You are on page 1of 8

PEMBAHASAN

Pada skenario, Bapak Kabul usia 49 tahun diantar oleh keluarganya ke


Instalasi Gawat Darurat RS Dr.Moewardi Solo. Dari anamnesis didapatkan
kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit pasien tiba-tiba tidak sadarkan
diri. Pasien pada skenario ini mengalami syok hiperglikemia sehingga mengalami
ketidaksadaran secara tiba-tiba. Hanya saja, terdapat dua macam komplikasi
metabolik akut diabetes melitus, yaitu ketoasidosis diabetikum (KAD) dan
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK), yang salah satunya merupakan
diagnosis yang paling mendekati untuk pasien pada kasus ini. Berdasarkan
tinjauan pustaka, diagnosis pasien ini lebih dekat dengan ketoasidosis diabetikum
(KAD). Beberapa alasan mengapa diagnosis pasien lebih mendekati ke arah KAD,
antara lain:
a. Pada pasien didapatkan pernapasan Kussmaul, sementara pada
penderita HHNK tidak dijumpai adanya pernapasan Kussmaul;
b. Kadar glukosa darah plasma pasien 432 mg/dl yang berarti nilai ini
> 250 mg/dl dan < 600 mg/dl, sementara pada penderita HHNK,
kadar glukosanya > 600 mg/dl;
c. HHNK sering ditemukan pada pasien yang sudah berusia lanjut
(geriatri), yaitu usia lebih dari 60 tahun, sementara pasien pada
kasus ini berusia 49 tahun;
d. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM
tanpa insulin, sementara pasien pada kasus ini sudah mempunyai
riwayat DM dan hal ini ditunjukkan dengan konsumsi
Glibenclamid oleh pasien secara rutin.
KAD merupakan gejala kompleks/ sindrom inisial yang merujuk ke
diagnosis DM tipe 1, tetapi lebih sering terjadi pada orang yang didiagnosis
diabetes sebelumnya. Mual dan muntah sering menonjol, dan biasanya terdapat
pada penderita diabetes yang memerlukan evaluasi laboratorium untuk
menegakkan diagnosis KAD. Nyeri abdomen mungkin terasa berat dan bisa
menyerupai nyeri pada pankreatitis akut atau ruptur limpa. Hiperglikemia
mengakibatkan glukosuria pada urin pasien, deplesi volume plasma, dan takikardi.
Hipotensi dapat terjadi dikarenakan deplesi volume plasma dan kombinasi dengan
vasodilatasi periferal. Pernapasan Kussmaul dan bau aseton pada pernapasan
pasien (menunjukkan keadaan asidosis metabolik dan peningkatan aseton)
merupakan tanda-tanda klasik pada gangguan KAD.
Tingginya kadar glukosa darah dapat menyebabkan dehidrasi berat pada
sel di seluruh tubuh. Hal ini terjadi sebagian karena glukosa tidak dapat dengan
mudah berdifusi melewati pori-pori membran sel, dan naiknya tekanan osmotik
dalam cairan ekstrasel menyebabkan timbulnya perpindahan air secara osmosis
keluar dari sel. Selain efek dehidrasi sel langsung akibat glukosa yang berlebihan,
keluarnya glukosa ke dalam urin akan menimbulkan keadaan diuresis osmotik.
Diuresis osmotik adalah efek osmotik dari glukosa dalam tubulus ginjal yang
sangat mengurangi reabsorbsi cairan tubulus. Efek keseluruhannya adalah
kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin, sehingga menyebabkan dehidrasi
cairan ekstrasel, yang selanjutnya menimbulkan dehidrasi kompensatorik cairan
intrasel. Hal ini akan menyebabkan poliuria (kelebihan ekskresi urin), dehidrasi
ekstrasel dan dehidrasi intrasel, dan bertambahnya rasa haus. Akibat dari semua
ini adalah takikardi, nadi lemah, serta hipokalemia pada pasien. Takikardi
merupakan suatu usaha untuk mengkompensasi kehilangan/ deplesi volume
plasma darah akibat dehidrasi. Karena volume plasma darah merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam volume sekuncup (preload), dan curah jantung
(cardiac output) merupakan hasil kali antara frekuensi jantung dan volume
sekuncup, maka apabila jantung kekurangan volume preload akibat kehilangan
volume plasma, maka jantung mengkompensasinya dengan takikardi. Kalium
serum pasien 3,3 mmol/L, sementara harga rujukannya adalah 3,5 5,0 mmol/L.
Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami hipokalemia. Hipokalemia terjadi
akibat diuresis yang berlebihan pada pasien sehingga ion kalium banyak yang
terbuang bersama urin.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontraregulator
terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.
Akibatnya lipolisis meningkat sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton
dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akibatnya, pasien mengalami asidosis
metabolik berat akibat asam keto yang berlebih, yang terkait dengan dehidrasi
akibat pembentukan urin yang yang berlebihan, dapat menimbulkan asidosis yang
berat. Hal ini cepat berkembang menjadi koma diabetikum dan kematian kecuali
pasien segera diobati dengan sejumlah besar insulin.
Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan
dalam patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan
menghambat pembentukan malonyl Co-A. Malonyl Co-A adalah suatu
penghambat carnitine acyl transferase (CPT 1 dan 2) yang bekerja pada transfer
asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon
akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis. Pada pasien DM tipe
1, kadar glukagon darah tidak teregulasi dengan baik. Bila kadar insulin rendah
maka kadar glukagon akan sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi
kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati. Kombinasi antara
defisiensi insulin dan hiperglikemia mengurangi kadar enzim fruktose 2,6-fosfat
pada hati, yang mengubah aktivitas enzim fosfofruktokinase dan fruktose-1,6
bifosfatase. Kelebihan glukagon menurunkan aktivitas enzim piruvat kinase, di
mana kondisi kekurangan insulin meningkatkan aktivitas enzim fosfoenolpiruvat
karboksikinase. Perubahan-perubahan ini menggeser perlakuan pada asam piruvat
ke arah sintesis glukosa dan menjauhi glikolisis. Kenaikan kadar glukagon dan
katekolamin bersamaan dengan kadar insulin yang rendah menyebabkan
terjadinya glikogenolisis. Kekurangan insulin juga mengurangi kadar GLUT4
(glucose transporter), yang mengganggu pada proses pengambilan glukosa ke
dalam otot rangka dan sel-sel lemak serta mengurangi metabolisme glukosa
intraselular. Ketosis dihasilkan dari peningkatan asam lemak bebas yang
dilepaskan dari jaringan adiposit, yang mengakibatkan sebuah pergeseran ke arah
sintesis badan keton pada hati. Kekurangan insulin, yang dikombinasikan dengan
peningkatan katekolamin dan hormon pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas.
Semua upaya kompensasi fisiologis yang terjadi pada asidosis metabolik
juga terjadi pada asidosis diabetik. Respons segera terhadap beban [H+] pada
asidosis metabolik adalah mekanisme buffer cairan ekstra selular oleh bikarbonat,
sehingga mengurangi [HCO3-] plasma. [H+] yang berlebihan juga memasuki sel
dan dibufer oleh protein dan fosfat (yang merupakan 60% dari sistem
buffer).Untuk mempertahankan muatan listrik netral, masuknya H+ ke dalam sel
diikuti oleh keluarnya K+ dari sel menuju ECF. Dengan demikian K+ serum
meningkat pada keadaan asidosis. Itulah sebabnya pada awal KAD biasanya kadar
ion K+ serum meningkat.
Mekanisme kedua pada asidosis metabolik yang bekerja dalam beberapa
menit kemudian adalah kompensasi pernapasan. [H+] arteri yang meningkat
merangsang kemoreseptor yang terdapat dalam badan karotis, yang akan
merangsang peningkatan ventilasi alveolar (hiperventilasi). Hal ini akan
menyebabkan pernapasan dalam dan cepat (Pernapasan Kussmaul), yang akan
meningkatkan ekspirasi karbon dioksida. Hal ini akan mendaparkan asidosis
namun juga akan mengurangi cadangan bikarbonat di cairan ekstrasel. Respons
kompensasi ginjal merupakan usaha terakhir untuk memperbaiki asidosis
metabolik, meskipun respons ini lambat dan membutuhkan waktu beberapa hari.
Ginjal melakukan kompensasi dengan mengurangi ekskresi bikarbonat dan
menghasilkan bikarbonat baru yang ditambahkan ke cairan ekstrasel. H+ yang
berlebih disekresi ke dalam tubulus dan diekskresi sebagai NH4+ atau asam yang
tertitrasi (H3PO4). Ekskresi NH4+ yang meningkat diikuti dengan reasorbsi
HCO3- yang meningkat, tetapi ekskresi H3PO4 menyebabkan terjadinya
pembentukan HCO3- baru. Insufisiensi atau gagal ginjal akan menurunkan
efektivitas pembuangan H+. Asidosis akibat peningkatan produksi asam organik
akan menghasilkan anion gap yang tinggi.
Walaupun asidosis yang ekstrem ini hanya terjadi pada kebanyakan kasus
diabetes yang tidak terkontrol, keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya koma
asidosis dan kematian dalam beberapa jam setelah pH darah turun di bawah 7,0.
Penggunaan lemak yang berlebihan di hati dalam kurun waktu yang lama akan
menyebabkan sejumlah besar kolesterol bersirkulasi dalam darah dan
menumpuknya kolesterol pada dinding arteri. Keadaan ini menimbulkan
arteriosklerosis berat dan lesi-lesi vaskular lainnya.
Akibat terjadinya diuresis yang berlebihan (poliuria), maka pasien menjadi
dehidrasi bahkan sampai mengalami syok hipovolemik. Akhirnya, akibat
penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma yang sekarang
dialaminya. Koma pasien juga disebabkan karena asidosis metabolik, yang
diperberat dengan adanya infeksi sebagai faktor pencetus KAD. Hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah leukosit (leukositosis) pada pasien dan
suhu tubuh pasien yang meninggi (febris). Pada demam dan infeksi, kebutuhan
tubuh akan insulin bertambah.
Kadar Hb yang rendah pada pasien, yakni 10,99 g% (harga rujukan 14,0-
18,0 g% pada pria dewasa) menunjukkan bahwa pasien mengalami anemia.
Adanya anemia ini mungkin disebabkan karena kekurangan hormon eritropoietin
yang berfungsi untuk merangsang pembentukan eritrosit dan hal ini menunjukkan
adanya gangguan pada ginjal pasien terkait fungsi ginjal sebagai penghasil
eritropoietin.Terjadinya diuresis yang berlebihan sehingga menyebabkan pasien
mengalami syok hipovolemia, penurunan volume sirkulasi arteri yang efektif,
adanya penyakit DM, serta hipertensi, memungkinkan pasien mengalami gagal
ginjal akut.gangguan pada ginjal ini juga akan menyebabkan gangguan
pembentukan prostaglandin (PGI dan PGE2) yang merupakan vasodilator
potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah
ginjal, pengeluaran rennin, dan reabsorbsi Na+. Kekurangan prostaglandin
mungkin juga turut berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder,
meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih kurang memadai. Kadar
kreatinin 1,5 mg/dl dan ureum 40 mg/dl pada pasien menunjukkan bahwa kreatini
pasien sedikit meningkat dan ureum pasien masih normal, namun sudah mencapai
batas atas normal (harga rujukan kreatinin 0,5 1,4 mg/dl dan ureum 2,0 4,0
mg/dl). Urea dan kreatinin merupakan produk sampingan dari metabolisme
protein atau asam nukleat. Nilai kreatinin pasien yang sedikit meningkat
disebabkan karena tubuh gagal untuk menggunakan glukosa sebagai sumber
energi sehingga mengakibatkan peningkatan mobilisasi protein (proteolisis)
menjadi sumber energi. Selain itu, dapat pula terjadi akibat adanya gangguan
ginjal terkait fungsinya sebagai alat ekskresi, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya.
Pada skenario dijelaskan bahwa pasien menderita DM dan minum
Glibenclamid secara rutin. Glibenclamid/gliburid merupakan salah satu obat
antidiabetik oral golongan sulfonilurea generasi II. Golongan sulfonilurea
memiliki 2 generasi, dengan generasi I terdiri dari tolbutamid, tolazamid,
asetoheksimid, dan klorpropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemiknya lebih
besar terdiri dari gliburid (glibenclamid), glipizid, gliklazid, dan glimepirid.
Golongan obat sulfonilurea sering disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pankreas.
Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada
membran sel-sel yang menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan
membuka kanal Ca. dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca ++ akan masuk ke
sel-, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin
dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. kecuali itu sulfonilurea dapat
mengurangi klirens insulin di hepar.
Glibencamid dianjurkan untuk dipakai sehari sekali.Indikasi pemberian
obat ini adalah penderita DM tipe II. Pada umumnya, hasil yang baik diperoleh
pada pasien yang diabetesnya mulai timbul pada usia di atas 40 tahun. Sebelum
menentukan keharusan penggunaan sulfonilurea selalu harus dipertimbangkan
kemungkinan mengatasi hiperglikemia dengan hanya mengatur diet serta
mengurangi berat badan pasien.Sulfonilurea tidak boleh diberikan sebagai obat
tunggal pada pasien DM juvenil, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil,
DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat.
Pasien dalam skenario dijelaskan rutin mengkonsumsi glibenclamid
namun tidak pernah kontrol. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, glibenclamid
dan obat golongan sulfonilurea lainnya hanya dapat berefek terapi pada penderita
DM tipe II. Pasien pada skenario ini menderita DM tipe I sehingga meskipun
pasien rutin meminum glibenclamid, efek terapi yang diinginkan tidak akan
tercapai karena DM tipe I hanya dapat diterapi insulin. Jikalau pasien kontrol,
mungkin saja pasien tidak akan mengalami koma diabetikum seperti yang
sekarang dialaminya karena pemeriksaan laboratorium pada tiap kontrol dapat
menunjukkan keberhasilan atau kegagalan terapi glibenclamid yang
dikonsumsinya secara rutin. Kegagalan terapi ini ditunjukkan dengan GDS (Gula
Darah Sewaktu) pasien yang tinggi, yaitu 432 mg/dl.
Pada skenario dijelaskan di UGD, pasien diberikan infusan Ringer Laktat
tetesan cepat, selanjutnya dirawat di ruang HCU dan diberikan insulin.Infusan
Ringer Laktat bertujuan untuk mengatasi dehidrasi.Biasanya dehidrasi dan
hiperosmolaritas diatasi secepatnya dengan cairan garam fisiologis. Berdasarkan
perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka
pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter dan
selanjutnya sesuai protocol. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD:
memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin.
Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg%, maka perlu diberikan larutan
mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%). Pedoman untuk menilai hidrasi
adalah turgor jaringan, tekanan darah, keluaran urin, dan pemantauan
keseimbangan cairan.
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan kadar hormon
glukagon, sehingga dapa menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan pemberian insulin di sini
bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi untuk mengatasi
keadaan ketonemia. Oleh karena itu, bila kadar glukosa kurang dari 200 mg%
insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung
glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali. Sepuluh unit diberikan sebagai
bouls intravena, disusul dengan infus larutan insulin regular dengan laju 2-5
U/jam. Sebaiknya larutan 5 U insulin dalam 50 ml NaCl 0,9% bermuara dalam
larutan untuk rehidrasi dan dapat diatur laju tetesnya secara terpisah. Bila kadar
glukosa turun sampai 200 mg/dl atau kurang, laju insulin dikurangi menjadi 1-2
U/jam dan larutan rehidrasi diganti dengan glukosa 5%. Pada waktu pasien dapat
makan lagi, diberikan sejumlah kalori sesuai kebutuhan dalam beberapa porsi.
Insulin regular diberikan subkutan 3 kali sehari secara bertahap sesuai kadar
glukosa darah.
Pada awal KAD biasanya kadar ion K+ serum meningkat. Pemberian
cairan dan insulin segera mengatasi keadaan hiperkalemia.Yang perlu
diperhatikan terjadinya hipokalemia yang fatal selama pengobatan KAD. Untuk
mengantisipasi masuknyua ion K+ ke dalam sel serta mempertahankan kadar K
serum dalam batas normal, perlu diberikan kalium. Pada pasien tanpa kelainan
ginjal serta tidak ditemukan gelombang T yang lancip pada gambaran EKG,
pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urin cukup adekuat (Mansjoer
dkk., 2005).
Setelah rehidrasi awal dalam 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah
akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan
kadar glukosa sekitar 60 mg% per jam. Bila kadar glukosa mencapai 200 mg%
maka dapat dimulai infus yang mengandung glukosa. Perlu diingat bahwa tujuan
terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan
ketogenesis.
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 atau
bikarbonat serum < 9 mEq/l. Walaupun demikian, komplikasi asidosis laktat dan
hiperkalemi yang mengancam jiwa tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.Di samping hal tersebut di atas, pengobatan umum tak kalah penting.
Pengobatan umum KAD terdiri atas : 1). Antibiotik yang adekuat, 2). Oksigen
bila pO2 < 80 mmHg, 3). Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380
mOsm/l).

You might also like