You are on page 1of 27

HUKUM ACARA

PERADILAN AGAMA
Drs. MAME SADAFAL, MH.
Ketua Pengadilan Agama
Surabaya
BAHAN AJAR
PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)
Dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam yaitu
dengan Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang
(a) Perkawinan; (b) Kewarisan; (c) Wasiat; (d) Hibah;
(e) Wakaf; (f) Zakat; (g) Shadaqah; (h) Infaq, dan
(i) Ekonomi syariah.
1. RUANG LINGKUP PENGADILAN AGAMA
dasar yuridis Perundang-undangan yang kemudian
menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan
Agama di Indonesia, adalah:
1. UUD 1945 Pasal 24;
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut Undang-Undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman
itu diatur dengan undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung;
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama;
PERATURAN LAINNYA
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah untuk
luar Jawa dan Madura, dan sebagian luar
Kalimantan Selatan;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin
Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung;
6. Herziene Inlandsch Reglement, Reglement op
de Burgerlijke Rechtsvordering dan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten
(untuk penerapan hukum acara yang belum
memiliki aturan peralihan);
7. Al-Quran dan Al-Hadist sebagai Bahan
Pertimbangan untuk Membuat Putusan.
3. KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA
a. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama
Pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau
wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang
berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan
wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili
pihak yang berperkara.[1]
[1] Abdullah TW, Kompetensi Relatif Peradilan Agama,
http://advosolo.wordpress.com, Diakses pada Tanggal 26 Mei 2010.
b. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama
Kompetensi absolut Pengadilan Agama berkenaan dengan
jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau
jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang pada
pokoknya adalah
(1) Perkawinan; (2) Waris; (3) Wasiat; (4) Hibah;
(5) Wakaf; (6) Zakat; (7) Infaq; (8) Shadaqah; dan (9)
Ekonomi syariah.
4. PROSEDUR DAN MEKANISME BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA (Sumber PA.Mamuju)
Putusan adalah keputusan pengadilan atas
perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa atau perselisihan. Arti putusan
merupakan produk pengadilan dalam perkara-
perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang
sesungguhnya. [2]
[2] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Cetakan Pertama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2000.

Penetapan adalah keputusan atas perkara
permohonan atau volunteer.
Penetapan merupakan salah satu produk
Pengadilan Agama dalam memeriksa,
mengadili, dan menyelsaikan perkara.
Penetapan bertujuan untuk menetapkan suatu
keadaan atau suatu status terentu bagi diri
pemohon. Misalnya penetapan dalam perkara
dispensasi nikah, izin nikah , wali adhal,
poligami, perwalian, itsbat nikah dan
sebagainya.
Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria,
karena pada penetapan hanya ada pemohon
tidak ada lawan hukum.[3]
[3] Abdullah Triwahyudi, Peradilan Agama di Indonesia,
Pustaka Belajar, Yogyakarta,2004.
Ada tiga macam putusan, yaitu:
1.Putusan sela, yaitu putusan yang diucapkan sebelum
putusan akhir. Misalnya putusan terhadap tuntutan
provisional.
2.Putusan akhir, yaitu putusan yang diucapkan atau
dijatuhkan untuk mengakhiri suatu sengketa.
3.Putusan serta-merta, yaitu putusan pengadilan agama
yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau
para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik
verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu
relative lama.[4]
[4] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syariyah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Menurut sifatnya putusan dapat berupa sebagai
berikut:
1.Putusan declaratoir. Putusan declaratoir adalah
putusan yang menyatakan atau menerangkan
keadaan atau status hukum. Misalnya pernyataan
adanya hubungan suami istri dalam perkara
perceraian yang perkawinannya tidak tercatat
pada pegawai Pencatat Nikah setempat.
2.Putusan constitutive. Putusan constitutive adalah
putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum
dan menimbulkan suatu keadaan hukum yang
baru. Misalnya putusan perceraian, semua terikat
dalam perkawinan menjadi perkawinannya putus
karena perkawinan.

3. Putusan condemnatoir. Putusan
condemnatoir adalah putusan yang
bersifat menghukum kepada salah satu
pihak. Misalnya menghukum tergugat
untuk menyerahkan tanah dan bangunan
untuk dibagi waris. [5]
[5] Op. Cit.

Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama
harus memuat hal-hal sebagai berikut.
1.Kepala Putusan
Putusan harus memuat kepala putusan yang
meliputi putusan, kalimat Bismillahirrah-
manirrahim, dan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.Nama Pengadilan dan jenis perkara, misalnya:
Pengadilan Agama Surabaya mengadili perkara
perdata pada tingkat pertama dalam persidangan
majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara
cerai gugat
3. Identitas para pihak
Identitas para pihak minimal harus mencantumkan
nama, alamat, umur, agama, dan dipertegas
dengan setatus para pihak sebagai penggugat
atau tergugat.
4.Tentang duduk perkara
Bagian ini menggambarkan dengan singkat, jelas,
dan kronologis persidangan mulai dari usaha
perdamaian, dalil gugatan, jawaban tergugat,
replik, duplik, bukti, saksi, hasil pemeriksaan
setempat bila ada, hasil pemeriksaan jaminan bila
ada, dan kesimpulan para pihak.
5.Kaki putusan
Kaki putusan berisi tentang hari dan
tanggal putusan, nama Majelis
Hakim, Panitra Pengganti, jumlah
biaya perkara, dan penanggung biaya
perkara. [5]
[5] Ibid.
Bentuk dan isi penetapan hampir sama
dengan putusan, yang membedakannya
adalah sebagai berikut:
1.Hanya mengandung satu pihak yang
berperkara
2.Tidak ada kata berlawanan dengan seperti
pada putusan
3.Tidak ada kata tentang duduk perkaranya
seperti pada putusan, melainkan langsung
diuraikan apa permohonan pemohon

4.Amarnya hanya berbentuk declaratoir
atau konstitutif
5.Menggunakan kata menetapkan
6.Biaya perkara selalu dibebankan
kepada pemohon. [6]
[6] Ibid.

Abdul Manan dan Ahmad Kamil, Penerapan dan
Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian
Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama, Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Jakarta, 2007.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2007.



Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989), Edisi ke-2, Cetakan ke-2, Sinar
Grafika, Jakarta, 2003.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Cetakan Pertama,
Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2000.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
dan Mahkamah Syariyah, Sinar Grafika, Jakarta,
2009.


Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998.
Triwahyudi, Abdullah, Peradilan Agama di
Indonesia, Pustaka Belajar, Yogyakarta,2004.
TW., Abdullah, Kompetensi Relatif Peradilan
Agama, http://advosolo.wordpress.com, Diakses
pada Tanggal 26 Mei 2010.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
SEKIAN
dan
TERIMA KASIH

You might also like