You are on page 1of 24

0

DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN STROKE DI


ICU (INTENSIVE UNIT CARE) RUMAH SAKIT STROKE
NASIONAL BUKITTINGGI
ARTIKEL
Oleh :
FARIZAL, S. Farm, Apt
09 212 13 040
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang
ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.Berkurangnya aliran darah dan
oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh
darah.Stroke merupakan penyakit yang memerlukan perawatan jangka panjang,
sehingga untuk mendapatkan therapeutic outcome yang baik perlu kerjasama antara
dokter, perawat, apoteker, pasien dan keluarga pasien. Kejadian drug related
problems sangat umum terjadi pada pasien rawat inap yang beresiko meningkatkan
kesakitan, kematian dan biaya (Takrouri, 2004).
Setiap tahunnya, 200 dari tiap 100.000 orang di Eropa menderita stroke,
dan menyebabkan kematian 275.000 300.000 orang amerika. Di pusat-pusat
pelayanan neurologi Indonesia jumlah penderita gangguan peredaran darah otak
(GPDO) selalu menempati urutan pertama dari seluruh penderita rawat inap
(Harsono.2007). Angka kejadian stroke terus meningkat dengan tajam,jika tidak ada
upaya penanggulangan stroke yang lebih baik maka jumlah penderita stroke pada
tahun 2020 diprediksikan akan meningkat 2 kali lipat, bahkan saat ini Indonesia
merupakan salah satu negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia dan
keempat didunia, setelah India, Cina, dan Amerika (Feigin, 2006).
2
Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit sangat diperlukan untuk
memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien.Penggunaan obat
dikatakan rasional jika obat digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan
obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis, rute, waktu dan lama pemberian),
mempertimbangkan manfaat dan resiko serta harganya yang terjangkau bagi pasien
tersebut (Aslam,dkk, 2007; WHO, 2003; Trisna, 2004).
Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan
kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau
memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejala. Namun ada hal-
hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu kemungkinan terjadinya
hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan karena disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya Drug Related Problems (Pharmaceutical Care Network Europe
Foundation,2003 ; Muhlis, 2008).
Saat pasien menjalani suatu pengobatan,sebagian pasien memperoleh hasil
yang diharapkan yaitu sembuhnya penyakit yang diderita pasien, namun tidak sedikit
yang gagal dalam menjalani terapi, sehingga meningkatkan biaya pengobatan bahkan
dapat berujung pada kematian, oleh sebab itu dibutuhkan kontribusi dalam
mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah terjadinya masalah-masalah dalam
terapi obat yang disebut sebagai Drug Related Problems (DRPs) (Priyanto, 2009 ;
Ruths dan Viktil, 2007 ).
3
Dokter di ICU (intensive care unit) tidak dapat melakukan penanganan
pasien sendirian, kondisi pasien yang mengancam kehidupan seperti kegagalan
pernapasan akut, gagal jantung, atau dalam keadaan koma dan lain-lain sebagainya,
membutuhkan perhatian penuh dimana harus ada alat bantu pernafasan, pengendalian
asupan cairan dan pengamatan yang intensif menit demi menit hari demi hari dan
bahkan berminggu-minggu. Untuk mendapatkan hasil terapi yang optimal, diperlukan
kerjasama dalam tim pelayanan kesehatan, dimana diperlukan suatu pengaturan
perawatan yang intensif yang melibatkan seluruh disiplin ilmu kesehatan, sehingga
akan menguntungkan bagi pasien (Takrouri, 2004).
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang diambil dari penelitian ini adalah:
1. Apa jenisDrug Related Problems (DPRs) yang terjadi pada pengobatan
stroke di ICU RSSN Bukittinggi?
2. Berapa jumlah persentase kejadian masing-masing DRPs tersebut dalam
pengobatan stroke di ICU RSSN Bukittinggi?
3. Bagaimana hubungan kejadian DRPs secara statistik terhadap lama rawat,
jumlah resep, jenis kelamin, usia, GCS, dan out come pasien pada pengobatan
stroke di ICU RSSN Bukittinggi?
4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi dan mempelajari Drug Related Problems yang
terjadi pada pasien stroke di ICU RSSN Bukittinggi.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui adanya indikasi tanpa obat.
b. Untuk mengetahui adanya obat tanpa indikasi medis.
c. Untuk mengetahui adanya ketidaktepatan pemilihan obat.
d. Untuk mengetahui terjadinya kelebihan dosis obat.
e. Untuk mengetahui terjadinya kekurangan dosis obat.
e. Untuk mengetahui terjadinya interaksi obat.
f. Untuk mengetahui terjadinya reaksi efek samping obat.
h. Untuk mengetahui kegagalan memperoleh obat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan khusus tersebut diperlukan data-
data penunjang seperti persentase pasien stroke yang menjalani terapi
berdasarkan rentang umur, jenis penggunaan obat dalam terapi, evaluasi
keberhasilan pengobatan dan data-data lain yang dapat menunjang
penelitian.
5
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilakukan selama lebih kurang tiga bulan yaitu bulan
Mei sampai bulan Juli 2011 di ICU RSSN Bukittinggi.
2.2 Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan
secara prospektif terhadap suatu populasi terbatas.
B. Jenis Data
1. Data kualitatif
Meliputi masalah-masalah yang ditemukan dalam terapi yaitu: indikasi
tidak dapat obat, terapi obat tanpa indikasi medis, ketidaktepatan pemilihan
obat, dosis terlalu rendah, reaksi efek samping obat, interaksi obat yang
merugikan, dosis terlalu tinggi, ketidakpatuhan pasien dan ketidaktepatan
interval pemberian obat.
2. Data kuantitatif
Meliputi persentase pasien stroke berdasarkan rentang umur, diagnosa
penyakit, jenis penggunaan obat dalam terapi, evaluasi keberhasilan
pengobatan.
6
C. Sumber Data
Sumber data meliputi rekam medik pasien yang menjalani terapi
stroke, catatan perawat, catatan obat di depo farmasi, data laboratorium,
memantau langsung kondisi pasien dan wawancara keluarga pasien di ICU
RSSN Bukittinggi.
2.3 Prosedur Penelitian
A. Penetapan Obat yang Akan Dievaluasi
Obat yang akan dievaluasi adalah semua obat yang digunakan selama
menjalani terapi Stroke di ICU RSSN Bukittinggi.
B. Penetapan Sampel yang Akan Dievaluasi
Populasi : Semua pasien Stroke yang dirawat di ICU RSSN Bukittinggi
selama bulan Mei sampai Juli 2011.
Sampel : Pasien yang menjalani terapi Stroke dengan atau tanpa penyakit
penyerta di ICU RSSN Bukittinggi selama bulan Mei sampai Juli 2011.
Teknik pengambilan sampel dengan cara purposive sampling (semua anggota
populasi dijadikan sampel)
C. Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan melalui pencatatan rekam medik di ICU
RSSN Bukittinggi meliputi data kualitatif dan kuantitatif serta kelengkapan
data pasien (seperti usia, riwayat penyakit, tindakan terhadap penyakit,
7
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan labor, pemeriksaan penunjang, dan
lain - lain). Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang
telah disiapkan.Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan
perawat, catatan obat di depo farmasi, memantau kondisi pasien melalui visite
mandiri, wawancara keluarga pasien.
D. Penetapan Standar Penggunaan Obat
Standard penggunaan obat ditetapkan berdasarkan Formularium RSSN
Bukittinggi, standard terapi yang berlaku dan literatur-literatur ilmiah lainnya.
E. Analisis Data dan Kesimpulan
1. Analisa kualitatif
Data ditabulasikan kemudian dibandingkan terhadap kriteria
penggunaan obat yang telah ditetapkan. Hasil perbandingan menunjukan
ketepatan atau tidaknya ditinjau dari komponen DRPs. Sebagai acuan
digunakan berbagai literatur, diantaranya standar terapi stroke, buku-buku
informasi obat AHFS, Martindale, dan literatur lain yang mendukung.
2. Analisis kuantitatif
Data ditabulasikan meliputi persentase pasien stroke berdasarkan
rentang umur, diagnosa penyakit, jenis penggunaan obat dalam terapi,
evaluasi keberhasilan pengobatan di ICU RSSN Bukittinggi.
8
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Kasus penyakit stroke yang terjadi pada intensive care unit (ICU) RSSN
Bukittinggi selama bulan Mei 2011 sampai dengan Juli 2011 adalah sebanyak 39
kasus diantaranya 31 kasus pasien mengalami penyakit stroke hemoragik dan 8
kasus pasien mengalami penyakit stroke iskemik.
Hasil yang diperoleh dari penelitian pada pasien stroke di ICU RSSN selama
bulan Mei 2011 sampai dengan Juli 2011, adalah sebagai berikut :
A. Hasil Analisa Kuantitatif
1. Persentase Pasien Stroke.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui pasien pria sebanyak 24 orang
(61,54 %) sedangkan pasien wanita sebanyak 15 orang (38,46 %). Dimana usia
rata-rata pasien stroke adalah 59 tahun (S = 12,75) dengan lama perawatan rata-
rata 5 (S = 9,45) hari.
2. Persentase Pasien Stroke Berdasarkan Faktor Resiko.
Berdasarkan data yang didapat, diketahui persentase pasien stroke
hemoragik dengan faktor resiko hipertensi sebanyak 19 orang (39,59%),
dislipidemia tidak ditemukan (0%), merokok sebanyak 10 orang (20,83%),
obesitas sebanyak 2 orang (4,16%), dan diabetes melitus sebanyak 5 orang
9
(10,41%). Sedangkan persentase pasien stroke iskemik dengan faktor resiko
hipertensi sebanyak 4 orang (8,30%), dislipidemia sebanyak 3 orang (7,69%),
merokok sebanyak 2 orang (4,16%), obesitas sebanyak 1 orang (2,08%), dan
diabetes melitus sebanyak 2 orang (4,16%). Dari data yang diperoleh diketahui
bahwa faktor resiko terbesar penyebab stroke hemoragik maupun iskemik adalah
hipertensi yaitu hemoragik 39.58% dan iskemik 8,30%.
3. Persentase Pasien Stroke Berdasarkan Pemakaian Obat.
Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa obat neuroprotektif adalah obat
yang paling sering digunakan pada terapi stroke yaitu digunakan pada 39 pasien
(seluruh pasien yang dirawat di ICU RSSN Bukittinggi), obat saluran cerna
digunakan pada 38 pasien, antihipertensi 29 pasien,multivitamin digunakan pada
25 pasien, obat analgetik dan atau antipiretik 24 pasien, diuretik 24 pasien,
antibakteri 22 pasien, obat hemostatik 20 pasien, anti depresi 10 pasien,
antidiabetes 8 pasien, antitrombotik 4 pasien dan antihiperkolesterol 4 pasien.
4. Persentase Pasien Stroke Berdasarkan Diagnosa Penyakit.
Berdasarkan data yang diperoleh, diagnosa penyakit yang paling banyak
adalah stroke hemoragik tanpa penyakit penyerta yaitu sebesar 41,02 %, stroke
hemoragik dengan penyakit penyerta yaitu 38,46%, berikutnya stroke iskemik
dengan penyakit lain sebesar 15,36 % dan stroke iskemik tanpa penyakit penyerta
lain sebesar 52,12 %.
10
5. Data DRP yang terjadi pada Pasien Stroke.
Berdasarkan data yang diperoleh bahwa drug related problems yang banyak
terjadi adalah indikasi tanpa obat yaitu sebesar 27,58 %, kemudian
ketidaktepatan pemilihan obat sebesar 15,51 %, dosis lebih, dosis kurang, dan
terjadinya efek samping obat masing-masing 13,79 %, obat tanpa indikasi
sebesar 8,62 % dan terjadinya interaksi obat serta kegagalan memperoleh obat
masing-masing 3,45 %.
B. Hasil Analisa Kualitatif
Hasil analisa terjadi atau tidaknya Drug Related Problems pada pasien
stroke di ICU RSSN Bukittinggi selama bulan Mei 2011 sampai Juli 2011 adalah
sebagai berikut :
1. Persentase pasien stroke yang diberikan obat tanpa indikasi medis sebesar
8,62 %,
2. Persentase pasien stroke yang mengalami indikasi tanpa obat sebesar 27,58 %,
3. Persentase ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien stroke sebesar 15,51 %,
4. Persentase pasien stroke yang menerima obat dengan dosis berlebih sebesar
13,79 %,
5. Persentase pasien stroke yang menerima obat dengan dosis kurang sebesar
13,79%,
6. Persentase terjadinya reaksi efek samping obat pada pasien stroke sebesar
13,79 %,
11
7. Persentase pasien gagal menerima obat sebesar 3,45 % .
3.2 Pembahasan
3.2.1 Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif meliputi analisa persentase jenis obat yang
digunakan, persentase jumlah pasien stroke berdasarkan jenis kelamin, rentang
umur, dan diagnosa penyakit.
A. Jenis Obat Yang Digunakan Pada Terapi Stroke
Persentase jenis obat stroke iskemik yang paling banyak digunakan
adalah neuroprotektor yaitu sebesar 100 %.Ini berarti semua pasien stroke
mendapatkan obat neuroprotektor sebagai kombinasi.Prinsip penanganan
stroke adalah membatasi daerah yang rusak, meningkatkan aliran darah otak,
mencegah terjadinya edema otak, dan memperbaiki aliran darah.Pemberian
terapi kombinasi antara obat antitrombotik ataupun trombolitik dengan obat
yang bersifat neuroprotektif telah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan
monoterapi.Obat neuroprotektif yang digunakan yaitu piracetam dan
citikolin.Dimana obat-obat golongan neuroprotektif ini bersifat melindungi
otak yang sedang mengalami iskemi (Junaidi, 2004).
Pada penelitian ini juga ditemukan banyaknya penggunaan obat
saluran cerna yaitu sebesar 93 % pasien, obat-obat ini diantaranya adalah
ranitidine yang hampir dijumpai pada setiap pemberian obat pasien, dengan
12
tujuan untuk mencegah dan mengatasi stress ulcer yang dapat terjadi pada
pasien yang mengalami penyakit yang parah dimana keadaan tersebut dapat
memicu keluarnya asam lambung, walaupun demikian tidak bisa di generalisir
bahwa semua pasien yang di rawat di ICU mengalami stress ulcer.
Antihipentensi tidak terlepas dari penanganan stroke, dimana pada pasien
stroke tekanan darah harus diturunkan secara bertahap dan tidak boleh turun
lebih dari 20 mmHg. Dimulainya terapi obat anti hipertensi diindikasikan
pada pasien dengan stroke yang memiliki diseksi aorta infark miokard akut,
gagal jantung, atau ensefalopati hipertensif dan pasien yang mendapatkan
terapi trombolitik dimana tekanan darah sistolik 180 mmHg atau lebih atau
tekanan darah diastolic 105 mmHg atau lebih (Brott, 2000).
B. Jumlah Pasien Stroke Berdasarkan Jenis Kelamin
Penggunaan obat pada pasien stroke berdasarkan jenis kelamin, yang
paling banyak mendapatkan terapi adalah laki-laki yaitu sebesar 61,54 %,
sedangkan perempuan 38,46 %. Menurut penelitian Shaffer tahun 2002
memperoleh hasil bahwa laki-laki lebih banyak menderita stroke daripada
perempuan, senada dengan penelitian dari Listyo, A.P yang memperoleh hasil
bahwa 68 % penderita stroke adalah laki-laki (Biomedik, 2009).
C. Jumlah Pasien Stroke Berdasarkan Rentang Umur
Berdasarkan rentang umur, persentase tertinggi pasien yang mendapat
terapi pada pasien stroke banyak dialami oleh umur 41-50 tahun yaitu sebesar
13
30,76%, sedangkan umur 71 tahun sebesar 28,21 %, umur 51-60 tahun
sebesar 25,64 %, umur 61-70tahun sebesar 15,39 % . Berbeda dengan hasil
yang didapatkan dari penelitian ini bahwa pada penelitian Shaffer tahun 2002
yang paling banyak menderita stroke adalah usia di atas 65 tahun, namun
peneliti lain menemukan pasien stroke sebagian besar dijumpai pada usia di
atas 40 tahun (Sutrisno, 2007). Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat
diperkirakan bahwa pada kenyataannya umur dewasa terutama 40 tahun
keatas memiliki resiko tinggi stroke.
D. Jumlah Pasien Stroke Berdasarkan Diagnosa Penyakit
Pasien didiagnosa stroke hemoragik tanpa penyakit penyerta sebesar
41,02%, pasien stroke hemoragik dengan penyakit penyerta 38,46%, stroke
iskemik dengan penyakit penyerta 15,36 %, dan stroke iskemik tanpa penyakit
penyerta 5,12 %. Ini membuktikan bahwa ternyata stroke hemoragik lebih
sering dirawat secara intensif di ICU dibandingkan dengan stroke iskemik, ini
mungkin karena gejala klinis utama yang sering muncul pada stroke
hemoragik adalah penurunan kesadaran, bahkan 65 % langsung koma
(Basjirudin, 2008).
3.2.2 Analisa Kualitatif
Pada analisa kualitatif meliputi analisa terjadi atau tidaknya Drug
relatedProblems (masalah-masalah yang dapat timbul selama pasien diberi
terapi) diantaranya : Persentase indikasi tanpa obat, persentase pasien stroke
14
diberikan obat tanpa indikasi medis, persentase ketidaktepatan pemilihan obat
pada pasien stroke, persentase pasien stroke yang menerima obat dengan dosis
berlebih, persentase pasien stroke menerima obat dengan dosis kurang,
persentase terjadinya reaksi efek samping obat pada pasien stroke, persentase
terjadinya interaksi obat pada pasien stroke, persentase pasien gagal menerima
obat.
A. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi Medis
Obat tanpa indikasi medis artinya adanya obat yang tidak diperlukan
atau yang tidak sesuai dengan kondisi medis (Priyanto, 2009). Pada penelitian
ini ditemukan 5 kasus penggunaan obat tanpa indikasi medis yaitu pada
pasien no.11, no.15, no.23, no.35, no.39. Permasalahan ini diantaranya
penggunaan paracetamol padahal pasien tidak demam (suhu tubuh <37,5 C).
Faktor lain yang ditemukan adalah dimana pada awalnya pasien demam,
setelah diterapi suhu tubuh pasien sudah normal namun terapi paracetamol
masih dilanjutkan sampai pasien terakhir dirawat, padahal penggunaan
paracetamol hanya jika diperlukan dan penggunaan jangka waktu yang lama
berisiko pada kerusakan hati (Depkes, 2006).
B. Indikasi Tanpa Obat
Pasien mendapat indikasi tanpa obat sebesar 27,8 % merupakan DRPs
yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini. Indikasi tanpa obat artinya
kondisi medisnya memerlukan terapi tetapi tidak mendapatkan obat, seperti
15
memerlukan terapi kombinasi untuk mendapatkan efek sinergis atau aditif,
terapi preventif untuk mengurangi perkembangan penyakit (Priyanto, 2009).
Dalam evidence-base medicine manajemen umum stroke berdasarkan
pada American heart Association (2007), pada rekomendasi class I level of
evidence C menyatakan bahwa harus diberikan antipiretik untuk menurunkan
panas, begitu juga dengan class II level of evidence C bahwa hiperglikemia
persisten (>140mg/dl) selama 24 jam pertama pasca stroke berhubungan
dengan outcome yang buruk, dan dengan demikian secara umum disetujui
bahwa hiperglikemia pada pasien stroke harus ditangani(Gofir, 2009).
C. Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien stroke sebesar 15,51%,
Ketidaktepatan pemilihan obat artinya adanya pemberian obat yang tidak
efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya, obat
bukan yang paling efektif untuk mengatasi penyakitnya (Priyanto, 2009).
Pada penelitian ditemukan ada pasien yang mendapatkan terapi yang
tidak tepat, yang sering ditemukan yaitu pemberian tramadol pada pasien
stroke padahal tramadoltidak boleh diberikan pada pasien stroke karena akan
meningkatkan tekanan intrakranial yang akan memperparah kondisi pasien
(Depkes, 2006).
16
D. Dosis Obat kurang dan Dosis Obat berlebih
Pasien stroke yang menerima obat dengan dosis berlebih sebesar
13,79 %, sedangkan pasien stroke menerima obat dengan dosis kurang juga
sebesar 13,79 %. Adanya ketidaktepatan dosis ini dapat menimbulkan efek
samping yang tidak diharapkan pada pasien.
Dosis obat kurang artinya obat tidak mencapai MEC(minimum efective
concentration) sehingga tidak menimbulkan efek terapi, hal ini disebabkan
karena dosis terlalu rendah untuk efek yang diinginkan, interval pemakaian
obat terlalu panjang, terjadi interaksi yang menyebabkan berkurangnya
bioavailabilitas, durasi obat terlalu pendek (Priyanto, 2009).
Pada penelitian ini terdapat 8 orang pasien yang mengalami
kekurangan dosis. Pada umumnya ini terjadi pada obat sirup, dimana terjadi
kesalahan dalam menggunakan sendok diantaranya seharusnya sendok makan
namun yang diresepkan sendok teh, kemudian salah dalam volume pemberian
sendok dimana sendok makan seharusnya 15 ml namun yang diberikan adalah
10 ml. Misalnya pasien no.24 pada pemberian sukralfat yang tertulis di
intruksi obat adalah 3x1 cth (15 ml=1,5 gram), sedangkan dosis sukralfat
untuk profilaksis 1 gram setiap 6 jam, artinya dosis menjadi sangat kecil
ketika digunakan sendok teh (Martindal, 2007). Pada kasus lainnya (no.18)
diresepkan sendok makan namun yang diberikan pada pasien hanya 10 ml,
padahal seharusnya 15 ml, sehingga ini juga mengakibatkan dosis kurang.
17
Pada kasus dosis berlebih ini, umumnya terjadi pada pemberian adalat
oros

(nefedipin) dimana adalat oros ini merupakan obat lepas terkendali yang
pemberiannya tablet harus ditelan utuh, tidak boleh dikunyah dan dihancurkan
(anonim, 2011). Pada pemberiannya di ICU obat digerus, sehingga obat yang
seharusnya dilepaskan sedikit demi sedikit selama satu hari, menjadi sekali
pakai karna sudah digerus yang mengakibatkan dosisnya akan berlebih.
Kasus lain pemberian dosis berlebih adalah (no.1) pada saat
penggantian obat seperti lancolin

(sitikolin) dengan siticolin, dimana


lancolin

masih diberikan semntara siticolin juga diberikan, sehingga terjadi


terapi ganda dengan obat yang sama, akibatnya dosis berlebih. Kasus seperti
ini juga terjadi pada penggantian parasetamaol dengan farmadol

(paracetamol), dimana parasetamol masih diberikan dan farmadol

juga
diberikan.
Dosis lebih dan kurang ini terkait dengan teori farmakokinetik dasar,
dimana dengan dosis yang lebih besar maka akan menyebabkan konsentrasi
plasma yang lebih besar pula dan lebih besar kemungkinan tercapai dosis
toksik (Shargel & Andrew, 1985).
E. Terjadinya Reaksi Efek Samping Obat
Persentase terjadinya reaksi efek samping obat pada pasien stroke
iskemik sebesar 13,79 %. Efek samping obat artinya timbulnya efek yang
tidak diinginkan oleh tubuh, seperti interaksi obat menimbulkan efek yang
18
tidak diinginkan, obat menimbulkan alergi, obat dikontraindikasi karena
faktor resiko, obat yang lebih aman diperlukan karena pasiennya beresiko
(Priyanto, 2009).
Efek samping yang paling banyak ditemukan adalah gangguan
pencernaan,yang mengalami efek samping dari obat antihipertensi (seperti
captopril dan amlodipin) dan penggunaan ceftriaxon berupa konstipasi akibat
dari relaksasi otot polos saluran cerna dan kandung kemih, tetapi dapat
dicegah dengan pemberian laksatif (BNF-56, 2008). Terdapat juga pasien
yang menderita diare yang merupakan efek samping dari pemakaian
simvastatin, sitikolin dan ciprofloxacin.
Selain itu terdapat juga pasien yang mengalami batuk akibat efek
samping pemakaian captopril. Batuk merupakan salah satu penyulit pada
pemberian ACE Inhibitor yang paling sering ditemukan sejak lama. Batuk ini
disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas dari refleks batuk. Meningkatnya
bradikinin dan prostaglandin berperan untuk terjadinya batuk (Opie, 2001;
Walkers, 2003).
F. Terjadinya Interaksi Obat
Persentase terjadinya interaksi obat pada pasien stroke sebesar 3,45 %,
Interaksi obat artinya aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain
jika diberikan secara bersamaan (Priyanto, 2009).
19
Pada interaksi ini terdapat pasien (pasien no.19) yang mendapatkan
terapi captopril dan aspar-K

, dimana obat ini dapat menyebabkan


hiperkalemia pada pasien bila dipakai bersamaan.( Depkes, 2008). Kemudian
pada kasus no 14, dimana metformin diberikan bersamaan dengan terpacef

(ceftriakson) akan meningkatkan kerja dari metformin (The medical letter,


2006).
G. Kegagalan Memperoleh Obat
Persentase terjadinya kegagalan memperoleh obat pada pasien stroke
sebesar 3,45 %. Kegagalan memperoleh obat dapat disebabkan karena
ketersediaan obat, kemampuan finansial pasien, ataupun pasien tidak mau
mengkonsumsi obat. Kegagalan memperoleh obat disini adalah apabila
seorang pasien selama dirawat pernah 1 kali saja tidak mendapatkan obat
maka diasumsikan bahwa pasien tersebut dimasukkan dalam ketegori gagal
memperoleh obat.
Selain itu untuk pasien yang dirawat terkadang mendapatkan resep
obat diluar standar formularium rumah sakit, sehingga pada saat pasien ingin
membeli atau pun pada saat akan minum obat, ternyata obat tersebut tidak
tersedia di rumah sakit. Ini mungkin dikarenakan faktor perkembangan obat
yang beredar di Indonesia, sehingga standar formularium dirumah sakit perlu
di update secara kontiniu.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. 2009. stroke outcome in clinical trial patients deriving from different countries,
stroke, 40 : 35-40.
Anonim.2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia.Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Anonim.2011. Pusat Rekam Medik RSSN Bukittinggi.
Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A. 2007.Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Kompusindo
Kelompok Gramedia
Basjirudin, A. dan Amir, D. 2008.Ilmu Penyakit Saraf, edisi I. Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Biomedika, Volume 1, No 2, tahun 2009. FK UMS Solo.
British National Formulary Ed 56th, 2008, London.
Brott, B. J, 2000. Treatment of Acute ischemic stroke. The New England of
Medicine,;343(10);710-722.
Bull, E. 2007. Simple Guide : Kolesterol. Jakarta: Erlangga
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Moorley P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, McGraw-
Hill.
Clark, W., Gunion, L., Lessov,N., Hazel, K., Macdonald, RL. 1998. Citicoline Treatment for
Experimental Intracerebral Hemorrhage in Mice.American Stroke Association.
1524-4628.
Depatemen Kesehatan. 2008. Pelayanan Informasi Obat. Jakarta
Dipiro, J.T., Robert , LT,. Gary, C.Y., R.M., Barbara, G.W., Posey, M. 2006.
Pharmacotherapy Handbook sixth edition.Mc Graw Hill Company.
Dipiro, J.T., Barbara, G.W., Schwinghammer, T.L. 2008. Pharmacotherapy Handbook
Seventh Edition, Mc Graw Hill Companies.
Edward, J. 2011. National Center for Health Statistics.Atlanta : Office of
InformationServices.
Faza. 2010. Intensive Care Unit (ICU). Semarang: IT Dept. RSI Sultan Agung.
21
Feigin, V. 2006. Stroke. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Popular
George, J.H. 1997. Biophysical Mechanism of Stroke. Stroke A Journal of Circulation/ Vol
28. No.9.
Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes : Neurologi, edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga
Gilroy J. 2000.Cerebrovascular Disease.In Basic neurology.3th ed.International edition.
New York : Mc Graw Hill.
Gunawan & Sulistia G. 2007. Farmakologi dan Terapi.edisi V. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik UI
Gofir, A. 2009.Manajemen Stroke; Evidence Base medicine.Pustaka Cendekia
Press.Yogyakarta.
Harkness, R. 1989. Interaksi Obat. Bandung: Penerbit ITB
Harsono, DSS. 2007. Gambaran Umum tentang Gangguan Peredaran Darah Otak: Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: Penerbit PT
ISFI
Jerri. 2011. Drug Related Problems pada pasien rawat inap stroke iskemikruang
perawatan neurologi RSSN Bukittinggi. Universitas Andalas Padang.
Junaidi, I. 2004. Panduan praktis pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populers.
Kusumanaeni, T. 2010. Indentification of Drug Related Problem In Patien at ICU of
Persahabatan Hospital Jakarta Indonesia. The Asian Conference on Clinical
Pharmacy (ACCP), Singapore.
Lindsay, P. 2008. Canadian Best Practice Recommendations for Stroke Care: Summary. The
Canadian Stroke Strategies.
Mardjono, M. & Shidarta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Martindale. 2007. The Complete Drug Reference, 35
th
edition. United States: The
Pharmaceutical Press
Menteri Kesehatan. 2010. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU)
di Rumah Sakit. Jakarta.
22
Micheal. 2005. Curren Clinical Strategies, Medicine. San Francisco: School of Pharmacy,
University of California publishing.
Misbach, J., Jannis J., Kiemas L.S. 1999. Stroke: aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Misbach, J. 2007. Unit Stroke, Manajemen stroke secara komprehensif. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI
Morris, D.L., and Schroeder, E.B. 2000.Stroke Epidemiologi. Foundation for Education and
Research in Neurological Emergencies 1-10.
Muhlis, M. 2008. Uji Sensitifitas Bakteri Staphylococcus Aureus yang Diperoleh dari
Hapusan Faring Pasien Penderita ISPA di Poli Umum Salah Satu RSU Swasta di
Yogyakata Terhadap Antibiotika yang Biasa Digunakan.
Mutschler, E. 1999.Dinamika Obat. Edisi kelima. Bandung: Penerbit ITB
National Center For Health Statistics. 2008. Center For Disease Control and Prevention.
http://wonder.cdc.go/mortsql.html
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. 2003. Classification for Drug related
problems. The Netherlands : PCNE.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis.lembaga Studi dan Konsultasi
Farmakologi, Jawa Barat.
Putra, T.R. 2009.Hiperurisemia ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 edisi V. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Ruths S, Viktil, Blix. 2007. Classification of drug-related problems. The Journal of the
Norwegian Medical Association. Tidsskr Nor Lgeforen; 127: 3073.
Rudd, A. 2004.National clinical guidelines for stroke Second edition.Royal College of
Physicians of London.
Santrock, J.W. 2002.Life span development: International edition (8
th
ed). New York: Mc
Graw Hill.
Setiabudi, R. & Vincent, H.S. 1995.Pengantar Antimikroba. Farmakologi Dan Terapi edisi
IV. Jakarta: Penerbit FK UI
Shargel, L. & Andrew, B.C. 1985.Applied Biopharmaceutics and Pharmaco
kinetics.Appleton Century-Coofts.
23
Siregar, C. 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan.Jakarta: Penebit Buku Kedokteran
EGC
Sjahrir, H. 2003. Stroke iskemik. Medan: Penerbit Yandira Agung
Stockley, I.H. 2008.Drug Interaction, 8th edition. London: The Pharmaceutical Press
Strand, LM., PC Morley & RJ Cipolle. 1990. Drug-related Problems: Their structure and
function. DICP Ann Pharmacother.
Takrouri. 2004. The Internet Journal of Health: Intensive Care Unit. Volume 3
Number 2.Department of Anesthesia College Of Medicine King Saud University.
Trisna, Y. 2004. Idealisme farmasis klinik di rumah sakit. Pengantar Farmasi Klinik. Jakarta.
Uchino, K. 2007. Pocket Clinician: Acute Stroke Care. New York : Cambridge University
Press.
Walker, R., & Edwards, C. 2003.Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3
rd
. Edition Churchill
Livingstone. Philadelphia.
WHO. 2003. Drug and Terapeutics Committee a practical guide. USA.

You might also like