Professional Documents
Culture Documents
I. Pendahuluan
Inflasi merupakan penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat
menimbulkan dampak yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target
kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi begitu penting untuk diperhatikan mengingat
dampaknya bagi perekonomian yang bisa menimbulkan ketidakstabilan, pertumbuhan
ekonomi yang lambat dan pengangguran yang senantiasa meningkat. Berkenaan dengan
hal tersebut, upaya mengendalikan agar stabil begitu penting untuk dilakukan.
Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak tahun 1997
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di kawasan ini.
Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun.
Akibat krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi Thailand menurun menjadi -0,4 persen. Hal
ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia
mengalami "Significant deteronation", laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya
nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat
baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap
perekonomian. Ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar
-13,0 persen (tahun 1998 ).
Tabel 1
Malaysia dengan laju inflasi 4,70 persen pada tahun 1992 dan terus menurun
hingga tahun 1997 yaitu 2,70 persen, tetapi tahun 1998 laju inflasi meningkat menjadi
5,30 persen. Thailand juga mengalami Inflasi yang cukup berfluktuatif dari 4,10 persen
pada tahun 1992 menjadi 8,10 persen pada tahun 1998. Tingkat Inflasi di Filipina relatif
tinggi dibanding negara lainnya di ASEAN. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 laju
inflasi mencapai 9,70 persen.
Kajian ini diharapkan menjadi bahan informasi dan masukan bagi pemerintah khususnya
otoritas moneter sebagai bahan pertimbangan dalam upaya memutuskan dan
mengimplementasikan kebijakan di bidang moneter.
1. Teori Inflasi
Menurut A.P. Lehner inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan
(Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan
(Anton H. Gunawan, 1991). Sementara itu Ackley mendefinisikan inflasi sebagai suatu
kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam
barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan
dikatakan sebagai inflasi (Iswardono, 1990). Menurut Boediono (1995) inflasi adalah
kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang
lain. Inflasi diakibatkan oleh :
1. Demand-Pull Inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan
produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati
kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full-employment) telah
tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja
(sering disebut dengan inflasi murni).
i. Cost-Push Inflation
Cost push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi
yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan
dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi.
Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi.
Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi dan
berjaga-jaga tergantung dari pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan, maka besar
keinginan akan uang kas untuk transaksi dan berjaga-jaga. Seseorang atau masyarakat
yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak
dibanding seseorang masyarakat yang pendapatannya rendah.
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat
bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang
kas untuk tujuan tujuan / motifasi spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga
naik, berarti ongkos memegang uas kas (opportunity cost of holding money) makin
besar / tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan uang kas akan makin kecil.
Sebaliknya, makin rendah tingkat bunga makin besar keinginan masyarakat untuk
menyimpan uang kas. Kedua, hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan
adanya tingkat bunga "normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga
yang baru-baru terjadi.
Menurut Nopirin ( 1996 ) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh
peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman
atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan
membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan.
Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa
depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi
antara permintaan dan penawaran (Suhaedi, 2000).
Suku bunga dibedakan menjadi dua, suku bunga nominal dan suku bunga riil.
Suku bunga nominal adalah rate yang dapat diamati di pasar. Sedangkan suku bunga riil
adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga
nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.
Teori paritas daya beli pertama kali dikemukakan oleh Gustav Cassell 1922
(Khalwaty, 2000 ) mengandung dua pengertian, yaitu pengertian absolut dan pengertian
relatif. Pengertian absolute mengatakan bahwa kurs keseimbangan di antara mata uang
dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara harga absolute luar
negeri dan harga absolute dalam negeri. Sedangkan pengertian relatif menyatakan bahwa
prosentase perubahan kurs keseimbangan di antara mata uang dalam negeri dan mata
uang luar negeri merupakan rasio antara prosentase perubahan harga dalam negeri dan
prosentase perubahan harga luar negeri, sehingga prosentase perubahan kurs tersebut
mencerminkan perbedaan tingkat inflasi di antara dua negara.
Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama
masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar
hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar
merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak kerja
seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa
teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai tukar
dengan tingkat harga.
Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara
tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi suatu negara lebih tinggi
dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik
lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan
naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan
dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian supply dari mata uang asing akan
turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang
domestik akan turun atau terdepresiasi).
IV. Hipotesis
V. Metode Penelitian
Adalah kenaikan harga secara umum dan terus menerus, kenaikan harga harus
meliputi semua macam barang dan jasa. Data menggunakan Indeks Harga Konsumen
yang dinyatakan dalam satuan persen.
Dalam penelitian ini data mengenai jumlah uang beredar diambil dari data uang
dalam arti sempit ( M1 ), dengan satuan milyar rupiah dan milyar peso.
PDB riil adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir berdasarkan harga konstan yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu
setahun, dengan satuan milyar rupiah dan milyar peso .
Dalam penelitian ini, nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar masing-masing
negara yaitu dolar AS terhadap rupiah, dan dolar AS terhadap peso.
Variabel tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku
bunga deposito berjalan satu bulan pada bank-bank pemerintah yang dinyatakan
dalam satuan persen.
Dalam penelitian ini data yang digunakan sekunder runtun waktu (time series)
kuartalan yang diperoleh dari berbagai sumber seperti International Financial
Statistic (IFS), statistik ekonomi dan keuangan Indonesia, laporan mingguan dan
laporan bulanan serta laporan tahunan Bank Indonesia, serta indikator ekonomi.
Kurun waktu penelitian dari kuartal I tahun 1990 sampai kuartal IV tahun 2001.
b. Metode Analisis
Berdasarkan pada teori dan hipotesis yang diajukan, inflasi (INF) dipengaruhi oleh
jumlah uang beredar (M1), produk domestik bruto (PDB), nilai tukar (ER) dan tingkat
suku bunga (Rt). Model matematisnya adalah :
Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model dinamis, yaitu
menggunakan Error Correction Model (ECM). Model dinamis ECM yang digunakan
adalah sebagai berikut :
Dalam model otoregresif, uji akar-akar unit merupakn sebagai uji stationaritas, karena
pada prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari
model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam penelitian ini
digunakan uji akar-akar unit yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979 – 1981)
yang menaksir model otoregresif dari masing-masing variabel dengan OLS.
BDxt = DXt-1
• Pendekatan Kointegrasi
Tujuan utama dari uji kointegrasi adalah untuk mengkaji apakah Residual regresi
stasioner atau tidak. Pengujian ini sangat penting bila dikembangkan sebagai model
dinamis, khususnya Error Correction Model yang mencakup variabel kunci-kunci pada
regresi kointegrasi terkait, hal ini karena Error Correction Model konsisten dengan
konsep kointegrasi atau selanjutnya lebih dikenal dengan Granger Representation
Theory (Insukindro,1993). Pendekatan kointegrasi berkaitan dengan upaya menghindari
terjadinya regresi lancung yang akan mengakibatkan regresi penaksir tidak efisien.
Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linear klasik adalah homokedastisitas atau
varian yang sama. Salah satu metode yang dapat digunakan ada tidaknya
heterokedastisitas dalam satu varian error term ( VI ) suatu model regresi adalah metode
Park.
Autokorelasi atau korelasi serial diantara error terms pada serangkaian observasi yang
diurutkan menurut runtun waktu (time series ) atau antar ruang (cross section). Salah satu
cara untuk mendeteksi autokorelasi untuk model regresi adalah Breusch-Godfrey Test
atau B-G Test.
a. Uji Linearitas
Asumsi uji ini mengharuskan bahwa parameter model regresi yang digunakan adalah
linear (Gujarati, 1995). Untuk mengetahui apakah spesifikasi model regresi yang kita
gunakan sudah benar atau tidak maka perlu dilakukan uji linearitas.
Semua data yang akan dianalisis diuji terlebih dahulu apakah stasioner atau tidak
stasioner. Uji stasionaritas yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa semua
variabel stasioner pada derajat intergrasi dua ( lihat lampiran 1 ). Setelah uji stasionaritas,
dilakukan uji kointegrasi, hasilnya adalah pada á = 5% residual
persamaan kointegrasi telah stasioner pada derajat nol, sehingga
variabel-variabel yang diamati mempunyai hubungan jangka panjang.
Tabel 2
Variabel Indonesia
Koefisien t-statistik Probability
DLMIt 0.447589 5.114126 0.0000
DLPDBt -1.913290 -3.544578 0.0011
DLERt 2.236640 17.49145 0.0000
DRt -0.255959 -2.384847 0.0223
BLMIt -0.054400 -0.226502 0.8221
BLPDBt -1.744339 -8.179323 0.0000
BLERt 0.433415 3.667364 0.0008
BRt -0.688240 -5.214162 0.0000
ECT 0.558540 5.273399 0.0000
C 1.554159 3.374362 0.0017
R-squared 0.935384
Adjusted R2 0.919666
DW stat 2.104247
Prob(F-stat) 0.000000
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada model tersebut
signifikan dan bertanda positif untuk estimasi model ECM tingkat inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil estimasi model ECM di atas dapat diketahui bahwa dalam jangka
pendek maupun jangka panjang variabel yang digunakan dalam penelitian ini
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Nilai R2 sebesar
0,9353 dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah
cukup baik, sebab hanya sekitar 6,5 persen variasi variabel terikat dipengaruhi oleh
variabel bebas di luar model.
Dengan demikian maka diketahui bahwa estimasi model jangka pendek tingkat
inflasi di Indonesia dapat dirumuskan dalam persamaan berikut :
Jumlah uang beredar ternyata mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh
secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Koefisien regresi sebesar 0,4476 dalam persamaan jangka pendek
menunjukkan bahwa dengan naiknya jumlah uang beredar sebesar 1 persen, akan
menaikkan tingkat inflasi sebesar 0,4476 persen. Sedangkan dalam jangka panjang
dimana koefisien regresi sebesar 0,9026 berarti kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1
persen akan menaikkan tingkat inflasi sebesar 0,9026 persen.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah uang beredar baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkatkan inflasi. Hasil ini
menegaskan kembali hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Jaka Sriyana (2001),
Sri Suki I (2001), Sri Endang Novita Sari (2001) dan Tajudin Parenta (1983) yang
menyatakan bahwa tingkat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
PDB riil ternyata mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Koefisien regresi variabel PDB sebesar –1,1933 dalam jangka pendek, hal ini
menunjukan bahwa dengan naiknya PDB Indonesia sebesar 1 persen akan menurunkan
tingkat inflasi sebesar 1,1933 persen. Dalam jangka panjang koefisien regresi sebesar –
2,124. Hal ini menunjukkan bahwa dengan naiknya PDB sebesar 1 persen akan
menurunkan tingkat inflasi sebesar 2,124 persen.
Hasil penelitian tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Jaka Sriyana (2001) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif
dan signifikan antara nilai tukar terhadap tingkat inflasi. Untuk menjaga kestabilan harga
di dalam negeri, maka otoritas moneter malalui kebijakannya diharapkan dapat menjaga
kestabilan rupiah terhadap dolar dalam batas yang wajar dan aman. Depresiasi nilai
rupiah sangat rentan dampaknya terhadap laju inflasi di Indonesia baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang terdapat hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan antara tingkat suku
bunga terhadap inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek nilai koefisien tingkat suku
bunga sebesar –0,2566. Hal ini berarti apabila dalam jangka pendek tingkat suku bunga
naik sebesar 1 persen, maka tingkat inflasi Indonesia turun sebesar 0,2566 persen. Nilai
koefisien regresi tingkat suku bunga Indonesia dalam jangka panjang sebesar -0,233. Hal
tersebut berarti bahwa apabila dalam jangka panjang tingkat suku bunga naik sebesar 1
persen, maka tingkat inflasi Indonesia akan mengalami penurunan sebesar -0,233 persen.
Suku bunga merupakan variabel yang paling kecil pengaruhnya terhadap laju inflasi di
Indonesia. Oleh karena itu bagi otoritas moneter kebijakan meningkatkan suku bunga
untuk mengendalikan inflasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat efek
samping yang kurang baik terhadap iklim investasi.
Tabel 3
Variabel Flipina
Koefisien t-statistik Probability
DLMIt 0.128555 2.066404 0.0458
DLPDBt -0.169961 -2.823407 0.0076
DLERt 0.419078 5.330474 0.0000
DRt -0.252438 -7.419776 0.0000
BLMIt -1.186139 -9.483660 0.0000
BLPDBt -0.796418 -6.858851 0.0000
BLERt -0.625406 -8.715276 0.0000
BRt 0.191816 5.734196 0.0000
ECT 0.687111 16.52885 0.0000
C 1.582513 5.563123 0.0000
R-squared 0.957860
Adjusted R2 0.947610
DW stat 1.654643
Prob(F-stat) 0.000000
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada persamaan tersebut
signifikan dan bertanda positif untuk estimasi model ECM tingkat inflasi di Filipina.
Dengan demikian model ECM sukses dan dapat digunakan untuk mengestimasi fungsi
tingkat inflasi di Filipina selama periode penelitian.
Berdasarkan hasil estimasi dengan ECM di atas dapat diketahui bahwa dalam
jangka pendek maupun jangka panjang variabel yang digunakan dalam penelitian ini
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi Filipina. Nilai R2 sebesar 0,9578
dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah cukup
baik yaitu sebesar 4,3 persen variasi variabel terikat dipengaruhi oleh variabel bebas di
luar model.
Dengan demikian maka diketahui bahwa estimasi model jangka pendek tingkat
inflasi di Filipina dapat dirumuskan dalam persamaan berikut :
Dari hasil kajian empiris ini diharapkan pemerintah Filipina dapat selalu
meningkatkan pertumbuhan ekonominya ( PDB riil ) dalam jangka panjang sehingga
supply barang dan jasa selalu terpenuhi dan laju inflasi bisa terkendali.
Volatilitas nilai peso terhadap dolar AS sangat berpengaruh terhadap laju inflasi,
sehingga otoritas moneter harus mampu menjaga agar nilai peso terhadap dolar AS
terkendali dan cenderung menguat supaya inflasi tetap rendah.
Dari hasil enpiris ini pengendalian inflasi melalui peningkatan suku bunga hanya
efektif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang suku bunga diharapkan suku bunga
relatif rendah sehingga bisa mendorong sektor riil dan mengurangi laju inflasi di Filipina.
VII. Penutup
• Kesimpulan
1. Variabel jumlah uang beredar dalam jangka pendek maupun jangka panjang
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di
Indonesia. Semakin tinggi jumlah uang beredar baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan inflasi. Hasil temuan di Filipina,
dalam jangka pendek variabel jumlah uang beredar mempunyai hubungan positif dan
signifikan terhadap tingkat inflasi, tetapi dalam jangka panjang mempunyai hubungan
yang negatif dan berpengaruh secara signifikan.
4. Variabel tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang
mempunyai hubungan negative dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Berarti Kenaikkan tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang akan menurunkan tingkat inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek variabel
tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat
inflasi di Filipina, dalam jangka panjang variabel tingkat bunga mempunyai
hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan.
o Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini berdasarkan hasil yang telah
diperoleh adalah :
1. Otoritas moneter di kedua negara harus dapat mengendalikan jumlah uang beredar
dalam batas yang wajar dan aman sesuai dengan kondisi masing-masing negara
apabila menginginkan tingkat inflasi yang rendah atau stabil.
2. Untuk mengerem laju inflasi, maka pemerintah di Indonesia dan Filipina harus
mampu menyediakan barang dan jasa ( PDB ) secara memadai untuk memenuhi
kebutuhan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu meningkat.
3. Pemerintah Indonesia dan Filipina harus dapat menjaga kestabilan nilai tukar
mata uangnya terhadap dolar AS dalam rentang yang aman dan terkendali.
4. Tingkat suku bunga sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi
peningkatan inflasi juga harus dikendalikan agar supaya tidak menggangu iklim
berinvestasi bagi para investor.
DAFTAR PUSTAKA
Anang Sukendar, 2000. "Pengujian dan Pemilihan Model Inflasi Dengan Non Nested Test Studi
Kasus Perekonomian Indonesia Periode (1969 – 1997)." Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia Vol. 15, No. 2. BPFE UGM, Yogyakarta.
Anton H. Gunawan, 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Boediono, 1995, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5 : Ekonomi Moneter. BPFE,
Yogyakarta.
Insukindro, 1990, "Komponen Koefisien Regresi Jangka Panjang Model Ekonomi : Sebuah Studi
Kasus Impor Barang di Indonesia," Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Edisi September,
Yogyakarta.
Insukindro, 1992, "Pembentukan Model dalam Penelitian Ekonomi", Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, No. 1 Tahun VII, Yogyakarta.
Insukindro, 1995. Ekonomi Uang dan Bank, Teori Pengalaman di Indonesia, BPFE, Yogyakarta.
_________, 1998, "Sindrum R2 Dalam Analisis Regresi Linier Runtut Waktu, "Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indoensia, Vol. 13 No. 4, BPFE, Yogyakarta.
_________, 1999, "Pemilihan Model Empirik dengan Pendekatan Koreksi Kesalahan," Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No. 1 Vol. 14, BPFE, Yogyakarta.
_________, 1999, "Pemilihan dan Bentuk Fungsi Model Empirik : Studi Kasus Permintaan Uang
Kartal Riil Di Indonesia," Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 14 No. 3.
Iswardono Sp, 1989. Uang dan Bank Edisi Ke 3, BPFE UGM Yogyakarta
___________, 2001, "Survay Model-Model Inflasi", JEBI No. 1, BPFE, UGM Yogyakarta.
Jaka Sriyana, 2001, "Dampak Ekspansi Fiskal Terhadap Inflasi : Studi Empiris Dengan
Pendekatan Error Correction Model," Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 6 No. 2,
Yogyakarta.
Kamerschen dan David R, 1984. Money and Banking, 8th South-Western Publishing co.
Cinciniati, Ohio.
Sri Endang Novita Sari, 2001. "Penerapan Metode Granger : Analisis Hubungan Jumlah Uang
Beredar dengan Tingkat Pendapatan Nasional dan Jumlah Uang Beredar dengan
Tingkat Inflasi di Indonesia," Skripsi, Semarang.
Sri Suki I, 2001, "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia," Skripsi,
Semarang.
Suhaedi, dkk, 2000. "Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi. "Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 2 No. 4. Bank Indonesia, Jakarta.
Tajul Khalwaty, 2000, Inflasi dan Solusinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN 1
VARIABEL Indonesia
NILAI DF NILAI ADF
LINFt -1,4509 -2,0245
LMIt -0,3751 -4,6468a
LPDBt -0,0525 -1,6903
LERt -0,3420 -1,8492
Rt -2,3498 -2,3224
1% -3,5778 - 4,1678
5% -2,9256 - 3,5088
Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%
b
= Signifikan pada α = 5%
c
= Signifikan pada α = 10%
VARIABEL Indonesia
NILAI DF NILAI ADF
LINFt -4,289a -4,232a
LMIt -7,971a -7,922a
LPDBt -2,750c -2,671
LERt -4,885a -4,858a
Rt -2,934b -2,879
1% -3,5814 - 4,1728
5% -2,9271 - 3,5112
b
= Signifikan pada α = 5%
c
= Signifikan pada α = 10%
Uji Derajat Integrasi Dua Variabel Pengamatan :1990 – 2001
VARIABEL Indonesia
NILAI DF NILAI ADF
a
LINFt -8,261 -8,162 a
LMIt -9,960 a -9,838 a
LPDBt -5,366 a -5,352 a
LERt -9,082 a -8,965 a
Rt -6,161 a -6,121 a
1% -3,5850 - 4,18781
5% -2,9286 - 3,5136
Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%
b
= Signifikan pada α = 5%
c
= Signifikan pada α = 10%
• Uji Kointegrasi
Uji Multikolinearitas
R = f (M1,PDB,ER) 0,427609
Uji Heterokedastisitas
Uji Autokorelasi
Uji Linearitas
Uji Linearitas Indonesia
LAMPIRAN 2
VARIABEL Filipina
NILAI DF NILAI ADF
LINFt -1,885 -2,283
LMIt -1,085 3,683
LPDBt -0,438 -6,756a
LERt -0,430 -1,791
Rt -2,339 -2,843
1% -3,5778 - 4,1678
5% -2,9256 - 3,5088
Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%
b
= Signifikan pada α = 5%
c
= Signifikan pada α = 10%
VARIABEL Filipina
NILAI DF NILAI ADF
a
LINFt -4,241 -4,232a
LMIt -6,990a -7,085a
LPDBt -7,481a -7,389a
LERt -4,806a -4,921a
LR -6,079a -6,074a
1% -3,5814 - 4,1728
5% -2,9271 - 3,5112
Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%
b
= Signifikan pada α = 5%
c
= Signifikan pada α = 10%
• Uji Kointegrasi
Uji Multikolinearitas
M1 = f (PDB,ER, R)
PDB = f (M1,ER,R)
ER = f (M1,PDB, R)
R = f (M1,PDB,ER)
Uji Heterokedastisitas
Uji Linearitas