You are on page 1of 37

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI
(8 APRIL 28 JUNI 2013)

SIROSIS HEPATIK

OLEH
KELOMPOK 2
1. LAILATURRAHMI, S. Farm

1241012026

2. ANGGRAINI PHAWESTRI SARI, S. Farm 1241012063


3. RAEHOFDI, S. Farm

1241012099

4. TEGUH UTAMA, S. Farm

1241012112

5. MIA AMELIA, S. Farm

1241012149

PROGRAM PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Sirosis hepatik


a. Definisi
Sirosis didefinisikan sebagai proses difusi yang ditandai dengan fibrosis
dan perubahan struktur hati normal menjadi nodul dengan struktur abnormal.
Pada akhirnya, akan terjadi kerusakan hepatosit yang nantinya akan digantikan
dengan jaringan fibrosis.

b. Etiologi

c. Epidemiologi

d. Patofisiologi
Sirosis menyebabkan peningkatan tekanan darah porta karena perubahan
fibrotik dalam sinusoid hati, perubahan kadar mediator vasodilatasi dan
vasokonstriktor, dan peningkatan aliran darah ke pembuluh splanknik. Kelainan
patofisiologis yang mendasarinya menyebabkan masalah yang sering ditemui,
seperti asites, hipertensi porta, dan varises esofagus, ensefalopati hepatik, dan
gangguan pembekuan darah.

Asites merupakan akumulasi patologis cairan limfe dalam rongga


peritoneum. Asites merupakan tanda sirosis yang paling awal dan paling sering
ditemukan. Perkembangan asites terkait dengan vasodilatasi arteri sistemik yang
menyebabkan aktivasi baroreseptor di ginjal dan aktivasi sistem reninangiotensin, dengan retensi air dan natrium serta produksi vasokonstriktor.
Kelanjutan hipertensi portal yang terpenting adalah terbentuknya varises dan rute
aliran darah alternatif. Pasien dengan sirosis memiliki risiko varises ketika
tekanan porta melebihi tekanan vena kava sebesar > 12 mmHg. Perdarahan
akibat varises terjadi pada 25 40% pasien sirosis dan setiap episode perdarahan
lopati memiliki risiko kematian sebesar 25 30%.
Ensefalopati hepatik merupakan gangguan sistem saraf pusat dengan
rentang gejala neuropsikiatri yang lebar terkait dengan insufisiensi dan gagal
hati. Gejala gejala ensefalopati hepatik diduga terjadi karena akumulasi
senyawa-senyawa nitrogen di dalam sirkulasi sistemik sebagai akibat shunting
melalui kolateral portosistemik yang melewati hati. Senyawa-senyawa ini
kemudian memasuki sistem saraf pusat dan menghasilkan perubahan
neurotransmiter yang mempengaruhi kesadaran dan perilaku. Perubahan amonia,
glutamat, agonis reseptor benzodiazepin, dan mangan dikaitkan dengan
ensefalopati hepatik. Akan tetapi, kadar amonia serum tidak begitu berhubungan
dengan status mental pada ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik tipe A
diinduksi oleh gagal hati akut, tipe B disebabkan oleh bypass porta-sistemik
tanpa penyakit hati intrinsik, dan ditipe C terjadi pada sirosis. Ensefalopati
hepatik dapat diklasifikasikan menjadi episodik, persisten, atau minimal.
Gangguan pembekuan darah dapat terjadi pada sirosis, mencakup
berkurangnya

sintesis faktor pembekuan

darah, fibrinolisis

berlebihan,

pembekuan intravaskuler terdiseminasi, trombositopenia, dan disfungsi platelet.


Faktor pembekuan darah tergantung vitamin K, termasuk faktor VII dipengaruhi

lebih awal. Dampak dari seluruh kejadian ini adalah terbentuknya diatesis
perdarahan.
.

e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan sirosis bervariasi, mulai dari
asimptomatik dengan hasil tes laboratorium abnormal hingga perdarahan akut
yang mengancam jiwa. Beberapa tanda dan gejala sirosis adalah hepatomegali,
splenomegali,

pruritus,

jaundice, eritema

palmar,

spider

angiomata

hiperpigmentasi, ginekomastia, penurunan libido, asites, edema, efusi pleura, dan


kesulitan bernafas, malaise, anoreksia, penurunan berat badan, serta ensefalopati.
Jaundice biasanya muncul lebih akhir pada sirosis dan ketiadaannya tidak
membatalkan diagnosis. Tanda tanda klasik sirosis, seperti eritema, spider
angiomata, dan ginekomastia, tidak sensitif maupun spesifik terhadap penyakit.
Pasien yang menyalahgunakan alkohol seringkali meremehkan jumlah alkohol
yang dikonsumsi. Peningkatan waktu protrombin merupakan manifestasi yang
paling reliabel. Kombinasi trombositopenia, ensefalopati, dan asites memiliki
nilai prediksi tertinggi.
Uji fungsi hati rutin mencakup alkali fosfatase, bilirubin, ALT, AST, dan
gammaglutamil transpeptidase (GGT). Penanda aktivitas hati lainnya mencakup
albumin dan waktu protrombin. Senyawa senyawa ini meningkat pada penyakit
hati inflamatori kronis seperti hepatitis C, tetapi dapat saja normal pada penderita
infeksi yang telah pulih. ALT dan AST merupakan enzim enzim yang
mengalami peningkatan konsentrasi pada plasma setelah cedera hepatoseluler.
Konsentrasi tertinggi terlihat pada infeksi virus akut, iskemik, atau cedera hati
toksik. Kadar alkali fosfatase dan GGT meningkat dalam plasma pada gangguan
obstruktif yang mengganggu aliran cairan empedu dari hepatosit menuju
kandung empedu, atau dari pembuluh bilier menuju usus dengan kondisi sirosis
bilier, sclerosing cholangitis, kolestasis akibat obat, batu empedu, dan penyakit

hati kolestatik autoimun. Kadar GGT plasma berkorelasi dengan baik dengan
peningkatan alkali fosfatase dan merupakan penanda sensitif untuk penyakit hati
kolestatik. Peningkatan bilirubin serum merupakan hal yang umum terjadi pada
penyakit hati stadium akhir dan obstruksi kandung empedu, tetapi terdapat
banyak penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Albumin dan faktor pembekuan
darah merupakan penanda fungsi hati pada sirosis. Trombositopenia umum
ditemukan pada 30 64% pasien sirosis.

f. Komplikasi
g. Penatalaksanaan
Tujuan terapi yang diharapkan adalah 1) perbaikan secara klinis atau
pemulihan komplikasi akut; dan 2) mencegah komplikasi. Pendekatan umum
yang dilakukan antara lain mengidentifikasi dan mengeliminasi penyebab sirosis,
menilai risiko perdarahan varises dan memulai profilaksis secara farmakologi
bila diperlukan, terapi endoskopi untuk pasien berisiko tinggi atau episode
perdarahan akut. Perlu dilakukan evaluasi terhadap tanda tanda klinis asites dan
ditangani dengan terapi farmakologi (seperti diuretik) dan paracentesis. Perlu
pemantauan untuk spontaneous bacterial peritonitis (SBP) pada pasien asites
yang mengalami perburukan akut. Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada sirosis serta membutuhkan pengawasan serta
penanganan dengan pembatasan asupan makanan, eliminasi depresan SSP, serta
terapi untuk menurunkan kadar amonia. Diperlukan pemantauan berkala untuk
tanda tanda sindrom hepatorenal, insufisiensi pulmonar, dan disfungsi
endokrin.
Penanganan varises melibatkan tiga strategi berikut: (1) profilaksis primer
untuk mencegah perdarahan, (2) terapi perdarahan varises, dan (3) profilaksis
sekunder untuk mencegah perdarahan kembali pada pasien yang telah mengalami
perdarahan. Profilaksis primer dilakukan dengan obat obat golongan -blocker
seperti propranolol atau nadolol. Obat obatan ini menurunkan tekanan porta

dengan menurunkan aliran vena porta dengan dua mekanisme, yaitu penurunan
curah jantung dan penurunan aliran darah splanknik, sehingga perdarahan dapat
dicegah dan mortalitas dapat dikurangi. Obat obat blocker harus dilanjutkan,
kecuali obat ini tidak dapat ditoleransi, karena perdarahan dapat terjadi ketika
terapi dihentikan. Semua pasien dengan sirosis dan hipertensi porta perlu
dipertimbangkan untuk menjalani pemeriksaan endoskopik dan pasien dengan
varises yang besar harus menerima profilaksis primer dengan obat blocker.
Terapi harus diawali dengan propranolol 10 mg tiga kali sehari atau nadolol 20
mg satu kali sehari, kemudian ditingkatkan perlahan hingga laju jantung saat
istirahat berkurang menjadi 55 60 kali/menit atau hingga timbul efek samping.
Endoscopic band ligation (EBL) harus dipertimbangkan pada pasien yang
dikontraindikasikan atau mengalami intoleransi terhadap obat blocker. Tidak
terdapat cukup bukti untuk menyarankan pemberian nitrat sebagai terapi
tambahan blocker untuk menurunkan tekanan portal lebih rendah lagi.
Tujuan awal penanganan perdarahan varises akut mencakup (1) resusitasi
cairan yang adekuat, (2) koreksi koagulopati dan trombositopenia, (3)
pengendalian perdarahan, (4) pencegahan perdarahan, dan (5) mempertahankan
fungsi hati. Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan koloid untuk awal dan
diikuti dengan produk darah. Terapi obat vasoaktif (somatostatin, oktreotida, atau
terlipressin) untuk menghentukan atau memperlambat perdarahan dilakukan pada
awal penanganan untuk memudahkan stabilisasi kondisi pasien. Obat obatan ini
menurunkan aliran darah splanknik dan menurunkan tekanan porta dan varises.
Penanganan dengan oktreotide atau somatostatin harus segera dimulai untuk
mengendalikan perdarahan dan memudahkan endoskopi. Oktreotide lebih dipilih
dan diberikan sebagai IV bolus dengan dosis 50 100 mcg, kemudian diikuti
dengan infus dengan laju 25 mcg/jam, maksimal 50 mcg/jam. Pasien harus
dimonitor

untuk

direkomendasikan

hipo
sebagai

atau

hiperglikemia.

terapi

lini

Vasopressin

pertama

karena

tidak

lagi

menyebabkan

vasokonstriksi nonselektif sehingga terjadi hipertensi, sakit kepala berat, iskemia


koroner, infark miokard, dan aritmia.

Penanganan asites akibat hipertensi porta mencakup penghentian alkohol,


pembatasan natrium, dan diuretik. Natrium klorida harus dibatasi menjadi 2
g/hari. Terapi diuretik harus diawali dengan spironolakton 100 mg dosis tunggal
pada pagi hari dan furosemide 40 mg dengan tujuan penurunan berat badan
maksimal 0,5 kg/hari. Dosis kedua obat tersebut dapat ditingkatkan dengan rasio
100 : 40, sehingga menghasilkan dosis maksimal harian spironolakton 400 mg
dan furosemide 160 mg. Bila timbul asites tegang, perlu dilakukan parasentesis 4
6 L sebelum mengawali terapi diuretik dan pembatasan garam. Terapi diuretik
harus dihentikan pada pasien yang mengalami ensefalopati, hiponatremia berat,
atau penurunan fungsi ginjal.
Terapi antibiotik untuk pencegahan SBP perlu dipertimbangkan pada
semua pasien yang memiliki risiko tinggi untuk komplikasi ini, yaitu mereka
yang pernah mengalami SBP sebelumnya dan mereka yang mengalami asites
dengan protein rendah. Pasien yang mengalami ataupun dicurigai mengalami
SBP harus menerima terapi antibiotik spektrum luas untuk mengatasi infeksi
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Streptococcus pneumoniae.
Antibiotik pilihan utama adalah sefotaksim dengan dosis 2 g setiap 8 jam atau
sefalosporin generasi 3 lainnya. Ofloksasin oral 400 mg setiap 12 jam setara
dengan sefotaksim intravena.

h. Pemantauan selama terapi


Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dipantau adalah(2):
1) Suhu tubuh serta vital sign lain
2) Keseimbangan cairan
3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
4) Adanya koinfeksi dan/atau komorbid dengan penyakit lain

5) Efek samping dan/atau efek toksik obat


6) Resistensi antimikroba
7) Kemajuan pengobatan secara umum

BAB II
TINJAUAN KASUS

2.1. Identitas pasien


Tanggal kunjungan

: 6 Mei 2013

No. rekam medik

: 04 67 69

Nama pasien

: Tn. K

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 53 tahun

Alamat

: Birugo Puhun

Status

: Pasien Askes

Agama

: Islam

2.2. Ilustrasi kasus


Pasien K, 53 tahun masuk ke Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit
Stroke Nasional Bukittinggi dari IGD pada tanggal 6 Mei 2013 pukul 13.20 WIB
dengan keluhan muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien F mengalami pembesaran perut berulang sejak 2 tahun yang lalu, Kaki
membesar, mual (-), muntah (+), pusing (+), nyeri abdomen bagian tengah (+).
Riwayat penyakit terdahulu:
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, pasien
telah pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya sejak tahun 2011.

Riwayat penyakit keluarga:


Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, tidak ada
penyakit serupa yang pernah diderita oleh keluarga pasien.
Pemeriksaan fisik:

a. Keadaan umum

: sakit sedang

b. Kesadaran

: compos mentis

c. Tekanan darah

2.3

: 120/80 mmHg

d. Nadi

: 80 kali/menit

e. Pernafasan

: 20 kali/menit

f. Suhu

: 36 C

g. Asites

: (+)

Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium dengan Sampel Darah Lengkap tanggal 7 Mei
2013
Parameter

Nilai Normal

Hasil

SGOT
SGPT
Total Kolesterol

<37 U/L
<42 U/L
<220 mg%

HDL Kolesterol

>35 mg%

9,6
53
272
55

LDL kolesterol

<130 mg%

Trigliserida
Hemoglobin
Leukosit

<200 mg%
12 16
5.000 - 10.000
200.000 -

11,5
3200

Trombosit
Hematokrit
Gula Darah Puasa
Gula Darah 2 Jam Puasa
Ureum
Kreatinine
Total Protein

400.000
42 - 52%
75-115 mg%
<150 mg%
20 - 40%
0,6 - 1,1 mg%
6-8 mg%

73.000
33,3
77
90
37
1,6
6,7

10

202,6
72

Albumin

3,5-5,2 mg%

Globulin

1,5-2,5 mg%

Asam urat

3-6 mg%

Diagnosis: Sirosis Hepatic


Terapi yang diberikan :

IVFD Ringer Laktat/12 jam

Tilidon 2 x 1 tablet

Ulsafat syrup 3 x 1 C

Injeksi Gastrofer 1 x 1 iv

Injeksi Ondansetron 2 x 1 iv

BAB III
FOLLOW UP

11

3
3,7
7,5

3.1. Follow-up
a. Hari ke-1 (6 Mei 2013)
Pasien mengalami muntah, perut dan kaki membesar. Tekanan darah 120/80
mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 22 kali/menit, suhu
tubuh 37C.
Terapi yang diberikan:
o IVFD Ringer Laktat 12 jam/kolf
o Tilidon 2 x 1 tablet
o Ulsafat syrup 3 x 1 C
o Injeksi Gastrofer 1 x 1 iv
o Injeksi Ondansetron 2 x 1 iv

b. Hari ke-2 (7 Mei 2013)


Perut tidak terasa sakit, mual dan muntah tidak ada. Tekanan darah 130/80
mmHg, denyut nadi 82 kali/menit, frekuensi pernafasan 21 kali/menit. Terapi
dilanjutkan, dengan tambahan:
o Lansoprazole 1 x 30 mg

c. Hari ke-3 (8 Mei 2013)


Perut tidak terasa sakit, mual dan muntah tidak ada. Tekanan darah 130/80
mmHg, denyut nadi 82 kali/menit, frekuensi pernafasan 21 kali/menit.
Terapi dilanjutkan dengan tambahan:
o Ranitidin 2 x 150 mg
o Neurodex 1 x 1 tablet

12

o Allopurinol 1 x 300 mg
o Pravinat 1 x 20 mg

d. Hari ke-4 (9 Mei 2013)


Pasien tidak mengalami mual dan muntah, perut tidak terasa sakit. Tekanan
darah 120/90 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 22
kali/menit, suhu tubuh 36C.
Terapi dilanjutkan, obat injeksi dihentikan.

e. Hari ke-5 (10 Mei 2013)


Pasien tidak mengalami mual dan muntah, perut tidak terasa sakit. Tekanan
darah 110/70 mmHg, denyut nadi 79 kali/menit, frekuensi pernafasan 20
kali/menit.
Terapi dilanjutkan.

f. Hari ke-6 (11Mei 2013)


Kondisi pasien sudah membaik diperbolehkan pulang dengan catatan harus
kontrol secara teratur. Obat yang dibawa pulang adalah sebagai berikut:

Tilidon 3 x 10 mg

Spasmomen 2 x 1 tablet

Curcuma 2 x 1 tablet

13

BAB IV
DISKUSI

14

BAB V
KESIMPULAN

1.

Demam tifoid

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang ditemukan
pada pasien.

2. Gastritis

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada ROTD yang ditemukan pada pasien

3. Tuberkulosis

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada ROTD yang ditemukan pada pasien

15

Pasien gagal mendapatkan obat pada hari kedua pengobatan.

Terdapat masalah interaksi obat antara OAT dan antasida, tetapi tidak
signifikan secara klinis.

BAB VI
EDUKASI PASIEN

1.

Sefiksim diminum 2 kali sehari (setiap 12 jam) setelah makan dan harus
diminum sampai habis.

2.

Ottopan diminum 4 kali sehari satu sendok takar bila panas.

16

3.

Acitral diminum 3 kali sehari 2 jam sesudah makan.

4.

Rifampisin diminum 1 jam sebelum makan, INH dan Pirazinamid diminum


setelah makan pada pagi hari

5.

Jika air seni, air liur, atau air mata berwarna oranye kemerahan, jangan panik
karena hal itu merupakan efek samping yang biasa terjadi setelah menggunakan
OAT (Rifampisin).

6.

Vistrum diminum 3 kali sehari satu sendok takar setelah makan.

7.

Kurangi aktivitas berat dan perbanyak istirahat

8.

Selama 2 minggu, jangan makan makanan yang keras, pedas,


berempah,ataupun berserat.

9.

Perbanyak minum air putih.

10. Makan secara teratur, jangan melewatkan waktu makan.


11. Pasien perlu kontrol secara teratur ke dokter untuk follow-up pengobatan
tuberkulosis.
12. Bila pasien mengalami muntah yang mengganggu/tidak bisa dikendalikan, kulit
atau bagian putih mata berwarna kuning, segera konsultasikan ke dokter.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi
dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
2. Menkes RI. 2006. Kepmenkes RI No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Depkes RI
3. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. 2004. The global burden of typhoid fever.
Bull WHO;82:346-53
4. Riset Kesehatan Dasar. 2009. Data demam tifoid. Kementerian Kesehatan RI
5. Kliegman, RM, Stanton, BF, Behrman, RE. 2011. Nelsons Textbook of
Pediatrics 19th Edition.Philadelpia: Elsevier
6. Rudolf, A.M, dkk. 2002. Buku Ajar Pediatri Rudolf. Volume 2, Edisi 20.
Jakarta: EGC
7. Hay, WW, Levin, MJ, Sondheimer, JM, Deterding, RR. 2008. Current
Diagnosis and Treatment: Pediatrics (19th Edition). New York: McGrawHill
Medical
8. The Paediatric Formulary Committee. 2009. British National Formulary For
Children. London: RPS Publishing
9. Behrman, R.E & Kliegman, R.M., 2003. Nelson Esensi Pediatri. Jakarta:
EGC.
10. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Depkes
RI.
11. Kelompok Kerja TB Anak Depkes IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Depkes RI
12. Kartasasmita CB. 2001. Childhood tuberculosis in the community.
Disampaikan pada International Paediatric. Respiratory and Allergy Congress;
Prague, Czech Republic
13. Rikesdas Indonesia tahun 2007. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
14. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI. 2008. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi IDAI
18

15. Katzung, B,G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. New York: McGraw
Hill
16. Sweetman, S.C. 2010. Martindale 36th Edition. London: Pharmaceutical Press
17. Hadinegoro, SRS. Tumbelaka, AR, Satari, HI. 2001. Pengobatan Cefixime
pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri Vol 2 (4): 182 - 187
18. Memon IA, Billoo AG, Memon HI. 1998. Cefixime: An oral option for the
treatment of multidrug-resistant enteric fever in children. South Med J;
90:1204-7.
19. Peloquin CA, Namdar S, Dodge AA, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
isoniazid under fasting conditions, with food, and with antacids. Int J Tuberc
Lung Dis 3, 703710.
20. Peloquin CA, Namdar R, Singleton MD, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
rifampin under fasting conditions, with food, and with antacids. Chest 115,
1218.
21. Peloquin CA, Bulpitt AE, Jaresko GS, Jelliffe RW, James GT, Nix DE. 1998.
Pharmacokinetics of pyrazinamide under fasting conditions, with food, and
with antacids. Pharmacotherapy 18, 120511.

19

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Obat


1.

Domperidon
a. Mekanisme kerja
Domperidon merupakan antagonis dopamin
Adverse Effects
Plasma-prolactin concentrations may be increased,
which may lead to galactorrhoea or gynaecomastia.
There have been reports of reduced libido, and rashes
and other allergic reactions. Domperidone does not
readily cross the blood-brain barrier and the incidence
of central effects such as extrapyramidal reactions or
drowsiness may be lower than with metoclopramide
(p.1748); however, there have been reports of dystonic
reactions.
Domperidone by injection has been associated with
convulsions, arrhythmias, and cardiac arrest. Fatalities
have restricted use by this route.
Effects on the cardiovascular system. Sudden death has occurred
in cancer patients given domperidone intravenously in
high doses.1-3 Four cancer patients experienced cardiac arrest after
high intravenous doses4 and 2 of 4 similar patients had ventricular
arrhythmias.5 After such reports the injection has been
withdrawn from general use in many countries, including the
UK.
Prolongation of the QT interval has been reported in an infant
given oral domperidone, with normalisation after the drug was
stopped. 6
1. Joss RA, et al. Sudden death in cancer patient on high-dose domperidone.
Lancet 1982; i: 1019.
2. Giaccone G, et al. Two sudden deaths during prophylactic antiemetic
treatment with high doses of domperidone and methylprednisolone.
Lancet 1984; ii: 13367.
3. Weaving A, et al. Seizures after antiemetic treatment with high
dose domperidone: report of four cases. BMJ 1984; 288: 1728.
4. Roussak JB, et al. Cardiac arrest after treatment with intravenous
domperidone. BMJ 1984; 289: 1579.
5. Osborne RJ, et al. Cardiotoxicity of intravenous domperidone.
Lancet 1985; ii: 385.
6. Rocha CMG, Barbosa MM. QT interval prolongation associated
with the oral use of domperidone in an infant. Pediatr Cardiol
2005; 26: 7203.

Effects on the endocrine system. There have been reports


of galactorrhoea with gynaecomastia1 or mastalgia 2,3 generally
associated with raised serum-prolactin concentrations. Gynaecomastia
without galactorrhoea has also been reported. 4
1. Van der Steen M, et al. Gynaecomastia in a male infant given
domperidone. Lancet 1982; ii: 8845.
2. Cann PA, et al. Galactorrhoea as side effect of domperidone.
BMJ 1983; 286: 13956.

20

3. Cann PA, et al. Oral domperidone: double blind comparison with


placebo in irritable bowel syndrome. Gut 1983; 24: 113540.
4. Keating JP, Rees M. Gynaecomastia after long-term administration
of domperidone. Postgrad Med J 1991; 67: 4012.

Extrapyramidal effects. There are reports of extrapyramidal


symptoms, 1,2 including acute dystonic reactions3 and neuroleptic
malignant syndrome 4 in individual patients given domperidone.
1. Sol P, et al. Extrapyramidal reactions due to domperidone. Lancet
1980; ii: 802.

HN
N
O
N
NH
N
O
Cl

Domperidone/Drofenine Hydrochloride 1727


The symbol denotes a preparation no longer actively marketed The symbol denotes a substance whose use may be restricted in certain
sports (see p.vii)
2. Debontridder O. Extrapyramidal reactions due to domperidone.
Lancet 1980; ii: 802. Correction, ibid.; 1259.
3. Casteels-Van Daele M, et al. Refusal of further cancer chemotherapy
due to antiemetic drug. Lancet 1984; i: 57.
4. Spirt MJ, et al. Neuroleptic malignant syndrome induced by
domperidone. Dig Dis Sci 1992; 37: 9468.

Precautions
Domperidone is not recommended for chronic use or
for the routine prophylaxis of postoperative nausea and
vomiting. Domperidone should be used with great caution
if given intravenously, because of the risk of arrhythmias,
especially in patients predisposed to cardiac
arrhythmias or hypokalaemia.
Breast feeding. No adverse effects have been seen in breastfed
infants whose mothers were given domperidone, and the
American Academy of Pediatrics considers1 that it is therefore
usually compatible with breast feeding. However, the FDA in the
USA has issued a warning against the use of domperidone to increase
milk production because of the possibility of serious adverse
effects.2 Others have commented that these warnings were
based on data from patients with malignant disease receiving
high doses of intravenous domperidone, and that if the mother
were taking smaller oral doses, the total amount of drug ingested
by an infant would be extremely small. They recommend that
low-dose domperidone should still be considered for lactating
women with decreased milk supply who are unresponsive to
non-pharmacological measures to enhance lactation. However,
patients should be warned of the risk of arrhythmias at high doses,
and women with known cardiac disease should not take domperidone.
3

1. American Academy of Pediatrics. The transfer of drugs and other


chemicals into human milk. Pediatrics 2001; 108: 77689.
Correction. ibid.; 1029. Also available at:
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/
pediatrics%3b108/3/776 (accessed 07/05/04)
2. FDA. FDA warns against women using unapproved drug, domperidone,
to increase milk production (June 7, 2004). Available
at: http://www.fda.gov/bbs/topics/ANSWERS/2004/
ANS01292.html (accessed 30/06/04)
3. da Silva OP, Knoppert DC. Domperidone for lactating women.
Can Med Assoc J 2004; 171: 7256.

Interactions
As with other dopamine antagonists (see Metoclopramide,
p.1749), there is a theoretical potential that domperidone
may antagonise the hypoprolactinaemic effect
of drugs such as bromocriptine. In addition, the
prokinetic effects of domperidone may alter the
absorption of some drugs. Opioid analgesics and
antimuscarinics may antagonise the prokinetic effects
of domperidone.
Domperidone is metabolised via the cytochrome P450
isoenzyme CYP3A4; use with ketoconazole has been
reported to produce a threefold increase in plasma concentrations
of domperidone, and an associated slight
prolongation in QT interval. Similar increases in domperidone
concentrations might theoretically be seen

21

with other potent inhibitors of CYP3A4 such as erythromycin


or ritonavir, and such combinations may be
best avoided.

Pharmacokinetics
Although absorption is rapid, the systemic bioavailability
of domperidone is only about 15% in fasting subjects
given an oral dose; this is increased when domperidone
is given after food. The low bioavailability is
thought to be due to first-pass hepatic and intestinal
metabolism. The bioavailability of rectal domperidone
is similar to that after oral doses, although peak plasma
concentrations are only about one-third that of an oral
dose and are achieved after about an hour, compared
with 30 minutes after an oral dose.
Domperidone is more than 90% bound to plasma
proteins, and has a terminal elimination half-life of
about 7.5 hours. It undergoes rapid and extensive
hepatic metabolism. The main metabolic pathways
are N-dealkylation by cytochrome P450 isoenzyme
CYP3A4, and aromatic hydroxylation by CYP3A4,
CYP1A2, and CYP2E1. About 30% of an oral dose is
excreted in urine within 24 hours, almost entirely as
metabolites; the remainder of a dose is excreted in faeces
over several days, about 10% as unchanged drug. It
does not readily cross the blood-brain barrier.
Small amounts of domperidone are distributed into
breast milk; concentrations are 10 to 50% of those in
maternal serum.

Uses and Administration


Domperidone is a dopamine antagonist with actions
and uses similar to those of metoclopramide (p.1749).
It is used as an antiemetic for the short-term treatment
of nausea and vomiting of various aetiologies (p.1700).
It is not considered suitable for chronic nausea and
vomiting, nor for the routine prophylaxis of postoperative
vomiting.
Domperidone is also used for its prokinetic actions in
dyspepsia (p.1695) and has been tried in diabetic gastroparesis
(see Diabetic Complications, p.433). It has
been given with paracetamol in the symptomatic treatment
of migraine (p.616).
Domperidone is used as the maleate in tablet preparations
and as the base in suppositories and the oral suspension;
doses are expressed in terms of the base.
Domperidone maleate 12.73 mg is equivalent to about
10 mg of domperidone. Domperidone has been given
parenterally, but this route has been associated with severe
adverse effects (see above).
For the treatment of nausea and vomiting domperidone
may be given in oral doses of 10 to 20 mg three
or four times daily up to a maximum daily dose of
80 mg or it may be given rectally in a dose of 60 mg
twice daily. For doses in children see below.
For the symptomatic management of non-ulcer dyspepsia
similar oral doses of 10 mg taken up to four
times daily (the last dose to be taken at night) have been
recommended; if necessary, an increase in the dose to
20 mg may be prescribed. An initial course of treatment
should not normally exceed 2 to 4 weeks. In
migraine, a dose of 20 mg has been given orally up to
every 4 hours, with paracetamol, as required, up to a
maximum of 4 doses in 24 hours.
Reviews.
1. Prakash A, Wagstaff AJ. Domperidone: a review of its use in
diabetic gastropathy. Drugs 1998; 56: 42945.
2. Barone JA. Domperidone: a peripherally acting dopamine -receptor
antagonist. Ann Pharmacother 1999; 33: 42940.
3. Ahmad N, et al. Making a case for domperidone in the treatment

22

of gastrointestinal motility disorders. Curr Opin Pharmacol


2006; 6: 5716.
4. Reddymasu SC, et al. Domperidone: review of pharmacology
and clinical applications in gastroenterology. Am J Gastroenterol
2007; 102: 203645.

Administration in children. UK licensed product information


states that children may be given domperidone in oral doses
equivalent to 250 to 500 micrograms/kg three or four times daily;
a total daily dose of 2.4 mg/kg or 80 mg, whichever is less,
should not be exceeded. Alternatively, children weighing more
than 15 kg may be given a rectal dose of 30 mg twice daily. The
BNFC gives similar doses, but specifies use in children over 2
years; in those children over 35 kg, it allows an oral dose of 10 to
20 mg three or four times daily (maximum 80 mg daily) or a rectal
dose of 60 mg twice daily.
Gastro-oesophageal reflux disease. A systematic review of
the use of domperidone in infants and young children with gastrooesophageal reflux (p.1696), which identified 4 randomised
controlled studies of such use, considered that there was very little
evidence of its efficacy in reducing symptoms. 1 Some suggest
that it has been overused because of the lack of a suitable alternative
after withdrawal of cisapride in many countries. 2
1. Pritchard DS, et al. Should domperidone be used for the treatment
of gastro-oesophageal reflux in children? Systematic review
of randomized controlled trials in children aged 1 month to
11 years old. Br J Clin Pharmacol 2005; 59: 7259.
2. Vandenplas Y, et al. The diagnosis and management of gastrooesophageal
reflux in infants. Early Hum Dev 2005; 81:
101124.

Parkinsonism. Domperidone is used to control gastrointestinal


effects of dopaminergic drugs given in the management of parkinsonism
(p.791). It may be of use in those patients who experience
peripheral effects with levodopa despite the use of peripheral
dopa-decarboxylase inhibitors and for patients using
dopamine agonists such as bromocriptine or apomorphine since
peripheral dopa-decarboxylase inhibitors are ineffective for preventing
the peripheral effects of these drugs. Although domperidone
does not readily cross the blood-brain barrier there have
been isolated reports of extrapyramidal effects associated

2. Antasid
a. Mekanisme kerja
Menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri
tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan
lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin.

b. Indikasi
Tukak peptik, hiperasiditas GI, gastritis, gangguan pencernaan, kembung,
dispepsia, dan hiatus hernia.

c. Efek samping
Gangguan GI, konstipasi.
23

d. Perhatian
Gangguan fungsi ginjal, diet rendah fosfat.

e. Interaksi obat
Mengganggu absorbsi tetrasiklin, Fe, penghambat H2, warfarin, kuinidin, dan
isoniazid.

f. Farnakokinetika
Absorbsi

: antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sistemik dan

antasid nonsistemik. Antasid sistemik diabsorbsi dalam usus halus sehingga


menyebabkan urin bersifat alkalis.Antasid nonsistemik hampir tidak
diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik.

g. Dosis dan bentuk sediaan

Natrium bikarbonat: tablet 500 mg, dosis : 1-4 g/hari

Aluminium hidroksida: tablet suspensi 4 %, dosis tunggal 0,6 g

Aluminium fosfat : suspensi 4-5 %, dosis : 15-45 ml

Al-karbonat basa : suspensi berisi 5 % Al2O3 dan 2,4 % CO2, dosis : 8 ml.

Al-natrium dihidroksi karbonat : Tablet 300 mg, dosis : 300-600 mg.

Kalsium karbonat : dosis 2-3 g/hari

Magnesium hidroksida

: suspensi susu magnesium 7-8 %, dosis : 5-30

ml.

Magnesium trisilikat

: tablet 500 mg, dosis : 1-4 g/hari.

24

3.

Isoniazid (INH)
a. Indikasi.
Obat

ini

diindikasikan

untuk

terapi

semua

bentuk

tuberkulosis

aktif,disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan
antituberkulosis lain.

b. Kontraindikasi.
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksiadversus,
termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :
kehamilan(kecuali risiko terjamin).

c. Kerja Obat.
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa
hari pertama pengobatan.Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik
aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan
terganggunya sintesa asam mikolat, yang diperlukan untuk membangun
dinding bakteri.

d. Farmakokinetika.
Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadarplasma puncak dalam 1 2
jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar
berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam
jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi
bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.Metabolisme dihati,

25

terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi (kecepatan asetilasi


umumnya lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada
insufiensi hati, dan pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis
diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian kecil
diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI.

e. Interaksi
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,tetapi
mempunyai efek minimal pada CYP3A.Pemakaian Isoniazide bersamaan
dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat
tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.Antikonvulsan seperti fenitoin
dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran,
parasetamol dan karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan
adsorben menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,
menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan
kadar plasma teofilin.

f. Efek Samping
Hepatotoksisitas, neuritis perifer.

g. Peringatan/Perhatian

26

Penderita yang mengalami penyakit hati kronis aktif dan gagal ginjal.

h. Dosis dan bentuk sediaan


Dosis anak: 5 15 mg/kg/ hari dosis tunggal.
Bentuk sediaan: Tablet 300 mg, 400 mg

4.

Rifampisin
a. Mekanisme kerja:
Bersifat bakterisid,dapat membunuh kuman semi dormant. Menghambat
sintesa asam nukleat mycobacterium TBC.

b. Indikasi
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan
antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.
c. Kontraindikasi
Hipersensitifitas, ikterus, gangguan fungsi hati, porfiria, bayi prematur,
neonatus.
d. Efek Samping
Gangguan

gastrointestinal,

reaksi

kulit,

hepatitis,

trombositopenia,

peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna orange kemerahan.

27

e. Perhatian
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, alkoholisme, hamil trimester 1
f. Interaksi Obat
Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon, absorpsi
dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme, menurunkan kadar
plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan kinidin, mempercepat
metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin, estrogen,teofilin, tiroksin,
anti depresan trisiklik, antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid,
tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol,
ketokonazol, terbinafin.
g. Farmakokinetika:

Absorpsi:diabsorpsi dengan cepat dari traktus GI dengan kadar plasma


puncak 7-9 Ul/ml setelah 2-4 jam pemberian dosis 600mg.

Distribusi : ikatan protein 80%, didistribusikan secara luas ke jaringan


tubuh dan cairan dan difusinya ke CFS meningkatkan pada kondisi
inflamasi dan meningitis. Didistribusikan ke ASI serta dapat melewati
plasenta.

Metabolisme: rifampisin dapat menginduksi metabolismenya sendiri.


dimetabolisme dengan cepat di hati menjadi bentuk aktif
deacetylrifampicin.

Rifampicin

and

deacetylrifampicin

25-Oakan

diekskresikan di empedu.

Ekskresi: t1/2 2-5 jam. Eliminasinya berkurang 40% pada 2 minggu


pemberian pertama dan t1/2nya menjadi 1-3 jam.

h. Dosis dan Rute:


Anak: 10-20 mg/ kg BB per oral dosis tunggal. Maksimal: 600 mg/ hari.
Bentuk sediaan: Kaplet 150 mg, 300 mg, 450 mg, 600 mg.
5.

Pirazinamid

28

a. Mekanisme kerja:
Bakteriostatis dan bakterisid terhadap Mycobacterium tuberculosa tergantung
dosis pemberian.
b. Indikasi:
Sebagai OAT yang digabung dengan obat anti TB yang lain.
c. Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal.
d. Efek Samping:
Kerusakan hati, mual, muntah, malaise, demam.
e. Perhatian:
Hati-hati pada penderita hiperurisemia dan encok akut, harus dilakukan uji
fungsi hati dan ginjal.
f. Interaksi Obat
Dapat berinteraksi dengan probenesid dan ziduvudine
g. Farmakokinetika
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis
1 gram menghasilkan kadar plasma 45g/mL pada 2 jam setelah pemberian
obat. Eksresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.Asam pirazinoat yang
aktiv kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang
merupakan metabolit utama.Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
h. Dosis dan bentuk sediaan
Dosis anak :15-30 mg/kg BB per oral dosis tunggal.
Bentuk sediaan: Tablet 500 mg.

29

Lampiran 2. Data follow-up suhu tubuh pasien

30

No.

Tanggal

Suhu
Pagi

Siang

Malam

1.

6/5/2013

37C

2.

7/5/2013

36,7C

36,8C

37C

3.

8/5/2013

37C

36,2C

36,6C

4.

9/5/2013

36,7C

36,5C

36,7C

5.

10/5/2013

36,5C

36,8C

Grafik follow-up suhu pasien

31

Lampiran 3. Rencana asuhan kefarmasian

32

Lampiran 4. Tabel penggunaan obat bersama


Kebutuhan
pelayanan
kesehatan

Tujuan
Farmakoterapi

Pilihan
obat/Terapi

Parameter
Monitoring

Frekuensi
Monitor

Nilai Yang
diinginkan

1) Diuretik

1) Berat badan,
lingkar perut,
balans cairan

Tiap hari

Sirosis hepatik

Pemulihan
komplikasi akut dan
mencegah timbulnya
komplikasi

1) Berkurangnya
penumpukan
cairan

Lampiran 5. Kertas Kerja Farmasi


KERTAS KERJA FARMASI
MASALAH YANG TERKAIT DENGAN OBAT

NO.

MASALAH
YANG TERKAIT
OBAT

PERMASALAHAN YANG
TERKAIT OBAT

ANALISA MASALAH

33

KOMENTAR/
REKOMENDASI

1.

Korelasi antara
obat-dengan
penyakit

1. Adakah obat tanpa indikasi


medis?
2. Adakah pengobatan yang tidak
dikenal?
3. Adakah kondisi klinis yang
tidak diterapi? dan adakah
kondisi tersebut yang
membutuhkan terapi obat?

3. Kondisi klinis
(asites) tidak diterapi

2.

Pemilihan obat
yang sesuai

1. Bagaimanakah pemilihan obat?


Apakah sudah efektif dan
merupakan obat terpilih pada
kasus ini?
2. Apakah pemilihan obat tersebut
relatif aman?
3. Apakah terapi obat dapat
ditoleransi oleh pasien?

Tidak ada
permasalahan

Pilihan terapi sudah sesuai


dengan keadaan pasien dan
merupakan obat terpilih untuk
terapi pasien

3.

Regimen Dosis

1. Apakah dosis frekuensi dan cara


pemberian sudah
mempertimbangkan efektivitas
keamanan dan kenyamanan
serta sesuai dengan kondisi
pasien?
2. Apakah jadwal pemberian dosis
bisa memaksimalkan efek

Tidak ada
permasalahan

Dosis, frekuensi dan jadwal


pemberian sudah sesuai dengan
kondisi pasien

34

1. Asites tidak diterapi,


seharusnya pasien menerima
diuretik.

terapi, kepatuhan,
meminimalkan efek samping,
interaksi obat, dan regimen
yang kompleks?
3. Apakah lama terapi sesuai
dengan indikasi?
4.

Duplikasi terapi

Apakah ada duplikasi terapi?

Tidak ada
permasalahan

Tidak ada duplikasi terapi

5.

Alergi obat atau


intoleran

1. Apakah pasien alergi atau


intoleran terhadap salah satu
obat (atau bahan kimia yang
berhubungan dengan
pengobatannya)?
2. Apakah pasien telah tahu yang
harus dilakukan jika terjadi
alergi serius?

Tidak ada
permasalahan

Pasien tidak alergi terhadap obat


yang diberikan, dan pasien telah
diberikanedukasi jika terjadi
alergi yaitu segera
menghentikan penggunaan obat
dan segera memberitahu tenaga
medik

6.

Efek merugikan
obat

Apakah ada
gejala/permasalahan medis
yang diinduksi obat

Tidak ada
permasalahan

Berdasarkan pengamatan kepada


pasien tidak ditemui gejala yang
merupakan efek merugikan obat

35

7.

Interaksi dan
kontraindikasi

1. Apakah ada interaksi obat


dengan obat? Apakah
signifikan secara klinis?
2. Apakah ada interaksi obat
dengan makanan? Apakah
bermakna secara klinis?
3. Apakah ada interaksi obat
dengan data laboratorium?
Apakah bermakna secara
klinis?
4. Apakah ada pemberian obat
yang kontraindikasi dengan
keadaan pasien?

Tidak ada
permasalahan

36

37

You might also like