You are on page 1of 39

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit ini disebabkan oleh infestasi satu atau dua cacing jenis filaria yaitu
Wucheria bancrofri atau brugia malayi. Cacing filaria ini termasuk famili
Filaridae yang bentuknya langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran
darah, limfe, otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada vertebra. Cacing bentuk
dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan limfe pasien.
Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan
penularan parasit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes pelantara, dan
manusia atau hewan kera dan anjing sebagai hospes definitif. Periodisitas
beradanya mikrofilaria di dalam darah tepi bergantung pada spesies. Periodisitas
tersebut menunjukkan adanya filaria di dalam darah tepi sehingga mudah
terdeteksi.
Mikrofilaria W. bancrofti ditemukan umumnya pada malam hari terutama
belahan bumi bagian selatan termasuk Indonesia, sedangkan di daerah Pasifik
ditemukan siang dan malam. Sedangkan mikrofilaria B. malayi mempunyai
periodisistas nokturnal. Sebab timbulnya periodisitas ini belum diketahui.
Mungkin dipengaruhi oleh tekanan zat asam dalam kapiler paru atau lingkaran
hidup cacing filaria.
Prevalensi mikrofilaria meningkat bersamaan dengan umur pada anak-anak
dan meningkat antara umur 20-30 tahun, pada saat usia pertumbuhan, serta lebih
tinggi pada laki-laki dibanding wanita. Lingkaran hidup filaria meliputi:
pengisapan mikrofilaria dari darah atau jaringan oleh serangga penghisap darah;
Metamorfosis mikrofilaria di dalam hospes perantara serangga, dimana mula-mula
membentuk larva filariform yang aktif; penularan larva infektif ke dalam kulit
hospes baru, melalui probosis serangga yang menggigit, dan kemudian
pertumbuhan larva setelah masuk ke dalam luka gigitan sehingga menjadi cacing
dewasa. Kekebalan alami atau yang didapat pada manusia terhadap infeksi filaria
belum diketahui banyak. Cacing filaria mempunyai antigen yang spesifik untuk
spesies dan spesifik untuk kelompok (group spesific); memberi reaksi silang
antara berbagai spesies dan nematoda lainnya.
2


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus
pembahasan dalam makalah ini yaitu tentang laporan pendahuluan dan asuhan
keperawatan teori klien dengan penyakit filiariasis.

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar para pembaca dan mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui
tentang laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan teori klien dengan penyakit
filiariasis.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang laporan pendahuluan filiariasis.
2. Mengetahui tentang asuhan keperawatan teori klien dengan penyakit
filiariasis.

1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu bagi para pembaca selain dapat
memberikan tambahan pengetahuan juga agar pembaca dapat lebih memahami
tentang laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan teori klien dengan penyakit
filiariasis. Selain itu, bagi mahasiswa Prodi S1 Keperawatan khususnya dapat
dijadikan sebagai dasar atau pedoman dalam memberikan pembelajaran yang
sesuai sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai.

1.5 Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis
menggunakan metode observasi dan kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang
dipergunakan pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.5.1 Studi Pustaka
Pada metode ini, penulis membaca buku referensi yang berhubungan
dengan penulisan makalah ini.

3


1.5.2 Internet
Dalam metode ini penulis mencari informasi dari internet dan situs-situs
yang relevan dan realistis.


4
BAB 2
KAJIAN TEORI

2.1 Laporan Pendahuluan Filiariasis
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi
1) Timus
Kelenjar timus terletak di belakang tulang dada. Pada masa anak-anak
bentuknya sangat besar dan akan mengkerut menjadi seperempatnya dari bentuk
aslinya pada masa pubertas. Kelenjar ini mengatur daya tahan tubuh terhadap
penyakit. Pada orang dewasa sel T dibentuk dalam sumsum tulang akan tetapi
proliferasi dan diferensiasi terjadi dalam kelenjar timus. 90-95% dari seluruh sel
timus akan mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan timus
masuk ke dalam sirkulasi darah. Hormon timosin dapat ditemukan dalam
peredaran darah dan dapt berperan terhadap diferensiasi sel T di perifer.
Menurut pengamatan biologis, timus tampak seperti organ biasa tanpa
suatu fungsi khusus. Namun demikian, jika dikaji secara rinci, pekerjaannya
sangatlah menakjubkan. Di dalam timuslah limfosit mendapat semacam pelatihan.
Pelatihan berupa transfer informasi, yang dapat dilaksanakan terhadap makhluk
hidup yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu. Jadi ada suatu poin penting yang
perlu disebutkan di sini. Yang memberikan pelatihan adalah segumpal daging,
yaitu timus, dan yang menerimanya adalah suatu sel yang amat kecil. Menurut
analisis terakhir, keduanya adalah makhluk hidup yang tidak memiliki kesadaran
akan hal ini (Yahya, Harun, 2011).
Di akhir, limfosit dilengkapi dengan kumpulan informasi yang sangat
penting. Mereka mempelajari cara mengenali karakteristik khusus sel tubuh.
Dapat dikatakan bahwa limfosit diajarkan mengenai identitas sel-sel di dalam
tubuh. Terakhir, sel-sel limfosit meninggalkan timus dengan bermuatan informasi.
Dengan demikian, ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang
sel-sel yang identitasnya pernah diajarkan, melainkan hanya menyerang dan
membinasakan sel-sel lainnya yang bersifat asing. Selama bertahun-tahun timus
dianggap sebagai organ vestigial atau organ yang belum berkembang sempurna
dan oleh para ilmuwan evolusionis dimanfaatkan sebagai bukti evolusi. Namun
demikian, pada tahun-tahun belakangan ini, telah terungkap bahwa organ ini
5


merupakan sumber dari sistem pertahanan kita. Setelah hal ini dipahami, para
evolusionis itu beralih mengemukakan teori yang sangat berlawanan mengenai
organ yang sama. Mereka mengklaim bahwa timus tidak eksis sebelumnya, dan
berasal dari evolusi yang bertahap. Mereka masih tetap mengatakan bahwa timus
terbentuk melalui periode evolusi yang lebih panjang dibanding banyak organ
lainnya. Akan tetapi, tanpa timus, atau tanpa timus yang telah tumbuh dan
berkembang sempurna, sel-sel T tidak akan pernah belajar mengenali musuh, dan
sistem pertahanan tidak akan berfungsi. Seseorang tanpa sistem pertahanan tidak
akan hidup
2) Sumsum tulang
Di dalam sumsum tulang semua sel darah berasal dari satu jenis sel yang
disebut sel induk. Jika sel induk membelah yang pertama kali dibentuk adalah sel
darah merah yang belun matang dan sel darah putih atau sel yang membentuk
trombosit. Kemudian jika sel imatur membelah akan menjadi matang dan pada
akhirnya menjadi sel darh merah, sel darah putih atau trombosit. Kecepatan
pembentukan sel darah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jika
kandungan oksigen dalam jaringan tubuh atau jumlah sel darah merah berkurang
ginjal akan menghasilkan dan melepaskan eritropoetin. Sumsum tulang
memebentuk dan melepaskan lebih banyak sel darah putih sebagai respon
terhadap infeksi dan lebih banyak sel darah merah, secara normal sumsum tulang
akan memberikan respon dengan membentuk lebih banyak retikulosit (Radji,
Maksum, 2010).
3) Limpa
Unsur menakjubkan lainnya dari sistem pertahanan kita adalah limpa.
Limpa terdiri dari dua bagian: pulp merah dan pulp putih. Limfosit yang baru
dibuat di pulp putih mula-mula dipindahkan ke pulp merah, lalu mengikuti aliran
darah. Kajian saksama mengenai tugas yang dilaksanakan organ berwarna merah
tua di bagian atas abdomen ini menying-kapkan gambaran luar biasa. Fungsinya
yang sangat sulit dan rumitlah yang membuatnya sangat menakjubkan.
Limpa mengandung sejumlah besar makrofag (sel pembersih). Makrofag
menelan dan mencernakan sel darah merah dan sel darah lainnya yang rusak dan
tua, serta bahan-bahan lain yang dibawa darah ke limpa. Ada satu sistem daur
6


ulang kimiawi yang sangat penting di sini. Sel makrofag di dalam limpa
mengubah protein hemoglobin, yang ditemukan dalam komposisi sel darah merah
yang ditelannya, menjadi bilirubin, yaitu pigmen empedu. Kemudian bilirubin ini
dikeluarkan ke sirkulasi vena dan dikirim ke hati. Dalam bentuk ini ia dapat saja
dikeluarkan dari tubuh bersama-sama empedu. Akan tetapi, molekul besi dalam
bilirubin yang akan dibuang ini merupakan bahan langka yang sangat berharga
untuk tubuh. Oleh karena itu zat besi ini diserap kembali di bagian tertentu usus
halus. Dari sana, zat besi ini mula-mula menuju ke hati lalu ke sumsum tulang. Di
sini, tujuannya adalah untuk membuang bilirubin yang merupakan bahan
berbahaya, sekaligus untuk memperoleh kembali zat besi
Keterampilan limpa tidak hanya itu. Limpa menyimpan sejumlah tertentu
sel darah (sel darah merah dan trombosit). Kata "menyimpan" mungkin
menimbulkan kesan seakan ada ruang terpisah dalam limpa yang dapat dijadikan
tempat penyimpanan. Padahal limpa adalah organ kecil yang tak memiliki tempat
untuk sebuah gudang. Dalam kasus ini limpa mengembang supaya ada tempat
tersedia untuk sel darah merah dan trombosit. Limpa yang mengembang
disebabkan oleh suatu penyakit juga memungkinkan memiliki ruang penyimpanan
yang lebih besar.
Saat terjadi infeksi yang disebabkan oleh mikroba atau ada penyakit
lainnya, maka tubuh menyiapkan serangan bela diri dari musuh, men-dorong sel-
sel prajurit untuk menggandakan diri. Pada saat-saat seperti ini limpa menambah
produksi limfosit dan makrofag. Jadi, limpa juga berpartisipasi dalam "operasi
darurat" yang dilancarkan saat penyakit akan membahayakan tubuh
4) Nodus getah bening: limfa
Dalam tubuh manusia ada semacam angkatan kepolisian dan organisasi
intel kepolisian yang tersebar di seluruh tubuh. Pada sistem ini terdapat juga
kantor-kantor polisi dengan polisi penjaga, yang juga dapat menyiapkan polisi
baru jika diperlukan. Sistem ini adalah sistem limfatik dan kantor-kantor polisi
adalah nodus limfa. Polisi dalam sistem ini adalah limfosit.
Sistem limfatik ini merupakan suatu keajaiban yang bekerja untuk
kemanfaatan bagi umat manusia. Sistem ini terdiri atas pembuluh limfa-tik yang
terdifusi di seluruh tubuh, nodus limfa yang terdapat di beberapa tempat tertentu
7


pada pembuluh limfatik, limfosit yang diproduksi oleh nodus limfa dan berpatroli
di sepanjang pembuluh limfatik, serta cairan getah bening tempat limfosit
berenang di dalamnya, yang bersirkulasi dalam pembuluh limfatik
Cara kerja sistem ini adalah sebagai berikut: Cairan getah bening dalam
pembuluh limfatik menyebar di seluruh tubuh dan berkontak dengan jaringan
yang berada di sekitar pembuluh limfatik kapiler. Cairan getah bening yang
kembali ke pembuluh limfatik sesaat setelah melakukan kontak ini membawa
serta informasi mengenai jaringan tadi. Infor-masi ini diteruskan ke nodus limfatik
terdekat pada pembuluh limfatik. Jika pada jaringan mulai merebak permusuhan,
pengetahuan ini akan diteruskan ke nodus limfa melalui cairan getah bening
Sistem limfatik tersusun atas serangkaian pembuluh yang menyebar
keseluruh tubuh. Pembuluh tersebut bermula dari kapiler limfa yang mengalirkan
plasma tak terabsorbsi dari rongga jaringan. Kemudian bergabung menjadi
pembuluh limfa, yang pada gilirannya melintasi nodus limfa dan akhirnya
mengosongkan diri ke duktus torasikus besar dan bergabung dengan vena
jugularis disisi kiri leher. Limfa adalah cairan yang terdapat dalam pembuluh
limfaaliran limfa tergantung pada kontraksi intrinsik pembuluh limfa, kontraksi
otot, gerakan respirasi dan gravitasi
Kelenjar limfe berbentuk bulat lonjong dengan ukuran kira-kira 10-15 mm.
Kelenjar limfe yang disebut juga getah bening merupakan cairan dengan susunan
lisis hampir sama dengan plasma darah dan cairan jaringan. Perbedaannya adalah
dalam cairan limfe banyak mengandung sel limfosit, tidak mengandung CO2,
mengandung sedikit O2. cairan limfe ini berasal dari cairan jaringan yang masuk
melalui proses filtrasi ke dalam saluran kapiler limfe dan seterusnya akan masuk
kedalam sistem peredaran darah melalui vena. Fungsi kelenjar limfe adalah
menaring cairan limfe dari bahan-bahan asing, pembentukan limfosit, membentuk
antibodi dan menghancurkan mikro-organisme
5) Pembuluh limfe
Darah yang meninggalkan jantung melalui arteri dan dikembalikan melalui
vena dan sebagian meninggalkan sirkulasi dikembalikan melalui saluran limfe ke
dalam ruang-ruang jarinagn. Susunan pembuluh limfe disebut juag susunan
tengah karena merupakan saluran antara darah dan jaringan dimana terdapat zat-
8


zat koloid. Garam elektrolit tidak dapat masuk kedalam kapiler darah akan tetapi
masuk melalui kapiler-kapiler saluran limfe. Struktur limfe serupa dengan vena
kecil akan tetapi lebih banyak katup. Pembuluh kapiler limfe yang terkecil, lebih
besar daripada pembuluh kapiler darah dan terdiri dari selapis endotelium
Pembuluh limfe mempunyai dua batang saluran yang sama yaitu: duktus
torasikus atau duktus limfatikus sinistra. Duktus torasikus ini merupakan
kumpulan pembuluh limfe yang berasal dari kepala kiri, leher kiri, dada sebelah
kiri, bagian perut anggota gerak bagian bawah dan alat-alat dalam rongga perut.
Dan duktus limfatikus dekstra, menerima limfe dari pembuluh limfe yang berasal
dari kepala kanan, leher kanan, dada kanan dan lengan sebelah kanan yang
bermuara pada vena kava subklavia dektra. Fungsi pembuluh limfe adalah
mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah.
Menyaring dan menghancurkan mikroorganisme dan menghasilkan antibodi.
2.1.2 Epidemiologi
(Marwali Harahap, 2000) Penyakit ini sering ditemukan di negara tropik
dan subtropik, seperti Afrika, India, Cina Selatan, Jepang, Samoa, dan Taiwan. Di
Malaya, Srilanka, Cina, dan Korea penyebab filiariasis adalah Brugia Malayi dan
Brugia Timori. Di Indonesia pada umumnya penyakit ini ditemukan di wilayah
Indonesia Timur dan di tempat tersebut mikrofiliaria bersifat subperiodik
nokturna. Ada dua sikulus hidup cacing filiaria yaitu:
1. Siklus ekstrinsik (cacing dalam tubuh vektor, yaitu nyamuk).
Di dalam tubuh vektor/nyamuk, larva tidak memperbanyak diri tapi,
bermigrasi dari lambung ke rongga abdomen kemudian ke kepala serta alat
tusuk nyamuk.
2. Siklus intrinsik (cacing dalam tubuh penderita).
Melalui tusukan pada kulit, cacing terdapat dalam tubuh penderita mengikuti
saluran limfe. Tempat yang disukai adalah kelenjar getah bening panggul dan
pangkal paha.
2.1.3 Definisi
(Marwali Harahap, 2000) Elephantiasis tropikal, Filiarosis, Bancrofits
fifliariasis, Malayan filiariasis, Elefantiasis arabum. Filiariasis adalah penyakit
yang selalu terdapat di daerah tropis yang disebabkan oleh infestasi cacing filiaria.
9


Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk-nyamuk antroprofilik, pada umumnya
dari genus culex, aedes, mansonia dan anopheles. Filiariasis menyerang sistem
kelenjar dan getah bening.
Di Indonesia filariasis yang sering dikenal sebagai penyakit kaki gajah
disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu brugia malayi, Wuchereria
bancrofi dan Brugia timori. Cacing dewasa hidup di dalam saluran limfe dan
pembuluh limfe, sedangkan larva cacing (mikrofilaria) dijumpai di dalam darah
tepi penderita. Brugia timori belum banyak diketahui morfologi, sifat biologi,
maupun epidemologi penyakitnya (Soedarto, 2009).
Filariasis disebabkan oleh cacing filaria yang merupakan nematoda dan
tinggal di jaringan subkutan dan pembuluh limfatik manusia. Siklus hidupnya
melibatkan serangga yang membawa larva infektif (Mandal, 2006).
Isilah filariasis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh berbagai
jenis nematoda dari keluarga Filarioidea. Namun istilah ini hanya digunakan
untuk filaria yang hidup dalam kelenjar limfe (Chin, James 2006).

Gambar 1. Klien dengan Filariasis
2.1.4 Etiologi
(Marwali Harahap, 2000) Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi, dan
Brugia timori.
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial: Wuchereria
Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup
dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. infeksi
cacing ini menyerang jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili
10


Filaroidea, family onchorcercidae. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah
bening manusia selama 4 - 6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa
betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah
terutama malam hari.

Gambar 2 Cacing Filaria
Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Nyamuk merupakan vektor filariasis di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang
diketahui bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia, culex, anopheles, aedes
dan armigeres. W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus; W.
bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres; B. malayi: mansonia spp,
an.barbirostris; B. timori: an. barbirostris. Mikrofilaria mempunyai periodisitas
tertentu tergantung dari spesies dan tipenya.Di Indonesia semuanya nokturna
kecuali type non periodic Secara umum daur hidup ketiga spesies sama Tersebar
luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya. (got,
sawah, rawa, hutan)
Ciri-ciri cacing dewasa atau makrofilaria yaitu:
1) Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam sisitem limfe;
2) Ukuran 55 100 mm x 0,16 mm; cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm
3) Berkembang secara ovovivipar mikrofilaria
4) Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan ribu
5) Mempunyai sarung. 200 600 X 8 um
6) Faktor yang mempengaruhi: lingkungan fisik (iklim, geografis, air dan lainnnya);
lingkungan biologik (lingkungan hayati yang mempengaruhi penularan; hutan,
11


reservoir, vector); lingkungan socialekonomi budaya (pengetahuan, sikap dan
perilaku, adat istiadat, kebiasaan dsb); dan ekonomi (cara bertani, mencari rotan,
getah, dsb).
2.1.5 Klasifikasi
(Tambayong, Jan, 2000) Nematoda yang penting adalah Wuchereria
bancrofi, Brugia malayi, dan Brugia timori. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan dipastikan dengan menemukan mikrofiliaria di dalam darah,
cairan hidrokel atau cairan chyluria.
1) Wuchereria bancrofti
Nama penyakit yang disebabkan oleh parasit ini adalah filiariasis
(Wuchereriasis) Bancrofti.
Lingkaran Hidup
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Hospes defintif adalah hanya manusia. Penularan penyakit ini melalui vektor
nyamuk yang sesuai. Cacing bentuk dewasa tinggal di pembuluh limfe dan
mikrofilaria terdapat di pembuluh darah dan limfe. Pada manusia W. bancrofti
dapat hidup selama kira-kira 5 tahun. Sesudah menembus kulit melalui gigitan
nyamuk, larva meneruskan perjalanan ke pembuluh dan kelenjar limfe tempat
mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu tahun. Cacing dewasa ini sering
menimbulkan varises saluran limfe anggota kaki bagian bawah, kelanjar ari-ari
dan epididimis pada laki-laki serta kelenjar labium pada wanita. Mikrofilaria
kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus dinding pembuluh limfe
menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau terbawa oleh saluran limfe
kedalam aliran darah.
(Tambayong, Jan, 2000) Hidup di saluran dan kelenjar limfe, bentuk halus
mirip benang, berwarna putih susu. Cacing betina panjangnya 40 x 0,1 mm.
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria, yang hidup di darah dan terdapat di
aliran darah tepi pada waktu tertentu (periodisitas). W. bancrofti berperiodisitas
nokturna, artinya mikrofilaria, terdapat di kapiler alat-alat dalam (paru, jantung,
ginjal, dsb). Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk culex
quinguefasciatus. Di pedesaan vektornya adalah nyamuk Anopheles atau Aedes.
Biasanya ini ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini
12


memerlukan waktu sangat panjang (> 7 bulan). Masa pertumbuhan parasit di
dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu. Bentuk infektif wuchereriasis adalah larva
stadium III pada nyamuk. Bila larva ini masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh
manusia, maka ia bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes,
larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV,
V dan dewasa.
Patologi
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah bening
akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria.
Cacing dewasa hidup dipembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah
bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan
dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinifil, dan makrofag di dalam dan
sekitar pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan
proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya
sistem limfatik dan kerusakan atau inkompensasi katup pembuluh getah bening.
Limfedema dan perubahan kronik akibat filiariasis ini disebabkan oleh efek
langsung dari cacing ini dan oleh respons penjamu terhadap parasit. Respons imun
ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan proliferasi yang
menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening. Diduga bahwa pembuluh-
pembuluh tersebut tetap paten selama cacing tetap hidup dan bahwa kematian
cacing tersebut menyebabkan reaksi granulomatosa dan fibrosis. Dengan
demikian terjadilah obstruksi limfatik dan penurunan fungsi limfatik.
Gejala Klinis
(Tambayong, Jan, 2000) Dapat dibagi dalam dua kelompok; yang
disebabkan oleh cacing dewasa menimbulkan limfadenitis dan limfangitis dalam
stadium akut, disusul obstruksi menahun 10-15 tahun kemudian. Perjalanan
penyakit filiariasis limfatik dapat dibagi dalam beberapa stadium; stadium
mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut, dan stadium menahun. Ketiga
stadium tersebut saling tumpang tindih, tanpa batas nyata. Stadium akut ditandai
gejala peradangan pada saluran dan kelejar limfe (limfangitis dan limfadenitis).
Gejala ini hilang timbul beberapa kali dalam setahun, dan berlangsung beberapa
13


hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Yang paling sering dijumpai adalah
peradangan pada sistem limfatik kelamin pria (fenikulitis, epididimitis, dan
orchitis). Saluran sperma yang meradang, membengkak menyerupai tali dan
sangat nyeri pada perabaan. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling
sering dijumpai adalah; hidrokel; kadang-kadang limfedema dan elefantisiasis
yang dapat mengenai seluruh tungkai; seluruh lengan; buah zakar, payudara, dan
vulva. Kadang-kadang timbul chyluria.
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, sedangkan bila sudah lanjut akan
menimbulkan gekala obstruktif. Mikrofiliaria yang tampak akan dalam darah pada
stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti limfangitis,
limfadenitis, funikulitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah diam di daerah
endemik. Gejala peradangan tersebut sering timbul setelah bekerja berat dan dapat
berlangsung antara beberapa hari hingga beberapa minggu (2-3 minggu). Gejala
dari limfadenitis adalah nyeri lokal, keras di daerah kelenjar limfe yang terkena
dam biasanya disertai demam, sakit kepala dan badan, muntah-muntah, lesu, dan
tidak nafsu makan. Stadium akut ini lambat laun akan beralih ke stadium menahun
dengan gejala-gejala hidrokel, kiluria, limfedema, dan elphantiasis.
Karena filiariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka
ia dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda. Reaksi pada manusia
terhadap infeksi filaria berbeda-beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan
pasti, sehingga seringkali kita membaginya atas dasar akibat infeksi filaria yaitu
bentuk tanpa gejala, filiariasis dengan peradangan dan filiariasis dengan
penyumbatan.
a) Bentuk tanpa gejala.
Umumnya di daerah endemik, pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan
pembesaran kelenjar limfe terutama di daerah inguinal. Pada pemeriksaan darah
ditemukan mikrofilaria dalam jumlah besar disertai adanya easinofilia. Pada
waktu cacing dewasa mati, mikrofilaria menghilang tanpa pasien menyadari
adanya infeksi.

14


b) Filariasis dengan peradangan
Manifestasi terakhir yang biasanya terlihat di awal infeksi pada mereka
dengan infeksi primer adalah limfangitis. Limfangitis terjadi di sekitar larva dan
cacing dewasa muda yang sedang berkembang, mengakibatkan inflamasi eosinofil
akut. Infeksi ini berdasarkan fenomena alergik terhadap metabolisme cacing
dewasa yang hidup atau mati, atau sekunder, infeksi oleh streptococcus dan
jamur. Demam, menggigil, sakit kepala, muntah dan kelemahan menyertai
serangan tadi, dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan
yang terutama terkena adalah saluran limfe ketiak, tungkai, epitrochlear dan alat
genital. Pada orang laki-laki umumnya terdapat funikulitis disertai dengan
penebalan dan rasa nyeri, epididimitis, orkitis dan pembengkakan skrotum.
Demam pada filaria terjadi karena adanya inflamasi yang berawal dari kelenjar
getah bening (biasanya KGB inguinal) dengan perluasan retrograd ke bawah
aliran getah bening dan disertai edema dingin. Di sini, inflamasi tampaknya
diperantarai oleh imun dan kadang (10-20% kasus) beberapa episode inflamasi
diawali dengan infeksi kulit. Salah satu kepustakaan menyebutkan bahwa demam
yang murni ditimbulkan oleh filaria jarang terjadi. Demam yang sering terjadi
akibat adanya infeksi sekunder oleh bakteri. Gejalanya biasanya demam tinggi,
menggigil, mialgia, dan sakit kepala. Juga timbul plak edematosa yang mudah
dibedakan dengan jaringan sehat disekitarnya. Biasanya disertai dengan vesikel,
ulkus dan hiperpigmentasi. Pada filaria juga dapat timbul ulkus. Namun ulkusnya
steril dan mengeluarkan cairan serosan guineois. Kadang disertai dengan riwayat
trauma, terkena api, radiasi, digigit serangga, dan juga terkena bahan kimia.
Serangan akut ini dapat terjadi selama satu bulan atau lebih.
Pengobatandengan berbagao antibiotik tidak memberikan hasil. Bila keadaannya
berat dapat menyebabkan abses pelvis ginjal, pembengkakan epididimis, jaringan
retroperitoneal, kelenjar ari-ari dan otot iliopsoas. Hal ini dapat terjadi karena
cacing yang mati mengalami degenerasi. Abses ini steril, tetapi dapat
mengandung bakteri piogen. Reaksi ini bersifat setempat dan alergi umum yang
menyebabkan pertumbuhan jaringan pengikat yang berlebihan. Yang menahun
akan menimbulkan penyumbatan saluran limfe disertai serangan limfangitis yang
berulang-ulang dan kadang-kadang disertai dengan elephantiasis. Pemeriksaan
15


darah dalam hal ini biasanya menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia sebesar
6-26%.
Salah satu gejala lain yang kadang timbul pada filariasis adalah hematuria.
Sekitar 40% pasien dengan mikrofilaremia terdapat hematuria dan proteinuria
yang menunjukkan adanya kerusakan ginjal derajat rendah. Hematuria yang
terjadi dapat makroskopik, namun lebih sering mikroskopik dan ditemukan pada
saat dilakukan pemeriksaan urin rutin. Kelainan ginjal ini mungkin disebabkan
oleh adanya mikrofiliaria yang beredar dalam darah dibandingkan dengan adanya
cacing dewasa. Hal ini ditunjukkan dengan perbaikan dari fungsi ginjal bila
mikrofilaria hilang dari peredaran darah. Fenomena lain yang dapat terjadi pada
filaria adalah suatu keadaan yang disebut sebagai tropical pulmonary
eosinophilia. Hal ini disebabkan oleh respons berlebihan imunologik terhadap
infeksi filaria. Sindrom ini ditandai dengan kadar eosinofil darah tepi yang sangat
tinggi, gejala mirip asma, penyakit paru restriktif (dan kadang obstruktif), kadar
antibodi spesifik antimalaria sangat tinggi, respons pengobatan yang baik dengan
terapi antimalaria (DEC). Angka kejadian sindrom ini rendah (<1% dari seluruh
kasus filaria), namun hal ini merupakan keadaan berat yang dapat mengakibatkan
fibrosis interstisial kronik dan gagal nafas.
c) Filariasis dengan penyumbatan
Dalam stadium yang menahun ini dapat terjadi jaringan granulasi yang
proliferatif serta terbentuk varises saluran limfe merangsang pembentukan
jaringan ikat dan kolagen. Sedikit demi sedikit setelah bertahun-tahun bagian yang
membesar menjadi luas dan timbul elephantiasis menahun. Penyumbatan duktus
torasikus atau saluran limfe perut bagian tengah turut mempengaruhi skrotum dan
penis pada laki-laki dan bagian luar kelamin pada wanita. Infeksi kelenjar inguinal
dapat mempengaruhi tungkai dan bagian luar alat kelamin. Elephantiasis pada
umumnya mengenai tungkai serta alat kelamin dan menyebabkan peribahan
bentuk yang luas.
Limfadema pada filariasis bancrofi biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu: tingkat 1 edema
pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila tungkai diangkat.
16


Tingkat 1 pitting/non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (ireversibel)
bila tungkai diangkat.
Tingkat 3 edema non pitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal. Tingkat 4 edema non pitting dengan jaringan
fibrosis dan verukosa pada kulit (elephantiasis).
Hubungan antara adanya mikrofilaria menghilang setelah cacing mati. Bila
saluran limfe kandung kencing dan ginjal pecah akan timbul kiluria, sedangkan
episode berulang adenolimfangitis pada saluran limfe testis yang mengakibatkan
pecahnya tunika vaginalis akan terjadi hidrokel atau kolakel, dan bila yang pecah
saluran limfe peritoneum terjadi asites kilus. Gambaran yang sering tampak
adalah hidrokel (40-50% kasus) dan limfangitis alat kelamin. Pemeriksaan
transiluminasi biasanya positif. Cairan hidrokel ini biasanya jernih namun pada
beberapa kasus bisa keruh, juga dapat menyebabkan hidrokel. Limfangitis dan
elephantiasis ini dapat diperberat dengan infeksi sekunder oleh streptosossus
untuk kepentingan klinik.
Diagnosis
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasit dan hal ini
cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau kelenjar
getah bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat ditemukan dalam darah, cairan
hidrokel, atau kadang-kadang cairan tubuh lainnya. Cairan-cairan tersebut
diperiksa secara mikroskopik. Banyak individu terinfeksi yang tidak mengandung
mikrofilarias dalam darahnya sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan.
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia
sampai 10-30%. Di sebagian besar belahan dunia, mikrofilaria aktif pada malam
hari terutama dari jam 10 malam sampai jam 2 pagi. Namun di beberapa daerah
Asia dan Pasifik seperti timbulnya subperiodik, yaitu timbul hampir sepanjang
hari dengan periodisitas subperiodik diurnal (Infeksi Bancrofti di daerah Pasifik
Selatan, Kepulauan Andaman, dan Pulau Nikobar) puncaknya pada pagi hari dan
sore hari. Sehingga pangambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria
harus sesuai dengan puncaknya mikrofilaria aktif di dalam darah. Mikrofilaria
17


dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada yang dipulas
dengan pewarnaan Giemsa atau Wright.
Spesimen darah yang diambil lebih baik diambil dari darah kapiler
dibanding dengan darah vena. Terdapat beberapa bukti yang menyebutkan bahwa
konsentrasi mikrofilaria di daerah kapiler lebih tinggi dibandingkan dengan darah
vena. Volume darah yang digunakan untuk pulasan sekitar 50l dan jumlah
mikrofilarias yang terdapat sekitar 20 mf/ml atau lebih merupakan petunjuk
adanya mikrofilaria dalam darah. Akhir-akhir ini penggunaan mikroskopik untuk
mendeteksi mikrofilaria sudah mulai tergantikan oleh penggunaan membran
filtrasi yang dikemukakan oleh Bell tahun 1967. Keuntungan dari alat ini bahwa
sampel dapat disimpan waktu yang lama. Selain itu karena menggunakan formalin
maka dapat memfiksasi mikrofilaria dalam darah dan membuang organisme yang
tidak diinginkan seperti HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Pada episode akut,
filariasis limfatik harus dibedakan dengan tromboflebitis, infeksi, dan trauma.
Limfangitis retrograd merupakan gambaran khas yang membantu membedakan
dari limfangitis bakterial yang bersifat asendens. Pemeriksaan terhadap antigen
W. bancrofti yang bersirkulasi dapat membantu penegakan diagnosis. Dua tes
yang tersedia yakni ELISA dan ICT. Sensitivitas keduanya berkisar antara 96-
100% dan spesifik mendekati 100% tekniknya dengan menggunakan antibodi
monoklonal. Terdapat 2 jenis antibodi yang digunakan yaitu AD12 dan Og4C3.
Di Australia menunjukkan bahwa penggunaan antibodi Og4C3 sensitifitasnya
100% pada pasien dengan jumlah mikrofilaria yang tinggi namun sensitifitasnya
menurun menjadi 72-75% pada pasien dengan jumlah mikrofilaria yang rendah.
Spesifitasnya juga tinggi yaitu 99-100%. Penggunaan AD12 juga memiliki
sensitifitasnya dan 100% untuk spesifitasnya. Sayangnya, untuk pemeriksaan
antigen Brugia saat ini belum tersedia.
Pemeriksaan serologi antibodi juga telah digunakan untuk mendeteksi W.
bancrofti. Kesulitan yang sering timbul spesifitasnya yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh adanya reaksi silang dengan parasit yang lain. Selain itu hasil ini
juga tidak dapat membedakan antara infeksi sekarang dan infeksi lampau. Saat ini
telah dikembangkan pemeriksaan serologi yang spesifik untuk W. bancrofti yaitu
18


menggunakan antibodi subklas IgG4. Namun sensitifitasnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan pemeriksaan secara parasitologi lain yaitu sekitar 90-95%.
Pencitraan limfoskintigrafi dengan radionuklir pada ekstremitas
menunjukkan abnormalitas sistem limfatik, baik pada mereka yang asimtomati
mikrofilaremik dan mereka dengan manifestasi klinis. Kegunaan dari
limfoskintigrafi ini adalah: peragaan alur aliran limfe; evaluasi kecepatan aliran
limfe, kecepatan absorpsi, dari tempat injeksi, mengukur waktu akumulasi tracer
di daerah kelenjar limfe; peragaan kelenjar limfe; peragaan pusat inflamasi
dengan jaringan lunak dan kelenjar yang baru terbentuk pada proses inflamasi
menahun; menemukan kerusakan trauma saluran limfe; membedakan edema
tungkai limfe, trauma mekanik tungkai bawah; mengikuti proses perubahan
obliterasi limfe.
Pada kasus filariasis limfatik, pemeriksaan USG Dopler skrotum pada pria
dan payudara pada wanita memperlihatkan adanya cacing dewasa yang bergerak
aktif di dalam pembuluh getah bening korda spermatika hampir pada 80% pria.
Cacing dewasa hidup memberikan gambaran khas di dalam pembuluh darah,
dikenal dengan filaris dance sign. Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA W.
bancrofti sudah mulai dikembangkan. Beberapa studi menyebutkan bahwa metode
ini hampir sama bahkan lebih tinggi sensitivitasnya dibanding metode
parasitologik.
Pengobatan
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
1. Perawatan umum
Istirahat di tempat tidur pindah tempat di daerah yang dingin akan
mengurangi derajat serangan akut. Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi
sekunder dan abses. Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi
edema.
2. Pengobatan spesifik
a) Pengobatan infeksi
Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas.
Hal ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian
dosis satu kali pertahun. Pengobatan perorangan ditunjukan untuk menghancurkan
19


parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Dietilcarbamazine (DEC)
sebagai satu-satunya obat yang efektif, aman dan relatif murah. Pengobatan
dilakukan dengan pemberian DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari. Pengobatan
ini dapat diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari
per bulan (6-9 mg/kgBB/hari).
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin sangat
efektif menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh
cacing dewasa (non-makrofilarisidal), sehingga terapi tersebut tidak dapat
diharapkan menyembuhkan infeksi secara menyeluruh. Albendazol bersifat
makrofilarisidal untuk W. bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3
minggu. Namun, dari penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi
untuk mengobati individu, DEC masih digunakan.
Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat
farmakologis, tergantung dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi
filariasis maupun tidak. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi
terhadap kematian parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obatnya tapi pada
jumlah parasit dalam tubuh hospes.
Ada 2 jenis reaksi: reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit
kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah,
hematuria transien, reaksi alergi, muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi
karena kematian filaria dengan cepat dapat menginduksi banyak antigen sehingga
merangsang sistem imun dan dengan demikian menginduksi berbagai reaksi
sistemik jarang terjadi dan tidak terlalu hebat pada dosis kedua dan seterusnya.
Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya; reaksi lokal dengan atau tanpa demam,
berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien limfedema, Hidrokel, funikulitis, dan
epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama
sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan. Reaksi lokal
cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis; berhubungan
dengan keberadaan cacing dewasa atau larva stadium IV dalam tubuh hospes.
Efek samping pada pemberian ivermektin, patogenesis yang sama dengan pada
20


pemberian DEC, hanya lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibandingkan
filariasis bankrofti.
b) Pengobatan penyakit.
Hidrokel besar yang tidak mengalami regresi spontan sesudah terapi
adekuat harus dioperasi dengan tujuan drainase cairan dan pembebasan tunika
vaginalis yang terjebak untuk melancarkan aliran limfe. Tindakan untuk
mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi dan operasi. Aspirasi cairan
hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang kala
dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.
Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah: hidrokel
yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah; indikasi kosmetik; dan
hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pada ekstremitas yang terkena, dilakukan
pencucian dengan sabun dan air dua kali per hari, menaikkan tungkai yang terkena
pada malam hari, ekstremitas digerakkan teratur untuk melancarkan aliran,
menjaga kebersihan kuku, memakai alas kaki dan mengobati luka kecil dengan
krim antiseptik atau antibiotik.
Hal-hal di atas dapat menurunkan angka kekambuhan elefantiasis
ekstremitas dan skrotum. H.L Pincei dari Argentina mengusulkan suatu bentuk
penanganan limfedema yang multidisipliner dengan tujuan untuk memperbaiki
kualitas hidup pasien sebagai manusia seutuhnya. Tergantung dari berat atau
ringannya gambaran klinik pasien dapat dirawat jalan atau rawat inap untuk
menentukan diet yang seimbang dan terarah. Bantuan psikoterapi diperlukan
untuk memberikan pengertian dan menerima keadaan penyakit dan kelainan fisik
yang dirasakan pasien. Kemudian disusul dengan pemeriksaan dermatologik serta
kemungkinan infeksi, fisioterapi ditetapkan berdasarkan teknik kompresi untuk
drainase limfe pada kedua tungkai, yang mungkin perlu dipertahankan selama
bertahun-tahun.
Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Hampir semua usaha untuk membuat saluran linfe baru
mencapai keberhasilan yang terbatas. Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan
antara lain : Limfangioplasti; Prosedur jembatan limfe; Transposisi flap omentum;
21


Eksisi radikal dan graft kulit; Anastomosis pembuluh limfe tepi ke dalam; dan
Bedah mikrolimfatik. Untuk kiluria, diberikan terapi nutrisi rendah lemak, tinggi
protein, dengan asupan cairan tinggi dan dapat diberikan suplemen tambahan
dengan trigliserida rantai sedang (medium-chain triglycerides).
(Tambayong, Jan, 2000) Obat pilihan untuk infeksi ini adalah DEC
(dietilkarbamasin sitrat), 6 mg DEC/Kg BB/hari, selama 12 hari (dibagi dalam 3
kali pemberian). Umumnya memerlukan cure 2-3 kali. Kemungkinan efek
samping dari penggunaan obat ini adalah demam, mual, muntah. Kadang-kadang
limfadenitis/limfangitis. Efek samping ini bersifat sementara, hilang dengan
sendirinya dalam waktu 2-5 hari. Untuk mengurangi efek samping obat, DEC
diartikan dengan dosis yang lebih rendah, namun untuk waktu yang lebih lama
agar dosis totalnya sama. Atau obat diberikan seminggu sekali, sebulan sekali,
atau setahun sekali. Ini terutama pengobatan masal. Tahap yang diobati adalah
stadium mikrofilaria, stadium akut, limfedema, chyluria (kiluria), dan stadium
dini elephantiasis. Hidrokel dan elephantiasis lanjut biasanya harus ditanggulangi
dengan pembedahan. Catatan: obat DEC tidak berkhasiat untuk pencegahan.
Pencegahan
a) Pencegahan masal. Kontril penyakit pada populasi adalah melalui kontrol
vektor (nyamuk). Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya
masa hidup parasit (4-8 tahun). Baru-baru ini, khususnya dengan dikenalnya
pengobatan dosis tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat (Albendazol 400
mg dan Ivermectin 200mg/kgBB cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan
alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi. Pada
pengobatan masal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis
standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC
diberikan dengan dosis lebih rendah (6 mg/kgBB), dengan jangka waktu
pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya
dalam bentuk garam DEC 0,2-0,4 % selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat
dilakukan seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 tahun.
b) Pencegahan Individu. Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi
melalui penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.
22


c) Strategi WHO untuk Membasmi Filariasis Limfatik. Strategi Global
Programe to Eliminate Lymphatic Filariasis memiliki 2 komponen: 1).
Menghentikan penyebaran infeksi (contoh: interupsi transmisi). Untuk
interupsi transmisi, daerah endemik filaria harus diketahui, kemudian program
pengobatan masal diterapkan untuk mengobati populasi berisiko. Dibanyak
negara, program dilakukan dengan pemberian dosis tunggal 2 obat bersamaan
1 kali per tahun. Obat yang diberikan adalah Albendazole dan DEC atau
Ivermektin. Dosis ini harus diberikan selama 4-6 tahun. Alternatif lain adalah
penggunaan garam terfortifikasi dengan DEC selama 1 tahun ;2).
Meringankan beban penderita (contoh: kontrol morbiditas). Untuk mengurangi
beban akibat penyakit diperlukan edukasi untuk meningkatkan kewaspadaan
pada pasien yang mengalami infeksi. Dengan edukasi ini diharapakan pasien
akan meningkatkan higiene lokal sehingga mencegah episode inflamasi akut.
Prognosis
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari
daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama
dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
2) Filariasis Malayi
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
2009) Penyebab adalah filariasis Brugia malayi.
(Tambayong, Jan, 2000) Nama penyakit yang ditimbulkan oleh parasit ini
adalah filiariasis malayi dan filiariasis timori. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan mikrofilaria di daerah tepi.
Lingkungan Hidup
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Manusia merupakan hospes definif. Perioddisitas mikrofilaria B. Malayi adalah
periodik noktuma, subperiodik nokturna, atau nonperiodak. Periodisitas
mikrofikaria yang bersarung dan berbentuk khas ini, tidak senyata periodistas
W.bancrofti. sebagai hospes perantara adalah Mansonia, Anopheles, dan
Amigeres. Dalam tubuh mikrofilaria tumbuh menjadi larva infeksitf dalam waktu
23


6-12 hari. Ada peneliti yang menyebutkan bahwa masa pertumbuhannya di dalam
nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam
tubuh manusia dan nyamuk perkembangan parasit ini juga sama dengan
perkembangan W.bacrofti.
(Tambayong, Jan, 2000) Nama Hidup di saluran pembuluh limfe.
Bentuknya halus seperti benang, berwarna putih susu. Cacing betina
mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Periodisitasi mikrifilaria B. Malayi
dan B. timori adalah nokturna. B. malayi yang hidup pada manusia ditularkan
oleh nyamuk Mansoni. B. timori ditularkan oleh nyamuk An. Barbirostris. Masa
pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang
lebih 3 bulan.
Epidemiologi
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Penyebaran geografis parasit ini luas meliputi Srilngka, Indonesia, Filipina, India
Selatan, Asia, Tiongkok, Korea, dan sebagian kecil di Jepang. Daerah
penyebarannya terdapat daerah dataran sesuai dengan tempat hidup nyamuk
Mansonia. Nyamuk terdapat di daerah rendah dengan banyak kolam yang
bertanaman pistia (suatu tumbuhan air). Penyakit ini terdapat di luar kota bila
vektornya adalah mansonia, dan bila vektornya adalah Anopheles terdapat
didaerah kota dan sekitarnya.
Patogenesis
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Parasit seperti W.bancrofti akan menimbulkan berbeda dengan W.bancrofti dalam
hal pasien dengan gejala filariasis yaitu mempunyai jumlah mikrofilaria yang
lebih tinggi dibanding pasien yang tidak mempunyai gejala. Di Malaysia dengan
perbandingan sampai 5 kali. Filariasis malayi kha dengan adannya limfadenopati
superfisial dan dengan eosinofilia yang tinggi (7-70%).
Gejala Klinis
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Gejala klinis filariasis malayi sama dengan gejala klinis filariasis timori. Gejala
klinis kedua panyakit tersebut berbeda dengan gejala klinis filariasis bankrofti.
Stadium akutb ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran
24


dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya
mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul
setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Kadang-kadang peradangan
pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan
menimbulkan limfangitis retrograd, yang bersifat khas untuk filariasis.
Peradangan pada saluran limfe ini dapat menjalar ke daerah sekitarnya dan
menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah
biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis
dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal
paha ini, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini
merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Selain itu pembesaran
kelenjar limfe ini dapat juga dilihat sebagai tali yang memanjang merupakan salah
satu tanda lain yang penting untuk filariasis malayi.
Hal lain yang pentingdari filariasis malayi ini adalah sistem limfe alat
kelamin tidak pernah terkena, berbeda dengan filariasis bankrofti. Kecuali
kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe lain di bagian medial tungkai, diketiak, dan
di bagian medial lengan juga sering terkena. Pada filariasis brugia, elefatiasis
hanya mengenai tungkai bawah, di bawah lutut, atau kadang-kadang lengan
bawah di bawah siku. Alat kelainan dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di
daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan filariasis bankrofti.
Diagnosis
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Diagnosis pada filariasis malayi sama seperti diagnosis pada W.bancrofti. Namun
pada filariasis malayi, pemeriksaan imunologis tidak dapat dilakukan untuk
mendetekasi adanya mikrofilaria. Selain itu pemeriksaan radiologis juga jarang
dilakukan pada filariasis malayi.
(Tambayong, Jan, 2000) Nama Gejala klinis filariasis malayi sama dengan
gejala filiariasis timori. Stadium akut ditandai serangan demam dan peradangan
saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul. Limfadenitis biasanya di daerah
inguinal di satu sisi, berlangsung 2-5 hari, sembuh dengan sendirinya. Kadang-
kadang berkembang menjadi bisul dan pecah menjadi ulkus. Luka parunya
menetap seumur hidup. Pada filiaris brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah
25


terkena (berbeda denan filiariasis bancrofti). Limfedema biasanya hilang, namun
ada serangan berulang kali, lambat laun dapat menjadi elenfantisiasis (hanya
tungkai bawah, dibawah lutut).
Pengobatan
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Prinsif pengobatan pada filariasis malayi hampir sama dengan pengobatan pada
W.bancrofti. Pada filariasis malayi diberikan DEC dengan dosis 6 mg/kgBB/hati
selama 6 hari. Ada kepustakaan lain yang menyebutkan bahwa DEC diberikan
dengan dosis 5 mh/kgBB/hari selama 10 hari. Untuk pengobatan masal,
pemberian dosis standar dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan
adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40
minggu) atau garam DEC 1,2-0,4% selama 9-12 bulan. Pencegahan terhadap
vektor ini dengan cara memberantas vektor nyamuk tersebut dan menyingkirkan
tanaman Pistia stratiotes dengan Fenoxoilen 30 gram merupakan obat murah dan
memuaskan terhadap tumbuhan air ini.
(Tambayong, Jan, 2000) Nama Hingga sekarang DEC masih merupakan
obat pilihan. Dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB/hari, selama 10 hari.
Mengingat kemungkinan efek samping DEC, dianjurkan dosis yang lebih kecil
untuk waktu lebih lama. Perlu 2 sampai 3 kali pengobatan dengan DEC.
3) Filariasis Timori
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Penyebab adalah filaria tipe timori.
Epidemiologi
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Filaria tipe ini terdapat di Timor, pulau Rote, Flores, dan beberapa pulau di
sekitarnya. Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan kelenjar limfe. Vektornya
adalah Anopheles barbirostis. Mikrofilarianya menyerupai mikrofilaria Brugia
malayi, yaitu lekuk badannya patah-patah dan susunan intinya tidak teratur,
perbedaannya terletak dalam panjang kepala sama dengan 3 X lebar kepala;
ekornya mempunyai 2 inti tambahan, yang ukurannya lebih kecil daripada inti-inti
lainnya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan letak inti
tambahan B.malayi; sarungnya tidak mengambil warna pulasan Giemsa; dan
26


ukurannya lebih panjang daripada mikrofilaria Brugia malayi. Mikrofilaria
bersifat perodik nokturnal.
Gejala Klinis, Diagnosis dan Pengobatan
(Perhimpunan Dokter Penyakit Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)
Gejala klinis, diagnosis dan pengobatan filariasis timori menyerupai B.malayi.
2.1.6 Manifestasi Klinik
(Marwali Harahap, 2000) Manifestasi klinik filiariasis dibagi dalam 3
tingkatan, yaitu pertama asimtomatik, microfilaria ditemukan dalam sirkulasi,
kedua fase inflamatori yang ditandai dengan episode demam, limfangitis,
limfadenitis, edema, orchitis, epididimitis, dan funikulitis, dan ketiga tingkat
obstruksi dan ruptur limfatik, yang dapat menyebabkan hidrokel atau chylocoele
pada skrotum yang ditandai dengan kiluria (chyluria) dan asites kilus (chylous
asites).
Infeksi biasanya dimulai dengan limfangitis, orchitis, atau apididimitis
yang dapat berkembang menyerupai erysipelas (erysipelas like inflamation).
Beberapa penulis berpendapat bahwa manifestasi klinis filiariasis ini tidak
berbeda walaupun disebabkan oleh cacing filiaria yang berbeda. Namun ada yang
membagi menurt penyebabnya. Secara patofisiologi filiariasis dibagi dalam:
filiariasis klasik dengan gejala kilnis oleh cacing dewasa; dan tropical pulmonary
eosinophilia dengan gejala-gejala berupa subfebris, hiperosinofilia, limfedema,
disertai batuk paroksimal, dan sesak napas.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah beberapa tahun, fibrosis dan
obstruksi limfatik berkembang dan terjadi elephantiasis. Elephantiasis ini
disebabkan oleh kalsifikasi, fibrosis, dan obliterasi total saluran limfe dan
merupakan fase akhir filiariasis setelah terjadi peradangan berulang-ulang.
Laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi pada ujung jari I dan III, IV
diambil malam hari; pemeriksaan cairan hidrokel dan kiluria; dan pemeriksaan
untuk menemukan cacing dewasa melalui biopsi pada nodul kelenjar limfe.
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga
oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis.
Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan
27


limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari
sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke
stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi
menjadi:
a. Masa prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 37 bulan. Hanya sebagian tdari
penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok
mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat
bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik
ataupun amikrofilaremik.
b. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala
klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
2.1.7 Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan
dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran
retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema. Perubahan larva stadium 3
menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama
sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF .
Sitokin-sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi
eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga
akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang
terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi
sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi
maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan
terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan
granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang
dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur.
28


Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan
menyebabkan perjalanan yang kronis
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan terhadap antien cacing ini dengan pemeriksaan antibodi yaitu
AD12 dan Og4C3, memiliki kepekaan pemeriksaan yang cukup tinggi.
Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan untuk jenis Brugia Malayi. Pemeriksaan ini
pun mengalami kelemahan karena adamya reaksi yang dapat ditimbulkan pula
oleh parasit lainnya. Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kondisi saluran
getah bening dapat dilakukan dengan pemeriksaan nuklir berupa limfoskintigrafi
atau dengan pemeriksaaan USG Doppler.
1. Pemeriksaan klinis: tidak sensitif dan tidak spesifik untuk menentukan adanya
infeksi aktif.
2. Pemeriksaan parasitologi dengan menemukan mikrofilaria dalam sediaan
darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan darah tebal dengan
pewarnaan Giemsa, tehnik Knott, membrane filtrasi dan tes provokasi DEC.
Sensitivitas bergantung pada volume darah yang diperiksa, waktu
pengambilan dan keahlian teknisi yang memeriksanya. Pemeriksaan ini tidak
nyaman, karena pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari antara
pukul 22.00-02.00 mengingat periodisitas mikrofilaria umumnya nokturna.
Spesimen yang diperlukan 50l darah dan untuk menegakan diagnosis
diperlukan 20 mikrofilaria/ml (Mf/ml).
3. Deteksi antibodi: Peranan antibodi antifilaria subklas IgG4 pada infeksi aktif
filarial membantu dikembangkannya serodiagnostik berdasarkan antibodi
kelas ini. Pemeriksaan ini digunakan untuk pendatang yang tinggal didaerah
endemik atau pengunjung yang pulang dari daerah endemik. Pemeriksaan ini
tidak dapat membedakan infeksi parasit sebelumnya dan kini, selain itu titer
antibodi tidak menunjukkan korelasi dengan jumlah cacing dalam tubuh
penderita.
4. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi. Pemeriksaan ini memberikan
hasil yang sensitif dan spesies spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan
makroskopis. Terdapat dua cara yaitu dengan ELISA (enzyme-linked
immunosorbent) dan ICT card test (immunochromatographic). Hasil tes
29


positif menunjukkan adanya infeksi aktif dalam tubuh penderita, selain itu, tes
ini dapat digunakan juga untuk monitoring hasil pengobatan. Kekurangan
pemeriksaan ini adalah tidak sensitif untuk konfirmasi pasien yang diduga
secara klinis menderita filariasis. Tehnik ini juga hanya dapat digunakan untuk
infeksi filariasis bancrofti. Diperlukan keahlian dan laboratorium khusus
untuk tes ELISA sehingga sulit untuk di aplikasikan di lapangan. ICT adalah
tehnik imunokromatografik yang menggunakan antibodi monoklonal dan
poliklonal. Keuntungan dari ICT adalah invasif minimal (100 l), mudah
digunakan, tidak memerlukan teknisi khusus, hasil dapat langsung dibaca dan
murah. Sensitivitas ICT dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan hapus
darah tebal adalah 100% dengan spesifisitas 96.3%.
5. Deteksi parasit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Tehnik ini
digunakan untuk mendeteksi DNA W. bancrofti dan B. malayi. PCR
mempunyai sensitivitas yang tinggi yang dapat mendeteksi infeksi paten pada
semua individu yang terinfeksi, termasuk individu dengan infeksi tersembunyi
(amikrofilaremia atau individu dengan antigen +). Kekurangannya adalah
diperlukan penanganan yang sangat hati-hati untuk mencegah kontaminasi
spesimen dan hasil positif palsu. Diperlukan juga tenaga dan laboratorium
khusus selain biaya yang mahal.
6. Radiodiagnostik. Menggunakan USG pada skrotum dan kelenjar inguinal
pasien, dan akan tampak gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial
dancing worm). Pemeriksaan ini berguna terutama untuk evaluasi hasil
pengobatan. Limfosintigrafi menggunakan dextran atau albumin yang ditandai
dengan zat radioaktif yang menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik
sekalipun pada pasien dengan asimptomatik milrofilaremia
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat disebabkan dari penyakit elephantiasis
diantaranya:
a. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena
b. Elephantiasis tungkai
c. Limfedema: infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,
vulva vagina dan payudara,
30


d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pada saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalis. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang
berlebihan di antaralapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam
keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan
berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem
limfatik di sekitarnya.
e. Kiluria: kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe
oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam
saluran kemih.
2.1.10 Diagnosis
(Marwali Harahap, 2000) Diagnosis didasarkan atas anamnesis, gejala
klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Di daerah endemik diagnosis dapat dibuat
berdasarkan gambaran kinis. Diagnosis banding: limfangitis karena infeksi
bakteri; lesi di genital didiagnosis banding dengan limfo granuloma venereum;
dan elephantiasis dikaki didiagnosis banding dengan kromomikosis dan mikosis
profunda lainnya.

2.2 Asuhan Keperawatan Teori Klien dengan Penyakit Filiariasis
2.2.1 Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Cacing filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk infektif
yang mengandung larva stadium III. Gejala yang timbul berupa demam
berulang-ulang 3-5 hari, demam ini dapat hilang pada saat istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat.
b. Aktifitas / Istirahat
Gejala: Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur.
Tanda: Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktivitas
(Perubahan TD, frekuensi jantung)
c. Sirkulasi
Tanda: Perubahan TD, menurunnya volume nadi perifer, perpanjangan
pengisian kapiler.
31


d. Integritas dan Ego
Gejala: Stress berhubungan dengan perubahan fisik, mengkuatirkan
penampilan, putus asa, dan sebagainya.
Tanda: Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah.
e. Integumen
Tanda: Kering, gatal, lesi, bernanah, bengkak, turgor jelek.
f. Makanan/Cairan
Gejala: Anoreksia, permeabilitas cairan
Tanda: Turgor kulit buruk, edema.
g. Hygiene
Gejala: Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda: Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
h. Neurosensoris
Gejala: Pusing, perubahan status mental, kerusakan status indera peraba,
kelemahan otot.
Tanda: Ansietas, refleks tidak normal.
i. Nyeri / Kenyamanan
Gejala: Nyeri umum / lokal, rasa terbakar, sakit kepala.
Tanda: Bengkak, penurunan rentang gerak.
j. Keamanan
Gejala: Riwayat jatuh, panas dan perih, luka, penyakit defisiensi imun, demam
berulang, berkeringat malam.
Tanda: Perubahan integritas kulit, pelebaran kelenjar limfe.
k. Seksualitas
Gejala: Menurunnya libido
Tanda: Pembengkakan daerah skrotalis
l. Interaksi Sosial
Gejala: Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian.
Tanda: Perubahan interaksi, harga diri rendah, menarik diri.
m. Pemeriksaan diagnostik
Menggunakan sediaan darah malam, diagnosis praktis juga dapat
menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay.
32


Jika pasien sudah terdeteksi kuat telah mengalami filariasis limfatik,
penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pengerakan cacing
dewasa di tali sperma pria atau kelenjer mammae wanita.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar getah
bening.
2. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe.
3. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik.
4. Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota
tubuh.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada
kulit.

2.2.3 Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan ke -1:
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar getah
bening.
Tujuan: Suhu tubuh pasien dalam batas normal
No. Intervensi Rasional
1. Berikan kompres pada daerah
frontalis dan axial
Mempengaruhi pusat pengaturan suhu di
hipotalamus, mengurangi panas tubuh
yang mengakibatkan darah
vasokonstriksi sehingga pengeluaran
panas secara konduksi
2. Monitor vital sign, terutama
suhu tubuh
Untuk mengetahui kemungkinan
perubahan tanda-tanda vital
3. Pantau suhu lingkungan dan
modifikasi lingkungan sesuai
kebutuhan, misalnya sediakan
selimut yang tipis
Dapat membantu dalam
mempertahankan / menstabilkan suhu
tubuh pasien
4. Anjurkan kien untuk banyak Diharapkan keseimbangan cairan tubuh
33


minum air putih. dapat terpenuhi.
5. Anjurkan klien memakai
pakaian tipis dan menyerap
keringat jika panas tinggi
Dengan pakaian tipis dan menyerap
keringat maka akan mengurangi
penguapan
6. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian terapi
pengobatan (anti
piretik)
Diharapkan dapat menurunkan panas
dan mengurangi infeksi

b. Diagnosa Keperawatan ke - 2:
Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe.
Tujuan: Nyeri yang dirasakan pada pasien berkurang atau hilang
No. Intervensi Rasional
1. Berikan tindakan kenyamanan
(pijatan / atur posisi), ajarkan
teknik relaksasi

Meningkatkan relaksasi, memfokuskan
kembali perhatian dapat meningkatkan
koping.
2. Observasi nyeri (kualitas,
intensitas, durasi dan frekuensi
nyeri).
Menentukan intervensi selanjutnya
dalam mengatasi nyeri
3. Anjurkan pasien untuk
melaporkan dengan segera
apabila ada nyeri.
Nyeri berat dapat menyebabkan syok
dengan merangsang sistem syaraf
simpatis, mengakibatkan kerusakan
lanjutan
4. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian terapi
pengobatan
(obat anelgetik).
Diberikan untuk menghilangkan nyeri.




34


c. Diagnosa Keperawatan Ke-3:
Harga Diri Rendah berhubungan dengan perubahan fisik.
Tujuan:
1) Menyatakan gambaran diri lebih nyata
2) Menunjukan beberapa penerimaan diri daripada pandangan idealisme
3) Mengakui diri sebagai individu yang mempunyai tanggung jawab sendiri
No. Intervensi Rasional
1. Dengarkan keluhan pasien dan
tanggapan tanggapannya
mengenai keadaan yang
dialami
Memberi petunjuk bagi pasien dalam
memandang dirinya, adanya perubahan
peran dan kebutuhan, dan berguna untuk
memberikan informasi pada saat tahap
penerimaan
2. Perhatikan perilaku menarik
diri, menganggap diri negatif,
penggunaan penolakan atau
tidak terlalu
mempermasalahkan perubahan
actual
Mengidentifikasi tahap kehilangan /
kebutuhan intervensi.
3. Anjurkan kepada orang
terdekat untuk memperlakukan
pasien secara normal (bercerita
tentang keluarga)
Melihat pasien dalam keluarga,
mengurangi perasaan tidak berguna,
tidak berdaya, dan perasaan terisolasi
dari lingkungan dan dapat pula
memberikan kesempatan pada orang
terdekat untuk meningkatkan
kesejahteraan.
4. Terima keadaan pasien,
perlihatkan perhatian kepada
pasien sebagai individu
Membina suasana teraupetik pada pasien
untuk memulai penerimaan diri
5. Berikan informasi yang akurat.
Diskusikan pengobatan dan
prognosa dengan jujur jika
pasien sudah berada pada fase
Fokus informasi harus diberikan pada
kebutuhankebutuhan sekarang dan
segera lebih dulu, dan dimasukkan
dalam tujuan rehabilitasi jangka panjang
35


menerima
6. Kolaborasi:
Rujuk untuk berkonsultasi atau
psikoterapi sesuai dengan
indikasi. Pengenalan perasaan
tersebut diharapkan membantu
pasien untuk menerima dan
mengatasinya secara efektif.
Mungkin diperlukan sebagai tambahan
untuk menyesuaikan pada perubahan
gambaran diri.

d. Diagnosa Keperawatan ke - 4:
Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota
tubuh.
Tujuan: Menunjukkan perilaku yang mampu kembali melakukan aktivitas.
No. Intervensi Rasional
1. Lakukan Rentang Pergerakan
Sendi (RPS)
Meningkatkan kekuatan otot dan
mencegah kekakuan sendi
2. Tingkatkan tirah baring /
duduk
Meningkatkan istirahat dan ketenangan,
menyediakan energi untuk penyembuhan
3. Berikan lingkungan yang
tenang
Tirah baring lama dapat meningkatkan
kemampuan
4. Tingkatkan aktivitas sesuai
toleransi
Menetapkan kemampuan / kebutuhan
pasien dan memudahkan pilihan
intervensi
5. Evaluasi respon pasien
terhadap aktivitas
Kelelahan dan membantu keseimbangan.







36


e. Diagnosa Keperawatan ke 5:
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada
kulit.
Tujuan: Mempertahankan keutuhan kulit, lesi pada kulit dapat hilang.
No. Intervensi Rasional
1. Ubah posisi di tempat tidur
dan kursi sesering mungkin
(tiap 2 jam sekali).
Mengurangi resiko abrasi kulit dan
penurunan tekanan yang dapat
menyebabkan kerusakan aliran darah
seluler.
2. Gunakan pelindung kaki,
bantalan busa/air pada waktu
berada di tempat tidur dan
pada waktu duduk di kursi.
Tingkatkan sirkulasi udara pada
permukaan kulit untuk mengurangi
panas/ kelembaban.
3. Periksa permukaan kulit kaki
yang bengkak secara rutin.
Kerusakan kulit dapat terjadi dengan
cepat pada daerahdaerah yang beresiko
terinfeksi dan nekrotik.
4. Anjurkan pasien untuk
melakukan rentang gerak.
Meningkatkan sirkulasi, dan
meningkatkan partisipasi pasien.
5. Kolaborasi:
Rujuk pada ahli kulit.
Meningkatkan sirkulasi, dan
mencegah terjadinya
dekubitus.
Mungkin membutuhkan perawatan
profesional untuk masalah kulit yang
dialami.

2.2.4 Implementasi
Pelaksanaan implementasi atau tindakan keperawatan merupakan langkah
keempat dari proses keperawatan. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada
prinsipnya dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan. Dalam melaksanakan
tindakan perawatan, selain melaksanakannya secara mandiri, harus adanya kerja
sama dengan tim kesehatan lainnya. Merupakan realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan menilai data yang baru. Alasannya
proses keperawatan memiliki salah satu sifat yaitu fleksibilitas yang artinya
37


urusan pelaksanaan proses keperawatan dapat diubah sesuai dengan situasi dan
kondisi pasien. Implementasi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah disusun dimana dalam pelaksanaan dilakukan
secara mandiri maupun dalam bentuk tim. Implementasi tindakan dibedakan
menjadi tiga kategori yaitu: independent (mandiri), interdependent (bekerja sama
dengan tim kesehatan lainnya: dokter, bidan, tenaga analis, ahli gizi, apoteker, ahli
kesehatan gigi, fisioterapi dan lainnya) dan dependent (bekerja sesuai instruksi
atau delegasi tugas dari dokter). Perawat juga harus selalu mengingat prinsip 6S
setiap melakukan tindakan, yaitu senyum, salam, sapa, sopan santun, sabar dan
syukur.
Pelaksanaan tindakan keperwatan adalah inisiatif dari rencana tindakan
yang spesifik. Pelaksanaan merupakan aplikasi dari perencanan keperawatan oleh
perawat bersama klien. Hal-hal yang harus kita perhatikan dalam melakukan
implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan rencana. Setelah
dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan tekhnik
intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat,
keamanan fisik dan psikologis dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa
pencatatan dan pelaporan.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah suatu yang direncanakan dan perbandingan yang sitematis
pada status kesehatan klien. Evaluasi terdiri dari dua jenis, yaitu evaluasi formatif
dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga evaluasi proses, evaluasi
jangka pendek maupun evaluasi yang sedang berjalan, dimana evaluasi dilakukan
secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai.
Sedangkan evaluasi sumatif yang biasa disebut evaluasi akhir atau evaluasi jangka
panjang.
Evaluasi ini dilakukan pada akhir tindakan keperawatan paripurna dan
menjadi satu metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang
diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya mengguanakan format SOAP. Tujuan
evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai, serta
38


meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan standar yang
telah ditentukan sebelumnya.


39
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filiariasis adalah penyakit yang selalu terdapat di daerah tropis yang
disebabkan oleh infestasi cacing filiaria. Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk-
nyamuk antroprofilik, pada umumnya dari genus culex, aedes, mansonia dan
anopheles. Filiariasis menyerang sistem kelenjar dan getah bening. Penyakit ini
disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial: Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi,
Brugia Timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. infeksi cacing ini menyerang
jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family
onchorcercidae.
Manifestasi klinik filiariasis dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu pertama
asimtomatik, microfilaria ditemukan dalam sirkulasi, kedua fase inflamatori yang
ditandai dengan episode demam, limfangitis, limfadenitis, edema, orchitis,
epididimitis, dan funikulitis, dan ketiga tingkat obstruksi dan ruptur limfatik, yang
dapat menyebabkan hidrokel atau chylocoele pada skrotum yang ditandai dengan
kiluria (chyluria) dan asites kilus (chylous asites).

3.2 Saran
Penulis berharap, makalah yang penulis buat ini dapat bermanfaat dan
dapat diterima. Penulis mohon kritik, saran yang bersifat membangun agar dalam
penyusunan makalah berikutnya bisa lebih baik lagi. Bagi tenaga kesehatan
maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih penelitian maupun
referensi mengenai laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan klien dengan
penyakit filiariasis guna menambah data-data. Makalah ini dapat digunakan
sebagai penunjang mahasiswa keperawatan dalam menambah pengetahuan.
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis
karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga
akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Dengan penanganan kasus
filariasis ini pula, diharapkan Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia
Sehat Tahun 2020.

You might also like