: Elsevier
6. Rudolf, A.M, dkk. 2002. Buku Ajar Pediatri Rudolf. Volume 2, Edisi 20.
Jakarta: EGC
7. Hay, WW, Levin, MJ, Sondheimer, JM, Deterding, RR. 2008. Current
Diagnosis and Treatment: Pediatrics (19th Edition). New York: McGrawHill
Medical
8. The Paediatric Formulary Committee. 2009. British National Formulary For
Children. London: RPS Publishing
9. Behrman, R.E & Kliegman, R.M., 2003. Nelson Esensi Pediatri. Jakarta:
EGC.
10. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Depkes
RI.
11. Kelompok Kerja TB Anak Depkes IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Depkes RI
12. Kartasasmita CB. 2001. Childhood tuberculosis in the community.
Disampaikan pada International Paediatric. Respiratory and Allergy Congress;
Prague, Czech Republic
13. Rikesdas Indonesia tahun 2007. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
14. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI. 2008. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi IDAI
18
15. Katzung, B,G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. New York: McGraw
Hill
16. Sweetman, S.C. 2010. Martindale 36th Edition. London: Pharmaceutical Press
17. Hadinegoro, SRS. Tumbelaka, AR, Satari, HI. 2001. Pengobatan Cefixime
pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri Vol 2 (4): 182 - 187
18. Memon IA, Billoo AG, Memon HI. 1998. Cefixime: An oral option for the
treatment of multidrug-resistant enteric fever in children. South Med J;
90:1204-7.
19. Peloquin CA, Namdar S, Dodge AA, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
isoniazid under fasting conditions, with food, and with antacids. Int J Tuberc
Lung Dis 3, 703710.
20. Peloquin CA, Namdar R, Singleton MD, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
rifampin under fasting conditions, with food, and with antacids. Chest 115,
1218.
21. Peloquin CA, Bulpitt AE, Jaresko GS, Jelliffe RW, James GT, Nix DE. 1998.
Pharmacokinetics of pyrazinamide under fasting conditions, with food, and
with antacids. Pharmacotherapy 18, 120511.
19
LAMPIRAN
Domperidon
a. Mekanisme kerja
Domperidon merupakan antagonis dopamin
Adverse Effects
Plasma-prolactin concentrations may be increased,
which may lead to galactorrhoea or gynaecomastia.
There have been reports of reduced libido, and rashes
and other allergic reactions. Domperidone does not
readily cross the blood-brain barrier and the incidence
of central effects such as extrapyramidal reactions or
drowsiness may be lower than with metoclopramide
(p.1748); however, there have been reports of dystonic
reactions.
Domperidone by injection has been associated with
convulsions, arrhythmias, and cardiac arrest. Fatalities
have restricted use by this route.
Effects on the cardiovascular system. Sudden death has occurred
in cancer patients given domperidone intravenously in
high doses.1-3 Four cancer patients experienced cardiac arrest after
high intravenous doses4 and 2 of 4 similar patients had ventricular
arrhythmias.5 After such reports the injection has been
withdrawn from general use in many countries, including the
UK.
Prolongation of the QT interval has been reported in an infant
given oral domperidone, with normalisation after the drug was
stopped. 6
1. Joss RA, et al. Sudden death in cancer patient on high-dose domperidone.
Lancet 1982; i: 1019.
2. Giaccone G, et al. Two sudden deaths during prophylactic antiemetic
treatment with high doses of domperidone and methylprednisolone.
Lancet 1984; ii: 13367.
3. Weaving A, et al. Seizures after antiemetic treatment with high
dose domperidone: report of four cases. BMJ 1984; 288: 1728.
4. Roussak JB, et al. Cardiac arrest after treatment with intravenous
domperidone. BMJ 1984; 289: 1579.
5. Osborne RJ, et al. Cardiotoxicity of intravenous domperidone.
Lancet 1985; ii: 385.
6. Rocha CMG, Barbosa MM. QT interval prolongation associated
with the oral use of domperidone in an infant. Pediatr Cardiol
2005; 26: 7203.
20
HN
N
O
N
NH
N
O
Cl
Precautions
Domperidone is not recommended for chronic use or
for the routine prophylaxis of postoperative nausea and
vomiting. Domperidone should be used with great caution
if given intravenously, because of the risk of arrhythmias,
especially in patients predisposed to cardiac
arrhythmias or hypokalaemia.
Breast feeding. No adverse effects have been seen in breastfed
infants whose mothers were given domperidone, and the
American Academy of Pediatrics considers1 that it is therefore
usually compatible with breast feeding. However, the FDA in the
USA has issued a warning against the use of domperidone to increase
milk production because of the possibility of serious adverse
effects.2 Others have commented that these warnings were
based on data from patients with malignant disease receiving
high doses of intravenous domperidone, and that if the mother
were taking smaller oral doses, the total amount of drug ingested
by an infant would be extremely small. They recommend that
low-dose domperidone should still be considered for lactating
women with decreased milk supply who are unresponsive to
non-pharmacological measures to enhance lactation. However,
patients should be warned of the risk of arrhythmias at high doses,
and women with known cardiac disease should not take domperidone.
3
Interactions
As with other dopamine antagonists (see Metoclopramide,
p.1749), there is a theoretical potential that domperidone
may antagonise the hypoprolactinaemic effect
of drugs such as bromocriptine. In addition, the
prokinetic effects of domperidone may alter the
absorption of some drugs. Opioid analgesics and
antimuscarinics may antagonise the prokinetic effects
of domperidone.
Domperidone is metabolised via the cytochrome P450
isoenzyme CYP3A4; use with ketoconazole has been
reported to produce a threefold increase in plasma concentrations
of domperidone, and an associated slight
prolongation in QT interval. Similar increases in domperidone
concentrations might theoretically be seen
21
Pharmacokinetics
Although absorption is rapid, the systemic bioavailability
of domperidone is only about 15% in fasting subjects
given an oral dose; this is increased when domperidone
is given after food. The low bioavailability is
thought to be due to first-pass hepatic and intestinal
metabolism. The bioavailability of rectal domperidone
is similar to that after oral doses, although peak plasma
concentrations are only about one-third that of an oral
dose and are achieved after about an hour, compared
with 30 minutes after an oral dose.
Domperidone is more than 90% bound to plasma
proteins, and has a terminal elimination half-life of
about 7.5 hours. It undergoes rapid and extensive
hepatic metabolism. The main metabolic pathways
are N-dealkylation by cytochrome P450 isoenzyme
CYP3A4, and aromatic hydroxylation by CYP3A4,
CYP1A2, and CYP2E1. About 30% of an oral dose is
excreted in urine within 24 hours, almost entirely as
metabolites; the remainder of a dose is excreted in faeces
over several days, about 10% as unchanged drug. It
does not readily cross the blood-brain barrier.
Small amounts of domperidone are distributed into
breast milk; concentrations are 10 to 50% of those in
maternal serum.
22
2. Antasid
a. Mekanisme kerja
Menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri
tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan
lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin.
b. Indikasi
Tukak peptik, hiperasiditas GI, gastritis, gangguan pencernaan, kembung,
dispepsia, dan hiatus hernia.
c. Efek samping
Gangguan GI, konstipasi.
23
d. Perhatian
Gangguan fungsi ginjal, diet rendah fosfat.
e. Interaksi obat
Mengganggu absorbsi tetrasiklin, Fe, penghambat H2, warfarin, kuinidin, dan
isoniazid.
f. Farnakokinetika
Absorbsi
Al-karbonat basa : suspensi berisi 5 % Al2O3 dan 2,4 % CO2, dosis : 8 ml.
Magnesium hidroksida
ml.
Magnesium trisilikat
24
3.
Isoniazid (INH)
a. Indikasi.
Obat
ini
diindikasikan
untuk
terapi
semua
bentuk
tuberkulosis
aktif,disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan
antituberkulosis lain.
b. Kontraindikasi.
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksiadversus,
termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :
kehamilan(kecuali risiko terjamin).
c. Kerja Obat.
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa
hari pertama pengobatan.Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik
aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan
terganggunya sintesa asam mikolat, yang diperlukan untuk membangun
dinding bakteri.
d. Farmakokinetika.
Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadarplasma puncak dalam 1 2
jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar
berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam
jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi
bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.Metabolisme dihati,
25
e. Interaksi
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,tetapi
mempunyai efek minimal pada CYP3A.Pemakaian Isoniazide bersamaan
dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat
tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.Antikonvulsan seperti fenitoin
dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran,
parasetamol dan karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan
adsorben menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,
menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan
kadar plasma teofilin.
f. Efek Samping
Hepatotoksisitas, neuritis perifer.
g. Peringatan/Perhatian
26
Penderita yang mengalami penyakit hati kronis aktif dan gagal ginjal.
4.
Rifampisin
a. Mekanisme kerja:
Bersifat bakterisid,dapat membunuh kuman semi dormant. Menghambat
sintesa asam nukleat mycobacterium TBC.
b. Indikasi
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan
antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.
c. Kontraindikasi
Hipersensitifitas, ikterus, gangguan fungsi hati, porfiria, bayi prematur,
neonatus.
d. Efek Samping
Gangguan
gastrointestinal,
reaksi
kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
27
e. Perhatian
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, alkoholisme, hamil trimester 1
f. Interaksi Obat
Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon, absorpsi
dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme, menurunkan kadar
plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan kinidin, mempercepat
metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin, estrogen,teofilin, tiroksin,
anti depresan trisiklik, antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid,
tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol,
ketokonazol, terbinafin.
g. Farmakokinetika:
Rifampicin
and
deacetylrifampicin
25-Oakan
diekskresikan di empedu.
Pirazinamid
28
a. Mekanisme kerja:
Bakteriostatis dan bakterisid terhadap Mycobacterium tuberculosa tergantung
dosis pemberian.
b. Indikasi:
Sebagai OAT yang digabung dengan obat anti TB yang lain.
c. Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal.
d. Efek Samping:
Kerusakan hati, mual, muntah, malaise, demam.
e. Perhatian:
Hati-hati pada penderita hiperurisemia dan encok akut, harus dilakukan uji
fungsi hati dan ginjal.
f. Interaksi Obat
Dapat berinteraksi dengan probenesid dan ziduvudine
g. Farmakokinetika
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis
1 gram menghasilkan kadar plasma 45g/mL pada 2 jam setelah pemberian
obat. Eksresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.Asam pirazinoat yang
aktiv kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang
merupakan metabolit utama.Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
h. Dosis dan bentuk sediaan
Dosis anak :15-30 mg/kg BB per oral dosis tunggal.
Bentuk sediaan: Tablet 500 mg.
29
30
No.
Tanggal
Suhu
Pagi
Siang
Malam
1.
6/5/2013
37C
2.
7/5/2013
36,7C
36,8C
37C
3.
8/5/2013
37C
36,2C
36,6C
4.
9/5/2013
36,7C
36,5C
36,7C
5.
10/5/2013
36,5C
36,8C
31
32
Tujuan
Farmakoterapi
Pilihan
obat/Terapi
Parameter
Monitoring
Frekuensi
Monitor
Nilai Yang
diinginkan
1) Diuretik
1) Berat badan,
lingkar perut,
balans cairan
Tiap hari
Sirosis hepatik
Pemulihan
komplikasi akut dan
mencegah timbulnya
komplikasi
1) Berkurangnya
penumpukan
cairan
NO.
MASALAH
YANG TERKAIT
OBAT
PERMASALAHAN YANG
TERKAIT OBAT
ANALISA MASALAH
33
KOMENTAR/
REKOMENDASI
1.
Korelasi antara
obat-dengan
penyakit
3. Kondisi klinis
(asites) tidak diterapi
2.
Pemilihan obat
yang sesuai
Tidak ada
permasalahan
3.
Regimen Dosis
Tidak ada
permasalahan
34
terapi, kepatuhan,
meminimalkan efek samping,
interaksi obat, dan regimen
yang kompleks?
3. Apakah lama terapi sesuai
dengan indikasi?
4.
Duplikasi terapi
Tidak ada
permasalahan
5.
Tidak ada
permasalahan
6.
Efek merugikan
obat
Apakah ada
gejala/permasalahan medis
yang diinduksi obat
Tidak ada
permasalahan
35
7.
Interaksi dan
kontraindikasi
Tidak ada
permasalahan
36
37