Professional Documents
Culture Documents
Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan
aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah
hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam
awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses
tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses pembentukan es
(ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan
untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan
iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di dunia, karena teknologi ini sudah dipakai oleh lebih
dari 60 negara untuk berbagai kepentingan.
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer
dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari
pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya
waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan
terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es.
Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat
tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu.
Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan
modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya.
Vincent Schaever (membungkuk) memperagakan pembuatan kristal es dengan meniupkan
nafasnya pada lemari pendingin
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan
buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto
(Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance
Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah
asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand.
Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan Teknis
Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan
Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No:
SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal
meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam
menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan
PLTA.
Ir. Soebagio (kedua dari kiri) selaku Ketua Tim Hujan Buatan mendampingi Prof.Dr.Ing. BJ
Habibie saat mengawali percobaan hujan buatan di Indonesia
Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung banyaknya
gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan menyebabkan
partikel-partikel air terangkat ke langit. Partikel-partikel yang disebut dengan aerosol inilah
yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air.
Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke
lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya
mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah
yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan
yang terbentuk.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan
Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan
Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan Cumulus terbagi dalam 3
jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang barau tumbuh ; Cumulus, dan
Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa
awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.
Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang
dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan
Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah
dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di
daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-
300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat
menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan
hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan
campuran (mixed cloud).
Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi dingin.
Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat
atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi
cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil.
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan
terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di
bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya
yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah
besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui
udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa
mencair.
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh
proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu
partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan
berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air
tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang
berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya
kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak
droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu
menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan
sebagai hujan.
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5 mikron)
maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah
mencapai ukuran sekitar 40 - 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang
lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia
menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi
(proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan
merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka
proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction)
di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat
dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan
penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron
atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak
tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses
tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.
Tipikal Ukuran Diameter Tetes Hujan (Rain Drop), Tetes Awan (Cloud Droplet), dan Inti
Kondensasi (Condensation Nucleus)
Ilustrasi proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) dalam awan
dapat dilihat pada gambar berikut:
Keterangan Gambar :
A. Tetes-tetes awan (droplets) yang berukuran kecil bergerak naik keatas terbawa
gerakan udara secara vertikal (updraft); sementara itu sudah ada tetes awan yang
menjadi partikel berukuran lebih besar (Giant Nuclei) yang karena beratnya melebihi berat
dari udara sehingga sudah mulai bergerak jauh ke bawah.
B. Partikel Besar (GN) ini bertindak sebagai "pengumpul" tetes-tetes awan yang lain,
karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil,
bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan).
C. Semakin banyak tetes lain yang tertumbuk dan bergabung, maka partikel tersebut akan
semakin besar ukurannya, dan lama kelamaan akan terbelah membentuk partikel (GN)
baru.
D. Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan, dan bila
dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi
atau reaksi berantai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses
hujan dalam awan tersebut.
Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar
proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara
mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan
dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan
dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga
semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan
disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl).
Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik
dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan
yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera
dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN
(Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena
partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan
tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan
sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel
higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan
penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada
awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan
tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua
manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan
penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang
kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan
semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super
fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan
adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.
15 Menit : Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi
maksimum
20 menit : Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh
dan mencair menjadi tetes air hujan.
30 menit : Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan
meningkat.
Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan
adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang,
modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem
statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk
memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang
diluncurkan ke dalam awan.
Gambar 10. Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan
Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya
berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat ini
masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor
(lereng Gunung Gede - Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian
dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia.
Berikut adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat terbang :
Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai berupa
serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah pesawat.
bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan (jenis aan
hangat).
Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang
dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke
dalam awan jika flare terbakar.
Bahan semai jenis ejectable flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan
dari pesawat pada bagian puncak awan (jenis awan dingin).
GBG aslinya digunakan di daerah lintng menengah dan tinggi dengan suhu
lingkungan berada di bawah titik beku (<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di
Indonesia meski masih dalam taraf ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang
menyebar di kawasan Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede - Pangrango) dengan tujuan
untuk menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap
awan yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak
terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut
sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan
sekitarnya.
Penyemaian awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG) yang
memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan
⊕ Wahana Roket
Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan semai ke
dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di Eropa. Saat
ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk
diaplikasikan di Indonesia.
Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari
darat.
Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode
dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua
pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran.
Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow)
di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai denit aliran selama
periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan
buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai
penambahan aliran hasil TMC.
Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan
secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk
mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia
dapat dilihat pada gambar berikut.
Pedoman penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi berbagai masalah
bencana iklim dan cuaca di Indonesia.