You are on page 1of 3

PERSOALAN DASAR PENDIDIKAN KITA

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia!


Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan
persekolahan di tanah air adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana ia
diselenggarakan selama Orde Baru harus ditolak karena terbukti menjajah, memasung,
dan mengkerdilkan jiwa kaum muda Indonesia. Pendidikan yang bersifat informal, secara
sembrono dipersamakan dengan pengajaran di lembaga formal – yakni “sekolah” dan
“universitas”, dalam arti yang telah menyimpang jauh dari makna kedua kata itu – bahkan
juga dengan pelatihan yang non-formal – terutama di perusahaan-perusahaan yang
memiliki Divisi “pendidikan” dan “pelatihan”, tetapi juga di Balai Latihan Kerja dibawah
Departemen Tenaga Kerja Orde Baru – telah terbukti efektif membunuh kreativitas dan
daya cipta kaum muda. Hal ini pada gilirannya melahirkan angkatan kerja baru yang
bermental budak, yang tentu saja tidak dapat diharapkan menjadi produktif kecuali menjadi
parasit, atau bahkan kanker, bagi masyarakat di lingkungan kerjanya.
Dengan lebih tegas dapat dikatakan masalah mendasar dari sistem pendidikan di
negeri ini berakar pada ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat untuk berbagi tugas
dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa kaum
muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa
dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaaan Ilahi.
Saudara-saudara sekalian sebangsa dan setanah air!
Terlebihnya lagi orang tua tidak mau repot, karena memang tidak sungguh-
sungguh peduli. Bagi sebagian besar orang tua “mendidik” anak itu hanya berarti
mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar
lainnya. Kalau anaknya mengeluh sulit belajar, orang tua segera memanggil dan membayar
mahal “guru-guru” privat yang sebagian juga pengajar-pengajar di sekolah anaknya itu,
untuk memberikan pelajaran tambahan ini dan itu, yang tak jelas relevansinya kecuali
untuk memastikan anak-anaknya diberi nilai tinggi saat ujian di sekolah (bukankah
kebiasaan membocorkan soal-soal ujian ebtanas berakar dari kebiasaan transaksi antara
orang tua dan pengajar yang berkolusi dengan birokrat pemerintah). Selebihnya? Itu
tanggung jawab sekolah dan universitas. Bukankah orang tua membayar semua itu dengan
biaya yang sangat tinggi?
Pada pihak lain, sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap
percaya diri yang berlebihan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep “sekolah unggul”,
“sekolah pemimpin masa depan”, atau lebih para lagi “pendidikan unggul”, birokrat di
lembaga-lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya, asal
dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan “terbaik” sebenarnya tidak jelas
bedanya dengan “termahal”. Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu
melembagakan ajaran sesat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mahal.
Mahal sama dengan bermutu bahkan baik. Kalau uang sekolahnya murah artinya buruk
dan tak bermutu. Dan jika mindset ini diberlakukan, maka dapatlah kita katakana bahwa
pendidikan di Jerman, yang relative sampai gratis sangatlah buruk dan tidak bermutu.
Paradigma ngawur semacam ini dipertegas oleh perusahaan-perusahaan pencari
kerja yang dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran
dan pendidikan sejati, kecuali sekedar mencari (membeli) keterampilan dan kepribadian
sarjana-sarjana dari sekolah yang mahal itu. Bila mereka mendapatkan kenyataan bahwa
para alumnus sekolah-sekolah terbaik itu ternyata tidak mampu bekerja secara produktif,
maka dikatakan tidak siap pakai. Lalu sekolah dan universitas diminta penyusuaikan
kurikulumnya sedemikian rupa agar tidak dapat menciptakan semacam mesin-mesin
industri yang siap pakai itu.
Pada masa Orde Baru, paradigma pembelajaran yang “kurang ajar” semacam itu
diperkuat lagi oleh keputusan-keputusan penguasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Yang dipersiapkan kemudian adalah mesin penghafal Pancasila yang
bersedia diperbudak menjadi tiang-tiang penopang kekuasaan yang korup dan tak
bermoral. Yang dipersiapkan kemudian adalah alat-alat produksi yang dibersedia
diperbudak oleh konglongmerat-konglomerat bejat yang rajin berselingkuh dengan
pemegang kuasa politik. Yang dipersiapkan kemudian adalah aparat-aparat birokrasi yang
miskin inisiatif dan serba menunggu petunjuk.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan
tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin
masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orang tua
memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para
pengajar itu membagikannya kepada birorat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan
pamornya. Dan akhirnya para birokrat pendidikan ini membuat laporan Asal Bapak Senang
kepada Raja Mataram dan Kroninya, tanpa ragu apalagi rasa malu. Semua terkesan beres,
dan baik-baik saja. Lihat angka-angka statistic menunjukkan tingginya tingkat pendidikan
kaum muda dari Pelita ke Pelita. Lihat anak-anak petani kampung sudah pada bergelar
sarjana sementara tanah orang tua mereka telah dijadikan klangenan penjarah bersenjata.
Kita akan menjadi bangsa yang besar dan karenanya bolehlah mengajarkan kepada negara-
negara lain bagaimana berswasembada beras, sementara petani-petani kita sendiri masih
kekurangan beras dan kemudian kita kembali menjadi negara pengimpor beras. Maka kita
canangkan “Kebangkitan Nasional Kedua” dengan membangun Menara Jakarta, lalu kita
proklamirkan pada dunia bahwa di sini, di negeri khatulistiwa ini, telah lahir Raja Babel
baru.
Namun mendadak sontak semuanya runtuh jadi debu. Dan mulailah kita menengis
bertalu-talu. Segala sesuatu menjadi kacau balau. Semua berteriak, tapi tak ada yang
mendengar. Semua mendengar tapi tidak ada yang mengerti. Mengapa oh.. mengapa?
Dimanakah pusaka kesakitian Pancasila disembunyikan (mungkin di Lubang Buaya)? Hari
Kebangkitan Nasional berubah menjadi Hari Kebangkrutan Nasional. Hari Kesaktian
Pancasila berubah menjadi Hari Kesakitan Pancasila.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia!


Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari
ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung
jawab dalam mendidik, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta
jati diri kemanusiannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena tidak sadar, maka kita tidak mau
belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah
dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari
tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan
mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena
buta pikiran dan buta nurani. Buah-buahnya adalah kaum muda yang jauh lebih
terbelakang dari para pelopor Sumpah Pemuda dengan di tahun 1928.

You might also like