Ini cerita tentang satu pengalaman paling mencekam yang akan terus tertancap di benakku. Bisa dibilang secara langsung ini bukan pengalamanku saja. Tapi pengalaman temanku, aku, dan sesuatu. Namaku Budi dan temanku Jo. Dia ingin dipanggil begitu sejak pindah ke sini. Padahal nama aslinya Joko. Kami berdua telah lama menjalin persahabatan. Mungkin sejak masa pengenalan kampus dulu yang biasa dikenal sebagai OSPEK. Ketika kami pindah ke sini, kami begitu terkejut karena di sini tidak ada budaya orientasi seperti itu. Di sini, jumlah mahasiswanya lebih banyak mahasiswa undergraduates atau yang biasa kita kenal mahasiswa sarjana ketimbang mahasiswa graduate atau pascasarjana. Sepertinya sama dengan kampus-kampus di Indonesia. Mahasiswanya datang dari berbagai penjuru dunia, meski tentunya paling banyak ya mahasiswa dari sekitar Athens, Amerika Serikat. Kami begitu beruntung dapat melanjutkan kuliah di, sebut saja, O University dengan bantuan dana beasiswa penuh. Tadinya, setelah wisuda dari Universitas yang ada di Jawa Barat, aku ragu apa yang akan aku lakukan setelah ini. Apakah aku akan melamar kerja atau melanjutkan studiku ke jenjang master. Saat itu, tiba-tiba Joko bertanya kepadaku apakah aku berminat untuk kuliah ke luar negeri. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan pertanyaannya. Kami berdua mencoba untuk melamar beasiswa tersebut. Lolos melalui beberapa tahapannya. Kami berdua dinyatakan lolos untuk menerima beasiswa tersebut. Dan akhirnya aku terjebak di sini, Athens, bersama Joko. Sejak dulu di Indonesia, kami berdua, aku dan Joko, merupakan kawan dalam mencari hal-hal yang berbau supranatural. Kami sering berwisata misteri di sekitar kampus dan gedung fakultas. Awalnya, banyak teman-teman yang sering berkumpul bersama, tapi di akhir semester semuanya seakan disibukkan oleh satu hal, skripsi. Sebagai manusia, wajarlah menurut kami jika kami merasa penasaran akan hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Objek pertama kami saat berwisata misteri dulu adalah kuburan yang terkenal akan popularitas penampakannya. Saat pertama, ada sekitar tujuh orang yang ikut, enam mahasiswa baru dan satu senior. Malam Jumat pukul 23:35, kami bertujuh berjalan menuju areal pekuburan tersebut melalui jembatan dengan penerangan hanya dari senter kecil dan lampu rumah penduduk jauh di ujung jembatan. Entah mengapa kami memilih hari Jumat. Tapi aku dan Joko tidak begitu peduli dengan pemilihan hari. Menurut rumor yang pernah aku dengar, pada saat pembangunannya banyak pekerja yang dipaksa bekerja hingga menemui ajalnya dan tubuh mereka dijadikan pondasi untuk memperkuat jembatan ini. Jembatan yang kami lewati lebarnya sekitar 2,5 meter dan panjangnya sekitar 20 meter. Meski sudah terbilang cukup tua karena dibangun pada zaman penjajahan Belanda, jembatan ini masih cukup kokoh menopang kendaraan bermotor yang berjalan diatasnya. Tapi, malam itu tidak ada kendaraan yang lewat, hanya kami bertujuh ditemani sinar dari sebuah senter sebesar telunjuk sebagai penerang. Sesampainya di ujung jembatan, kami menyusuri jalan setapak yang basah karena hujan di sore hari. Dikelilingi oleh pohon bambu yang bergoyang-goyang dan saling bergesekan juga pohon yang menjulang tinggi tidak menghalangi niat kami untuk menuju areal pekuburan. Walau aku sedikit merinding karena sepertinya ada beberapa pasang mata yang terus mengawasi kami dari balik pohon bambu, kami terus berjalan. Ketika kami hampir sampai, kami mencium bau kandang kambing. Ternyata di dekat areal pekuburan tersebut ada sebuah gubuk kayu yang sepertinya memang kandang kambing. Doni mengambil beberapa batu kerikil dan melemparkannya ke kandang kambing yang kami lihat. Tiba-tiba saja kami mendengar suara kambing kecil mengembik. Doni mengambil inisiatif untuk mengintip ke dalam kandang tersebut karena rasa keingintahuannya. Bud, elo tadi denger suara kambing kecil gak? Doni bertanya penasaran kepadaku. Denger, Don. Emang kenapa gitu? Tadi gue ngintip ke dalem. Kosong, coy! Gak ada apa-apanya! Ah, mungkin kambingnya ngumpet kali! Ketakutan LIAT MUKA lo! Hahaha! Joko menimpali. Kami seketika tertawa pelan. Takut membangunkan penghuninya. Keadaan sedikit cair bagi kami karena lelucon Joko. Tapi tidak untuk Doni. Joko memang anak yang paling pemberani dari kami semua. Karena insiden itu, Doni merengek untuk membatalkan saja rencana kami daripada nanti ada sesuatu yang aneh-aneh. Tujuan kami memang untuk mencari yang aneh-aneh. Tapi kami juga tidak mau ada hal yang berbahaya. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja ke kost-an masing-masing kecuali Joko. Padahal sudah hampir masuk ke areal pekuburan. Terlihat di depan banyak batu dan kayu nisan yang tertanam di bawah gelap malam. Juga keranda mayat bercat merah seolah berdiri termenung di gubuk yang tidak ditemani cahaya apapun. Aku masih ingat saat itu Joko yang masih penasaran akhirnya masuk sendirian ke areal pekuburan. Joko memang penasaran dengan hal-hal mistis. Di Indonesia atau di sini. Di Athens, kami menyewa apartemen untuk mahasiswa tidak seperti mahasiswa lain yang tinggal di dorm. Satu kamar untuk berdua. Aku tidur di kasur atas sedangkan Joko di kasur bawah. Hanya ada satu PC di kamar kami dan kami harus menggunakannya bergantian. Biaya sewa apartemen kami lebih murah karena gedungnya sudah cukup tua dan lumayan menyeramkan. Jika dilihat dari luar, gedung apartemen kami terlihat seperti salah satu hall yang ada di dalam kampus. Menjulang tinggi dengan tembok batu bata merah yang mulai kusam. Bentuknya seperti tumpukan batu bata yang mirip balok tetris yang dibentuk terus ke atas dengan atap berbentuk prisma segilima yang berwarna coklat tua. Meski gedung ini terlihat bersih, suasana mencekam kadang terasa. Banyak gedung-gedung serupa di sekitarnya, seakan berjejer bergandengan tangan. Dua minggu awal kami menetap di sini, tidak ada hal-hal aneh yang menimpa kami. Hingga suatu hari, Joko mengajakku untuk berburu hantu. Dia yakin bahwa hantu-hantu barat tidak akan membuatnya ketakutan karena hantu Indonesia saja tidak sanggup membuatnya gentar. Bud, maen yu? Hunting setan bule. Kali aja nemu. Budi menggeser kursi yang sedang aku duduki ke hadapannya. Gak deh. Gue lagi seru-serunya baca-baca artikel tentang kampus kita. Lagian sekarang kan udah malem banget. Lu sendiri aja sana. Aku membalikan kursi ke posisi semula sambil asik menatap layar PC yang sedang menampilkan beberapa artikel tentang kampus kami di Internet Explorer. Ah! Gitu lo ke gue! Ya udah lah. Gue berangkat sendiri. You chicken! Joko membalas ucapanku seakan aku telah mengkhianatinya. Joko mengambil jaket merah dengan lambang tim football kesayangannya lalu membanting pintu meninggalkan aku yang sedang asik berselancar di internet. Suhu di luar saat itu sepertinya cukup dingin karena suhu di dalam kamar saja hanya 60 o Fahrenheit. Aku bingung mengapa thermometer di sini menggunakan satuan Fahrenheit. Tidak seperti di Indonesia. Aku sedang asik-asik membaca artikel tentang kampus dan daerah sekitar sambil ditemani segelas hot chocolate, tiba-tiba aku menemukan artikel menarik tentang misteri aula gedung W atau W hall. Dalam artikel itu, tertulis bahwa kampusku berada di tengah-tengah kuburan yang jika disambungkan dengan garis akan berebentuk pentagram. Bagi kalian yang menyukai hal mistis pasti mengetahui seperti apa itu pentagram. Banyak hal-hal mistis yang telah aku temui bersama Joko dan teman-teman. Tapi, hal ini begitu menarik karena kuburan-kuburan tersebut seakan-akan dibuat dengan sengaja. Yang paling menarik adalah W hall ternyata berada tepat di tengah-tengah pentagramnya! Menurut artikel yang sedang aku baca, O University dibentuk pada tahun 1804. Hanya satu tahun setelah pembentukan negara bagian. Gedung-gedung yang ada dibangun di atas bekas pekuburan Indian. Daerah pegunungan yang sejuk dan sepi ditambah dengan banyaknya gedung-gedung besar serupa membuat dearah sekitar sini menjadi tempat beraktivitas makhluk-makhluk yang tidak bisa ditangkap nalar. Tok! Tok! Tok! Aku mendengar bunyi pintu diketuk. Tumben sekali si Joko ini jadi sopan begitu. Biasanya dia keluar masuk semaunya. Seperti hantu yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Aku terpaksa bangkit dari kursiku yang membelakangi pintu lalu berjalan ke pintu lalu membukanya. Aku melihat Joko sedang berdiri mematung di depan pintu. Mukanya menunduk pucat pasi dan tatapannya kosong seakan sudah menemukan apa yang selama ini dicari-cari olehnya. Ia terlihat lebih putih. Sepertinya hantu-hantu bule mampu membuatnya kapok. Ada hal yang aneh darinya. Joko pulang dengan memakai jaket tim basket yang namanya saja aku belum pernah mendengarnya. Dan kepalanya dicukur plontos mirip pemain-pemain basket NBA. Ah, barangkali dia membelinya di toko olahraga sebrang jalan dan mencukur habis rambutnya di Barbershop, pikirku. Joko memang tergila-gila dengan segala hal yang berbau Amerika. Di setiap bajunya, minimal ada satu gambar bendera Amerika Serikat, peta Amerika Serikat, atau tulisan U.S.A. Di kamar kami pun, dia sering menyetel radio yang memainkan lagu-lagu yang sedang hits seperti Last Resort dari Papa Roach dan lagu-lagu Blink 182 sambil berteriak tidak karuan. Untungnya di sini orang-orangnya mengurusi urusannya masing-masing. Jadi, selama dua minggu ini belum ada yang melemparkan komplainnya atau bogem mentah pada kami. Jo, lu potong rambut ya? Keren, Jo. Plontos gitu. Mirip kacang ijo. Hahaha, aku bertanya kebingungan sambil melemparkan sindiran. Joko tetap diam menunduk. Tak menjawab atau membalas sindiranku. Mungkin dia tersinggung dengan omonganku. Atau masuk angin karena nekat malam dingin seperti ini jalan-jalan ke kampus untuk uji nyali. Aku membuka pintu lebar- lebar lalu Joko masuk dan langsung duduk termenung di kasurnya. Aku menutup pintu dan menguncinya. Menyimpan kunci ke mangkuk di atas meja kemudian aku berjalan kembali ke kursi. Ah, lu, gitu aja tersinggung, aku bicara, bermaksud untuk mencairkan suasana. Tapi Joko tetap terdiam. Jam di samping PC-ku menunjukkan pukul 01.13 AM. Meski sudah larut, aku kembali tenggelam dalam artikel-artikel misteri yang sedang aku baca. Ternyata banyak kisah-kisah mistis yang telah terjadi di kampus ini dan mungkin masih terjadi sampai sekarang. Mungkin /lebih banyak dari kampusku yang dulu. Dalam artikel, ditulis bahwa dulu pernah ada seorang gadis yang menulis cerita tentang setan-setan dengan darahnya sendiri kemudian bunuh diri. Jika kamu beruntung, atau sial, terkadang tulisannya muncul di dinding aula Gedung W dengan darah yang masih menetes seakan-akan baru saja cerita itu ditulis. Terkadang di dalam gedung yang lain terdengar juga suara-suara orang yang kesakitan seperti sedang disiksa oleh sesuatu. Pada tahun 70-an, ada tragedi yang terjadi pada anggota tim basket yang tinggal di asrama Aula Gedung W. Dalam sebuah kecelakaan, seluruh anggotanya meninggal. Rumornya arwah-arwah mereka masih bergentayangan di dalam Aula Gedung W. Ketika sedang membaca artikel-artikel ini, hawa di kamarku seakan menjadi hangat kemudian semakin lama malah menjadi panas. Duk! Dag! Duk! Dag! Duk! Dag! Aku mendengar bunyi benda bulat dipantul-pantulkan dengan keras. Sepertinya Joko sedang melakukan chest pass dengan tembok. Ulahnya memang terkadang bikin orang kesal. Jo! Lu, kalo mau main basket, di luar aja sana. Wallpaper temboknya kotor ntar! aku sedikit membentaknya karena mnjadi tidak fokus membaca. Kemudian, aku mendengar langkahnya menuju pintu. Pintu dibuka dan ia berjalan keluar. Mirip seperti hantu jelangkung. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Hawa panas tadi keluar, berganti dengan udara malam yang cukup untuk membuatku membeku. Kedua kakiku tiba-tiba menggigil kedinginan. Pelan-pelan kulihat ke belakang. Ternyata. Joko lupa menutup pintunya. Sekali lagi, aku harus beranjak dan menutup pintu. Dan kembali berkutat dengan layar di depan ku. Aku menggerakkan mouse-ku. Scroll, scroll ke bawah. Mencari cerita-cerita mistis lainnya. Tok! Tok! Tok! Brag! Brag! Brag! Aku terperanjat dari kursi. Aku mendengar bunyi pintu diketuk kemudian seolah didobrak paksa oleh sesuatu. Sial. Sedang sendirian begini malah didatangi makhluk dari dunia lain. Aku berdiri sambil memegang kepalaku dengan kedua tanagan di samping kepala. Aku bingung bercampur ketakutan. Bud! Bukain woy pintunya!!! Buka cepetan!!! Ampun! Ternyata itu si Joko lagi. Hampir aku memutuskan untuk loncat dari jendela di belakang PC saking ketakutan. Untung aku masih ingat ini lantai empat. Lu buka aja sendiri! Gak gue kunci kok! Lo kunci ini! Makanya gue dobrak! Aku bingung. Padahal tadi ketika Joko keluar bermain basket, aku ingat tidak mengunci pintunya. Kunci Joko dan aku pun masih ada di atas mangkuk. Aku berlari mengambil kunci lalu membuka pintu. Khawatir ada hal aneh yang menimpa temanku. Thank you, brother! You save me! Hoshhh. Hoshhh. Dia masuk ke dalam sambil menunduk, memegang pundakku dengan kedua tangannya yang basah oleh keringat dingin. Bernapas terburu-buru seolah habis dikejar Drakula Amerika. Lu kenapa, Jo? Loh! Kok, palalu udah gak botak lagi? Jaket tim basket lu ke mana? aku bertanya kebingungan. Sebentar. Gue liat setan tadi! Hoshhhh Hoshhh Gue mau istirihat dulu, Joko menimpali sambil berjalan kemudian duduk di atas kasurnya. Aku menutup pintu lalu menguncinya. Berjalan ke arah meja komputer dan mengambil gelasku lalu meminum isinya. Aku ketakutan, tapi mencoba untuk stay cool. Mungkin temanku ini lebih ketakutan daripada aku. Tadi gue liat setan, Bud. Banyak banget gila!!! Joko mulai bicara. Di mana? Di kampus? Di Gedung W ya? aku bertanya. Merasa excited. Jadi, lo tadi beneran ada di samping gue ya? Gak lah! Gue dari tadi di sini. Asik baca artikel-artikel kisah horror di kampus. Terus katanya Gedung W itu gedung yang paling horor. Lagian dingin- dingin begini ngapain keluar, aku menjawab pertanyaan Joko. Jadi Ternayata bener. Yang tadi nemenin gue bukan lo, Bud. Gue tadi kan turun keluar apartemen lewat tangga karena lift di sini lagi rusak. Terus bingung mau ke mana. Gue jalan nyari yang jual hotdog. Tapi gak nemu. Akhirnya gue putusin buat ke kampus deh. Dari luar udah keliatan gedung-gedungnya. Suasananya sepi banget. Gue jalan sampe gapura yang ada lubang buat masuknya empat tuh. Yang cetnya warna putih cream kusam gitu. Gue masuk lewat lubang kedua dari kanan. Pas gue udah masuk, pundak gue serasa ada yang mukul. Terus tangannya serasa dingin. Pas gue tengok ke belakang, ternyata itu lo, Bud. Mirip persis. Tapi mukanya pucet gitu. Pake baju biru sama celana jin abu-abu. Gue bingung kenapa lo gak kedinginan. Terus gue nyeletuk, Bud, ngagetin aja lo! Ayo cepetan jalannya kalo mau ikut! Tapi, lo gak bales ngomong apa-apa. Terus gue sama lo yang itu jalan bareng masuk ke kampus. Pemandangan kampus kalo pagi emang gak serem. Adem. Apalagi banyak pohon di bawah rumput. Terus biasanya banyak bule-bule cakep duduk-duduk di kursi atau di atas rumput. Tadi gue ke kampus suasananya gelap banget! Emang gak segelap waktu dulu kita wismis pertama ke kuburan yang ada kandang kambingnya itu sebelum masuk. Bangunannya mirip-mirip sama apartemen kita, Bud. Karena lo jalannya kelamaan, gue udah jalan beberapa langkah di depan lo. Pas gue nengok, lo udah gak ada, Bud. Gue pikir lo balik ke sini, Joko cerita panjang lebar. Gak mungkin lah gue bisa ngilang gitu. Lagian lu tau gue berani-berani gini juga, tapi kalo jalan sendirian sih ogah, aku memotong cerita Joko. Iya, gue udah tau! Terus jalan lah gue sendirian. Di depan, pas banget di tengah-tengah antara gedung lain ada gedung. Ada tulisannya di papan item, W Hall. Gue jalan di sekitarnya. Walau ada lampu, tetep aja gelap. Gue jalan sampe ke pintu masuk. Tiba-tiba gue denger orang main basket. Bolanya dipantul-pantulin ke lantai. Malem-malem begitu ternyata masih ada yang main basket. Gue jalan lagi. Lebih santai karena gue pikir ada orang yang yang lagi main basket. Dari ujung W Hall, gue liat ada bola basket gelindingan ke arah gue. Itu bola akhirnya sampe di kaki kanan gue. Ya udah, gue ambil deh itu bola.