You are on page 1of 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena dengan pertolonganNya kami dapat menyelesaiakan makalah ini
yang berjudul DONOR ASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM.
Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam
proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada ayahanda dosen
yang telah mengajar kami selama ini dalam mempelajari dan memahami
tentang nilai nilai islam. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada ilmu yang ingin kami bagi kepada siapa saja yang
telah membaca dan mempelajari makalah ini. Karena itu kami berharap
semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita
bersama.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat membuat kita
mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.



BAB I : PENDAHULUAN
Secara etimologis, ar-radhah atau ar-ridhah adalah sebuah
istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui
itu [ar-radh] berupa anak kecil [bayi] atau bukan. Adapun dalam
pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-
radhah sebagai berikut:


Sampainya [masuknya] air susu manusia [perempuan] ke dalam perut
seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.
Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa
disebut ar-radhahasy-syariyyah [persusuan yang berlandaskan etika
Islam]. Yaitu, pertama, adanya air susu manusia [labanu adamiyyatin].
Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi [wushluhu il
jawfi thiflin]. Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun [dna
al-hawlayni]. Dengan demikian, rukun ar-radhah asy-syariyyah ada
tiga unsur: pertama, anak yang menyusu [ar-radh]; kedua, perempuan
yang menyusui [al-murdhiah]; dan ketiga, kadar air susu [miqdr al-
laban] yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus [qadhiyyah] bisa
disebut ar-radhah asy-syariyyah, dan karenanya mengandung
konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsure
ini bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak
ditemukan, maka arradhah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-
radhah asy-syariyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi
hukum syara tidak berlaku padanya.
Adapun perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama
[mujmaalayh] bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum,
sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau
tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radhah asy-
syariyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang
disusuinya.
Secara kodrati, menyusui merupakan salah satu bagian dalam
siklus hidup bagi perempuan. Di bidang kesehatan, pada tahapan di
siklus tersebut (across the life cycle) dikenal adanya pendekatan
continuum of care dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang dimulai sejak masa pra hamil,
kehamilan, persalinan dan nifas, bayi, balita, hingga remaja. Menyusui
juga berkenaan dengan fungsi atau tugas-tugas reproduksi, di samping
hamil, melahirkan, dan mengasuh anak.
Dalam perkembangannya, pandangan terhadap nilai dan gerakan
menyusui dengan ASI oleh ibu bagi bayinya mengalami pasang surut5.
Sebagai agama dakwa, Islam telah mengajarkan lamanya waktu bagi ibu
atau orang lain menyusui bayi, yakni selama dua tahun penuh7 atau
masa penyapihan bayi dalam umur dua tahun, dan juga mengisyaratkan
masa mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.
Praktek pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya faktor sosial budaya, pengetahuan akan pentingnya ASI,
dukungan jajaran kesehatan, instansi terkait dan keluarga, ASI-nya tidak
keluar, alasan kesehatan, karena waktunya tersita untuk bekerja serta
pemakaian susu formula.













BAB II : PEMBAHASAN
Landasan Hukum
Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qurn yang
membicarakan perihal penyusuan anak [ar-radhah]. Enam ayat ini
terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-
beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan [munsabah]
hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam
ayat ini, ar-radhah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad
SAW dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Qurn maupun al-
Hadits, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum
dan etika menyusui.
Enam ayat al-Qurn yang dimaksud adalah sebagai berikut:

pertama, ayat 233 Surat al-Baqarah [2]: Para ibu hendaklah
menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang marf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah
karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk
Allah SWT
kepada para ibu [wlidt] agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara
sempurna,
yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban
suami memberi
makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara
yang marf.
Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak [sebelum dua tahun] asalkan
dengan kerelaan
dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan
menyusukan anak
kepada perempuan lain [al-murdhiah].

Kedua, ayat 23 surat An-Nis [4]: Diharamkan atas kamu
[mengawini] ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan
dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan ....
Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak [ar-
radhah] dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan
yang menyusui [al-murdhiah] dan garis keturunannya haram dinikahi
oleh anak yang disusuinya [ar-radh].

Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]: [Ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat
kegoncangan
itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak yang
disusuinya dan gugurlah kandungan segala perempuan yang hamil, dan
kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka
tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.

Keempat, ayat 7 surat al-Qashash [28]: Dan kami ilhamkan kepada ibu
Musa;
Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka
jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan
janganlah [pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari
para rasul.

Kelima, ayat 12 surat al-Qashash [28]: Dan Kami cegah Musa dari
menyusu kepada
perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum itu; maka
berkatalah saudara Musa:
Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
memeliharanya untukmu dan
mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang
menyusui anaknya
dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa.
Dijelaskan betapa
pentingnya air susu ibu [kandung] untuk anaknya, hingga Nabi Musa
kecil dicegah
oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula
kedahsyatan
goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui
anaknya
akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.

Keenam, ayat 6 surat ath-Thalaq [65]: Tempatkanlah mereka [para
istri] di mana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka
untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika mereka [istri-istri yang
sudah ditalak] itu
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan
[anak itu] untuknya.
Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan
penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan
hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah [yang sudah
ditalak] jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah
yang memang harus diberikan selama belum habis masa iddah.
Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang
perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan
dimusyawarahkan secara baik dan adil.




Donor dan Bank ASI Menurut Islam
Donor ASI dilakukan oleh seorang ibu yang memiliki ASI
berlimpah, dan berkeinginan untuk memberikan ASI-nya kepada bayi
selain anaknya sendiri. Dengan adanya donor ASI akan mendorong
timbulnya bank ASI.
Donor ASI dan Bank ASI berkaitan dengan ibu yang memberikan
air susunya dan bayi yang menerima air susu tersebut. Allah SWT
berfirman: (Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang
menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan (QS An Nisa: 23).
Islam mengatur adanya hubungan nasab, yang mengharamkan adanya
pernikahan antara bayi laki-laki yang menerima donor ASI dengan ibu
yang mendonorkan ASI-nya serta saudara wanita yang sama-sama
meminum ASI dari wanita tersebut. Atau sebaliknya, bayi wanita yang
menerima donor ASI dengan saudara laki-laki yang sama-sama
meminum ASI dari ibu yang mendonorkan ASInya tersebut.
Berdasarkan Majma Fiqh Islam, Majelis penelitian di bawah
koordinasi OKI dalam muktamar Islam yang diadakan pada tanggal 22
28 Desember 1985 telah menyimpulkan: Setelah dipaparkan penjelasan
secara fiqih dan ilmu kedokteran tentang bank ASI, maka terbukti bahwa
bank ASI yang telah diujicoba di masyarakat Barat menimbulkan
beberapa hal negatif, baik dari sisi teknis dan ilmiah. Sehingga
mengalami penyusutan dan kurang mendapatkan perhatian. Sedangkan
dalam masyarakat Islam, masih memungkinkan untuk mempersusukan
anak kepada wanita lain secara alami. Keadaan ini menunjukkan tidak
perlunya Bank ASI. OKI memutuskan untuk menentang keberadaan
bank ASI di seluruh Negara Islam serta mengharamkan pengambilan
susu dari bank tersebut.
Kerusakan yang ditimbulkan dari pendirian bank ASI: pertama,
terjadinya pencampuran nasab jika distribusi ASI tidak diatur secara
ketat. Kedua, pendirian bank ASI memerlukan biaya yang sangat besar
dan terlalu berat untuk ditanggung oleh Negara berkembang seperti
Indonesia. Ketiga, ASI yang disimpan dalam bank berpotensi terkena
virus dan bakteri yang berbahaya, bahkan kualitas ASI bisa menurun
drastis dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari
ibunya. Keempat, dikhawatirkan ibu dari keluarga miskin akan
berlomba-lomba untuk menjual ASI-nya kepada bank dengan harga
tinggi, sedangkan anak mereka diberi susu formula. Kelima, para wanita
karir yang sibuk dan punya uang akan semakin malas untuk menyusui
sendiri bayi mereka.
Pendapat yang membolehkan pendirian bank ASI memberikan
syarat yang sangat ketat: setiap ASI yang dikumpulkan di bank ASI
harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan
dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang meminum ASI
tersebut harus dicatat identitasnya secara lengkap dan frekuensi
mengkonsumsi ASI dari pendonor yang sama. Jika bayi sudah 5 kali
meminum ASI yang sama, maka kedua keluarga harus dipertemukan dan
diberi sertifikat hubungan sepersusuan. Sehingga selanjutnya jelas terjadi
pengharaman pernikahan diantara mereka seperti saudara kandung yang
menjadi mahram mereka.
Islam juga mengatur bahwa bayi yang berhak mengkonsumsi ASI
dari donor ASI hanyalah bayi yang ibunya tidak dapat mengeluarkan air
susu, ibu si bayi sakit, atau ibu si bayi meninggal. Dalam situasi tersebut,
di jaman nabi (memang tidak ada susu formula) tidak direkomendasikan
dengan susu kambing atau sapi, tetapi dengan ASI dari ibu susu. Nabi
tidak hanya mendapat ASI dari ibunya, tetapi juga dari ibu susu yang
bernama Halimah Sadiyah. Jadi bank ASI dan donor ASI boleh-boleh
saja asal tetap memperhatikan masalah nasab.
Batasan Umur
Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasan umur penerima
donor ASI adalah seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya
adalah firman Allah swt: Para ibu hendaklah menyusukan anak-
anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. (QS. Al Baqarah: 233)
Jumlah Susuan
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi
karena lapar (HR Bukhari No. 2647 dan Muslim No. 3679).
Hadits Aisyah ra: Dahulu dalam Al Qur`an, susuan yang dapat
menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian
hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu
Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca
seperti itu. (HR Muslim No.3670)
Cara Menyusu
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah
sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk
daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari
perempuan secara langsung, ataupun dengan cara memasukkan ASI ke
lubang hidungnya, atau dengan cara menuangkannya langsung ke
tenggorakannya, atau dengan cara yang lain.
Seperti halnya dengan masalah bayi tabung yang dihukumi
berdasarkan sperma dan ovum yang berproses menjadi zygot, bukan
jima atau dukhul atau bertemunya pasangan suami-isteri dalam
hubungan suami isteri. Sama saja dengan perihal Asi yang sampai
kepada mulut bayi yang menerima donor ASI, lalu ASI tersebut masuk
kedalam tubuhnya membentuk tulang, darah dan daging. Bukan perihal
harus secara langsung mulut bayi menyusu dari wanita pendonor ASI.
Menyusui (ar-Radha) berdasarkan pendapat empat Imam
Madzab: Madzab Hanafi, isapan anak yang disusui terhadap payudara
wanita pada waktu tertentu. Madzab Maliki, masuknya ASI seorang
wanita kedalam perut bayi meskipun wanita itu mati atau masih kecil,
dengan menggunakan alat untuk memasukkan ASI ke dalam perut, atau
melalui suntikan, yang menjadikan ASI sebagai makanan. Madzab
Syafii, sampainya ASI wanita atau apa yang dihasilkan dari ASI
tersebut pada perut bayi atau otak atau sumsumnya. Madzab Hambali,
mengisap atau meminum ASI yang terkumpul karena kehamilan dari
payudara seorang wanita dan yang seperti itu.
Jadi, memasukkan ASI ke perut bayi lewat mata, telinga atau pori-
pori kulit kepala, atau pun lewat suntikan yang tidak dimaksudkan
sebagai pemberian makanan, maka hal ini tidak menyebabkan
pengharaman nikah. Sebab, air susu tersebut tidak melewati jalan yang
biasa, sehingga tidak akan membuahkan daging dan tulang. Demikian
juga ASI yang disuntikkan ke dalam tubuh namun tidak dimaksudkan
sebagai makanan, maka hal ini tidak menyebabkan keharaman nikah.






BAB III : PENUTUP
KESIMPULAN

Donor ASI melalui bank ASI, berpotensi merancukan hubungan
mahram atau persaudaraan karena sepersusuan. Pendonor hanya sekedar
memberikan identitas dirinya secara umum, seperti seseorang yang akan
mendonorkan darahnya. Selanjutnya tidak dapat dilacak siapa saja bayi-
bayi yang pernah mengkonsumsi ASI-nya, sehingga tidak jelas bagi
seseorang siapa bermahram dengan siapa. Akibatnya, akan terjadi kelak
di kemudian hari, seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita yang
ternyata pernah mengkonsumsi ASI dari seorang wanita pendonor ASI
yang sama. Bila hal ini terjadi, berarti pasangan tersebut telah melakukan
keharaman karena menikahi mahram yang terjadi akibat ikatan saudara
sepersusuan. Inilah bahaya yang nyata dari keberadaan donor ASI yang
disimpan di bank ASI tanpa dilengkapi dengan pencatatan secara syari.
Oleh karena itu, Kementrian Kesehatan yang sedang menggodok
peraturan yang berkaitan dengan donor ASI dan bank ASI, harus
memperhatikan kaidah-kaidah syariat Islam yang berkaitan dengan
hubungan nasab sepersusuan. Jangan sampai kaum muslimin yang
merupakan mayoritas penduduk negeri ini terjerumus dalam dosa yang
turun temurun ke anak cucu. Naudzubillaahi min dzalik!
DAFTAR PUSTAKA
http://ymaharani.staff.ipb.ac.id/2012/09/27/donor-dan-bank-asi-
menurut-islam/
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2013/03/Artikel-Tinjauan-PP-ASI-
Perspektif-Regulasi.pdf
http://www.suara-islam.com/tabloid.php?tab_id=104 bersama Eka
Poenya Aira, Adhi Himawan, Oden Iwan, Tray Darnawijaya, Agus Pacu
dan Nakiep Etnic.
http://www.fahmina.or.id/pbl/dfp_indo/marzuki_wahid_menyusui.pdf










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................

BAB II: PEMBAHASAN ..
Landasan hokum ..
Donor dan bank ASI menurut islam
BAB III: PENUTUP .
Kesimpulan .
DAFTAR PUSTAKA

You might also like