You are on page 1of 17

TARGET 5% BANK SYARI’AH: Untuk Mashlaha?

1
Oleh: Aji Dedi Mulawarman2
http://ajidedim.wordpress.com

Abstraksi
Artikel ini mencoba mengkritisi akselerasi perkembangan perbankan syari’ah
nasional agar mencapai market share 5%. Kekhawatiran bermunculan dari berbagai kalangan
bahwa tahun 2008 perbankan syari’ah nasional tidak memenuhi target market share 5% dari
total aset perbankan nasional sesuai Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari'ah Indonesia.
Untuk mempercepat hal tersebut BI menetapkan Kebijakan Akselerasi Perkembangan
Perbankan Syari’ah 2007-2008.
Dampak akselerasi perkembangan perbankan syari’ah, bila dilihat lebih lanjut
memunculkan masalah-masalah baru. Pertama, meningkatnya NPF yang mencapai 6,2% per
September 2007 (lebih tinggi dari prosentasi NPL perbankan konvensional). Kedua, tidak
memiliki upaya genuine pengembangan produk perbankan syari’ah. Ketiga, masalah kedua
merupakan dampak hilangnya sense melakukan identifikasi core competencies unique bank
syari’ah yang mengusung nilai-nilai Islam Indonesia (universal sekaligus lokal). Keempat,
penegasan pentingnya kuantitas dalam program akselerasi menggeser kepentingan kualitas
perbankan syari’ah.
Diperlukan pembenahan mendasar mengenai Cetak Biru dan Program Akselerasi
Pengembangan Perbankan Syari’ah. Pertama, hendaknya visi pengembangan sesuai maqashid
asy syari’ah, yaitu mashlaha, kesejahteraan ummat yang hakiki, yang menekankan harmoni
dan keseimbangan produksi-intermediasi-retail sesuai ushwah model ekonomi Rasulullah.
Kedua, agar visi sesuai maqashid asy syari’ah diperlukan reorientasi diri yang berpijak pada
ditemukannya core competencies. Ketiga, pengembangan produk perbankan syari’ah
hendaknya sesuai dengan core competencies sehingga memunculkan karakter genuine
perbankan syari’ah ala Indonesia. Keempat, perlunya dikembangkan produk qardh yang tetap
mengedepankan prinsip produktif dan bukannya untuk kepentingan konsumtif. Kelima,
perlunya regulasi Bank Indonesia berkenaan prioritas pengembangan produk muzara’ah dan
musaqah bagi kalangan perbankan syari’ah. Keenam, peningkatan market share tetap
mementingkan kuantitas maupun kualitas dan tidak didasari prioritas ”kompetitif” dan
”efisiensi”, tetapi mementingkan harmoni dan mashlaha sebagai tujuan utama perbankan
syari’ah.

Keyword: Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah, Harmoni, Mashlaha, Core


Competencies.

1
Makalah ini merupakan pengembangan dari makalah yang pernah disampaikan dalam Seminar
Interaktif ”Shari’ah Weekend” yang diadakan oleh LEM FE-UII dan KOPMA FE UII, Jogjakarta, 13
Desember 2007
2
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya; Direktur Lembaga Riset Keuangan Syari’ah
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.

1
Setinggi-tinggi Ilmu, Semurni-murni Tauhid, Sepintar-pintar Siasat (HOS Tjokroaminoto)

1. PENDAHULUAN

Pengembangan pemikiran lanjutan finance dalam perspektif Islam saat ini sangat

diperlukan sebagai landasan mengimplementasikan bisnis sesuai prinsip-prinsip Islam

itu sendiri. Hal ini penting mengingat perkembangan keuangan berbasiskan Islam,

seperti perbankan syari’ah di dunia, telah menunjukkan prestasi luar biasa. Bulan Juli

tahun 2004 Islamic Capital Market Task Force dari The International Organization of

Securities Commissions (IOSCO) merilis Islamic Capital Market Fact Finding

Report. Menurut laporan tersebut, sampai dengan akhir tahun 2003, telah terjadi

pergeseran signifikan dalam perkembangan keuangan Islam, pengembangan lembaga

bukan hanya Bank Islam saja, tapi telah merambah asuransi Islam (takaful),

perusahaan investasi Islami, perusahaan manajemen asset, e-commerce,

broker/dealer, dan lainnya.

Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia juga tak ketinggalan.

Terobosan-terobosan telah banyak dikeluarkan. Setelah fatwa tentang bunga bank

haram oleh MUI, misalnya dikeluarkan fatwa produk kartu kredit syari’ah yang

masih memicu kontroversi. BI juga telah mengeluarkan kebijakan melalui Direktorat

Perbankan Syariah, diantaranya office chanelling bagi bank konvensional yang telah

membuka Unit Usaha syariah (UUS) untuk memberikan pelayanan transaksi syariah

bagi masyarakat luas.

Berdasarkan catatan Statistik Perbankan Syari’ah yang diterbitkan BI sampai

dengan Oktober 2007 telah ada 3 bank umum syariah, 25 Unit Usaha Syariah (UUS),

555 kantor cabang syariah dan 111 BPRS. Belum lagi lembaga keuangan mikro

syariah atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang tersebar hampir di setiap propinsi.

2
Bagi kita semua umat Islam usaha seperti itu seharusnya patut disyukuri dan

menjadi kebanggaan bersama. Keberhasilan perbankan syari'ah, dapat menjadi salah

satu contoh keberhasilan penerapan syari'ah Islam dalam ber-muamalah. Tetapi,

menurut Ali (2007) keberhasilan tidak diimbangi dengan market share industri

perbankan syariah di Indonesia. Hal tersebut lanjutnya pasti memiliki masalah krusial

dalam pengembangan perbankan syariah.

Tahun 2008 bagi perbankan syari’ah nasional mungkin berbeda dengan tahun-

tahun sebelumnya. Kerja keras memenuhi target market share 5% dari total aset

perbankan nasional merupakan implementasi Visi Cetak Biru Pengembangan

Perbankan Syari'ah Indonesia. Kekhawatiran target pangsa pasar 5% tidak tercapai

memang menjadi pemikiran kalangan pemerintah, praktisi, pemerhati, peneliti

maupun akademisi perbankan syari'ah. Menurut catatan statistik perbankan syari'ah

BI, target pangsa pasar per September 2007 sebenarnya naik sebesar 0,18% dari

periode yang sama tahun sebelumnya (tahun 2006 mencapai 1,58%) yaitu 1,72%.

Untuk mempercepat hal tersebut BI menetapkan Kebijakan Akselerasi

Perkembangan Perbankan Syari’ah 2007-2008. Yang patut dicermati dari kebijakan

akselerasi tersebut antara lain adalah percepatan pembukaan kantor cabang bank

syari’ah asing, spin-off Unit Usaha Syari’ah perbankan konvensional (BUK) menjadi

syari’ah (BUS), go public perbankan syari’ah, penerbitan subordinated debt, efisiensi

(kemudahan) proses perijinan produk, pengembangan instrumen pasar keuangan,

penawaran jasa bank syari’ah kepada pemerintah, BUMN dan BUMD, serta

penyelesaian RUU Perbankan Syari’ah dan RUU Sukuk Negara.

3
2. APAKAH ITU CUKUP?

Secara umum, program akselerasi pengembangan perbankan syari’ah 2007-2008

untuk memenuhi target 5% bila dilihat lebih dapat dikatakan sangat komprehensif.

Meskipun, bila diteliti lebih lanjut, apakah hal tersebut rasional? Apakah akselerasi

menjadi kemustian? Apakah akselerasi dapat memberikan kepastian untuk

meningkatkan dan memberdayakan sektor riil secara nyata? Apakah tidak

diperhitungkan dampak “terjungkal dari lari sprint” terhadap simbol “syari’ah” yang

disandang oleh perbankan syari’ah? Mengapa harus lari, kalau sebagaimana

diingatkan oleh Qur’an, bahwa segala sesuatu harus dijalani dengan sabar?

Dampak akselerasi perkembangan perbankan syari’ah, bila dilihat lebih lanjut

memunculkan masalah-masalah baru. Pertama, masalah pembiayaan macet. Penilaian

kinerja pembiayaan biasanya diukur dengan Non Performing Financing (NPF) atau

yang biasa disebut dalam istilah perbankan konvensional dengan Non Performing

Loan (NPL). NPF perbankan syari’ah tahun 2007 memang mengalami kenaikan yang

signifikan bila dibanding dengan tahun 2006. Menurut data statistik perbankan

syariah BI per September 2007 menunjukkan NPF 6,29%, turun dibandingkan periode

Agustus 2007 sebesar 6,63%. Kendati demikian, angka tersebut lebih tinggi

dibandingkan September 2006 sekitar 5,13%. Mulya Siregar dari DPbsBI,

menjelaskan bahwa tingginya NPF Bank Syariah, antara lain disebabkan:

1. Perbankan Syariah tengah menjajagi sejumlah sektor pembiayaan baru. Sektor

baru tersebut dikenal sebagai sektor korporasi, diantaranya mencakup

pembiayaan manufaktur, infrastruktur dan properti .

2. Di sisi akad, Perbankan Syariah tengah meningkatkan pembiayaan dengan

akad non murabahah (non jual beli), seperti mudharabah atau bagi hasil.

4
3. Sebelumnya Perbankan Syariah hanya melaksanakan pembiayaan non

korporasi dan saat itu NPF paling tinggi berada pada level 4,2 -4,3 %. Pola

pengembangan bisnis model lama kurang optimal dalam perkembangan

industri Perbankan Syariah. Oleh karena itu Perbankan Syariah masih belajar,

dan ini yang membuat NPF meningkat. Dan ini harus dilalui, agar kedepan

Perbankan Syariah memperoleh pengalaman yang lebih baik3.

Masalah kedua, berkenaan dengan pengembangan produk. Seperti dijelaskan

di atas, MUI telah mengeluarkan fatwa baru mengenai produk kartu kredit syari’ah.

Bisnis kartu kredit4 yang kian marak ternyata juga menggoda dunia perbankan

syariah. Meski menimbulkan pro dan kontra di tengah hiruk pikuknya dunia

konsumtif, kredit macet dan penumpukan beban utang, kalangan perbankan syariah

akhirnya memberanikan diri meluncurkan kartu kredit syariah5. Sebenarnya, terdapat

masalah mendasar (di samping kecenderungan suka ”menerobos” demi kepentingan

market share yang dilakukan kalangan perbankan syari’ah) dalam penerbitan kartu

kredit tersebut. Misal diusulkan Mulawarman (2007d) berkenaan penggunaan qardh.

Qardh sebenarnya lebih dekat dengan mekanisme pembiayaan produktif, tetapi

3
Kondisi tersebut juga diakui oleh Juwono, dari Bank BNI Syariah, yang sebelumnya hanya bermain
di ritel dan UKM (Usaha Kecil dan menengah). Juwono menjelaskan, bahwa sektor ritel di BNI
Syariah mencapai 60% dari pembiayaan BNI Syariah.
4
Kartu kredit syariah pertama di dunia diluncurkan oleh AmBank Malaysia (semula dikenal Arab-
Bank Malaysian Bank Berhad) dengan nama Al Taslif Credit Card pada tahun 1996 dengan skim bai
bithaman ajil (bayar tangguh). Meski menimbulkan pro dan kontra, langkah tersebut diikuti oleh Bank
Islam Malaysia Berhad (BIMB) pertengahan tahun 2002 dengan nama Bank Islam Card dan Arab
Bangking Corporation (ABC) Islamic Bank Bahrain pada akhir 2002, serta As Shamil Bank dan
Tadamon Islamic Bank. Namun perkembangan kartu kredit syariah di Malaysia kurang
menggembirakan.
5
Kerawanan kartu kredit terletak pada pembebanan bunga jika pemegang kartu tak mampu membayar
pada saat jatuh tempo, sehingga menimbulkan penggandaan bunga yang berlipat dan terpuruk.
Kemudian, proses pembuatan kartu kredit syariah juga masih mengalami banyak kendala dalam hal
penetapan harga jual, karena harga pada akad jual beli ditentukan di awal sesuai dengan jangka waktu
yang disepakati. Sedangkan harga tangguh suatu barang dan jasa pada kartu kredit bisa berubah akibat
semakin lamanya pembayaran, sehingga akan sulit menentukan harga jual yang akurat. Selain itu, tidak
ada jaminan absah atau tidaknya berbagai item transaksi barang dan jasa yang menyangkut perbedaan
akad, termasuk mendeteksi transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah.

5
sekarang malah diarahkan pada pola konsumtif. Pertanyaannya kemudian, mengapa

pengembangan produk hanya diarahkan untuk mengadopsi produk ”tetangga” (baca:

perbankan konvensional) dan tidak mengedepankan produk yang lebih genuine

syari’ah? Menarik kritik dari Faisal Basri, pengamat ekonomi UI saat berbicara di

Indonesia Syari’ah Expo 28 Oktober, terhadap target market share. Menurutnya

perbankan syari’ah tidak akan dapat menembus angka 5% kalau masih tidak memiliki

kreativitas atas produk sesuai market bank syari’ah sendiri. Masalahnya, menurut

penulis bukan pada core product saja, tetapi lebih dari itu.

Ketiga, tidak kreatifnya bank syari’ah melakukan pengembangan produk,

diakibatkan masalah mendasar perbankan syari’ah. Masalah tersebut seperti dikatakan

Mulawarman (2007c) sebagai hilangnya sense untuk melakukan identifikasi

kompetensi inti (core competencies). Perbankan syari’ah sampai sekarang belum

dapat mengidentifikasi keunikan dirinya, bank syari’ah yang mengusung nilai-nilai

Islam dan ada di Indonesia. Bank syari’ah selama ini hanya dapat melakukan

identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis, core competencies

merupakan "jantung" organisasi atau perusahaan, sedangkan produk merupakan

implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai tambah

organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui kejelasan visi dan misi

organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis, produk

sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies. Core

competencies yang khas bank syari’ah tetapi tidak menghilangkan akarnya, yaitu

Islam Indonesia.

Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai suatu

kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki

positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi

6
mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang

membedakan (differentiating competencies)6. Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad

dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif perusahaan dikendalikan oleh atribusi

kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan

tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential advantage. Berikut

penjelasannya:

…are all converging on similar and formidable standards for product cost and
quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less important
as sources of differential advantage.

Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada

kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih

mengedepankan:

Management ability to consolidate corporatewide technologies and production


skills into competencies that empower individual business to adapt quickly to
changing opportunities.

Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka

pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai

kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi

dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan

ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi

melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu

hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis

agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu

berubah, diperlukan core competencies yang memiliki keunggulan visioner serta

kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core

6
Kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi
yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).

7
competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada

“harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.

Masalah keempat, tergesernya kepentingan kualitas perbankan syari’ah karena

mementingkan kuantitas. Hal ini bahkan diakui dalam Kebijakan Akselerasi secara

tegas. Semua demi market share 5%. Bentuk penegasian pentingnya kualitas

perbankan syari’ah hendaknya tidak didasari prioritas ”kompetitif” dan ”efisiensi”

seperti tertulis dalam visi misi pengembangan perbankan syari’ah yang tercantum

dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia.

Bentuk kompetisi dan efisiensi bisnis seperti itu jelas berhubungan dengan

kepentingan pemilik modal saja, baik ekuitas maupun bottom line laba, dan tidak

untuk kepentingan masyarakat secara langsung. Kompetisi dan efisiensi yang terlalu

progresif akan mendekatkan gaya khas kapitalisme baru, yaitu neoliberalisme.

Contoh, menggiring perbankan syari’ah untuk segera melakukan IPO (Initial Public

Offering) dan memperbanyak produk pasar keuangan. Langkah ini mungkin tepat dari

sisi efisiensi, tetapi tidak efektif untuk meningkatkan kemaslahatan masyarakat secara

langsung, dan bahkan menggiring bank syari’ah lebih progressif meningkatkan

ekuitas hanya untuk bank.

3. MEMBANGUN PERBANKAN SYARI’AH: LEWAT MANA?

Bank Syari’ah sudah saatnya melihat kembali peringatan Umer Chapra. Peringatan

bukan diletakkan hanya di bagian filosofi, tetapi harus masuk dalam model visi-misi

perusahaan, bahkan masuk dalam visi-misi perbankan syari’ah yang dikembangkan

oleh BI. Chapra (2000, 12) menjelaskan bahwa perekonomian sebagai ilmu dan

strategi Islam untuk mencapai tujuan Islam, dengan terintegrasinya semua aspek

kehidupan keduniaan dengan aspek spiritual (untuk menghasilkan suatu peningkatan

8
moral manusia dan masyarakat dimana ia hidup) harus mengarah pada kesejahteraan.

Islam mendorong manusia untuk menguasai alam dan memanfaatkan sumber-sumber

daya yang disediakan oleh Allah bagi kepentingan manusia, namun juga

mengingatkan agar jangan mementingkan satu aspek materi saja sehingga

mengabaikan aspek spirituilnya. Bekerja keras untuk kesejahteraan material

seseorang, keluarga dan masyarakat harus dibimbing dengan nilai-nilai spiritual.

Menurut Chapra (2000, 14) tujuan Islam harus menciptakan keseimbangan yang sehat

antara kepentingan individual dan masyarakat sesuai prinsip Nabi saw., “Janganlah

menimpakan bahaya kepada orang lain dan jangan pula dia ditimpakan bahaya di

atasnya”. Islam memiliki keunggulan nyata, bukan saja sasaran-sasaran integral dari

ideologi Islam, tetapi juga strategi syariah tak terpisah.

Berdasarkan kesejahteraan untuk semua itulah kemudian konsep Tazkiyah

menjadi konsep yang harus selalu hadir sebagai bagian dari ciri khas Islam. Usaha

manusia memperoleh harta benda yang mencukupi kehidupannya merupakan jawaban

terhadap panggilan dan tuntutan fitrah dan nafsunya yaitu cinta pada harta benda. Hal

ini bukanlah penyimpangan dan bukan pula pengahalang untuk mencapai ridha Allah.

Karena cinta harta merupakan fitrah sejak ia diciptakan namun manusia dalam

memenuhi tuntutan nafsunya berkewajiban untuk menjaga batas-batas syari’at dan

menggunakan cara yang disyari’atkan (lihat misalnya QS. 18: 46; 89: 20; 100: 8).

Tetapi, cinta harta menurut Mulawarman (2007a) harus diarahkan pada tiga

hal. Pertama kecintaan harta sesuai maqashid asy-syari’ah untuk merealisasikan

kemashlahatan dunia dan alam semesta sekaligus. Kedua, tugas (Khalifatullah fil

ardh) dan pengabdiannya (abd’ Allah). Ketiga, fitrah kemanusiaan lainnya yang

berlawanan dengan kecintaan harta yaitu kedermawanan. Ketiga hal itu hanya dapat

terlaksana dengan jalan niat dan pensucian (tazkiyah) secara terus menerus (Ibrahim

9
2005; 99-102). Bentuk dasar pensucian terhadap kecintaan terhadap harta benda

adalah ketakwaan (QS 3: 14-15).

Bila kita turunkan dalam konteks ke-Indonesia-an, bank syari’ah juga perlu

melihat bahwa ekonomi jangan hanya diarahkan untuk kepentingan sempit seperti

yang dijalankan ekonomi modern kapitalistik. Tujuan ekonomi seharusnya tidak

sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan (growth), tetapi harus dapat

mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik sesuai nilai-nilai Islam dan

maqashid syari’ah.

4. REKOMENDASI MENDESAK

Perbankan syari’ah seperti dijelaskan di bagian pertama tulisan ini telah memberikan

angin segar bagi kita semua untuk melakukan transaksi keuangan bebas bunga dan

karenanya halal. Berbagai model telah diajukan berkenaan mekanisme transaksi

sesuai syari’ah dan fiqh Islam. Transaksi komersial utama telah banyak dijalankan

dengan berbagai modifikasinya. Tetapi transaksi perlu dikendalikan agar tidak hanya

berorientasi ekuitas maupun bottom line laba an sich.

Dijelaskan Lewis dan Algoud (2001) bahwa penekanan transaksi-transaksi

yang berorientasi ekuitas dalam perbankan syari’ah dipertanyakan beberapa sumber.

Pergantian bunga yang ditetapkan sebelumnya (predetermined interest) dengan

keuntungan yang tidak pasti (uncertain profits) tidaklah cukup untuk membuat

transaksi menjadi Islami, karena keuntunganpun bias dan benar-benar sama

eksploitatifnya dengan bunga, jika keuntungan itu berlebihan. Pemikiran mengenai

pembiayaan rasa-rasanya perlu pengembangan alternatif tambahan lain, seperti

perluasan mekanisme salaf atau qardh yang memang secara tradisional fiqh-nya lebih

dekat dekan sistem pinjaman/pembiayaan. Qardh selama ini dipahami hanya sebagai

10
sistem pembiayaan sosial (qardhul hassan) untuk UKM atau konsumtif seperti kartu

kredit syari’ah. Padahal bila kita lihat lebih jauh landasan tradisi sosiologis qardh

sebenarnya lebih dekat dengan sistem pinjaman yang jelas-jelas menerapkan

keseimbangan keuntungan (profit) dan kepentingan sosial.

Sistem muzara’ah dan musaqah juga masih dilihat sebagai sistem pembiayaan

khusus untuk pertanian saja. Apakah kita tidak pernah berpikir lebih jauh bahwa dua

sistem tersebut lebih dekat dengan sistem investasi-produktif daripada sistem

musyarakah atau mudharabah yang lebih dekat dengan sistem investasi-perdagangan.

Apalagi sebenarnya bila ditilik dari sejarahnya, pendekatan muzara’ah dan musaqah

lebih ditekankan oleh Rasulullah di masa awal Hijrah di Madinah (lihat misalnya

Karim 2004a, 19; 2004b, 96-97). Langkah selanjutnya adalah melakukan

penyeimbangan dengan sistem musyarakah maupun mudharabah. Sistem muzara’ah

dan musaqah sebenarnya digunakan Rasul untuk menggiring pemikiran kaum

Muhajirin agar lebih seimbang dan utuh konsep ekonominya, yaitu menggagas utuhan

produksi-intermediasi-retail. Inilah yang disebut Mulawarman (2007a) sebagai bentuk

sistem ekonomi kembali ke fitrah versi Rasulullah untuk mereduksi terkooptasinya

pola pikir masyarakat Muslim dari sistem kapitalistik Mekkah yang lebih menekankan

mekanisme perdagangan, tanpa pernah melihat mekanisme produksi (seperti bertani,

pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) dan retail (berdagang eceran).

Kembali ke fitrah versi Rasulullah adalah bentuk keseimbangan ekonomi Ketuhanan,

tidak hanya dekat dengan sistem pertukaran, tetapi juga dekat dengan alam,

masyarakat, dan bahkan Tuhan.

Diperlukan pembenahan mendasar mengenai Cetak Biru Pengembangan

Perbankan Syari’ah dan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari’ah.

Rekomendasi mendesak bagi Bank Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut.

11
Pertama, hendaknya visi pengembangan mementingkan harmoni dan

keseimbangan daripada kompetisi dan efisiensi. Hal ini sesuai dengan maqashid asy

syari’ah, yaitu mashlaha, kesejahteraan ummat yang hakiki, dan memiliki

keseimbangan produksi-intermediasi-retail sesuai ushwah model ekonomi Rasulullah.

Kedua, agar visi sesuai maqashid asy syari’ah, yaitu mashlaha untuk semua,

maka diperlukan reorientasi diri perbankan syari’ah. yang sesuai core competencies.

Ketiga, pengembangan produk perbankan syari’ah hendaknya sesuai dengan

core competencies sehingga memunculkan karakter genuine perbankan syari’ah ala

Indonesia. Yaitu karakter unique perbankan syari’ah Indonesia.

Keempat, perlunya telaah dan pengembangan lebih lanjut produk qardh yang

tetap mengedepankan prinsip produktif dan bukannya untuk kepentingan konsumtif.

Kelima, perlunya regulasi Bank Indonesia berkenaan prioritas pengembangan

produk muzara’ah dan musaqah bagi kalangan perbankan syari’ah. Regulasi ini untuk

mengupayakan agar perbankan syari’a dalam mengajukan produk-produknya tetap

mengedepankan keseimbangan produksi-intermediasi-retail.

Keenam, penekanan kuantitas maupun kualitas pemenuhan market share

perbankan syari’ah hendaknya tidak didasari prioritas ”kompetitif” dan ”efisiensi”

seperti tertulis dalam visi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia.

Penekanan kuantitas dan kualitas harus tetap mementingkan harmoni dan mashlaha

sebagai tujuan utama perbankan syari’ah.

5. CATATAN AKHIR

Penulis sendiri berpendapat bahwa yang paling penting adalah tetap memelihara

“obor” semangat menuju terwujudnya ekonomi Islam yang sejati. Bentuk, proses,

sistem dan mekanisme yang selama ini ada merupakan “realitas empiris” yang perlu

12
didukung untuk perkembangan menuju kesempurnaan sistem keuangan Islam. Ide,

riset dan alternatif-alternatif dapat berjalan dengan baik ketika terdapat sinergi antara

dunia akademis, lembaga akademis lainnya, lembaga-lembaga keuangan sebagai

representasi empiris, dunia bisnis, pemerintah, DSN-MUI, serta masyarakat secara

umum.

Saya juga masih percaya bahwa kekuatan berusaha terdapat pada sifat

enterpreneurship yang berhubungan dengan Trust. Trust bukan hanya kepercayaan

pada tingkatan “deadline kewajiban” yang misalnya diukur dalam bentuk CAMEL

perbankan, atau kemampuan menjalankan manajerial secara profesional. Trust

substantif jelas lebih dari itu, yaitu Trust berdasar hati dan ketundukan, dalam

Capaian Ketuhanan. Insya Allah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. 2007. 2007: Tahun Percepatan Industri Perbankan Syari’ah. Website
Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah (PKES)

Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia.


Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta

Bank Indonesia. 2003. Statistik Perbankan Syari’ah Nopember 2003. Direktorat


Perbankan Syariah. Jakarta

Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia.


Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta

Bank Indonesia. 2007. Statistik Perbankan Syari’ah Oktober 2007. Direktorat


Perbankan Syariah. Jakarta

Bank Indonesia. 2007. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari’ah


Indonesia 2007-2008. Direktorat Perbankan Syariah. Jakarta.

Chapra, M. Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Terjemahan. GIP-Tazkia


Institute. Jakarta.

Karim, Adiwarman. 2004a. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Kedua.
Rajawali Press. Jakarta

Karim, Adiwarman. 2004b. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi Kedua. Rajawali
Press. Jakarta

Lewis, Mervin K. and Latifa M. Algoud. 2001. Islamic Banking. Edward Elgar.
Masschusetts.

Majelis Ulama Indonesia. 2007. Fatwa DSN Tentang Kartu Kredit Syari’ah. Jakarta

Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal. The 1st
Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Trilogi Laporan Keuangan Berbasis


Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam III. Unpad
Bandung 14-15 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Mengembangkan Kompetensi Inti dan Bisnis


Koperasi. Diskusi Panel Kajian Ilmiah Koperasi Lintas Disiplin Ilmu.
Kerjasama Kementerian Negara KUKM dan FE-Universitas Negeri Malang.
10 Desember.

14
Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Keuangan Syari’ah: Antara Konsep, Perkembangan
Terkini dan Prospek Ke Depan. “Soft Opening Lembaga Riset Keuangan
Syari’ah”. Universitas Cokroaminoto Yogya, 28 Maret.

Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1990. The Core Competence of the Corporation.
Harvard Business Review. May-June. pp 1-12.

Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1994. Competing for the Future. Harvard Business
School Press

Republika, 2007. Kartu Kredit Syari’ah, Solusi atau Masalah? 1 Maret.

Republika, 2007. Kartu Kredit Syari’ah Pertama di Indonesia. 19 Juli.

15
CURRICULUM VITAE

Aji Dedi Mulawarman. Lahir di Malang, 31 Desember 1969

Alamat:Perum Persada Bhayangkara Singhasari G-6,Pagentan,Singosari,Malang, 65153.


Telp. 0341-452781; 081555600745 (HP)

Kantor: 1. Kompleks Perkantoran PTB Jl. Raya Singosari R-2, Malang


Telp. 0341-452772; Fax. 0341-452882
2. Kantor Lembaga Pendidikan Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim
0341-456005 (K);

Email: ajidedim@yahoo.co.id; ajidedim@gmail.com

Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Prestasi Akademik:
1. Wisudawan Terbaik jenjang S-2 Universitas Brawijaya 2005 dengan Predikat Cum
Laude.
2. Pemakalah Terbaik (Best Paper) Simposium Nasional Akuntansi IX tanggal 23-26
Agustus tahun 2006 di Padang. Judul Makalah
Rekonstruksi Teknologi Integralistik Akuntansi Syari’ah: Shari’ate Value Added
Statement
3. Pemakalah dalam International Seminar Reinventing Paradigms of Social Studies in
Indonesia, Yogyakarta, 11-13 Agustus 2006, FISE UNY-HISPISI. Judul Makalah
Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta
4. Pemakalah dalam Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis,
Salatiga, 1 Desember 2006, FE Universitas Kristen Satya Wacana.
Judul Makalah
Pensucian Pendidikan Akuntansi
5. Pemakalah dalam The First Accounting Session: Revolution of Accounting Education,
Universitas Kristen Maranatha Bandung, 18-19 Januari 2007.
Judul Makalah
Pensucian Pendidikan Akuntansi Episode Dua
6. Keynote Speech dalam Seminar Sehari Perbankan Syari'ah yang diadakan Lembaga
Riset Keuangan Syari'ah Universitas Cokroaminoto Jogjakarta, 28 Maret 2007. Judul
Makalah
Keuangan Syari’ah: Antara Konsep, Perkembangan Terkini dan Prospek Ke
Depan
7. Pemakalah dalam Simposium Nasional Akuntansi X tanggal 26-28 Juli 2007 di
Makassar. Judul Makalah:
Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah Berbasis Ma’isyah
8. Orasi Ilmiah dalam Acara Wisuda Universitas Cokroaminoto Jogjakarta 12
September 2007. Judul Makalah
Ekonomi Islam Dalam Bingkai Pemikiran HOS Tjokroaminoto
9. Best Paper Awards dalam The 1st Accounting Conference Universitas Indonesia. 7-9
Nopember 2007. Judul Makalah
Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi Kekayaan Altruistik
Islami
10. Pemakalah dalam Simposium Nasional Ekonomi Islam 3 Universitas Padjadjaran
Bandung. Judul Makalah
Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal

Jabatan Akademik:
1. Direktur Lembaga Riset Keuangan Syari'ah Universitas Cokroaminoto
Jogjakarta 2007 - 2010

16
Buku yang telah terbit:
1. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari
Wacana ke Aksi. 2006. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

Riwayat Pekerjaan:
1. Tahun 1994 – 1998 staf Akuntansi dan Keuangan PT. Perkebunan Tanjung Bahagia
2. Tahun 1997 – 2000 sebagai Ketua Tim Perencanaan Proyek Pengembangan
Kawasan Wisata Pantai Prigi, Trenggalek Jawa Timur
3. Tahun 1998 sebagai Ketua Tim Pengembangan Sistem Manajemen dan Informasi
Keuangan PT. Petebe Mas Bahagia
4. Tahun 1998 – 2001 sebagai Direktur Keuangan PT. Prigi Tirtawisata Bahagia,
Trenggalek, Jawa Timur
5. Tahun 1998 – 1999 sebagai Ketua Tim Pengembangan Sistem Manajemen dan
Informasi Keuangan Korporasi Petebe Group
6. Tahun 1998 – 2000 menjabat Manajer Keuangan PT. Perkebunan Tanjung Bahagia
7. Tahun 2000 – 2002 menjabat General Manajer Petebe Group
8. Tahun 2002 – sekarang menjabat Direktur Korporasi Administrasi dan Keuangan PT.
Perkebunan Tanjung Bahagia
9. Tahun 2003 – 2004 Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan Sistem Manajemen
dan Informasi Keuangan Perusahaan Daerah Jasa Yasa Kabupaten Malang
10. Tahun 2001 sampai sekarang diangkat sebagai Direktur Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim,
lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Yayasan Bani Hasyim.
11. Tahun 2007 – 2010 sebagai Direktur Lembaga Riset Keuangan Syari'ah Universitas
Cokroaminoto Jogjakarta

Organisasi:
1. Ketua Umum DPD Gabungan Pengusaha Kecil Nasional Minyak dan Gas (Gapina
Migas) Jawa Timur (2001),
2. Ketua I DPP Gapina Migas (2002-sekarang),
3. Ketua Tim Perumus Drafting RUU Migas DPP Gapina Migas (2001),
4. Ketua Tim Perumus Implementasi UU Migas dan Blue Print Usaha Kecil Migas DPP
Gapina Migas (2002),
5. Ketua Tim Sukses Kuota Usaha Kecil Migas DPP Gapina Migas (2003),
6. Anggota Tim Blue Print Hilir Migas Nasional Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral (2002-2003).

17

You might also like