You are on page 1of 34

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI

DI INDONESIA DAN FILIPINA

( Pendekatan Error Correction Model )

I. Pendahuluan

Inflasi merupakan penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat
menimbulkan dampak yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target
kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi begitu penting untuk diperhatikan mengingat
dampaknya bagi perekonomian yang bisa menimbulkan ketidakstabilan, pertumbuhan
ekonomi yang lambat dan pengangguran yang senantiasa meningkat. Berkenaan dengan
hal tersebut, upaya mengendalikan agar stabil begitu penting untuk dilakukan.

Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak tahun 1997
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di kawasan ini.
Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun.
Akibat krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi Thailand menurun menjadi -0,4 persen. Hal
ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia
mengalami "Significant deteronation", laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya
nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat
baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap
perekonomian. Ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar
-13,0 persen (tahun 1998 ).
Tabel 1

Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN

Tahun 1992 – 2000 ( Persen )

Tahun Indonesia Malaysia Thailand Filipina


Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi
1992 6,5 4,94 7,8 4,70 8,1 4,10 0,3 8,90

1993 7,3 9,77 8,3 3,56 8,3 3,30 2,1 7,60

1994 7,5 9,24 9,2 3,70 8,8 5,00 4,4 9,00

1995 8,2 8,64 9,5 3,4 5,7 5,80 4,8 8,10

1996 7,8 6,47 5,6 3,50 5,5 5,90 5,7 8,40

1997 4,7 11,05 7,8 2,70 -0,4 5,60 5,1 6,00

1998 -13,0 77,63 -6,4 5,30 -8,0 8,10 -0,6 9,70

1999 0,8 2,01 10,5 2,50 6,5 0,70 4,6 4,30

2000 4,9 9,35 7,7 1,40 2,6 1,30 4,8 6,60

Sumber : Laporan Mingguan Bank Indonesia Beberapa Edisi

Perekonomian Malaysia menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup


tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, namun akibat krisis ekonomi mengalami
penurunan menjadi –6,4 persen. Pertumbuhan ekonomi Filipina sebelum krisis melanda
relatif baik, pada saat krisis terjadi pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sampai
–0,6 persen (tahun 1998).

Pada saat krisis ekonomi melanda negara-negara ASEAN, tingkat inflasi


mengalami peningkatan. Inflasi yang terjadi di suatu negara sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor domestik dan faktor dari luar negeri. Dari Tabel 1 terlihat laju inflasi di
beberapa negara ASEAN sangat berfluktuasi. Indonesia merupakan negara yang paling
tinggi tingkat inflasinya, dan paling berfluktuatif. Pada tahun 1992 tingkat inflasi
Indonesia sebesar 4,94 persen, dan pada tahun-tahun berikutnya cenderung meningkat.
Pada saat krisis ekonomi serta ketidakstabilan sosial politik pada tahun 1998 inflasi
meningkat tajam sampai 77,63 persen.

Malaysia dengan laju inflasi 4,70 persen pada tahun 1992 dan terus menurun
hingga tahun 1997 yaitu 2,70 persen, tetapi tahun 1998 laju inflasi meningkat menjadi
5,30 persen. Thailand juga mengalami Inflasi yang cukup berfluktuatif dari 4,10 persen
pada tahun 1992 menjadi 8,10 persen pada tahun 1998. Tingkat Inflasi di Filipina relatif
tinggi dibanding negara lainnya di ASEAN. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 laju
inflasi mencapai 9,70 persen.

Bagi Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam upaya


membangun kembali perekonomian, tingkat inflasi yang tinggi harus dihindari sehingga
momentum pembangunan menjadi sehat dan kegairahan dunia usaha yang berada pada
tingkat yang tinggi tetap dapat terpelihara. Namun kesemuanya itu tidaklah mudah dan
memerlukan perhatian yang besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi sangat
beragam sehingga perlu diketahui bagaimana perilaku inflasi dalam jangka pendek dan
jangka panjang, sehingga memudahkan pemerintah dalam menerapkan kebijaksanaan
pengendalian inflasi.

Penelitian ini ingin mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dalam


jangka pendek dan jangka pangjang khususnya di negara Indonesia dan Filipina. Hal ini
mengingat tingkat inflasi yang cukup tinggi dan fluktuatif di kedua negara ASEAN ini .

II. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia


dan

Filipina dalam jangka pendek dan jangka panjang.

2. Menganalisis seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap tingkat


inflasi di Indonesia dan Filipina dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Kegunaan :

Kajian ini diharapkan menjadi bahan informasi dan masukan bagi pemerintah khususnya
otoritas moneter sebagai bahan pertimbangan dalam upaya memutuskan dan
mengimplementasikan kebijakan di bidang moneter.

III. Landasan Teori

1. Teori Inflasi

Menurut A.P. Lehner inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan
(Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan
(Anton H. Gunawan, 1991). Sementara itu Ackley mendefinisikan inflasi sebagai suatu
kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam
barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan
dikatakan sebagai inflasi (Iswardono, 1990). Menurut Boediono (1995) inflasi adalah
kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang
lain. Inflasi diakibatkan oleh :

1. Demand-Pull Inflation

Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan
produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati
kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full-employment) telah
tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja
(sering disebut dengan inflasi murni).

i. Cost-Push Inflation
Cost push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi
yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan
dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi.
Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi.

1. Teori Permintaan Uang Keynes

a. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga

Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi dan
berjaga-jaga tergantung dari pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan, maka besar
keinginan akan uang kas untuk transaksi dan berjaga-jaga. Seseorang atau masyarakat
yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak
dibanding seseorang masyarakat yang pendapatannya rendah.

b. Permintaan uang untuk tujuan spekulasi

Permintaan uang untuk tujuan spekulasi, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat
bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang
kas untuk tujuan tujuan / motifasi spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga
naik, berarti ongkos memegang uas kas (opportunity cost of holding money) makin
besar / tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan uang kas akan makin kecil.
Sebaliknya, makin rendah tingkat bunga makin besar keinginan masyarakat untuk
menyimpan uang kas. Kedua, hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan
adanya tingkat bunga "normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga
yang baru-baru terjadi.

Menurut Keynes terjadinya inflasi disebabkan oleh permintaan agregat sedangkan


permintaan agregat ini tidak hanya karena ekspansi bank sentral, namun dapat pula
disebabkan oleh pengeluaran investasi baik oleh pemerintah, maupun oleh swasta dan
pengeluaran konsumsi pemerintah yang melebihi penerimaan (defisit anggaran belanja
negara) dalam kondisi full employment. Secara garis besar Keynes menyebutkan bahwa
inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya.
Pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi sering menjadi penyebab tingginya
tingkat inflasi, naiknya jumlah uang beredar akan menaikkan permintaan agregat
(agregate demand) yang pada akhirnya jika tidak diikuti oleh pertumbuhan di sektor riil
akan menyebabkan naiknya tingkat harga. Hal ini berarti jika pertumbuhan di sektor
moneter yang dicerminkan oleh meningkatnya jumlah uang beredar diikuti dengan
pertumbuhan di sektor riil yang dicerminkan oleh pertumbuhan GDP, maka peristiwa
meningkatnya inflasi bisa diminimalisir.

2. Tingkat Suku Bunga

Menurut Nopirin ( 1996 ) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh
peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman
atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan
membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan.
Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa
depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi
antara permintaan dan penawaran (Suhaedi, 2000).

Suku bunga dibedakan menjadi dua, suku bunga nominal dan suku bunga riil.
Suku bunga nominal adalah rate yang dapat diamati di pasar. Sedangkan suku bunga riil
adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga
nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.

Tingkat suku bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat


harga, ketika tingkat harga tinggi dimana jumlah uang yang beredar di masyarakat
banyak sehingga konsumsi masyarakat tinggi akan diantisipasi oleh pemerintah dengan
menetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga tinggi yang
diharapkan kemudian adalah berkurangnya jumlah uang beredar sehingga permintaan
agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi.
3. Teori Paritas Daya Beli

Teori paritas daya beli pertama kali dikemukakan oleh Gustav Cassell 1922
(Khalwaty, 2000 ) mengandung dua pengertian, yaitu pengertian absolut dan pengertian
relatif. Pengertian absolute mengatakan bahwa kurs keseimbangan di antara mata uang
dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara harga absolute luar
negeri dan harga absolute dalam negeri. Sedangkan pengertian relatif menyatakan bahwa
prosentase perubahan kurs keseimbangan di antara mata uang dalam negeri dan mata
uang luar negeri merupakan rasio antara prosentase perubahan harga dalam negeri dan
prosentase perubahan harga luar negeri, sehingga prosentase perubahan kurs tersebut
mencerminkan perbedaan tingkat inflasi di antara dua negara.

Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama
masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar
hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar
merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak kerja
seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa
teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai tukar
dengan tingkat harga.

Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara
tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi suatu negara lebih tinggi
dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik
lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan
naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan
dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian supply dari mata uang asing akan
turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang
domestik akan turun atau terdepresiasi).

4. Teori Produk Domestik Bruto

Menurut pendekatan produksi, Produk Domestik Bruto ( PDB ) adalah jumlah


nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu
negara dalam jangka waktu setahun (Dumairy, 1990). Kesempatan kerja dalam
perekonomian akan menentukan tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat produksi atau
pendapatan nasional yang dihasilkan.

Dalam analisis IS-LM keseimbangan kegiatan perekonomian ditentukan oleh


interaksi keadaan di pasar uang dan pasar barang. Keseimbangan pendapatan nasional
tercapai apabila sifat hubungan diantara suku bunga dengan pendapatan nasional yang
berlaku di pasar barang adalah sama dengan yang berlaku di pasar uang, yaitu bila kurva
IS berpotongan dengan kurva LM. Dalam analisis IS-LM dapat diperhatikan efek
kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi kegiatan perekonomian. Kebijakan-
kebijakan pemerintah yang dijalankan yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Pendapatan riil masyarakat berpengaruh terhadap tingkat inflasi. Apabila pendapatan riil
masyarakat turun maka inflasi akan meningkat (Sukirno, 2000).

IV. Hipotesis

Dengan mendasarkan pada latar belakang, landasan teori dan penelitian-penelitian


sebelumnya hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1) Diduga ada pengaruh positif antara
jumlah uang beredar dan nilai tukar (Exchange Rate) dengan tingkat inflasi. 2) Diduga
ada pengaruh negatif antara Produk Domestik Bruto riil dan tingkat suku bunga dengan
tingkat inflasi.

V. Metode Penelitian

1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah laju inflasi sebagai variabel


dependen, sementara jumlah uang beredar, PDB riil, nilai tukar (Exchange Rate), tingkat
suku bunga sebagai variabel independen. Definisi operasional untuk masing-masing
variabel adalah :
1. Tingkat Inflasi

Adalah kenaikan harga secara umum dan terus menerus, kenaikan harga harus
meliputi semua macam barang dan jasa. Data menggunakan Indeks Harga Konsumen
yang dinyatakan dalam satuan persen.

2. Jumlah Uang Beredar

Dalam penelitian ini data mengenai jumlah uang beredar diambil dari data uang
dalam arti sempit ( M1 ), dengan satuan milyar rupiah dan milyar peso.

3. Produk Domestik Bruto Riil (PDB Riil)

PDB riil adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir berdasarkan harga konstan yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu
setahun, dengan satuan milyar rupiah dan milyar peso .

4. Nilai Tukar (Exchange Rate)

Dalam penelitian ini, nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar masing-masing
negara yaitu dolar AS terhadap rupiah, dan dolar AS terhadap peso.

5. Tingkat Suku Bunga

Variabel tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku
bunga deposito berjalan satu bulan pada bank-bank pemerintah yang dinyatakan
dalam satuan persen.

a. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan sekunder runtun waktu (time series)
kuartalan yang diperoleh dari berbagai sumber seperti International Financial
Statistic (IFS), statistik ekonomi dan keuangan Indonesia, laporan mingguan dan
laporan bulanan serta laporan tahunan Bank Indonesia, serta indikator ekonomi.
Kurun waktu penelitian dari kuartal I tahun 1990 sampai kuartal IV tahun 2001.
b. Metode Analisis

Berdasarkan pada teori dan hipotesis yang diajukan, inflasi (INF) dipengaruhi oleh
jumlah uang beredar (M1), produk domestik bruto (PDB), nilai tukar (ER) dan tingkat
suku bunga (Rt). Model matematisnya adalah :

INFt = f (M1t . PDBt . ERt . Rt) …………………………………………..(1 )

Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model dinamis, yaitu
menggunakan Error Correction Model (ECM). Model dinamis ECM yang digunakan
adalah sebagai berikut :

DLINFt = π 0 + π 1 DLM1t + π 2 DLPDBt + π 3 DLERt +π 4 DRt + π 5 BLM1t +

π 6 BLPDBt + π 7 BLERt + π 8BRt + π 9 ECT……..……..…..….( 2 )

Sebelum dilakukan estimasi dengan menggunakan ECM, dilakukan sejumlah pengujian


meliputi :

• Uji akar-akar unit

Dalam model otoregresif, uji akar-akar unit merupakn sebagai uji stationaritas, karena
pada prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari
model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam penelitian ini
digunakan uji akar-akar unit yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979 – 1981)
yang menaksir model otoregresif dari masing-masing variabel dengan OLS.

Dxt = a0 + a1 BXt biBi Dxt……………… …( 3 )

Dxt = Co + C1t + C2BXt + diBi Dxt ( 4 )

• Uji Derajat Integrasi


Uji ini dilakukan bila pada uji akar-akar unit data yang diamati ternyata tidak stasioner,
dengan demikian untuk dapat melakukan uji derajat integrasi perlu ditaksir model
otoregresif berikut ini dengan OLS.

D2Xt = C0 + C1 BDxt + f1 B1 D2 X……………………….……( 5 )

D2Xt = g0 + g1T BDXt + hi Bi D2 Xt…………………………..( 6 )

Dimana : D2Xt = Dxt – Dxt-1

BDxt = DXt-1

• Pendekatan Kointegrasi

Tujuan utama dari uji kointegrasi adalah untuk mengkaji apakah Residual regresi
stasioner atau tidak. Pengujian ini sangat penting bila dikembangkan sebagai model
dinamis, khususnya Error Correction Model yang mencakup variabel kunci-kunci pada
regresi kointegrasi terkait, hal ini karena Error Correction Model konsisten dengan
konsep kointegrasi atau selanjutnya lebih dikenal dengan Granger Representation
Theory (Insukindro,1993). Pendekatan kointegrasi berkaitan dengan upaya menghindari
terjadinya regresi lancung yang akan mengakibatkan regresi penaksir tidak efisien.

• Uji Asumsi Klasik

a. Uji Multikolinearitas (Multicollinearity Test )

Multikolinearitas adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel bebas diantara satu


dengan yang lainnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada
tidaknya multikolinearitas adalah dengan melakukan "regresi parsial" .

a. Uji Heterokedastisitas (Heterocedasticity Test)

Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linear klasik adalah homokedastisitas atau
varian yang sama. Salah satu metode yang dapat digunakan ada tidaknya
heterokedastisitas dalam satu varian error term ( VI ) suatu model regresi adalah metode
Park.

a. Uji Autokorelasi (Autocorelation Test)

Autokorelasi atau korelasi serial diantara error terms pada serangkaian observasi yang
diurutkan menurut runtun waktu (time series ) atau antar ruang (cross section). Salah satu
cara untuk mendeteksi autokorelasi untuk model regresi adalah Breusch-Godfrey Test
atau B-G Test.

a. Uji Linearitas

Asumsi uji ini mengharuskan bahwa parameter model regresi yang digunakan adalah
linear (Gujarati, 1995). Untuk mengetahui apakah spesifikasi model regresi yang kita
gunakan sudah benar atau tidak maka perlu dilakukan uji linearitas.

VI. Hasil dan Pembahasan

a. Hasil estimasi tingkat inflasi di Indonesia

Semua data yang akan dianalisis diuji terlebih dahulu apakah stasioner atau tidak
stasioner. Uji stasionaritas yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa semua
variabel stasioner pada derajat intergrasi dua ( lihat lampiran 1 ). Setelah uji stasionaritas,
dilakukan uji kointegrasi, hasilnya adalah pada á = 5% residual
persamaan kointegrasi telah stasioner pada derajat nol, sehingga
variabel-variabel yang diamati mempunyai hubungan jangka panjang.

Hasil uji diagnostik meliputi uji autokorelasi, heteroskedastisitas,


multikolinearitas, dan linearitas atas semua variabel penelitian disimpulkan bahwa model
yang digunakan lolos dari uji asumsi klasik tersebut (lihat lampiran 1). Sehingga model
yang digunakan cukup sahih.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan error
correction model (ECM), diperoleh hasil estimasi tingkat inflasi di Indonesia sebagai
berikut :

Tabel 2

Hasil Estimasi Model ECM Tingkat Inflasi di Indonesia

Variabel Indonesia
Koefisien t-statistik Probability
DLMIt 0.447589 5.114126 0.0000
DLPDBt -1.913290 -3.544578 0.0011
DLERt 2.236640 17.49145 0.0000
DRt -0.255959 -2.384847 0.0223
BLMIt -0.054400 -0.226502 0.8221
BLPDBt -1.744339 -8.179323 0.0000
BLERt 0.433415 3.667364 0.0008
BRt -0.688240 -5.214162 0.0000
ECT 0.558540 5.273399 0.0000
C 1.554159 3.374362 0.0017
R-squared 0.935384
Adjusted R2 0.919666
DW stat 2.104247
Prob(F-stat) 0.000000

Sumber : data sekunder yang diolah

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada model tersebut
signifikan dan bertanda positif untuk estimasi model ECM tingkat inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil estimasi model ECM di atas dapat diketahui bahwa dalam jangka
pendek maupun jangka panjang variabel yang digunakan dalam penelitian ini
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Nilai R2 sebesar
0,9353 dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah
cukup baik, sebab hanya sekitar 6,5 persen variasi variabel terikat dipengaruhi oleh
variabel bebas di luar model.
Dengan demikian maka diketahui bahwa estimasi model jangka pendek tingkat
inflasi di Indonesia dapat dirumuskan dalam persamaan berikut :

DLINFt = 1.5542 + 0.4476DLMIt – 1,9133DLPDBt + 2,2366DLERt -


0,2559DLRt

– 0,0544BLMIt – 1,7433BLPDBt + 0,4334BLERt – 0,6882BRt +


0,5585ECT

Sedangkan untuk estimasi jangka panjang persamaannya adalah sebagai berikut :

LINFt = 3,782 + 0,9026LMIt – 2,124LPDBt + 1,776LERt - 0,233LRt

• Pembahasan hasil estimasi variabel yang mempengaruhi inflasi di Indonesia

1. Pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi


di Indonesia

Jumlah uang beredar ternyata mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh
secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Koefisien regresi sebesar 0,4476 dalam persamaan jangka pendek
menunjukkan bahwa dengan naiknya jumlah uang beredar sebesar 1 persen, akan
menaikkan tingkat inflasi sebesar 0,4476 persen. Sedangkan dalam jangka panjang
dimana koefisien regresi sebesar 0,9026 berarti kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1
persen akan menaikkan tingkat inflasi sebesar 0,9026 persen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah uang beredar baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkatkan inflasi. Hasil ini
menegaskan kembali hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Jaka Sriyana (2001),
Sri Suki I (2001), Sri Endang Novita Sari (2001) dan Tajudin Parenta (1983) yang
menyatakan bahwa tingkat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.

2. Pengaruh PDB terhadap tingkat inflasi di Indonesia

PDB riil ternyata mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Koefisien regresi variabel PDB sebesar –1,1933 dalam jangka pendek, hal ini
menunjukan bahwa dengan naiknya PDB Indonesia sebesar 1 persen akan menurunkan
tingkat inflasi sebesar 1,1933 persen. Dalam jangka panjang koefisien regresi sebesar –
2,124. Hal ini menunjukkan bahwa dengan naiknya PDB sebesar 1 persen akan
menurunkan tingkat inflasi sebesar 2,124 persen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan PDB dalam jangka pendek


maupun jangka panjang akan menurunkan tingkat inflasi sangat signifikan di Indonesia.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk selalu mendorong
pertumbuhan sektor riil, antara lain dengan memberikan kemudahan bagi kalangan dunia
usaha serta iklim yang kondusif supaya pertumbuhan ekonomi selalu meningkat dari
tahun ke tahun.

3. Pengaruh nilai tukar terhadap tingkat inflasi di Indonesia

Nilai tukar ternyata mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara


signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Koefisien regresi nilai tukar rupiah sebesar 2,2366 dalam jangka pendek menunjukan
bahwa dengan naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar 1 persen dalam jangka
pendek, akan menaikkan tingkat inflasi sebesar 2,2366 persen. Sedangkan koefisien
regresi nilai tukar dolar terhadap rupiah dalam jangka panjang sebesar 1,776 berarti
bahwa jika nilai tukar dolar mengalami kenaikan (apresiasi) sebesar 1 persen dalam
jangka panjang, maka inflasi akan naik pula sebesar 1,776 persen.

Hasil penelitian tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Jaka Sriyana (2001) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif
dan signifikan antara nilai tukar terhadap tingkat inflasi. Untuk menjaga kestabilan harga
di dalam negeri, maka otoritas moneter malalui kebijakannya diharapkan dapat menjaga
kestabilan rupiah terhadap dolar dalam batas yang wajar dan aman. Depresiasi nilai
rupiah sangat rentan dampaknya terhadap laju inflasi di Indonesia baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.

4. Pengaruh tingkat suku bunga terhadap tingkat inflasi di Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang terdapat hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan antara tingkat suku
bunga terhadap inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek nilai koefisien tingkat suku
bunga sebesar –0,2566. Hal ini berarti apabila dalam jangka pendek tingkat suku bunga
naik sebesar 1 persen, maka tingkat inflasi Indonesia turun sebesar 0,2566 persen. Nilai
koefisien regresi tingkat suku bunga Indonesia dalam jangka panjang sebesar -0,233. Hal
tersebut berarti bahwa apabila dalam jangka panjang tingkat suku bunga naik sebesar 1
persen, maka tingkat inflasi Indonesia akan mengalami penurunan sebesar -0,233 persen.
Suku bunga merupakan variabel yang paling kecil pengaruhnya terhadap laju inflasi di
Indonesia. Oleh karena itu bagi otoritas moneter kebijakan meningkatkan suku bunga
untuk mengendalikan inflasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat efek
samping yang kurang baik terhadap iklim investasi.

a. Hasil estimasi tingkat inflasi di Filipina

Uji stasionaritas yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa pada á = 5%


semua variabel stasioner pada derajat intergrasi satu ( lihat lampiran 2
). Hasil uji kointegrasi, pada á = 5% residual persamaan kointegrasi
telah stasioner pada derajat nol, sehingga variabel-variabel yang
diamati mempunyai hubungan jangka panjang.

Hasil uji diagnostik meliputi uji autokorelasi, heteroskedastisitas,


multikolinearitas, dan linearitas atas semua vriabel penelitian disimpulkan bahwa model
yang digunakan lolos dari uji asumsi klasik tersebut (lihat lampiran 2 ). Sehingga model
yang digunakan cukup sahih.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan error
correction model (ECM), hasil estimasi tingkat inflasi di Filipina sebagai berikut :

Tabel 3

Hasil Estimasi Model ECM Tingkat Inflasi Filipina

Variabel Flipina
Koefisien t-statistik Probability
DLMIt 0.128555 2.066404 0.0458
DLPDBt -0.169961 -2.823407 0.0076
DLERt 0.419078 5.330474 0.0000
DRt -0.252438 -7.419776 0.0000
BLMIt -1.186139 -9.483660 0.0000
BLPDBt -0.796418 -6.858851 0.0000
BLERt -0.625406 -8.715276 0.0000
BRt 0.191816 5.734196 0.0000
ECT 0.687111 16.52885 0.0000
C 1.582513 5.563123 0.0000
R-squared 0.957860
Adjusted R2 0.947610
DW stat 1.654643
Prob(F-stat) 0.000000

Sumber : data sekunder yang diolah

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada persamaan tersebut
signifikan dan bertanda positif untuk estimasi model ECM tingkat inflasi di Filipina.
Dengan demikian model ECM sukses dan dapat digunakan untuk mengestimasi fungsi
tingkat inflasi di Filipina selama periode penelitian.

Berdasarkan hasil estimasi dengan ECM di atas dapat diketahui bahwa dalam
jangka pendek maupun jangka panjang variabel yang digunakan dalam penelitian ini
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi Filipina. Nilai R2 sebesar 0,9578
dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah cukup
baik yaitu sebesar 4,3 persen variasi variabel terikat dipengaruhi oleh variabel bebas di
luar model.
Dengan demikian maka diketahui bahwa estimasi model jangka pendek tingkat
inflasi di Filipina dapat dirumuskan dalam persamaan berikut :

DLINFt = 1,5825 + 0,1286DLMIt – 0,1699DLPDBt + 0,4191DNERt –


0,2524DRt

– 1,1861BLMIt –0,7964BLPDBt –0,6254BLERt + 0,1918BRt +0,6871ECT

Sedangkan untuk estimasi jangka panjang persamaannya adalah sebagai berikut :

LINFt = 3,303 - 0,727LMIt - 0,159LPDBt + 0,089LERt + 1,279Rt

• Pembahasan hasil estimasi variabel yang mempengaruhi inflasi di Filipina

1. Pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi di Filipina

Jumlah uang beredar ternyata mempunyai hubungan positif dan berpengaruh


secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina dalam jangka pendek. Koefisien
regresi sebesar 0,1286 dalam persamaan jangka pendek menunjukan bahwa dengan
naiknya jumlah uang beredar sebesar 1 persen, akan menaikkan tingkat inflasi sebesar
0,1286 persen. Sedangkan dalam jangka panjang koefisien regresi sebesar -0,727 berarti
kenaikan jumlah uang beredar riil sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat inflasi
sebesar sebesar 0,727 persen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah uang beredar dalam


jangka pendek akan meningkatkan inflasi. Tetapi dalam jangka panjang peningkatan
jumlah uang beredar akan mengurangi laju inflasi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di
Indonesia bahwa jumlah uang beredar berdampak positif terhadap inflasi baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
2. Pengaruh pendapatan nasional terhadap tingkat inflasi di Filipina

Pendapatan Nasional riil ternyata mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh


secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Dalam jangka pendek nilai koefisien regresi PDB sebesar –0,1699, hal ini
menunjukan bahwa dengan naiknya pendapatan nasional sebesar 1 persen akan
menurunkan tingkat inflasi sebesar 0,1699 pesen. Dalam jangka panjang nilai koefisien
regresi PDB sebesar -0,159 hal ini menunjukkan bahwa apabila dalam jangka panjang
pendapatan nasional Filipina naik 1 persen maka inflasi akan turun sebesar 0,159 persen.

Dari hasil kajian empiris ini diharapkan pemerintah Filipina dapat selalu
meningkatkan pertumbuhan ekonominya ( PDB riil ) dalam jangka panjang sehingga
supply barang dan jasa selalu terpenuhi dan laju inflasi bisa terkendali.

3. Pengaruh nilai tukar terhadap tingkat inflasi di Filipina

Nilai tukar ternyata mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara


signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang.
Koefisien regresi nilai tukar dolar AS terhadap Peso Filipina dalam jangka pendek
sebesar 0,4191, hal ini berarti bahwa jika nilai tukar dolar AS terhadap Peso Filipina
mengalami kenaikan sebesar 1 persen, maka inflasi akan mengalami kenaikan pula
sebesar 0,4191 persen. Sedangkan dalam jangka penjang, koefisien regresi nilai tukar
dolar AS terhadap Peso Filipina sebesar 0,089 berarti bahwa jika nilai tukar mengalami
kenaikan sebesar 1 persen dalam jangka panjang, maka inflasi juga akan meningkat
sebesar 0,089 persen.

Volatilitas nilai peso terhadap dolar AS sangat berpengaruh terhadap laju inflasi,
sehingga otoritas moneter harus mampu menjaga agar nilai peso terhadap dolar AS
terkendali dan cenderung menguat supaya inflasi tetap rendah.

4. Pengaruh tingkat suku bunga terhadap tingkat Inflasi Filipina

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek terdapat hubungan


negatif dan berpengaruh secara signifikan antara tingkat suku bunga terhadap inflasi.
Nilai koefisien tingkat suku bunga sebesar –0,2524 berarti bahwa apabila dalam jangka
pendek tingkat suku bunga naik sebesar 1 persen, maka tingkat inflasi akan turun sebesar
0,2524 persen. Sedangkan dalam jangka panjang tingkat suku bunga ternyata
berhubungan positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina. Nilai koefisien
regresi tingkat suku bunga dalam jangka panjang sebesar 1,279. Hal tersebut berarti
bahwa apabila dalam jangka panjang tingkat suku bunga naik sebesar 1 persen, maka
tingkat inflasi tingkat inflasi Filipina akan naik sebesar 1,279 persen.

Dari hasil enpiris ini pengendalian inflasi melalui peningkatan suku bunga hanya
efektif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang suku bunga diharapkan suku bunga
relatif rendah sehingga bisa mendorong sektor riil dan mengurangi laju inflasi di Filipina.

VII. Penutup

• Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut :

1. Variabel jumlah uang beredar dalam jangka pendek maupun jangka panjang
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di
Indonesia. Semakin tinggi jumlah uang beredar baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan inflasi. Hasil temuan di Filipina,
dalam jangka pendek variabel jumlah uang beredar mempunyai hubungan positif dan
signifikan terhadap tingkat inflasi, tetapi dalam jangka panjang mempunyai hubungan
yang negatif dan berpengaruh secara signifikan.

2. Variabel pendapatan nasional dalam jangka pendek dan jangka panjang


mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
inflasi baik di Indonesia maupun di Filipina. Hal ini berarti meningkatnya pendapatan
nasional akan menurunkan tingkat inflasi baik di Indonesia maupun di Filipina.
3. Variabel nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai
hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi baik di
Indonesia maupun di Filipina. Kenaikkan nilai tukar baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang akan menaikkan tingkat inflasi baik di Indonesia
maupun di Filipina.

4. Variabel tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang
mempunyai hubungan negative dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Berarti Kenaikkan tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang akan menurunkan tingkat inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek variabel
tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat
inflasi di Filipina, dalam jangka panjang variabel tingkat bunga mempunyai
hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan.

o Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini berdasarkan hasil yang telah
diperoleh adalah :

1. Otoritas moneter di kedua negara harus dapat mengendalikan jumlah uang beredar
dalam batas yang wajar dan aman sesuai dengan kondisi masing-masing negara
apabila menginginkan tingkat inflasi yang rendah atau stabil.

2. Untuk mengerem laju inflasi, maka pemerintah di Indonesia dan Filipina harus
mampu menyediakan barang dan jasa ( PDB ) secara memadai untuk memenuhi
kebutuhan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu meningkat.

3. Pemerintah Indonesia dan Filipina harus dapat menjaga kestabilan nilai tukar
mata uangnya terhadap dolar AS dalam rentang yang aman dan terkendali.

4. Tingkat suku bunga sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi
peningkatan inflasi juga harus dikendalikan agar supaya tidak menggangu iklim
berinvestasi bagi para investor.
DAFTAR PUSTAKA

Anang Sukendar, 2000. "Pengujian dan Pemilihan Model Inflasi Dengan Non Nested Test Studi
Kasus Perekonomian Indonesia Periode (1969 – 1997)." Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia Vol. 15, No. 2. BPFE UGM, Yogyakarta.

Anton H. Gunawan, 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Boediono, 1995, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5 : Ekonomi Moneter. BPFE,
Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, Beberapa Edisi, Jakarta.

Bank Indonesia, Laporan Mingguan, 1999 / 2000. Jakarta.

Gujarati, Damodar, 1995, Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta.

IMF, International Financial Statistic, 1985, 1990, 1995, 1999.

Insukindro, 1990, "Komponen Koefisien Regresi Jangka Panjang Model Ekonomi : Sebuah Studi
Kasus Impor Barang di Indonesia," Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Edisi September,
Yogyakarta.

Insukindro, 1992, "Pembentukan Model dalam Penelitian Ekonomi", Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, No. 1 Tahun VII, Yogyakarta.

Insukindro, 1995. Ekonomi Uang dan Bank, Teori Pengalaman di Indonesia, BPFE, Yogyakarta.

_________, 1998, "Sindrum R2 Dalam Analisis Regresi Linier Runtut Waktu, "Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indoensia, Vol. 13 No. 4, BPFE, Yogyakarta.

_________, 1999, "Pemilihan Model Empirik dengan Pendekatan Koreksi Kesalahan," Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No. 1 Vol. 14, BPFE, Yogyakarta.

_________, 1999, "Pemilihan dan Bentuk Fungsi Model Empirik : Studi Kasus Permintaan Uang
Kartal Riil Di Indonesia," Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 14 No. 3.

Iswardono Sp, 1989. Uang dan Bank Edisi Ke 3, BPFE UGM Yogyakarta

___________, 2001, "Survay Model-Model Inflasi", JEBI No. 1, BPFE, UGM Yogyakarta.

Jaka Sriyana, 2001, "Dampak Ekspansi Fiskal Terhadap Inflasi : Studi Empiris Dengan
Pendekatan Error Correction Model," Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 6 No. 2,
Yogyakarta.
Kamerschen dan David R, 1984. Money and Banking, 8th South-Western Publishing co.
Cinciniati, Ohio.

Mochamad Nazir, 1988, Metode Penelitian, Gladia Indonesia, Jakarta.

Nopirin, 1996, Ekonomi Moneter, Buku I dan II. BPFE-UGM. Yogya.

Sri Endang Novita Sari, 2001. "Penerapan Metode Granger : Analisis Hubungan Jumlah Uang
Beredar dengan Tingkat Pendapatan Nasional dan Jumlah Uang Beredar dengan
Tingkat Inflasi di Indonesia," Skripsi, Semarang.

Sri Suki I, 2001, "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia," Skripsi,
Semarang.

Suhaedi, dkk, 2000. "Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi. "Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 2 No. 4. Bank Indonesia, Jakarta.

Sukirno, Sadono, 2000. Makro Ekonomi Modern, Rajawali Pers, Jakarta.

Suparmoko, 1994. Pengantar Ekonomi Makro. BPFE-UGM Yogyakarta.

Tajul Khalwaty, 2000, Inflasi dan Solusinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Thomas, RL, 1996. Modern Econometric An Introduction, Addisson Wesley.

LAMPIRAN 1

HASIL ESTIMASI MODEL ECM (INDONESIA)

Dependent Variable: DLINFT


Method: Least Squares
Date: 01/12/02 Time: 21:23
Sample(adjusted): 1990:2 2001:4
Included observations: 47 after adjusting endpoints
Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.
t
C 1.554159 0.460579 3.374362 0.0017
DLMIT 0.447589 0.087520 5.114126 0.0000
DLPDBT -1.913290 0.539779 -3.544578 0.0011
DLERT 2.236640 0.127870 17.49145 0.0000
DRT -0.255959 0.107327 -2.384847 0.0223
BLMIT -0.054400 0.240173 -0.226502 0.8221
BLPDBT -1.744339 0.213262 -8.179323 0.0000
BLERT 0.433415 0.118182 3.667364 0.0008
BRT -0.688240 0.131994 -5.214162 0.0000
ECT 0.558540 0.105916 5.273399 0.0000
R-squared 0.935384 Mean dependent var 0.007084
Adjusted R-squared 0.919666 S.D. dependent var 0.379147
S.E. of regression 0.107463 Akaike info criterion -1.437045
Sum squared resid 0.427284 Schwarz criterion -1.043396
Log likelihood 43.77055 F-statistic 59.51224
Durbin-Watson stat 2.104247 Prob(F-statistic) 0.000000

• Uji Akar-akar Unit

Uji Akar-akar Unit Variabel Pengamatan :1990 – 2001

VARIABEL Indonesia
NILAI DF NILAI ADF
LINFt -1,4509 -2,0245
LMIt -0,3751 -4,6468a
LPDBt -0,0525 -1,6903
LERt -0,3420 -1,8492
Rt -2,3498 -2,3224

Nilai Kritis Mac-Kinnon DF ADF

1% -3,5778 - 4,1678
5% -2,9256 - 3,5088

10% -2,6005 - 3,1840

Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%

b
= Signifikan pada α = 5%

c
= Signifikan pada α = 10%

• Uji Derajat Integrasi

Uji Derajat Integrasi Satu Variabel Pengamatan :1990 – 2001

VARIABEL Indonesia
NILAI DF NILAI ADF
LINFt -4,289a -4,232a
LMIt -7,971a -7,922a
LPDBt -2,750c -2,671
LERt -4,885a -4,858a
Rt -2,934b -2,879

Nilai Kritis Mac-Kinnon DF ADF

1% -3,5814 - 4,1728

5% -2,9271 - 3,5112

10% -2,6013 - 3,1854

Keterangan : a = Signifikan pada α = 1%

b
= Signifikan pada α = 5%

c
= Signifikan pada α = 10%
Uji Derajat Integrasi Dua Variabel Pengamatan :1990 – 2001

VARIABEL Indonesia
NILAI DF NILAI ADF
a
LINFt -8,261 -8,162 a
LMIt -9,960 a -9,838 a
LPDBt -5,366 a -5,352 a
LERt -9,082 a -8,965 a
Rt -6,161 a -6,121 a

Nilai Kritis Mac-Kinnon DF ADF

1% -3,5850 - 4,18781

5% -2,9286 - 3,5136

10% -2,6021 - 3,1868

Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%

b
= Signifikan pada α = 5%

c
= Signifikan pada α = 10%

• Uji Kointegrasi

Hasil Uji Kointegrasi

Keterangan Nilai t Hitung Nilai t Tabel


CRDW 1,829 0,78
DF -6,2335 4,76
ADF -4,6915 4,15
• Uji Asumsi Klasik

Uji Multikolinearitas

Uji Multikolinearitas Indonesia

No. Model Regresi Nilai R-square


1. Model Regresi Utama

Infl = f (M1, PDB,ER,R) 0,9355384

2. M Model Auxiliary Regression


I M1 = f (PDB,ER, R)
0,291845
Model Auxiliary Regression II
3.
PDB = f (M1,ER,R)
0,517718
Model Auxiliary Regression III
4.
ER = f (M1,PDB, R)
0,391301
Model Auxiliary Regression
5. IV 0.427609

R = f (M1,PDB,ER) 0,427609

Uji Heterokedastisitas

Uji Heterokedastisitas Indonesia

Variabel T-Statistik P-Value Keputusan


C -0.032964 0.9739 Bebas Heterokedastisitas

DLM1T -0.082049 0.9351 Bebas Heterokedastisitas

DLPDBT -0.306189 0.7612 Bebas Heterokedastisitas

DLERT 0.393818 0.6960 Bebas Heterokedastisitas

DRT -0.231192 0.8184 Bebas Heterokedastisitas

BLM1T -1.002276 0.3227 Bebas Heterokedastisitas

BLPDBT -0.085741 0.9421 Bebas Heterokedastisitas

BLERT 0.935329 0.3557 Bebas Heterokedastisitas

BRT -0.774052 0.4438 Bebas Heterokedastisitas

ECT 0.585377 0.5618 Bebas Heterokedastisitas

Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi Indonesia


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.
t
C -0.101938 0.480701 -0.212062 0.8333
DLMIT 0.028728 0.095231 0.301672 0.7646
DLPDBT -0.067183 0.549229 -0.122322 0.9033
DLERT 0.006911 0.128830 0.053644 0.9575
DRT 0.014761 0.109497 0.134810 0.8935
BLMIT 0.131513 0.293510 0.448069 0.6568
BLPDBT 0.160819 0.296012 0.543285 0.5903
BLERT -0.079031 0.155484 -0.508291 0.6144
BRT 0.104294 0.187427 0.556451 0.5813
ECT -0.089273 0.155485 -0.574158 0.5694
RESID(-1) -0.212056 0.269173 -0.787805 0.4360

Uji Linearitas
Uji Linearitas Indonesia

Ramsey RESET Test:


Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.
t
C 1.562549 0.450941 3.465087 0.0014
DLMIT 0.503399 0.092401 5.447999 0.0000
DLPDBT -2.137272 0.546376 -3.911723 0.0004
DLERT 2.145901 0.137237 15.63645 0.0000
DRT -0.233434 0.105998 -2.202254 0.0341
BLMIT -0.168606 0.245553 -0.686637 0.4967
BLPDBT -1.550194 0.240973 -6.433055 0.0000
BLERT 0.380726 0.120221 3.166895 0.0031
BRT -0.718183 0.130549 -5.501237 0.0000
ECT 0.541625 0.104222 5.196857 0.0000
FITTED^2 0.133308 0.082617 1.613577 0.1154

LAMPIRAN 2

HASIL ESTIMASI MODEL ECM (FILIPINA)

Dependent Variable: DLINFT


Method: Least Squares
Date: 01/13/02 Time: 21:00
Sample(adjusted): 1990:2 2001:4
Included observations: 47 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DLMIT 0.128555 0.062212 2.066404 0.0458
DLPDBT -0.169961 0.060197 - 0.0076
2.823407
DLERT 0.419078 0.078619 5.330474 0.0000
DRT -0.252438 0.034022 - 0.0115
7.419776
BLMIT -1.186139 0.125072 - 0.0087
9.483660
BLPDBT -0.796418 0.116115 - 0.0230
6.858851
BLERT -0.625406 0.071760 - 0.0038
8.715276
BRT 0.191816 0.033451 5.734196 0.0007
ECT 0.687111 0.041570 16.52885 0.0003
C 1.582513 0.284465 5.563123 0.0000
R-squared 0.957860 Mean dependent -
var 0.038426
Adjusted R-squared 0.947610 S.D. dependent var 0.134468
S.E. of regression 0.030778 Akaike info criterion -
3.937703
Sum squared resid 0.035051 Schwarz criterion -
3.544055
Log likelihood 102.5360 F-statistic 93.44693
Durbin-Watson stat 1.654643 Prob(F-statistic) 0.000000

• Uji Akar-akar Unit

Uji Akar-akar Unit Variabel Pengamatan :1990 – 2001

VARIABEL Filipina
NILAI DF NILAI ADF
LINFt -1,885 -2,283
LMIt -1,085 3,683
LPDBt -0,438 -6,756a
LERt -0,430 -1,791
Rt -2,339 -2,843

Nilai Kritis Mac-Kinnon DF ADF

1% -3,5778 - 4,1678

5% -2,9256 - 3,5088

10% -2,6005 - 3,1840

Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%

b
= Signifikan pada α = 5%
c
= Signifikan pada α = 10%

• Uji Derajat Integrasi

Uji Derajat Integrasi Satu Variabel Pengamatan :1990 – 2001

VARIABEL Filipina
NILAI DF NILAI ADF
a
LINFt -4,241 -4,232a
LMIt -6,990a -7,085a
LPDBt -7,481a -7,389a
LERt -4,806a -4,921a
LR -6,079a -6,074a

Nilai Kritis Mac-Kinnon DF ADF

1% -3,5814 - 4,1728

5% -2,9271 - 3,5112

10% -2,6013 - 3,1854

Keterangan : a
= Signifikan pada α = 1%

b
= Signifikan pada α = 5%

c
= Signifikan pada α = 10%

• Uji Kointegrasi

Uji Kointegrasi Model Filipina

Keterangan Nilai t Hitung Nilai t Tabel


CRDW 1,7726 0,78
DF 6,0379 4,76
ADF 4,3273 4,15

• Uji Asumsi Klasik

Uji Multikolinearitas

Perbandingan R-ssquare Model Utama Dengan Auxiliary Regression Antar


Variabel Bebas

No Model Regresi Nilai R-square

1. Model Regresi Utama 0.957860

Infl = f (M1, PDB,ER,R)

2. Model Auxiliary Regression I 0.325348

M1 = f (PDB,ER, R)

3. Model Auxiliary Regression II 0.292896

PDB = f (M1,ER,R)

4. Model Auxiliary Regression III 0.150178

ER = f (M1,PDB, R)

5. Model Auxiliary Regression IV 0.323581

R = f (M1,PDB,ER)

Uji Heterokedastisitas

Uji Heterokedastisitas Filipina

Variabel T-Statistik P-Value Keputusan


C -0.437683 0.6642 Bebas Heterokedastisitas

DLM1T 0.383151 0.7038 Bebas Heterokedastisitas

DLPDBT -0.515476 0.6093 Bebas Heterokedastisitas

DLERT 0.458433 0.6493 Bebas Heterokedastisitas

DRT 0.007091 0.9944 Bebas Heterokedastisitas

BLM1T 0.031653 0.9749 Bebas Heterokedastisitas

BLPDBT -0.174494 0.8624 Bebas Heterokedastisitas

BLERT 0.375725 0.7093 Bebas Heterokedastisitas

BRT 0.188962 0.8512 Bebas Heterokedastisitas

ECT 0.038499 0.9695 Bebas Heterokedastisitas

Uji Linearitas

Uji Linearitas Filipina

Ramsey RESET Test:


Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.
t
DLMIT 0.129798 0.062324 2.082637 0.0444
DLPDBT -0.169643 0.060293 -2.813642 0.0079
DLERT 0.422179 0.078812 5.356760 0.0000
DRT -0.250694 0.034126 -7.346043 0.0000
BLMIT -1.120163 0.143594 -7.800915 0.0000
BLPDBT -0.769402 0.119798 -6.422508 0.0000
BLERT -0.583522 0.084566 -6.900220 0.0000
BRT 0.175810 0.037583 4.677891 0.0000
ECT 0.651269 0.056459 11.53527 0.0000
C 1.552780 0.286664 5.416719 0.0000
FITTED^2 -0.230792 0.245537 -0.939950 0.3535
Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi Filipina

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:


Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 08/23/04 Time: 20:38
Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.
t
DLMIT -0.005270 0.062536 -0.084279 0.9333
DLPDBT -0.024809 0.065663 -0.377819 0.7078
DLERT -0.020948 0.081735 -0.256292 0.7992
DRT -0.014462 0.037298 -0.387750 0.7005
BLMIT 0.024997 0.127952 0.195363 0.8462
BLPDBT -0.066787 0.135781 -0.491876 0.6258
BLERT 0.008709 0.072430 0.120244 0.9050
BRT -0.010484 0.035257 -0.297349 0.7679
ECT 0.005286 0.041991 0.125871 0.9005
C 0.194409 0.350442 0.554754 0.5825
RESID(-1) 0.223917 0.235157 0.952202 0.3473
R-squared 0.024567 Mean dependent var -2.93E-
16
Adjusted R- -0.246387 S.D. dependent var 0.027604
squared
S.E. of regression 0.030817 Akaike info criterion -
3.920024
Sum squared 0.034189 Schwarz criterion -
resid 3.487010
Log likelihood 103.1206 F-statistic 0.090669
Durbin-Watson 1.897742 Prob(F-statistic) 0.999834
stat

You might also like