You are on page 1of 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

Status epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui
meningkat akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan
dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus terjadi tiap tahunnya di
USA mengakibatkan kematian.
1
Secara definisi, status epileptikus adalah
bangkitan epilepsi yang berlangsung terus-menerus selama lebih dari tiga puluh
menit tanpa diselingi oleh masa sadar.
2

Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab
paling sering adalah penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba,
sedangkan penyebab lainnya adalah infark otak mendadak, anoksia otak,
gangguan.metabolisme, dan tumor otak.
2,3

Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi
terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat,
kesulitan bernafas, dan muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinana besar dapat
terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan kematian.
2,4

Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena
status epileptikus juga berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih
belum ada penelitiaan secara epidemiologi.
5
Sedangkan data secara global
menunjukkan bahwa status epileptikus terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang
per tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak.
Lebih dari 15% pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode
status epileptikus. Risiko lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadi status
epileptikus adalah usia muda, genetik, serta kelainan pada otak. Angka kematian
pada penderita status epileptikus pada dewasa sebesar 15-20% dan 3-15% pada
anak-anak. Kemudian, status epileptikus dapat menimbulkan komplikasi jangka
panjang akut berupa hipertermia, edema paru, aritmia jantung serta kolaps
kardiovaskular. Sedangkan untuk komplikasi jangka panjang dari status
2

epileptikus yaitu epilepsi (20-40%), ensefalopati (6-15%) dan defisit neurologis
fokal (9-11%) .
6
Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana cara
penatalaksanaan status epileptikus dengan tepat agar dapat menekan angka
morbiditas dan mortalitasnya.























3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang terus menerus yang
berlangsung lebih lama dari 30 menit atau terjadi kejang secara seri yang
antaranya tidak pernah sadar. Status epileptikus dapat digolongkan sebagai
menyeluruh (tonik-klonik, linglung) atau parsial (sederhana, kompleks, atau
dengan generalisasi sekunder). Kejang tonik-klonik menyeluruh dominan pada
kasus status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang
memerlukan pendekatan terorganisasi dan trampil agar meminimalkan mortalitas
dan morbiditas yang menyertai.
7
Menurut epilepsion foundation, status epileptikus
didefinisikan sebagai dua atau lebih rangkaian kejang yang berurutan dimana
tidak ada pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas yang terus menerus
selama lebih dari 30 menit.
8,9
Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area
tertentu di korteks (partial onset) atau kedua hemisfer otak (generalized onset)
sedangkan jika berdasarkan pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas
konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik) dan non kunvulsif (bangkitan bukan
umum tonik-klonik).
9
Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens,
atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).

2.2. Epidemiologi
Status epileptikus terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun, di
tercatat ada 65.000 kasus per tahunnya.
10
Status epileptikus konvulsif umum
merupakan jenis status epileptikus yang paling sering muncul di bandingkan
dengan jenis status epileptikus lain.
9
sedangkan status epileptikus parsial
4

kompleks merupakan status epileptikus yang paling jarang terjadi di bandingkan
dengan yang lain bahkan di pusat-pusat rujukan epilepsi anak.
9

Status epileptikus tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin, pada laki-laki dan
perempuan sama. Status epileptikus juga diyakini tidak kecenderungan ras atau
etnis tertentu. Frekuensi usia status epileptikus mungkin mengikuti kurva sama
dengan kejadian kejang pada umumnya. Sampai dengan 70% kasus status
epileptikus terjadi pada anak. Namun, kejadian status epileptikus tertinggi pada
populasi lebih tua yaitu usia lebih dari 60 tahun pada 83 kasus per 100.000
penduduk.

2.3. Etiologi
Ada tiga suptipe utama status epileptikus pada anak; kejang demam lama,
status epileptikus idiopatik dimana kejang berkembang pada tidak adanya lesi atau
serangan sistem saraf sentral yang mendasari, dan status epileptikus bergejala bila
kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang
lama. Kejang demam berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak
yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang
paling lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita yang mengalami
penghentian antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturat)
yang disertai dengan status epileptikus. Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan
yang tidak taat adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus
.7

Status epileptikus dapat juga merupakan tanda awal epilepsi. Kurang tidur
dan infeksi yang menyelahi cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan
terhadap status epileptikus. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan
kejang demam lama dan status epileptikus idiopatik adalah rendah. Status
epileptikus karena penyebab lain mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan
penyebab kematian biasanya secara langsung dapat dianggap berasal dari
kelainan ynag mendasari.
7

Status epileptikus idiopatik, banyak dari anak ini sebelumnya tidak
mengalami konvulsi. Ensefalopati anoksik berat datang dengan kejang selama
umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan pengurangan
5

dalam pengendalian kejang. Konvulsi yang lama dapat merupakan manifestasi
awal ensefalitis, dan epilepsi dapat merupakan komplikasi meningitis jangka
lama. Bayi dengan malformasi otak kongenital (misal lissensefali atau
skisensefali) dapat mengalami episode status epileptikus berulang yang sering kali
refrakter terhadap antikonvulsan. Kesalahan metabolik bawaan metabolisme dapat
datang dengan status epileptikus pada bayi baru lahir. Bayi-bayi ini sering
mengalami kehilangan kesadaran secara progresif yang disertai dengan kegagalan
tumbuh dan muntah yang berlebihan. Kelainan elektrolit, hipokalsemia,
hipoglikemia, inttoksikasi obat, sindrom Reye, hiperpireksia ekstrem, dan tumor
otak, terutama pada lobus frontalis merupakan penyebab tambahan status
epileptikus.
7

Status epileptikus dapat disebabkan beberapa faktor. Selain itu status
epileptikus juga dapat mewakili eksaserbasi dari gangguan kejang yang sudah ada
sebelumnya, manifestasi awal dari gangguan kejang, atau hal berat selain
gangguan.kejang.
9

Penyebab paling umum pada pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya
adalah perubahan dalam pengobatan. Banyak kondisi lain yang juga dapat
menimbulkan status epileptikus termasuk penyebab toksik atau metabolik dan
apapun yang mungkin menghasilkan kerusakan struktur kortikal yaitu stroke,
cedera akibat hipoksia, tumor, subarachnoid hemorrahage, trauma kepala, obat-
obatan (misal kokain, teofilin), kelainan elektrolit (misalnya hiponatremia,
hipernatremi, hiperkalsemi, ensefalopati hepatik), neoplasma, infeksi SSP
(misalnya meningitis, abses otak, ensefalitis) dan zat toksik khusus yang bersifaat
simpatomimetik.
9

2.4. Patofisiologi
Hubungan antara keluaran neurologis dan lama status epileptikus belum
diketahui pada anak dan dewasa. Ada beberapa bukti bahwa masa status
epileptikus yang menimbulkan cedera saraf pada anak kurang daripada masa
tersebut pada orang dewasa. Kematian sel dapat akibat dari peningkatan
kebutuhan metabolik karena discharge (rabas) neuron secara terus menerus.
6

Daerah otak yang paling rentan adalah hipokampus, amigdala, serebellum, daerah
korteks tengah dan talamus. Perubahan patologis akut khas terdiri dari kongesti
vena, perdarahan petekie kecil, dan edema.
7

Perubahan iskemik seluler adalah temuan histologis paling awal, yang
disertai dengan neuronofagia, proliferasi mikroglia, kehilangan sel, dan
peningkatan jumlah astrosit reaktif. Kejang lama yang disertai dengan asidosis
laktat, perubahan pada sawar darah otak, dan peningkatan tekanan intrakranial.
7

Beberapa pemeriksaan telah menunjukkan.penambahan aliran darah otak
dan kecepatan metabolik yang bermakna selama status epileptikus. Pada hewan
sekitar 20 menit status epileptikus menghasilkan insufisiensi oksigen regional,
yang meningkatkan cedera dan nekrosis sel. Penelitian ini telah mengarah pada
konsep masa kritis selama status epileptikus ketika perubahan neuron irreversibel
dapat berkembang. Masa transisi ini bervariasi antara 20 dan 60 menit pada
hewan selama aktivitas kejang konstan. Manajemen anka harus diarahkan pada
dukungan fungsi vital dan mengendalikan konvulsi secepat dan seefisien
mungkin, karena masa transisi yang tepat pada manusia belum diketahui.
7

Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi 5 fase
yaitu:
a. fase pertama: terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan
penurunan pH yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan
saraf yang bersifat reversibel pada tahap ini.
9

b. fase kedua: setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu
kemampuan tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah,
pH dan glukosa serum kembali normal. Kemudian terjadilah kerusakan
saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.
9

c. fase ketiga: aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia, perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf yang
irreversibel.
9

7

d. fase keempat: aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempt, ketika peningkatan pernafasan yang buruk
memerlukan mekanisme ventilasi.
9

e. fase kelima: keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari
seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf
dan otak berlanjut.
9


2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada jenisnya.
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (generalized
tonic-clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk lain dapat
juga terjadi.
9
a. status epileptikus tonik-klonik umum (generalized tonic-clonic status
epilepticus)
Ini merupakan bentuk dari status epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi
tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan
frekuensi.
9

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini. Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas
kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
9


8

b. status epileptikus klonik-tonik-klonik (clonic-tonic-clonic status epilepticus)
ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
9

c. status epileptikus tonik (tonic status epilepticus)
terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan
gambran dari lenox-gestaut syndrome.
9

d. status epileptikus mioklonik
biasanya terlihat pada pasien enselopati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran.
9

e. Status epileptikus parsial sederhana
1. status somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki
pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi
dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran
tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan
adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa.
9

2. status somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan.
9


f. Status epileptikus parsial kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada
status epileptikus parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan
berbicara dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
9


9

2.6. Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Pada anamnesis, tenaga medis dapat menanyakan kepada pasien ataupun
keluarga tentang adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik, atau
SSP, riwayat putus obat, atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan
riwayat trauma pada pasien tersebut, selain itu, dari anamnesis dapat digali
informasi tentang bagaimana gambaran serangan, berapa lama durasinyaa, tingkat
kesadaran selama ataupun antara kejang, sifat kejang dan sejak kapan serangan
terjadi.
4

2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu
bangkitan umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf simpatis.
Menetapnya takikardi, hipertensi, keringat berlebihan, hipersalivasi merupakan
gambaran umum status epileptikus. Papilledema, tanda peningkatan tekanan
intrakranial menunjukkan kemungkinan adanya lesi massa atau infeksi otak.
Ekstensor berulang capat atau sikap fleksor dapat membingungkan dengan
aktivitas kejang lainnya oleh pengamat biasa.
9

Pasien dengan status epileptikus halus tidak menunjukkan peningkatan
kesadaran pada 20-30 menit setelah kejang umum. Ekspresi motor aktivitas listrik
abnormal kortikal dapat berubah sehingga terlihat kedipan kelopak mata atau
kedutan ektremitas yang merupakan satu-satunya tanda dari pelepasan listrik
umum yang berkelanjutan. Aktivitas motorik mungkin tidak ada walaupun adanya
aktivitas listrik pada status epileptikus.
9


2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar obat antikonvulsan:
Yang harus dipantau untuk menjamin konsentrasi serum yang
adekuat.
10

10

Segera setelah status epileptikus dapat dikendalikan, pasien dengan
epilepsi yang sudah ada sebelumnya dapat diberikaan kembali
regimen antikonvulsan oral yang biasa dipakai.
10

b. kimia darah rutin
Meliputi kadar Mg, Ca, dan kadar zat kimia darah lainnya.

2. EEG

Untuk mengkonfirmasi diagnosis terutama pada kasus refrakter


yang mungkin fungsional yaitu pseudostatus dan tidak
menunjukkan kelainan EEG.
4

3. Brain Imaging
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat menentukan
tempat lesi di otak. Jika pemeriksaan CT menunjukkan keadaan yang
normal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI untuk lebih
mengkonfirmasi adanya lesi di otak.

2.7 Diagnosis Banding
1. Ensefalitis
Ensefalitis ialah radang parenkim otak, hadir sebagai disfungsi
neuropsikologi difus dan/atau fokal. Meskipun terutama melibatkan otak,
meningen juga sering terlibat (meningoensefalitis).
8
gejalanya selain nyeri
kepala, demam, gejala ISPA, kesadaran menurun sampai koma.
2. Heat stroke
Heat stroke adalah suatu bentuk hipertermia dimana suhu
tubuh meningkat secara dramatis. Gambaran klinis dari heat stroke adalah
suhu tubuh yang meningkat, tidak adanya keringat, kulit kering
kemerahan, denyut nadi yang cepat,kesulitan bernapas, perilaku aneh,
11

berhalusinasi, kebingungan, gelisah, disorientasi, kejang bahkan sampai
koma.
9
3. Hipernatremia dalam Kegawatdaruratan
Hipernatremia didefinisikan sebagai tingkat natrium serum lebih dari
145mEq/L. Gejala hipernatremia cenderung non spesifik. Anoreksia
gelisah,mual, dan muntah terjadi lebih awal. Gejala-gejala ini diikuti
oleh perubahan status mental dan akhirnya pingsan atau koma.
Gejala mungkin juga termasuk otot berkedut, hiperefleksi, ataksia, atau
tremor. Gejala neurologis umumnya non fokal (misalnya perubahan status
mental, ataksia, kejang) namun defisit fokal seperti hemiparesis juga
dilaporkan terjadi.
9

4. Hipokalsemia dalam Kegawatdaruratan
Kadar kalsium serum kurang dari 8,5mg/dL atau tingkat kalsium
terionisasi kurang dari 1,0mmol/L dianggap hipokalsemia. Pasien mungkin
mengeluhkan kram otot, sesak nafas sekunder
akibat bronkospasme, kontraksi berhubung dengan tetanus, mati rasa pada
ekstremitas distal dan sensasi kesemutan.Manifestasi kronik termasuk
katarak, kulit kering,rambut kasar,kuku rapuh, psoriasis, pruritus kronik dan
gigi yang buruk. Hipokalsemia akut dapat menyebabkan sinkop, gagal
jantung congestive (CHF) dan angina karena efek kardiovaskular ganda.
9

5. Sindrom neuroleptik maligna
Sindrom neuroleptik maligna (NMS) mengacu pada kombinasi
hipertermia, kekakuan, dan disregulasi otonom yang dapat terjadi sebagai
komplikasi serius dari penggunaan obat antipsikotik. Adapun gejala klinis
12

dari NMS yaitu diaforesis, disfagia, tremor, inkontinensia, delirium yang
dapat berkembang menjadi lesu, pingsan dan koma,tekanan darah yang
tidak stabil, pucat, dispnea,agitasi psikomotor, kekakuan, hipertermia, takikar
dia serta cara jalan menyeret.
9


2.8 Penatalaksanaan
Manajemen awal penderita mulai dengan penilaian sistem pernapasan dan
kardiovaskular. Anak harus dipindahkan ke unit perawatan intensif. Jika mungkin.
Jalan napas awal diperiksa keterbukaannya, nadi, suhu, pernapasan, dan tekanan
darah. Sekresi oral yang diambil dengan pengisapan yang halus, dan sungkup
muka yang pas yang tersambung dengan oksigen yang dipasang. Jika penderita
tidak berespon terhadap oksigen dengan sungkup atau sukar diventilasi dengan
ambu bag, pertimbangan untuk intubasi dan bantuan ventilasi harus diberikan.
Kateter IV segera dimasukkan. Jika hipoglikemia diperkuat dengan dextrostix,
infus cepat 5mg/kg 10% dextrisa diberikan. Darah diambil untuk hitung sel darah,
elektrolit (termasuk kalsium dan magnesium), glukosa, kreatinin, dan kadar
antikonvulsan jika terindikasi. Darah dan urin dapat diambil untuk toksikologi.
Memikirkan bahwa beberapa obat memperkuat dan mempercepat status
epileptikus (misal, amfetamin, kokain,fenotiazin, teofilin pada kadar toksik, dan
anti depresan trisiklik). Pemeriksaan CSS merupakan keharusan jika meningitis
atau ensefalitis dipikirkan, jika tidak ada kontraindiksi untuk tindakan ini. Pada
kasus ini, antibiotik yang tepat harus diberikan, diikuti dengan pemeriksaan
pencitraan, sebelum pungsi lumbal dilakukan. Jika kejang tersebut refrakter
terhadap antikonvulsan, atau penderita paralisis dan ada pada respirator, monitor
EEG terus menerus adalah penting untuk mengikuti frekuensi discharge (rabas)
kejang, lokasi, dan respons terhadap terapi antikonvulsan.
7

Pemeriksaan fisik dan neurologis harus dilakukan bersama-sama untuk
menilai bukti adanya trauma; edema papil, pencembungan fontanela, anterior,
atau tanda neurologis lateralisasi yang menunjukkan peningkatan tekanan
intrakranial,; manifestasis sepsis atau meningitis; perdarahan yang dapat
13

menunjukkan hematoma subdural, pernapasan, kussmaul dan dehidrasi
mengesankan asidosis metabolik atau pernapasan iregular yang menandakaan
disfungsi batang otak; bukti adanya kegagalan tumbuh, pigmentasi rambut
abnormal yang memberi kesan kesalahan metabolisme bawaan; dan konstriksi
atau dilatasi pupil yang menunjukkan toksin atau obat sebagai penyebab status
epileptikus. Pemeriksaan menyeluruh harus dilakukan bila kejang telah terkendali.
Pemeriksaan penderita lebih lanjut termasuk pemeriksaan neuroradiologis yang
tergantung pada temuan fisik dan neurologis dan pada riwayat yang tepat tipe dan
frekuensi kejang.
7

Obat harus selalu diberikan secara IV pada penatalaksanaan status
epileptikus; rute IM tidak dapat dipercaya karena beberapa obat terikat pada otot.
Harus hati-hati berkenaan dengan bagaimana antikonvulsan dimasukkan.
7

Diazepam dan lorazepam pada mulanya digunakan, karena obat-obat ini
efektif untuk pengendalian segera kejang tonik klonik yang lama pada
kebanyakan anak. Diazepam harus diberikan IV dengan dosis 0,3 mg/kg dan
dengan dosis maksimum 10mg dengan kecepatan tidak lebih dari 1mg/menit.
Diazepam efektif pada penatalaksanaan status tonik-klonik, tetapi obat ini
mempunyai waktu paruh pendek sehingga kejang akan kambuh kecuali kalau
antikonvulsan yang berdaya lebih lama diberikan secara simultan. Lorazepam
adalah antikonvulsan jangka-pendek yang sama efektifnya, dengan lama kerja
lebih besar dan kemungkinan kurang menimbulkan hipotensi dan henti
pernapasan. Dosis yang dianjurkan adalah 0,05-0,1 mg/kg yang diberikan dengan
perlahan-lahan, IV. Jika pipa IV tidak dapat dimasukkan atau anak berada agak
jauh dari pusat medik, diazepam atau lorazepam rektum dapat digunakan dengan
aman. Diazepam yang tidak diencerkan dimasukkan ke dalam rektum dengan
semprit dan pipa fleksibel dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Dosis efektif lorazepam
rektum adalah 0,05-0,1 mg/kg. Kadar terapeutik serum terjadi dalam 5-10 menit.
7

Pasca pemberian lorazepam atau diazepam, beberapa pilihan tersedia
untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Jika aktivitas konvulsif berhenti sesudah
terapi diazepam atau lorazepam atau jika kejang menetap, fenitoin diberikan
segera. Dosis pembebanan fenitoin adalah 15-20mg/kg IV dengan kecepatan 1
14

mg/menit. Fenitoin dapat dengna aman ditambahkan pada salin setengah normal
atau normal tetapi tidak pada larutan glukosa; obat yang tidak diencerkan dapat
menyebabkan nyeri, iritasi, dan flebitis vena. Jika kejang tidak kambuh, dosis
rumatan 5-8 mg/kg dibagi menjadi dua dosis yang sama setiap hari dimulai 12-24
jam kemudian. Kadar fenitoin serum harus dimonitor karena dosis rumatan sangat
bervariasi menurut umur. Fenitoin tidak selalu efektif dalam mengendalikan status
epileptikus tonik-klonik, dalam hal mana obat alternatif diperlukan. Pada
beberapa pusat, fenobarbital dimulai sebelum fenitoin. Obat ini diberikan dengan
pembebanan 10-15 mg/kg atau pada neonatus 20 mg/kg IV selama 10-30 menit.
Dengan pengendalian kejang, dosis rumatan adalah 3-5 mg/kg/24 jam dibagi
menjadi dua dosis yang sama.
7

Jika status epileptikus tidak terkendali oleh strategi sebelumnya, dokter
harus membuat beberapa keputusan penting, karena mungkin masa transisi telah
lewat, pilihan untuk penatalaksanaan obat lebih lanjut adalah paraldehid, tetes
infus diazepam, lidokin, koma pentobarbital, atau anestesia umum pada stadium
ini penderita biasanya tersedasi dan dapat menunjukkan tanda depresi pernapasan,
memerlukan intubasi efektif dan bantuan ventilasi.
7

Paraldehid adalah antikonvulsan yang sangat baik relatif aman untuk
pemberian pada anak. Larutan 5% paraldehid dipersiapkan dengan menambahkan
1,75 ml paraldehid (1 mg/ml) pada D,W sampai volume total 35 ml. Dosis
pembebanan adalah 150-200mg/kg IV lambat selama 15-20 menit dan kemudian
pengendalian kejang dipertahankan dengan infus 20 mg/kg/jam pada kadar 5%
dalam botol gelas karena obat tersebut tidak cocok dengan plastik. Kecepatan
tetes IV dapat dikurangi ketika kejang dan EEG membaik.
7

Infus diazepam terus menerus dapat dipertimbangkan bukannya paraldehid,
terutama jika dosis pembebanan diazepan dengan cepat mengendalikan kejang.
Diazepam larut dalam air steril, salin normal, dan ringer laktat. Pengenceran 0,04
mg/ml memberikan jaminan yang paling besar pelepasan kembali diazepam dan
stabilitas 24 jam. Kecepatan aliran yang disarankan adalah 2-3 mg/jam, tetapi
dosis ini harus dititrasi terhadap respons penderita dan efek samping.
7

15

Jika status epileptikus menetap pasca diazepam atau lorazepam, trial
fenitoin, fenobarbital, dan paraldehid, harus dipertimbangkan secara serius
terhadap induksi pentobarbital koma. Pada lingkungan perawatan intensif,
penderita ditempatkan pada ventilator dan monitor EEG terus menerus. Dosis
pembebanan pentobarbital inisial IV adalah 1-5 mg/kg yang diikuti dengan 2-3
mg/kg untuk mempertahankan kadar pentobarbital serum antara 25 dn 40 g/ml.
Ledakan supresi pada EEG dipertahankan selama minimal minimum 48 jam ,
diikuti dengan pengehentian pentobarbital sampai kadar serum turun pada kisaran
terapeutis. Pentobarbital memerlukan pemantauan cermat oleh dokter yang
berpengalaman, karena hipotensi memerlukan agen presor dan kelainan elektrolit
mungkin terjadi.
7

Anestesia umum merupakan tambahan alternatif pada penatalaksanaan
status epileptikus jika terapi obat biasa tidak efektif atau jika pentobarbital koma
bukan merupakan pilihan. Anestesi umum kemungkinan bekerja pada perbaikan
anoksia serebral dan kelainan metabolik yang bersamaan, kemungkinan
antikonvulsan yang diberikan sebelumnya mendesakkan pengaruhnya. Kerugian
utama anestesi umum adalah bahwa anestesi ini harus diberikan dalam kamar
operasi dengan mencari peralatan gas anestesi untuk masa yang lama.
7

Natrium valproat adalah antikonvulsan efektif pada penatalaksanan
beberapa tipe kejang. Karena natrium valproat tidak tersedia secara parenteral,
obat ini harus diberikan secara oral atau rektal pada penderita dengan status
epileptikus. Karena muntah dan ileus paralitikus adalah lazim pada anak dengan
kejang berulang, natrium valproat harus diberikan melalui rektum selaama status
epileptikus agar dicapai penyerapan maksimal. Obat ini dapaat dipertimbangkan
pada penatalaksanaan status epileptikus pada penderita yang tidak berespons
dengan antikonvulsan biasa dan pentobarbital koma.
7

Penggunaan terapi antikonvulsan pasca status epileptikus adalah
kontroversional. Ada sedikit pertanyaan apakah antiepilepsi jangka lama harus
dipertahankan pada anak dengan gangguan neurologis progresif atau dengan
riwayat kejang berulang sebelum mulainya status epileptikus. Namun, adalah
tidak mungkin bahwa masa pengobatan antikonvulsan yang lama diperlukan
16

pasca serangan awal status epileptikus idiopatik. Terutama bila kejang demam
yang lama merupakan penyebabnya. Terapi antikonvulsan dipertahankan secra
absolut selama 3 bulan pada kasus ini dan dihentikan jika anak tetap tidaka
bergejala.
7


Sumber: Pedoman Pelayanan Medis (Status Epileptikus) IDAI
11


2.9. Komplikasi
Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi
hipertermia, asidosis, hipotensi, kegagalan pernapasan, serta aspirasi.
9


2.10 Prognosis
Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna
sejak penemuan unit perawatan intensif moderen dan manajemen agresif kejang
yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada
17

kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala,
kebanyakan darinya mempunyai kelainan SSS serius dan mengancam jiwa
sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis progresif
atau gangguan metabolik, morbiditas status epileptikus adalah rendah.
Kenyatannya bahwa sekuele jangka panjang seperti hemiplegia, sindrom
ekstrapiramidalis, retardasi mental, dan epilepsi adalah lebih lazim pada anak
sebelum umur 1 tahun pasca status epileptikus dihubungkan dengan kenyataan
bahwa kelompok ini lebih mungkin menderita kelainan SSS yang mendasari
sebelum sakit daripada anak yang lebih tua.






















18

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang terus menerus yang
berlangsung lebih lama dari 30 menit atau terjadi kejang secara seri yang
antaranya tidak pernah sadar. Status epileptikus dapat digolongkan sebagai
menyeluruh (tonik-klonik, linglung) atau parsial (sederhana, kompleks, atau
dengan generalisasi sekunder).
Ada tiga suptipe utama status epileptikus pada anak; kejang demam lama,
status epileptikus idiopatik dimana kejang berkembang pada tidak adanya lesi atau
serangan sistem saraf sentral yang mendasari, dan status epileptikus bergejala bila
kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang
lama. Kelompok idiopatik termasuk penderita yang mengalami penghentian
antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturat) yang disertai
dengan status epileptikus. Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak taat
adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus
.7

3.2 Saran
Dengan memahami dasar dari patofisiologi status epileptikus dan
penatalaksanaannya yang tepat, maka diharapkan prognosis pasien yang
mengalami ini dapat lebih baik dan menekan angka morbiditas dan mortalitas.




19

Daftar Pustaka
1. Shorvon,Simon. 2001.J Nurol Neurosurg Psychiatry; The Management of
status epilepticus.Volume 70(suppl II):ii22ii27.
2. Manno,Edward M. 2003. Mayo Clin Proc. Symposium On Seizures New
Management Strategies in the Treatment of status epilepticus. Vol 78 508-
518.
3. Fountain,Nathan B. 2000. Lippincott Williams & Wilkins, Inc., Baltimore
International League Against Epilepsy. Epilepsia. Vol 41(Suppl. 2):S23-
S30.
4. Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2008. Pedoman dan
Tatalaksana Epilepsi edisi 3. Jakarta : PERDOSSI.
5. Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta :Gadjah Mada
University Press
6. ACF Hui, CY Man, HC Wong. 2002. Hongkong journal
medicine. Management of status epilepticus. Vol 9:206-212
7. Haslam, Robert.2000. Status Epileptikus. Dalam: Wahab, S (Editor) Ilmu
Kesehatan Anak. EGC, Jakarta, Indonesia. Hal 2067-2069.
8. Dorland. 2002. Kamus Kedokteran . Jakarta : EGC.
9. Medscape Reference. May 26, 2011. Status
Epileptikus . http://emedicine.medscape.com diakses pada 5 Mei 2014.
10. Rowland, Lewis P. dan Timothy A Pedley. 2010. Merritts Neurology
12
th
. New York : Wolters Kluwer
11. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis IDAI.Jakarta: IDAI

You might also like