You are on page 1of 8

PENTINGNYA SILATURAHMI

UNTUK KEMANDIRIAN
BANGSA
H. Wiranto, SH.

Silaturahmi KAHMI

“Silaturahmi untuk Mewujudkan


Kemandirian Bangsa”

Jakarta, 17 Oktober 2008

“Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari)”

Pidato Bung Karno di Sidang Umum MPRS ke-III

11 April 1965

Berdiri di atas kaki sendiri secara harfiah bagaikan seorang bayi


yang sudah mulai dapat berdiri tegak tanpa bantuan siapa pun. Tatkala
kalimat ini diucapkan oleh seorang pemimpin, seorang presiden, maka
ia sarat dengan makna. Paling tidak kalimat itu merupakan pesan
moral bahwa bangsa Indonesia dari pendekatan apa pun memang
mampu mandiri.

Sumber alam yang melimpah pada garis khatulistiwa, di mana


sepanjang tahun mendapat cahaya matahari berpenduduk sangat
besar dengan budaya unggul merupakan modal yang sangat kuat
untuk berdikari. Namun, ternyata keunggulan komparatif yang
dikaruniakan kepada bangsa Indonesia ini tidak dapat kita manfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.

1|
Begitulah, apa yang dikhawatirkan oleh Bung Karno telah
menjadi kenyataan. Bangsa ini tidak lagi berdikari tatkala berhadapan
dengan era globalisasi. Era baru yang pada satu sisi memang
menawarkan peluang bagi bangsa-bangsa yang telah siap untuk tampil
sebagai pemenang. Tetapi sebaliknya, bagi bangsa yang tidak siap
merupakan malapetaka dan akan terpuruk menjadi pecundang.

Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia tidak


mungkin dapat menghindar dari globalisasi. Namun masalahnya,
ternyata kita belum benar-benar siap menghadapi era globalisasi. Kita
lalai mencermati amanat pendahulu kita. Kita tidak lagi mampu berdiri
di atas kaki sendiri. Kita terseret arus globalisasi yang meruntuhkan
sendi-sendi kehidupan bangsa.

Pertama, bidang ekonomi. Pusaran ekonomi global


meminggirkan nasionalisme. Nasionalisme seakan tidak lagi relevan. Di
masa lalu, modal terkait erat dengan rakyat. Dia memiliki tanggung
jawab sosial untuk menghidupi seluruh bangsanya. Sekarang,
privatisasi terus-menerus menyeret modal menjauh dari dimensi sosial
pada komunitas di mana sebenarnya ia tetap berada. Demi
keuntungan yang sebesar-besarnya, modal berjumlah besar dengan
cepat berlari (capital flight) ke komunitas (negara) yang diinginkannya.
Contoh, pada tahun 1997 dan seterusnya memberikan gambaran
nyata atas persoalan tersebut. Terakhir, perekonomian nasional kita
juga harus berusaha keras terhindar dari efek krisis finansial global,
gara-gara krisis ekonomi Amerika Serikat.

Kedua, bidang budaya. Globalisasi sebagai proses


deteritorialisasi telah memorak-porandakan pemahaman budaya masa
lalu yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu. Saat ini, tidak sedikit
anak muda remaja kita yang lebih suka menyaksikan pertunjukan
musik rock ketimbang wayang. Cukup banyak orang berpeci dan
berkebaya menyantap Mc Donald atau pizza tanpa ada kecanggungan

2|
lagi. Kebudayaan pun telah melepaskan diri dari keterikatannya
dengan nation-state.

Ketiga, bidang politik. Peran nation-state sulit mengungguli


kedigdayaan dominasi lembaga-lembaga internasional. Nation-state
hanya berperan sebagai subordinatnya saja. Globalisasi telah
mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang merupakan
basis bagi pembangunan sosial politik.

Kondisi Domestik

Menilik kondisi domestik, Indonesia sekarang tidak lagi menjadi


tuan di negeri sendiri, lantaran berjuta ketergantungan hidup terhadap
produk-produk asing. Lihatlah, masalah pangan yang merupakan
kebutuhan pokok rakyat pun sangat tergantung pada impor (lihat
tabel). Wajar saja, sebab negara berpenduduk terbesar nomor 4 di
dunia ini merupakan pasar konsumen yang sangat potensial. Makanya
mereka merasa perlu untuk menghabisi posisi Indonesia sebagai
negara produsen.

Tabel Prosentase Impor

terhadap Kebutuhan Nasional

No Komoditas % thd Kebutuhan Nasional


.
1 Daging Sapi 25 % (+ 600.000 ekor/th)
.

2 Gula 30 % (+ 1,3 juta ton/th)


.

3 Beras 2 % (+ 1,2 juta ton/th)


.

4 Bawang Putih 90 %
.

3|
5 Kedelai 70 % (+ 1,4 juta ton/th)
.

6 Garam 50 %
.

7 Jagung 10 %
.

8 Kacang Tanah 15 %
.

9 Susu 70 %
.

Sumber: Depkeu RI

Selain itu, sumber daya alam Indonesia sangatlah besar. Jadi,


Indonesia harus secepatnya mereka kuasai dan habisi sebelum mampu
memproteksinya. Keberadaan Freeport, Newmont, Exxon Mobile,
British Petroleum mengisyaratkan keberadaan mereka di Indonesia
sebagai pembenaran atas hipotesis tersebut.

Menurut MDGs, Indonesia ternyata masih dinilai tertinggal,


menempati kursi yang sama dengan Bangladesh, Laos, PNG, Myanmar,
dan Filipina. Sementara Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam
termasuk yang berstatus moving ahead (melesat maju).

Dalam The Failed State Index 2007 yang dikeluarkan oleh


Foreign Policy Washington DC, Indonesia menduduki peringkat 55 dari
177 negara yang berkategori failed state. Pada posisi 56 hingga 60
secara berurutan diduduki oleh Filipina, Iran, Georgia, Bolivia, dan
Guatemala.

Mengapa Bisa Demikian?

4|
Jawabannya sangat sederhana. Tatkala bangsa lain telah mampu
meredam masalah domestiknya dan berkonsentrasi pada persaingan
global dan persaingan antarnegara, kita masih berkutat dan terjebak
pada masalah internal yang tak kunjung selesai.

Waktu, energi dan potensi bangsa habis hanya untuk bertengkar


satu dengan yang lain. Kebersamaan dan rasa nasionalisme yang
diwariskan para pendahulu kita mulai terpinggirkan digantikan oleh
paham individualisme yang semakin menguat.

Kita lihat dan rasakan, demokrasi yang berkembang telah


menyimpang dari nilai-nilai hakikinya. Demokrasi sekadar menjadi
pameran dan sebatas prosedural, belum menampilkan keberadaannya
secara substansial. Di mana-mana terjadi perilaku yang
mengedepankan euforia kebebasan tanpa mengindahkan konstitusi.
Praktik kekerasan menjadi rutinitas negeri yang dulu sangat terkenal
karena toleransinya ini.

Pada kenyataannya, praktik transformasi demokrasi hanya


sebatas formal. Padahal semestinya, kultur demokratis juga harus
dibangun melalui transformasi sikap dan perilaku demokratis. Hingga
kemudian, pemahaman demokrasi tidak hanya sampai pada peraturan
semata, tapi juga pada kultur politik yang benar-benar demokratis;
sebuah kedewasaan dalam berpolitik.

Sampai di sini, kita lantas akan bertanya, upaya apa yang


sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan semua persoalan di atas?

Sumpah Pemuda dan Kebersamaan Nasional

Sebelum masuk pada solusi, terlebih dahulu saya akan


memaparkan pentingnya spirit Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh

5|
para pemuda dari seluruh Nusantara pada 28 Oktober 1928. Ketika itu,
mereka telah mampu meletakkan kepentingan nation (bangsa) di atas
kepentingan kelompok. Secara embrional, semangat nasionalisme
telah mewujud dan telah berhasil mendobrak batas-batas primordial
yang sebelumnya sangat sulit diwujudkan.

Butir-butir Sumpah Pemuda mengandung elemen-elemen


nasionalisme, tetapi dapat juga dimaknai sebagai kehendak untuk
membangun suatu negara merdeka walaupun masih secara
terselubung (embrional).

a. Butir pertama, kami putra-putri Indonesia mengaku


bertumpah darah satu, tanah air Indonesia (wadah/wilayah).
b. Butir kedua, berbangsa satu, bangsa Indonesia (isi/rakyat
berdaulat).
c. Butir ketiga, berbahasa satu, bahasa Indonesia (pengikat).
Bukankah syarat berdirinya negara adalah wilayah, rakyat yang
berdaulat, dan pemerintahan yang sah? Untuk menghindari kemarahan
pihak penjajah maka unsur terakhir, yakni pemerintahan yang sah
diganti dengan bahasa yang satu bahasa Indonesia sebagai pengikat.
Di sini kita dapati adanya kesadaran diri mengenai kemandirian,
kebebasan, kebersamaan, serta proses menemukan identitas diri
sebagai bangsa.

Pada momentum tersebut, kesadaran nasionalisme Indonesia


telah hadir. Hal yang patut digarisbawahi, kehadiran bangsa Indonesia
bukan didasarkan atas persamaan kelahiran, kesukuan, asal-usul,
keturunan, kedaerahan, ras ataupun keagamaan, tetapi atas
persamaan perasaan kebangsaan Indonesia, serta kehendak bersama
untuk hidup bersatu di tanah air Indonesia sebagai suatu bangsa yang
secara bersama-sama berjuang mencapai cita-cita kebangsaan.

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bangsa


Indonesia telah memiliki modal yang kuat dalam konteks solidaritas

6|
kebangsaan yang telah terbentuk sejak era kolonial. NKRI lahir karena
perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah, bukan
yang lain.

Pada tahun 1945, semangat nasionalisme itulah yang banyak


berperan mendorong kaum muda untuk mendesak Soekarno-Hatta
agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak
takut pada tekanan apa pun, selain menomorsatukan kemerdekaan.
Sebab, ketika itu Dwi Tunggal masih percaya bahwa Jepang akan
memberikan kemerdekaan pada Indonesia.

Musuh Bersama dan Silaturahmi

Identifikasi musuh bersama di awal abad ke-19 sangatlah jelas,


yakni penjajah Belanda. Betapa tidak? Semua kezaliman itu
terpampang jelas di pelupuk mata pada setiap sendi kehidupan. Pada
masa itu, rakyat Hindia dianggap kelas ketiga setelah masyarakat
Eropa dan Asia. Keserbakurangan merajalela hingga tak ayal,
kehidupan kala itu sangat mirip perbudakan dan jauh dari
kemartabatan. Sejarah kelam yang akan selalu kita kenang sebagai
pemantik kebersamaan nasional kita.

Setelah seabad, musuh bersama itu bukan lagi penjajah Belanda.


Sebagian kalangan menganggap, tak ada lagi musuh bersama yang
perlu dihadapi. Mereka mengira, setelah kemerdekaan didapat secara
formal, hidup bangsa ini telah jauh lebih baik. Sebagian kalangan yang
lain berusaha menafsirkan musuh bersama itu dalam sosok yang
berbeda. Mereka yakin, setelah penjajahan konvensional berakhir
masih banyak musuh bersama yang tetap harus dienyahkan dari
republik. Dan mereka mengidentifikasi musuh bersama itu sebagai
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Hingga hari ini, meski NKRI telah berdiri tegak, persoalan


kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan belumlah usai. Di sana-
sini dapat dilihat kasat mata semua kekurangan tersebut. Jumlah

7|
masyarakat miskin masih banyak. Tingkat kecerdasan bangsa ini
cenderung rendah sehingga sulit untuk bersaing dengan bangsa lain.
Maka wajar bila kemudian negeri ini menjadi terbelakang. Artinya,
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan saling terkait dan saling
berpengaruh.

Untuk itu, musuh bersama hari ini sangatlah jelas. Musuh


bersama itu bukan lagi penjajahan konvensional, tapi berupa
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Seabad kebangkitan
nasional adalah momentum yang tepat untuk mengetengahkan hal
tersebut menjadi agenda penting, setelah para penjajah hengkang dari
persada Nusantara. Perjuangan fisik dengan senjata akan berganti
dengan kerja keras dan komitmen membangun yang kuat.

Sementara itu, musuh bersama dapat dihalau dengan


memperkuat tali silaturahmi sebagai sesama anak bangsa. Para pendiri
bangsa (the founding fathers) Indonesia amat menyadari pentingnya
kebersamaan sebagai bangsa. Upaya mereka dalam menegaskan
eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) terbingkai
dalam suatu pandangan (falsafah) dasar, Pancasila. Pancasila sebagai
dasar negara merupakan suatu rumusan yang mengakomodasi realitas
pluralisme bangsa (Bhinneka Tunggal Ika).

Dengan silaturahmi, ukhuwah dapat terjaga dan soliditas


gerakan semakin kuat. Setelah hal ini tercapai, persoalan sebesar apa
pun akan dapat terselesaikan. Semoga Allah Swt. meridhai semua
ikhtiar kita, dan Indonesia akan menjadi bangsa yang sejahtera dan
bermartabat.

8|

You might also like