You are on page 1of 11

Menurut Sulendraningrat yg mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda & Atja pada naskahCarita Purwaka

Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya ialah sebuah dukuh kecil yg dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yg lama-
kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yg ramai & diberi nama Caruban [Bahasa Sunda: campuran],
karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, &
mata pencaharian yg berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat ialah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan & rebon [udang kecil] di sepanjang pantai serta pembuatan terasi,
petis, & garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi [belendrang] dari udang rebon inilah berkembanglah
sebutan cai-rebon [Bahasa Sunda:, air rebon] yg kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yg ramai & sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah
kota besar & menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dlm kegiatan pelayaran &
perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi
cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.Kesultanan Cirebon ialah sebuah kesultanan Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 & 16 Masehi, & merupaken pangkalan penting dlm jalur perdagangan &
pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yg merupaken perbatasan antara Jawa Tengah & Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan & jembatan antara kebudayaan Jawa & Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yg khas, yaitu kebudayaan Cirebon yg tak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.

Kondisi Sosial dan Budaya Kerajaan Cirebon
A Kondisi Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena pada
mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak mengherankan juga
kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang ada
antara lain, golongan raja beserta keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan
budak (Sartono Kartodirdjo, 1975:17). A.1 Golongan Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton
melaksanakan ataupun mengatur pemerintahan dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada
awal perkembangan Islam masih digunaka, tetapi kemudian diganti dengan gelar Sultan akibat
adanya pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat juga gelar lain seperti Adipati, Senapati,
Susuhunan, dan Panembahan (Kosoh dkk, 1979:96). Raja atau Sultan sebaai penguasa terinnggi
dalam pemerintahan memiliki hubungan erat dengan pejabat tinggi kerajaan seperti senapati,
menteri, mangkubumi, kadi, dan lain sebagainya. Pertemuan antara raja dengan pejabat ataupun
langsung dengan rakyat tidak dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di muka umum kecuali pada
waktu audiensi/pertemuan juga pada waktu acara penobatan mahkota, pernikahan raja, dan putra
raja (Sartono Kartodirdjo, 1975:17). A.2 Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang
mempunyai kedudukan di lapisan atas yang terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi, tentara,
ulama, dan pedagang. Diantara para bangsawan dan pengusa tersebut, patih dan syahbandar
memiliki kedudukan kedudukan penting. Di Cirebon, pernah ada orang-orang asing yang dijadikan
syahbandar dan mereka memempati golongan elite. Hal ini dipertimbangkan atas suatu dasar bahwa
mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang perdagangan dan hubungan
internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama juga memiliki memiliki kedudukan yang
tinggi, mereka umumnya berperan sebagai penasehat raja (Kosoh dkk, 1979:99). A.3 Golongan Non
Elite Golongan ini merupakan merupakan lapisan masyarakat yang besar jumlahnya dan terdiri dari
masyarakat kecil yang bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan tentara
bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang merupakan tulang punggung
perekonomian, dan mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan perekonomian
secara keseluruhan (Kosoh dkk, 1979:99). A.4 Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang
yang bekerja keras, menjual tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya golonga buak
tersebut disebabkan karena seseorang yang tidak bias membayar utang, akibat kalah perang.
Golongan budak menempati status sosial paling rendah, namun mereka juga diperlukan oleh
golongan raja maupun bangsawan untuk melayani keperluan mereka. Mereka dipekerjakan dalam
membantu keperluannya dengan menggunakan fisik yang kuat. Mereka harus taat pula dengan
peraturan yang dibuat oleh majikannya. Namun bagi mereka yang nasibnya baik dan bisa membuat
majikan berkenan maka mereka bisa diangkat sebagai tukang kayu, juru masak dan lain sebagainya
(Kosoh dkk, 1979:100). B Kondisi Budaya Kerajaan Cirebon Agama Islam mengajarkan agar para
pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah
meliputi berbagai bentuk ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa,
hidup ini penuh dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara
yang biasanya disebut kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131). Membahas masalah
budaya, maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon memiliki beberapa tradisi ataupun budaya dan
kesenian yang hingga sampai saat ini masih terus berjalan dan masih terus dlakukan oleh
masyarakatnya. Salah satunya adalah upacara tradisional Maulid Nabi Muhammad SAW yang tela
ada sejak pemerintahan Pangeran Cakrabuana, dan juga Upacara Pajang Jimat dan lain sebagainya.
B.1 Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat, 700 tahun setelah
beliau wafat (P.S. Sulendraningrat, 1978:85) upacara ini dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai
peringatan hari kelahiran kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud
berasal dari bahasa Arab Maulid yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara Maulid Nabi di
Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan Sunan Gunung Jati upacara ini
dilakukan dengan besar-besaran. Berbeda dengan masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang
hanya dilakukan dengan cara sederhana. Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap
tahun hingga sekarang yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara IRING-IRINGAN
PANJANG JIMAT (P.S. Sulendraningrat, 1978:86). B.2 Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara
yang dilakukan di Kerajaan Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang Jimat memiliki beberapa
pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan, yakni setiap tahun, dan Jimat yang berarti,
dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
(P.S. Sulendraningrat, 1978:87). Pajang Jimat merupakn sebuah piring besar (berbentuk elips) yang
terbuat dari kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki sejarah khusus, yakni benda pusaka
Kraton Cirebon, yang merupakan pemberian Hyang Bango kepada Pangeran Cakrabuana ketika
mencari agama Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat pada Kraton Cirebon dilakukan pada tanggal 12
Rabiul Awal, setelah Isya, upacara penurunan Pajang Jimat dilakukan oleh petugas dan ahli agama
di lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat dimulai dari ruang Kaputren naik ke Prabayaksa dam
selanjutnya diterima oleh petugas khusus yang telah diatur. Adapun tatacara dan atribut dalam
upacara Pajang Jimat, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Beberapa lilin dipasang diatas
standarnya. 2. Dua buah manggaran, dan buah nagan da dua buah jantungan. 3. Kembang goyak
(kembang bentuuk sumping) 4 kaki. 4. Serbad dua guci dan duapuluh botl bir tengahan. 5.
Boreh/parem. 6. Tumpeng. 7. Ancak sangar (panggung) 4 buah yang keluar dari pintu Pringgadani. 8.
4 buah dongdang yang berisi makanan, menyusul belakangan, keluar dari pintu barat Bangsal
Pringgandani, ke teras Jinem. Upacara irig-iringan Pajang Jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon ini
sebagai gambaran peranan seorang dukun bayi (bidan). Jam 24.00 Pajang Jimat kembali dari
Langgar Keraton masukke Kraton dengan melalui pintu sebelah barat menuju Kaputren, maka
berakhirlah acara Upacara Maulid Nabi (P.S. sulendraningrat, 1978:87-94). B.3 Seni Bangunan dan
Seni Ukir Seni bangunan dan seni ukir yang berkembang di kerajaan Cirebon tak lepas dari
perkembngan seni pada zaman sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak
menunjukkan pola zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah
ukiran pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan masjid tampak
asli pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu masjid. Demikian pula dengan
makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman sebelumnya. Yakni berbentuk bertingkat dan
ditempatkan di atas bukit-bukit menyerupai meru (Kosoh dkk, 1979:100). B.4 Seni Kasusasteran
Diantara seni bangunan dan seni tari, terdapat juga seni kasusasteran yang berkembang. Diantarnya
adalah seni tari, seni suara, dan drama yang mengandung unsur-unsur Islam. Seni kasusasteran
yang berkembang ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya saja seni tari, yang
diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun mengandung unsur-unsur Islam (Kosoh dkk,
1979:100).
Kondisi Ekonomi Politik Kerajaan Cirebon

EKONOMI
Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon mengandalkan
perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak Bandar-bandar dagang yang
berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai
tempat jual beli barang dagangan. Dari artikel yang ditulis oleh Uka Tjandrasasmita, yang dibukukan
dalam sebuah buku kumpulan artikel oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta.
Dituliskan sebuah artikel yang berjudul Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, dalam
artikelnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu: Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.
Pada masa pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada
masa ini pula terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan bandar Muhara
Jati. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain berasal dari Cina, Arab, Tumasik,
Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih berkeyakinan Hindu-Buddha.
Pada saat ini Ciebon masih dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut cerita tradisi
Cirebon mulai memeluk agama islam sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji Purba.
Pada abad 14 M perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim.
Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan Bandar
perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di dukuh
Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar dagang
dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya.
Caruban sendiri dibangun o0leh Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu
dan seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan makin baik
untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan lainnya (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1997:56).
Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan
diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon selalu akan
memelihara kepercayaan terhadap Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon,
dikuasai Belanda, hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon. Belanda
menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu kebijakan menanam
10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur. Juga dengan surat perintah tanggal 1 Maret
1729.
Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak kesultanan sendiri dalam menjalankan
perekonomian terutama terhadap komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak
ditangan Belanda. Hal itu semuanya jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda sejak
perjanjian tahun 1981 dan seterusnya. Dengan perjanjian-perjanjian tersebut Belanda sejak Kompeni
menginginkan penguasaan atas daerah subur produksi kopi dan lainnya dapat terlaksana, disamping
rasa ketakutannya terhadap penguasaan daerah Priangan Timur itu dikuasai oleh Banten dan
juga Mataram (Departemen Pendiidikan dan Kebudayaan, 1997:67).
Selain yang telah dibahas diatas, keadaan ekonomi yang diterangkan oleh Uka
Tjandrasasmita. Dapat dilihat pula keadaan perekonomian dari sumber lainnya. Selain perdagangan
dan pelayaran. Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan masyarakatnya yang menjadi
nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon juga memiliki satu komoditi
dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.
Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing tersebut
menjadi syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan. Cirebon yang
menjadi syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar diambil dari orang-
orang asing, karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui tentang cara-cara perdagangan. Di
kota Cirebon juga terdapat pasa tertua yaitu pasar yang terletak di timur laut alun-alun kraton
Kasepuhan dan lainnya di sebelah utara alun-alun kanoman.

POLITIK
Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan
Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome Pires yang
menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Babad Cirebon menceritakan
tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji Abdullah yang menyebarkan
agama islam di kota tersebut sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat laun
dihentikan.
Selain hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh
beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan menjadi vassal VOC.
Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri
dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan kepemimpinannya
digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa
kepemerintahannya, Panembahan Ratu menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan datangnya
VOC di Batavia.
Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja. Sementara di
bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram .Setelah
wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu
Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena
anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu (Nina: online).
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari
kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan
menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua
anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun,
kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa
tunggal.Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua.
Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan
kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat
kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh
mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak
pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan
(Nina: online).
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah,
urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk
pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para
Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat
VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan (Nina: online).
Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak perubahan, khususnya di bidang
politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi Sultan. Pada Tahun 1768
kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.
Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun
ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon,
tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu
dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan
Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
(Nina: online).
untuhnya Kerajaan Cirebon


Pada tahun 1649 Panembahan Ratu Pangeran Emas telah meninggal pada usia 102 tahun.
Dengan wafatnya Dipati Cerbon ke II, maka panembahan ratu menunjuk cucunya yaitu Pangeran
Karim untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan Cerbon Menggantikan ayahnya yaitu
Dipati Cerbon ke II. Pangeran Karim waktu itu berusia 48 tahun menggantikannya sebagai Kepala
Pemerintahan Cerbon yang ke III dengan gelar Panembahan Ratu II.
Karena beliau wafat di Mataram sekitar tahun 1667 dan dimakamkan di pemakamn di bukit
Girilaya, maka disebutlah beliau oleh anak keturunannya dengan sebutan Panembahan Girilaya.
Akhirnya nama Panembahan Girilaya itulah yang disebut terus menerus dalamberbagai sumber
sejarah, baik dalam Babad Cirebon, Sejarah Cirebon, Kitab Negara Kertabumi, maupun Kitab
Purwaka Caruban Nagari. Oleh Karena itu nama Panembahan Girilaya lebih terkenal dari pada gelar
resmi pada waktu penobatannya yaitu Panembahan Ratu ke II.
Pada saat Panembahan Ratu masih hidup beliau mengawinkan Panembahan Girilaya dengan
Putri Sunan Amangkurat ke 1 tapi, untuk masalah kapan diselenggarakannya pernikahanini sendiri
tidak jelas, karena saat itu Sunan Amangkurat ke 1 baru naik tahta. Dan jika melihat
pada literature lain itu adalah perkawinan kedua Panembahan Girilaya. Padaperkawinannya yang
pertama beliau dikaruniai 2 orang anak yang bernama Panembahan Katimang dan Pangeran Gianti
sedang pada perkawinan ke II mendapat 3 orang anak yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran
Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu hubungan antara Cirebon dan Mataram sangat
Harmonis dan itu terjadi hamper selama 6 tahun. Tetapi setelah Cirebon dipimpin Panembahan
Girilaya hubungan yang tadinya harmonis berubah menjadi agak merenggang karena perubahan
sikap dari Amangkurat 1 yang beranggapan bahwa Cirebon tak lebih baik atau tidak sederajat
dengan Mataram. VOC yang mengetahui kerenggangan hubungan antara Mataram- Cirebon
memanfaatkan benar peluang ini untuk mengadu domba mereka. Dalam waktu yang
singkat strategi politik Adu Domba VOC bisa membuat kesemrawutan dalam tubuh Kerajaan
Mataram.
Dalam kondisi yang serumit itu Sunan Amangkurat 1 diduga berusaha denga keras
mengatasinya dengan tindakan pembersihan dan penertiban yang pada nyatanya dilakukan
dengan kejam dan kekerasan. Tindakan itu memakan banyak korban sehingga Panglima Angkatan
Perang Mataram yang diandalakan ayahnya sendiri yaitu Dipati Anom yang sekaligus putra Mahkota
mulai membenci dan meninggalkan Sunan Amangkurat 1.
Pada saat yang seperti itu Mataram mendapat kunjungan dari Panembahan Girilaya beserta 2
orang anaknya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya serta pengawalnya yang
diperkirakan pada tahun 1666/1667. Namun alasan Panembahan Girilaya mengunjungi Mataram
dan sampai di sana (diperkirakan pada saat berumur 66 tahun) tidak ada penjelasan yang pasti.
Setelah kejadian wafatnya Panembahan Girilaya kedua anaknya yang ikut ke Mataram tadi ditahan
dan dibawa oleh Trunojoyo pada tahun 1678 dari Mataram ke Kediri. Sejak wafatnya Panembahan
Girilaya Cirebon telah terpecah belah dan hancur sehingga tidak mempunyai wibawa lagi dan
akhirnya menjadi mainan belanda, mataram dan banten.
Tidak berhenti disini timbul masalah baru yakni para kerabat Kerajaan yang setia pada
Panembahan Girilaya yang tidak terima akan kemunduran Cirebon meminta bantuan
dari SultanAgeng Tirtayasa Dari Banten. Dan untuk mengisi kekosongan dengan cepat dan dengan
pertimbangan yang matang Sultan Ageng Tirtayasa menetapkan pejabat Kepala Negara Cirebon
yaitu anak ketiga Panembahan Girilaya yaitu adalah Pangeran Wangsakerta yang pada waktu itu
tidak ikut kedalam kunjungan ke Mataram dinobatkan sebagai Sultan Cirebon oleh Sultan Banten.
Pada saat itu setelah Trunojoyo dapat memukul mundur pasukan Cirebon dan dapat
membuat ketakutan serta membuat lari Sunan Amangkurat 1. Hilanglah kekuasaan Mataram yang
Kejam dan Otoriter dan pada saat itu atas permintaan Sultan Banten, Sultan Banten meminta
Trunojoyo membawa dua putra mahkota pesakitan itu untuk dibawa ke Kediri dan selanjutnya
dibawa ke Banten. Selanjutnya karena kurangnya keterangan yang jelas proses kembalinya 2
pangeran itu ke Cirebon kurang jelas dan pula penobatannya Pangeran Martawijaya sebagai Sultan
Sepuh dengan gelar Raja Syamsudin dan Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom dengan gelar
Sultan Mahmud Badridi.
Dengan adanya tiga sultan di Kerajaan Cirebon ini adalah titik dari masa akhir Kerajaan
Cirebon. Pada masa itu sudah ada usulan untuk membagi kerajaan menjadi 3 bagian tapi apa mau
dikata ketidaksepahamlah yang didapat , karena masing masing mempunyai minat yang sama untuk
menjadi sultan Cirebon. Pada tahun 1681 tepatnya 23 Januari dilaksanakanperjanjian persahabatan
antara Sultan-Sultan Cirebon dengan pihak VOC yang diwakili oleh Van Dyck.
Dari penandatanganan itu mengandung arti besar, karena peristiwa itu menjadi akar dari
konflik baru dicirebon. Menurut keterangan P.S. Sulendranigrat dalam bukunya Sejarah Cirebon
peristiwa penandatanganan inimenimbulkan perpecahan dari para pembesar pemerintahan di
Cirebon tentunya adalah pro dan kontra diadakannya penandatangan perjanjian persahabatan
tersebut. Dan setelah VOC bubar tahun 1800 maka Gubernur Jenderal Daendles menetapkan
langkah strategis dengan mengeluarkan Reglement op het beheer van de Cheribonsche Landen pada
2 februari 1809 dan dengan keluarnya itu tadi maka Sultan-Sultan di Cerbon yaitu Kasepuhan ,
Kanoman dan Kacirebonan tidak memiliki kekuasaan lagi karena dijadikan Pegawai Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda. Pada saat akan keluar keputusan Pemerintah Kolonial Belanda , maka di
Kesultanan Kanoman terjadi peristiwa pemecahan diri Kanoman menjadi Kanoman dan Kacerbonan.
Dengan Fakta diatas dapat kita ketahui faktorfaktor penyebab runtuhnya kerajaan Cirebon.

Raja-Raja kerajaan cirebon

Pangeran Cakrabuana [1445 1479]
Pangeran Cakrabuana ialah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari
istrinya yg kedua bernama SubangLarang [puteri Ki Gedeng Tapa]. Nama kecilnya ialah Raden
Walangsungsang, sesudah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu,
yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim & Raden Sangara. Sebagai anak sulung & laki-laki ia tak
mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal inidisebabkan oleh karena ia memeluk
agama Islam [diturunkan oleh Subanglarang-ibunya], sementara saat itu [abad 16] ajaran agama mayoritas di
Pajajaran ialah Sunda Wiwitan [agama leluhur orang Sunda] Hindu & Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya,
Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yg ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yg penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tak meneruskan
kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati & membentuk pemerintahan di Cirebon.
Dengan demikian, yg dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon ialah Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yg usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah
Iman, tampil sebagai raja Cirebon pertama yg memerintah dari keraton Pakungwati & aktif menyebarkan
agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati [1479-1568]
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil
perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah [1448-1568] yg sesudah wafat
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin
Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah & bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati
Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pertumbuhan & perkembangan
yg pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung
Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon & Kesultanan Banten serta penyebar
agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali [Galuh], Sunda Kelapa, & Banten.
Fatahillah [1568-1570]
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yg selama Sunan
Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah
kemudian naik takhta, & memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki
takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun
sesudah Sunan Gunung Jati wafat & dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I [1570-1649]
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tak ada calon lain yg layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu
Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I & memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II [1649-1677]
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan
oleh cucunya yg bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran
Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian
menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yg kemudian dikenal pula
dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan
Banten & Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram
[Amangkurat I ialah mertua Panembahan Girilaya]. Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya & Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten ialah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di
Kartasura & ditahannya Pangeran Martawijaya & Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya ialah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di
Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut
beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya ialah sejajar dengan makam
Sultan Agung di Imogiri.

Puncak Kejayaan

Kerajaan Cirebon berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Syarif Hidayatullah karena
1. Telah terpenuhinya prasarana dan sarana pisik essensial pemerintahan dan ekonomi dalam
ukuran suatu Kerajaan Pesisir. 2. Telah dikuasainya daerah-daerah belakang (hinterland) yang dapat
diharapkan mensuplay bahan pangan termasuk daerah penghasil garam, daerah yang cukup vital
bagi income nagari pesisir dengan luas yang memadai. 3. Telah adanya sejumlah pasukan lasykar
dengan semangat yang tinggi, yang dipimpin oleh para panglima (dipati-dipati) yang cukup
berwibawa dan bisa dipercaya loyalitasnya. 4. Adanya sejumlah penasehat-penasehat baik dibidang
pemerintahan maupun agama. 5. Terjalinnya hubungan antar negara yang sangat erat antar Cirebon
dengan Demak. 6. Mendapat dukungan penuh dari para wali. 7. Tidak terdapat indikasi tentang
ancaman Prabu Siliwangi untuk menghancurkan eksistensi cirebon. Dari uraian diatas dapat dijadikan
acuan bahwa Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah berada dalam kejayaannya. Sunan Gunung Jati
wafat pada tahun 1568 dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga dikenal dengan makam
Gunung Jati

Perpecahan Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yg
bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tak berada di tempat,khawatir atas nasib
kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa [anak dari
Pangeran Abu Maali yg tewas dlm Perang Pagarage], beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat
peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yg
disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan
Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia
mengangkat kedua Pangeran yg ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan
Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yg telah
bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah
agar Cirebon tak beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan I Kesultanan Cirebon [1677]
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang
putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, & Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini
merupaken babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga & masing-masing
berkuasa & menurunkan para sultan berikutnya.
Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
1. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
MakarimiMuhammad Samsudin [1677-1703]
2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
[1677-1723]
3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad
Nasarudin atau Panembahan Tohpati [1677-1713].
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan,
mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, & keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tak
diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri,
akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan [paguron], yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi
kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana
seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tak ada, akan
dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yg bisa memangku jabatan itu sebagai pejabat
sementara.
Perpecahan II Kesultanan Cirebon [1807]
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom
IV [1798-1803], dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin
memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran
Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit [Bahasa Belanda: surat
keputusan] Gubernur-Jendral Hindia Belanda yg mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon
Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra & para penggantinya tak berhak atas gelar sultan,
cukup dengan gelar pangeran.
Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari
Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yg lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin [1803-1811].
Masa Kolonial Belanda di Cirebon
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dlm ikut campur dlm mengatur Cirebon,
sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 & 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara
resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon [Kota Cirebon], yg mencakup luas 1. 100 Hektar,
dengan penduduk sekitar 20. 000 jiwa [Stlb. 1906 No. 122 & Stlb. 1926 No. 370]. Tahun 1942, Kota Cirebon
kembali diperluas menjadi 2. 450 hektar. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yg tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon
tercakup dlm Kota Cirebon & Kabupaten Cirebon, yg secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat
pemerintah Indonesia yaitu walikota & bupati.

Masa kemerdekaan Indonesia
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tak lagi merupaken pusat dari pemerintahan &
pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yg ada tetap menjalankan perannya sebagai
pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon & sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dlm berbagai upacara & perayaan adat masyarakat & telah beberapa kali ambil
bagian dlm Festival Keraton Nusantara [FKN]. Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh
dianggap yg paling penting karena merupaken keraton tertua yg berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton
Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, & yg terkemudian ialah Keraton Kacirebonan &
Keraton Kaprabonan. Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara
Pangeran Raja Muhammad Emirudin & Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan
Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton
tersebut.


Event Pariwisata Upacara Adat
Syawalan Gunung Jati
Setiap awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon umumnya melakukan ziarah ke makam Sunan
Gunung Jati. Di samping itu juga untuk melakukan tahlilan
Ganti Welit
Upacara yag dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi untuk mengganti atap makam
keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara dilakukan oleh
masyarakat Trusmi. Biasanya dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.
Rajaban
Upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Umumnya
dihadiri oleh para kerabat dari keturunan dari kedua Pangeran tersebut. Dilaksanakan setiap 27
Rajab. Terletak di obyek wisata Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber kurang lebih 1 Km
dari pusat kota Sumber.
Ganti Sirap
Upacara yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti
atap makam yang menggunakan Sirap. Biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang Kulit dan
Terbang.
Muludan
Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Yaitu
kegiatan membersihkan / mencuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah Panjang Jimat.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan dilaksanakan di
Keraton.
Salawean Trusmi
Salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Di samping itu juga
dilaksanakan tahlilan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud.
N a d r a n
Nadran atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan oleh nelayan dengan tujuan untuk
keselamatan dan upacara terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rezeki.
Dilaksanakan dihampir sepanjang pantai (tempat berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan
bervariasi.
Cuci Jimat Tradisional
Di Keraton Kesepuhan, acara paling menonjol dalam menyambut 1 Suro hanya pencucian benda-
benda pusaka yang tersimpan di museum keraton. Itu pun tidak dilakukan persis pada malam
peralihan tahun. Tapi secara bertahap, antara 1 hingga 10 Suro,

You might also like