You are on page 1of 228

RESUME SKENARIO 2

BLOK 12
Tutorial B


Ika Sriwinarti (102010101072)
Yonathan Michael Hostiadi (102010101076)
Yulia Puspitasari (122010101006)
Zahrina Amalia Eka Nurfadilla (122010101007)
Raditya Rangga P. (122010101033)
Brenda Desy Romadhon (122010101036)
Firsty Demi C. (122010101040)
Fawziah Putri Maulida (122010101041)
Sanggam Atmajaya Nugraha (122010101051)
Samiyah (122010101060)
Ivan Kristantya (122010101064)
Nadia Anggry Liani (122010101074)
Henggar Allest Pratama (122010101080)
Maulidah Ayuningtyas (122010101089)
Chandra Puspita K.S.P. (122010101093)
Putri Erlinda Kusumaningrum (122010101098)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
TUJUAN BELAJAR

Gangguan pada kehamilan
1. Infeksi Intra-uterin : Korioamnionitis
2. Infeksi pada kehamilan :TORCH, hepatitis B, Malaria
3. Aborsi mengancam
4. Aborsi spontan
5. Aborsi spontan komplit
6. Hiperemesis gravidarum
7. Inkompatibilitas darah
8. Mola hidatidosa
9. Hipertensi pada kehamilan
10. Preeklampsia
11. Eklampsia
12. Diabetes gestasional
13. Kehamilan posterm
14. Insufisiensi plasenta
15. Plasenta previa
16. Vasa previa
17. Abrupsio plasenta
18. Inkompeten serviks
19. Polihidramnion
20. Kelainan letak janin setelah 36 minggu
21. Kehamilan ganda
22. Janin tumbuh lambat
23. Kelainan janin
24. Diproporsi kepala panggul
25. Anemia defisiensi besi pada kehamilan
Persalinan dan Nifas
26. Intra-uterine Fetal Death (IUFD)
27. Persalinan preterm
28. Rupture uteri
29. Bayi post matur
30. Ketuban pecah dini (KPD)
31. Distosia
32. Malpresentasi
33. Partus lama
34. Prolaps tali pusat
35. Hipoksia janin
36. Rupture serviks
37. Rupture perineum tingkat 1-2
38. Rupture perineum tingkat 3-4
39. Retensi plasenta
40. Inversio uterus
41. Perdarahan post partum
42. Tromboemboli
43. Endometritis
44. Inkontinensia urine
45. Inkontinensia feses
46. Thrombosis vena dalam
47. Tromboflebitis
48. Subinvolusio uterus










GANGGUAN PADA KEHAMILAN

INFEKSI INTRA-UTERIN : KORIOAMNIONITIS

Definisi
Korioamnionitis adalah infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan
amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari
chorioamnionitis adalah 1 5% dari kehamilam term dan sekitar 25% dari partus
preterm
(1)
.
Korioamnionitis merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput ketuban
yang merupakan manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU). Seringkali berhubungan
dengan pecahnya selabut ketuban yang lama dan persalinan yang lama. Hal ini dapat
dilihat dengan menjadi keruhnya ( seperti awan) selaput membrane.
Selain itu bau busuk dapat tercium, tergantung jenis dan konsentrasi bakteri.
Ketika mono dan leukosit polimononuklear (PMN) menginfiltrasi korion, dalam
penemuan mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis. Sel-sel tersbut
berasal dari ibu. Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion ( amnionitis
) atau selaput plasenta ( funisitis ), sel-sel ini berasal dari fetus. (Goldenberg and co-
workers, 2000).
Sebelum usia 20 minggu, hampir seluruh sel PMN berasal dari ibu, namun
kemudian respon inflamasi berasal dari ibu dan fetus ( Sampson dan kolega, 1997 ).
Pembuktian mikroskopik adanya gambaran struktur inflamasi lebih banyak
ditemukan pada persalianan preterm. Para peneliti menemukan bahwa reaksi
inflamasi dapat bersifat tidak spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi infeksi pada
ibu. Sebagai contoh, Yamada dan kolega ( 2000 ) menemukan bahwa cairan yang
terwarna mekonium merupaka penarik kimiawi bagi leukosit. Sebaliknya, Benirschke
dan Kaufmann (2000) mempercayai bahwa korioamnionitis secara mikroskopik
selalu disebabkan infeksi.
Korioamnionitis sering berhubungan dengan rupture membran, kelahiran
preterm, ataupun keduanya. Seing kali sulit dibedakan apakah infeksi terlebih dahulu
atau ruptur membran terlebih dahulu yang terjadi.
Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis
transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa
manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak (Cox dan rekan
kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan (Reddy and
colleagues, 2001).
Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang dilakukan
pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak, Hauth dan
rekan kerja (1998) mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion meningkat
secara signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses penyembuhan dari bakter
patogen juga berhubungan secara terbalik dengan usia kehamilan.


Patofisiologi
Jalur bakteri memasuki cairan amnion yang intak masih belum jelas diketahui.
Gyr dan kolega (1994) telah menunjukkan bahwa Escherichia coli dapat
mempenetrasi membrane tang hidup; sehingga, membran bukan barier yang absolut
untuk infeksi ascending. Jalur lain inisiasi bakteri pada persalinan preterm mungkin
tidak membutuhkan cairan amnion. Cox dan rekan kerja (1993) menemukan bahwa
sitokin dan sel-sel mediasi imunitas dapat teraktivasi di dalam jaringan desidual yang
membatasi membrane fetalis. Pada peristiwa ini, produk bakteri seperti endotoksin
menstimulasi monosit desidual untuk memproduksi sitokin, yang kemudian
menstimulasi asam arakidonat dan produksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2
bekerja pada parakrin untuk menstimulasi miometrium sehingga berkontraksi.


Manifestasi Klinis
Ruptur membrane yang memanjang berhubungan dengan morbiditas infeksi yang
meningkat (Ho dan kolega, 2003). Jika korioamnionitis terdiagnosis, usaha untuk
mempengaruhi persalinan, pervaginam yang disarankan, segera dimulai. Tanda dan
gejala yang dapat ditemukan :
Demam, suhu di atas 38C (100.4F) atau lebih tinggi disertai ruptur
membrane menandakan adanya infeksi.
Leukositosis pada ibu tersendiri ridak ditemukan berhubungan secara
signifikan oleh para peneliti.
takikardia ibu dan takikardia fetus
uterine tenderness
vaginal discharge yang berbau.

Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas fetus meningkat secara
substansif. Alexander dan kolega (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat
lahir sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland. Sejumlah 7 persen
dilahirkan olej wanita dengan korioamnionitis, dan hasil akhir dibandingkan dengan
bayi baru lahir tanpa infeksi secara klinis. Para bayi yang baru lahir dengan grup
terinfeksi mempunyai insidensi yang lebih tinggi menderita sepsis, respiratory
distress syndrome, kejang dengan onset awal, perdaraham intraventrikular, dan
leukomalasia periventrikular.
Para peneliti mengkonklusi bahwa bayi-bayi dengan berat badan sangat
rendah tersebut rentan terhadap perlukaan neurologis karena korioamnionitis. Pada
penelitian lain ( Yoon dan kolega, 2000) menemukan bahwa infeksi intra amnion
pada bayi preterm berhubungan dengan meningkatnya resiko cerebral palsy pada usia
3 tahun. Petroya dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta kelahiran hidup
dari 1995 hingga 1997 yang terdaftar pada National Center for Health Statistics
linked birth-infant death cohort. Selama persalinan, 1,6 persen wanita yang
mengalami demam berhubungan secara erat denga infeksi yang menyebabkan
kematian baik bayi term maupu preterm. Bullard dan rekan sejawat (2002)
melaporkan hasil yang sama
(2)
.


Pemeriksaan penunjang
Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau
kultur pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis
biasanya dilakukan pada preterm labour yang refrakter (supaya dpt diputuskan
apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah
induksi perlu dilakuka). Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari
diagnosis diferensial dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, memprediksi
lung maturity.
(3)


Tatalaksana
Setelah diagnosis ditegakkan maka percepatan persalinan dan antibiotik
sistemik merupakan terapi pilihan.
Untuk antibiotik empiris biasanya diberikan Ampicillin 2g IV setiap 6 jam
dengan Gentamycin 1,5mg/kgBB. Pemberian antibiotik untuk kuman anaerob seperti
Metronidazole 500mg IV tiap 8 jam atau Clindamycin 900mg IV tiap 8 jam dapat
diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi sectio cesar.
(4)
Untuk pasien
dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin
Pemberian antibiotik ini biasanya diberikan sampai pasien tidak demam dan
asimptomatik selama 24 48 jam post partum.


PADA KEHAMILAN :TORCH, HEPATITIS B, MALARIA
INFEKSI PADA KEHAMILAN


Etiologi (bakteri, virus, parasit)
Infeksi
Menyebabkan morbiditas dan mortalitas cukup tinggi pada ibu dan bayi
Hamil sangat peka terhadap infeksi karena:
1. Sistem imun menurun toleransi system imun ibu tehadap bayi
2. Perubahan anatomis ginjal dan saluran kemih
Penularan infeksi : intrauterine (transplasental) atau saat persalinan (melalui
darah/ amnion)
Infeksi Virus
1. PARVOVIRUS

Gejala klinis
a. Umumnya ringan pada usia dewasa (20- 30% tanpa gejala), mungkin
timbul panas dan sakit kepala seperti influenza
Kematian janin dalam kandunganBercak merah
Eritoderm di muka badan kaki
b. Pada orang dewasa lebih ringan tapi disertai poliartralgia simetrik

Penularan
a. Saluran napas/ oral
b. Viremia setelah 4- 14 hari pasca tercemar

Diagnosa
Pemeriksaan darah:
a. IgM antibodi (10- 12 hari setelah infeksi) menetap selama 3- 6 bulan
b. IgG (+) setelah IgM (+)



Pengaruh Kehamilan Terhadap Infeksi
Tidak terdapat bukti bahwa infeksi parvovirus diubah oleh kehamilan
(Valeur- Jensen dkk., 1999)

Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
Infeksi janin: berkaitan dengan abortus, hidrops non- imun, dan lahir mati.

Tatalaksana
o Pada Bayi:
1. Priksa DNA virus pada air ketuban/ darah bayi (melalui
kordosentris)
2. Priksa IgM Antibodi Parvovirus
3. Priksa kadar Hb janin
4. Evaluasi dopler arteri serebri media untuk memperkirakan anemi
janin
5. Transfusi janin pada hidrops dapat memperbaiki hasil akhir
o Pada Ibu dengan USG:
1. Periksa adanya hidrops bayi
2. Hitung medulla cerebral arteri mengetahui anemia bayi
3. Transfusi intrauterine
4. Sonografi serial setiap 2 minggu pada wanita yang baru terinfeksi

2. VARISELA- ZOZTER

Gejala Klinis
a. Berawal sebagai gejala mirip flu (1- 2 hari)
b. Lesi- lesi vesikuler gatal dan mengalami krustasi (3- 7 hari)
c. Pneumonitis pada wanita hamil (5%) muncul 3- 5 hari setelah awitan
penyakit:
Demam
Takipneu
Batuk kering
Dipsneu
Nyeri pleuritik
Penularan
Sebelum atau sewaktu pelahiran
Diagnosa
a. Pada ibu biasanya secara klinis
b. Mengisolasi virus mengerok dasar vesikel selama infeksi primer dan
melakukan apusan Tzanck, biakkan jaringan, atau uji antibody fluoresen
langsung
c. Teknik amplifikasi asam nukleat pada cairan amnion

Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
a. Pada trimester I cacat bawaan (Kariorenitis, atrofi korteks serebri,
hidronefrosis, kelainan bawaan pada tulang dan kulit)
b. Kehamilan >20 minggu tidak terjadi sesuatu
c. Persalinan sebelum massa inkubasi/ pada persalinan cacat pada usus
dan SSP
Tatalaksana
a. Mengisolasi wanita hamil yang terinfeksi dari wanita hamil lainnya
b. Terapi suporatif (beberapa wanita)
c. Pneumonia memerlukan cairan IV
d. Asiklovir IV (dosis 500mg/ m
2
atau 10- 15 mg/ Kg/ 8 jam)
e. Pencegahan untuk pre/pasca tercamar: Varicella Zozter Imunoglobulin
(VZIG) 125 U/ 10 KgBB

3. HEPATITIS
HBV
Kehamilan tidak memperberat infeksi
Akut hepatitis fulminant abortus dan perdarahan pasca
persalinan terjadi karena gangguan pembekuan darah akibat
gangguan fungsi hati
Neonatus: pada masa dewasa HBV dan hepatokarsinoma/
serosis hepatis
Predisposisi Penularan:
1. Vertikal akibat titer DNA HBV tinggi pada ibu
2. Akut pada kehamilan trimester III persalinan lama dan
mutasi HBV
Pencegahan: hindari berhubungan seksual dengan pasangan
penderita hepatitis B dan hindari alat atau bahan pada pengidap.
Penanganan Kehamilan dan Persalinan:
1. Akut jika persalianan pervagina usahakan trauma
sekecil mungkin dan rawat bersama spesialis Penyakit Dalam
2. Viral Load meningkat HBIG pada 1-2 bulan sebelum
persalinan
3. Jangan biarkan persalingan berlangsung lama penularan
intrauterin
4. HbV meningkat (3,5 pg/ ml)/ HbsAg (+) seksio cesaria
5. Menyusui tidak masalah

HAV
Jika fulminan pada infeksi akut perdarahan karena gangguan
pembekuan darah

HDV
Superinfeksi awalnya terdapat HBV akhir seperti HBV
Ko- Infeksi HBV dan HDV bersama- sama, kesembuhan

HEV
Meningkat jika terjadi wabah bahaya hepatitis fulminan


4. DEMAM DENGUE
Melalui: Aedes aegypti, Aedesalbopictus, Aedes polynesiensis
Gejala Klinis
a. Fase Febril panas tinggi mendadak dan berkesinambungan 2-7 hari
b. Fase Afebril kesembuhan DF, kritis DHF
c. Dangue Sindrom:
DF: panas mendadak bekesinambungan, sakit kepala, nyeri orbita,
nyeri otot, sendi, dan tulang belakang
DHF: tourniquet test (+), ptekie/ ekimosis/ purpura, perdarahan
DSS: narrow puls press kurang = 20 mmHg
Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
a. Kematian janin intrauterine
b. Menjelang persalinan:
Transmisi vertical bayi: trombositopeni, panas, hepatomegali, dan
gangguan sirkulasi
Perdarahan
c. Jauh dari persalinan tidak ada infeksi pada janin
Tatalaksana
a. Hindari persalinan pada massa kritis
b. Pengawasan interen dan tindakan obstetrik
c. Sebelum penanganan lakukan Informed consent

INFEKSI BAKTERIAL
1. STREPTOKOKUS GRUP A (S. pyogenes)
Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
a. Infeksi pasca persalinan (46%)
b. Radang otot uterus (28%)
c. Peritonitis (8%)
d. Abortus septic (7%)
Tatalaksana
Terapi penisilin segera, sering disertai debridement bedah mungkin
menyelamatkan nyawa

2. STEPKOKUS GRUP B
Gejala Klinis : Bisa asimtomatik atau sepsis
Penularan : Transmisi intrapartum sepsis neonatal pada massa nifas
Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
a. Kelahiran premature
b. Ketuban pecah dini
c. Koriomnitis
d. Fetal/ neonatal infeksi:
Distress respirasi, apneu, syok ( timbul dalam 6- 12 jam setelah lahir
dan menetap selama 7 hari)
Awitan lambat GBS: meningitis 1 minggu sampai 3 bulan setelah
lahir
Tatalaksana
Antibiotik derifat penisilin, apabila alergi menggunakan klindamisin
atau eritomisin:
a. Pada persalinan < 37 minggu
b. Ketuban pecah 18 jam atau lebih
c. Temperatur ibu > 38
0


3. DEMAM TIFOID
Gejala klinis : panas lama dan tinggi
Penularan : berkaitan dengan kemiskinan, sanitasi, higene rendah,
pengetahuan rendah
Pengaruh kehamilan terhadap infeksi : kehamilan tidak mempengaruhi
prognosis penyakit
Pengaruh infeksi terhadap kehamilan
a. Keadaan umum jelek
b. Keguguran
c. Persalinan premature
d. Kematian janin intrauterine (trimester I dan II)
Tatalaksana
a. Pencegahan sanitasi dan higene
b. Antibiotik:
Kloramfenikol, Tiamzenikol (hati- hati karenan menekan fungsi
sumsum tulang)
Florokuinolon dan sefalosporin generasi tiga IV
Azirtromisin

INFEKSI PROTOZOA
1. MALARIA
Gejala Klinis:
1. Demam menggigil
2. Malaria berat, ada salah satu tanda dari:
Gangguan kesadaran
Kelemahan umum
Kejang
Panas sangat tinggi
Mata dan tubuh kuning
Perdarahan hidung, gusi, saluran cerna
Urin the
Oligouri
Pucat

Pada Kehamilan (terutama trimester II):
Panas tinggi sampai menggigil
Anemia menjadi parah karena hemolisis akibat kekurangan asam
folat
Spleinomegali
Malaria Berat

Penularan
Melalui gigitan nyamuk Anopheles yang mengandung plasmodium Vivax,
Ovale, Falciparum atau Malarie.

Diagnosa
a. Anamnesis Riwayat sakit malaria
b. Klinis Demam, menggigil, atau terdapat tanda malaria berat
c. Identifikasi parasit dengan mengevaluasi apusan darah
d. Uji antigen spesifik- malaria

Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
a. Panas tinggi
b. Fungsi plasenta menurun
c. Hipoglikemi
d. Anemi
e. Abortus
f. Prematuritas
g. Lahir mati
h. Insufisiensi plasenta
i. Pertumbuhan janin terhambat
j. Bayi kecil
k. Berpengaruh pada bayi: panas, irritable, problem menyusui,
hepatospleinomegali, icterus

Tatalaksana
a. Pada Kehamilan:
Klorokuinolon
Resisten- klorokuin Kinin plus klindamisin hati- hati
hipoglikemia
Malaria parah atau berpenyulit kuinidin glukonat secara
parenteral efek samping: kardiotoksisitas
b. Kontraindikasi: Primakuin, tetrasiklin, doksisiklin, halofantin
c. Penanganan Persalinan:
Panas ibu dikontrol kompres dingin
Cairan hindari kelebihan/ kekurangan
Jika perlu induksi parsial atau cesaria


2. TOXOPLASMOSIS
Gejala Klinis
a. Pada sebagian kasus: lesu, demam, nyeri otot, kadang ruam
makulopapuler, dan limfadenopati serviks posterior
b. Dengan gangguan imunitas: parah disertai reaktifasi yang menyebabkan
ensefalitis atau lesi massa

Penularan
a. Konsumsi daging mentah yang terinfeksi kista
b. Kontak dengan ookista tinja kucing (dalam air, tanah, atau sampah)
c. Infeksi oleh lalat/ lipas pembawa protozoa

Diagnosa
a. Tes aviditas untuk antibody IgG toksoplasma yang digunakan dalam
pemeriksaan serum ibu
b. Antibodi IgA dan IgE
c. Toxoplasma Serologic Profile: Uji pewarna Sabin Feldman, double-
sandwich IgM ELISA, ELISA IgA dan IgG, uji aglutinasi deferensial
d. Teknik Amplifikasi PCR cairan amnion atau darah janin
e. Sonografi: kalsifikasi intrakranium, hidrosefalus, kalsifikasi hati, dan
hambatan pertunbuhan janin

Pengaruh Infeksi Terhadap Kehamilan
a. Persalinan kurang bulan
b. Pada neonates: penyakit generalisata dengan BBLR,
hepatospleinomegali, ikterus, anemia, kelainan neurologis primer,
kalsifikasi intrakranium, hidrosefalus atau mikrosefalus, trias klasik
(koriorenitis, kalsifikasi intrakranium, hidrosefalus+kejang)

Tatalaksana
a. Kehamilan dengan infeksi akut:
Spiramisin (2 -4 g/ hari) peroral dalam 4 dosis 3 minggu diulang
setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm
Piremitamin setiap 3-4 hari hati- hati teratogenik
Sulfadiazin hati- hati reaksi hematuri dan hipersensitifitas
b. Toxoplasma Konginetal:
Sulfadiazin (50- 100 mg/ Kg/ hari)
Piremitamin (tiap 2- 4 hari selama 20 hari) + injeksi IM asam
folinik (5 mg tiap 2- 4 hari) untuk mengatasi efek toksik
dihentikan ketika anak usia 1 tahun
c. Profilaksis
Makan semua sayuran dan daging yang dimasak:90
0
dalam 30
detik, 80
0
dalm 1 menit, dan 70
0
dalam 2 menit
Skreening serologi bulanan


INFEKSI SIFILIS PADA IBU HAMIL
Definisi
Sifilis merupakan penyakit menular seksual (PMS) yang biasa dikenal dengan
raja singa.Sifilis dapat menular pada bayi yang dikandung secara transplasenta dan
menimbulkan kecacatan, penyebabnya adalah treponema pallidum.
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh troponema pallidum
yang dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jantung hingga
susunan saraf pusat, dan juga dapat tanpa manifestasi lesi di tubuh. Infeksi terbagi
atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten dini dan lanjut,
serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya ditularkan lewat kontak seksual,
namun juga dapat secara vertical pada masa kehamilan.

Etiologi
a) Sifilis disebabkan oleh triponema palidum, spiroket yang menginfeksi mukosa
sampai timbulnya kanker membran.
b) Lama masa inkubasi, dari waktu pajanan sampai timbulnya kanker primer,
bergantung pada jumlah microorganism yang menetap saat infeksi dan berapa
lama organism ini bereplikasi. Spiroket membutuhkan 33 jam untuk bereplikasi
dibandingkan bakteri yang hanya memerlukani beberapa menit untuk
bereplikasi.
c) inkubasi pada tahap primer adalah 10-90 hari setelah kontak, rata-rata 21 hari.
Tanda dan gejala sembuh dengan spontan dalam 3 minggu tanpa terapi.
d) Inkubasi pada tahap sekunder adalah 17 hari samapai 6 bulan setelah kontak,
rata-rata 2,5 bulan. Bila sifilis tidak diobati tanda dan gejala sembuh secara
spontan dalam 2-8 minggu, dengan rata-rata 4 minggu.
e) Tahap laten dimulai setiap lesi sekunder hilang.
f) Individu dinyatakan infeksius bila muncul salah asatu lesi primer atau
sekunder.Respon antibody awal adalah IgM, dan dalam 2 minggu IgM berubah
menjadi IgG.

Gejala Klinik
Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak
hamil, hanya perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa
memberikan hasil positif palsu.Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya
terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira kira sekitar umur kehamilan 16
minggu.Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder ditemukan pada kehamilan
setelah 16 minggu, kemungkinan untuk timbulnya sifilis congenital lebih
memungkinkan.
Tahap primer menunjukan ciri-ciri berikut :
1. Lesi primer adalah syanker: papula kecil yang membentuk jalan masuk
dan menghancurkan diri untuk membentuk ulserasi superficial yang tidak
nyeri, san berakhir selama 5 minggu dan sembuh secara spontan. Lesi ini
sehingga luput dari deteksi. Lesi mungkin satu atau banyak.
2. Sekitar 70% kasusu terjadi duseminata dari jalan masuk infeksi ke
kelenjar limfe yang menyebabkan pembesaran kelenjar limfe pada lipatan
paha dan axila yang diikuti pembesaran kelenjar limfe yang lain (bubo-
satelit), nyeri tekan dan berbatas tegas.
Tahap sekunder disebabkan diseminata hematogen yang berasal dari drainase
kelenjar limfe regional. Tahap sekunder ditandai dengan kondisi berikut:
a) Ruam kulit yang menyeluruh, bilateral, tidak gatal, dan tidak nyeri tampak
hamper diseluruh tubuh , namun terutama di membrane mukosa, telapak
tangan dan telapak kaki. Ruam yang muncul bias berupa salah satu atau
semua bentuk lesi berikut:
- Macula datar, berwarna tembaga
- Papula eritematosa, berkerak
- Pustule
b) Tampilan ruam dalam mulut berupa erosi putih yang disebabkan dengan
tempelan mukosa.
c) Lesi lecet yang berkombinasi dengan kondiloma latum yang terbentuk
pada area tubuh yang lembab, seperti area vulva dan perianal. Lesi ini
berupa sekelompok kecil veruka datar yang tertutup oleh eksudat keabu-
abuan; lesi ini sangat infeksius. Jangan keliru membedakan lesi ini dengan
kondiloma akuminata, veruka eksternal yang disebabkan oleh HPV.
d) Gejala sistemik yang biasa terjadi:
- Adenopati yang menyeluruh
- Demam, malaise, letargi dan sakit kepala
- Anoreksia dan penurunan berat badan
- Alopesia terjadi dimana saja pada tubuh.
Tahap laten terjadi setelah manifestasi sifilis sekunder hilang tanpa terapi.
Spiroket yang tinggal dalam keadaan dorman ditubuh dan termanifestasi sendiri
beberapa tahun kemudian seiring degenerasi banyak organ. Spiroket dapat
didiagnosis dengan uji laboratorium saat tidak ada manifestasi klinis, terutama
bila riwayat pejanan telah diketahui atau terdapat riwayat lesi primer atau
sekunder.
Dengan gejala:
- Luka primer didaerah genetalia atau tempat lain seperti dimulut dari sekitarnya.
Pada lues sekunder kadang kadang timbul kondiloma lata. Lues laten dan
sudah lama dapat menyerang organ tubuh lainnya.
- Pemeriksaan serologis reaksi wassermann dan VDRL.
- Kelahiran mati atau anak yang lalu dengan lues congenital merupakan petunjuk
bahwa ibu menderita sifilis.

Pemeriksaan Penunjang
1) Rapid plasma regain (RPR)
- Uji RPR bukan merupakan uji titer; RPR tidak menunjukkan kadar
antibody.
- Sekali positif, RPR tetap positif seumur hidup.
- Uji ini lebih sensitive dari pada VDRL dalam mendeteksi infeksi aktif
selama fase awal.
- Positif-palsu bias terjadi virus,vaksinasi, imunisasi, dan beberapa
penyakit, seperti malaria dan frambusia.
- Uji pou positif harus dipertimbangkan sebagai dugaan adanya sifilis,
sampai uji kedua uji yang berbeda dilakukan.
2) VDRL
- Sekali positif VDRL tetap positif seumur hidup.
- Positif-palsu bias terjadi virus,vaksinasi, imunisasi, dan beberapa
penyakit, seperti malaria dan frambusia.
- Uji pou positif harus dipertimbangkan sebagai dugaan adanya sifilis,
sampai uji kedua uji yang berbeda dilakukan
- Hasil positif palsu biasanya kurang dari 1:8
- Uji VDRL dinyatakan sebagai titer tidak seperti uji RPR
- Kadar VDRL rendah menunjukkan terapi yang efektif; kadar VDRL yang
tinggi menunjukkan infeksi aktif.
- Sekali pasien pernah mengidap sifilis seluruh uji darah akan positif.
VDRL merupakan uji yang sangat bermanfaat untuk tindak lanjut atau
diagnosis ulang.
3) Antibody treponema fluoresens (fluorescent treponema antibody, FTA)
- Uji FTA langsung pada eksudat lesi atau jaringan memberikan bukti
spesifik untuk mendiagnosis sifilis, uji ini mengidentifikasi organism
treponema.
- Sekali positif, hasil uji akan tetap positifdalam waktu yang lama, mungkin
seumur hidup.
- Pemeriksaan microscopis lapang-gelap (dark-field). Pemeriksaan serum
pada lesi dengan menggunakan microskop lapang gelap merupakan
metode definitive untuk mendiagnosis sifilis tahap awal, dan juga
mengidentifikasi organisme Treponema.

Diagnosis
1) Luka primer di daerah genital/tempat lain seperti di mulut. Pada lues sekunder
kadang timbul kondiloma lata. Lues laten dan telah lama dapat mengenai organ tubuh
lainnya.
2) Pemeriksaan serologis : reaksi wasermann dan VDRL.
3) Kelahiran mati atau anak yang lalu dengan lues congenital merupakan
petunjuk bahwa ibu menderita sifilis.

Diagnosis Banding
1) Indicator bahwa pasien mengidap sifilis
2) Diagnosis gonore, klamidia atau keduanya.
3) Pasien menunjukan kekhawatiran bahwa pasien mungkin mengidap infeksi
menular seksual (IMS)

Penatalaksanaan
Programkan VDRL atau RPR untuk semua pasien atas kunjungan awal prenatal.
1. Bila uji RPPR positif, pasien mungkin mengidap atau mungkin tidak mengidap
sifilis.
a. Programkan uji FTA bila tidak terdapat riwayat sifilis sebelumnya.
- Bila uji FTA negative dan tidak ada tanda atau gejala klinis, pasien
dianggap gejala sifilis.
- Bila FTA positif, lakukan uji VDRL. Pasien mungkin memerlukan
rangkaian VDRL untuk melacak titer. Juga dapatkan kultur spesifik
untuk gonore dan klamidia.
b. Tanyakan kepada pasien mengenai kemungkinan pajanan, riwayat atau
adanya tanda dan gejala.
- Yakinkan pasien bahwa RPR positif belum tentu menunjukan sifilis
.untuk menyingkirkan hasil RPR positif palsu, tunggu hasil FTA
atau VDRL.
- Bila factor tersebut muncul, anjurkan pasien datang untuk
pemeriksaan fisik dan untuk melihat adanya tanda lesi primer dan
sekunder.

Pengobatan
- Berikan penisilin yang merupakan satu-satunya terapi untuk sifilis selama
kehamilan karena obat ini melewati sawar plasenta.
- Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya sebelum
hamil atau pada triwulan 1 untuk mencegah penularan pada janin.
- Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi wasserman dan VDRL,
bila perlu diobati.
- Terapi (kolaborasi dengan ahli kandungan ).
- Suntikan penicillin G secara IM sebanyak 1 juta satuan /hr selama 8-10 hari.
- Obat peroral penicillin dan eritromisin.
- Lues congenital pada neonatus : penicillin G 100.000 satuan / kg BB

INFEKSI GONOROEA PADA IBU HAMIL

Definisi
Gonore adalah IMS yang disebabkan oleh diplokokus intrasel gram-negatif
anaerob Neisseria gonorrhoeae.
Gonorea adalah semua infeksi yang disebabkan oleh neisseria gonorrhea. N.
gonorrrhoeae dibawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji
kopi dengan lembar 0,8 m dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat gram
negative, tampak diluar dan di dalam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan
lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahanpada suhu di atas
39 C, dan tidak tahan zat desinfektan.

Etiologi
1) Organisme gonokokus (gonokokus, GC) adalah bakteri diplokokus berbentuk
kacang-kacang merah, yang bersifat patogen pada epitel. Lokasi infeksi yang
umum mencakup :
- Orofaring
- Konjungtiva mata
- Uretra pria
- Saluran reproduksi wanita. GC menetap dalam vagina hingga menstruasi,
saat kanalis serviks terbuka, dan kemudian naik ke uterus serta tuba falopi.
- Rektum
2) Infeksi sebelumnya memberikan antibody, namun bukan imunitas. Baik
virulensi bakteri maupun daya tahan tubuh individu bervariasi.

Gejala Klinik
Perjalanan penyakit: awitan terjadi 3-7 hari setelah masa menstruasi pertama
mengikuti perjalanan. Gejala mulai mereda 7-10 hari kemudian dan biasanya lenyap
setelah 21 hari tanpa terapi ( lebih cepat mereda dengan terapi ).
Gonorea akut:
Gejala klinis: disuria, uretritis, servisitis, dan kolpitis dengan keputihan
banyak seperti nanah encer, berwarna kuning atau kuning hijau. Bila penakit ini lebih
meluas dapat menyebabkan vovokolpitis dan bartolinitis akut.
Gonorea kronik
Penyakit menjalar keatas: endometritis, endosalpingitis, dan pelveoperitonitis.
Apabila kuman masuk kedalam aliran darah akan timbul arthritis dan endokaditis.
Gambaran klinik dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dari
pria.hal ini disebabkan perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan
perempuan.Gonorea pada perempuan kebanyakan asimptomatik sehingga sulit
menentukan masa inkubasinya.
Infeksi gonorea selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic
inflammatory disease (PID).Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama
sebelum korion berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri.Pada tahap lanjut,
neisseria gonorrhoeae diasosiasikan dengan ruptur membrane yang prematur,
kelahiran prematur, koriamnionitis, dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis
gonokokal (ophthalmia neonatorum), manifestasi tersering dari infeksi perinatal,
umumnya ditransmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini
dapat mengarah pada perforasi kornea dan panof talmitis.Infeksi neonatal lainnya
yang lebih jarang termasuk meningitis sepsis diseminata dengan artritis, serta infeksi
genital dan rectal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan memeriksa hapusa uretra atau
serviks dengan metode blue atau gram.Hasil yang positif bila dijumpai banyak sel
nanah serta diplokokus intra dan ekstraseluler. Lebih baik lagi bila dilakukan
pembiakan (kultur) dan sekaligus uji kepekaan kuman.
Untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining
terhadap infeksi gonorea pada saat datang untuk pertama kali antenatal dan juga pada
trimester ketiga kehamilan. Akan tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan
kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.

Diagnosis
Gonorea dapat dipastikan dengan menemukan N. gonorrhoeae sebagai penyebab,
baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensiyivitas dan spesifisitas dengan
pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar 45 65 %, 90 99%, sedangkan
sensitivitas dan spesifitas dengan kultur sebesar 85 95% ,> 99%. Oleh karena itu
untuk menegakkan diagnosis gonorea pada perempuan perlu dilakukan kultur. Secara
epidemiologis pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonorea tanpa komplikasi
adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang direkomendasikan oleh CDC
adalah sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg intramuscular, siprofloksasin
500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral, levofloksasin 250 mg per oral, atau
spektomisin 2 g dosis tunggal intramuscular.

Diagnosis Banding
Diagnosis harus dipertimbangkan dan disingkirkan, tergantung pada sisi yang
terinfeksi gonokokus.
- Uretra : singkirkan dugaan ISK atau klamidia
- Serviks, vagina, dan kelenjar bartholin : singkirkan dugaan infeksi
nongonokokus, terutama clamidia.
- Endometrium atau endosalping : singkirkan dugaan kondisi berikut ini:
Nyeri ligamen teres
Diverticulitis
Apendisitis
Kehamilan ektopik
Aborsi sepsis
Endometriosis panggul
Batu ginjal

Penatalaksanaan
1) Diagnosis penyakit dengan memriksa kultur GC serviks atau uretra bila ada
tanda dan gejala uretritis.
2) Lakukan kultur GC serviks bila terdapat kondisi berikut :
Bila ada tanda dan gejala gonore
Bila pasien didiagnosis sifilitis atau clamidia
Bila pasien menunjukkan kekhawatiran bahwa ia mungkin terkena infeksi
menular seksual ( IMS ).
3) Bila uji kultur positif, lakukan prosedur berikut ini :
- Dapatkan hasil VDRL untuk menyingkirkan dugaan sifilis sebelum
pengobatan diberikan.
- Pertimbangkan untuk mengobati pasien di klinik. Beritahukan kasus ini ke
departemen kesehatan subbagian infeksi dan pengobatan.
4) Ikuti pengobatan standart yang direkomendasikan oleh CDC :
1. Pasien yang tidak hamil
- Rekomendasikan 125 mg Rocephin ( seftriakson ) IM dalam dosis
tunggal atau 400 mg ofloksasin per oral dalam dosisi tunggal, diikuti
dengan 1 g zithromax ( azitromisin ) per oral dalam dosis tunggal
atau 100 mg doksisiklin per oral, 2 kali/hari selama 7 hari.
- Regimen pengganti
Rekomendasikan 2 g spektinomisin IM dalam dosis tungal,
diikuti dengan salah satu pemberian 1 g zithtromax per oral
dalam dosis tunggal atau 100 mg doksisiklik per oral, 2 kali per
hari selama 7 hari.
Bila infeksi terjadi pada individu yang tidak terbukti resisten
terhadap penisilin , berikan 3 g amoksilin per oral disertai 1 g
probenesid, diikuti 100 mg doksisiklik per oral, 2 kali per hari
selama 7 hari.
2. Pasien hamil : berikan 125 mg rochepin IM dalam dosis tunggal atau 2 g
spektinomisin IM dalam dosis tunggal, diikuti dengan pemberian 1 g
zithromax per oral dalam dosis tunggal atau 500 mg amoksisilin per oral,
3 kali per hari selama 7 hari..
5) Setelah pengobatan, tindak lanjut dengan tindakan berikut :
Kultur ulang serviks setelah terapi dilakukan pada waktu berikut:
- Satu minggu setelah pengobatan selesai.
- Diagnosis gonore selama kehamilan.
- Kultur ulang serviks dalam 1 bulan taksiran partus (TP) untuk
membuktkan kesembuhan atau menyingkirkan dugaan reinfeksi
sebelum pelahiran.
- Kultur ulang serviks pada kunjungan pascapartum minggu ke 6
Bila hasil positif kapanpun, obati ulang pasien, jelaskan kepada pasien
mengenai diagnosisnya, berikan pendidikan kesehatan mengenai
gonokokus, dan tekankan pentingnya menyelesaikan pengobatan dan
tindakan tindak lanjut.
Hubungi pasangan seksual pasien ( segala usaha harus dilakukan ) dan
konfirmasikan pengobatan pasien atau pasangan kepada departemen
kesehatan.
6) Bila gonore didiagnosis selama kehamilan
- Pastikan dokter anak atau perawat praktisi neonates memberitahukan
diagnosis bayi setelah pelahiran.
- Waspadai tanda-tanda PRP GC pada pasien pascapartum dan
konsultasikan dengan dokter bila terjadi.

Pengobatan
Penisilin prokain G: 2,4 juta satuan perhari selama 2-4 hari
Eritromisin 4 x 0,5 per hari selama 5-10 hari
Suami juga perlu diperiksa kalau perlu diobati juga
Obat obat antibiotika spectrum luas lainnya
Profilaksis bayi 1% atau salep garamisin atau penisilin.


ABORSI MENGANCAM

BATASAN
Berakhirnya kehamilan pada umur kehamilan < 20 minggu atau berarti janin < 500
Gram (Williams, Obstetric: beberapa Negara Eropa masih menggunakan definisi kurang dari
1000 gram)

KLASIFIKASI
I. Menurut Pengolongan Jenis :
1. Abortus Spontan : terjadi denghan sendirinya
2. Abortus Provokatus : disengaja
a. Abortus Terapetikus : dengan alas an kehamilan membahayakan ibunya atau
janin cacat
b. Abortus Provokatus Kriminalis : tanpa alas an medis yang sah
II. Menurut derajat / tingkat :
1. Abortus Iminens : abortus yang membakat ditandi dengan perdarahan pervaginam
yang minimal, tetapi portio uteri (kanalis servikalis) masih tertutup.
2. Abortus Insipiens : pembukaan servik yang kemudian diikuti oleh kontraksi uterus
namun buah kehamilan belum ada yang keluar.
3. Abortus Inkomplet : biasanya ada pembukaan serviks, sebagian hasil konsepsi sudah
keluar (plasenta) sebagian masih tertahan di dalam rahim. Biasanya diikuti
perdarahan hebat.
4. missed Abortion : tertahannya hasil konsepsi yang telah mati dalam rahim selamat
8 minggu. Ditandai dengan tinggi fundus uteri yang menetap bahan mengecil.
Biasanya tidak diikuti tanda-tanda abortus seperti perdarahan, pembukaan servik.
5. Abortus Habitualis : adalah abortus spontan 3 kali atau lebih secara berturut-turut.
6. Abortus Infeksious : Abortus : Abortus yang mengalami infeksi.

ETIOLOGI
1. Ovum patologi (Blighted Ovum)
Embrio degenerasi yang kadang-kadang disertai pertumbuhan plasenta abnormal
2. Kromosom abnormal
Misalnya monosomia dan trisomia
3. Kelainan pada sel telur dan sperma
Spermatozoa maupun sel telur yang mengalami aging process sebelum fertifikasi akan
meningkatkan insiden abortus
4. Kondisi rahim yang tidak optimal
Gangguan control hormonal dan factor-faktor endokrin lain yang berhubungan dengan
persiapan uterus dalam menghadapi proses implantasi dan penyediaan nutrisi janin:
gangguan pada copus luteum
5. Penyakit ibu.
Penyakit kronis : hipertensi, diabetes mellitus, keganasan.
Penyakit Infeksi : toksoplasmosis, rubella, sifilis.
6. Malnutrisi
7. Inkompatibilitas Rhesus.
Reaksi antara Rh dan anti Rh menyebabkan proses autoimunologik sehingga terjadi
eritoblastosis fetalis
8. Laparotomi.
Makin dekat lokasi pembedahan ke organ pelvis, kemungkinan abotus meningkat.
9. Organ repoduksi abnormal.
Mioma uteri, inkompetensia serviks, septum uteri
10. Trauma fisik dan jiwa
Rasa frustasi, kepribadian prematur
11. Keracunan
Tembakau, alcohol, radiasi.
12. Cervix Incompeten

PATOFISIOLOGI
Perubahan patologi dimulai dari perdarahan pada desidua basalis yang menyebabkan nekrosis
jaringan sekitar. Selanjutnya sebagian atau seluruh janin akan terlepas dari dinding rahim.
Keadaan in merupakan benda asing bagi rahim sehingga merangsang kontraksi rahim untuk
terjadi ekspulsi. Bila ketuban pecah terlihat maserasi janin bercampur air ketuban. Seringkali
fetus tak tampak dan in idisebut blighted ovum

KOMPLIKASI
1. Perdarahan : Mengakibatkan anemi syok dan syok hipovolemik
2. Infeksi : Abortus infeksi dan sepsis

GEJALA KLINIS
1. Perdarahan
a. Berlangsung ringan sampai dengan berat
b. Perdarahan pervaginam pada abortus imminen biasanya ringan berlangsung berhari-
hari dan warnanya merah kecoklatan
2. Nyeri
a. cramping pain. Rasa nyeri seperti pada waktu haid di daerah suprasimfiser,
pinggang dan tulang belakang yang bersifat ritmis.
3. Febris
a. Menunjukkan proses infeksi antra genital, biasanya disertai lokia berbau dan nyeri
pada waktu pemeriksaan dalam.


DIAGNOSIS,GEJALA KLINIS DAN PENATALAKSANAAN
Diagnosis Gejala Klinis Penatalaksanaan
1. Abortus Imminen - (Ada) amenore
- (Ada) tanda-tanda hamil muda
- Perdarahan pervaginam, nyeri-
nyeri (cramping pain)
- V.T (pemeriksaan dalam:
- Istirahat tirah baring
- Tokolitik : isoxuprine tiap
8 jam
- Preparat progesterone 2-
3X1tab setiap 8 12 jam
ostium uteri menutup - Antiprostaglandin 500mg
setiap 8 jam
2. Abortus Insipiens - Pendarahan pervaginam nyeri
(his)
- VT : ostium uteri menipis dan
terbuka ketuban menonjol
Buah kehamilan utuh

- Kuret atu drip oxytocin
bila kehamilan lebih dari
12 minggu dilanjutkan
- Methylergometthrine
maleat 1tab, setiap 8 jam
selama 5 hari
- Amoxyciline 500 mg
setiap 6 jam selama 5 hari

ABORSI SPONTAN KOMPLIT

Abortus Spontan Komplit

abortus yang hasil konsepsi (desidua dan fetus) keluar seluruhnya sebelum usia kehamilan
20 minggu.
ETIOLOGI
1. 48% karena abnormalitas ovum
2. Obat yang bersifat uterotonik
3. Endokrin hipertiroidisme, diabetes melitus,
4. infeksi
5. Faktor ibu: hipoplasia uteri, uteri bikornus, uterus retrofleksi
6. gangguan perfusi plasenta

Faktor Resiko
1. Umur ibu >35 tahun
2. multipara. resiko 6% pada kehamilan pertama, 16% pada kehamilan kedua,
dan terus meningkat pada kehamilan berikutnya
3. Merokok
4. Alkohol

GAMBARAN KLINIS
1. Perdarahan per vagina
2. nyeri tumpul abdomen di regio suprapubik. Akan hilang setelah semua hasil
konsepsi keluar
3. pembukaan serviks +
4. uterus tidak terpalpasi
DIAGNOSIS
1. Ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis
2. Periksa kadar HCG dan USG untuk menyingkirkan DD KET
Tata Laksana
1. Memastikan abortus yang terjadi adalah abortus komplet dengan USG
2. Manajemen perdarahan. Beri tablet Fe, rehidrasi, atau trannsfusi sesuai
dengan perdarahan yang terjadi
ABORTUS INKOMPLIT

A. KONSEP ABORTUS SPONTAN
1. Pengertian
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat akibat tertentu pada atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di
luar kandungan (Prawirohardjo,2006).
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin mampu hidup diluar kandungan
(Nugroho,2010)
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi dari luar untuk
mengakhiri kehamilan tersebut, terminologi umum untuk masalah ini adalah keguguran
seperti abortus imminens, insipiens, komplit, inkomplit, dan missed abortion. Sedangkan
abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan untuk
mengakhiri proses kehamilan, terminologi untuk keadaan ini adalah pengguguran, aborsi atau
abortus provokatus (Prawirohardjo,2006).
2. Manifestasi klinis
Karena abortus spontan banyak jenisnya maka untuk lebih memudahkan berikut beberapa
macam abortus dan manifestasi klinisnya :
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Abortus (Manuaba,2007)
Jenis abortus Manifestasi klinisnya
Abortus imminen a. Terasa nyeri / kram ringan pada abdomen
b. Disertai perdarahan ringan, encer
c. Perdarahan bercak, dan sedang
d. Pemeriksaan dalam/spekulum:
1) Servik tertutup
2) Hegar positif
3) Piskacek positif
4) Chadwieck positif
e. Pembesaran uterus sesuai usia kehamilan
f. Hasil konsepsi masih dalam uterus
g. Tes kehamilan positif
Abortus insipien
a. Terasa nyeri / kram berat
b. Perdarahan banyak bahkan disertai gumpalan
c. Pemeriksaan dalam :
1) Servik membuka
2) Ketuban menonjol
3) Terasa kontraksi uterus berlanjut
d. Pembesaran uterus sesuai usia kehamilan
e. Belum terjadi ekspulsi hasil konsepsi
f. Tes kehamilan mungkin masih positif
Abortus inkomplit
a. Nyeri hebat
b. Perdarahan banyak
c. Sudah terjadi abortus dengan mengeluarkan jaringan tetapi sebagian masih berada di dalam
uterus
d. Pemeriksaan dalam :
1) Servik masih membuka, mungkin teraba jaringan sisa
2) Perdarahan mungkin bertambah setelah pemeriksaan dalam
e. Pembesaran uterus sesuai usia kehamilan
f. Tes kehamilan mungkin masih positif akan tetapi kehamilan tidak dapat dipertahankan.
Abortus komplit a. Nyeri perut sedikit
b. Ekspulsi total jaringan hasil konsepsi
c. Perdarahan sedikit
d. Pemeriksaan dalam
1) Servik terbuka sedikit terkadang sudah menutup
2) Jaringan kosong
3) Perdarahan minimal
e. Uterus besarnya kecil dari usia kehamilan
f. Tidak ada lagi gejala kehamilan dan tes kehamilan negative
Abortus tertunda (missed abortion) a. Janin sudah meninggal dalam rahim tetapi tidak
dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.
b. Tanpa ada rasa nyeri
c. Perdarahan bisa ada, bisa tidak
d. Payudara terasa mengecil
e. Hilangnya tanda tanda kehamilan
g. Berat badan ibu menurun
h. Besar uterus lebih kecil dari umur kehamilan
Abortus sepsis a. Disertai rasa nyeri dan panas
b. Perdarahan ringan dari jalan lahir dan berbau
c. Rahim terasa nyeri saat perabaan
d. Adanya tanda tanda infeksi pada genitalia
Abortus habitualis Abortus spontan yang terjadi 3 kali berturut turut atau lebih
Gb. 2.1 Kondisi rahim sesuai dengan jenis abortus (Prawirohardjo,2006)
3. Etiologi
Abortus inkomplit merupakan salah satu abortus spontan, banyak faktor penyebab terjadinya
abortus spontan.
Penyebab abortus spontan (Manuaba,2009) :
a. Faktor genetik
1) Kelainan kromosom
Kelainan kromosom yang sering ditemukan pada abortus spontan adalah trisomi, monosomi,
triploid/tetraploid
2) Abortus dua kali karena kelainan kromosom terjadi 80%
3) Sindrom Ehlers Danlos
Yaitu suatu keadaan membran endometrium sangat rapuh sehingga mudah ruptur atau pecah
(rupture membrane abortus spontan)
b. Faktor hormonal
1) Defisiensi luetal
2) Abortus berulang karena faktor hormonal sekitar 35 50%
3) Ibu hamil menderita penyakit hormonal. Seperi diabetes mellitus dan gangguan kelenjar
tyroid
c. Kelainan anatomi uterus
1) Sub mukosa mioma uteri
2) Kelainan kongenital uterus seperti, septum, uterus arkuatus yang berat, terdapat polip uteri
3) Serviks inkompeten
d. Faktor infeksi genitalia interna
1) Toxoplasmosis
2) Sitomegalovirus
3) Rubela
4) Herpes simpleks
5) Infeksi endometrium (klamidia, toksoplasmosis, mycoplasma hominis
e. Intoksikasi agen eksternal
1) Intoksikasi bahan anestesi
2) Kecanduan (alkohol. Perokok, agen lainnya)
f. Postur ibu hamil
1) Kurus, BB kurang dari 40 kg
2) Gemuk, BB diatas 80 kg
g. Faktor paternal
1) Hiperspermatozoa, jumlah sperma lebih dari 250 juta
2) Oligospermatozoa, jumlah sperma kurang dari 20 juta
3) Prinsipnya kekurangan DNA
h. Faktor imunologis
1) Faktor alloimmune
a) Penolakan maternal terhadap hasil konsepsi yang mengadakan implantasi
b) Jika tipe homolog HLA atau antipaternal antibody tinggi, akan berlangsung abortus
c) Kehamilan dipertahankan oleh komponen :
(1) Lokal autoimmune reaksi sehingga menetralkan antipaternal antibody yang dijumpai pada
sebagian ibu hamil
(2) Faktor hormonal dari plasenta yaitu human chorionic gonadotropin dan progesterone
2) Faktor antibody autoimun, terutama :
a) Antibody antiphosfolipid :
(1) Menimbulkan thrombosis, infrak plasenta, perdarahan
(2) Gangguan sirkulasi dan nutrisi menuju janin dan diikuti abortus
(3) Antibody anticardiolipin, dalam lupus anticoagulant (LAC)
(4) Menghalangi terbentuknya jantung janin sehingga akan menyebabkan abortus.
Nugroho juga membagi faktor pencetus terjadinya abortus menjadi dua (Nugroho,2010)
a. Faktor fetal
Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada trimester pertama merupakan anomaly kromosom
dengan dari jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan triploidi,
tetraploidi atau monosomi 45X.
b. Faktor maternal
1) Faktor faktor endokrin
a) Beberapa gangguan endokrin telah terlibata dalam abortus spontan berulang, termasuk
diantaranya adalah diabetes mellitus tak terkontrol, hipo dan hipertiroid, hiperkresi
luteinizing hormone, insufisiensi korpus luteum atau disfungsi fase luteal dan penyakit
polikistik ovarium
b) Pada perkembangan terbaru peranan hiperandrogenemia dan hiperprolaktinemia telah
dihubungkan dengan terjadinya abortus berulang
2) Faktor faktor anatomi
a) Anomaly uterus termasuk malformasi kongenital, defek uterus yang di dapat , leiomioma
dan inkompetensia serviks.
b) Meskipun anomali anomali ini sering dihubungkan dengan abortus spontan, insiden,
klasifikasi dan peranannya dalam etiologi masih belum diketahui secara pasti . Penelitian lain
menunjukkan wanita dengan anomali didapat seperti ashermans syndrome, adhesi uterus dan
anomali didapat melalui paparan dietilestilbestrol memiliki angka kemungkinan hidup fetus
yang lebih rendah dan meningkatnya angka kejadian abortus.
3) Faktor faktor immunologi
a) Pada kehamilan normal, system imun maternal tidak bereaksi terhadap spermatozoa atau
embrio, namun 40% pada abortus berulang diperkirakan secara imunologis kehadiran fetus
tidak dapat di terima.
b) Respon imun dapa dipicu oleh beragam faktor endogen dan eksogen, termasuk
pembentukan antobodi antiparental, gangguan autoimun yang mengarah pada pembentukan
antibodi autoimun (antibody antifosfolipid, antibody antinuclear, aktivasi sel B poliklonal),
infeksi, bahan bahan toksik dan stress.
4) Trombofilia
a) Trombofilia merupakan keadaan hiperkoagulasi yang berhubungan dengan predisposisi
terhadap trombolitik
b) Kehamilan akan mengawali keadaan hiperkoagulasi dan melibatkan keseimbangan antara
jalur prekoagulan dan antikoagulan
c) Trombofilia dapat merupakan kelainan yang herediter atau didapat
d) Terdapat hubungan antara antibodi antifosfolipid yang didapat dan abortus berulang dan
semacam terapi dan kombinasi terapi yang melibatkan heparin dan aspirin telah
direkomendasikan untuk menyokong pemeliharaan kehamilan sampai persalinan.
e) Pada sindrom antifosfolipid, antibodi fosfolipid mempunyai hubungan dengan kejadian
trombisis vena, trombosis arteri, abortus atau trombositopenia. Namun, mekanisme pasti
yang menyebabkan antibodi fosfolipid mengarah ke trombosis masih belum diketahui
f) Pada perkembangan terbaru, beberapa gangguan trombolitik yang herediter atau didapat
telah dihubungkan dengan abortus berulang termasuk faktor V leiden, defisiensi protein
antikoagulan dan antitrombin, hiperhomosistinemia, mutasi genetik protrombin, dan mutasi
homozigot pada gen metileneterhidrofolat reduktase.
5) Infeksi
a) Infeksi infeksi maternal yang memperlihatkan hubungan yang jelas dengan abortus
spontan termasuk sifilis, parvovirus B19, HIV dan malaria.
b) Brusellosis, suatu penyakit zoonosis yang paling sering menginfeksi manusia melalui
produk susu yang tidak dipasteurisasi juga dapat menyebabkan abortus spontan.
6) Faktor faktor eksogen
Meliputi bahan bahan kimia :
a) Gas anestesi
(1) Nitrat oksida dan gas gas anestesi lainnya diyakini sebagai faktor resiko untuk
terjadinya abortus spontan.
(2) Pada suatu tinjauan oleh Tannebaum dkk, wanita yang bekerja dikamar operasi sebelum
dan selama kehamilan mempunyai kecendrungan 1,5 sampai 2 kali untuk mengalami abortus
spontan.
(3) Pada suatu penelitian meta-analisis yang baru, hubungan antara pekerjaaan maternal yang
terpapar gas anestesi dan resiko abortus spontan digambarkan adalah 1,48 kali dari pada yang
tidak terpapar.
b) Air yang tercemar
(1) Suatu penelitian prospektif di California menemukan hubungan bermakna antara resiko
abortus spontan pada wanita yang terpapar trihalometanan dan terhadap salah satu
turunannya, bromodikhlorometana.
(2) Demikian juga dengan wanita yang tinggal di daerah Santa Clara, daerah yang dengan
kadar bromide pada air permukaan paling tinggi tersebut, memiliki resiko 4 kali lebih tinggi
untuk mengalami abortus spontan.
c) Dioxin
Dioxin telah terbukti menyebabkan kanker pada manusi dan binatang dan menyebabkan
anomali reproduksi pada binatang. Beberapa penelitian pada manusai menunjukkan
hubungan antara dioxin dan abortus spontan.
d) Pestisida
Resiko abortus spontan telah diteliti pada sejumlah kelompok pekerja yang menggunakan
pestisida
7) Gaya hidup merokok dan alkoholisme
Penelitian epidemiologi mengenai merokok tembakau dan abortus spontan menemukan
bahwa merokok dapat sedikit meningkatkan resiko untuk terjadinya abortus spontan. Namun
hubungan antara merokok dan abortus spontan tergantung pada faktorfaktor lain termasuk
konsumsi alkohol, perjalanan reproduksi, waktu gestasi untuk abortus spontan, kariotipe
fetal, dan status sosial ekonomi.
Peningkatan kejadian abortus spontan pada wanita alkoholik mungkin berhubungan dengan
akibat tak langsung dari gangguan terkait alkoholisme.
8) Radiasi
Radiasi ionisasi dikenal menyebabkan gangguan hasil reproduksi termasuk malformasi
kongenital, restriksi pertumbuhan intrauterine dan kematian embrio.
Sedangkan menurut Sarwono hal hal yang menyebabkan abortus spontan dibagi atas :
(Prawirohardjo,2006)
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin atau cacat.
Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian mudigah pada hamil-hamil muda. Faktor-
faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan diantaranya:
1) Kelainan kromosom. Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi,
poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks
2) Lingkungan kurang sempurna. Bila lingkungan di endometrium disekitar tempat
implantasi kurang sempurna, pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi akan terganggu
3) Pengaruh dari luar. Radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat mempengaruhi baik
hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus. Pengaruh ini umumnya
dinamakan pengaruh teratogen.
b. Kelainan plasenta
Endarteritis dapat terjadi pada vili koriales dan menyebabkan oksigenisasi plasenta
terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini
bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi menahun.
c. Penyakit ibu
Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa abortus tersebut
mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu, karena pada saat terjadinya abortus lebih
belakangan, pada sebagian kasus dapat ditentukan etiologi abortus yang dapat dikoreksi.
Sejumlah penyakit, kondisi kejiwaan dan kelainan perkembangan pernah terlibat dalam
peristiwa abortus euploidi.
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria dan lain-lain
dapat menyebakan abortus. Toksin, bakteri, virus, atau plasmodium dapat melalui plasenta
masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin, dan kemudian terjadilah abortus.
Anemia berat, keracunan, laparotomi, peritonitis umum, dan penyakit menahun seperti
brusellosis, mononukleosis, infeksiosa, toksoplasmosis, juga dapat menyebabkan abortus
walaupun lebih jarang.
d. Kelainan traktus genitalis
Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus.
Tetapi harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravidi inkarserata atau mioma submukosa
yang memegang peranan penting. Sebab lain abortus dalam trimester ke II adalah servik
inkompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan pada servik, dilatasi servik berlebihan,
konisasi, amputasi, atau robekan servik yang tidak dijahit.
4. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis
jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau
seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil
konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis belum menembus desidua
secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi korialis menembus
desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat
menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya yang
dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta.
Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. Peristiwa abortus ini
menyerupai persalinan dalam bentuk miniature.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya kantong
amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas dan mungkin
pula janin telah mati lama. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu yang
cepat maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah, isi uterus dinamakan mola kruenta.
Bentuk ini menjadi mola karnosa apaila pigmen darah telah diserap dan dalam sisanya terjadi
organisasi sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberose,
dalam hal ini amnion tampak berbenjol benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan
korion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi
diamana janin mengering dan karena cairan amnion berkurang maka ia jadi gepeng (fetus
kompressus). Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus
papiraseus)
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak segera dikeluarkan adalah terjadinya maserasi,
kulit terkupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terisi cairan dan seluruh
janin berwarna kemerah merahan dan dapat menyebabkan infeksi pada ibu apabila
perdarahan yang terjadi sudah berlangsung lama.(Prawirohardjo,2005),
5. Diagnosa dan Prognosa
Abortus dapat diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang
perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, sering terdapat pula terasa mules.
Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan
bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis atau imunologik. Harus diperhatikan
macam dan banyaknya perdarahan, pembukaan servik dan adanya jaringan dalam kavum
uteri atau vagina (Prawirohardjo,2006)
Dugaan abortus diperlukan beberapa kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat keterlambatan datang bulan
b. Terjadi perdarahan
c. Disertai sakit perut
d. Dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi
e. Pemeriksaan tes hamil dapat masih positif atau sudah negatif.
Hasil pemeriksaan fisik terhadap penderita bervariasi
a. Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah perdarahan
b. Pemeriksaan fundus uteri :
1) Tinggi dan besarnya fundus tetap dan sesuai usia kehamilan
2) Tinggi dan besarnya sudah mengecil
3) Fundus uteri tidak teraba diatas simfisis
Pemeriksaan dalam :
a. Servik uteri masih tertutup
b. Servik sudah terbuka dan dapat teraba ketuban dan hasil konsepsi dalam kavum uteri atau
pada kanalis servikalis
c. Besarnya rahim atau uterus mengecil
d. Konsistensinya lunak.
(Sujiyatini,2009)
Sebagai kemungkinan diagnosis lain harus dipikirkan yaitu kehamilan ektopik yang
terganggu, mola hidatidosa, kehamilan dengan kelainan pada servik. Untuk penegakan
diagnose disesuaikan dengan gejala klinis masing masing abortus. Sedangkan untuk
prognosa abortus juga tergantung pada jenis abortus dan kondisi pasien
(Prawirohardjo,2006).
6. Penatalaksanaan
Penanganan umum :
a. Lakukan penilaian awal untuk menentukan kondisi pasien (gawat darurat, komplikasi berat
atau masih cukup stabil)
b. Pada kondisi gawat darurat, segera upayakan stabilisasi pasien sebelum melakukan
tindakan lanjutan (yindakan medic atau rujukan)
c. Penilaian medic untuk menentukan kelaikan tindakan di fasilitas kesehatan setempat atau
dirujuk kerumah sakit.
1) Bila pasien syok atau kondisinya memburuk akibat perdarahan hebat segera atasi
komplikasi tersebut
2) Gunakan jarum infuse besar (16G atau lebih besar) dan berikan tetesan cepat (500 ml
dalam 2 jam pertama) larutan garam fisiologis atau Ringer
d. Periksa kadar Hb, golongan darah dan uji padanan silang (crossmatch)
a. Bila terdapat tanda tanda sepsis, berikan antibiotic yang sesuai
b. Temukan dan hentikan segera sumber perdarahan
c. Lakukan pemantauan ketat tentang kondisi pasca tindakan dan perkembangan lanjut
(Prawirohardjo,2006)
Tabel 2.2 Penatalaksanaan abortus sesuai dengan jenis abortus (Prawirohardjo,2006)
Jenis abortus Penatalaksanaannya
Abortus imminen a. Tidak diperlukan pengobatan medic yang khusus
b. Istirahat (tirah baring), agar aliran darah ke uterus meningkat dan ransang mekanik
berkurang
c. Anjurkan untuk tidak melakukan aktifitas berlebihan atau melakukan hubungan seksual
d. Bila perdarahan berhenti lakukan asuhan antenatal terjadwal
e. Bila perdarahan berlanjut, nilai kondisi janin melalui tes kehamilan atau USG
Abortus insipiens a. Uterus harus segera dikosongkan untuk menghindari perdarahan yang
banyak atau syok karena rasa mules dan sakit yang hebat
b. Pasang infuse, sebaiknya diertai oksitosin drip untuk mempercepat pengeluaran hasil
konsepsi
c. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilakukan dengan kuretase atau dengan cunam abortus
disusul dengan kerokan
d. Sebelum dilakukan kuretase diberikan antibiotika prifilaksis
e. Bila prosedur evakuasi tidak dapat segera dilakukan atau usia gestasi lebih besar dari 16
minggu, lakukan tindakan pendahuluan dengan :
f. Infuse oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS atau RL mulai dengan 8 tetes/menit yang dapat
dinaikkan hingga 40 tetes/menit, sesuai dengan kondisi kontraksi rahim hingga terjadi
pengeluaran hasil konsepsi
1) Ergometrin 0,2 mg IM yang diulangi 15 menit kemudian
2) Misoprostol 400 mg peroral dan apabila masih diperlukan dapat diulangi dengan dosis
yang sam setelah 4 jam dari dosis awal.
Abortus inkomplit
a. Bila disertai syok karena perdarahan segera pasang infuse dengan cairan NaCl fisiologis
atau cairan Ringer Laktat, bila perlu disusul dengan transfuse darah
b. Setelah syok teratasi, lakukan kerokan
c. Pasca tindakan berikan injeksi metal ergometrin maleat intra muscular untuk
mempertahankam kontraksi otot uterus
d. Perhatikan adanya tanda tanda infeksi
e. Bila tak ada tanda tanda infeksi berikan antibiotika prifilaksis (ampisilin 500 mg oral
atau doksisiklin 100 mg)
f. Bila terjadi infeksi beri ampisilin I g dan metronidazol 500 mg setiap 8 jam
Abortus komplit a. Tidak memerlukan pengobatan khusus, cukup uterotonika atau kalau
perlu antibiotika
b. Apabila kondisi pasien baik, cukup diberikan tablet ergometrin 31 tablet/hari untu 3 hari
c. Apabila pasien mengalami anemia sedang, berikan tablet sulfas Ferosus 600 mg/hari
selama 2 minggu disertai anjuran mengkonsumsi makanan bergizi (susu, sayuran segar, ikan,
daging, telur). Untuk anemi berat berikan transfusi darah
d. Jika infeksi berikan antibiotika profilaksis
Abortus tertunda (missed abortion) a. Karena sering plasenta melekat maka penanganan
harus dirumah sakit
b. Periksa kadar fibrinogen atau test perdarahan dan pembekuan darah sebelum tindakan
kuretase. Bila normal jaringan konsepsi dapat segera dikeluarkan, teapi bila kadarnya rendah
( 7gr/dl (anemia) atau dicurigai adanya infeksi
Tubektomi Segera Sesuai untuk pasangan yang ingin menghentikan fertilitas, jika dicurigai
adanya infeksi, tunda samapi keadaan jelas. Jika Hb kurang dari 7g/dl, tunggu sampai anemia
telah diperbaiki. Sediakan metode alternatif seperti kondom.

ABORSI SPONTAN KOMPLIT




HIPEREMESIS GRAVIDARUM

Hiperemesis Gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat selama
kehamilan, yang terjadi pada 1 %-2 % dari semua kehamilan atau 1-20 pasien per
1000 kehamilan.
Etiologi

Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai penurunan berat badan 5 % dari berat
sebelum hamil, dehidrasi, turgor kulit yang menurun, perubahan tekanan darah dan
nadi. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain, pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes fungsi hati, dan urinalisa untuk
menyingkirkan penyebab lain.

Komplikasi
Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena
hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi
buruk, alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan
elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang
mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-muntah berat,
Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi, kejang, coma),
perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan, IUGR dan
kematian janin.


INKOMPATIBILITAS DARAH

I. PENDAHULUAN
Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak
perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi
antigeniknya.
1

Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak
mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut
dinamakan antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam
transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak
mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam
plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh
suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah
Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem
golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali
saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai
golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti Rhesus
positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama.
1

Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya
endap (sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan
selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur.
Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi
janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut
yang diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi
golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi
maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai
reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada
neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit
janin.
1,2,3,4,5,14

Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk
mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang
anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan
hidrops fetalis.
1
Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam
patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941)
menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan
faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963)
meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif.
1,2,3,8

III. INSIDEN
Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus ( yaitu rhesus negatif)
adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa
asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya
perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif.
2,3,7,8,10

Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko
terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada
kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar
16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan
oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder
yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1%
dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga.
7,10

IV. GENETIK
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d.
Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang
digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif
mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D)
negatif memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E kurang berperan disini. Hal ini
dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif
disebut anti-D (anti-rhesus D).
Seorang wanita Rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena darah
yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti Rhesus d.
Seseorang mempunyai Rhesus (D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang
tua. Mungkin saja anak Rhesus (D) negatif, jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak
Rhesus (D) positif. Bapak dapat mempunyai gen D atau d, sehingga bayi dapt
2
mewarisi gen d dari bapaknya. Sebaliknya, wanita Rhesus (D) negatif dengan
pasangan Rhesus (D) negatif, dan tak akan timbul inkompatibilitas Rhesus,
walaupun ibu telah membawa anatibodi Rhesus (D) dari kehamilan sebelumnya.
2,

V. PATOFISIOLOGI
Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam
sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion. Bila ibu
tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan
distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut
dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin,
sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut
dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis terjadi dalam kandungan
dan akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan,
sehingga akan didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblast.
1,8,9,11,12,13

Antibodies
Gambar 1. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.
3

Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis
hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya
antigen
3
eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan
antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat
transfusi atau berbahaya bagi janin.
4,9,11,12,14

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.
2,3,7,9

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini jarang terjadi :
4

1. variasi kadar antigen eritrosit sebagai penyebab terbentuknya antibodi
2. variasi daya antigenisitasnya
3. lintasan antigen dari janin ke ibu kurang mencukupi
4. variasi respon maternal terhadap antigen tersebut
5. perlindungan isoimun lewat inkompatibilitas ABO
6. kurangnya jumlah antibodi ibu ke sirkulasi darah janin

VI. GEJALA KLINIS
A. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites
dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi
bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema
subkutan dan efusi kedalam kavum serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang
berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada
sum-sum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga
terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan
hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen
janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu
respirasi janin.
1,3,6,7,9

Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup
4,10,14

keadaan:
1. gagal jantung akibat anemia.
2. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia baerat

4

3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati oleh
proses hematopoesis ekstrameduler.
4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang
disebabkan oleh disfungsi hepar

Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat,
edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis
dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat
terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.
B. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya
ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa
letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan
melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam
usia beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu
menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami
keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat
gangguan eritropoesis dapat bertahan selama berminggu minggu hingga
berbulan-bulan.
1,3,7

VII.DIAGNOSIS
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode
paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak
langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini
bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk
mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu
eritrosit
5
dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari
membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit.
Serum Coombs ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit,
maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut
untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi
yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan,
kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali
pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
11

VIII. PENATALAKSANAAN
1,3,5,7,11

Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi
kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar,
yang umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus
dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan
dengan darah Rhesus positif , sesering mungkin sampai semua eritrosit yang
diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai
hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal
jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan
kematian janin.
A. Transfusi tukar :
tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells)
dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu

Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari
untukmenghindari kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi
dan Rhesus negatif (D-)

6




MOLA HIDATIDOSA

DEFINISI
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak
ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa
degenerasi hidrofik. Secara makroskopis mola hidatidosa mudah dikenali berupa
gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran
yang bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Gambaran histologi
yang khas adalah edem stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada vili/ degenerasi
hidrofik dan proliferasi sel- sel trofoblas
.
GEJALA & TANDA
Pada mulanya gejala mola hidatidosa tidak berbeda dengan gejala kehamilan normal
yaitu mual, muntah, pusing dan lain lain, hanya saja derajat keluhannya lebih hebat.
Selanjutnya perkembangannya lebih pesat sehingga pada umumnya besar uterus lebih
besar dari umur kehamilan. Perdarahan merupakan gejala utama mola hidatidosa.
Biasanya keluhan ini yang membuat pasien datang. Gejala perdarahan ini biasanya
terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata- rata 12- 14 minggu. Sifat
perdarahannya bisa intermiten, sedikit- sedikit atau sekaligus banyak sehingga
menyebabkan syok dan kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola
hidatidosa datang dengan anemi. Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein,
baik unilateral maupun bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan
mola diambil, tetapi ada juga kasus- kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada
waktu follow up.

DIAGNOSIS
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila perempuan amenorea, perdarahan
pervaginam, uterus yang lebih besar,dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti
seperti balotemen dan detak jantung anak, peninggian HCG terutama dari hari ke 100,
sangat sugestif, bila belum jelas dapat dilakukan USG dimana nantinya akan
ditemukan gambaran khas yaitu berupa badai salju atau gambaran seperti sarang
lebah.
Diagnosis paling tepat adalah saat kita telah melihat keluarnya gelembung mola.
Namu jika kita menunggu sampai keluarnya mola biasanya sudah terlambat karena
pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan
umum pasien menurun.
Pada kehamilan trismester I gambarn mola hidatidosa tidak spesifik, pada kehamilan
trismester II gambaran mola hidatidosa lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa
ekogenik bercampur bagian- bagian anekoik vesikular berdiameter antara 5- 10 mm
- Keluhan/anamnesis: gejala hamil muda, tanda toksemia gravidarum,
perdarahan sedikit/banyak, uterus lbih besar dari normalnya usia kehamilan,
keluarnya mola merupakan diagnosa pasti.
- Inspeksi: mola face.
- Palpasi: uterus lbih besar dari normalnya usia kehamilan, tidak teraba bagian
janin,, fenomena harmonika (fundus uteri turun ketika darah dan mola keluar
kemudian naik lagi ketika ada darah baru).
- Auskultasi: tidak terdengar DJJ (denyut jantung janin)
- Kadar HCG tinggi
- Pemeriksaan dalam: rahim lembek, perdarahan dan terdapat jaringan di
canalis servik
- USG: bayangan badai salju
- Patologi secara mikroskopik terlihat trias, a. Proloferasi trofoblas, b.
Degenerasi hidrofik stroma villi, c. Hilangnya pembuluh darah dan stroma

PENGELOLAAN
Ada 3 tahap:
1. Perbaikan keadaan umum, misalnya pemberian tranfusi darah untuk memperbaiki
syock dan menghilangkan atau mengurangi penyulit yang berupa preeklamsia atau
tirotoxikosis.
2.Pengeluaran jaringan mola. Ada 2 cara: vakum kuretase dan histerektomi
3. Pemerikasaan Tindak lanjut, untuk mengetahui kemungkinan keganasan. Tes HCG
harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah evakuasi. Lama pengawasannya
selama 1 tahun

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN

Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau
kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai
normal. Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab utama peninkatan
morbiditas dan mortalitas maternal, janin, dan neonates. Secara fisiologis, tekanan
darah mulai menurun pada trimester kedua, yang mencapai rata-rata 15 mmHg lebih
rendah dari tekanan darah sistolik sebelum hamil pada trimester ketiga. Penurunan ini
terjadi baik pada yang normotensi maupun hipertensi kronik.
EPIDEMIOLOGI
Di ungkapkan oleh WHO yang dikutip oleh Khan dan rekan dalam Boestari (1998)
bahwa secara sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia
disebabkan karena hipertensi.
Pada penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang ringan didapatkan risiko
kehamilan sebagai berikut:
Pre eklampsia 10-25%
Abruption 0,7-1,5%
Kelahiran premature kurang dari 37 minggu 12-34%
Hambatan pertumbuhan janin 8-16%
Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester pertama
dengan didapatnya preeclampsia sampai 50%
ETIOLOGI
Menurut Zweifel dalam Manuaba(2007) mengungkapkan bahwa cukup banyak teori
tentang bagaimana hipertensi pada kehamilan dapat terjadi sehingga disebut sebagai
disease of theory. Beberapa landasan teori yang dikemukakan yaitu teori genetik,
teori immunologis, teori iskemia region uteroplasenter, teori kerusakan endotel
pembuluh darah, teori radikal bebas, teori trombosit dan teori diet.

Penyebab hipertensi pada sebagian besar kasus, tidak diketahui sehingga disebut
hipertensi esensial. Namun demikian, pada sebagian kecil kasus hipertensi merupakan
akibat sekunder proses penyakit lainnya, seperti ginjal; defek adrenal; komplikasi
terapi obat.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan adalah:
1. Hipertensi esensial
2. Penyakit ginjal
1. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang disebabkan oleh faktor herediter,
faktor emosi dan lingkungan. Wanita hamil dengan hipertensi esensial memiliki
tekanan darah sekitar 140/90 mmHg sampai 160/100 mmHg. Gejala-gejala lain
seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal akan
timbul setelah dalam waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut. Hipertensi
esensial dalam kehamilan akan berlangsung normal sampai usia kehamilan aterm.
Sekitar 20% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah, dapat
disertai proteinuria dan edema.
Faktor resiko hipertensi esensial dalam kehamilan adalah: wanita hamil multipara
dengan usia lanjut dan kasus toksemia gravidarum. Penanganan dilakukan saat dalam
kehamilan dan dalam persalinan. Penanganan dalam kehamilan meliputi:
pemeriksaan antenatal yang teratur; cukup istirahat; monitor penambahan berat
badan; dan melakukan pengawasan ibu dan janin; pemberian obat (anti hipertensi dan
penenang); terminasi kehamilan dilakukan jika ada tanda-tanda hipertensi ganas.
Penanganan dalam persalinan meliputi: pengawasan pada setiap kala persalinan;
secsio sesarea dilakukan pada wanita primitua dengan anak hidup. Prognosis untuk
ibu dan janin kurang baik. Beberapa nasehat yang dapat diberikan pada wanita hamil
adalah: pemakaian alat kontrasepsi bagi wanita dengan jumlah anak belum cukup.
2. Penyakit Ginjal Hipertensif
Penyakit ginjal dengan hipertensi dapat dijumpai pada wanita hamil dengan
glomerulonefritis akut dan kronik; pielonefritis akut dan kronik. Frekuensi kejadian
sekitar 1% secara klinis dan secara patologi-anatomi kira-kira 15%. Pemeriksaan
yang dilakukan dengan cara: pemeriksaan urin lengkap dan faal ginjal; pemeriksaan
retina; pemeriksaan umum; pemeriksaan kuantitatif albumin air kencing dan
pemeriksaaan darah lengkap. Nasehat yang dapat diberikan ke pasien adalah:
pemerilksaan antenatal yang teratur; pengawasan pertumbuhan janin dan kesehatan
ibu
KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Klasifikasi yang direkomendasikan adalah klasifikasi oleh National High Blood
Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group on Hypertension in
Pregnancy.
Hipertensi Kronik
Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg
didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu usia kehamilan dan tidak termasuk pada
penyakit trophoblastic gestasional, atau
Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg
didapatkan pada usia kehamilan > 20 minggu menetap 12 minggu postpartum
Diagnosis sulit ditegakkan pada trisemester pertama kehamilan dan umumnya didapatkan pada
beberapa bulan setelah melahirkan.
Hipertensi Gestasional
Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg
didapatkan pertama kali pada usia kehamilan > 20 minggu
Tidak ada proteinuria maupun tanda dan gejala preeklampsia
Tekanan darah kembali normal pada 42 hari setelah post partum
Definisi ini meliputi wanita dengan sindroma preeklampsia tanpa disertai manifestasi proteinuria
Mempunyai resiko hipertensi pada kehamilan selanjutnya
Dapat berkembang menjadi preeklampsia maupun hipertensi berat.
Preeklampsia
Kriteria minimal
Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu
Disertai proteinuria 300 mg / 24 jam atau +1 pada pemeriksaan urin sesaat dengan urin dipstik
atau rasio protein : kreatinin urine 0.3
Kriteria tambahan yang memperkuat diagnosis
Tekanan darah 160/110 mmHg
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau +2 pada pemeriksaan urin sesaat dengan urin dipstik.
Serum kreatinin > 1.2 mg/dl kecuali sudah didapatkan peningkatan serum kreatinin sebelumnya
Trombosit < 100.000/l
Hemolisis mikroangiopati peningkatan LDH
Peningkatan kadar serum transaminase ALT atau AST
Nyeri kepala yang menetap atau gangguan cerebral maupun visual lainnya
Nyeri epigastrium yang menetap
Eklampsia
Kejang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada wanita dengan preeklamsia
Hipertensi kronis superimposepreeklampsia
Wanita hipertensi dengan proteinuria 300 mg / 24 jam yang baru muncul dan tidak didapatkan
sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
Peningkatan mendadak pada proteinuria dan tekanan darah atau jumlah trombosit < 100.000 /l pada
wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.
DIAGNOSIS
Untuk memperkuat diagnosis, sampai saat ini dianggap pemeriksaan uji celup
(dipstick test) merupakan pemeriksaan yang cukup baik untuk membedakan
proteinuria atau tidak.
Pemeriksaan laboratorium:
Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi yang mendukung
diagnosis hipertensi gestasional.
Hitung trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP
Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati
Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein
dalam urin 24 jam
Kreatinin serumdiperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal
Asam urat sebagai tanda beratnya pre eklampsia
EKG diperlukan pada hipertensi kronik

PENGOBATAN
Non farmakologis
Untuk hipertensi kehamilan dengan kisaran 140-160 atau diastolic 90-99
mmHg
Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya hipertensi, umur
kehamilan, dan risiko ibu serta janin
Dapat berupa pengawasan ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring
miring ke kiri, diet normal tanpa pengurangan garam.
Farmakologis
Pada keadaan akut atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral
atau oral
Obat-obat injeksi antara lain: IV abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium

PREEKLAMPSIA

DEFINISI
Hipertensi yang timbu pada usia 20 minggu kehamilan dengan disertai edema dan
proteinuria.
ETIOLOGI
Tidak diketahui
KLASIFIKASI dan GEJALA KLINIK

1. Ringan :
- Tekanan darah sistolik antara 140 160 mmHg atau diastoik antara 90 110
mmHg
- Proteinuria antara 300 500 mg / 2 jam atau dipstick +1
- edema
2. Berat :
- Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastoik 110 mmHg
- Proteinuria 500mg / 24 jam atau dipstick +3
- Edema
- Oliguria < 500 cc / 24 jam
- Kratinin plasma meningkat
- Trombositopenia < 100.000 sel / mm
3

- Edema paru dan sianosis

Seain itu jika gejala preekampsia disertai dengan gejaa subjektif yang muncul seperti
nyeri kepala hebat, mual muntah hebat, dan pusing yang hebat maka disebut
impending preeclampsia.
DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik.
PENATALAKSANAAN
1. Ringan
a. Tirah baring, dengan tidur posisi miring dengan tujuan menurunkan tekanan
pada vena cava inferior supaya airan darah balik ke jantung lancar sehingga
perfusi ke organ organ tubuh (terutama ginja dan uterus) juga lancar. Lancar
nya aliran darah ke ginja akan menyebabkan menurunnya factor RAS system
sehingga tekanan darah bisa diturunkan
b.Tidak perlu restriksi garam, ha ini karena fungsi ginjanya masih normal
c. Pada umumnya preeclampsia ringan tidak perlu rawat inap kecuali jika :
Tidak ada perbaikan gejala dalam 2 minggu
Adanya satu gejala atau ebih preeclampsia berat
Adanya kenaikan BB > 1 kg / minggu.
2. Berat
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk menghadapi PEB
a. Sikap terhadap penyakitnya
Rawat inap
Tirah baring
Diet cukup protein (100 gr / hari) rendah garam (0,5 gr / hari)
Pencegahan kejang dengan pemberian MgSO
4

Jika sistolik 180 mmHg atau diastolic 110 mmHg maka diberikan
hidralazin atau klonidin atau nifedipin sampai tekanan diastoliknya 90
mmHg.
b. Sikap terhadap kehamiannya
Aktif => terminasi, jika :
Ibu : kehamian > 37 minggu, ada tanda impending ekampsia,
kejang, diduga ada sousio plasenta
Janin : ada tanda fetal distress, IUFD, oligohidramnion
Lab : ada tanda HELLF sindrom, terutama penurunan trombosit
secara drastic
Konservatif, jika usia kehamilan 37 minggu tanpa impending eklampsia
dengan keadaan janin baik.

EKLAMPSIA

PENGERTIAN
Eklampsia berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti halilintar karena
gejala eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam
kebidanan. Eklampsia juga disebut sebuah komplikasi akut yang mengancam nyawa
dari kehamilan , ditandai dengan munculnya kejang tonik - klonik , biasanya pada
pasien yang telah menderita preeklampsia . (Preeklamsia dan eklampsia secara
kolektif disebu tgangguan hipertensi kehamilan dan toksemia kehamilan.)
Prawiroharjo 2005.
Eklampsia adalah kelainan pada masa kehamilan, dalam persalinan atau masa
nifas yang di tandai dengan kejang ( bukan timbul akibat kelainan saraf ) dan atau
koma dimana sebelumnya sudah menimbulkan gejala pre eklampsia. (Ong Tjandra &
John 2008 )
Eklampsia termasuk kejang dan koma yang terjadi selama kehamilan. Menjelang
kejang kejang dapat didahului dengan gejalanya :
Nyeri kepala di daerah frontal
Nyeri epigastrium
Penglihatan semakin kabur
Adanya mual muntah
Pemeriksaan menunjukkan hiperrefleksia atau mudah teransang.

Kemudian dengan teori iskemia implantasi plasenta juga dapat terjadi berbagai
gejalanya eklampsia yaitu :
1. Kenaikan tekanan darah
2. Pengeluaran protein dalam urine
3. Edema kaki, tangan sampai muka
4. Terjadinya gejala subjektif :
Sakit kepala
Penglihatan kabur
Nyeri pada epigastrium
Sesak nafas
Berkurangnya pengeluaran urine
5. Menurunnya kesadaran wanita hamil sampai koma
6. Terjadinya kejang
Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiontensin,
renin dan aldosteron sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme
dapat berlangsung. Pada eklampsia maka terjadi penurunan angiotensin, renin dan
aldosteron tetapi dapat dijumpai edema, hipertensi dan proteinuria.
Berdasarkan waktu terjadinya eklampsia dapat di bagi :
1. Eklampsia gravidarum
Kejadian 50% sampai 60 %
Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklampsia parturientum
Kejadian sekitar 30 % sampai 50 %
Saat sedang inpartu
Batas dengan eklampsia gravidarum sukar di tentukan terutama saat mulai inpartu
3. Eklampsia puerperium
Kejadian jarang 10 %
Terjadi serangan kejang atau koma seletah persalinan berakhir

Kejang kejang pada eklampsia terdiri dari 4 tingkat :
1. Tingkat awal atau aura
Berlangsung 30 35 detik
Tangan dan kelopak mata gemetar
Mata terbuka dengan pandangan kosong
Kepala di putar ke kanan atau ke kiri

2. Tingkat kejang tonik
Berlangsung sekitar 30 detik
Seluruh tubuh kaku : wajah kaku, pernafasan berhenti, dapat diikuti sianosis,
tangan menggenggam, kaki di putar kedalam, lidah dapat tergigit.



3. Tingkat kejang klonik
Berlangsung 1 sampai 2 menit
Kejang tonik berubah menjadi kejang klonik
Konsentrasi otot berlangsung cepat
Mulut terbuka tertutup dan lidah dapat tergigit sampai putus
Mata melotot
Mulut berbuih
Muka terjadi kongesti dan tampak sianosis
Penderita dapat jatuh, menimbulkan trauma tambahan

4. Tingkat koma
Setelah kejang klonik berhenti penderita menarik nafas
Diikuti,yang lamanya bervariasi
Selama terjadi kejang kejang dapat terjadi suhu naik mencapai 40 c, nadi
bertambah cepat, dan tekanan darah meningkat.
Kejang dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan janin.
1. Komplikasi ibu :
Dapat menimbulkan sianosis
Aspirasi air ludah menambah gangguan fungsi paru
Tekanan darah meningkat menimbulkan perdarahan otak dan kegagalan jantung
mendadak
Lidah dapat tergigit
Jatuh dari tempat tidur menyebabkan fraktura dan luka luka
Gangguan fungsi ginjal
Perdarahan
Gangguan fungsi hati dan menimbulkan ikhterus

2. Komplikasi janin dalam rahim :
Asfiksia mendadak
Solusio plasenta
Persalinan prematuritas
Berbagai faktor yang mempengaruhi eklampsia :
Jumlah primigravida terutama primigravida muda
Distensi rahim berlebihan yaitu hidramnoin, hamil ganda dan mola hidatosa
Adanya penyakit yang menyertai kehamilan yaitu diabetes mellitus, kegemukan
Jumlah umur ibu di atas 35 tahun

ETIOLOGI EKLAMPSIA
Dengan penyebab kematian ibu adalah perdarahan otak, payah jantung atau
payah ginjal, dan aspirasi cairan lambung atau edema paru paru. Sedangkan
penyebab kematian bayi adalah asfiksia intrauterine dan persalinan prematuritas.
Mekanisme kematian janin dalam rahim pada penderita eklampsia :
a. Akibat kekurangan O2 menyebabkan perubahan metabolisme ke arah lemak dan
protein dapat menimbulkan badan keton
b. Meransang dan mengubah keseimbangan nervus simfatis dan nervus vagus yang
menyebabkan :
Perubahan denyut jantung janin menjadi takikardi dan dilanjutkan menjadi bradikardi
serta irama yang tidak teratur
Peristaltis usus bertambah dan sfingter ani terbuka sehingga di keluarkannya
mekonium yang akan masuk ke dalam paru paru pada saat pertama kalinya
neonatus aspirasi.
c. Sehingga bila kekurangan O2 dapat terus berlangsung keadaan akan bertambah
gawat sampai terjadinya kematian dalam rahim maupun di luar rahim .

Oleh sebab itu perlu memperhatikan komplikasi dan tingginya angka
kematian ibu dan bayi. Maka usaha utama adalah mencegah pre eklampsia menjadi
eklampsia perlu diketahui bidan dan selanjutnya melakukan rujukan ke rumah sakit.

PATOFISIOLOGI
Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang
berlebihan dalam ruang interstitial. Bahwa pada eklampsia dijumpai kadar
aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi dari pada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur
retensi air dan natrium. Serta pada eklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap
protein meningkat.
Pada plasenta dan uterus terjadi penurunan aliran darah ke plasenta
mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi pertumbuhan janin
terganggu sehingga terjadi gawat-janin sampai menyebabkan kematian karena
kekurangan oksigenisasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering terjadi pada eklampsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus.
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun,
sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang
penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin dengan retensi garam
dan air. Mekanisme retensi garam dan air akibat perubahan dalam perbandingan
antara tingkat filtrasi glomelurus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada
kehamilan normal penyerapan ini meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi
glomerulus. Penurunan filtrasi glomelurus akibat spasmus arteriolus ginjal
menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan
retensi garam dan retensi air. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari
normal, sehingga menyebabkan diuresis turun pada keadaan lanjut dapat terjadi
oliguria atau anuria.
Pada retina tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada
beberapa arteri jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Pelepasan retina disebabkan
oleh edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan .
Setelah persalinan berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan.
Skotoma, diplopia, dan ambiliopia merupakan gejala yang menunjukkan akan
terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam
pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita eklampsia.
Komplikasi disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri. Perubahan pada otak bahwa
resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi
pada eklampsia. Sehingga aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen pada
eklampsia akan menurun.
Metabaolisme dan elektrolit yaitu hemokonsentrasi yang menyertai eklampsia
sebabnya terjadi pergeseran cairan dan ruang intravaskuler ke ruang interstisial.
Kejadian ini, diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, dan
bertambahnya edema, menyebabkan volume darah berkurang, viskositet darah
meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke
jaringan diberbagai bagian tubuh berkurang akibatnya hipoksia. Dengan perbaikan
keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai
sebagai ukuran perbaikan keadaan penyakit dan berhasilnya pengobatan.
Pada eklampsia, kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk
sementara. Asidum laktikum dan asam organik lain naik, dan bikarbonas natrikus,
sehingga menyebabkan cadangan alkali turun. Setelah kejang, zat organik dioksidasi
sehingga natrium dilepaskan untuk dapat bereaksi dengan asam karbonik menjadi
bikarbaonas natrikus. Dengan demikian, cadangan alkali dapat pulih kembali. Pada
kehamilan cukup bulan kadar fibrinogen meningkat. Waktu pembekuan lebih pendek
dan kadang-kadang ditemukan kurang dari 1 menit pada eklampsia.

DIAGNOSIS
Eklampsia selalu didahului oleh pre eklampsia. Perawatan prenatal untuk
kehamilan dengan predisposisi pre eklampsia perlu ketat dilakukan agar dapat
dideteksi sedini mungkin gejala gejala eklampsia. Sering di jumpai perempuan
hamil yang tampak sehat mendadak menjadi kejang kejang eklampsia karena tidak
terdeteksi adanya pre eklampsia sebelumnya.
Eklampsia harus dibedakan dari epilepsy ; dalam anamnesis diketahui adanya
serangan sebelum hamil atau pada hamil muda dengan tanda pre eklampsia tidak ada,
kejang akibat obat anastesi, koma karena sebab lain.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin, usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre eklampsia berat dan
eklampsia :
1. Solusio plasenta
Karena adanya takanan darah tinggi, maka pembuluh darah dapat mudah pecah,
sehingga terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta
dapat terlepas.

2. Hipofibrinogenemia
Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah , biasanya di bawah 100 mg
persen. Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus secara berkala.


3. Hemolisis
Kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena gangguan integritas membran
sel darahmerah yang menyebabkan pelepasan hemoglobin. Menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus.

4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal pada penderita
eklampsia.


5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan tanda gawat akan
terjadinya apopleksia serebri.

6. Edema paru paru

7. Nekrosis hati

Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol
umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama
penentuan enzim-enzimnya.

8. Sindroma HELLP
Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda : hemolisis, peningkatan
enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel sistemik.
Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai
beberapa hari setelah melahirkan.
9. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat
timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

10. Kopmlikasi lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang -
kejang pneumonia aspirasi, dan DIC.

11. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra uterin.


PROGNOSA
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang
meminta korban besar dari ibu dan bayi ( Hanifa dalam Prawiroharjo, 2005 ).
Diurese dapat dipegang untuk prognosa ; jika diurese lebih dari 800 cc dalam
24 jam atau 200 cc tiap 6 jam makan prognosa agak baik. Sebaliknya oliguri dan
anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala gejala lain memperberat prognosa dikemukakan oleh Eden ialah ;
koma yang lama, nadi di atas 120 x / menit, suhu di atas 39 c, tekanan darah di atas
200 mmHg, proteinuria 10 gram sehari atau lebih, tidak adanya edema, edema paru
paru dan apoplexy merupakan keadaan yang biasanya mendahului kematian.

PENCEGAHAN
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinyadi
kurangi. Usaha usaha untuk menurunkan eklampsia terdiri atas meningkatkan
jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita haiml
memeriksa diri sejak hamil muda, mencari pada tiap pemeriksaan tanda tanda pre
eklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan, mengakhiri kehamilan
sedapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda tanda pre
eklampsia tidak juga dapat hilang. ( Hanifa dalam Prawiroharjo, 2005 )

PENANGANAN
Tujuan utama penanganan eklampsia adalah menghentikan berulangnya
serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman
setelah keadaan ibu mengizinkan. Penanganan yang dilakukan :
Beri obat anti konvulsan
Perlengkapan untuk penanganan kejang
Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
aspirasi mulut dan tenggorokan
baringkan pasien pada sisi kiri
posisikan secar trandelenburg untuk mengurangi resiko aspirasi
berikan oksigen 4 6 liter / menit.

PENGOBATAN
Eklampsia merupakan gawat darurat kebidanan yang memerlukan pengobatan
di rumah sakit untuk memberikan pertolongan yang adekuat.
Konsep pengobatannya :
a. Menghindari terjadinya :
Kejang berulang
Mengurangi koma
Meningkatkan jumlah dieresis
b. Perjalanan kerumah sakit dapat diberikan :
Obat penenang dengan injeksikan 20 mgr valium
Pasang infuse glukosa 5 % dan dapat di tambah dengan valium 10 sampai 20 mgr
c. Sertai petugas untuk memberikan pertolongan:
Hindari gigitan lidah dengan memasang spatel pada lidah
Lakukan resusitasi untuk melapangkan nafas dan berikan O2
Hindari terjadinya trauma tambahan

Perawatan kolaborasi yang dilaksanakan dirumah sakit sebagai berikut :
1. Kamar isolasi
- Hindari rangsangan dari luar sinar dan keributan
- Kurangi penerimaan kunjungan untuk pasien
- Perawat pasien dengan jumlahnya terbatas

2. Pengobatan medis
Banyak pengobatan untuk menghindari kejang yang berkelanjutan dan
meningkatkan vitalitas janin dalam kandungan. Dengan pemberian :
- Sistem stroganof
- Sodium pentothal dapat menghilangkan kejang
- Magnesium sulfat dengan efek menurunkan tekanan darah , mengurangi sensitivitas
saraf pada sinapsis, meningkatkan deuresis dan mematahkan sirkulasi iskemia
plasenta sehingga menurunkan gejala klinis eklampsia.
- Diazepam atau valium
- Litik koktil

3. Pemilihan metode persalinan
Pilihan pervaginam diutamakan :
- Dapat didahului dengan induksi persalinan
- Bahaya persalinan ringan
- Bila memenuhi syarat dapat dilakukan dengan memecahkan ketuban, mempercepat
pembukaan, dan tindakan curam untuk mempercepat kala pengeluaran.
- Persalinan plasenta dapat dipercepat dengan manual
- Menghindari perdarahan dengan diberikan uterotonika

Pertimbangan seksio sesarea :
- Gagal induksi persalinan pervaginam
- Gagal pengobatan konservatif

DIABETES GESTASIONAL

DEFINISI
Diabetes melitus gestational adalah keadaan intoleransi karbohidrat dari seorang
wanita yang diketahui pertama kali ketika dia sedang hamil. Diabetes gestational
terjadi karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan, diperkirakan karena terjadinya
perubahan pada metabolisme glukosa. Teori yang lain mengatakan bahwa diabetes
tipe 2 ini disebut sebagai unmasked atau baru ditemukan saat hamil dan patut
dicurigai pada wanita yang memiliki ciri gemuk, riwayat keluarga diabetes, riwayat
melahirkan bayi > 4 kg, riwayat bayi lahir mati, dan riwayat abortus berulang.
Angka lahir mati terutama pada diabetes yang tidak terkendali dapat terjadi 10 kali
dari normal. Wijono melaporkan rasio 0,18% diabetes dalam kehamilan di RS
Dr.Cipto Mangunkusumo.

KLASIFIKASI
Diabetes diklasifikasikan sebagai Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus
<IDDM>) dan tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus <NIDDM>).
Diabetes tipe 1 adalah kasus genetik yang pada umumnya dimiliki sejak kecil dan
memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
Diabetes tipe 2 dipengaruhi oleh keturunan dengan penyebabnya adalah kurangnya
penghasil insulin dalam tubuh dan tidak sensitif terhadap hormon insulin. Diabetes
tipe 2 adalah kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula
darah. Insulin sendiri adalah hormon yang membawa glukosa dari darah masuk se
dalam sel-sel tubuh.
Diabetes adalah komplikasi umum dari kehamilan. Pasien dapat dipisahkan menjadi
2, yaitu mereka yang sudah diketahui sebelumya menderita diabetes dan mereka yang
didiagnosis menderita diabetes saat sedang hamil (gestasional).
Fourth International Workshop-Conference on Gestational Diabetes:
Merekomendasikan skrining untuk mendeteksi Diabetes Gestasional :
Risiko Rendah :
Tes glukosa darah tidak dibutuhkan apabila :
o Angka kejadian diabetes gestational pada daerah tersebut rendah
o Tidak didapatkan riwayat diabetes pada kerabat dekat
o Usia < 25 tahun
o Berat badan normal sebelum hamil
o Tidak memiliki riwayat metabolism glukosa terganggu
o Tidak ada riwayat obstetric terganggu sebelumnya
Risiko Sedang :
o Dilakukan tes gula darah pada kehamilan 24 28 minggu terutama pada
wanita dengan ras Hispanik, Afrika, Amerika, Asia Timur, dan Asia Selatan
Risiko Tinggi : wanita dengan obesitas, riwayat keluarga dengan diabetes,
mengalami glukosuria (air seni mengandung glukosa)
o Dilakukan tes gula darah secepatnya. Bila diabetes gestasional tidak
terdiagnosis maka pemeriksaan gula darah diulang pada minggu 24 28
kehamilan atau kapanpun ketika pasien mendapat gejala yang menandakan
keadaan hiperglikemia (kadar gula di dalam darah berlebihan)
Dari Metzger dan Coustan (1998) Skrining selektif seharusnya digunakan pada
diabetes gestasional seperti skrining diabetes pada umumnya. Teknik skrining
dianjurkan bagi semua wanita hamil menurut American Diabetes Association (2005)
dengan menggunakan :
kemudian. Bila kadar glukosa plasma > 140 mg/dl maka perlu dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa 3 jam. Tes ini cukup efektif untuk mengidentifikasikan wanita
dengan diabetes gestational
oral, kemudian diperiksa kadar gula darahnya dengan hasil pada pasien normal :
Pemeriksaan Kadar Gula darah (mg/dl)
Puasa < 95
Jam 1 < 180
Jam 2 < 155
Jam 3 < 140
Bila ditemukan 2 nilai abnormal maka ibu tersebut menderita diabetes melitus. Tes
tersebut dilakukan pada awal kehamilan kemudian diulangi lagi pada usia kehamilan
34 minggu.World Health Organization (WHO) merekomendasikan kriteria diagnostik
menggunakan tes beban glukosa oral 75 g. Diabetes gestasional didiagnosis bila:
Pemeriksaan Kadar Gula darah (mg/dl)
Puasa > 126
Jam 2 > 140
Pencarian diabetes gestational dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan ibu hamil
dan meyakinkan seorang ibu untuk melakukan pemeriksaan skrining untuk tes setelah
melahirkan.

KOMPLIKASI
Masalah yang ditemukan pada bayi yang ibunya menderita diabetes dalam kehamilan
adalah kelainan bawaan, makrosomia (bayi besar > 4 kg), hipoglikemia (kadar gula
darah rendah), hipokalsemia (kadar kalsium dalam tubuh rendah), hiperbilirubinemia
(bilirubun berlebihan dalam tubuh), sindrom gawat napas, dan kematian janin. Faktor
maternal (pada ibu) yang berkaitan dengan peningkatan angka kejadian makrosomia
adalah obesitas, hiperglikemia, usia tua, dan multiparitas (jumlah kehamilan > 4).
Makrosomia memiliki risiko kematian janin saat dilahirkan karena ketika melahirkan,
bahu janin dapat nyangkut serta dan peningkatan jumlah operasi caesar. Hipoglikemia
pada bayi dapat terjadi beberapa jam setelah bayi dilahirkan. Hal ini terjadi karena
ibu mengalami hiperglikemia (kadar gula darah berlebihan) yang menyebabkan bayi
menjadi hiperinsulinemia (kadar hormone insulin dalam tubuh janin berlebihan).
Komplikasi yang didapatkan pada ibu dengan diabetes gestasional berkaitan dengan
hipertensi, pre-eklampsia, dan peningkatan risiko operasi caesar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan kadar gula darah atau skrining
glukosa darah serta ultrasonografi untuk mendeteksi adanya kelainan bawaan dan
makrosomia.

TERAPI
Pengawasan sendiri kadar gula darah sangat dianjurkan pada wanita dengan diabetes
dalam kehamilan. Tujuan utama monitoring adalah mendeteksi konsentrasi glukosa
yang tinggi yang dapat menyebabkan peningkatan angka kejadian kematian janin.
Selain monitoring, terapi diabetes dalam kehamilan adalah :
1. Diet
Terapi nutrisi adalah terapi utama di dalam penatalaksanaan diabetes. Tujuan utama
terapi diet adalah menyediakan nutrisi yang cukup bagi ibu dan janin, mengontrol
kadar glukosa darah, dan mencegah terjadinya ketosis (kadar keton meningkat dalam
darah). Penderita diabetes menurut Lokakarya LIPI/NAS (1968) dengan berat badan
rata-rata cukup diberi diet 1200 1800 kalori sehari selama kehamilan. Pada wanita
diabetes gestasional dengan berat badan normal dibutuhkan 30kkal/kg/hari. Pada
wanita dengan obesitas (Indeks Massa Tubuh > 30 kg/m2) dibutuhkan 25
kkal/kg/hari pola makan 3 kali makan besar diselingi 3 kali makanan kecil dianjurkan
dalam sehari. Pembatasan jumlah karbohidrat 40% dari jumlah makanan dalam sehari
dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial (2 jam setelah makan)
2. Olahraga
Bersepeda dan olah tubuh bagian atas direkomendasikan pada wanita dengan diabetes
gestasional. Para wanita dianjurkan meraba sendiri rahimnya ketika berolahraga,
apabila terjadi kontraksi maka olahraga segera dihentikan. Olahraga berguna untuk
memperbaiki kadar glukosa darah
3. Pengobatan insulin
Penderita yang sebelum kehamilan memerlukan insulin diberikan insulin dengan
dosis yang sama seperti sebelum kehamilan sampai didapatkan tanda-tanda perlu
ditambah atau dikurangi. Terapi insulin direkomendasikan oleh The American
Diabetes Association (1999) ketika terapi diet gagal untuk mempertahankan kadar
gula darah puasa < 95 mg/dl atau 2 jam setelah makan kadar gula darah < 120
mg/dlGambar 4. Lokasi Penyuntikan Insulin pada Wanita Hamil
Terapi obat pengendali glukosa darah oral pada diabetes gestasional tidak
direkomendasikan oleh ADA maupun ACOG karena obat-obat tersebut dapat melalui
plasenta, merangsang pancreas janin, dan menyebabkan hiperinsulinemia pada janin.

TERAPI OBSTETRIK
Pada penderita diabetes gestational yang tidak berat, dapat dikendalikan gula darah
melalui diet saja, tidak memiliki riwayat melahirkan bayi makrosomia, maka ibu
dapat melahirkan secara normal dalam usia kehamilan 37 40 minggu selama tidak
ada komplikasi lain. Apabila diabetesnya lebih berat dan memerlukan pengobatan
dengan insulin , maka sebaiknya kehamilan diakhiri lebih dini pada kehamilan 36
38 minggu terutama bila kehamilannya diikuti oleh komplikasi lain seperti
makrosomia, pre-ekalmpsia, atau kematian janin. Pengakhiran kehamilan lebih baik
lagi dengan induksi (perangsangan) atau operasi Caesar. Wanita dengan diabetes
gestasional memiliki risiko meningkat untuk mengalami diabetes tipe 2 setelah
melahirkan. Kadar glukosa darah ibu harus diperiksa 6 minggu setelah melahirkan
dan setiap 3 tahun ke depan.

KEHAMILAN POSTERM


DEFINISI
Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat
waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/
post datisme atau pascamaturitas.
Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari. Menurut
definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists
(2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu
(294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).
Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan
postterm adalah penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT seringkali tidaklah
mudah, karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu penentuan
saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang
mempengaruhi perhitungan: variasi siklus haid, kesalahn perhitungan oleh ibu dan
sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester I, usia
kehamilan dapat ditentukan lebih tepat , dengan penyimpanagn hanya lebih atau
kurang satu minggu.

INSIDEN
Angka kejadian kehamilan lewat waktu bervariasi antara 4%-14% dengan
rata-rata sebesar 10%. Hal ini sangat tergantung kepada kriteria yang digunakan
untuk mendiagnosis (Bakketeig and Bergasjo, 1991)


ETIOLOGI
Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih
belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan
postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu
yang semestinya.
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-
kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia
adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.
4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada
keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus
Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada keadaan kelainan
letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah
dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan
dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan
postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada
kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa
kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Mogren (1999) menyatakan
bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak
perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami
kehamilan postterm.

PATOFISIOLOGI
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,
plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat
dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.
1. Perubahan pada Plasenta.
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan
postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya
pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42
minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat
janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan
dengan penurunan kadar estriol dan plasenta laktogen. Perubahan yang terjadi pada
plasenta sebagai berikut. Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium
pada plasenta sesuai dengan progresivitas degenerasi plasenta. Proses degenerasi
jaringan plasenta yang terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis
intervilli, spasme arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi
tambah tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme
transport plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium,
glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami gangguan sehingga
janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.

2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion.
Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar
1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu.
Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml,
hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. Penurunan jumlah cairan
amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi urin
janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada
kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI)
arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan
penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz,
et al., 2002) Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan
postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat.
Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat
intra partum. Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan
amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya
vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari
paruparu janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin
menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan
mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko
terjadinya aspirasi mekonium. Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan
pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter
vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus.
Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan
anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau
kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. Perubahan pada janin

3. Berat janin
Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka terjadi penurunan
berat janin. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik
sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya umur kehamilan. Risiko
persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada kehamilan postterm
meningkat 2-4 kali lebih besar. Selain risiko pertambahan berat badan yang
berlebihan, janin pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik
khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan
sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah
lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo.
Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion.
Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan
atau kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh
neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi
plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas
pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium:
Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit
kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.
Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

DIAGNOSIS
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh
kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan
dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis
kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi
sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus
maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas
maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara
terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila
keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan
HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus
haid terakhir (HPHT). Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak
akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan
riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya 30
persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
(a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak
minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. Hasil penelitian Savitz, et al (2002)
menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung
lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi
yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi
bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama
siklus haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2010) Pendekatan ini berpotensi
menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT
dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi
tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular,
yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki
siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.
Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya
dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004)
Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT
adalah 1,37 minggu.

2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah
terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6
minggu.
Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20
minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan
pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan ialah gerakan
janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20 menit, atau secara
obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.
Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai
umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar
pada usia kehamilan 10-12 minggu. Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa
kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari
4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:
Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop
Laennec.
Tinggi Fundus Uteri. Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri
serial dalam sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara
berulang setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan
umur kehamilan secara kasar. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Penggunaan
pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan
metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa
penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui
pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan
metode HPHT. Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan
yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa
kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump
length) adalah 4 hari dari taksiran persalinan. (Cohn, et al., 2010) Pada usia
kehamilan antara 16- 26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal
diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan 7 hari
dari taksiran persalinan. Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada
trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan
yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II.
Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat
janin, keadaan air ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan
kehamilan postterm, tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran
biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga
tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi.
Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai } 3,6 minggu. Keakuratan
penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan
dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.
3. Pemeriksaan laboratorium
Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak
dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%,
maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya
mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.
Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil
membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah.
Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia
kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia
kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA
antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.
Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada
usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan 32
minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi
2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm
tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk
dilahirkan.
Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)
mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat
dipakai untuk menentukan usia gestasi.

INSUFISIENSI PLASENTA

DEFINISI
Kondisi dimana fungsi plasenta sebagai sarana transportasi nutrisi dan oksigen untuk
bayi mengalami penurunan sehingga bayi mengalami hambatan dalam
pertumbuhannya (intrauterine growth retardation). Vesica Urinaria terletak di dalam
rongga pelvis,terlindungi oleh tulang pelvis sehingga jarang mengalami cidera. Pada
anak-anak Vesica Urinaria terletak di rongga abdomen dan dengan bertambah usia
akan turun kedalam rongga pelvis.
ETIOLOGI
7. Anemia (kurang darah)
8. Hipertensi
9. Penyakit kronis di masa kehamilan
10. Tekanan pada tali pusat (seperti prolapses tali pusat)
GAMBARAN KLINIS
BB bayi kurang dari 2500 meskipun usianya cukup bulan. Serta didpakan pula
plasenta yang lebih kecil dari normal dan tali pusat yang tampak layu.

PLASENTA PREVIA

DEFINISI
Menurut Wiknjosastro (2002), Placenta Previa adalah plasenta yang letaknya
abnormal yaitu pada segmen bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir. Manuaba (1998) mengemukakan bahwa plasenta previa
adalah plasenta dengan implantasi di sekitar segmen bawah rahim, sehingga dapat
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Plasenta previa adalah
plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau
seluruh osteum uteri internum (Saifuddin, 2002).

KLASIFIKASI
Menurut Manuaba (1998), klasifikasi plasenta previa secara teoritis dibagi
dalam bentuk klinis, yaitu: a) Plasenta Previa Totalis, yaitu menutupi seluruh ostium
uteri internum pada pembukaan 4 cm. b) Plasenta Previa Sentralis, yaitu bila pusat
plasenta bersamaan dengan kanalis servikalis. c) Plasenta Previa Partialis, yaitu
menutupi sebagian ostium uteri internum. d) Plasenta Previa Marginalis, yaitu apabila
tepi plasenta previa berada di sekitar pinggir ostium uteri internum.
Menurut Chalik (2002) klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir :
a. Plasenta Previa Totalis, yaitu plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum.
b. Plasenta Previa Partialis, yaitu plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum.
c. Plasenta Previa Marginalis, yaitu plasenta yang tepinya agak jauh letaknya dan
menutupi sebagian ostium uteri internum.
Menurut De Snoo yang dikutip oleh Mochtar (1998), klasifikasi plasenta previa
berdasarkan pada pembukaan 4 5 cm yaitu :
a. Plasenta Previa Sentralis, bila pembukaan 4 5 cm teraba plasenta menutupi
seluruh ostium.
b. Plasenta Previa Lateralis, bila pada pembukaan 4 5 cm sebagian pembukaan
ditutupi oleh plasenta, dibagi 3 yaitu : plasenta previa lateralis posterior bila sebagian
menutupi ostium bagian belakang, plasenta previa lateralis bila menutupi ostium
bagian depan, dan plasenta previa marginalis sebagian kecil atau hanya pinggir
ostium yang ditutupi plasenta.
Penentuan macamnya plasenta previa tergantung pada besarnya pembukaan, misalnya
plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta
previa parsialis pada pembukaan 8 cm, penentuan macamnya plasenta previa harus
disertai dengan keterangan mengenai besarnya pembukaan (Wiknjosastro, 2002).

ETIOLOGI
Penyebab secara pasti belum diketahui dengan jelas. Menurut beberapa pendapat para
ahli, penyebab plasenta previa yaitu :
a. Menurut Manuaba (1998), plasenta previa merupakan implantasi di segmen bawah
rahim dapat disebabkan oleh endometrium di fundus uteri belum siap menerima
implantasi, endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasaan plasenta untuk
mampu memberikan nutrisi pada janin, dan vili korealis pada chorion leave yang
persisten.
b. Menurut Mansjoer (2001), etiologi plasenta previa belum diketahui pasti tetapi
meningkat pada grademultipara, primigravida tua, bekas section sesarea, bekas
operasi, kelainan janin dan leiomioma uteri.

FAKTOR RISIKO
a. Faktor predisposisi
Menurut Manuaba (1998), faktor faktor yang dapat meningkatkan kejadian
plasenta previa adalah umur penderita antara lain pada umur muda < 20 tahun dan
pada umur > 35 tahun, paritas yaitu pada multipara, endometrium yang cacat seperti :
bekas operasi, bekas kuretage atau manual plasenta, perubahan endometrium pada
mioma uteri atau polip, dan pada keadaan malnutrisi karena plasenta previa mencari
tempat implantasi yang lebih subur, serta bekas persalianan berulang dengan jarak
kehamilan < 2 tahun dan kehamilan 2 tahun.
Menurut Mochtar (1998), faktor faktor predisposisi plasenta previa yaitu: 1)
Umur dan paritas Pada paritas tinggi lebih sering dari paritas rendah, di Indonesia,
plasenta previa banyak dijumpai pada umur muda dan paritas kecil. Hal ini
disebabkan banyak wanita Indonesia menikah pada usia muda dimana endometrium
masih belum matang. 2) Endometrium yang cacat Endometrium yang hipoplastis
pada kawin dan hamil muda, endometrium bekas persalinan berulang ulang dengan
jarak yang pendek (< 2 tahun), bekas operasi, kuratage, dan manual plasenta, dan
korpus luteum bereaksi lambat, karena endometrium belum siap menerima hasil
konsepsi. 3) Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda.
b. Faktor pendukung
Menurut Sheiner yang dikutip oleh Amirah Umar Abdat (2010), etiologi
plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya : 1)
Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti : fibroid atau jaringan parut
(dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah Caesar atau aborsi). 2) Korpus luteum
bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi. 3)
Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium. Menurut Sastrawinata (2005),
plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas, seperti
pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multipel. Sebab sebab
terjadinya plasenta previa yaitu : beberapa kali menjalani seksio sesarea, bekas
dilatasi dan kuretase, serta kehamilan ganda yang memerlukan perluasan plasenta
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin karena endometrium kurang subur
(Manuaba, 2001).
c. Faktor pendorong Ibu merokok atau menggunakan kokain, karena bisa
menyebabkan perubahan atau atrofi. Hipoksemia yang terjadi akibat karbon
monoksida akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama
pada perokok berat (lebih dari 20 batang sehari) Sastrawinata,(2005).

PATOFISIOLOGI
Menurut Chalik (2002), pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada
trisemester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya
segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana
diketahui tapak plasenta terbentuknya dari jaringan maternal yaitu bagian desidua
basalis yang tumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya istmus uteri
menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi disitu sedikit
banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada tapaknya. Demikian pula pada
waktu servik mendatar dan membuka ada bagian tapak plasenta yang lepas. Pada
tempat laserasi itu akn terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu
ruang intervillus dari plasenta. Oleh sebab itu, perdarahan pada plasenta previa
betapapun pasti akan terjadi oleh karena segmen bawah rahim senantiasa terbentuk
Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20 minggu saat
segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan. Pelebaran segmen bawah
uterus dan servik menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari
dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan tidak
dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk
berkontraksi seperti pada plasenta letak normal (Mansjoer, 2001).

Gambaran Klinik Plasenta Previa
Perdarahan tanpa sebab, tanpa rasa nyeri serta berulang, darah berwarna merah
segar, perdarahan pertama biasanya tidak banyak, tetapi perdarahan berikutnya
hamper selalu lebih banyak dari sebelumnya, timbulnya penyulit pada ibu yaitu
anemia sampai syok dan pada janin dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian
janin dalam rahim, bagian terbawah janin belum masuk pintu atas panggul dan atau
disertai dengan kelainan letak oleh karena letak plasenta previa berada di bawah janin
(Winkjosastro, 2002).

DIAGNOSA
Menurut Mochtar (1998), diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala-gejala klinis
dan beberapa pemeriksaan sebagai berikut : a. Anamnesa plasenta previa, antara lain :
terjadinya perdarahan pada kehamilan 28 minggu berlangsung tanpa nyeri , dapat
berulang, tanpa alasan terutama pada multigravida. b. Pada inspeksi dijumpai, antara
lain : perdarahan pervaginam encer sampai bergumpal dan pada perdarahan yang
banyak ibu tampak anemis. c. Pemeriksaan Fisik Ibu, antara lain dijumpai keadaan
bervariasi dari keadaan normal sampai syok, kesadaran penderita bervariasi dari
kesadaran baik sampai koma. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tekanan darah, nadi
dan pernafasan dalam batas normal, tekanan darah turun, nadi dan pernafasan
meningkat, dan daerah ujung menjadi dingin, serta tampak anemis. d. Pemeriksaan
Khusus Kebidanan a. Pemeriksaan palpasi abdomen, antara lain : janin belum cukup
bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan umur hamil, karena letak plasenta di segmen
bawah lahir, maka dapat dijumpai kelainan letak janin dalam rahim dan bagian
terendah masih tinggi. b. Denyut jantung janin bervariasi dari normal sampai asfiksia
dan kematian dalam rahim. c. Pemeriksaan dalam, yaitu pemeriksaan dalam
dilakukan di atas meja operasi dan siap untuk segera mengambil tindakan. Tujuan
pemeriksaan dalam untuk menegakkan diagnosa pasti, mempersiapkan tindakan
untuk melakukan operasi persalinan, hasil pemeriksaan dalam teraba plasenta sekitar
ostium uteri internum.

VASA PREVIA

DEFINISI
Vasa praevia adalah komplikasi obstetrik dimana pembuluh darah janin
melintasi atau berada di dekat ostium uteri internum (cervical os) . Pembuluh darah
tersebut berada didalam selaput ketuban ( tidak terlindung dengan talipusat atau
jaringan plasenta) sehingga akan pecah bila selaput ketuban pecah.

ETIOLOGI /PATOFISIOLOGI
Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban yang
berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut dapat berasal dari
insersio velamentosa dari talipusat atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus
aksesorius). Bila pembuluh darah tersebut pecah maka akan terjadi robekan pembuluh
darah sehingga terjadi eksanguisasi dan kematian janin.

FAKTOR RESIKO
Vasa previa lebih sering terlihat pada insersio velamentosa atau lobus aksesorius dan
kehamilan kembar .

DIAGNOSIS
Jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat diduga bila usg antenatal
dengan Coolor Doppler memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput
ketuban didepan ostium uteri internum.
[2][3]

Tes Apt : uji pelarutan basa hemoglobin. Diteteskan 2 3 tetes larutan basa
kedalam 1 mL darah. Eritrosit janin tahan terhadap pecah sehingga campuran
akan tetap berwarna merah. Jika darah tersebut berasal dari ibu, eritrosit akan
segera pecah dan campuran berubah warna menjadi coklat.
Diagnosa dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput ketuban dan
plasenta
Seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat bahwa
sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak fatal bagi janin

ABRUPSIO PLASENTA

DEFINISI
Abrupsio plasenta adalah terlepasnya sebgaian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal sebelum waktunya.

KLASIFIKASI
1. ruptura sinus marginalis : hanya terlepas pinggirnya saja
2. solusio plasenta parsialis : terlepas lebih luas
3. solusio plasenta totalis : seluruh permukaan maternal plasenta terlepas.
a. Revealed hemorrage : perdarahan akan merembes antara plasenta dan
miometrium lalu ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina
b. Concealed hemorrage : perdarahn tersebut tidak keluar melalui vagina, jika:
i. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding
rahim
ii. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
iii. Perdarahan masuk ke kantong ketuban
iv. Bagian terbawah janin melekat kuat pada segmen bawah rahim
4. Solusio plasenta ringan : luas yang terlepas tidak sampai 25%, jumlah darah yang
keluar kurang dari 250 ml, komplikasi belum ada
5. Solulsio plasenta sedang : luas yang terlepas lebih 25% tapi belum sampai 50%,
jumlah darah yang keluar lebih dari 250 ml tapi kurang dari 1000 ml, gejala sudah
jelas : nyeri perut, djj meningkat, hipotensi dan takikardi
6. Solulsio plasenta berat : luas yang terlepas lebih 50% , jumlah darah yang keluar
lebih dari 1000 ml, gejala sudah jelas, keadaa umum buruk disertai syok dan hampir
semua janinnya telah meninggal, komplikasi koagulopati dan gagal ginjal.

INSIDEN
Semakin menurun dengan semakin baiknya perawatan antenatal, tranportasi yang lebih
mudah. Tapi diyakini angka kejadian lebih tinggi di Indonesia dari pada di negara maju.

ETIOLOGI
Sebab primer : tidak diketahui
Faktor resiko :
- Pernah solusio plasenta
- Korioamnionitis/ ketuban pecah dini
- Sindroma pre-eklampsia
- Hipertensi kronik
- Merokok
- Merokok + Hipertensi kronik
- Pacandu kokain
- Mioma di belakang plasenta
- Gangguan sistem pembekuan darah
- Trauma abdomen dalam kehamilan
- Plasenta sirkumvalata
- Sosioekonomi :Usia muda, primiparitas, single parents, pendidikan yang rendah dan
solusio plasenta rekurens
- Fisik : trauma tumpul perut
- Kelainan pada rahim : mioma submukosum
- Penyakit ibu : hipertensi, kelainan sistem pembekuan darah
- Iatrogenik : merokok, kokain

DIAGNOSIS
Perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, kontraksi tetanik pada uterus, kelainan denyut
jantung janin.

INKOMPETEN SERVIKS

DEFINISI
Inkompeten serviks adalah kelemahan pada integritas jaringan serviks dimana
leher rahim mengalami penipisan dan dilatasi sebelum waktunya tanpa rasa sakit.
Inkompetensi serviks merupakan penyebab tersering pada kasus kelahiran prematur
trimester II

EPIDEMIOLOGI
Suatu studi epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks inkompeten
adalah sekitar 0,5% pada populasi pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita
dengan abortus trimester kedua sebelumnya

ETIOLOGI
Etiologi sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Diduga 3 faktor yang
memegang peranan penting dalam terjadinya inkompetensi serviks, yaitu :
a. Faktor kongenital
Akibat perkembangan abnormal jaringan fibromuskular serviks
menyebabkan kelemahan serviks tersebut. Kelainan ini jarang ditemukan.
Pada primigravida yang tidak pernah mengalami trauma pada serviks jarang
menderita kelainan ini.
b. Faktor akuisita
Akibat trauma sebelumnya pada serviks uteri yang mencapai ostium uteri
internum, misalnya pada persalinan normal, tindakan cunam yang traumatik,
kesulitan ekstraksi bahu, seksio sesaria di daerah serviks yang terlalu rendah,
dilatasi dan kuretase berlebihan, amputasi serviks, konisasi ataupun
kauterisasi. Kelainan ini lebih sering ditemukan.

GAMBARAN KLINIS
Adanya pembukaan serviks tanpa kontraksi pada kehamilan trimester II

DIAGNOSIS
Diagnosis serviks inkompeten umumnya ditegakkan pada ANC berdasarkan riwayat
satu atau lebih kegagalan kehamilan pada trimester kedua atau riwayat keguguran
berulang pada trimester kedua. Terdapat keraguan bahwa pemeriksaan ultrasonografi,
terutama transvaginal, bermanfaat sebagai alat bantu untuk mendiagnosis
pemendekan serviks atau pencorongan ostium interna dan mendeteksi secara dini
serviks yang inkompeten.

TATA LAKSANA
Terapi untuk inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah dan non-bedah.
Pilihan terapi non-bedah dapat mengurangi risiko kelahiran prematur pada wanita
dengan inkompetensi serviks. Pengurangan aktivitas atau istirahat total di tempat
tidur, menghindari hubungan seksual, dan penghentian penggunaan narkotin atau
rokok telah direkomendasikan. Penggunaan indomethasin (100mg sekali, diikuti
dengan 50mg setiap 6 jam selama 48jam telah dihubungkan dengan penurunan
persalinan sebelum 35 minggu dan penurunan kelahiran prematur sebesar 86% pada
wanita dengan pemendekan serviks menjelang usia kehamilan 24 minggu.
Penatalaksanaan inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah yaitu
penguatan serviks yang lemah dengan jahitan yang di sebut cerclage. Perdarahan,
kontraksi uterus, atau ruptur membran biasanya merupakan kontraindikasi untuk
pembedahan. Terdapat beberapa tehnik cerclage yang pernah dilakukan seperti
McDonalds dan modifikasi Shirodkar. Waktu terbaik untuk prosedur cerclage serviks
adalah pada bulan ketiga (12-14 minggu) kehamilan . Namun, beberapa wanita
mungkin perlu dipasangkan cerclage darurat pada kehamilan lanjut jika terjadi
perubahan seperti pembukaan atau pemendekan serviks. Jika sudah ada riwayat
pemasangan cerclage darurat, pada kehamilan selanjutnya juga wanita ini akan
memerlukan pemasangan cerclage pada serviksnya.

POLIHIDRAMNION

POLIHIDRAMNION
Polihidramnion atau disebut juga dengan hidramnion adalah keadaan dimana air
ketuban melebihi 2000 ml. Hidramnion akut adalah penambahan air ketuban secara
mendadak dan cept dalam beberapa hari, biasanya terdapat pada kehamilan yang agak
muda, bulan ke 5 dan ke 6.Hidramnion kronis adalah penambahan air ketuban
secara perlahan-lahan, biasanya terjadi pada kehamilan lanjut. Diagnosis pasti bisa
didapatkan dari pemeriksaan ultrasonografi (USG). Insidensi hidramnion adalah 1%
dari semua kehamilan. Biggio dkk (1999) melaporkan dari Alabama, insisden
hidramnion 1% diantara lebih dari 36.000 kehamilan.
Etiologi
Sampai sekarang penyebab hidramnion masih belum jelas. Pada banyak kasus
hidramnion berhubungan dengan kelainan malformasi janin, khususnya kelainan
sistem syaraf pusat dan traktus gastrointestinal. Namun secara teori, hidramnion bisa
terjadi karena :
Produksi air ketuban bertambah
Diduga air ketuban dibentuk oleh sel-sel amnion, tetapi air ketuban dapat bertambah
cairan lain masuk kedalam ruangan amnion, misalnya air kencing janin dan cairan
otak anensefalus.
Naeye dan Blanc (1972) mengidentifikasi dilatasi tubulus ginjal, bladder (vesica
urinaria) ukuran besar, akan meningkatkan output urine pada awal periode
pertumbuhan fetus, hal inilah yang meningkatkan produksi urine fetus yang
mengakibatkan hidramnion.
Pengaliran air ketuban terganggu
Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan diganti dengan yang baru.
Salah satu cara pengeluaran adalah ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh usus kemudian
dialirkan ke plasenta untuk akhirnya masuk kedalam peredaran darah ibu. Ekskresi
air ketuban ini akan terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti pada atresia
esofagus dan anensefalus.
Damato dan koleganya (1993) melaporkan bahwa dari 105 wanita yang diteliti cairan
amnionnya, ditemukan hampir 65% dinyatakan hidramnion. Ada 47 orang hamil
tunggal dengan satu atau lebih mengalami kelainan kongenital. Diantaranya kelainan
gastrointestinal, sistem syaraf pusat, thorax, skeletal, kelainan kromosom (2 janin
mempunyai trisomi 18Edward syndrome dan dua janin dengan trisomi 21Down
syndrome), dan kelainan jantung. 19 orang wanita hamil kembar. Hidramnion
berhubungan dengan kehamilan kembar monozigotik, hipotesis telah dibuktikan
bahwa salah satu fetus menguasai satu bagian sirkulasi dari janin lainnya, dimana
fetus yang satu ini mengalami cardiac hypertrofi dan produksi output urine yang
meningkat.
Diagnosis
1. Anamnesis
Perut terasa lebih besar dan lebih berat dari biasa
Sesak nafas, beberapa ibu mengalami sesak nafas berat, pada kasus ekstrim
ibu hanya bisa bernafas bila berdiri tegak
Nyeri ulu hati dan sianosis
Nyeri perut karena tegangnya uterus
Oliguria. Kasus sangat jarang terjadi. Hal ini terjadi karena urethra mengalami
obstruksi akibat uterus yang membesar melebihi kehamilan normal.
2. Inspeksi
Perut terlihat sangat buncit dan tegang, kulit perut mengkilat, retak-retak kulit
jelas dan kadang-kadang umbilikus mendatar
Ibu terlihat sesak dan sianosis serta terlihat payah karena kehamilannya
Edema pada kedua tungkai, vulva dan abdomen. Hal ini terjadi karena
kompresi terhadap sebagian besar sistem pembuluh darah balik (vena) akibat
uterus yang terlalu besar
3. Palpasi
Perut tegang dan nyeri tekan
Fundus uteri lebih tinggi dari usia kehamilan sesungguhnya
Bagian-bagian janin sukar dikenali
4. Auskultasi
Denyut jantung janin sukar didengar
5. Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen (bahaya radiasi)
Ultrasonografi
o Banyak ahli mendefinisikan hidramnion bila index cairan amnion
(ICA) melebihi 24-25 cm pada pemeriksaan USG.
o Dari pemeriksaan USG, hidramnion terbagi menjadi :
Mild hydramnion (hidramnion ringan), bila kantung amnion mencapai 8-11 cm
dalam dimensi vertikal. Insiden sebesar 80% dari semua kasus yang terjadi.
Moderate hydramnion (hidramnion sedang), bila kantung amnion mencapai 12-15
cm dalamnya. Insiden sebesar 15%.
Severe hydramnion (hidramnion berat), bila janin ditemukan berenang dengan bebas
dalam kantung amnion yang mencapai 16 cm atau lebih besar. Insiden sebesar 5%.
From Queenan
(1991)
Diagnosa
banding
Gemelli
(kembar)
Asites (pengumpulan cairan serosa dalam rongga perut)
Kista ovarium
Kehamilan dengan tumor
Prognosis
Janin
Kelainan kongenital
Prematuritas
Prolapsus tali pusat
Ibu
Weeks
gestation
Fetus (gr) Placenta (gr) Amnionic fluid
(ml)
Fluid
(%)
16 100 100 200 50
28 1000 200 1000 45
36 2500 400 900 24
40 3300 500 800 17
Solusio plasenta
Atonia uteri
Perdarahan postpartum
Penanganan
Pada masa hamil
Pada hidramnion ringan tidak perlu pengobatan khusus. Hidramnion sedang dengan
beberapa ketidaknyamanan biasanya dapat diatasi, tidak perlu intervensi sampai
persalinan atau sampai selaput membran pecah spontan. Jika terjadi sesak nafas atau
nyeri pada abdomen, terapi khusus diperlukan. Bed rest, diuretik dan air serta diet
rendah garam sangat efektif. Terapi indomethacin biasa digunakan untuk mengatasi
gejala-gejala yang timbul menyertai hidramnion. Kramer dan koleganya (1994)
melalui beberapa hasil penelitiannya membuktikan bahwa indomethacin mengurangi
produksi cairan dalam paru-paru atau meningkatkan absorpsi, menurunkan produksi
urine fetus dan meningkatkan sirkulasi cairan dalam membran amnion. Dosis yang
boleh diberikan 1,5-3 mg/Kg per hari. Tetapi pada hidramnion berat maka penderita
harus dirawat dan bila keluhan terlalu hebat dapat
dilakukan amniosentesis (pengambilan sampel cairan ketuban melalui dinding
abdomen). Prinsip dilakukan amniosintesis adalah untuk mengurangi distress pada
ibu. Selain itu, cairan amnion juga bisa di tes untuk memprediksi kematangan paru-
paru janin.
Pada masa persalinan
Bila tidak ada hal-hal yang mendesak maka sikap kita adalah menunggu. Jika pada
waktu pemeriksaan dalam ketuban tiba-tiba pecah, maka untuk menghalangi air
ketuban mengalir keluar dengan deras, masukanlah tinju kedalam vagina sebagai
tampon beberapa lama supaya air ketuban keluar pelan-pelan. Maksudnya adalah
supaya tidak terjadi solusio plasenta, syok karena tiba-tiba perut kosong atau
perdarahan postpartum karena atonia uteri.
Pada masa nifas
Observasi perdarahan postpartum


tterm.

KELAINAN LETAK JANIN SETELAH 36 MINGGU

KEHAMILAN GANDA

DEFINISI
Kehamilan ganda adalah bila proses fertilisasi menghasilkan janin lebih dari satu.
(Sarwono, 2010).

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1. Faktor Ras.
Pada kawasan di afrika, frekuensi terjadinya kehamilan ganda sangat tinggi.
Knox dan Morley (1960) dalamsuatu survey pada salah satu masyarakat
pedesaan di Nigeria, mendapatkan bahwa kehamilan ganda terjadi sekali pada
setiap 20 kelahiran,kehamilan pada orang timur atau oriental tidak begitu
sering terjadi.
2. Factor Keturunan.
Dalam analisis Burmer (1960) terhadap anak-anak kembar, 1 dari 25 (40%)
ibu mereka ternyata juga kembar, tetapi hanya 1 dari 60 (1,75) ayah mereka
yang kembar, keterangan didapatkan bahwa salah satu sebabnya adalah
multiple ovulasi yang diturunkan.
3. Factor umur dan Paritas
Untuk peningkatan usia sampai sekitar 40 tahun atau paritas sampai dengan
7, frekuensi kehamilan ganda akan meningkat.
4. Factor nutrisi.
Nylander (1971) mengatakan bahwa peningkatan kehamilan ganda berkaitan
dengan BB ibu. Ibu yang lebih tinggi dan berbadan besar mempunyai resiko
hamil ganda sebesar 25-30% dibandingkan dengan ibu yang lebih pendek dan
berbadan kecil.
5. .Factor terapi infertilitas.
Induksi ovulasi dengan menggunakan FSH plus chorionic gonadrotopin atau
chlomiphene citrate menghasilkan ovulasi ganda.




KLASIFIKASI
1. Kehamilan kembar monozigotik
Merupakan kehamilan ganda yang berasal dari satu ovum yang dibuahi dan
membelah secara dini dan membentuk dua embrio yang sama, kehamilan ini juga
disebut hamil kembar identik atau hamil kembar homolog atau hamil kembar
uniovuler, karena berasal dari satu ovum.
Cirri-cirinya adalah
a. Jenis kelamin sama
b. Rupanya sama/ memiiki wajah yang sama (seperti bayangan)
c. Golongan darah sama, cap kaki dan tangan sama
d. Sebagian atau kira-kira 1/3 kehamilan kembar adalah monozigotik,
mempunyai 2 amnion, 2 karion, dan 2 plasenta; kadang-kadang 2 plasenta
menjadi 1. Keadaan ini tidak dapat dibedakan dengan kembar dizigotik. 2/3
mempunyai 1 plasenta, 1 korion, dan atau 2 amnion. Pada kehamilan kembar
monoamniotik kematian bayi masih sangat tinggi.
e. Pada kembar monozigotik dapat terjadi kelainan pertumbuhan seperti
kembar siam dan insiden kelainan malformasi masih tinggi.

2. Kehamilan kembar dizigotik
Merupakan kehamilan ganda yang berasal dari 2 atau lebih ovum yang telah dibuahi,
sebagian besar kehamilan ganda adalah dizigotik atau kehamilan kembar fraternal.
Cirri-cirinya adalah :
a. Jenis kelamin dapat sama atau berbeda
b. Persamaan seperti adik kakak
c. Golongan darah tidak sama
d. Cap tangan dan kaki tidak sama
e. Sebagian atau kira-kira 2/3 kehamilan kembar adalah dizigotik yang mempunyai 2
plasenta, 2 korion dan 2 aamnion dan 2 amnion,2 korion, 1 plasenta.


MANIFESTASI KLINIS
1. Ukuran uterus, tinggi fundus uterus, dan lingkar abdomen melebihi ukuran yang
seharusnya untu usia kehamilan akibat pertumbuhan uterus yang pesat selama
trimester ke 2.
2. Mual dan muntah berat( akibat peningkatan kadar HCG)
3. Riwayat bayi kembar dalam kelurga.
4. Riwayat penggunaan obat penyubur sel telur, seperti sitrat klomifen( clomid) atau
menotropins (pergonal).
5. Pada palpasi abdomen didapat tiga atau lebih bagian besar dan/ atau banyak bagian
kecil, yang akan semakin mudah diraba terutama pada trimester ketiga.
6. Pada auskultasi ditemukan lebih dari satu bunyi denyut jantung janin yang jelas-
jelas berbeda satu sama lain (berbeda lebih dari 10 denyut jantung permenit dan
terpisah dari detak jantung ibu).

PENATALAKSANAAN ANTEPARTUM
Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pada kehamilan dengan penyulit
kembar, kita perlu :
1. Pemeriksaan antenatal lebih sering, mulai kehamilan 24 minggu pemeriksaan
dilakukan tiap 2 minggu, sesudah kehamilan 36 minggu tiap minggu,
sehingga tanda-tanda pre-eklamsi dapat diketahui dini dan penanganannya
dapat dikerjakan dengan segera. Setelah kehamilan 30 minggu, perjalanan
jauh dan koitus sebaiknya dilarang karena dapat merupakan factor
predisposisi partus prematurus.
2. Pada kehamilan kebutuhan ibu untuk pertumbuhan hamil kembar lebih besar
dari hamil tunggal, sehingga kebutuhan nutrisinya harus terpenuhi agar tidak
terganggu pertumbuhan janin dalam rahim.
3. Anemia hepokrom tidak jarang terjadi pada kehamilan kembar karena
kebutuhan besi 2 bayi dan penambahan volema darah ibu sangat
meningkat.pemberian sulfas ferosus 3100 mg secara rutin perlu dilakukan,
selain zat besi dianjurkan untuk memberikan asam folik sebagai tambahan,
yaitu 5 mg asam folat dan satu tablet zatbesi setiap hari.
4. Mencegah kelahiran janin yang terlalu preterm.
5. Mengidentifikasi gangguan pertumbuhan salah satu atau kedua janin
6. Mengeliminasi trauma janin selama persalinan dan kelahiran.
7. Mempersiapkan dokter yang ahli dalam perawatan neonates.


PENATALAKSANAAN DALAM PERSALINAN
1. Untuk memilih metode yang optimal untuk kelahiran presentasi janin-janin
itu harus diketahui dengan tepat.
2. Presentasi kepala paling sering terjadi (50% bokong-dari semua kombinasi)
diikuti dengan kelahiran kepala-bokong, bokong-kepala, bokong-bokong,
untuk presentasi kepala-kepala persalinan pervaginam diperbolehkan seperti
halnya pada presentasi kepala tunggal, frekuensi DJJ harus dipantau terus
menerus selama persalinan.
3. Setelah kelahiran dari kembar yang pertama, tali pusat dengan segera di
klem, yang dikeali sebagai kembar A, dan dipotong.
4. Pemeriksaan dalam kemudian dilakukan untuk menilai presentasi dan
stasion kembar kedua. Apabila kembar kedua presentasi kepala, persalinan
dibiarkan berlanjut, frekuensi DJJ kedua terus dipantau, bila kontraksi rahim
tidak efektif oksitosin harus diberikan dalam larutan encer dan persalinan
dibiarkan berjalan.
5. Selang waktu optimal antara kehamilan kembar pertama dan kedua adalah
5-15 menit, apabila lebih dari 30 enit dapat mengakibatkan insufiensi
uteroplasenta yang dapat mengakibatkan menurunnya aliran darah
uteroplasenta yang diakibatkan oleh berkurangnya voleme dalam rahim.
6. Pada presentasi lain,SC rutin harus dilakukan untuk mencegah cedera
kelahiran dan asfiksia potensial yang mungkin terjadi pada versi kaki dan
ekstraksi sungsang total.
7. Semua persiapan untuk resusitasi dan perawatan bayi premature disediakan.
Golongan darah ibu sudah di tentukan dan persediaan darah diadakan
mengingat kemungkinan perdarahan post partum lebih besar. Pemakaian
sedative perlu dibatasi. Epiosiotomi mediolateral dikerjakan untuk
memperpendek kala pengeluaran dan mengurangi tekanan pada kepala bayi.
Setelah bayi pertama lahir, segera dilakukan pemeriksaan luar dan vaginal
untuk mengetahui letak dan keadaan janin kedua. Bila janin dalam letak
memanjang, selaput ketuban dipecahkan dan air ketuban dialirkan perlahan-
lahan untuk menghindarkan prolapsus funikulli. Penderita dianjurkan meneran
atau dilakukan tekanan terkendali pada fundus uteri, agar bagian janin masuk
dalam panggul, janin kedua turun dengan cepat sampai kedasar panggul dan
lahir spontan karena jalan lahir telah dilalui anak pertama. Bila janin kedua
dalam letak lintang denyut jantung janin tidak teratur, tetapi prolapsus
funikulli atau soluso plasenta, atau bila persalinan spontan tidak terjadi dalam
15 menit, maka janin perlu dilahirkan dengan obstetric karena resiko akan
meningkat dengan meningkatnya waktu. Dalam letak lintang dicoba untuk
mengadakan versi luar dan bila tidak berhasil maka segera dilakukan versi
ekstraksi tanpa narcosis, pada janin dalam letak memanjang dapat dilakukan
ekstraksi kunam pada letak kepala dan ekstraksi kaki pada letak sungsang.
Sectio sesaria dilakukan atas indikasi janin pertama dalam letak lintang,
prolaps funikulli, plasenta previa. Bila terjadi interloking, bila keadaan tidak
bias dilepaskan dilakukan dekapitasi atau SC menurut keadaan janin. Setelah
anak ke dua lahir penderita disuntik 10 satuan oksi dan tingginya fundus uteri
diawasi, jika ada tanda-tanda pelepasan plasenta maka plasenta dilahirkan,
kala IV diawasi secara cermat agar perdarahan post partum dapat diketahui
dini dan penanggulangan dapat dilakukan dengan segera.

PENATALAKSANAAN POST PARTUM

Terjadi gangguan kontraksi otot rahim yang menyebbkan atonia uteri yang
menimbulkan perdarahan dan retensio plasenta. Seseorang wanita dengan
kehamilan ganda mempunyai volume darah yang lebih besar dan
mendapatkan beban ekstra pada system kardiovaskuler, peregangan otot rahim
yang menyebabkan iskemia uteri yang dapat meningkatkan kemungkinan
preklampisia dan eklampsia.


LETAK DAN PRESENTASI JANIN

Pada umunya tidak besar dan cairan amnion lebih banyak dari pada biasanya,
sehingga sering terjadi perubahan presentasi dan posisi janin. Demikian pula
letak janin kedua dapat berubah setelah kelahiran janin pertama, misalnya dari
letak lintang menjadi letak sungsang. Yang paling sering ditemukan kedua
janin dalam letak memanjang dengan presentasi kepala kemudian menyusul
presentasi kepala dan bokong, keduanya presentasi bokong, presentasi kepala
dan bahu, presentasi bokong dan bahu dan yang paling jarang keduanya
presentasi bahu.

I. Pertumbuhan janin kembar

1. Berat badan satu janin kehamilan kembar rata-rata 1000gr lebih ringan dari
janin tunggal.

2. Berat badan baru lahir biasanya pada kembar dua dibawah 2500 gr,triplet
dibawah 2000 gr,quadruplet dibawah 1500 gr, dan quintuplet dibawah 1000
gr.

3. Berat badan masing-masing janin dari kehamilan kembar tidak
sama,umumnya berselisih antara 50 sampai 1000 gr, dank arena pembagian
sirkulasi darah tidak sama,maka yang satu lebih kurang tumbuh dari yannng
laiinnya.

4. Pada kehamilan ganda monozigotik
a. Pembuluh darah janin yang satu beranastomosis dengan janin yang lain,
karena itu setelah bayi satu lahir tali pusat harus diikat unntuk menghindari
pendarahan.
b. Karena itu janin yang satu dapat terganggu pertumbuhannya dan jadi
monstrum,seperti akardiakus,dan kelainan lainnya.
c. Dapat terjadi sindroma transfuse fetal; pada janin yang mendapat darah
lebih banyak terjadi hidramnion, polesetimia, edema, dan pertumbuhan yang
baik. Sedangkan janin kedua terlihat kecil, anemis, dehidrasi, oligohidramnion
dan mikrokardi, karena kurang mendapat darah.

5. Pada kehamilan kembar dizigotik

a. Dapat terjadi satu janin meninggal dan yang satu tumbuh sampai cukup
bulan.
b. Janin yang mati bias diresorbsi (pada kehamilan muda), atau pada
kehamilan yang agak tua, janin menjadi pipih yang disebut fetus papyraseus
atau kompresus.

JANIN TUMBUH LAMBAT


DEFINISI
Pertumbuhan janin terhambat (PJT) ditegakkan apabila pada pemeriksaan
ultrasonografi (USG) perkiraan berat badan janin berada di bawah persentil 10
dibawah usia kehamilan atau lebih kecil dari yang seharusnya (sesuai grafik).
Terminologi kecil untuk masa kehamilan adalah berat badan bayi yang tidak sesuai
dengan masa kehamilan dan dapat muncul pada bayi cukup bulan atau prematur. Pada
umumnya janin tersebut memiliki tubuh yang kecil dan risiko kecacatan atau
kematian bayi kecil akan lebih besar baik pada saat dilahirkan ataupun setelah
melahirkan.
Kejadian PJT bervariasi, berkisar 4-8% pada negara maju dan 6-30% pada negara
berkembang. Hal ini perlu menjadi perhatian karena besarnya kecacatan dan kematian
yang terjadi akibat PJT. PJT terbagi atas dua, yaitu:

1. Gangguan pertumbuhan janin simetris
Memiliki kejadian lebih awal dari gangguan pertumbuhan janin yang tidak simetris,
semua organ mengecil secara proporsional. Faktor yang berkaitan dengan hal ini
adalah kelainan kromosom, kelainan organ (terutama jantung), infeksi TORCH
(Toxoplasmosis, Other Agents <Coxsackie virus, Listeria), Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes simplex/Hepatitis B/HIV, Syphilis), kekurangan nutrisi
berat pada ibu hamil, dan wanita hamil yang merokok

2. Gangguan pertumbuhan janin asimetris (tidak simetris)
Gangguan pertumbuhan janin asimetris memiliki waktu kejadian lebih lama
dibandingkan gangguan pertumbuhan janin simetris. Beberapa organ lebih
terpengaruh dibandingkan yang lain, lingkar perut adalah bagian tubuh yang
terganggu untuk pertama kali, kelainan panjang tulang paha umumnya terpengaruhi
belakangan, lingkar kepala dan diameter biparietal juga berkurang. Faktor yang
mempengaruhi adalah insufisiensi (tidak efisiennya) plasenta yang terjadi karena
gangguan kondisi ibu termasuk diantaranya tekanan darah tinggi dan diabetes dalam
kehamilan dalam kehamilan

PENYEBAB
Pada umumnya 75% janin dengan PJT memiliki proporsi tubuh yang kecil, 15-25%
terjadi karena insufisiensi uteroplasenta, 5-10% terjadi karena infeksi selama
kehamilan atau kecacatan bawaan.
1. Penyebab ibu
Fisik ibu yang kecil dan kenaikan berat badan yang tidak adekuat
Faktor keturunan dari ibu dapat mempengaruhi berat badan janin. Kenaikan
berat tidak adekuat selama kehamilan dapat menyebabkan PJT. Kenaikan
berat badan ibu selama kehamilan sebaiknya 9-16 kg. apabila wanita dengan
berat badan kurang harus ditingkatkan sampai berat badan ideal ditambah
dengan 10-12 kg
Penyakit ibu kronik
Kondisi ibu yang memiliki hipertensi kronik, penyakit jantung sianotik,
diabetes, serta penyakit vaskular kolagen dapat menyebabkan PJT. Semua
penyakit ini dapat menyebabkan pre-eklampsia yang dapat membawa ke PJT
Kebiasaan seperti merokok, minum alkohol, dan narkotik

2. Penyebab janin
Infeksi selama kehamilan
Infeksi bakteri, virus, protozoa dapat menyebabkan PJT. Rubela dan
cytomegalovirus (CMV) adalah infeksi yang sering menyebabkan PJT
Kelainan bawaan dan kelainan kromosom
Kelaianan kromosom seperti trisomi atau triploidi dan kelainan jantung
bawaan yang berat sering berkaitan dengan PJT. Trisomi 18 berkaitan dengan
PJT simetris serta polihidramnion (cairan ketuban berlebih). Trisomi 13 dan
sindroma Turner juga berkaitan dengan PJT
Pajanan teratogen (zat yang berbahaya bagi pertumbuhan janin)
Berbagai macam zat yang bersifat teratogen seperti obat anti kejang, rokok,
narkotik, dan alkohol dapat menyebabkan PJT

3. Penyebab plasenta (ari-ari)
Kelainan plasenta sehingga menyebabkan plasenta tidak dapat menyediakan
nutrisi yang baik bagi janin seperti, abruptio plasenta, infark plasenta
(kematian sel pada plasenta), korioangioma, dan plasenta previa
Kehamilan kembar
Twin-to-twin transfusion syndrome

TANDA DAN GEJALA
PJT dicurigai apabila terdapat riwayat PJT sebelumnya dan ibu dengan penyakit
kronik. Selain itu peningkatan berat badan yang tidak adekuat juga dapat mengarah
ke PJT. Dokter dapat menemukan ukuran rahim yang lebih kecil dari yang
seharusnya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) diperlukan untuk mengukur pertumbuhan janin.
Selain itu USG juga dapat digunakan untuk melihat kelainan organ yang terjadi.
Pengukuran lingkar kepala, panjang tulang paha, dan lingkar perut dapat dilakukan
untuk menilai pertumbuhan janin melalui USG. Penggunaan ultrasound doppler dapat
digunakan untuk melihat aliran dari pembuluh darah arteri umbilikalis.

TERAPI
Kecacatan dan kematian janin meningkat sampai 2-6 kali pada janin dengan PJT.
Tatalaksana untuk kehamilan dengan PJT bertujuan, karena tidak ada terapi yang
paling efektif sejauh ini, adalah untuk melahirkan bayi yang sudah cukup usia dalam
kondisi terbaiknya dan meminimalisasi risiko pada ibu.
Tatalaksana yang harus dilakukan adalah :
PJT pada saat dekat waktu melahirkan. Yang harus dilakukan adalah segera
dilahirkan PJT jauh sebelum waktu melahirkan. Kelainan organ harus dicari pada
janin ini, dan bila kelainan kromosom dicurigai maka amniosintesis (pemeriksaan
cairan ketuban) atau pengambilan sampel plasenta, dan pemeriksaan darah janin
dianjurkan
a. Tatalaksana umum : setelah mencari adanya cacat bawaan dan kelainan
kromosom serta infeksi dalam kehamilan maka aktivitas fisik harus dibatasi
disertai dengan nutrisi yang baik. Apabila istirahat di rumah tidak dapat
dilakukan maka harus segera dirawat di rumah sakit. Pengawasan pada janin
termasuk diantaranya adalah melihat pergerakan janin serta pertumbuhan
janin menggunakan USG setiap 3-4minggu
b. Tatalaksana khusus : pada PJT yang terjadi jauh sebelum waktunya
dilahirkan, hanya terapi suportif yang dapat dilakukan. Apabila penyebabnya
adalah nutrisi ibu hamil tidak adekuat maka nutrisi harus diperbaiki. Pada
wanita hamil perokok berat, penggunaan narkotik dan alkohol, maka
semuanya harus dihentikan
c. Proses melahirkan : pematangan paru harus dilakukan pada janin prematur.
Pengawasan ketat selama melahirkan harus dilakukan untuk mencegah
komplikasi setelah melahirkan. Operasi caesar dilakukan apabila terjadi
distress janin serta perawatan intensif neonatal care segera setelah dilahirkan
sebaiknya dilakukan. Kemungkinan kejadian distress janin selama melahirkan
meningkat pada PJT karena umumnya PJT banyak disebabkan oleh
insufisiensi plasenta yang diperparah dengan proses melahirkan Kondisi bayi.
Janin dengan PJT memiliki risiko untuk hipoksia perinatal (kekurangan
oksigen setelah melahirkan) dan aspirasi mekonium (terhisap cairan
mekonium). PJT yang parah dapat mengakibatkan hipotermia (suhu tubuh
turun) dan hipoglikemia (gula darah berkurang). Pada umumnya PJT simetris
dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan pertumbuhan bayi yang
terlambat setelah dilahirkan, dimana janin dengan PJT asimetris lebih dapat
catch-up pertumbuhan setelah dilahirkan.

PENCEGAHAN
Beberapa penyebab dari PJT tidak dapat dicegah. Bagaimanapun juga, faktor seperti
diet, istirahat, dan olahraga rutin dapat dikontrol. Untuk mencegah komplikasi yang
serius selama kehamilan, sebaiknya seorang ibu hamil mengikuti nasihat dari
dokternya; makan makanan yang bergizi tinggi; tidak merokok, minum alkohol dan
menggunakan narkotik; mengurangi stress; berolahraga teratur; serta istirahat dan
tidur yang cukup. Suplementasi dari protein, vitamin, mineral, serta minyak ikan juga
baik dikonsumsi. Selain itu pencegahan dari anemia serta pencegahan dan tatalaksana
dari penyakit kronik pada ibu maupun infeksi yang terjadi harus baik.

KELAINAN JANIN

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan
sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir.
Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh
kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi
alamu terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan
dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir
rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat
lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam
minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan
laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir,
dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa
cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air
ketuban dan darah janin

INSIDENSI
Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja atau
dapat pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan sebagai kelainan
kongenital multipel. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau
belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa waktu setelah
kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kermajuan tehnologi kedokteran,kadang- kadang
suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus. Bila ditemukan
satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu kewaspadaan kemungkian
adanya kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan bahwa bila ditemukan dua atau
lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditetemukannya kelainan kongenital
besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila ditemukan tiga atau lebih kelainan
kongenital kecil, kemungkinan ditemukan kelainan kongenital besar sebesar 90%.
Angka kejadian kelainan kongenital yang besar berkisar 15 per i000 kelahiran angka
kejadian ini akan menjadi 4-5% biIa bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun. Di
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (I975-1979), secara klinis ditemukan angka
kejadian kelainan kongenital sebanyak 225 bayi di antara 19.832 kelahiran hidup atau
sebesar 11,6I per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi,
Medan (1977-1980) sebesar 48 bayi (0,33%) di antara 14.504 kelahiran bayi dan di
Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (1974-1979) sebesar 1.64da tri 4625 kelahiran
bayi. Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda untuk
berbagai ras dan suku bangsa, begitu pula dapat tergantung pada cara perhitungan
besar keciInya kelainan kongenital.

FAKTOR ETIOLOGI
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan
embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor
lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.
Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan
kongenital antara lain:
[1] Kelainan Genetik dan Khromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas
kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai
unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan
kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah
selanjutya.
Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat
diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah
dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh
kelainankhromosom autosomai trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolism)
kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.
[2] Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan
kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor
predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya
deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes
pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus
(clubfoot)
[3] Faktor infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada
periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi
tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat
menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya
abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus
Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester
pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan
pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.
Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan
kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,
kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan
pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau
mikroftalmia.
[4]Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital
pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan
kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau
mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan
tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan
kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.
Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian
obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar
dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada
pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat
hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-
baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis
ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan
resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka
keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1:
600 untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur
40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan
kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes
mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila
dibandingkan dengan bayi yang normal.
Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan
kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua
dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali
dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk
keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,
khususnya pada hamil muda.
Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan
menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi
yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi
protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan
kejadian &elainan kongenital.
Faktor-faktor lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya
sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya.
Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.


DIAGNOSA
Pemeriksaan untuk menemukan adanya kelainan kongenital dapat dilakukan pada -
pemeriksaan janin intrauterine, dapat pula ditemukan pada saat bayi sudah lahir.
Pemeriksaan pada saat bayi dalam kandungan berdasarkan atas indikasi oleh karena
ibu mempunyai faktor resiko:
misalnya: riwayat pernah melahirkan bayi dengan kelainan kongenital, riwayat
adanya kelainan-kongenital dalam keluarga, umur ibu hamil yang mendekati
menopause.
Pencarian dilakukan pada saat umur kehamilan 16 minggu. Dengan bantuan alat
ultrasonografi dapat dilakukan tindakan amniosentesis untuk mengambil contoh
cairan amnion Beberapa kelainan kongenital yang dapat didiagnose dengan cara ini
misalnya: kelainan kromosome, phenylketonuria, galaktosemia, defek tuba neralis
terbuka seperti anensefali serta meningocele.
Pemeriksaan darah janin pada kasus thallasemia.
Untuk kasus2 hidrosefalus pemeriksaan dapat diketemukan pada saat periksa hamil

PENANGANAN
Kelainan kongenital berat dapat berupa kelainan kongenital yang memerlukan
tindakan bedah, kelainan kongenital bersifat medik, dan kelainan kongenital yang
memerlukan koreksi kosmetik. Setiap ditemukannya kelainan kongenital pada bayi
baru lahir, hal ini harus dibicarakan dengan orang tuanya tentang jenis kemungkinan
faktor penyebab, langkah-langkah penanganan dan prognosisnya.

DISPROPORSI KEPALA PANGGUL

DEFINISI
Disproporsi kepala panggul yaitu suatu keadaan yang timbul karena tidak adanya
keseimbangan antara panggul ibu dengan kepala janin
disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya

FAKTOR PREDISPOSISI
1. Kelainan pada faktor maternal (passage, power, psyche)
2. Kelainan pada faktor fetal (presentation, passenger)
3. Kelainan pada faktor maternal & fetal. Ada dua tindakan utama yang dilakukan
untuk menangani persalinan dengan disproporsi kepala panggul, yaitu seksio sesarea
dan partus percobaan. Disamping itu kadang-kadang ada indikasi dilakukan
kraniotomia.

Faktor-Faktor Disproporsi Kepala Panggul
1. Faktor panggul ibu
a. Terdapat pangul-panggul sempit yang umumnya disertai peubahan dalam
bentuknya. Menurut klasifikasi yang dianjurkan Munro Kerr yang diubah
sedikit, panggul-pangul yang terakhir dapat digolongkan sebagai berkut:
b. Perubahan bentuk karena kelainan perubahan intrauterine:
1) Panggul Naegele
2) Panggul Robert
3) Split pelvis
4) Panggul asimilasi
2. Perubahan bentuk karena penykit pada tulng-tulang panggul dan sendi panggul:
a. Neoplasma
b. Fraktur
c. Atrofi, karies, nekrosis, Rakhitis
3. Perubahan bentuk karena penyakit kaki:
a. Koksitis
b. Luksasio koksa
c. Atrofi atau kelumpuhan satu kaki
4. Perubahan bentuk karena penyakit tulang belakang:
a. Kifosis
b. Skoliosis
c. Spondilolistesis
5. Berdasarkan pintu masuk panggul


KOMPLIKASI
1. Bahaya pada ibu
a. Partus lama yang seringkali disertai pecahnya ketuban pada pembukaan
kecil dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis dan infeksi inrapartum.
b. Dengan his yang kuat sedang kemajuan janin dalam jalan lahir tertahan
dapat timbul regangan segmen bawah uterus (rupture uteri mengancam) dan bila
tidak segera diambil tindakan akan terjadi rupture uteri.
c. Dengan persalinan tidak maju karena diproporsi kapala panggul, jalan
lahir mengalami tekanan yang lama antara kepala janin dan tulang panggul. Hal
itu menimbulkan gangguan sirkulasi dengan akibat terjadinya iskemia dan
kemudian nekrosis pada tempat tersebut. Beberapa hari post partum akan terjadi
fistula vesikoservikalis atau fistula vesikovaginalis atau fistula rektovaginalis.
2. Bahaya pada janin:
a. Partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal apalagi bila ditambah
dengan infeksi intrapartum.
b. Dengan adanya disprpoporsi kepala panggul kepala janin dapat melewati
rintangan pada panggul dengan mengadakan moulage. Moulage dapat dialami
oleh kepala janin tanpa akibat yang jelek sampai batas-batas tertentu, akan
tetapi apabila batas-batas tersebut dilampaui akan terjadi sobekan pada
tentorium serebelli dan perdarahan intracranial.
c. Selanjutnya tekanan oleh promontorium atau kadang-kadang oleh simfisis
dapat menyebabkan perlukan pada jaringan diatas tulang kepala janin dan dapat
pula menimbulkan fraktur pada os parietalis.

ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN

Definisi
Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi
hemoglobin didalam sirkulasi darah. Kadar hemoglobin kurang dari 12 gram/dl untuk
wanita tidak hamil dan kurang dari 11 gram/dl untuk wanita hamil.
Anemia pada kehamilan adalah suatu keadaan dimana terjadi kekurangan
darah merah dan menurunnya hemoglobin kurang dari 11 gr/dl. Pada trimester I dan
III kadar Hemoglobin kurang dari 11 gr/dl, pada trimester II kadar hemoglobin
kurang dari 10,5 gr/dl. Pada ibu hamil anemia yang sering terjadi yaitu anemia
defisiensi besi, defisiensi asam folat.
Di Indonesia anemia pada kehamilan umumnya anemia defisiensi besi, yaitu
anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan
zat besi (Fe) untuk eritroposis tidak mencukupi.

Patofisiologi
Selama kehamilan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat sekitar 800-1000 mg
untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel darah merah
membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada usia kehamilan 32
minggu, janin membutuhkan zat besi sekitar 100-200 mg dan sekitar 190 mg
terbuang selama melahirkan. Dengan demikian jika cadangan zat besi sebelum
kehamilan berkurang maka pada saat hamil pasien dengan mudah mengalami
kekurangan zat besi

Diagnosis
Manifestasi klinis dari anemia pada kehamilan yang disebabkan karena
kekurangan zat besi sangat bervariasi walaupun tanpa gejala, anemia dapat
menyebabkan tanda gejala seperti letih, sering mengantuk, malaise, pusing, lemah,
nyeri kepala, luka pada lidah, kulit pucat, konjungtiva, bantalan kuku pucat, tidak ada
nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan penunjang dapat dicari kadar
Hemoglobinnya.
Penatalaksanaan
Pemberian Zat Besi Oral
Sebelum dilakukan pengobatan harus dikalkulasikan terlebih dahulu jumlah
zat besi yang dibutuhkan. Misalnya hemoglobin sebelumnya adalah 6 gr/dl, maka
kekurangan hemoglobin adalah 12 6 = 6gr/dl, sehingga kebutuhan zat besi adalah :
6 x 200 mg. kebutuhan besi untuk mengisi cadangan adalah 500 mg, maka dosis Fe
secara keseluruhan adalah 1200 + 500 = 1700 mg. maka pemberian dapat berupa Fero
sulfat : 3 tablet / hari, @ 300 mg mengandung 600 mg Fe atau Fero glukonat: 5
tablet/hari, @ 300 mg mengandung 37 mg Fe atau bisa juga Fero Fumarat : 3 tablet /
hari, @ 200 mg mengandung 67 mg Fe. Maka respon hasil yang tercapai adalah Hb
meningkat 0,3-1 gr perminggu. Pemberian zat besi oral ini juga member efek
samping berupa konstipasi, berak hitam, mual dan muntah







PERSALINAN DAN NIFAS

INTRA-UTERINE FETAL DEATH (IUFD)

DEFENISI
Kematian janin dalam kandungan disebut Intra Uterin Fetal Death (IUFD),
yakni kematian yang terjadi saat usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau pada
trimester kedua dan atau yang beratnya 500 gram. Jika terjadi pada trimester pertama
disebut keguguran atau abortus. Ada juga pendapat lain yang mengatakan kematian
janin dalam kehamilan adalah kematian janin dalam kehamilan sebelum proses
persalinan berlangsung pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000
gram ke atas.


ETIOLOGI
1. Fetal (penyebab 25-40%)
Anomali/malformasi kongenital mayor : Neural tube defek, hidrops,
hidrosefalus, kelainan jantung congenital
Kelainan kromosom termasuk penyakit bawaan. Kematian janin akibat
kelainan genetik biasanya baru terdeteksi saat kematian sudah terjadi, melalui otopsi
bayi. Jarang dilakukan pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan.
Selain biayanya mahal, juga sangat berisiko. Karena harus mengambil air ketuban
dari plasenta janin sehingga berisiko besar janin terinfeksi, bahkan lahir prematur.
Kelainan kongenital (bawaan) bayi
Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi
cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa
menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari
banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau
terjadi kelainan pada paru-parunya.
Janin yang hiperaktif
Gerakan janin yang berlebihan -apalagi hanya pada satu arah saja- bisa
mengakibatkan tali pusat yang menghubungkan ibu dengan janin terpelintir.
Akibatnya, pembuluh darah yang mengalirkan suplai oksigen maupun nutrisi melalui
plasenta ke janin akan tersumbat. Tak hanya itu, tidak menutup kemungkinan tali
pusat tersebut bisa membentuk tali simpul yang mengakibatkan janin menjadi sulit
bergerak. Hingga saat ini kondisi tali pusat terpelintir atau tersimpul tidak bisa
terdeteksi. Sehingga, perlu diwaspadai bilamana ada gejala yang tidak biasa saat
hamil.


2. Placental (penyebab 25-35%)
Abruption
Kerusakan tali pusat
Infark plasenta
Infeksi plasenta dan selaput ketuban
Intrapartum asphyxia
Plasenta Previa
Twin to twin transfusion S
Chrioamnionitis
Perdarahan janin ke ibu
Solusio plasenta

3. Maternal (penyebab 5-10%)
DM
Hipertensi
Trauma
kehamilan lewat waktu (posterrm)
Ruptur uterus
Postterm pregnancy
Obat-obat

Kehamilan lebih dari 42 minggu. Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta
akan mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan kekurangan
asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah menjadi sangat kental dan
hijau, akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa
dievaluasi melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat arus arteri
umbilikalis jantung ke janin. Jika demikian, maka kehamilan harus segera dihentikan
dengan cara diinduksi. Itulah perlunya taksiran kehamilan pada awal kehamilan dan
akhir kehamilan melalui USG.


TANDA DAN GEJALA
1.Ibu tidak merasakan gerakan janin
2. Gerakan janin tidak dirasakan lagi
3. Uterus tegang / kaku.
4. Adanya gelembung-gelembung gas pada badan janin


Gejala dan tanda selalu
ada
Gejala dan tanda selalu
ada
Diagnosa kemungkinan
Gerakan janin
berkurang atau hilang
Nyeri perut hilang
timbul atau menetap
Perdarahan pervaginam
Syok
Uterus tegang atau kaku
Gawat janin atau djj
tidak terdengar
Solisio placenta
sesudah hamil 22 minggu
Gerakan janin dan djj
tidak ada
Perdarahan
Nyeri perut hebat
Syok
Perut kembung atau
cairan bebas intra
abdominal
Kontur uterus abnormal
Abdomen nyeri
Bagian-bagian janin
teraba

Rupture uteri
Gerakan janin
berkurang atau hilang
Djj abnormal (
<100/menit atau
>180/menit)
Cairan ketuban campur
mekonium
Gawat janin
Gerakan janin atau djj
hilang
Tanda- tanda kehamilan
berhenti
Tinggi fundus uteri
berkurang
Pembesaran uteri
berkurang
Kematian janin

D. KLASIFIKASI
Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV
kematian sebelum
massa kehamilan
mencapai 20
minggu penuh
kematian sesudah
ibu hamil 20-28
minggu
kematian sesudah
masa kehamilan
>28 minggu (late
fetal death)
kematian yang
tidak dapat
digolongkan pada
ketiga golongan di
atas

MANIFESTASI KLINIS / KOMPLIKASI
Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi rusak
menghasilkan masuk kedalam peredaran darah ibu tromboplastin
pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh
terjadi pembekuan darah trombosit Disseminated yang meluas
hipofibrinogenemia (kadar intravascular coagulation fibrinogen < 100 mg%),
biasa pada 4-5 minggu sesudah IUFD.
Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700mg%. Akibat
kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik post partum. Partus
biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati. Dampak psikologis
dapat timbul pada ibu setelah lebih dari 2 minggu kematian janin yang
dikandungnya.
DJJ tidak terdengar
Uterus tidak membesar, fundus uteri turun
Pergerakan anak tidak teraba lagi oleh pemeriksa
Palpasi anak menjadi tidak jelas
Reaksi biologis menjadi negatif setelah anak mati kurang lebih 10 hari
Bila janin yang mati tertahan 5 minggu atau lebih, kemungkinan
Hypofibrinogenemia 25%.

PATOFISIOLOGI
1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi
2. Preeklampsia dan eklampsia
3. Perdarahan
4. Kelainan kongenital (bawaan) bayi
5. Ketidakcocokan golongan darah ibu dan janin
6. Janin yang hiperaktif
7. Gawat janin
8. Kehamilan lewat waktu (postterm)
9. Infeksi saat hamil
10. Kelainan kromosom


PERSALINAN PRETERM

DEFINISI
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan 20-37 minggu,
Bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2500 gram termasuk dalam
kategori berat badan lahir rendah
ETIOLOGI
Etiologi dari persalinan preterm sering tidak diketahui. Ada beberapa hal yang dapat
menimbulkan persalinan preterm:
a. Kelahiran prematur elektif
Hal ini diakibatkan karena preeklamsi berat, penyakit ginjal maternal, IUGR. Produk
kehamilan ini mempunyai komplikasi paling rendah.
b. KPD
Insidennya kira-kira 20% dari total persalinan preterm.
c. Kehamilan dengan komplikasi kegawat daruratan
Komplikasi tersebut meliputi solusio plasenta, eklampsia, resus iso imunisasi, infeksi
maternal atau prolapsus tali pusat. Kelompok ini kira-kira berjumlah 20 % dari
kehaliran preterm.
d. Persalinan preterm spontan tanpa komplikasi yang tidak diketahui penyebabnya
Kelompok ini berjumlah paling besar sampai 40 % dari kelahiran prematur.

PATOFISIOLOGI
Menurut Mansjoer Arif, dkk, persalinan preterm dapat diperkirakan dengan mencari
faktor resiko mayor atau minor.
Faktor risiko minor adalah penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
pada kehamilan lebih dari 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10
batang per hari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I
lebih dari 2 kali.
Faktor risiko mayor adalah kehamilan multipel, hidramnion, anomali uterus, serviks
terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar atau memendek
kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada trimester II lebih
dari 1 kali, riwayat persalinan preterm sebelumnya, operasi abdominal pada
kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi dan iritabilitas uterus. Cermin Dunia
Kedokteran No. 14520, 04 31
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai 1 atau lebih faktor risiko mayor atau
bila ada 2 atau lebih faktor risiko minor atau bila ditemukan keduanya.

DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kriteria diagnosis:
1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu lengkap atau antara 140 dan 259 hari
2) Kontraksi uterus (his) teratur, pastikan dengan pemeriksaan inspekulo adanya
pembukaan dan servisitis
3) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau
sedikitnya 2 cm
4) Selaput ketuban seringkali telah pecah
5) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri bagian belakang
6) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah
Pemeriksaan penunjang (obgynacea,2009) n kapita selekta (mansjoer arif dkk 2001)
1) Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin, kimia darah, golongan darah ABO, faktor rhesus
Urinalisis, kultur urine
Bakteriologi vagina
Amniosentesis : untuk melihat kematangan beberapa organ janin, seperti rasio
lesitin-sfingomielin, surfaktan
Gas & ph darah janin

2) Pemeriksaan USG
Untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, aktifitas biofisik, cacat kongenital, letak
& maturasi plasenta, volume cairan ketuban, dan kelainan uterus.
3) Pemeriksaan CTG
Untuk memeriksa kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi.
6. Penatalaksanaan Awal
a. Segera lakukan penilaian tentang :
Usia gestasi (untuk menentukan prognosis)
Demam ada/tidak
Kondisi janin (jumlah, letak, presentasi, TBJ, hidup/gawat janin/mati, kelainan
kongenital, dll)
Letak plasenta (perlukah SC?)
Kesiapan untuk menangani bayi prematur
b. Tentukan kemungkinan penanganan selanjutnya (ada 3)
Pertahankan kehamilan, sehingga janin dapat lahir mendekati aterm
Tunda 2-3 hari, untuk memberikan pematangan paru janin
Biarkan terjadi persalinan (tokolitik tidal berguna, persalinan lebih baik untuk
ibu/janin)
Penanganan Persalinan Pretern
Penanganan Umum
1. Lakukan evaluasi cepat keadaan ibu.
2. Upayakan melakukan konfirmasi umur kehamilan bayi.

PRINSIP PENANGANAN.
1. Coba hentikan kontraksi uterus atau penundaan kehamilan atau.
2. Persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya, ( Saifuddin et.al.,
2002 : 302 ).

PENATALAKSANAAN
Setiap persalinan preterm harus dirujuk ke RS, cari apakah ada faktor penyulit, dinilai
apakah termasuk risiko tinggi atau rendah.
Sebelum dirujuk, berikan air minum 1000 ml dalam waktu 30 menit dan nilai
apakah kontraksi berhenti atau tidak.
Bila kontraksi masih berlanjut, berikan obat tokolitik seperti fenoterol 5 mg
peroral dosis tunggal sebagai pilihan pertama atau ritodrin10 mg peroral dosis
tunggal sebagai pilihan kedua, atau ibuprofen 400 mg peroral dosis tunggal sebagai
pilihan ketiga.
Bila pasien menolak dirujuk, pasien harus istirahat baring dan banyak minum,
tidak diperbolehkan bersengama. Pasien diberi tokolitik seperti fenoterol 5 mg peroral
tiap 6 jam atau ritodrin 10 mg tiap 4 jam atau ibuprofen 400 mg peroral tiap 8 jam
sampai 2 hari bebas kontraksi.
Persalinan tidak boleh ditunda bila ada kontraindikasi mutlak (gawat janin,
koriamnionitis, perdarahan antepartum yang banyak) dan kontraindikasi relatif
(gestosis, diabetes melitus, pertumbuhan janin terhambat, dan pembukaan serviks 4
cm).
PROGNOSIS
Pada pusat pelayanan yang maju dengan fasilitas yang optimal, bayi yang lahir
dengan berat 2000-2500 g mempunyai harapan hidup lebih dari 97%, 1500-2000 g
lebih dari 90%, dan 1000-1500 g sebesar 65-80%

RUPTURE UTERI

DEFINISI
Ruptura uteri digolongkan menjadi ruptura uteri lengkap dan ruptura uteri tidak
lengkap, tergantung apakah laserasi tersebut berhubungan dengan kavum peritonei
(lengkap) atau dipisahkan dari kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau
oleh ligamentum kardinale (tidak lengkap). Ruptura uteri yang tidak lengkap bisa
berubah menjadi lengkap. Selain itu harus juga dibedakan antara ruptura jaringan
parut bekas seksio sesarea dan dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea. Ruptura
paling tidak berarti pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang uterus
dengan robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung
dengan kavum peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami
ekstrusi ke dalam kavum peritoneum. Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan
yang masif dari tepi jaringan parut atau dari perluasan robekan yang mencapai bagian
uterus yang tadinya tidak apa-apa. Sebaliknya, pada dehisensi jaringan parut bekas
seksio sesarea, selaput ketuban tidak pecah dan janin tidak mengalami ekstruksi ke
dalam kavum peritoneum. Ciri khas dari dehisensi adalah pemisahan tersebut tidak
mengenai seluruh jaringan parut yang sudah ada sebelumnya pada uterus, sehingga
peritoneum yang melapisi defek masih utuh dan perdarahan minimal atau tidak ada.


ETIOLOGI
A. Ruptur jaringan parut uterus
1. Jaringan parut seksio sesarea (merupakan penyebab terbanyak)
2. Riwayat kuretase atau perforasi uterus
3. Trauma abdomen
B. Persalinan yang terhambat akibat disproporsi cephalopelvik
C. Stimulasi yang berlebihan pada uterus pada induksi persalinan
1. Pematangan serviks (misoprostol atau dinoprostone)
2. Penggunaan kokain pada masa kehamilan
D. Faktor-faktor lain
1. Peregangan uterus yang berlebihan
2. Neoplasia trofoblastik gestasional
3. Pelepasan plasenta yang sulit secara manual
E. Penemuan yang tidak berhubungan dengan ruptura uteri
1. Infus oksitosin dengan dosis berlebihan
2. Kontraksi 5x atau lebih dalam 10 menit
3. Kontraksi tetanik selama lebih dari 90 detik

KLASIFIKASI RUPTURA UTERI
RUPTURA UTERI TANPA JARINGAN PARUT
Ruptur Spontan
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang
utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena
rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang, dan
sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangan. Pada
suatu regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium
sehingga terjadilah ruptura uteri.
Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura uteri ialah
multiparitas; di sini di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat
yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih
mudah menimbulkan robekan. Banyak juga dilaporkan bahwa kebiasaan yang
dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptura uteri. Pada persalinan
yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan keras ke bawah
terus menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada segmen
bawah uterus yang regang dan mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian
oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat,
bisa pula menyebabkan ruptura uteri.


RUPTURA UTERI TRAUMATIK
Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan
seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap
saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap
trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan ruptura
uteri violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan
usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptura uteri. Hal ini
misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan
dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah
ketika melakukan embriotomi. Berhubungan dengan itu, setelah tindakan-tindakan
tersebut di atas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan
pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptura
uteri. Gejala-gejala ruptura uteri violenta tidak berbeda dengan ruptura uteri spontan.

RUPTURA JARINGAN PARUT SEKSIO SESAREA
Pada wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea, ruptura dapat terjadi di tempat
parut luka lama. Banyak studi melaporkan bahwa wanita yang memiliki riwayat
seksio sesarea satu kali dengan insisi low-horizontal, risiko terjadinya ruptura adalah
0.5 sampai 1.%. Wanita dengan riwayat seksio sesarea lebih dari satu kali memiliki
risiko ruptura yang sedikit lebih besar.
Risk of Uterine Rupture with Low Transverse Uterine Scars* Revised 10/14/2002
Number of Previous
Cesareans
Successful
VBACs
Rupture
Rate
Perinatal Mortality
10,880 Planned VBACs
with one prior scar
83% 0.6% 0.018%
1,586 Planned VBACs
with two prior scars
76% 1.8% 0.063%
241 Planned VBACs
with three prior scars
79% 1.2% 0
Source: Miller, D. A., F. G. Diaz, and R. H. Paul.1994. Obstet Gynecol 84 (2): 255-
258
Diantara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang telah terjadi sesudah seksio
sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut bekas seksio
sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka
pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dapat
masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptura uteri
pada bekas parut seksio sesaria klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua
sebelum persalinan dimulai, sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesaria
profunda umumnya terjadi pada waktu persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea
bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa
juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak
terjadi robekan yang mendadak, melainkan lambat laun jaringan di sekitar bekas luka
menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptura uteri. Di sini
biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri inkompleta. Pada
peristiwa ini ada kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk
sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin
masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu
penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika
arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok; janin dalam
uterus meninggal pula.

MEKANISME TERJADINYA RUPTURA UTERI
Mekanisme utama dari ruptura uteri disebabkan oleh peregangan berlebihan dari
uterus yang kadang disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada ruptura uteri.
Bila disproporsi yang terjadi sedemikian besar maka uterus menjadi sangat teregang
dan kemudian dapat menyebabkan ruptura. Walaupun jarang, dapat timbul konstriksi
atau cincin lokal uterus pada persalinan yang berkeapanjangan. Yang paling sering
adalah cincin retraksi patologis Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila
meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri
iminens (RUI).
Rumus mekanisme terjadinya Ruptura Uteri:
R = H + O dimana R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan
serviks menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus
tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya
(his kuat), maka SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan
tipis- lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada
SBR tadi- Ruptura Uteri.

GEJALA RUPTURA UTERI
Gejala Ruptura Uteri Iminens
1. Partus telah lama berlangsung
2. Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di perut.
3. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
4. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
5. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut
kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
6. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
7. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras,
terutama sebelah kiri atau keduanya.
8. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
9. Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang
yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis
dan teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih
yang penuh, untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan
dan tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun
belakang.
10. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuri.
11. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
12. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema
porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan
terjadilah ruptura uteri.


PENEMUAN KLINIS
A . Anamnesis dan Inspeksi
1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
2. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
3. Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
4. Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur .
5. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih
kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.
6. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di
bahu.
7. Kontraksi uterus biasanya hilang.
8. Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.
B . Palpasi
1. Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan
2. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.
3. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut maka
teraba bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
4. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
C. Auskultasi .
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
ruptura, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.
D. Pemeriksaan Dalam.
1. Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat
didorong ke atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak
banyak.
2. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim
dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba
usus, omentum, dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang di dalam
kita temukan dengan jari luar, maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian yang
tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus uteri.
E. Kateterisasi.
Hematuri hebat menandakan adanya robekan kandung kemih.

DIAGNOSA BANDING
1. Solusio plasenta
2. Plasenta Previa
Klinis Ruptura Uteri Solutio Plasenta Plasenta Previa
Terjadinya Lebih sering
inpartu
Sewaktu hamil dan
inpartu
Sewaktu hamil
Cara mulainya Dimulai dengan
RUI
Tiba-tiba Perlahan-lahan
Perdarahan Bergantung pada
pembuluh darah
yang pecah
Non-recurrent Recurrent
Warna darah Merah terang Merah kehitaman Merah terang
Preeklamsi/eklamsi Bisa Ada - -
Nyeri perut +di SBR - -
Palpasi Defans muskuler Uteri in-bois Biasa dan floating
His Hilang Kuat Biasa
DJJ - +
VT Robekan Ketuban tegang Jaringan plasenta
Plasenta Biasa Tipis, cekung Robek di pinggir


KOMPLIKASI
1. Infeksi post operasi
2. Kerusakan ureter
3. Emboli cairan amnion
4. DIC
5. Kematian maternal
6. Kematian perinatal



PENATALAKSANAAN
Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan segera. Jiwa wanita yang
mengalami ruptura uteri paling sering tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam
mengoreksi keadaan hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan
bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat
sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini,
keterlambatan dalam tindakan pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah
harus ditransfusi dengan cepat dan seksio sesarea atau laparatomi segera
dimulai. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu sebelum jadwal persalinan.
Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea sebelum jadwal
persalinan dimulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu.
Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin
dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini
jika janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin
tidak dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus
dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap
diagnosis ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan
satu tangan dalam uterus apakah ada ruptura uteri. Pada umumnya pada ruptura uteri
tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya
dalam keadaan yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus
dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata seperti pada ruptura parut bekas seksio
sesaria, dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok dan
infeksi sangat penting dalam penanganan penderita dengan ruptura uteri.


Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat
membantu mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan
kontraksi miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi
perdarahan.


PROGNOSIS
Ruptura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi
janin. Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50%
hingga 75%. Janin umumnya meninggal pada ruptura uteri. Tetapi, jika janin masih
hidup pada saat peristiwa tersebut terjadi, satu-satunya harapan untuk
mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera, yang paling sering
dilakukan adalh laparatomi. Kalau tidak, keadaan hipoksia baik sebagai akibat
terlepasnya plasenta maupun hipovolemia maternal tidak akan terhindari. Jika tidak
diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena perdarahan atau
mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan dapat
terjadi spontan pernah pula terjadi pada kasus yang luar biasa.

Diagnosis cepat,
tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan terapi antibiotik
sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan
ruptura uteri yang hamil.

BAYI POST MATUR

DEFINISI
Kehamilan post matur menurut Prof. Dr. dr. Sarwono Prawirohardjo adalah
kehamilan yang melewati 294 hari atau lebih dari 42 minggu lengkap di hitung dari
HPHT. Sedangkan menurut Ida Bagus Gde Manuaba kehamilan lewat waktu adalah
kehamilan yang melebihi waktu 42 minggu belum terjadi persalinan.

ETIOLOGI
Penyebab pasti belum diketahui, faktor yang dikemukakan adalah :
1. Hormonal, yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan
telah cukup bulan sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.
2. Herediter, karena post naturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu
3. Kadar kortisol pada darah bayi yang rendah sehingga disimpulkan kerentanan
akan stress merupakan faktor tidak timbulnya His
4. Kurangnya air ketuban
5. Insufiensi plasenta

PERMASALAHAN
Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak sanggup memberikan
nutrisi dan pertukaran CO
2
/O
2
sehingga mempunyai risiko asfiksia sampai kematian
adalam rahim. Makin menurunnya sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat
mengakibatkan :
1. Pertumbuhan janin makin lambat
2. terjadi perubahan metabolisme janin
3. Air ketuban berkurang dan makin kental
4. Sebagian janin bertambah berat, serhingga memerlukan tindakan persalinan
5. Berkurangnya nutrisi dan O
2
ke janin yang menimbulkan asfiksia dan setiap
saat dapat meninggal di rahim.
6. Saat persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia.
(Menurut Manuaba dalam Buku Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB Untuk
Pendidikan Bidan, 1998)

TANDA
Tanda postterm dapat di bagi dalam 3 stadium (Sarwono Prawirohardjo) :
Stadium I
Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering,
rapuh dan mudah mengelupas.
Stadium II
Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit
Stadium III
Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat
Tanda bayi Postmatur (Manuaba, Ida Bagus Gde, 1998)
1. Biasanya lebih berat dari bayi matur ( > 4000 gram)
2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur
3. Rambut lanugo hilang atau sangat kurang
4. Verniks kaseosa di bidan kurang
5. Kuku-kuku panjang
6. Rambut kepala agak tebal
7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel

DIAGNOSA
a. Bila tanggal HPHT di catat dan diketahui wanita hamil, diagnosis tidak sukar
2. Bila wanita tidak tahu, lupa atau tidak ingat, atau sejak melahirkan yang lalu
tidak dapat haid dan kemudian menjadi hamil, hal ini akan sukar
memastikannya. Hanyalah dengan pemeriksaan antenatal yang teratur dapat
diikuti tinggi dan naiknya fundus uteri, mulainya gerakan janin dan besarnya
janin dapat membantu diagnosis.
3. Pemeriksaan berat badan diikuti, kapan menjadi berkurang, begitu pula
lingkaran perut dan jumlah air ketuban apakah berkurang.
4. Pemeriksaan rontgenologik, dapat dijumpai pusat-pusat penulangan pada
bagian distal femur, bagian proksimal tibia, tulang kuboid, diameter
bipariental 9,8 cm atau lebih.
5. USG : ukuran diameter bipariental, gerakan janin dan jumlah air ketuban
6. Pemeriksaan sitologik air ketuban : air ketuban diambil dengan amniosentesis,
baik transvaginal maupun transabdominal. Air ketuban akan bercampur lemak
dari sel-sel kulit yang dilepas janin setelah kehamilan mencapai lebih dari 36
minggu. Air ketuban yang diperoleh dipulas dengan sulfat biru nil maka sel-
sel yang mengandung lemak akan berwarna jingga. Bila :
a. Melebihi 10% : kehamilan di atas 36 minggu
b. Melebihi 50% : kehamilan di atas 39 minggu
7. Amnioskopi : melihat derajat kekeruhan air ketuban, menurut warnanya
karena dikeruhi mekonium.
8. Kardiotografi : mengawasi dan membaca DJJ, karena insufiensi plasenta
9. Uji Oksitosin (stress test) : yaitu dengan infus tetes oksitosin dan diawasi
reaksi janin terhadap kontraksi uterus. Jika ternyata reaksi janin kurang baik,
hal ini mungkin janin akan berbahaya dalam kandungan.
10. Pemeriksaan kadar estriol dalam urin\
11. Pemeriksaan PH darah kepala janin
12. Pemeriksaan sitologi vagina
(Menurut Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri Jilid I, 1998)

PENGARUH TERHADAP IBU DAN JANIN
Terhadap ibu : partus lama, kesalahan letak, insersia uteri, perdarahan postpartum.
Terhadap janin : jumlah kematian janin/bayi pada kehamilan 43 minggu 3 kali lebih
besar dari kehamilan 40 minggu, karena postmaturitas akan menambah bahaya pada
janin. Pengaruh post maturitas pada janin bervariasi : berat badan janin dapat
bertambah besar, tetp, dan ada yang berkurang, sesudah kehamilan 42 minggu. Ada
pula yang bisa terjadi kematian janin dalam kandungan. Bayi besar dapat
menyebabkan disproporsi sefalopelvik. Oligohidramnion dapat menyebabkan
kompresi tali pusat, gawat janin sampai bayi meninggal. Keluarnya mekoneum yang
dapat menyebabkan aspirasi mekoneum.

PENATALAKSANAAN
1. Setelah usia kehamilan > 40-42 minggu yang penting adalah monitoring janin
sebaik-baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat
ditunggu dengan pengawasan ketat
3. Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai kematangan serviks, kalau sudah
matang boleh dilakukan induksi persalinan dengan atau tanpa amniotomi.
Bila :
n yang lalu ada kematian janin dalam rahim
-eklampsia

-42 minggu
Maka dilakukan rawat inap :
1. Tindakan operasi seksio sesarea dapat dipertimbangkan pada
a. Insufisiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang
b. Pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama dan terjadi gawat
janin, atau
c. Pada primigravida tua, kematian janin dalam kandungan, pre-
eklampsia, hipertensi menahun, anak berharga (infertilitas) dan
kesalahan letak janin.
2. Pada persalinan pervaginam harus diperhatikan bahwa partus lama akan
sangat merugikan bayi, janin postmatur kadang-kadang besar; dan
kemungkinan diproporsi sefalo-pelvik dan distosia janin perlu
dipertimbangkan. Selain itu janin postmatur lebih peka terhadap sedatif dan
narsoka, jadi pakailah anestesi konduksi.
(Menurut Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri Jilid I, 1998)

KETUBAN PECAH DINI (KPD)

PRINSIP DASAR
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung.
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dan merupakan penyulit
kelahiran premature dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis.
Disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan selaput ketuban atau
kenaikan tekanan intrauterine. Penurunan kekuatan selaput ketuban dapat
disebabkan infeksi yang berasal dari vagina dan serviks.
Penanganan ketiban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, ada
tidaknya infeksi pada ibu, dan ada tidaknya anda-tanda persalinan.

PENILAIAN KLINIK
Tentukan pecahnya selaput ketuban.
Ditentukan dengan memeriksa cairan ketuban pada vagina. Jika tidak ada,
dapat dicoba meminta ibu untuk batuk atau mengejan, kemudian nilai cairan
yang keluar dari vagina dengan kertas lakmus (merah menjadi biru).
Tentukan usia kehamilan.
Dapat menggunakan bantuan alat USG.
Tentukan ada tidaknya infeksi.
Tanda-tanda infeksi adalah suhu tubuh >38
o
C, air ketuban berwarna keruh
dan berbau, pemeriksaan ketuban dengan LEA (Lekosit Esterase), lekosit
darah >15.000/mm
3
, janin mengalami takikardi.
Tentukan tanda-tanda in partu.
Persalinan ditandai dengan adanya kontraksi yang teratur dan dapat
ditambahkan dengan hasil penilaian skor pelvic.

PENATALAKSANAAN
a. Konsevatif
Rawat di Rumah Sakit.
Berikan antibiotika (ampisilin atau eritromisin) ditambah dengan
metronidazol.
Umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat sampai air ketuban tidak keluar
lagi.
Umur kehamilan 32-37 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, beri
deksametason. Terminasi kehamilan pada 37 minggu.
Umur kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, beri
tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24 jam.
Umur kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotic dan lakukan
induksi.
Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, lekosit, tanda-tanda infeksi intrauterine).
Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan peru janin, kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomieliln tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila tidak berhasil, lakukan
seksio sesarea. Dapat juga diberikan misoprostol 50 g intravaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali.
Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan
diakhiri:
a. Skor pelvic <5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Skor pelvic >5, induksi persalinan, partus per vaginam.

DISTOSIA

DEFINISI
Distosia adalah kelambatan atau kesulitan persalinan. Dapat disebabkan
kelainan tenaga (his), kelainan letak dan bentuk janin, serta kelainan jalan lahir.

MACAM-MACAM DISTOSIA
Jalan lahir yang robek pada setiap tingkat rupture perineum meliputi:
I: mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum
II: mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum

PENGOBATAN
Perdarahan dimana plasenta telah lahir lengkap, kontraksi Rahim baik, dari
perlukaan jalan lahir.
Prinsip : reparasi dari titik pangkal robekan dalam/proksimal ke luar/distal,
dari lapisan lalu luar.
I: tidak dijahit jika tidak terjadi perdarahan dan aposisi luka baik, bila ada, jahit catgut
dengan angka 8.
II: jika bergerigi atau tidak rata maka ratakan dahulu dengan otot dijahit dahulu
ilanjutkan selaput lendir. Dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.









Distosia Karena Kelainan Tenaga
Inersia Uteri
Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk
melakukan pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Inersia uteri dibagi
dalam:
- Inersia uteri primer, bila his lemah dari permulaan persalinan.
- Inersia uteri sekunder, bila mula-mula his baik tapi kemudian menjadi lemah
karena otot-otot rahim lelah jika persalinan berlangsung lama.

Incoordinate Uterine Action
Incoordinate uterine action adalah kelainan his pada persalinan berupa perubahan
sifat his, yaitu meningkatnya tonus otot uterus, di dalam dan di luar his, serta tidak
ada koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah, dan bawah sehingga his tidak
efisien mengadakan pembukaan serviks.

Distosia Karena Kelainan Presentasi, Posisi, atau Kelaianan janin
Posisi belakang kepala oksiput posterior menetap
Posisi belakang kepala oksiput posterior menetap adalah ubun-ubun kecil menetap di
belakang karena tidak ke depan ketika mencapai dasar panggul. Kepala janin lahir
dalam keadaan muka di bawah simfisis pubis.
Lakukan pengawasan persalinan yang seksama dengan harapan
terjadinya persalinan spontan. Bila kala II terlalu lama atau tidak ada gawat janin,
lakukan tindakan mempercepat persalinan. Lakukan ekstraksi cunam,
sebelumnya usahakan ubun-ubun kecil di depan dengan cara memutar tangan
atau cunam.

Letak muka
Persentasi muka adalah kepala dalam kedudukan defleksi maksimal sehingga oksiput
tertekan pada panggung dan muka merupakan bagian terendah. Kala dagu di bagian
belakang dan tidak dapat berputar ke depan waktu paksi dalam disebut posisi
mentoposterior persisiten dan janin tidak dapat lahir spontan.
Tentukan ada/tidak disproporsi safalopelvik. Bila tidak ada dan dagu berada di depan.
Diharapkan terjadi persalinan spontan. Rujuk pasien kerumah sakit bila ada
disproporsi safalopelvik atau dagu berada di belakang. Bila dagu berada di belakang,
berikan kesempatan kepada dagu untuk memutar ke depan. Pada posisi
mentoposterior persisten, usahakan untuk memutar dagu ke depan dengan satu tangan
yang dimasukan ke dalam vagina. Pesentasi di ubah menjadi persentasi belakang
kepala bial dagu berada di belakang atau kepala belum turun ke dalam rongga
panggul dan masih mudah di dorong ke atas dengan cara memasukan tangan
penolong kedalam vagina kemudian menekan muka pada daerah mulut dan dagu ke
atas. Bila tidak berhasil, dapat di coba perasat thorn. Yaitu satu tangan penolong
dimasukan ke dalam vagina untuk memegang bagian belakang kepala janin,
kemudian menariknya ke bawah. Tangan yang lain berusaha meniadakan ekstensi
tubuh janin dengan menekan dada dari luar. Pada kala II yang berlangsung lebi dari
dua jam di indikasikan untuk ekstraksi cunam. Bila tidak berhasil atau didapatkan
diproporsi safalipelvik lakukan SC.

Letak dahi
Persentasi dahi adalah kedudukan kepala di antara fleksi maksimal dan defleksi
maksimal sehingga dahi merupakan bagian terendah. Pada umumnya persentasi dahi
merupakan kedudukan sementara dan sebagian besar akan berubah menjadi
persentasi muka atau belakang kepala.
Pada janin kecil dan panggul luas, penanganan sama dengan persentasi muka. Pada
persentasi dahi dengan ukuran panggul dan janin yang normal, tidak dapat dilakukan
persalinan spontan pervaginam sehingga harus dilakukan SC. Maka, pasien dirujuk
kerumah sakit. Bila persalinan maju atau ada harapan persentasi dahi dapat berubah
menjadi persentasi belakang kepala atau muka, tidak perlu dilakukan tindakan. Bila
pada akhir kala I kepala belum masuk rongga panggul. Persentasi dapat di ubah
dengan prasat thorn. Bila tidak berhasil, lakukan SC. Bila kala II tidak mengalami
kemajuan, meskipun kepala sudah masuk rongga panggul, lakuakn SC.

Letak lintang
Letak lintang adalah keadaan sumbu memanjang kira-kira tegak lurus dangan sumbu
memanjang pada tubuh ibu.

Letak sungsang
Letak sungsang adalah janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan
bokong di bagian bawah kavum uteri. Pada letak sungsang berturut-turut bagian-
bagian yang makin lama makin besar. Di mulai dari lahirnya bokong, bahu, kemudian
kepala.

Distosia Karena Panggul Sempit/Kelainan Jalan Lahir
Yang penting dalam obsetetri bukan panggul sempit secara anatomis, lebih
penting lagi ialah panggul sempit secara fungsionil artinya perbandingan antara
kepala dan panggul.

Kesempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit bila konjugata vera kurang dari 10cm, atau
diameter transversa kurang dari 12 cm. conjungata vera dilalui oleh diameter
biparietaslis yang kurang lebih 9 cm dan kadang-kadang mencapai 10cm, maka
sudah jelas bahwa conjungata vera yang kurang dari 10 cm dapat menimbulkan
kesulitan, kesukaran bertambah lagi kalau kedua ukuran ialah diameter antero
posterior maupun diameter tranversa sempit.
Percobaan persalinan per vaginam pada wanita-wanita dengan panggul yang relative
sempit. Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, jadi tidak
dilakukan pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya.
Persalinan percobaan dimulai pada permulaan persalinan dan berakhir setelah kita
mendapat keyakinan bahwa persalinan tidak dapat berlangsung per vaginam.
persalinan dikatakan berhasil jika anak lahir pervaginam secara spontan atau di bantu
secara ekstraksi (forcaps dan vakum) dan anak ibu dalam keadaan baik, bila masih
tidak bisa lakukan SC.

Kesempitan bidang tengah panggul
Terbentang antara pinggir bawah symphyse dan spina ossis ischil dan memotong
secrum kira-kira pada pertemuan ruas sacral. Dikatakan bidang tengah panggul
sempit bila diameter antar spina <9 cm.
Kesempitan bidang tengah panggul dapat menimbulkan gangguan putaran paksi,
bila diameter antara spina 9 cm atau kurang kadang-kadang di perlukan SC.

MALPRESENTASI
DEFINISI
Presentasi adalah bagian terendah janin yang berada di segmen bawah rahim.
Malpresentasi adalah presentasi apapun selain presentasi vertex. Presentasi dapat
dibedakan menjadi tiga: kepala, bokong, bahu.

Presentasi kepala diklasifikasikan lagi menjadi:
1. belakang kepala (vertex, normal)
2. presentasi puncak kepala ( akibat defleksi ringan)
3. presentasi dahi (akibat defleksi sedang)
4. presentasi muka (akibat defleksi maksimum / ekstensi).

Presentasi bokong diklasifikasikan menjadi:
1. presentasi bokong sempurna
2. presentasi bokong murni (frank breech)
3. presentasi bokong-kaki
4. presentasi kaki
5. presentasi lutut


PRESENTASI DAHI
Presentasi dahi terjadi bila kepala janin dalam sikap ekstensi sedang. Pada
pemeriksaan dalam dapat diraba daerah sinsiput yang berada diantara ubun-ubun
besar dan pangkal hidung. Bila menetap, janin dengan presentasi ini tidak dapat
dilahirkan per vagina oleh karena bsarnya diameter oksipitomental yang harus
melalui panggul.
Diagnosis
Diagnosis presentasi dahi dapat ditegakkan apabila pada pemeriksaan per vaginal
dapat diraba
pangkal hidung, tepi atas orbita, sutura frontalis, dan ubun-ubun besar, tetapi tidak
dapat meraba
dagu atau mulut janin. Apabila mulut dan dagu janin dapat teraba, maka diagnosisnya
adalah
presentasi muka.
Mekanisme Persalinan
Pada umumnya presentasi dahi bersifat sementara untuk kemudian dapat berubah
menjadi
presentasi belakang kepala, presentasi muka, atau tetap presentasi dahi. Mekanisme
persalinan
pada presentasi dahi menyerupai mekanisme persalinan pada presentasi muka. Saat
lahir melalui
pintu bawah panggul, kepala akan fleksi sehingga lahirlah dahi, sinsiput, dan oksiput.
Proses
selanjutnya terjadi ekstensi sehingga lahirlah wajah.
Penanganan
Sebagian besar presentasi dahi memerlukan pertolongan persalinan secara bedah
cesarean untuk
menghindari manipulasi vaginal yang sangat meningkatkan mortalitas perinatal.
Pemberian
simulasi oksitosin pada kontraksi uterus yang lemah harus dilakukan dengan sangat
hati-hati dan
tidak boleh dilakukan bila tidak terjadi penurunan kepala atau dicurigai adanya
dispropporsi
kepala-panggul. Jangan melahirkan menggunakan bantuan ekstraksi vakum, forceps
atau
simpisiotomi karena hanya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

PRESENTASI MUKA
Presentasi muka terjadi apabila sikap janin ekstensi maksimal sehingga oksiput
mendekat kea rah punggung janin dan dagu menjadi bagian presentasinya.
Diagnosis
Diagnosis presentasi muka ditegakkan apabila pada pemeriksaan per vaginal dapat
diraba mulut,
hidung, tepi orbita dan dagu.Pada palpasi abdomen kadang-kadang dapat diraba
tonjolan kepala
janin di dekat punggung janin.
Mekanisme Persalinan
Mekanisme persalinan presentasi muka serupa dengan persalinan presentasi belakang
kepala.
Secara berurutan akan terjadi proses kepala mengalami penurunan (descent), rotasi
internal,
fleksi, ekstensi, dan rotasi eksternal.
Penanganan
Posisi dagu dianterior adsalah sarat yang harus dipenuhi apabila janin presentasi
muka hendak
dilahirkan per-vaginal. Apabila tidak ada gawat janin dan persalinan berlangsung
dengan kecepatan normal, maka cukup dilakukan observasi terlebih dahulu sehingga
terjadi pembukaan lengkap. Apabila setelah pembukaan lengkap dagu berada di
anterior maka persalinan vaginal dilanjutkan seperti persalinan dengan presntasi
belakang kepala. Bedah sesar dilakukan apbila setelah pembukaan lengkap posisi
dagu masih posterior, didapatkan tanda-tanda disproporsi, atau indikasi obstetric
lainnya.
Stimulasi oksitosin diperkenankan pada posisi dagu anterior dan tidak ada tanda-
tanda disproporsi. Melakukan perubahan posisi dagu secara manual kearaha anterior
atau mengubah presenatsi muka menjadi presentasi belakang kepala. Kepala
sebaiknya tidak dilakukan karena lebih banyak menimbulkan bahaya. ,Melahirkan
bayi presentasi muka menggunakan ekstraksi vakum tidak diperkenankan dilakukan.
Pada janin yang meninggal, kegagalan melahirkan pervaginam secara spontan dapat
diatasi dengan bedah sesar.

PRESENTASI MAJEMUK
Presentasi majemuk adalah terjadinya prolaps satu atau lebih ekstremitas pada
presentasi kepala maupun bokong. Kepala memasuki ke panggul bersamaan dengan
kaki atau tangan. Presentasi majemuk juga dapat terjadi manakal bokong memasuki
panggul bersaam dengan tangan. Dengan pengertian presentasi majemuk tidak
termasuk presentasi bokong-kaki, presentasi bahu atau prolaps tali pusat. Apabila
bagian terendah janin tidak menutupi dengan sempurna pintu atas panggul, maka
presentasi majemuk dapat terjadi.
Faktor yang meningkatkan presentasi majemuk adalah prematuritas, multiparitas,
panggul sempit, kehamilan ganda, atau pecahnya selaput ketuban denga bagian
terendah janin yang masih tinggi.
Diagnosis
Kemungkinan adanya presentasi majemuk dapat dipikirkan apabila terjadi
kelambatan kemajuan persalinan pada persalinan fase aktif, bagian terendah janin
(kepala atau bokong) tidak dapat masuk panggul terutama setelah terjadi pecah
ketuban. Apabila pada presnatsi kepala teraba juga tangan atau kaki dan apabila
presentasi bokong teraba juga tangan atau lengan. Maka diagnosis presentasi
majemuk dapat kita tegakkan.
Penanganan
Penangan presnetasi majemuk dimulai dengan menetapkan adanya prolaps tali pusat.
Adanya prolaps tali pusat menimbulkan keadaan emergensi bagi janin, dan sesar
disetujui untuk mengatasi akibat prolaps tali pusat tersebut pada presentasi majemuk.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah presentasi janin, ada tidaknya prolaps tali
pusat, pembukaan serviks, keadaan selaput ketuban, kondisi dan ukuran janin, serta
ada tidaknya kehamilan kembar.
Apabila tidak ada prolaps tali pusat, maka dilakukan pengamatan kemajuan
persalinan dengan seksama. Pada kasus kasus majemuk dengan kemajuan
persalinan yang baik. Pada fase aktif pembukaan serviks minimal 1 cm/jam atau pada
kala 2 tejadi penurunan kepala. Umumnya akan terjadi reposisi spontan. Setelah
pembukaan lengkap, dengan semakin turunnya kepala, maka ekstremitas dan prolaps
akan tertinggal dan tidak memasuki panggul. Selanjutnya pertolongan persalinan
dilakukan sebagai mana biasanya.
Pada keadaan terjadinya kemajuan persalianan lambat atau maet dilakukan upaya
reposisi ekstremitas dan prolaps. Tekanan ekstremitas yang prolaps oleh bagian
terendah janin (kepala / bokong) dilonggarkan dulu denga cara mebuat ibu dengan
posisi (knee-chest position). Dorongan ektremitas yang prolaps kearah cranial tahan
hingga his yang akan menekan kepala atau bokong memasuki panggul seiring dengan
turunnya bagian terendah janin, jari peolong di keluarkan perlahan-lahan. Apabila
tindaka reposisi tersebut gagal maka dia akan dilakukan bedah sesar.

PRESENTASI BOKONG
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dengan terendahnya bokong-kaki
atau kombinasi keduanya. Sebelum umur kehamilan 28 minggu kejadian presentasi
bokong berkisar antara 25-30% dan sebagian besar akan berubah menjadi presentasi
kepala pada umur kehamilan 34 minggu. Penyebab terjadinya presentasi bokong tidak
diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor resiko selain prematuritas, yaitu
abnormalitas structural uterus, polihidramnion, plasenta previa, multiparitas, mioma
uteri, kehamilan multiple, anomaly janin dan riwayat presentasi bokng sebelumnya.
Diagnosis
Presentasi bokong dapat diketahui melalui pemeriksaan palpasi abdomen. Manuver
Leopold perlu dilakukan pada setiap kunjungan perawatan antenatal bila umur
kehamilan kuranglebih 34 minggu. Varian presentasi kaki adalah presentasi bokong
inkomplit, kaki komplit, kaki inkomplit, dan lutut.
Mekanisme Persalinan
Bokong akan memasuki panggul dengan diameter bitrokanter dalam posisi oblik.
Pinggul janin bagian depan mengalami penurunan lebih cepat dibanding pinggul
belakangnya. Dengan demikian panggul depan akan mencapai pintu tengah panggul
terlebih dahulu. Penurunan bokong berlangsung terus setelah terjadinya putaran paksi
dalam. Perineum akan meregang, vulva membuka, dan pinggul depan akan lahir
terlebih dahulu. Pada saat itu, tubuh janin mengalami putaran paksi dalam dan
penurunan, sehingga mendorong pinggul bagian bawah menekan perineum. Dengan
demikian, lahirlah bokong dengan posisi diameter bitrokanter dari anteroposterior
menjadi transversal.

PARTUS LAMA

DEFINISI
Partus lama ada juga yang menyebutkan dengan partus kasep dan partus terlantar.
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi, dan
lebih dari 18 jam pada multi. Partus kasep menurut Harjono adalah merupakan fase
terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul
gjala-gejala seperti dehidrasi, infeksi,kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin
dalam kandungan (KJDK) Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan
telah berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks dikanan garis
waspada persalinan aktif (Syarifuddin, AB.,2002). Sedangkan pada persalinan dan
kelahiran normal yaitu proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup
bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.

PENYEBAB
Sebab-sebab terjadinya partus lama adalah multikompleks, dan tentu saja bergantung
pada pengawasan selama hamil, pertolongan persalinan yang baik dan
penatalaksanaannya.
Faktor-faktor penyebab partus lama antara lain :
1. Kelainan letak janin
2. Kelainan-kelainan panggul
3. Kelainan his
4. Pimpinan partus yang salah
5. Janin besar atau ada kelainan kongenital
6. Primitua
7. Perut gantung, grandemulti
8. Ketuban pecah dini

GEJALA & DIAGNOSIS
Diagnosis persalinan lama (menurut Prof. Dr. dr. Gulardi Hanifa Winkjosastro,
SPOG, 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal)
Tanda dan Gejala Klinis Diagnosis
Pembukaan serviks tidak didapatkan kontraksi uterus Belum inpartu
Pembukaan serviks tidak melewati 4 cm sesudah 8 jam
inpartu dengan his yang teratur Fase laten memanjang
Pembukaan servik melewati garis waspada partograf Fase aktif memanjang
Frekuensi dan lamanya kontraksi kurang dari 3
kontraksi per 10 menit dan kurang dari 40 detik Inersia uteri
Pembukaan servik dan turunnya bagian janin yang
dipresentasi tidak maju, sedangkan his baik Disproporsi sefalopelvik
Pembukaan serviks dan turunnya bagian janin yang
dipresentasi tidak maju dengan caput, terdapat moulase
hebat, edema serviks, tanda rupture uteri imminens,
fetal dan maternal distress Obstruksi kepala
Kelainan presentasi (selain serviks dengan oksiput
anterior) Malpresentasi atau malposisi
Pembukaan serviks lengkap, ibu ingin mengedan, tetapi
tak ada kemajuan penurunan Kala II lama



PENANGANAN UMUM
- Persalinan palsu/belum in partu (fase labor). Bila his belum teratur dan porsio
masih tertutup, pasien boleh pulang. Periksa adanya infeksi saluran kencing,
ketuban pecah dan bila didapatkan adanya infeksi obati secara adekuat. Bila
tidak ada pasien boleh rawat janin Fase laten memanjang (prolonged latent
phase). Diagnosis fase laten yang memanjang dibuat secara retropekfektif.
Bila his berhenti disebut persalinan palsu atau belum in partu.
- Bila mana kontraksi makin teratur dan pembukaan bertambah sampai 3 cm,
pasien kita sebut fase laten. Apabila ibu berada pada fase laten lebih dari 8
jam dan tidak ada kemjuan, lakukan pemeriksaan dengan jalan melakukan
pemeriksaan serviks :
- Bila tidak ada perubahan penipisan dan pembukaan serviks serta tidak
didapatkan tanda gawat janin. Kaji ulang diagnosisnya. Kemungkinan ibu
belum dalam keadaan inpartu
- Bila didapatkan perubahan dalam penipisan dan pembukaan serviks, lakukan
drip oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose atau NaCl mulai dengan
8 tetes permenit, setiap 30 menit ditambah 8 tetes sampaihis adekuat
(maksumum 40 tetes?menit) atau diberikan preparat prostagladin. Lakukan
penilaian ulang setiap 4 jam. Bila ibu tidak masuk fase aktif setelah dilakukan
pemberian oksitosin, lakukan seksio sesarea.
- Pada daerah prevalansi HIV tinggi, dianjurkan membiarkan ketuban tetap
utuh selama pemberian oksitosin untuk mengurangi kemungkinan terjadi
penularan HIV.
- Bila didapatkan tanda adanya amnionitis, berikan induksi dengan oksitosin 5
U dalam 500 cc dekstore atau NaCl mulai 8 tetes permenit, seiap 15 menit
ditambah 4 tetes sampai his adekuat (maksimum 40 tetes/menit) atau
diberikan preparat prostagladin, serta obati infeksi denagn ampisilin 2 gr IV
sebagai dosis awal dan I dan IV setiap 6 jam dengan gentimisin 2x 80 mg.
Fase aktif yang memanjang (prolonged active phase)
Bila tidak didapatkan tanda danya CPD atau adanya obstruksi .
- Bila ketuban intak, pecahkan ketuban.
- Bila kecepatan pembukaan serviks pada waktu fase aktif kurang 1 cm perjam
lakukan penilaian kontraksi uterusnya. Bila kontraksi uterus adekuat (3 dalam
10 menit dan lamanya lebih dari 40 detik) pertimbangkan adanya
kemungkinan CPD, obstruksi, malposisi atau malpresentasi. Disproporsi
sefalopelvik CPD terjadi karena bayi terlalu besar atau pelvis kecil. Bila
dalam perslinan terjadi CPD akan didapatkan persalinan yang macet. Cara
penilaian pelvis yang baik adalah dengan melakukan partus percobaan (Trial
of labor). Kegunaan pelvimetri klinis terbatas.
- Bila diagnosis CPD ditegakkan, lahirkan bayi dengan seksio sesarea
Bila bayi mati lakukan kraniotomi atau embriotomi (bila tidak mungkin lakukan
seksio sesarea)

PROLAPS TALI PUSAT

DEFINISI
Prolap tali merupakan komplikasi yang jarang terjadi,tetapi dapat mengakibatkan
tingginya kematian janin.Oleh karena itu diperlukan keputusan yang matang dan
pengelolaan segera.
Prolap tali pusat dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada dibawah bagian terendah janin dan
ketuban masih intak.
2. Tali pusat menumbung,bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah
keservik,dan turun kevagina.
3. Occult prolapse,tali pusat berada disamping bagian terendah janin turun kevagina
.

PREVALENSI
Faktor dasar yang merupakan faktor presdisposisi prolap tali pusat adalah tidak
terisinya secara penuh pintu atas panggul dan servik oleh bagian terendah janin.
Faktor-faktor etiologi prolap tali pusat meliputi beberapa faktor yang sering
berhubungan dengan ibu,janin,plasenta,tali pusat dan iatrogenik:
Presentasi yang abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang terutama
presentasi kaki.
Prematuritas.
Kehamilan ganda.
Polihidramnion sering dihubungkandengan bagian terendah janin yang tidak
engage.
Multiparitas predisposisi terjadinya malpresentasi.
Disproporsi janin-panggul
Tumor dipanggul yang mengganggumasuknya bagian terendah janin.
Tali pusat abnormal panjang (> 75 cm)
Plasenta letak rendah
Sulosio plasenta
Ketuban pecah dini
Amniotomi

PATOFISIOLOGI
tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir akan
mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Bila tidak dikoreksi,komplikasi
ini dapat mengakibatkan kematian janin
Obstruksi yang lengkapdari tali pusat menyebabkan dengan segera
berkurangnya DJJ (deselerasi variabel ). Bila obstruksinya hilang dengan cepat,detak
jantung janin kembali normal. Akan tetapi ,bila obstruksinya menetap terjadilah
deselerasi yang dilanjutkan dengan hipoksia langsung terhadap miokard sehingga
mengakibatkan deselerasi yang lama. Bila dibiarkan ,terjadi kematian janin.
Seandainya obstruksinya sebagian ,akan menyebabkan akselerasi detak
jantung.penutupan vena umbilikalis mendahului penutupan arteri yang menghasilkan
hipovalemi janin dan mengakibatkan akselerasi jantung janin.Gangguan aliran darah
yang lama melalui tali pusat menghasilkan asidosis respiratoir dan metabolik yang
berat,berkurangnya oksigenasi janin,bradikardi yang menetap,akan mengakibatkan
kematian janin. Prolap tali pusat tidak berpengaruh langsung pada kehamilan atau
jalannya persalinan.

DIAGNOSIS
Diagnosis prolaps tali pusat dapat melibatkan beberapa cara:
1. Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina
2. Teraba secara kebetulan tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam
3. Auskultasi terdengar DJJ yang ireguler,sering dengan bradikardi yang
jelas,terutama berhubungan dengan kontraksi uterus
4. Monitoring DJJ yang berkesinambungan memperlihatkan adanya deselerasi
variabel
5. Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap pintu atas
panggul menyebabkan penurunannya DJJ secara tiba-tiba yang menandakan
kompresi tali pusat

PROGNOSIS
Komplikasi ibu seperti laserasi jalan lahir,ruptura uteri,atonia uteri akibat
anastesia,anemia dan infeksi dapat terjadi sebagai dari usaha menyelamatkan bayi.
Kematian perinatal sekitar 20-30%.Prognosis janin membaik dengan seksio sesaria
secara liberal untuk terapi prolap tali pusat
Prognosis janin tergantung pada beberapa faktor berikut:
1. Angka kematian untuk bayi prematur dengan prolap tali pusat hampir 4 kali lebih
tinggi dari pada bayi aterm.
2. Bila gawat janin dibuktikan oleh detak jantung yang abnormal,adanya cairan
amnion yang terwarnai oleh mekonium,atau tali pusat pulsasinya lemah,maka
prognosis janin buruk.
3. Jarak antara prolap dan persalinan merupakan faktor yang paling kritis untuk
janin hidup.
4. Dikenalnya segera prolap memperbaiki kemungkinan janin hidup.
5. Angka kematian janin pada prolap tali pusat yang letaknya sungsang atau lintang
sama tingginya dengan presentasi kepala. Hal ini menghapuskan perkiraan bahwa
pada kedua letak janin yang abnormal tekanan pada tali pusatnya tidak

HIPOKSIA JANIN

Hipoksia: salah satu penyebab mortalitas & morbiditas perinatal
Mortalitas: hipoksia masih penyebab utama di negara sedang berkembang
Morbiditas: tidak ada perubahan

Gardner, 2002: terpapar thd hipoksia mengurangi kemampuan mekanisme
vasokonstriksi pada episode2 berikutnya hipoksia/aspiksia dlm persalinan
morbiditas perinatal tdk pernah
Deteksi dini & cegah agar jangan berulang provider obstetri harus dapat
mengenali hipoksia dg alat diagnostik apapun yg dimiliki tindakan yg tepat
Perlu pemahaman kompensasi dan adaptasi janin thd hipoksia aplikasi pada alat
diagnostik non-invasif

DEFINISI
Hipoksemia: berkurangnya kandungan oksigen dalam darah.
Hipoksia: berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan.
Hiperkapnia: meningkatnya konsentrasi CO2 atau asam karbonat dalam jaringan.
Asidemia: Meningkatnya konsentrasi ion Hidrogen dalam darah.
Asfiksia: Hipoksemia dan hiperkapnia yang progresif diserta asidemia metabolik atau
asidemia metabolik dan asidemia respiratorik.

FISIOLOGI




RUPTURE SERVIKS

DEFINISI
Robekan pada jalan lahir dapat membuka pembuluh-pembuluh darah yang besar dan
menimbulkan perdarahan yang hebat.

ETIOLOGI
Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan: ekstraksi dengan
forceps, ekstraksi pada letak sungsang, versi, dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan
kranioklasi terutama kalau dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap. Robekan
ini jika tiak dijahit akan menimbulkan perdarahan serta dapat menjadi sebab
cervicitis, parametritis, dan mungkin juga memperbesar kemungkinan terjadinya
carcinoma cervix. Kadang-kadang menimbulkan perdarahan nifas yang lambat.

DIAGNOSA
Perdarahan postpartum pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita untuk
memeriksa cervix in speculo. Sebagai profilaksis sebaiknya semua persalinan buatan
yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan in speculo.

TERAPI
Robekan cervix harus dijahit jika berdarah atau lebih besar dari 1 cm. kadang-kadang
bibir depan cervix tertekan antara kepala anak dan symphise menjadi nekrosis dan
terlepas.
Ada kalanya portio keseluruhannya terlepas; bagian yang terlepas merupakan cincin
(circular detachment), terutama terjadi pada primitua.

RUPTURE PERINEUM TINGKAT 1-2

Salah satu cedera jalan lahir paling banyak dijumpai adalah rupture perineum.

TINGKATAN
Jalan lahir yang robek pada setiap tingkat rupture perineum meliputi:
I: mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum
II: mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum

PENGOBATAN
Perdarahan dimana plasenta telah lahir lengkap, kontraksi Rahim baik, dari
perlukaan jalan lahir.
Prinsip : reparasi dari titik pangkal robekan dalam/proksimal ke luar/distal,
dari lapisan lalu luar.
I: tidak dijahit jika tidak terjadi perdarahan dan aposisi luka baik, bila ada, jahit catgut
dengan angka 8.
II: jika bergerigi atau tidak rata maka ratakan dahulu dengan otot dijahit dahulu
ilanjutkan selaput lendir. Dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.

RUPTURE PERINEUM TINGKAT 3-4

Sebanyak 85% dari perempuan yang melahirkan pervaginam akan mengalami trauma
pada perineum(1) dan 3-12% akan mengenai otot sfingter ani. Robekan pada otot
sfingter ani akan menyebabkan gangguan pada otot2 dasar panggul di kemudian hari.

Faktor risiko perlukaan jalan lahir :
Kepala janin terlalu cepat lahir
Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
Perineum kaku / banyak jaringan parut
Persalinan distosia bahu
Partus pervaginam dengan tindakan
Anatomi Perineum
Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu daerah diantara
vagina dan anus yang terbentuk dari gabungan otot-otot membrana perineal yaitu otot
bulbo kavernosus, otot tranversus perinealis superfisialis dan profundus, disertai otot
pubo rektalis yang merupakan bagian dari otot levator ani dan otot sfingter ani
eksterna. Daerah ini mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri pudenda interna
dan mendapatkan persarafan sensoris dan motoris dari nervus pudendus.

Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan akan berkurang
pada kondisi prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada keadaan terjadinya robekan
perineum pasca persalinan yang tidak dikelola dengan baik.
Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar yang menyebabkan robeknya
atau disrupsi otot-otot yang membentuk perineum terutama levator ani dan sfingter
ani maka akan terjadi gangguan defekasi berupa inkontinensia fekal yang derajat
beratnya bervariasi. Selain itu dapat pula terjadi gangguan seksual, keputihan dan
infeksi saluran kemih yang berulang.


Diagnosis
Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berrisiko terjadi robekan perineum
yang berat seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vacuum dan forceps),
oksiput posterior, distosia bahu, bayi besar, dan episiotomi mediana, kita harus
waspada akan terjadinya robekan perineum derajat III-IV. Oleh karena itu pasca
persalinan harus dinilai benar robekan perineum yang terjadi. Tindakan colok dubur
dan pemaparan yang baik sangat membantu untuk mendiagnosis derajat robekan
perineum yang terjadi. Sultan dan kawan-kawan melaporkan terjadinya defek pada
sfingter ani eksterna maupun interna berkisar 15-44% pada evaluasi USG endoanal
pasien-pasien pasca perbaikan rupture perineum derajat III dan IV. Salah satu
kemungkinan penyebabnya adalah diagnosis substandar dalam penentuan derajat
robekan sebelum perbaikan.

Klasifikasi Derajat Robekan Perineum
Derajat robekan perineum akut pasca persalinan menurut Sultan dibagi menjadi 4
derajat, yaitu :
Derajat I : robekan hanya mengenai mukosa vagina dan kulit perineum
Derajat II : robekan yang lebih dalam mencapai otot-otot perineum tetapi
tidak melibatkan otot-otot sfingter ani
Derajat III : robekan sudah melibatkan otot sfingter ani, dibagi menjadi 3 sub
grup, yaitu
III a :robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III b :robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III c :robekan sampai mengenai otot sfingter ani interna
Derajat IV : robekan sampai ke mukosa anus
Button hole tear : Sfingter intak namun mukosa anus terkena

Prinsip Repair Perineum
Jahit secepat mungkin mengurangi risiko perdarahan dan infeksi
Periksa peralatan dan hitung kassa sebelum dan sesudah tindakan
Beri penerangan/lampu yang baik identifikasi dan melihat jaringan yang terlibat
Tanyakan pada orang yang lebih berpengalaman bila ragu dalam menentukan
struktur jaringan yang terlibat
Trauma yang sulit lebih baik dilakukan oleh operator yang lebih berpengalaman
dalam anestesi umum maupun regional di kamar operasi , dan pasang kateter urin
24 jam pasca tindakan
Lakukan penjahitan sesuai anatomi awal untuk mendapatkan hasil kosmetik yang
baik
Lakukan pemeriksaan rektal touche setelah penjahitan selesai untuk memastikan
tidak ada materi benang yang tidak sengaja masuk pada mukosa rektum
Setelah selesai melakukan repair, informasikan pada pasien mengenai luka dan
perluasannya, diskusikan tentang penghilang nyeri, diet, hygiene dan pentingnya
latihan untuk mendukung pelvis
Perawatan Pasca Penjahitan Derajat Tinggi
Pasang Foley Catheter menetap minimal 1 x 24 jam karena nyeri perineum dan
periuretra yang bengkak dapat menimbulkan retensio urine
Pemberian Analgetik adekuat (nonsteroid anti inflamatory ibuprofen)
Kompres es dapat digunakan untuk mengurangi edema dan nyeri postpartum

Perawatan Pasca Penjahitan :
Pemberian antibiotik spektrum luas (Cefuroxim 1,5gr) dan metronidazol
evidence level IV
- Antibiotik untuk cegah infeksi yang resiko tinggi inkontinensia fekal dan fistula
rektovaginal
- Metronidazol untuk melindungi kontaminasi kuman anaerob dari anus
Pemberian Laksatif atau Pencahar selama 10-14 hari evidence level IV
- Gunanya untuk mencegah terjadinya konstipasi sehingga terlepasnya jahitan
Program rehabilitasi otot dasar panggul dilakukan setelah 3 hari pasca penjahitan
(individual sesuai rekomendasi fisioterapis)
Rujuk ke ahlinya (bedah digestif/uroginekologis) untuk evaluasi setelah 3 bulan
pasca melahirkan (apakah perlu pengobatan lanjutan/perbaikan sfingter)
Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal
Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol
BAB yang sulit segera kontrol
Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal
Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol
BAB yang sulit segera kontrol
Setelah 12 minggu perlu dinilai integritas sfingter ani dengan alat ultrasound
endoanal dan manometri anal


RETENSIO PLASENTA

Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin
lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian
plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan
segera.
Jenis-jenis retensio plasenta:
a) Plasenta Adhesive : Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis
b) Plasenta Akreta : Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium.
c) Plasenta Inkreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
d) Plasenta Prekreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan
serosa dinding uterus hingga ke peritonium
e) Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri. (Sarwono, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
2002:178).
Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah lepas dari
dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta
yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan
pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih
dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.
Retensio plasenta (Placental Retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam
setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan
tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan
perdarahan postpartum dini (Early Postpartum Hemorrhage) atau perdarahan post
partum lambat (Late Postpartum Hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari
pasca persalinan.
2. Etiologi Retensio Plasenta
Penyebab Retentio Plasenta menurut Sastrawinata (2006:174) adalah:
Fungsional:
1) His kurang kuat (penyebab terpenting)
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat
kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive.
Patologi anatomi:
1) Plasenta akreta
2) Plasenta inkreta
3) Plasenta perkreta
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
a) Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas
sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhesiva), plasenta melekat erat pada dinding uterus
oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah
peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan
oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III,
sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
Menurut Manuaba (2006:301) kejadian retensio plasenta berkaitan dengan:
a) Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive,
plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta
b) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan:
1. Darah penderita terlalu banyak hilang
2. Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak
terjadi
3. Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam

Plasenta manual dengan segera dilakukan :
1. Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang
2. Terjadi perdarahan postpartum berulang
3. Pada pertolongan persalinan dengan narkosa
4. Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam
4. Jenis Dari Retensio Plasenta
Jenis dari retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga
atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2002)
Jenis retensio plasenta :
a) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miomentrium.
c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/memasuki miomentrium.
d) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkaserata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri, disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri.

5. Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah
berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan
lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal
secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil.
Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan
plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya
menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan
pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus
berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-
serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh
darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala
tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya
dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding
uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara
plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta,
yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan
spongiosa.
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak
turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di
dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta
lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal
ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada
kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada semburan darah yang mendadak,
uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah
abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat
yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka
tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah
bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari
lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam
posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya,
dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala IV. Metode
yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan secara bersamaan dengan tarikan
ringan pada tali pusat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan
tidak efektifnya kontraksi uterus, kontraksi yang kuat dari uterus, serta pembentukan
constriction ring. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta
previa dan adanya plasenta akreta. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti
manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat
waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta;
serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
6. Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel
fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak
lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
Tanda Dan Gejala Retensio Plasenta
A. Plasenta Akreta Parsial / Separasi
1. Konsistensi uterus kenyal
2. TFU setinggi pusat\
3. Bentuk uterus discoid
4. Perdarahan sedang banyak
5. Tali pusat terjulur sebagian
6. Ostium uteri terbuka
7. Separasi plasenta lepas sebagian
8. Syok sering
B. Plasenta Inkarserata
1. Konsistensi uterus keras
2. TFU 2 jari bawah pusat
3. Bentuk uterus globular
4. Perdarahan sedang
5. Tali pusat terjulur
6. Ostium uteri terbuka
7. Separasi plasenta sudah lepas
8. Syok jarang
9. Konsistensi uterus cukup
10. TFU setinggi pusat
11. Bentuk uterus discoid
12. Perdarahan sedikit / tidak ada
13. Tali pusat tidak terjulur
14. Ostium uteri terbuka
15. Separasi plasenta melekat seluruhnya
16. Syok jarang sekali, kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat pada tali
pusat.(Prawirohardjo, S. 2002 : 178)
17. Plasenta Akreta

7. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada
keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b) Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung Protrombin Time (PT)
dan Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana dengan
Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan
perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.

8. Diagnosa Banding
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium
tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
9. Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat
atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi
manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih
400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan
yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan
untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuretage sisa plasenta.
Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder. (Sulisetiya.blogspot.com/2010/03).

10. Komplikasi
Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya:
1. Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat sedikit perlepasan
hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka
tidak menutup.
2. Infeksi
Karena sebagai benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan
pertumbuhan bakteri dibantu dengan port dentre dari tempat perlekatan
plasenta.
3. Dapat terjadi plasenta inkarserata dimana plasenta melekat terus sedangkan
kontraksi pada ostium baik hingga yang terjadi.
4. Terjadi polip plasenta sebagai massa proliferative yang mengalami infeksi
sekunder dan nekrosis
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah
menjadi patologik (displastik-diskariotik) dan akhirnya menjadi karsinoma invasif.
Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan berjalan terus.
Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa beberapa
perubahan abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal dari serangkaian
perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan
kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan prekanker,
yang bisa berubah menjadi kanker.
Syok haemoragik (Manuaba, IGB. 1998 : 300)
11. Terapi
Bila tidak terjadi perdarahan : perbaiki keadaan umum penderita bila perlu misal:
infus atau transfusi, pemberian antibiotika, pemberian antipiretika, pemberian ATS.
Kemudian dibantu dengan mengosongkan kandung kemih. Lanjutkan memeriksa
apakah telah terjadi pemisahan plasenta dengan cara Klein, Kustner atau Strassman.
Bila terjadi perdarahan: lepaskan plasenta secara manual, jika plasenta dengan
pengeluaran manual tidak lengkap dapat disusul dengan upaya kuretase.
Bila plasenta tidak dapat dilepaskan dari rahim, misal plasenta increta/percreta,
lakukan hysterectomia.
Cara untuk melahirkan plasenta:
1. Dicoba mengeluarkan plasenta dengan cara normal : Tangan kanan penolong
meregangkan tali pusat sedang tangan yang lain mendorong ringan.
2. Pengeluaran plasenta secara manual (dengan narkose)
Melahirkan plasenta dengan cara memasukkan tangan penolong kedalam
cavum uteri, melepaskan plasenta dari insertio dan mengeluarkanya.
3. Bila ostium uteri sudah demikian sempitnya, sehingga dengan narkose yang
dalam pun tangan tak dapat masuk, maka dapat dilakukan hysterectomia
untuk melahirkan plasentanya.

INVERSIO UTERUS

DEFINISI
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam kavum
uteri, dapat secara mendadak atau perlahan. Kejadian ini biasanya disebabkan pada
saat melakukan persalinan plasenta secara Crede, dengan otot rahim belum
berkontraksi dengan baik. Inversio uteri memberikan rasa sakit yang dapat
menimbulkan keadaan syok adapun menyebutkan bahwa inversio uteri adalah
keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya kedalam kavum uteri.

ETIOLOGI
Berbagai faktor etiologi telah dikaitkan dengan inversi uterus, walaupun mungkin
tidak ada penyebab yang jelas. Diidentifikasi faktor etiologi meliputi:
a. Tali pusat yang pendek
b. Traksi yang berlebihan pada tali pusat.
c. Tekanan pada fundus yang berlebihan.
d. Sisa plasenta dan abnormal perlekatan plasenta (inkreta, perkreta, akreta).
e. Menarik terlalu keras pada tali pusar untuk mempercepat pelepasan plasenta,
terutama jika plasenta melekat pada fundus.
f. Endometritis kronis.
g. Kelahiran setelah sebelumnya operasi secarea.
h. Cepat atau tenaga His yang panjang.
i. Sebelumnya rahim inverse.
j. Obat tertentu seperti magnesium sulfat (sebagai relaksan otot selama
persalinan).
k. Unicornuate rahim.
l. Kelainan bawaan atau kelemahan rahim.
m. Inversio uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala III aktif
khususnya bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat masih belum ada
kontraksi uterus dan keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan iatrogenic.

KLASIFIKASI
a. Inversio uteri ringan
Fundus uteri terbalik menonjol dalam kavum uteri, namun belum keluar dari
ruang rongga rahim.
b. Inversio uteri sedang
Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina.
c. Inversio uteri berat
Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian besar sudah terletak diluar
vagina.
Ada pula beberapa pendapat membagi inversio uteri menjadi :
1) Inversio inkomplit
Yaitu jika hanya fundus uteri menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri
atau serviks uteri.
2) Inversio komplit
Seluruh uterus terbalik keluar, menonjol keluar serviks uteri.
3) Inversio prolaps
Keadaan dimana uterus yang berputar balik itu keluar dari vulva.

GEJALA KLINIS
Gejala inversion uteri dijumpai pada kala III atau postpartum. gejalanya pada
permulaan tidak selalu jelas, akan tetapi apabila kelainan itu sejak awalnya tumbuh
dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.
Rasa nyeri keras disebabkan karena fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum
infundibulo pelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kiri ke dalam terowongan
inversio sehingga terjadi tarikan yang kuat pada peritoneum parietal.
Perdarahan yang banyak juga dapat terjadi, akibat dari plasenta yang masih
melekat pada uterus, hal ini dapat juga berakibat syok.
Pemeriksaan luar pada palpasi abdomen, fundus uteri sama sekali tidak
teraba atau teraba lekukan pada fundus seperti kawah. Kadang-kadang tampak seperti
sebuah tumor yang merah di luar vulva, hal ini ialah fundus uteri yang terbalik.
Pada pemeriksaan dalam, bila masih inkomplit, maka pada daerah simfisis
uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam; bila sudah komplit, di atas simfisis teraba
kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak atau kavum uteri sudah tidak ada
(terbalik).

DIAGNOSIS
Uterus menonjol dari vagina.
Fundus tidak tampaknya berada dalam posisi yang tepat ketika dokter palpasi
(meraba) perut ibu.
Adanya perdarahan yang tidak normal dan perdarahannya banyak bergumpal.
Tekanan darah ibu menurun (hipotensi).
Ibu menunjukkan tanda-tanda syok (kehilangan darah) dan kesakitan.
Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat.
Bila baru terjadi maka, maka perognosis cukup baik akan tetapi bila kejadian
cukup lama maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Pemeriksaan penunjang (seperti USG atau MRI) dapat digunakan dalam
beberapa kasus untuk memperkuat diagnosis.

PENANGANAN
Bila terjadi syok atau perdarahan, gejala ini diatasi dulu dengan infus
intravena cairan elektrolit dan tranfusi darah.
Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan vasovagal dan
perdarahan maka harus segera dilakukan tindakan reposisi secepat
mungkin.
Segera lakukan tindakan resusitasi.
Bila plasenta masih melekat , jangan dilepas oleh karena tindakan ini akan
memicu perdarahan hebat .
Lakukan tindakan resusitasi dengan cara: Tangan seluruhnya dimasukkan
ke vagina sedang jari tengah dimasukkan ke dalam cavum uteri melalui
serviks uteri yang mungkin sudah mulai menciut, telapak tangan menekan
korpus perlahan-lahan tapi terus menerus kearah atas agak kedepan
sampai korpus uteri melewati serviks dan inversion.
Salah satu tehnik reposisi lain yaitu dengan menempatkan jari tangan pada
fornix posterior, dorong uterus kembali kedalam vagina, dorong fundus
kearah umbilikus dan memungkinkan ligamentum uterus menarik uterus
kembali ke posisi semula.
Sebagai tehnik alternatif : dengan menggunakan 3 4 jari yang diletakkan
pada bagian tengah fundus dilakukan dorongan kearah umbilikus sampai
uterus kembali keposisi normal.
Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap didalam dan menekan
fundus uteri. Berikan oksitosin atau Suntikkan intravena 0,2 mg
ergomitrin kemudian dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade
uterovaginal dan setelah terjadi kontraksi , tangan dalam boleh
dikeluarkan perlahan agar inversio uteri tidak berulang.
Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi melalui
laparotomi.

PERDARAHAN POST PARTUM
Hemmoragic post partum (HPP)


DEFINISI DAN KLASIFIKASI
adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta,
trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya
perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah persalinan per vaginam
Perdarahan lebih dari 1000 cc yang terjadi setelah seksio caesaria
Perdarahan yang disertai ketidakstabilan hemodinamik

Perubahan tanda vital:
Penurunan tingkat kesadaran
Pucat dan keringat dingin
Sesak
Tekanan darah systole < 90 mmHg
Nadi >100 kali per menit

Perdarahan primer : terjadi dalam waktu 24 jam pascapersalinan
Perdarahan sekunder : terjadi dalam waktu sesudah 24 jam pertama
pascapersalinan

ETIOLOGI
1. Tonus atonia uteri
Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah :
Umur yang terlalu muda / tua
Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara
Partus lama dan partus terlantar
Uterus terlalu regang dan besar misal pada gemelli, hidromnion / janin
besar
Kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couveloair pada
solusio plasenta
Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi
2. Tissue retensio plasenta, bekuan darah
3. Trauma
perlukaan jalan lahir (laserasi serviks, rupture uteri)
iatrogenik - tindakan yang salah untuk mempercepat kala 3 : penarikan
tali pusat, penekanan uterus ke arah bawah
4. Thrombin
koagulopatu, kelainan proses pembekuan darah akibat hipofibrinogenemia,
HELLP syndrome, trombofilia

FAKTOR RESIKO
Antepartum
o Riwayat pernah HPP dan plasenta manual
o Solusio plasenta
o IUFD
o Plasenta previa
o Preeclampsia
o Overdistensi uterus hidramnion, gemelli, makrosomia
o Kelainan perdarahan
Intrapartum
o Seksio caesaria
o Partus kasep
o Partus precipitatus
o Induksi dan augmentasi persalinan
o Korioamnionitis
o Distosia bahu
o Ekstraksi bayi gemelli
o Koagulopati dapatan HELLP dan DIC
Postpartum
o Laserasi episiotomy
o Plasenta abnormal retensi
o Rupture dan inverse uterus
o DIC
o Atonia uterus

DIAGNOSIS
Prinsip :
Pertama, pikirkan bahwa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta
atau plasenta lahir tidak lengkap.
Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat dipastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan lahir.
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada
palpasi abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan
pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik sehingga pada
palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam
dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo.
Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina,
hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta.
Perdarahan dengan retensio plasenta kontraksi kurang baik
Jika perdarahan masif, diagnosis relatif lebih mudah.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang
deras biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat
ditangani sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang
nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat
merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan
darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka
darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
Observasi per vaginam
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi
menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya
diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar.
Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan
pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum,
pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.


Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada
perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan
berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok.
Eksplorasi penyebab:
Periksa fundus
Periksa organ genital bawah
Eksplorasi uterus
o Sisa plasenta
o Rupture uteri
o Inverse uteri
Periksa koagulasi

PENATALAKSANAAN
1. Asesmen ABC, infuse krisatloid jumlah banyak dengan jalur besar (16
Gauge), tes darah lengkap dan golongan darah
2. Nilai fundus bersamaan dengan ABC
a. Penyebab utama: atonia uteri
b. Jika lembek massage bimanual
i. Singkirkan inversion uteri
ii. Pastikan ada atau tidak trauma bagian bawah
iii. Evakuasi bekuan darah
iv. Eksplorasi manual
3. Kompresi bimanual
4. Okstoksin
a. 5 unit IV bolus
b. Infus 20 unit per L N/S tetes cepat
c. Intra myometrial 10 unit trans abdominal
5. Eksplorasi manual bila tidak ada respon terhadap pemberian oksitoksin
6. Uterotonika tambahan
a. Ergotamine
i. Hati-hati penggunaan pada hipertensi selalu awasi
ii. IV 0,25 mg
iii. IM 0,15 mg
b. Cytotec (misoprostol)
i. Hati-hati penggunaan pada asma
ii. Per oral + per rectal 400 mg
iii. Per rectal 800-1000 mg
Bila kontraksi bertambah, perdarahan berkurang
o Analgesic
o Perbaikan surgical
o Sementara: tampon balon foley atau kasa
Bila kontraksi tidak bertambah, perdarahan masih berlanjut
o Kemungkinan koagulopati
Koagulasi abnormal koreksi dengan platelet
Koagulasi normal
Siapkan kamar operasi
Singkirkan rupture uteri reparasi
Pertimbangkan
o Ligasi bila masih ingin punya anak lagi
o Histerektomi bila tidak ingin punya anak
lagi, pada multipara atau grande multipara.
7. Menejeman aktif vs ekspektatif pada kala III


PPH > 500 mL (n=4636)
PPH > 1000 mL (n=4636)
Maternal Hb < 91 (n=4256)
Blood transfusion (n=4829)
Therapeutic oxytocin (n=4829)
Nausea (n=3407)
Manual removal (n=4829)
0.1 1 10
Odds Ratio (95% Confidence Interval)
Outcome (subjects)
TROMBOEMBOLI

Tromboemboli adalah sumbatan pembuluh darah ibu akibat jendalan darah
atau air ketuban.


KLASIFIKASI
Tromboemboli dalam masa nifas mencakup :
1. Trombosis Vena Superfisial (TVS)
Lebih sering diderita oleh wanita dengan varises vena dan angka kejadian
tidak dipengaruhi oleh intervensi obstetrik.
2. Trombosis Vena Dalam (TVD)
Trombosis Vena Dalam sangat dipengaruhi oleh intervensi obstetrik, sebagai
contoh tindakannya meningkat setelah tindakan bedah caesar. Penderita Trombosis
Vena Dalam yang tidak tertangani dengan baik akan mengalami embolisasi trombus
pada pembuluh darah paru (EP) yang dapat berakibat fatal.
3. Emboli paru (EP)


PATOGENESIS
Sejak tahun 1848, Virchow telah menyebutkan bahwa terjadinya trombosis
selalu melibatkan 3 faktor yang saling berhubungan seiring dengan perubahan-
perubahan fisiologik pada kehamilan yaitu :
1. Perubahan Koagulasi selama kehamilan
Pada kehamilan terjadi hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan karena
perubahan kadar faktor-faktor pembekuan. Faktor I, II, VII, VIII, IX dan X kadarnya
meningkat setelah trimester pertama yang diikuti peningkatan kadar faktor V, VII dan
X pada saat persalinan. Faktor VIII kadarnya justru menurun. Kadar fibrinopeptida A
dan monomer-monomer fibrin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
terjadi aktivasi sistem pembekuan selama kehamilan. Plasenta dan cairan amnion
merupakan sumber dari tromboplastin jaringan (faktor III). Pengeluaran semua
material ini dalam persalinan, akan merangsang jalur ekstrinsik pembekuan darah.
2. Statis Vena
Selama kehamilan sangat mungkin terjadi statis aliran darah vena. Hal ini
disebabkan oleh karena : terjadi penurunan secara bertahap aliran darah vena dari
kaki ke paha, obstruksi yang bermakna dari vena cava akibat penekanan oleh uterus
yang membesar terutama mulai pertengahan kehamilan, turunnya tonus vena pada
anggota gerak bawah yang dimulai sejak awal kehamilan, dilatasi vena panggul dan
kemungkinan terjadinya disfungsi daun katup vena. Kesemuanya mempunyai
potensial untuk meningkatkan resiko terjadinya penggumpalan trombosit (platelet
clumping) dan pembekuan fibrin. Jika trombus telah terbentuk maka akan terjadi
statis aliran darah yang progresif dengan akibat trombus yang makin luas. Keadaan
ini dapat diperberat dengan tirah baring yang lama ( prolonged bed rest ) dan proses
persalinan dengan tindakan.
3. Trauma endotellium vaskuler
Endotellium vaskuler merupakan barier fisiologis terhadap trombosis
diantaranya menghasilkan prostasiklin yang berfungsi mencegah terjadinya agregasi
dan aktivasi trombosit. Pada kehamilan, dapat terjadi perubahan serat elastik tunika
media dan kerusakan tunika intima akibat tingginya kadar estrogen. Demikian juga
tindakan pembedahan dapat menyebabkan trauma/kerusakan secara langsung pada sel
endotel sehingga merangsang produksi fibrin fibrin dan agregasi trombosit. Akibat
pembedahan, lebih lanjut dapat terjadi inokulasi bakteri sehingga trauma endotel
menjadi lebih berat dengan segala konsekuensinya.
4. Kerusakan endotel pembuluh darah


FAKTOR RESIKO
Faktor resiko umum terjadinya Tromboemboli adalah :
Trombofilia Herediter ( Mutasi faktor V Leiden, defisiensi AT-III, defiensi protein C,
defiensi protein S, hiperhomosistein dan mutasi gen protombin ).
Riwayat Tromboemboli sebelumnya
Penggunaan katub jantung artifisial
Fibrilasi atrial
Sindroma Antifosfolipid
Secara khusus faktor resiko dalam kehamilan dan masa kehamilan yang
meningkatkan kecenderungan Tromboemboli adalah :
Bedah Caesar
Persalinan pervaginam dengan tindakan
Usia ibu yang risiko tinggi saat hamil dan bersalin
Supresi laktasi dengan menggunakan preparat estrogen
Sickle Cell Disease
Riwayat tromboflebitis sebelumnya
Penyakit jantung
Immobilisasi yang lama
Obesitas
Infeksi maternal dan insufisiensi vena kronik

Faktor resiko terjadinya Tromboemboli dalam kehamilan dan masa nifas
menurut Biswas & Perloff (1994), yaitu :
Merokok
Preeklamsia
Persalinan lama (prolonge labor)
Anemia
Perdarahan

DIAGNOSIS
TANDA & GEJALA Trombosis Vena Superfisial (TVS) :
Umumnya hanya terbatas pada vena superfisial dari sistem safena.
Secara klinis daerah yang terlibat akan terlihat : kemerahan (eritema), pada palpasi
terasa hangat atau panas, teraba vena superfisial seperti tali yang keras.
Kelainan yang sering terjadi pada penderita dengan varises vena superfisial
sebelumnya, yaitu : obesitas, immobilisasi yang lama dan katerisasi intravena.

TANDA & GEJALA Trombosis Vena Dalam (TVD) :
Sangat tergantung dari tempat dan besar trombus, status sirkulasi vena kolateral,
derajat respons, dan inflamasi.
Hampir 80% mengenai tungkai kiri karena kompresi vena iliaka sinistra saat
bersilangan dengan arteri illiaka dekstra dan kecepatan aliran darah terutama pada
tungkai kiri yang jauh berkurang jika wanita hamil berbaring terlentang.

TANDA & GEJALA EMBOLI PARU (EP) :
Sering didahului oleh adanya Tromboemboli pada ekstrimitas inferior dan pada
beberapa lainnya Tromboemboli pada vena dalam pelvis yang asimtomatik)
diketahui.
Tanda dan Gejala Umum adalah dispnea, nyeri dada, batuk, sinkop dan hemoptisis.



MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klasik Tromboemboli pada masa nifas (puerperal
thrombophlebitis) yang disebut dengan Phlegmasia alba dolens atau Milk Leg, yaitu
berupa :
Edema tungkai dan paha disertai rasa nyeri yang hebat
Nyeri pada otot betis baik spontan atau akibat regangan tendon achilles
(Homans sign) tidak mempunyai arti klinis yang bermakna karena tanda yang sama
seringkali ditemukan pada awal masa nifas akibat tekanan oleh penyangga betis meja
obstetrik saat persalinan.
Sianosis lokal
Demam yang terjadi karena terlibatnya vena dari kaki sampai regio
illeofemoral

Pemeriksaan
Pemeriksaan Obyektif yang dapat dilakukan meliputi :
1. Invasif
Venografi
Sampai saat ini merupakan gold standart untuk diagnosis TVD namun
karena dapat menyebabkan nyeri dan bahaya absorbsi radiasi pengion oleh janin,
maka pemeriksaan ini dilakukan pada masa kehamilan.
Angiografi Paru
Pemeriksaan ini merupakan gold standart untuk diagnosis Emboli Paru
(EP), tetapi karena pemeriksaan ini invasif dan mahal maka hanya dilakukan jika
pemeriksaan lain meragukan.
Ventilation Perfussion Scanning (VIQ Scan)
VIQ Scan merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan pada
kecurigaan Emboli Paru. Hasil pemeriksaan yang normal memastikan Emboli paru
tidak terjadi dan hasil yang high probalbility (sekurang-kurangnya terdapat defek
perfusi pada satu segmen tetapi ventilasi normal) memastikan diagnostik Emboli
paru.
2. Non Invasif
Compresion Ultrasound (CUS)
American College of Obstetrician and Gynecologists (2000) menetapkan CUS
sebagai salah satu cara pemeriksaan terpilih (procedure of choice) untuk diagnosa
TVD paroksimal.
CUS dilakukan dengan menekankan transedur USG secara kuat (firm
compression) untuk melihat adanya defect.
Impedance Phletysmography (IPG)
Dengan cara mengembangkan manset udara yang ditempatkan disekeliling
paha unutk mengukur impedance flow. IPG mempunyai sensitifitas sebesar 83% dan
spesifitas 92%.
Magnetic Resmance Venography (MRV)
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan batas-batas anatomis secara detail dan
dapat menentukan ada tidaknya aliran darah pelvis. MRV mempunyai sensitifitas
100% dan spesifitas 90% terhadap TVD yang telah lebih khusus lagi MRV dapat
menentukan faktor non trombosis sebagai penyebab gejala dan tanda yang mirip
dengan tromboemboli. MRV sangat potensial untuk digunakan sebagai sarana
diagnostik tromboemboli dalam kehamilan karena disamping sensitif juga tidak
berhubungan dengan paparan radiasi. Kelemahan pemeriksaan ini adalah fasilitasnya
yang masih terbatas dan mahalnya biaya pemeriksaan.

ENDOMETRITIS

DEFINISI
Endometritis adalah radang pada endometrium, kuman-kuman memasuki
endometrium biasanya pada luka bekas insertion plasenta dan dalam waktu singkat
mengikutsertakan seluruh endometrium. Pada infeksi dengan kuman yang tidak
seberapa patogen,radang terbatas pada endometrium. Endometritis adalah infeksi atau
desidua endometrium, dengan ekstensi ke miometrium dan jaringan parametrial.
Endometritis dibagi menjadi kebidanan dan nonobstetric endometritis. Endometritis
dapat juga terjadi karena kelanjutan dari kelahiran yang tidak normal, seperti abortus,
kelahiran premature, kelahiran kembar, kelahiran yang sukar (distokia), perlukaan
yang disebabkan oleh alat-alat yang dipergunakan untuk pertolongan pada kelahiran
yang sukar.Jaringan desidua bersama-sama dengan bekuan darah menjadi nekrotis
dan mengeluarkan getah berbau dan terdiri atas keping-keping nekrotis serta cairan.

PENYEBAB
Endometritis paling sering ditemukan setelah seksio sesarea, terutama bila
sebelumnya pasien menderita korioamnionitis, partus lama atau pecah ketuban yang
lama. Penyebab-penyebab lainnya endometritis adalah jaringan plasenta yang
tertahan setelah abortus atau melahirkan. Infeksi endometrium dapat terjadi sebagai
kelanjutan infeksi pada serviks atau infeksi tersendiri dan terdapat benda asing dalam
rahim. Infeksi endometrium dapat dalam bentuk akut. Endometritis bisa juga
disebabkan oleh golongan streptococcus, staphylococcus, adakalanya basil
tuberculosis dan gonococcus.
Endometritis adalah penyakit yang melibatkan polymicrobial, rata-rata, 2-3
organisme. Dalam banyak kasus, hal itu timbul dari infeksi naiknya dari organisme
yang ditemukan di vagina normal flora asli. Biasanya terisolasi organisme termasuk
Ureaplasma urealyticum, Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides
bivius, dan kelompok B Streptococcus. Chlamydia telah dikaitkan dengan onset
terlambat endometritis postpartum. Enterococcus diidentifikasi dalam sampai dengan
25% dari perempuan yang telah menerima profilaksis cephalosporin. Rute
pengiriman adalah faktor yang paling penting dalam pengembangan endometritis
postpartum. Penelitian yang lebih baru mendukung administrasi sebelum operasi
profilaksis antibiotik, yang dikaitkan dengan 53% penurunan endometritis tanpa
gangguan pada neonatus yang dicurigai atau terbukti sepsis atau NICU admission.
Mayor faktor risiko termasuk kelahiran sesar, berkepanjangan pecah ketuban,
tenaga kerja yang panjang dengan beberapa pemeriksaan vagina, ekstrem pasien usia,
dan status sosial ekonomi rendah. Minor faktor termasuk ibu anemia, janin
pemantauan internal yang berkepanjangan, lama operasi, dan anestesi umum.
Bacterial vaginosis telah dikaitkan dengan endometritis setelah kelahiran sesar dan
dengan PID setelah trimester pertama selektif aborsi.

MANIFESTASI KLINIK
Tergantung jenis dan virulensi kuman, daya tahan penderita dan derejat
trauma jalan lahir. Sebagian lokhia tertahan oleh darah, sisa plasenta dan selaput
ketuban keadaan ini dinamakan lokiametra yang dapat menaikan suhu yang segera
hilang bila diatasi. Uterus pada endometritis agak membesar, uterus lembek dan nyeri
pada perabaan. Pada endimetritis tidak meluas pada hari pertama penderita merassa
kurang sehat,perut nyeri, mulai hari ketiga suhu meningkat nadi cepat lokia kadang
kadang berbau.
Tanda-tanda Endometritis
Tanda dan gejala endometritis antara lain :
1. Peningkatan demam secara persisten hingga 40 derajat celcius. Tergantung pada
keparahan infeksi.
2. Takikardi
3. Menggigil dengan infeksi berat
4. Nyeri tekan uteri menyebar secara lateral
5. Nyeri panggul dengan pemeriksaan bimanual
6. Subinvolusi
7. Lokhia sedikit, tidak berbau atau berbau tidak sedap, lokhia seropurulenta
8. Hitung sel darah putih mungkin meningkat di luar leukositisis puerperium fisiologis
9. Perdarahan pervaginam
10. Shock sepsis maupun hemoragik
11. Abdomen distensi atau pembengkakan.
12. Abnormal pendarahan vagina
13. Discomfort dengan buang air besar (sembelit mungkin terjadi)
14. Terjadi ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise)



KLASIFIKASI
Ada dua macam endometritis antara lain :
- Endometritis Akut
Pada Endometritis akut endometrium mengalami edema dan hiperemi.
Endometritis ini biasanya terjadi sesudah melahirkan atau abortus ( terutama abortus
kriminalis ), yang dapat meluas sampai ke miometrium, dan berakhir sampai sepsis
puerperalis. Abortus yang dilakukan tanpa alasan yang layak dengan cara
memasukkan berbagai macam alat yang jauh dari standar steril, maka akan membawa
kuman masuk ke dalam cavum uteri.
Endometritis akut ditandai oleh kehadiran microabscesses atau neutrofil
dalam endometrium kelenjar. Endometritis akut dicirikan dengan adanya infeksi.
Agen penyebab yang paling utama adalah staphylococcus aureus dan
strepthococcuss. Gejala klinis umumnya adalah demam tinggi dan lochea berbau,
lochea lama berdarah kemungkinan menjadi metrorhagia, jika terjadi radang tidak
menjalar ke parametrium atau perimetrium tidak nyeri.
Penatalaksanaan :
Dalam pengobatan endometritis akut yang paling penting adalah berusaha mencegah
agar infeksi tidak menjalar. Adapun pengobatannya adalah :
a. Uterotonik
b. Istirahat, dengan posisi fowler
c. Antibiotika

- Endometritis Kronik
Radang ini jarang dijumpai , namun biasanya terjadi pada wanita yang masih
menstruasi. Dimana radang dapat terjadi pada lapisan basalis yang tidak terbuang
pada waktu menstruasi. Endometritis kronik primaria dapat terjadi sesudah
menopauase, dimana radang tetap tinggal dan meluas sampai ke bagian endometrium
lain. Endometritis kronik ditandai oleh adanya sel-sel plasma pada stroma. Penyebab
yang paling umum adalah Penyakit Radang Panggul (PID), TBC, dan klamidia.
Pasien yang menderita endometritis kronis sebelumnya mereka telah memiliki
riwayat kanker leher rahim atau kanker endrometrium. Gejala endometritis kronis
berupa noda darah yang kotor dan keluhan sakit perut bagian bawah, leukorea serta
kelainan haid seperti menorhagia dan metrorhagia.


FAKTOR PREDISPOSISI
Meliputi seksio sesarea, ketuban pecah, partus lama dan kelahiran, anemia,
perdarahan, jaringan plasenta yang tertahan, operasi berkepanjangan, pemakaian
AKDR dan penyakit sistemik yang menurunkan resistensi terhadap infeksi. Wanita
dengan status nutrisi yang buruk, misalnya lebih rentan terhadap infeksi bakteri.





PENATALAKSANAAN ENDOMETRITIS
- Antibiotika dan drainase yang memadai
Merupakan pojok sasaran terapi. Evaluasi klinis dan organisme yang terlihat
pada pewarnaan gram, seperti juga pengetahuan bakteri yang diisolasi dari infeksi
serupa sebelumnya, memberikan petunjuk untuk terapi antibiotic.
- Carian intravena dan elektrolit
Merupakan terapi pengganti untuk dehidrasi dan terapi pemeliharaan untuk
pasien-pasien yang tidak mampu mentoleransi makanan lewat mulut. Secepat
mungkin pasien diberikan diet peroral untuk memberikan nutrisi yang memadai.
- Penggantian darah
Dapat diindikasikan untuk anemia berat post abortus atau postpartum.
- Tirah baring dan analgesia
Merupakan terapi pendukung yang banyak manfaatnya.
- Tindakan bedah
Endometritis postpartum sering disertai dengan jaringan plasenta yang
tertahan atau obstruksi servik. Drainase lokia yang memadai sangat penting. Jaringan
plasenta yang tertinggal dikeluarkan dengan kuretase perlahan dan hati-hati.
INKONTINENSIA URINE

ETIOLOGI
Penyebab utama adalah trauma persalinan. Umumnya akan sembuh jika cedera saat
partus telah kembali normal

KLASIFIKASI
Dapat dibagi menjadi 3 stadium :
a. Stadium 1 : adanya air kencing yang keluar meski sedikit pada
saat batuk, bersin, mengejan
b. Stadium 2 : keluar air kencing saat bekerja ringan
c. Stadium 3 : keluar air kencing bahkan saat tidak bekerja

PENGOBATAN
Pengobatan diarahkan pada apa yang dijumpainya. Jika hanya terdapat uretrokel atau
sisto-uretrokel maka kolprorafia anterior dengan memperkuat otot otot di leher
vesika dan uretra ungkin sudah cukup.
Sumber : Sarwono Ilmu Kandungan

TROMBOSIS VENA DALAM
Patogenesis trombosis pada pembuluh darah (arteri dan vena) dapat diterangkan oleh
teori Virchow (1856), yaitu terdiri dari interaksi antara faktor trauma pada dinding
pembuluh darah (trauma pada endotel), faktor abnormalitas aliran darah, dan faktor
abnormalitas darah (gangguan keseimbangan fungsi koagulasi dan fungsi
fibrinolitik). Semua faktor tersebut penting pada pembentukan trombosis pada vena,
walaupun sesungguhnya penyebab timbulnya trombosis vena dalam ditentukan oleh
multifaktor. Tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan pembentukan trombus vena
berasal dari daerah dimana terdapat pelambatan aliran darah. Trombus pada vena
didasarkan atas aliran darah vena yang relatif lambat, kaya eritrosit dan fibrin, dengan
sejumlah kecil trombosit, karenanya disebut trombus merah (red thrombus).
Bandingkanlah dengan trombus putih (white thrombus) yang kaya trombosit yang
biasanya terjadi pada lumen pembuluh arteri. Proses terjadinya trombus diawali pada
kantung-kantung katup atau pada daerah vena yang menderita trauma.
Trombosis vena dalam dijumpai tersering didaerah vena cruris (vena daerah
soleus), kemudian berturut-turut pada V.Femoralis, V Iliaca communis dan Vena
cava inferior. Lebih sering terjadi pada tungkai kiri, yaitu berhubungan dengan
tekanan (kompresi) pada V.Iliaca communis kiri oleh A. Iliaca communis kanan
(disebut sindroma May-Thurner).
Sekitar 80% kasus trombus menetap (tidak mengalami propagasi atau tidak
merambat ke proksimal) pada daerah cruris (trombosis vena dalam bagian distal) .
Sedangkan pada 20% kasus trombus merambat (propagation) ke V.Poplitea,
V.Femoralis, sampai V.Iliaca (trombosis vena dalam bagian proksimal). Bila tidak
diobati pada 10-20% kasus trombosis proksimal tersebut akan mengalami emboli
paru-paru.
Phlegmasia adalah keadaan trombosis vena iliaka-femoralis yang luas,
ditandai pembengkakan (pembengkakan akibat gangguan aliran vena dan limfe)
ekstremitas inferior, dan stasis pada vena-dalam tersebut dapat menimbulkan
gangguan aliran arteri sehingga terjadi tanda-tanda iskhemia pada kaki.
Phlegmasia alba dolens, adalah keadaan yang lebih ringan , yaitu tidak
terjadi iskhemia, fungsi saraf masih normal. Bila tidak segera ditangani dapat timbul
gangren kaki yang merambat ke proksimal. Phlegmasia cerulea dolens, adalah
keadaan phlegmasia yang lebih berat , ditandai ekstremitas berwarna biru, bengkak,
petechiae, bullae, insufisiensi arteri (iskemia), gangguan saraf sensoris dan motoris
pada bagian distal.

Faktor risiko:
Usia diatas 40 tahun. Varises tungkai
Kehamilan atau kadar estrogen tinggi. Penyakit mieloproliferatif.
Obesitas atau immobilitas lama. Hiperlipidemi.
Penyakit jantung. Diabetes mellitus
Keganasan. Sindroma hemolitik-uremik.
Trauma. Purpura thrombotik-
thrombositopeni.
Sepsis. Antikoagulan lupus.
Hypercoagulable state. Homosistinuria
Pernah trombosis vena dalam atau emboli paru. Sindroma Cushing.
Cryofibrinogenemia Colitis ulcerativa.
Sindroma Behcet.

Pemeriksaan klinis :
Pemeriksaan fisik:
Pada pemerisaan fisik sering tidak ditemukan tanda-tanda klinis. Tanda klinis yang
pertama kali muncul adalah nyeri (50% kasus). Pembengkakan terjadi distal dari letak
anatomis oklusi total vena dalam, timbul dalam beberapa jam setelah oklusi total .
Phlegmasia alba dolens: palpasi denyut arteri kaki dan fungsi saraf sensoris dan
motoris masih normal, ekstremitas bengkak dan berwarna pucat.
Phlegmasia cerulea dolens: ekstremitas bengkak dan berwarna biru, sering dijumpai
petechiae dan bullae, perabaan nadi dan fungsi saraf mungkin masih normal pada
awalnya tetapi akhirnya cenderung menurun dan menghilang dimulai pada kaki. Bila
oklusi vena dalam menetap, akan terjadi tanda-tanda gangguan aliran darah pada
arteri berupa iskhemia, nekrosis dan gangren.
Pemeriksaan radiologis:
1. Ascending venografi (invasif) merupakan gold standard untuk diagnosis
thrombosis vena dalam, walaupun membutuhkan fasilitas peralatan dan teknik
pemeriksaan, dan timbulnya komplikasi (nyeri, ekstravasasi zat kontras, dan
thrombosis). Oleh karena alasan tersebut maka untuk keperluan diagnosis saat ini
berpindah pada penggunaan peralatan yang non-invasif.
2. Impedance plethysmography:
Jenis pemeriksaan ini tergolong non-invasif, indirek, mengukur perubahan
volume tungkai, untuk mengukur thrombus pada popliteal atau arteri proksimal,
bila dibandingkan dengan ascending venografphy, memiliki spesifisitas 88%,
sensitivity 92%, tetapi tidak akurat untuk mendeteksi bekuan darah dibagian
distal tungkai (vena betis).
3. Doppler ultrasonografi:
Walaupun teknik gelombang kontinyu (continuous-wave) ultrasonografi ini
merupakan cara termudah, murah, non-invasif, dan dibandingkan dengan
ascending venography memiliki specificity 88%, sensitivity 83%, tenik ini tidak
baik untuk evaluasi trombosis yang berulang/rekuren karena tidak dapat
membedakan trombosis lama dengan yang baru pada sindroma postrombotik.
4. Duplex scanning:
Teknik B-mode ultrasonografi ini mampu melihat aliran, gerakan katup, adanya
bekuan darah/thrombus, membedakan bekuan lama atau baru, perubahan
dinding pada sistim vena. Duplex scanning , adalah kombinasi dari real-time dan
Doppler ultrasonografi, memiliki angka spesifisitas 86-95%, sensitifitas 88-98%
dalam mendeteksi trombosis vena dalam. Walaupun demikian harus diingat hasil
pemeriksaan Dupplex scanning tergantung operatornya (operator dependent, hasil
pemeriksaan seorang operator ahli dapat berbeda dengan hasil operator ahli
lainnya).

Sindroma hiperkoagulabilitas:
Kongenital: Didapat:
Defisiensi antitrombin III Sindroma antifosfolipid Defisiensi Protein
C&S.
Defisiensi Protein C. Keganasan. Defisiensi
antithrombin III.
Defisiensi Protein S. Sepsis. Trauma/trauma
panas.
Defisiensi heparin cofactor II. Kehamilan/estrogen. Trauma operasi
besar.
Plasminogen abnormal. Diabetes.
Fibrinogen abnormal. Vaskulitides.
Homosistinuria. Penyakit mieloproliferatif.
Hiperlipidemia. Heparin-induced thrombocytopenia.

Terapi :
Medikal:
Heparin:
Diberikan 5000-20.000 U (100-200 U/kgbb.) bolus intravena, diikuti infus intravena
secara kontinyu 600-2000 U heparin per jam selama 4-6 hari. Dosis heparin
dipertahankan sesuai dengan hasil pemeriksaan aPTT (activated thromboplastin time)
minimal 1,5 X harga/nilai kontrol untuk mencegah thromboembolisme rekuren.
Heparin dihentikan setelah prothrombin time minimal 1,5 X harga/nilai kontrol.
Warfarin oral (induksi 10-15mg selama 2-3 hari sesuai hasil pemeriksaan
prothrombin time, kemudian dosis dipertahankan 2-10mg perhari; pemberian
warfarin dimulai pada hari ke23 pengobatan heparin) dilanjutkan sampai 3-6 bulan
lamanya, atau dapat sebagai alternatif adalah penyuntikkan diri sendiri dengan
heparin 5000 U (1 cc) subkutan sekali sehari selama 3-6 bulan. Bila cara pengobatan
dilakukan dengan cara tersebut maka kemungkinan trombosis rekuren hanya sekitar
kurang dari 5%. Walaupun demikian terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa
lebih dari 80% pasien trombosis vena dalam yang diobati dengan heparin menderita
ulkus stasis dalam waktu 4 -7 tahun kemudian. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa heparin dapat mengurangi thrombosis rekuren tetapi tidak dapat mencegah
kerusakkan dinding dan katup vena yang akan menimbulkan morbiditas pada jangka
panjang.
Komplikasi pemberian heparin adalah perdarahan dan trombositopeni.
Periksalah jumlah sel trombosit sebelum pemberian heparin. Perdarahan terjadi bila
aPTT (activated partial thromboplastin time) lebih dari 2-3 kali nilai kontrol untuk
beberapa jam lamanya, tetapi perdarahan lebih sering terjadi bila terdapat penyakit
yang mendasarinya seperti uremia, trombositopeni. Pada usia lanjut, terutama
perempuan, mempunyai risiko lebih besar terjadi perdarahan.
Sindroma trombositopeni yang terjadi akibat pemberian heparin, yaitu disebut
Heparin-induced thrombocytopenia syndrome, bila ditemukan jumlah thrombosit
darah <100.000/mm3, sehingga dapat memudahkan terjadi perdarahan. Keadaan
tersebut adalah suatu reaksi kepekaan berlebih (idiosyncratic) terhadap heparin yang
menimbulkan lebih sering reaksi trombosis dari pada perdarahan. Reaksi tubuh ini
dapat terjadi pada saat kedua kalinya atau kesekian kalinya heparin disuntikkan (re-
exposure) pada tubuh penderita, yaitu umumnya pada hari ke 2 sampai hari ke15
(dimana heparin disuntikkan sekali sehari dan tidak tergantung dosisnya) setelah
pemberian heparin.
Kontraindikasi absolut pemberian heparin adalah pada perdarahan aktif,
operasi bedah saraf yang baru dialami, hipertensi maligna, perdarahan
serebral/subarachnoid. Kontraindikasi relatif adalah operasi yang baru dialami,
perdarahan gastrointestinal, diatesis hemoragik dan stroke yang baru terjadi.




Terapi trombolitik:
Kontraindikasi absolut: perdarahan aktif, lesi akibat trauma serebrovaskular
yang baru dialami, kelainan atau penyakit intrakranial yang mudah berdarah,
pembedahan mata yang baru dialami.
Kontraindikasi relatif: trauma atau pembedahan besar yang baru dialami,
penyakit ulkus peptikum aktif, hipertensi tak terkontrol, kehamilan, perdarahan pada
retinopati diabetika.
Urokinase maupun streptokinase dapat menimbulkan lisis thrombus secara lengkap
pada penelitian yang dilakukan eksperimental maupun klinis. Kedua jenis obat
tersebut dapat secara efektif bekerja pada pasien yang menderita thromboemboli
kurang dari 5-7 hari, tetapi hasil terbaik pada pasien bergejala kurang dari 48 jam.
Streptokinase dan urokinase menimbulkan lisis tromboemboli pada sebanyak
26-57% pasien. Pada kelompok pasien deep vein trombosis yang diberi
antikoagulant dan trombolitik, dijumpai hasil pada 4% pasien yang diberi
anticoagulant terjadi lisis dan 82% pasien ternyata thrombus tidak menghilang;
sedangkan yang diberikan trombolitik terdapat 45% resolusi trombus yang lengkap,
dan 18% tidak lengkap.
Teknik terbaru dalam pemberian trombolitik untuk menghancurkan
penyumbatan trombus pada daerah iliaka-femoral adalah dengan menyuntikkan
cairan trombolitik, setelah ujung kateter yang dimasukkan kedalam lumen A.
Femoralis superfisialis berada didalam masa trombus (catheter-directed
thrombolysis), tetapi mengenai angka keberhasilannya masih menunggu penelitian
lebih lanjut. Komplikasi utama pada pemberian trombolitik adalah perdarahan yang
frekwensinya 2 - 5 kali lebih sering dibandingkan dengan pemberian heparin.
Mengingat hal tersebut maka heparin tetap merupakan the agent of choice untuk
manajemen tromboembolisme.

Terapi dengan teknik bedah:
Trombektomi vena daerah iliaka-femoral dilakukan bila pemberian obat-
obatan tidak berhasil. Jika dijumpai kontraindikasi pemberian antikoagulan atau
trombolitik, dan tromboemboli yang terjadi terus-menerus dari distal, maka dilakukan
pemasangan saringan (filter) dari Greenfield pada vena cava inferior yang berguna
untuk menahan emboli.



TROMBOFLEBITIS

Tromboflebitis adalah trombus pada vena yang disertai dengan respon inflamasi
EPIDEMIOLOGI
1:1000 wanita dengan kehamilan normal
ETIOLOGI
Etiologi trombus sesuai trias Virchow:
1. stasis vena
2. kerusakan vaskular
3. hiperkoaguabilitas
Pada kehamilan, yang cenderung berperan adalah stasis vena. seiring membesarnya
uterus, dapat terjadi kompresi dari v.pelikalis dan v. kava inferior sehingga
meningkatkan stasis.
GAMBARAN KLINIS
5. Nyeri tungkai
6. Edema
7. sensasi panas lokal
DIAGNOSIS
Berdasar pemeriksaan fisik
TATA LAKSANA
1. Elevasi ekstremitas yang terkena
2. Tidak boleh dipijat karena meningkatkan resiko emboli paru
3. Aspirin dosis rendah
4. Dapat diberi heparin
5. Early ambulation post partum

SUBINVOLUSIO UTERUS

DEFINISI
Subinvolusi uterus adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal
involusi/ proses involusi rahim tidak berjalan sebagai semestinya sehingga proses
pengecilan uterus terhambat.
Subinvolusi merupakan istilah yang dipergunakan untuk menunjukan
kemunduran yang terjadi pada setiap organ dan saluran reproduktif kadang lebih
banyak mengarah secara spesifik pada kemunduran uterus yang mengarah
keukurannya (varneys midwifery)

TANDA DAN GEJALA
Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/pelvis dari yan Seharusnya atau
penurunan fundus uteri lambat
Konsistensi utererus lembek
- Pengeluaran lochea seringkali gagal berubah
- Terdapat bekuan darah
- Lochea berbau menyengat
- Uterus tidak berkontraksi
- Pucat, pusing dan tekanan darah rendah serta suhu tubuh tinggi
c. Penyebab
1). Terjadi infeksi pada miometrium
2). Terdapat sisa plasenta dan selaput plasenta di dalam uterus
3). Lochea rubra lebih dari 2 minggu postpartum dan pengeluarannya lebih
banyak dari yang diperkirakan.
d. Terapi
1). Pemberian antibiotika
2). Pemberian uterotonika
3). Pemberian tablet Fe

You might also like