You are on page 1of 87

PENGURUS

Majalah
ANESTESIA & CRITICAL CARE
diterbitkan setiap empat bulan oleh
Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia
(IDSAI)
Pelindung
Ketua Umum PP IDSAI Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC
Penasehat
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA
Prof. M. Roesli Thaib, dr., SpAnKIC
Ketua Dewan Majalah/Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC
Mitra Bestari
Prof. Herlin Megawe, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Prof. Si Chasnak Saleh, dr., SpAnKNA (Surabaya)
Prof. Dr. Rita Sucahyo, dr., SpAnKIC, KNA (Surabaya)
Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Prof. Sunaryo, dr., SpAnKIC (Semarang)
Prof. Marwoto, dr., SpAnKIC, KAR (Semarang)
Prof. Husni Tanra, dr., SpAnKIC, PhD (Makassar)
Prof. Dr. St. Mulyata, dr., SpAnKIC (Solo)
Prof. M. Ruswan Dahlan, dr., SpAnKIC, KAR (Jakarta)
Prof. A. Himendra Wargahadibrata, dr., SpAnKIC (Bandung)
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KOA (Bandung)
Prof. Kaswiyan A., dr., SpAnKIC (Bandung)
Prof. Darto Satoto, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Dr. Hari Bagianto, dr., SpAnKIC (Malang)
Dr. Syarif Sudirman, dr., SpAn, KAR (Solo)
Dewan Redaksi
Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Gunawarman, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Susilo Chandra, dr., SpAn, FRCA (Jakarta)
Indro Mulyono, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Oloan Tampubolon, dr., SpAnKIC, MHKes (Jakarta)
Arif HM Marsaban, dr., SpAnKAA (Jakarta)
Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Aida Rosita Tantri, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Yohannes WH George, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Wahjuprajitno, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Marsudi Rasman, dr., SpAnKIC (Bandung)
Ike Sri Redjeki, dr., SpAnKIC, M.Kes (Bandung)
Hasanul Arin, dr., SpAn, KIC (Medan)
Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, M.M (Yogyakarta)
Endang Mela Maas, dr., SpAnKIC (Palembang)
Az Rii, dr., SpAnKIC (Padang)
Wayan Suranadi, dr., SpAnKIC (Bali)
Koordinator Dana dan Iklan
Eddy Harjanto, dr., SpAnKIC
Redaktur Pelaksana
Ratna Farida, dr., SpAn, KAKV
Rudyanto Sedono, dr., SpAnKIC
Staf Redaksi
Pryambodho, dr., SpAnKAR
Andi Ade Wijaya, dr., SpAnKAP
Jeerson, dr., SpAnKAKV
Dita Adianingsih, dr., SpAn
Vera Irawany, dr., SpAn
Rethia Syahril, dr.
R. Besthadi Sukmono, dr.
Krisna Andria, dr.
Koresponden
IDSAI Medan, Padang, Palembang, Bandung, Cirebon, Semarang,
Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Denpasar, Makassar, Manado,
Ponanak
Alamat Redaksi:
Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Cipto Mangunkusumo,
Jln. Diponegoro 71, Jakarta.
Telp. 021-31909033. Fax. 021-3923443
E-mail: majalah.anestesia@gmail.com
Surat Izin Terbit 71 5 /K/DIT. B I N PRES/XII/78
Sejawat yang terhormat,
Pada penerbitan edisi kedua 2010 ini, kami menyajikan ga laporan penelian, ga laporan kasus, satu
njauan pustaka, dan satu studi pustaka.
Melengkapi edisi kali ini kami menerbitkan juga diantaranya satu laporan kasus mengenai Penatalaksa-
naan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP, dan satu njauan pustaka mengenai Blok Peribulbar: Modali-
tas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oalmika.
Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang kami sajikan ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi
sejawat.
Selamat membaca.
Prof. Dr. dr. Amir S Madjid, SpAn. KIC.
Pemimpin Majalah Anestesia & Crical Care
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 i

KATA PENGANTAR
Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Secon
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES
130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar
Aldy Heriwardito
The Eecveness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25 mcg
Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Secon
Keefekfan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fent-
anil 25 mcg Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar
Bintartho A , Pryambodho, Susilo
Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intubaon: Comparison of Esmaon and
Measurement on Cu Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo Surabaya
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Esmasi dan Pengukuran
Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya
Herdy Sulistyono H
Management of Encephalis and Epilepsy in ICU
Tatalaksana Ensefalis dan Epilepsi di ICU
Rudy Manalu
Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infecon
Perdarahan Terkait Koagulopa pada Infeksi Intraabdominal
Diah Widyan
Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Maria Irawaty
Intra-operave Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumac Stress
Disorder
Kesadaran Intraoperaf pada Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumac Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 ii
DAFTAR ISI
LAPORAN PENELITIAN
1
9
18
26
37
52
LAPORAN KASUS
63
STUDI PUSTAKA
AR ISI
Maria Blandina
Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Evisceraon Sur-
gery
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oalmika
Andi Salahuddin
71
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 iii
TINJAUAN PUSTAKA
I LAPORAN PENELITIAN I
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat
dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar
Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Secon
Aldy Heriwardito
ABSTRACT
Background: Spinal anesthesia in caesarean sec-
on causes a decreasing of blood pressure and uterina pla-
cental circulaon. Giving crystaloid coloading is not eec-
ve enough for prevenng the decrease of blood pressure.
Coloading HES 130/0,4 500 ml has been predicted as a more
eecve way because it has longer period of intravascular
eect.
Method: This study had been done in randomized
single blinded experimental design. There were 84 subjects
with ASA I and II that had been in caesarean secon pro-
cedure by spinal anesthesia. Seven subjects had been ex-
cluded, and the rest had been divided into 2 groups. Group 1
consists of 39 subjects as control group that had coloading
RL 1000 mL therapy, group 2 consists of 38 subjects that
had coloading HES 130/0,4 500 mL therapy. Blood pressure
and heart rate were checked in every 2 minutes aer spinal
anesthesia. Aer the baby born, APGAR score is determined
and pH of umbilical cord were measured.
Result: There are signicant dierence in mean
arteries blood pressure. It can be seen in second minute
(p=0,025), fourth (p=0,034), 16
th
(p=0,044), 18
th
(p=0,08),
20
th
(0,06). Mean of the dierence in second minute is 7
mmHg (SD=3,1), the fourth is 7,1 mmHg (SD=3,3), the 16
th
is
4,7 mmHg (SD=2,7), the 18
th
is 7,3 mmHg (SD=2,7), the 20
th

is 7,1 mmHg (SD=2,5). There is no signicant dierence be-
tween two kind of the coloading uids with umbilical cord
pH and APGAR score.
Conclusion: Giving coloading HES 130/0,4 is beer
than coloading RL in prevenng changes in blood pressure
at spinal anesthesia in caesarean secon. There is no signi-
cant dierence in changes of heart rate and umbilical cord
pH between coloading HES 130/0,4 and RL in spinal anes-
thesia in caesarean secon.
Keywords: Spinal Anesthesia, Caesarean secon,
coloading, HES 130/0,4
ABSTRAK
Latar belakang: Anestesia spinal pada bedah sesar
Aldy Heriwardito
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
menyebabkan penurunan tekanan darah dan sirkulasi
uteroplasenta. Pemberian coloading cairan kristaloid be-
lum cukup efekf mencegah penurunan tekanan darah. Co-
loading HES 130/0,4 500 mL diharapkan lebih efekf karena
memiliki efek intravaskular yang lebih lama.
Tujuan: Mengetahui perbedaan tekanan darah, laju
nadi, pH tali pusat setelah pemberian cairan coloading HES
130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar.
Metode: Penelian ini dilakukan dengan desain eks-
perimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 84 sub-
yek ASA I dan II yang menjalani operasi bedah sesar dengan
anestesia spinal. Tujuh subyek dikeluarkan dari penelian
dan subyek dibagi dua kelompok. 39 subyek masuk dalam
kelompok kontrol mendapat coloading RL 1000 mL dan 38
subyek masuk dalam kelompok perlakuan mendapat co-
loading HES 130/0,4 500 mL. Tekanan darah dan laju nadi
diperiksa seap dua menit setelah anestesia spinal. Setelah
bayi lahir dilakukan penilaian skor APGAR dan pemeriksaan
pH tali pusat.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara
stask antara rata-rata tekanan darah arteri rata-rata
juga didapatkan setelah pemberian coloading pada menit
kedua (p=0,025), keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke-
18(p=0,08), ke-20 (0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua
7 mmHg (SD=3,1), keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke-
16 sebesar 4,7 mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg
(SD=2,7), ke-20 sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Tidak terdapat
perbedaan berbedaan bermakna antara Jenis cairan co-
loading dengan pH tali pusat dan skor APGAR.
Kesimpulan: Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih
baik dalam mencegah perubahan tekanan darah dibanding-
kan dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah
sesar. Tidak terdapat perbedaan perubahan laju nadi dan
pH tali pusat bayi antara coloading HES 130/0,4 dengan co-
loading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar.
Kata Kunci: Anestesia spinal, Bedah Sesar, coloading,
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 1
HES 130/0,4
LATAR BELAKANG

Anestesia spinal masih menjadi pilihan anestesia
untuk bedah sesar. Anestesia spinal membuat pasien tetap
dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan
dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesia pada anestesia
spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehing-
ga pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umum-
nya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur
anestesia spinal. Selain itu, anestesia spinal lebih superior
karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit
pada beberapa kasus, seper preeklampsia berat. Aneste-
sia spinal juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa
karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibandingkan
dengan bedah sesar dengan anestesia umum.
Salah satu efek samping anestesia spinal adalah
hipotensi. Jeerson menemukan insidens hipotensi dite-
mukan sebesar 52% pada peneliannya dan kejadian hipo-
tensi masih dapat terjadi pada 20 menit pertama dilakukan
anestesia spinal. Hipotensi akan menyebabkan ibu mual
dan muntah selama operasi, serta bradikardia pada derajat
yang lebih berat.
Empat alternaf cara pencegahan hipotensi pada
anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modikasi
teknik regional anestesia, modikasi posisi dan kompresi
tungkai pasien, pemberian cairan intravena.
Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan
pemberian cairan intravena merupakan cara yang mudah
dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesia spinal.
Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.
2
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preload-
ing atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan
20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan
coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat
dilakukan anestesia spinal.
Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading dak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.
3,8

Clark dkk. membandingkan kejadian hipotensi antara ke-
lompok pasien yang diberikan preloading dekstrosa 5%
dalam ringer laktat sebanyak 1000 mL dan kelompok pasien
yang dak diberikan preloading sebelum anestesia spinal
pada pasien yang menjalani bedah sesar. Hasil yang di-
dapatkan menunjukkan dak ada perbedaan yang bermak-
na antara dua kelompok tersebut.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk
mencegah efek samping hipotensi pada anestesia spinal na-
mun dak menurunkan angka kejadian hipotensi. Hal ini di-
tunjukkan pada penelian Mojika dkk. yang membanding-
kan pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada
operasi non-obstetrik.
3

Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid
karena bertahan lebih lama intravaskular. Keuntungan lain
adalah jumlah volume koloid yang diperlukan untuk mence-
gah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.
10
Penelian mengenai pemberian preloading kristaloid
atau koloid sebelum anestesia spinal untuk mencegah pe-
rubahan hemodinamik telah banyak dilakukan, namun
belum ada penelian yang membandingkan pemberian
kristaloid dan koloid pada saat anestesia spinal sebagai co-
loading sehingga penulis tertarik untuk meneli masalah
ini. Pada penelian ini penulis akan menggunakan hetar-
strach (HES) dengan berat molekul 130 dan koesien sub-
stusi 0,4 sebagai coloading.
Penelian yang akan dilakukan memiliki metode
yang berbeda dari penelian- penelian yang sudah ada.
Cairan yang digunakan adalah HES 130/0,4 karena me-
miliki berbagai kelebihan. Berat molekul yang lebih besar
dibandingkan dengan penelian Nishikawa menyebabkan
efek volume yang lebih besar. HES 130/0,4 memiliki efek
reologi yang lebih baik dibandingkan dengan HES yang lain
dan gelan, sehingga oksigenasi jaringan lebih baik.
15,16
Be-
rat molekul 130 kD membuat ginjal dak terbebani untuk
fungsi eliminasi.
17

Pemberian HES akan bertahan lebih dari 20 menit in-
travaskular sehingga dengan pemberian setengah dari jum-
lah coloading kristaloid dapat memiliki efek volume yang
sama namun bertahan lebih lama intravascular.
10
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 2
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
METODE PENELITIAN
Penelian ini merupakan penelian yang bersifat
eksperimental dengan rancangan uji klinik acak tersamar
tunggal untuk membandingkan pemberian Ringer Laktat
1000mL dan HES 130/0,4 500mL saat dilakukan spinal anes-
tesia pada bedah sesar terhadap kejadian hipotensi.
Populasi penelian adalah pasien yang menjalani
operasi bedah sesar dengan anestesia spinal di RS Budi Ke-
muliaan dan RS Cipto Mangunkusumo. Penelian dilakukan
di instalasi bedah pusat RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto
Mangunkusumo periode waktu Februari sampai Mei 2010.
Kriteria penerimaan adalah pasien wanita hamil berusia 20-
35 tahun, berat badan 50 80 kg, nggi badan 145-180 cm,
status sik ASA I - II, bersedia mengiku penelian. Kriteria
penolakan adalah hipertensi dalam kehamilan, kehamilan
risiko nggi, gawat Janin, gemelli, kadar hemoglobin kurang
dari 8 g/dl, infeksi pada daerah penyunkan, gangguan
pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekan-
an intrakranial, deformitas tulang belakang, kelainan kar-
diovaskular. Sedangkan kriteria pengeluaran adalah terjadi
komplikasi selama operasi yang membutuhkan dilakukan
anestesia umum dalam 20 menit setelah dilakukan aneste-
sia spinal, kenggian blok sensorik anestesia spinal kurang
dari dermatom torakal enam, atau lebih dari torakal empat.
Penelian ini bersifat uji hipotesis terhadap 2 kelom-
pok numerik dak berpasangan, maka besar sampel dicari
dengan menggunakan rumus :
Penulis dak menemukan penelian yang serupa,
maka peneli melakukan studi preleminari dan di dapatkan
standar deviasi tekanan darah arteri rata-rata sebesar 5,4.
Besarnya perbedaan yang dianggap bermakna sebesar lima
milimeter air raksa. Maka besarnya perhitungan jumlah
sampel untuk ap kelompok sebesar:
Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel
ap kelompok minimal 38 orang. Dengan kemungkinan
drop out sebesar 10 persen, sehingga jumlah sampel ap
kelompok sebesar 42 orang.
Bahan yang digunakan dalam penelian adalah HES
130/0,4, Ringer Laktat, Jarum Spinal 27G, Spuit 3 cc, Obat-
obatan seper: Bupivakain 0,5 % Hiperbarik, perlengkapan
sesuai standar anestesia umum (mesin anestesia, sumber
oksigen, alat sucon, stetoskop, laringoskop, ETT, plaster,
obat emergensi, dan sedasi), monitor tekanan darah non
invasif, pulse oksimetri, elektrokardiogra.
Cara kerja penelian adalah sebagai berikut:
1. Kunjungan pra anestesia :
Semua pasien yang memenuhi kriteria peneri-
maan, dicatat nama, umur, berat badan, nggi
badan, pendidikan.
Pasien diberikan penjelasan mengenai pene-
lian dan menandatangani informed consent.
Penjelasan mencakup kerahasiaan data subyek
penelian dan hak pasien untuk menolak atau
mengundurkan diri dalam penelian.
Diberikan premedikasi ranidin dan metoklopra-
mid.
2. Dilakukan randomisasi sederhana dengan metoda
amplop, pasien dibagi dalam dua kelompok. Ke-
lompok pertama akan mendapat coloading HES,
kelompok kedua akan mendapat coloading Ringer
laktat. Perlakuan lain adalah sama sesuai standar
anestesia spinal.
3. Di kamar operasi dilakukan pemasangan monitor
NIBP, saturasi oksigen, EKG serta dipasang akses
intravena 18 G. Dilakukan pengukuran NIBP, laju
nadi, dan saturasi yang selanjutnya dicatat sebagai
nilai praanestesia.
4. Pasien pada posisi duduk dilakukan anestesia spi-
nal dengan jarum spinal nomer 27 G pada L2-3,
setelah didapatkan cairan serebrospinal mengalir
lancar, dimasukkan zat anestek lokal bupivakain
0,5% hiperbarik dengan jumlah 12,5 mg (2,5 cc).
Saat dilakukan pemberian anestek lokal, dilaku-
kan coloading cairan RL sebanyak 1000mL dalam
10 menit pada kelompok pertama, dan HES seban-
yak 500 mL maksimal dalam 10 menit pada kelom-
pok kedua.
5. Pasien dibaringkan kembali dan dilakukan pe-
nilaian kenggian blok, jika kenggian blok men-
capai dermatom torakal enam maka operasi dapat
dimulai, pemeriksaan kenggian blok diulang se-
ap dua menit dan dicatat kenggian blok maksi-
mal.
6. Selama ndakan pasien diberikan oksigen nasal
kanul 3 liter permenit. Dan mendapat cairan ru-
matan RL sesuai 10 mL/Kg berat badan.
7. Dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi,
dan saturasi. Selanjutnya dicatat pada ap 2 menit
selama 20 menit pertama selanjutnya ap 5 menit
hingga menit ke 30.
8. Jika pasien mengalami hipotensi dapat dilakukan
pemberian 5 mg efedrin dan dapat di ulang seap
ALDY HERIWARDITO
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 3
2 menit. Seap pemberian efedrin di catat dalam
lembar observasi.
9. Setelah bayi lahir dilakukan pencatatan Apgar score
pada menit pertama dan kelima. Analisa gas darah
dari tali pusat diperiksa dan dilakukan pencatatan.
10. Pasien diberikan oxytocin 20 IU drip setelah bayi
lahir.
11. Sepuluh menit sebelum operasi selesai diberi obat
analgek ketorolak 30mg IV.
12. Setelah operasi selesai pasien ke ruang pulih dan
dilakukan observasi tanda vital.
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelian untuk mengetahui efek
hemodinamik pada pemberian coloading Ringer Laktat
1000 mL dan HES 130/0,4 pada anestesia spinal untuk be-
dah sesar.
Penelian ini dilakukan terhadap 84 subyek peneli-
an yang terbagi dalam dua kelompok secara randomisasi
sederhana. Subyek penelian memiliki kisaran umur 20 -35
tahun, berat badan 50-80 kg, dan status sik ASA I dan ASA
II. Tujuh subyek penelian dikeluarkan karena kenggian
blok dak mencapai torakal enam, dan dua diantaranya ha-
rus dilakukan anestesia umum, sehingga kelompok RL ber-
jumlah 39 dan kelompok HES 130/0,4 berjumlah 38. Tabel
1 menunjukkan deskripsi variabel-variabel yang diobservasi
dan dicatat.
Tabel 1. Distribusi variabel diantara dua kelompok
Grup RL Grup HES
130/0,4
P
Umur 29 (SD =
5,2)
28 (SD = 3,7) 0,251
Berat
Badan
66,1 (SD =
7,5)
66,1 (SD = 8,2) 0, 438
Tinggi
Badan
155 (145-
168)
155 (145-168) 0,740
Tekanan
Darah
Arteri
Rata-rata
praspinal*
90 (74-110) 91 (69-110) 0,366
Laju Nadi
praspinal*
89
(SD=19,1)
90 (SD=12,4) 0,837
Keng-
gian Blok
T5 (30,1%)
T6 (69,9 %)
T5 (26 %)
T6 (74 %)
0,431
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara
stask pada tekanan darah sistolik, diastolik, arteri rata-
rata, dan laju nadi pada pemeriksaan sebelum dilakukan
anesthesia spinal.
Hasil ini menunjukkan kedua kelompok memiliki karakter-
isk yang seragam sebelum dilakukan perlakuan. Terdapat
perbedaan yang bermakna secara stask antara rata-rata
tekanan darah sistolik setelah pemberian coloading pada
menit kedua (p=0,023) dan ke-16 (p=0,041). Selisih rata-
rata pada menit kedua sebesar 7 mmHg (SD 2,9), dan pada
menit ke-16 sebesar 5,9 mmHg (SD 2,84) . (gambar 1)
Gambar 1. Grak rata-rata tekanan darah sistolik setelah
pemberian RL dan HES 130/0,4
Gambar 2. Grak rata-rata tekanan darah diastolik setelah
pemberian RL dan HES 130/0,4

Terdapat perbedaan yang bermakna secara stas-
k antara rata-rata tekanan darah diastolik setelah pem-
berian coloading pada menit kedua (p=0,042), keempat
(p=0,036), ke-14 (p=0,029), ke-16 (p=0,020), ke-18(p=0,07),
ke-20 (0,03), dan ke-25(p=0,027). Selisih rata-rata pada
menit kedua 5,8 mmHg (SD=2,8), keempat sebesar 6
mmHg (SD=2,81), ke-14 sebesar 6 (SD=2,7), ke-16 sebe-
sar 5,3(SD=2,3), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,62), ke-20
sebesar 7,5 (SD=2,42), dan ke-25 sebesar 5,5 (2,4). (gambar
2).
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 4

Gambar 3. Grak rata-rata tekanan darah arteri rata-rata
setelah pemberian RL dan HES 130/0,4.
Perbedaan yang bermakna secara stask antara
rata-rata tekanan darah arteri rata-rata juga didapatkan
setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,025),
keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke-18(p=0,08), ke-20
(0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua 7 mmHg (SD=3,1),
keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke-16 sebesar 4,7
mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,7), ke-20
sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Perbedaan secara stask ra-
ta-rata laju nadi hanya didapatkan pada menit ke -8 sebesar
7,8 (SD= 3,5) dengan nilai p = 0,027 (gambar 4).
Gambar 4. Grak rata-rata laju nadi setelah pemberian RL
dan HES 130/0,4.
Uji stask yang digunakan untuk menentukan kore-
lasi antara pH tali pusat dan jenis cairan coloading adalah
t-test dak berpasangan. Hasil yang diperoleh adalah nilai
p sebesar 0,705. Dengan demikian dak ditemukan korelasi
antara pH talipusat dan jenis cairan coloading.
Tabel 2. Hubungan antara jenis cairan coloading dan pH.
Untuk mencari hubungan antara skor apgar dan jenis
cairan coloading digunakan uji Kolmogorov Smirnov . Hasil
uji stask menununjukkan dak ada perbedaan yang ber-
makna antara jenis cairan dan skor Apgar menit pertama
dan kelima.
Tabel 3. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit
pertama
Tabel 4. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit
kelima
Uji stask yang digunakan untuk menentukan
hubungan antara perbedaan pemberian efedrin dan jenis
cairan coloading adalah Komolgorov Smirnov karena syarat
uji chi kuadrat dak terpenuhi. Tidak didapatkan perbe-
daan yang bermakna antar jenis cairan coloading dan jum-
lah pemberian efedrin.
Uji stask yang digunakan untuk menentukan
hubungan antara jenis cairan coloading dan efek samping
hipotensi adalah Komolgorov Smirnov. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antarjenis cairan coloading dan
insiden terjadinya efek samping hipotensi.
ALDY HERIWARDITO
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 5
Tabel 5. Hubungan antara pemberian efedrin dan jenis cai-
ran coloading.
Tabel 6. Hubungan antara jenis cairan coloading dan efek
samping hipotensi.
PEMBAHASAN
Penelian ini adalah penelian jenis cairan coload-
ing, jenis cairan yang digunakan adalah koloid HES 130/0,4.
Penelian ini berbeda dari penelian sebelumnya karena
membandingkan secara langsung coloading kristaloid dan
koloid. Tekanan onkok koloid menjaga cairan lebih lama
berada dalam intravaskular. Efek volume yang lebih lama
inilah yang diharapkan membedakan tekanan darah pasca
spinal antara pemberian cairan RL dan HES 130/0,4.
Penelian ini menggunakan subyek yang hampir
sama yaitu ibu hamil. Pemilihan karakterisk subyek pene-
lian diharapkan mempertajam hasil penelian. Usaha un-
tuk membatasi karakterisk subyek dengan pembatasan
usia, nggi badan, dan status sik ASA. Kenggian blok
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap peruba-
han hemodinamik.
Sehingga kenggian blok lebih dari kurang dari tor-
akal enam dan lebih dari torakal empat dikeluarkan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kenggian blok juga diseragam-
kan seper barisitas, volume, dosis anestek lokal, dan
posisi penyunkan. Karakterisk umur, berat badan, dan
nggi badan dibatasi sehingga diharapkan kedua kelompok
memiliki karakterisk tekanan intraabdomen yang hampir
sama.
Randomisasi sederhana dilakukan untuk menentu-
kan kelompok perlakuan. Penggunaan plasebo dihindari
pada penelian ini untuk mencegah terjadinya hipotensi
dan bahayanya perfusi organ yang buruk pada subyek
penelian. Standar yang digunakan adalah coloading RL
karena telah terbuk mencegah terjadinya hipotensi.
9

Perhitungan besar sampel menggunakan standar
deviasi rerata tekanan darah arteri rata-rata yang dilakukan
studi sebelum dilakukan penelian ini sebesar 5,4. Perbe-
daan tekanan darah arteri rata-rata yang diaggap bermakna
sebesar lima milimeter air raksa.
Pemeriksaan tekanan darah dan laju nadi sebelum
dilakukan anestesia spinal menunjukkan dak berbeda
bermakna secara stask. Kedua kelompok memiliki kara-
kterisk hemodinamik yang sama.
Pemeriksaan rata-rata tekanan darah sistolik yang
lebih nggi pada kelompok perlakuan (HES 130/0,4) diband-
ingkan dengan kelompok kontrol (RL) terutama bermakna
secara stask pada pengukuran menit kedua dan ke-16.
Rerata tekanan darah arteri rata-rata kelompok perlakuan
lebih nggi dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok
kontrol pada pengukuran menit kedua, keempat, ke-16, ke-
18, dan ke-20. Perbedaan tekanan darah yang terjadi sebe-
sar empat sampai tujuh milimeter air raksa.
Hasil ini menunjukkan bahwa coloading 500 mL
HES 130/0,4 memiliki efek mencegah perubahan tekanan
darah yang lebih baik dibandingkan dengan coloading
1000 mL RL. Perbedaan rata-rata tekanan darah terjadi
hingga menit ke-20 pasca dilakukan anestesia spinal. Efek
volume intravaskular HES 130/0,4 meningkatkan preload
jantung yang akhirnya meningkatkan isi sekuncup, dimana
laju nadi tetap konstan. Penelian ini menunjukkan dak
adanya perubahan yang besar terhadap laju nadi pada dua
kelompok. Penelian Karinen
26
menunjukkan preloading
koloid lebih baik dalam mencegah perubahan hemodin-
amik dibandingkan dengan kristaloid, dengan demikian ko-
loid dapat diberikan secara coloading atau preloading un-
tuk mencegah perubahan hemodinamik. Penelian Karinen
mengukur tekanan vena sentral pada subyek peneliannya.
Didapatkan peningkatan tekanan vena sentral yang signi-
kan setelah 10 menit cairan diberikan. Jumlah cairan yang
lebih besar (15 mL/Kg) diberikan pada penelian Teoh
13
di-
dapatkan pemberian koloid preloading lebih baik dalam
meningkatkan curah jantung dibandingkan dengan coload-
ing sampai ga menit pasca spinal anestesia.
Penelian ini menggunakan teknik pemberian cai-
ran secara coloading karena dengan cara ini diharapkan
preload jantung akan lebih besar. Preloading akan menye-
babkan pelepasan hormon ANP (Atrial Natriurec Pepde)
yang lebih besar. ANP dilepaskan karena adanya smulus
regangan otot jantung, regangan ini terjadi karena jantung
terisi cairan preloading. Efek pelepasan ANP adalah penu-
runan tekanan darah akibat meningkatnya permeabilitas,
meningkatnya kapasitas vena, dan diuresis.
13,14
Pemberian cairan secara coloading diharapkan dapat
memaksimalkan ekspansi volume akibat pemberian cairan.
Pengukuran tekanan darah arteri rata-rata menunjukkan
nilai rerata yang lebih nggi pada kelompok kontrol hing-
ga pengukuran menit ke-18 dan ke-20. Hal ini menunjuk-
kan efek volume HES 130/0,4 masih bertahan intravaskular
hingga 20 menit pasca coloading. HES 130/0,4 lebih lama
dalam intravaskular karena memiliki tekanan koloid onkok
yang besar dan HES memiliki waktu paruh hingga dua jam.
Meskipun tekanan darah sistolik dan arteri rata-rata
kelompok perlakuan lebih nggi, akan tetapi dak terdapat
perbedaan yang bermakna pada rerata pH tali pusat. Hasil
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 6
yang serupa juga ditunjukkan pada penelian Nishikawa,
12

Teoh,
13
dan Karinen
26
. Sistem uteroplasenta dak memiliki
autoregulasi, karena pembuluh darah plasenta sudah berdi-
latasi penuh. Perfusi uteroplasenta hanya bergantung pada
tekanan darah ibu hamil. Batas tekanan darah terendah
yang masih dapat dikompensasi untuk menjamin perfusi
uteroplasenta manusia yang masih baik sampai saat ini be-
lum dapat ditentukan.
4
Penelian pada hewan coba menunjukkan penu-
runan aliran darah uteroplasenta hingga 30% dan kurang
dari 10 menit masih dapat ditoleransi oleh janin. Hal inilah
yang membuat pH tali pusat dak berbeda pada dua ke-
lompok tersebut.
Penelian Karinen menunjukkan pemeriksaan pul-
sality index pada arteri maternal dengan dopler menun-
jukkan perfusi yang dak berbeda bermakna pada kelom-
pok yang memiliki insiden hipotensi lebih nggi.
26
Pemeriksaan laktat pada arteri umbilikal pun menun-
jukkan dak ada perbedaan pada berbagai kelompok yang
memiliki insiden hipotensi yang berbeda.
12
Tidak terdapat perbedaan skor apgar yang bermak-
na antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil
ini juga serupa dengan penelian penelian sebelumnya.
Autoregulasi sistem uteroplasenta yang membuat perfusi
janin tetap baik menyebabkan skor apgar tetap baik pula.
Efedrin diberikan jika tekanan darah arteri rata-rata kurang
dari 20 % tekanan darah arteri rata-rata pra spinal aneste-
sia. Hasil penelian ini menunjukkan kebutuhan pemberian
efedrin yang dak berbeda bermakna antara dua kelom-
pok.
Kriteria pemberian vasokonstriktor sangat berkaitan
dengan hasil ini. Penelian Dyer yang menggunakan krite-
ria pemberian vasokonstriktor jika terjadi penurunan 10 %
dari tekanan darah arteri rata-rata pra anestesia, menun-
jukkan kebutuhan vasokonstriktor yang lebih besar. Jadi
kriteria ini menentukan pula kebutuhan dan perbedaan
yang terjadi antara kelompok perlakuan dan kontrol.
SIMPULAN
Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih baik dalam
menjaga tekanan darah dibandingkan dengan coloading
RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak terdapat
perbedaan laju nadi antara coloading HES 130/0,4 dengan
coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak
terdapat perbedaan pH talipusat bayi antara coloading HES
130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk
bedah sesar.
SARAN
Pemberian cairan masih dianjurkan untuk mencegah
perubahan hemodinamik dan efek sampingnya pada anes-
tesia spinal untuk bedah sesar. Kombinasi dengan teknik lain
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Perlu
dilakukan penelian lebih lanjut terhadap efek coloading
HES 130/0,4 terhadap curah jantung, kadar laktat darah tali
pusat, dan tekanan onkok koloid ibu hamil dibandingkan
dengan coloading RL. Perlu dilakukan pula penelian ten-
tang jenis dan jumlah cairan koloid terbaik untuk mencegah
hipotensi.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Paech M. Anesthesia for Cesarean Secon. In Palmer
CM, DAngelo R, eds. Handbook of Obstetric Anesthe-
sia. Oxford: BIOS Scienc Publishers Limited; 2002:
81-113.
2. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The Naonal Instute
of Clinical Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean
secons: implicaons for the anaesthest. Internaon-
al Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p. 147-58.
3. Mojica JL, Melendez HJ, Bausta LE. The Timing of In-
travenous Crystaloid Administraon and Incidence of
Cardiovascular Side Eect During Spinal Anesthesia:
The Results from a Randomized Controlled Trial. Anesth
Analg 2002; 94: 432-7.
4. Skillman C. Eect of graded reducons in uteroplacen-
tal blood ow on the fetal lamb. Am J Physiol Heart Circ
Physiol 1985; 249(6): 1098-105.
5. NN. www.anzca.edu.au/fellows/.anaesthesia.anaes-
thesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-for-
caesarean-birth.html. [Online].; 2009 [cited 2009 Feb-
ruari 12. Available from: www.anzca.edu.au/fellows/.
anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-region-
al- anaesthesia-for-caesarean-birth.html.
6. Mercier FJ. Phenylephrine added to prophylacc
ephedrine infusion during spinal anesthesia for elec-
ve cesarean secon. Anesthesiology 2001; Sep; 95:
668-74.
7. Ben-David B. Low-dose bupivacaine-fentanyl spinal an-
esthesia for cesarean delivery. Reg Anesth Pain Med
2000; 25: 235-9.
8. Morgan PJ. The Eect of Increasing Central Blood Vol-
ume to Decrease the Incidence of Hypotension Follow-
ing Spinal Anesthesia for Cesarean Secon. In Halpern
SH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric Anesthesia.
Massacuses: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100.
9. Jeerson. Pencegahan Hipotensi dan Efek Samping
Hipotensi Akibat Anesthesia Spinal pada Bedah Sesar
Elekf: Perbandingan Antara Pemberian Ringer Laktat
Saat Dilakukan Anestesia Spinal dengan 20 menit Sebe-
lum Tindakan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
10. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Ex-
pansion with Rapidly Administered Crystalloid or Col-
loid in the Se ng of Moderate Hypovolemia. Anesth
Analg 2003; 96: 1572-7.
11. Singh U, Saha U. Prevenon of Hypotension Following
Spinal Anesthesia for Caesarean Secon-Comparison of
Volume Preloading with Ringer Lactate & 6% Hydroxy-
etyl Starch (HES 130/0,4). Journal Anaesth Clin Pharma-
col 2009; 25: 54-8.
12. Nishikawa K, Naho Y, Saito S, Goto F. Comparasion of
Eects of Rapid Colloid Loading Before and Aer Spinal
Anesthesia on Maternal Hemodynamics and Neonatal
Outcomes in Cesarean Secon. Journal of Clinical Mon-
itoring and Compung 2007; 21: 125-9.
13. Teoh W. Colloid Preload Versus Coload for Spinal Anes-
thesia for Cesarean Delivery: The Eects on Maternal
Cardiac Output. Anesth Analg ; 2009; 108: 1592-8.
14. Levin E. Natriurec Pepdes. The New England Journal
ALDY HERIWARDITO
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 7
of Medicine 1998 Sep; 339(5): 321-8.
15. Standl T. Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Provides
Larger and Faster Increases in Tissue Oxygen Tension
in Comparison with Prehemodiluon Values than HES
70/0.5 or HES 200/0.5 in Volunteers Undergoing Acute
Normovolemic Hemodiluon. Anesth Analg 2003; 96:
936 43.
16. Onal B, Yuceyar L, Erolcay H, Ercan M. The eect of HES
vs. gelan soluons on blood rheology, plasma oncoc
pressure and serum osmolality. European Journal of
Anaesthesiology 2002; 19: 15-6.
17. Jungheinrich C. Pharmacokinec and Tolerability of
an Intravenous Invusion of a New HES 130/0,4 (0,6%,
500mL) in Mild to Severe Renal Impairment. Anesth
Analg. 2002; 95: p. 544-5.
18. Dubois MJ, Vincent JL. Colloid Fluids. In Hahn RG, ed.
Perioperave Fluid Therapy. New York: Informa Health-
care USA, Inc.; 2007. p. 153-61.
19. Waschke K, Frietsc T. Selecon of Adequate Substute
for Intravascular Volume Replacement. Internaonal
Journal of Intensive Care 1999; winter: 135-43.
20. Afolabi BB. Regional versus general anaesthesia for
caesarean secon (Review). Cochrane Collaboraon
2006 Oct; 4(4): 1-44.
21. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, Epidural, & Caudal
Blocks. In Morgan E, Mikhail M, Murray M, editors.
Clinical Anesthesiology, Fourth Edion. New York: Mc-
Graw-Hill Companies, Inc; 2006: 289-323.
22. Hartman B. The Incidence and Risk Factors for Hypo-
tension Aer Spinal Anesthesia Inducon: An Analysis
with Automated Data Collecon. Anesth Analg 2002;
94: 15219.
23. Klasen J. Diering Incidences of Relevant Hypotension
with Combined Spinal-Epidural Anesthesia and Spinal
Anesthesia. Anesth Analg 2003; 96: 14915.
24. Morgan GE. Spinal, Epidural, & Caudal Blocks. In Clini-
cal Anesthesiology, Fourth Edion. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc; 2006.
25. Bose M, Kini G, Krishna H. Comparison of Crystaloid
Preloading versus Crystalloid Coloading to Prevent Hy-
potension and Bradycardia following Spinal Anesthesia.
Journal Anesth Clinic Pharmacol 2008; 24: 53-6.
26. Karinen J. Eect of crystalloid and colloid preloading
on uteroplacental and maternal haemodynamic state
during spinal anaesthesia for Caesarean secon. Brish
Journal of Anaesthesia 1995; 75: 53135.
27. Park G, Martha A. The Eects of Varying Volumes of
Crystalloid Administraon Before Cesarean Delivery
on Maternal Hemodynamics and Colloid Osmoc Pres-
sure. 1996; 83: 299-303.
28. Prough DS, Svensen CH. Crystalloid Soluon. In Hahn
RG. Perioperave Fluid Therapy. New York: Informa
Healthcare USA, Inc.; 2007: 137-51.
29. Traylo RJ, Pearl RG. Crystaloid versus Colloid versus Col-
loid: All Coloid ar not Equal: Anesth Analg; 1996.
30. Waschke K, Frietsc T. Selecon of Adequate Substute
for Intravascular Volume Replacement. Internaonal
Journal of Intensive Care 1999; Winter.
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 8
I LAPORAN PENELITIAN I
Keefekfan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg
Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan
Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar
The Eecveness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25
mcg Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Secon
Bintartho A, Pryambodho, Susilo
ABSTRACT
Background: Hypotension can be a serious threat
to mother and baby in spinal anaesthesia during caesarean
secon. In order to decrease the incidence of hypotension,
we can lower the dose of local anaesthesia and add lipophil-
ic opioid to keep the quality of analgesia. This study tried to
compare the used of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%
plus 25 mcg fentanyl with 12,5 mg hyperbaric bupivacaine
0,5% only, a common spinal anaesthesia regiment used in
Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Method: One hundred and eight parturient, who
meet the inclusion criteria, divided into 2 groups, 54 parturi-
ent in group I received 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%
plus fentanyl 25 mcg, 54 parturient in group II received 12,5
mg hyperbaric bupivacaine 0,5% as a control group. Vital
sign, hypotension, total ephedrine, sensory and motor block
prole, nausea and voming, pruritus, respiratory depres-
sion, and APGAR score were observed unl 60 minutes aer
the spinal anaesthesia.
Result: Hypotension was found in 13 parturient
(24,1%) in group I and 23 parturient (42,6%) in group II. Dif-
ference between groups was stascally signicant. Mean
of total ephedrine was found signicantly dierent (13,04
(5,98) vs 5,38 (1,38) mg). Sensory block at 60 minutes
(T6 (T5-T8) vs T6 (T4-T8)) was found stascally dierent,
me to reach maximal motor block (6,94 (2,39) vs 4,33
(2,89) minutes), maximum motor block (3 (2-3) vs 3 brom-
age scale), and motor block at 60 minutes (2 (1-3) vs 3 (2-
3) bromage scale), were found signicantly dierent. Other
sensory block prole, me to reach Th6 (3,94 (1,4) vs 3,55
(1,17) minutes), me to reach maximal sensory block (5,83
(1,22) vs 5,94 (0,91) minutes), and highest sensory block
(T5 (T4-T6) vs T4 (T3-T6)), were not found dierent. Nausea
and voming, pruritus, and APGAR score were not found
dierent, and no respiratory depression was found.
Conclusion: Spinal anaesthesia using combinaon
of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% plus fentanyl 25 mcg
is more eecve compared with 12,5 mg hyperbaric bupiva-
caine 0,5% alone for caesarean secon. It has an eecve
intraoperave analgesia and more stabile hemodynamic
eect.
Bintartho A, Pryambodho, Susilo
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Keywords: spinal anaesthesia, bupivacaine, fen-
tanyl, caesarean secon, hypotension
ABSTRAK
Latar belakang: Hipotensi merupakan suatu kom-
plikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah
sesar. Salah satu cara untuk mengurangi risiko hipotensi,
yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal dan me-
nambahkan opioid lipolik untuk mempertahankan kualitas
analgesia. Penelian ini mencoba membandingkan penggu-
naan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil
25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang
sering digunakan di RSCM.
Metode: Sebanyak 108 parturien yang memenuhi
kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu
54 parturien pada kelompok I mendapat 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan 54
lainnya pada kelompok II mendapat 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik sebagai kontrol. Dilakukan pencatatan
berkala mulai dari sebelum hingga 60 menit pasca ndakan
spinal terhadap beberapa variabel antara lain: tanda vital,
kejadian hipotensi, jumlah total pemberian efedrin, pro-
l blokade sensorik dan motorik, mual muntah, pruritus,
depresi napas, dan nilai APGAR.
Hasil: Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok
I dan 42,6% (23 pasien) dari kelompok II mengalami hipo-
tensi, dan perbedaannya bermakna secara stask. Didapa-
rerata total pemberian efedrin yang berbeda bermakna
(13,04 (5,98) vs 5,38 (1,38) mg), blokade sensorik saat 60
menit yang berbeda bermakna secara stask (T6 (T5-T8)
vs T6 (T4-T8)), waktu tercapainya blokade motorik maksi-
mal (6,94 (2,39) vs 4,33 (2,89) menit), blokade motorik
maksimal (3 (2-3) vs 3 skala bromage), blokade motorik saat
60 menit (2 (1-3) vs 3 (2-3) skala bromage) yang berbeda
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 9
bermakna. Perbedaan waktu tercapainya blokade sensorik
senggi T6 (3,94 (1,4) vs 3,55 (1,17) menit), waktu ter-
capainya nggi blokade sensorik maksimal (5,83 (1,22) vs
5,94 (0,91) menit), nggi blokade sensorik maksimal (T5
(T4-T6) vs T4 (T3-T6)) dak berbeda bermakna. Efek samp-
ing mual muntah, pruritus, dan nilai APGAR menit pertama
juga dak berbeda bermakna dan dak ditemukan depresi
napas.
Kesimpulan: Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg
bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih
efekf dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5%
pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraop-
eraf yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
Kata kunci: anestesia spinal, bupivakain, fentanil,
bedah sesar, hipotensi.
LATAR BELAKANG
Sejak Augustus Bier memperkenalkan anestesia
spinal pada tahun 1899, penggunaannya semakin luas kare-
na murah, reliabel, dan efekf.
1
Dalam bidang anestesia
obstetrik, anestesia spinal pun lebih sering digunakan pada
bedah sesar dibandingkan anestesia umum. Berdasarkan
data di Instalasi Gawat Darurat RSUPNCM periode Januari
Juni 2008, 90% dari 645 bedah sesar yang tercatat meng-
gunakan teknik anestesia spinal.
2
Penggunaan anestesia regional pada bedah sesar
meningkat karena ngginya risiko komplikasi jalan napas
pada anestesia umum. Angka mortalitas ibu yang men-
jalani bedah sesar dengan anestesia umum hampir 17 kali
lebih nggi dibandingkan setelah penggunaan anestesia re-
gional.
3,4
Keuntungan lain adalah mula kerja dan masa pulih
anestesia yang cepat, relaf mudah, kualitas blokade sen-
sorik dan motorik yang baik, serta memungkinkan ibu tetap
sadar pada saat kelahiran bayinya.
4,5
Namun, hipotensi yang terjadi karena penurunan
tahanan vaskular sistemik akibat hambatan simpas tetap
menjadi sebuah permasalahan tersendiri.
3,4
Keadaan ini
dapat membahayakan ibu maupun bayi. Hipotensi berkai-
tan dengan ngginya blokade spinal. Semakin nggi blokade
spinal, mekanisme kompensasi akibat hambatan simpa-
s pun akan semakin ditekan.
4,6
Angka kejadian hipotensi
akibat anestesia spinal pada pasien bedah sesar bervariasi
dan cukup nggi.
7
Chung dkk. (12 mg bupivakain hiperbarik
0,5%), mendapatkan insidens hipotensi 80%.
8
Penelian
Riley dkk. dan Siddik-Sayyid dkk. (12 mg bupivakain hiper-
barik 0,75%), mendapatkan insidens hipotensi sebesar 85%
dan 87%.
9,10
Bryson dkk., serupa dengan Chung, mendapat-
kan insidens hipotensi yang lebih dari 70%.
11
Sementara itu,
Bogra dkk., Suwardi, dan Akmal (12,5 mg bupivakain hiper-
barik 0,5%) mendapatkan insidens hipotensi sebesar 50%,
46%, 42%.
12-14
Penggunaan anestek lokal dengan dosis yang
lebih kecil dak memblok serabut saraf simpas di daerah
atas sehingga hipotensi dak terjadi. Penggunaan dosis ke-
cil akan memperkecil risiko mbulnya toksisitas sistemik
obat anestek lokal.
15,16
Namun, dosis yang rendah akan
berpengaruh terhadap kualitas dan durasi anestesia spinal.
Ginosar dkk. melakukan penelian untuk mencari ED50 dan
ED95 dari bupivakain untuk anestesia spinal pada bedah
sesar. Hasilnya didapatkan ED50 dan ED95 adalah sebesar
7,6 mg dan 11 mg.
17
Di RSCM dosis bupivakain yang paling
sering digunakan pada bedah sesar adalah 12,5 mg.
2
Beberapa peneli menurunkan dosis bupivakain
dan menambahkan opioid lipolik intratekal untuk men-
gurangi hipotensi dan mempertahankan kualitas anestesia
yang baik. Fentanil merupakan opioid lipolik yang banyak
digunakan dan mudah didapat. Hunt dkk. menyebutkan
bahwa penambahan 6,25-50 mcg fentanil intratekal akan
meningkatkan periode analgesia perioperaf pada aneste-
sia spinal dengan bupivakain hiperbarik, tetapi dak mem-
pengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik.
18
Pada penelian ini, kami mencoba membanding-
kan anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain 0,5%
hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg dengan 12,5 mg bupi-
vakain 0,5% hiperbarik pada bedah sesar.
METODOLOGI
Penelian eksperimental, uji klinik acak tersamar
tunggal ini dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasi-
onal Cipto Mangunkusumo, Jakarta setelah mendapatkan
persetujuan dari Pania Tetap Penilai Ek dan persetujuan
tertulis dari pasien yang telah mendapatkan penjelasan se-
belumnya, dalam periode November 2009-Januari 2010.
Jumlah sampel total adalah 108 orang, yang dirandomisasi
menjadi dua kelompok.
Dilakukan randomisasi sederhana berdasarkan am-
plop pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien -
dak diberikan premedikasi sedasi. Identas pasien dicatat,
antara lain: nama, usia, jenis kelamin, berat badan (BB),
dan nggi badan (TB). Setelah pasien masuk ruang operasi,
dibaringkan telentang, dipasang monitor EKG, tensimeter,
saturasi oksigen, dan diberikan oksigen melalui kanul nasal
2-3 L/menit. Dilakukan pencatatan data awal berupa tekan-
an darah, frekuensi nadi, dan frekuensi napas. Coloading
cairan ringer laktat 500 mL dilakukan bersamaan dengan
anestesia spinal. Sebelum dilakukan anestesia spinal, obat
anestek lokal disiapkan terlebih dahulu dalam spuit 3 mL.
Pada kelompok I, diberikan 7,5 mg bupivakain 0,5% hip-
erbarik ditambah 25 mcg fentanil, dengan total volume 2
mL. Untuk kelompok II, 12,5 mg diberikan bupivakain 0,5%
hiperbarik, dengan total volume 2,5 mL. Pasien diposisi-
kan miring (lateral dekubitus), kemudian kaki dan kepala
dieksikan sehingga terlihat membungkuk. Dilakukan n-
dakan asepk dan ansepk pada lapangan tempat pe-
nyunkan. Pungsi lumbal dilakukan dengan menggunakan
jarum Quincke ukuran 27 G pada vertebra lumbal senggi
garis imajiner Tu er atau senggi sela vertebra lumbal 3-4
atau 4-5. Ujung jarum berada di ruang subaraknoid yang
ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal dari lumen
jarum spinal. Anestek lokal kemudian disunkkan dengan
kecepatan 0,2 mL/dek. Spuit kemudian dilepaskan dari
jarum spinal dan tampak cairan serebrospinal mengalir
untuk memaskan posisi ujung jarum spinal tetap berada
di ruang subaraknoid dan anestek lokal telah masuk ke-
dalam ruang subaraknoid, kemudian jarum dicabut. Segera
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 10
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
setelah selesai, pasien dikembalikan pada posisi telentang
horizontal, kepala diganjal bantal dan panggul kanan di-
ganjal kolf cairan 500 mL. Dilakukan pemantauan tekanan
darah, frekuensi nadi, pernapasan, dan saturasi oksigen. Di-
catat tanda vital menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18, 20, 30, 40, 50,
dan 60 setelah obat habis disunkkan. Jika tekanan darah
sistolik turun hingga kurang dari 90 mmHg, diberikan efe-
drin 5 mg intravena. Pemberian efedrin dapat diulang ap
60 dek hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg. Dilaku-
kan pencatatan waktu tercapainya hambatan sensorik T6,
dan nggi blok maksimal dengan menggunakan tes tusuk
jarum (pinprick) serta hambatan motorik dengan menggu-
nakan skala Bromage, beserta waktunya. Setelah bayi lahir,
skor APGAR menit pertama dicatat. Dilakukan pencatatan
efek samping yang terjadi seper mual muntah dan depresi
napas. Setelah 60 menit penelian selesai, prosedur selan-
jutnya sesuai standar yang berlaku di RSCM. Bila sebelum
operasi selesai pasien mengeluh kesakitan, teknik anestesia
dapat dikonversi menjadi anestesia umum sesuai standar
yang berlaku di RSCM. Setelah operasi selesai, pasien diba-
wa ke ruang pulih. Untuk tambahan analgek pascaoperasi
diberikan ketoprofen supositoria. Bila telah memenuhi skor
Aldree Modikasi di atas 8, pasien dipindahkan ke ruang
rawat.
Data yang didapat dari kedua kelompok akan dio-
lah dan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular atau
diagram. Perhitungan stask dilakukan dengan meng-
gunakan program komputer Stascal Package for Social
Science (SPSS) ver. 17.0. Uji stask yang dilakukan adalah
perbandingan dua proporsi menggunakan uji Chi square
dan perbandingan nilai rata-rata dengan standar deviasi
menggunakan uji student t-test independent untuk melihat
perbedaan hasil antara dua kelompok dengan perlakuan
yang berbeda. Nilai kemaknaan p<0,05 jika menunjukan
perbedaan bermakna atau p>0,05 jika dak menunjukkan
perbedaan yang bermakna.
HASIL
Telah dilakukan penelian untuk menilai keefek-
fan (kestabilan hemodinamik dan analgesia intraoperasi
yang baik) anestesia spinal pada pasien yang menjalani
bedah sesar dengan menggunakan bupivakain 0,5% hiper-
barik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok I) diband-
ingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelom-
pok II) sebagai kontrol. Penelian dilakukan terhadap 108
pasien, yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 54
pasien. Tidak ada subjek penelian yang dikeluarkan (drop
out). Karakterisk demograk pasien yang menjalani pene-
lian dapat dilihat pada Tabel 1. Perbandingan kelompok I
dan kelompok II dak ada perbedaan bermakna.
Efek hemodinamik dinilai berdasarkan angka ke-
jadian hipotensi dan jumlah efedrin yang diberikan. Se-
banyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok bupivakain 0,5%
hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok
I) mengalami hipotensi, sedangkan pada kelompok bu-
pivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebanyak
42,6% (23 pasien) yang mengalami hipotensi (Gambar 1).
Dari uji stask yang dilakukan, perbandingan kedua hasil
ini menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) den-
gan nilai p, yaitu 0,041.
Tabel 1. Data demograk pasien
Variabel
Kelompok I
(n=54)
Kelompok II
(n=54)
P
Mean (SD) Mean ( SD)
Usia (tahun) 29.35 (4.82) 30.26 (4.65) 0.322*
Berat badan (kg) 63.94 (5.51) 63.5 (5.79) 0.684
Tinggi badan (cm) 153.42 (5.2) 151.29 (4.89) 0.051
TD sistolik menit awal
(mmHg)
123.53
(5.02)
124.5 (4.89) 0.428
TD diastolik menit awal
(mmHg)
78.25 (5.16) 77.51 (4.05) 0.096
Frekuensi nadi awal (kali/
menit)
96.53
(11.28)
94.5 (9.86) 0.082
Frekuensi nafas awal
(kali/menit)
17.79 (3.06) 17.5 ( 3.06) 0.615
Berat Lahir Bayi (g)
2821.29
(528.84)
2849.81
(527.17)
0.926*
Lama Operasi (menit) 52.31 (9.3) 49.72 (8.81) 0.140*
Pendidikan^ : SD 7 (13%) 6 (11,1%) 0,953
SMP 21 (38,9%) 21 (38,9%)
SMA 24 (44,4%) 24 (44,4%)
PT 2 (3,7%) 3 (5,6%)
ASA ^ : 1 17 (31,5%) 19 (35,2%) 0,683
2 37 (68,5%) 35 (64,8%)
Operasi ^ : Elektif 4 (7,4%) 3 (5,6%) 0,696
Cito 50 (92,6%) 51 (94,4%)
Analisis stask menggunakan uji Mann-Withney
* Menggunakan uji T
^ Ditampilkan dalam bentuk proporsi; menggunakan uji Chi
Square

Gambar 1. Insidens kejadian hipotensi
Kelompok I memiliki rerata total pemberian efedrin
sebesar 5,38 (1,38) mg, yang secara stask terdapat per-
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 11
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
bedaan bermakna (p<0,05) dengan rerata total pemberian
efedrin pada kelompok II, yaitu sebesar 13,04 (5,98) mg.
Nilai rerata ini didapatkan dari penjumlahan total efedrin
yang diberikan dibagi jumlah subjek yang mendapat efe-
drin. Distribusi pemberian efedrin total dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Distribusi total jumlah pemberian efedrin
Prol blokade sensorik dilihat dari waktu tercapa-
inya blokade sensorik senggi T6, waktu tercapainya nggi
blokade sensorik maksimal, kenggian blokade sensorik
maksimal, dan kenggian blokade sensorik saat 60 menit.
Untuk prol blokade motorik, dilihat dari waktu tercapainya
blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksi-
mal, dan skala blokade motorik saat menit ke 60.
Waktu untuk tercapainya blokade sensorik senggi
dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya
pembedahan. Hasilnya adalah 3,94 (1,4) menit dan 3,55
(1,17) menit pada kelompok I dan kelompok II. Perband-
ingan keduanya dak berbeda bermakna secara stask
dengan nilai p>0,05. Dari hasil yang didapat, waktu terca-
painya kenggian blokade sensorik maksimal dak berbe-
da bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Kenggian
blokade sensorik pada menit ke-60 antara kelompok I dan
kelompok II berbeda bermakna secara stask. Sebaran
kenggian blokade sensorik terlihat pada Gambar 3 dan 4.
Perbandingan prol blokade motorik antara kedua kelom-
pok, yang tergambar dari waktu tercapainya blokade mo-
torik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala
blokade motorik saat menit ke-60, keganya memberikan
hasil yang berbeda bermakna secara stask (Tabel 2).
Gambar 3. Sebaran blokade sensorik maksimal
Tabel 2. Waktu dan skala blokade motorik
Variabel
Kelom-
pok 1
Kelom-
pok 2
P
Mean
(SD)
Mean
(SD)
Waktu Tercapainya Blok
Motorik Maksimal
6.94
(2.39)
4.33
(2.89)
0.001
Median
(min-maks)
Median
(min-maks)
Blok Motorik maksimal
(skala bromage)
3 (2-3) 3 0,005*
Blok Motorik saat 60
menit (skala bromage)
2 (1-3) 3 (2-3) 0,002*
Menggunakan Uji Mann-Whitney; *menggunakan Uji Chi
Square
Efek lain dari teknik anestesia spinal terhadap ibu
dan bayi yang diobservasi adalah kejadian mual muntah,
pruritus, depresi napas, dan nilai APGAR menit pertama.
Hasil yang didapatkan, yaitu mual muntah terjadi pada
kelompok I dan kelompok II sebanyak 15 (27,8%) dan 17
(31,5%) pasien, sedangkan efek pruritus terjadi pada 3
(5,6%) dan 0 pasien.

Gambar 5. Sebaran nilai APGAR menit pertama
Gambar 4. Sebaran ketinggian blokade sensorik menit ke-
60
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 12
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
Perbandingan yang dilakukan terhadap dua efek samping ini
dak bermakna secara stask. Pada kedua kelompok dak
didapatkan efek samping depresi napas. Nilai APGAR me-
nit pertama dak berbeda bermakna secara stask pada
kedua kelompok, dengan nilai p 0,893. Pada penelian ini
didapa nilai APGAR 0 pada 2 kelompok yang disebabkan
kondisi intrauterine fetal death (IUFD) sebelum dilakukan
ndakan anestesia dan pembedahan. Datanya dak diikut-
kan dalam pengolahan uji stask. Sebaran nilai APGAR
menit pertama dapat dilihat pada Gambar 5.
PEMBAHASAN
Penggunaan opioid lipolik intratekal yang dit-
ambahkan pada bupivakain hiperbarik semakin populer
untuk mengurangi dosis anestek lokal dan mempertah-
ankan kualitas analgesia. Dasar dari penambahan opioid
pada anestek lokal adalah efek sinergisk yang dihasilkan.
Blokade kanal ion natrium oleh anestek lokal dan kanal ion
kalsium oleh opioid akan saling menguatkan efek.
15,19
Pene-
lian ini membandingkan dua kelompok pasien yang men-
jalani bedah sesar dengan modalitas anestesia spinal yang
berbeda. Kelompok I menggunakan obat bupivakain 0,5%
hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan
kelompok II menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5
mg sebagai kelompok kontrol. Karakterisk pasien pada ke-
lompok I dan kelompok II, berdasarkan usia, berat badan,
nggi badan, dan status ASA dak memiliki perbedaan ber-
makna. Dengan demikian, kedua kelompok ini layak untuk
dibandingkan. Demikian pula dengan data dasar tekanan
darah awal dan frekuensi nadi awal antara kedua kelompok
juga dak terdapat perbedaan bermakna.
Pada penelian ini didapatkan angka kejadian
hipotensi sebesar 42,6% pada kelompok bupivakain 0,5%
hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebagai kelompok kontrol.
Angka yang didapatkan ini hampir sama dengan hasil yang
dikemukakan oleh beberapa penelian sebelumnya. Bogra
dkk. pada tahun 2004, melakukan penelian dengan 12,5
mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada 20 pasien mendapat-
kan angka kejadian hipotensi sebesar 50% pada kelompok
tersebut.
12
Sementara itu, Suwardi (2005) dan Akmal (2008)
dengan obat yang sama pada 43 dan 90 pasien mendapat-
kan angka kejadian hipotensi sebesar 46% dan 42%.
13,14

Penelian Bogra, Suwardi, dan Akmal menggunakan pop-
ulasi yang sama dengan penelian ini. Berdasarkan hal
tersebut, rerata risiko hipotensi antara 42-50% dalam peng-
gunaan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg untuk bedah
sesar.
Dengan menurunkan dosis obat anestek lokal
pada anestesia spinal diharapkan dapat menurunkan angka
kejadian hipotensi. Namun, dosis yang rendah berkaitan
dengan blokade sensorik (analgesia) yang kurang efekf un-
tuk pembedahan. Untuk mempertahankan kualitas analge-
sia, ditambahkan opioid lipolik yang bekerja selekf pada
jaras nyeri (sensorik).
1,4,19
Pada penelian ini obat anestesia
spinal yang digunakan adalah bupivakain 0,5% hiperbarik
dengan dosis 7,5 mg yang ditambah dengan fentanil 25
mcg. Dengan menggunakan kombinasi obat tersebut di-
dapatkan angka kejadian hipotensi yang lebih rendah, yaitu
sebesar 24,1%.
Pada penelian ini didapatkan penurunan angka
kejadian hipotensi pada kelompok I dibandingkan kelom-
pok II yang disebabkan hambatan simpas yang rendah
akibat penggunaan bupivakain dengan dosis yang lebih
rendah. Semakin nggi hambatan simpas, semakin nggi
pula angka kejadian dan semakin berat derajat hipotensi
yang terjadi.
4,15
Dengan kata lain, penggunaan dosis bupi-
vakain yang lebih nggi akan menyebabkan kejadian hipo-
tensi yang lebih nggi pula. Namun, penggunaan dosis bu-
pivakain yang lebih rendah berisiko menghasilkan analgesia
yang dak adekuat. Kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hip-
erbarik ditambah 25 mcg fentanil menghasilkan analgesia
yang adekuat untuk bedah sesar dibandingkan penelian
lain yang menggunakan kombinasi obat yang sama dengan
dosis yang berbeda.
Penelian Kang dkk., menggunakan 5 mg bupiv-
akain hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil dan didapatkan
insidens hipotensi sebesar 20%, tetapi 13% dikonversi men-
jadi anestesia umum.
20
Kualitas analgesia yang menurun
juga ditunjukkan oleh Tolia dkk., yang menggunakan dosis
bupivakain lebih besar dari penelian Kang. Tolia menggu-
nakan 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah dengan
10 mcg fentanil dengan hasil insidens hipotensi yang ren-
dah (8%), tetapi 4% dikonversi menjadi anestesia umum.
3

Dapat terlihat bahwa semakin kecil dosis bupivakain yang
digunakan, semakin rendah kejadian hipotensi, tetapi dii-
ku dengan kualitas analgesia yang menurun. Hal yang
menarik dari penelian Tolia dibandingkan penelian Kang
adalah insidens hipotensi yang didapat oleh Tolia lebih ren-
dah dibandingkan Kang, di mana Tolia menggunakan dosis
bupivakain yang lebih nggi, tetapi dengan dosis fentanil
yang lebih rendah.
Dosis fentanil yang lebih besar juga menimbulkan
risiko hipotensi yang lebih besar, dengan penggunaan dosis
anestek lokal yang sama. Hasil yang didapat dari peneli-
an yang dilakukan Tolia dkk., menunjukkan insidens hipo-
tensi yang lebih rendah dari hasil yang didapatkan pada
penelian ini di mana kami menggunakan dosis fentanil
lebih nggi (10 mcg vs 25 mcg).
3
Hunt dkk., menemukan
hal yang sama dalam peneliannya dengan menggunakan
dosis fentanil yang beragam dikombinasi dengan dosis bu-
pivakain yang ditentukan. Beberapa postulat penelian
menyatakan penggunaan opioid intratekal juga menimbul-
kan hipotensi, terutama dengan dosis yang semakin nggi.
Mekanisme yang mendasari terjadinya hal ini diperkirakan
akibat blokade nyeri yang baik dan terjadi cepat, menye-
babkan turunnya kadar katekolamin sehingga menurunkan
tekanan darah, dan mekanisme lain yang belum diketahui.
Akan tetapi, kejadian hipotensi ini dapat dicegah dengan
rehidrasi yang baik.
3,18,21
Dosis fentanil 25 mcg yang dit-
ambahkan pada 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada
penelian ini memberikan analgesia intraoperaf yang
baik dengan kejadian hipotensi yang masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan penggunaan 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik.
Hasil penelian ini mendapa penggunaan fent-
anil 25 mcg intratekal sebagai tambahan 7,5 mg bupivakain
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 13
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
0,5% hiperbarik, masih memiliki kejadian hipotensi yang
lebih rendah dibandingkan kombinasi obat yang diberi-
kan pada penelian sebelumnya. Srivastava dkk. (2004),
dalam peneliannya menggunakan bupivakain hiperbarik
10 mg ditambah 25 mcg fentanil, mendapatkan insidens
hipotensi 52%.
22
Suwardi (2005) menggunakan bupivakain
hiperbarik 10 mg ditambah 10 mcg fentanil, mendapatkan
insidens hipotensi 39,5% dan analgesia yang baik.
13
Sarvela
dkk. (1999), menggunakan 9 mg bupivakain hiperbarik dit-
ambah 20 mcg fentanil, mendapatkan insidens hipotensi
61%, tanpa mempengaruhi penambahan durasi blokade
sensorik maupun motorik.
23
Harsoor dan Vikram (2008)
menggunakan 8 mg bupivakain hiperbarik ditambah 12,5
mcg fentanil dan didapatkan kejadian hipotensi 50%.
24
Pada penelian ini didapatkan penggunaan re-
rata efedrin total yang jauh lebih rendah pada kelompok
bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25
mcg, yaitu sebesar 5,38 (1,38) mg dibandingkan dengan
13,04 (5,98) mg pada kelompok bupivakain 0,5% hiper-
barik 12,5 mg. Rerata total jumlah efedrin untuk kelompok
II mendeka apa yang didapatkan Neves dkk. (2003) yang
menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik, yaitu 14,17
(9,92). Demikian pula dengan hasil yang didapatkan Gi-
nosar dkk. (2004) dengan 14 mg bupivakain, dan Suwardi
(2005) yang menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
dan 10 mg bupivakain hiperbarik ditambah fentanil 12,5
mcg, yaitu sebesar 13,82 (5,73) vs 11,19 (4,15) mg.
13,17,25

Rerata efedrin total untuk kelompok I dibandingkan den-
gan kelompok II memiliki perbedaan yang bermakna secara
stask.
Penggunaan dosis total efedrin yang lebih nggi
memiliki risiko efek samping yang lebih nggi untuk bedah
sesar. Efedrin dapat menimbulkan hipertensi reakf, vaso-
konstriksi pembuluh darah uterus, dan dapat menembus
sawar darah-plasenta, sehingga mempengaruhi denyut
jantung janin. Lee dkk., dalam sebuah njauan mengenai
beberapa penelian penggunaan efedrin untuk mence-
gah hipotensi, menyatakan bahwa penggunaan dosis lebih
dari 14 mg berpotensi menimbulkan hipertensi reakf dan
penurunan pH arteri umbilikalis, tetapi dak berkaitan den-
gan asidosis fetal ataupun nilai APGAR. Terlepas dari kes-
impulan mengenai penggunaan efedrin tersebut, hipotensi
tetap merupakan faktor risiko mayor terjadinya asidosis fe-
tal.
19,26,27
Sayangnya pada penelian ini dak dilakukan pen-
gukuran terhadap asidosis fetal.
Dalam penelian ini dak ditemukan adanya
pasien yang mengalami bradikardia pada kedua kelompok.
Bradikardia berkaitan dengan blokade saraf spinal yang
nggi sehingga dak hanya menghambat simpas tetapi
juga dapat memblok cardiac accelerator ber yang keluar
dari level T1-4. Blokade simpas ditambah dengan volume
intravaskular yang rendah dan penekanan aortokaval yang
berat akan menyebabkan penurunan preload, sehingga
terjadi bradikardia. Selain dak terjadi blokade spinal yang
nggi, volume intravaskular yang cukup, dan penguran-
gan efek penekanan aortokaval, penggunaan efedrin pada
penelian ini juga berperan dalam mencegah bradikardia.
Efedrin selain memiliki efek langsung agonis alfa adrener-
gik (meningkatkan tonus vena dan vasokonstriksi arteriol),
juga memiliki efek agonis beta adrenergik yang akan me-
ningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraklitas jan-
tung.
4,15,19
Blokade sensorik yang dianggap adekuat dalam
bedah sesar, yaitu tercapainya blokade sensorik senggi
torakal 6 (T6). Waktu untuk tercapainya blokade sensorik
senggi dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimu-
lainya pembedahan. Kelompok I dan kelompok II memiliki
rerata waktu untuk mencapai kenggian blokade sensorik
T6 yang dak berbeda bermakna yaitu 3,94 (1,4) menit
dan 3,55 (1,17) menit. Waktu untuk tercapainya keng-
gian blokade senggi T6 ini mirip dengan hasil yang di-
dapatkan Tolia dkk.
3
Hasil ini menggambarkan dak ada
perbedaan waktu yang diperlukan untuk dapat dimulainya
pembedahan dan analgesia yang cukup untuk dilakukan
pembedahan antara kedua kelompok. Demikian pula rerata
waktu tercapainya kenggian blokade sensorik maksimal
antara kedua kelompok dak berbeda bermakna. Tolia dkk.,
dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 11 mg, bupiv-
akain hiperbarik 9 mg ditambah fentanil 10 mcg, dan bu-
pivakain hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 10 mcg, juga
mendapatkan dak adanya perbedaan dari dua variabel ini,
dan sama-sama mendapa kejadian hipotensi yang lebih
rendah. Hasil yang senada dengan kelompok II pun diutara-
kan oleh Suwardi, Dahlgren dkk., dan Siddik-Sayyid dkk. Va-
riasi perbedaan nggi blokade maksimal antara penelian
yang satu dengan yang lain disebabkan penggunaan obat
yang berbeda.
3,10,13,21
Kombinasi obat kelompok I dalam penelian ini
memiliki volume total yang lebih rendah, yaitu 2 mL diband-
ingkan dengan 2,5 mL pada 0,5% bupivakain hiperbarik 12,5
mg (kelompok II), sehingga dinjau dari perbandingan vol-
ume obat pun kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik
ditambah dengan fentanil 25 mcg telah diperkirakan sebe-
lumnya akan menghasilkan angka kejadian hipotensi yang
lebih rendah. Namun, kombinasi anestek lokal dan opioid
ini masih menghasilkan analgesia intraoperaf yang cukup
baik. Hasil ini membawa kita pada pertanyaan apakah ma-
sih perlu dosis bupivakain 0,5% hiperbarik sebesar 12,5 mg
untuk bedah sesar. Hal ini tentu membutuhkan penelian
lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat.
Perbandingan prol blokade motorik kedua kelom-
pok memberikan hasil yang berbeda bermakna (Tabel 2).
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai blokade maksimal
lebih lama pada kelompok I dibandingkan dengan kelom-
pok II, yaitu 6,94 (2,39) vs 4,33 (2,89) menit). Blokade
motorik maksimal yang dicapai dan blokade motorik pada
menit ke-60 (menggunakan skala Bromage) lebih rendah
pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II. Per-
bedaan ini terjadi karena penggunaan dosis obat aneste-
k lokal pada kelompok I jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok II, namun blokade yang dimbulkan
pada kelompok I masih memadai untuk dilakukannya be-
dah sesar. Blokade serat saraf motorik diketahui memerlu-
kan dosis dan konsentrasi anestek lokal yang lebih nggi
bila dibandingkan dengan serat saraf sensorik dan otonom.
Penggunaan fentanil intratekal menunjukkan selekvitas
blokade terhadap jaras saraf sensorik. Hasil yang serupa
juga didapa pada beberapa penelian sebelumnya yang
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 14
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
juga menurunkan dosis anestek lokal dan menambahkan
fentanil intratekal.
13,17,18,20,25,28
Sarvela dkk., menyatakan
hambatan motorik lebih cepat hilang pada penggunaan 9
mg bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg fentanil. Bryson
dkk. serta Tolia dkk., menyatakan penggunaan dosis anes-
tek lokal yang rendah ditambah opioid lipolik intratekal
menghasilkan blokade motorik maksimal yang lebih lama
tercapai, lebih ringan, dan cepat pulih.
3,11,19,23
Hasil yang di-
dapat ini bermakna bahwa penggunaan 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil, menimbulkan
blokade motorik yang adekuat untuk dilakukannya bedah
sesar dengan waktu pemulihan yang lebih cepat sehingga
mempersingkat waktu observasi pasien di ruang pulih.
Efek lain yang diama pada penelian ini adalah
kejadian mual muntah, pruritus, depresi napas, serta pen-
garuhnya terhadap janin yang dilihat dari nilai APGAR me-
nit pertama. Pada penelian ini didapatkan angka kejadian
mual muntah yang dak berbeda bermakna, yaitu sebesar
27,8% pada kelompok I dan 31,5% pada kelompok II. Angka
kejadian mual muntah pada penelian ini sama dengan
hasil yang didapat dari penelian Dahlgren dkk. (25%) dan
Ben-David dkk. (31%).
21,28
Munculnya kejadian mual muntah
dapat diakibatkan oleh banyak faktor antara lain teknik
anestesia spinal yang berkaitan dengan kejadian hipotensi
dan hipoksemia pada pusat muntah, rangsangan langsung
pada pusat muntah akibat penggunaan opioid, adanya nyeri
viseral saat manipulasi uterus, tarikan omentum atau isi ab-
domen lain, dan peningkatan tekanan darah yang signikan
dan ba-ba akibat pemberian vasopresor.
4,6,7,10
Selain itu,
terdapat perbedaan protokol antara penelian yang satu
dengan lainnya, seper pemberian premedikasi anemek
atau tanpa pemberian premedikasi anemek. Ben-David
dalam peneliannya melaporkan adanya rasa dak nyaman
saat manipulasi uterus, walaupun hanya sebentar dan -
dak mengganggu secara keseluruhan dibandingkan dengan
kedaknyamanan akibat mual muntah. Nyeri viseral saat
manipulasi atau tarikan organ abdomen dapat mencetus-
kan mual muntah juga, tetapi dikeluhkan sebagai kejadian
yang terpisah oleh pasien.
28
Hal ini membuat idenkasi
penyebab mual muntah menjadi lebih sulit. Borgeat dkk.
dalam njauannya mengatakan untuk melakukan pene-
lian mengenai efek samping mual muntah bukanlah hal
yang mudah, disebabkan banyaknya faktor yang mempen-
garuhi. Walaupun telah banyak protokol penelian yang di-
gunakan, masih terdapat beberapa aspek yang menyulitkan
generalisasi dari hasil yang didapatkan.
29
Variasi hasil yang didapatkan pada penelian se-
belumnya menunjukkan dak jelasnya keterkaitan antara
mual muntah dengan kombinasi obat yang digunakan un-
tuk anestesia spinal. Penelian Ben-David dkk., memband-
ingkan insidens mual muntah pada pemberian bupivakain
hiperbarik 10 mg dengan bupivakain isobarik 5 mg dit-
ambah 25 mcg fentanil mendapatkan angka 69% vs 31%.
28

Kang dkk. yang menggunakan bupivakain hiperbarik 8 mg
dan bupivakain hiperbarik 5 mg ditambah 25 mcg fentanil
mendapatkan angka 53% dan 40%. Sementara itu, Tolia
dkk. bahkan melaporkan dak menemukan kejadian mual
muntah pada penggunaan bupivakain hiperbarik 7,5 mg
dengan penambahan fentanil 10 mcg dan hanya 2% pada
penggunaan 9 mg bupivakain hiperbarik dengan penamba-
han fentanil 10 mcg.
3,28
Dari perbandingan ga penelian
berbeda yang sama-sama dak menggunakan premedikasi
ini, ada hal yang perlu dicerma, yaitu besar angka kejadian
mual muntah selalu sejalan dengan besar angka kejadian
hipotensinya (Ben-David 94% vs 31%, Kang 40% vs 20%, To-
lia 24% vs 8%).
Penggunaan opioid intratekal dianggap dapat me-
nyebabkan terjadinya mual muntah. Beberapa hasil peneli-
an menyatakan penggunaan morn intratekal lebih sering
menyebabkan mual muntah dibandingkan penggunaan
fentanil.
4,15
Siddik-Sayyid menyatakan penggunaan fentanil
intratekal memiliki efek samping mual muntah yang justru
lebih rendah dibandingkan fentanil intravena.
10,18
Hasil yang
diperoleh pada penelian ini memberikan kesan penggu-
naan dosis fentanil intratekal yang lebih nggi menjadi pe-
nyebab meningkatnya insidens mual muntah, terutama bila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Tolia (nihil pada
penggunaan 7,5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 10 mcg
fentanil). Namun, Hunt dalam peneliannya menggunakan
2,5-50 mcg fentanil, gagal menunjukkan kenaikan insidens
mual muntah yang konsisten seiring kenaikan dosis fentanil
yang digunakan.
3,18
Hasil dari penelian ini menunjukkan
bahwa penggunaan fentanil 25 mcg sebagai kombinasi obat
anestesia spinal untuk bedah sesar pada kelompok I, dak
meningkatkan angka kejadian mual muntah bila dibanding-
kan dengan kelompok II. Sebaliknya, angka kejadian mual
muntah pada kelompok I justru lebih rendah dibandingkan
kelompok II, walaupun secara stask perbedaannya dak
bermakna.
Penggunaan opioid intratekal juga dikatakan me-
nyebabkan mbulnya pruritus. Pruritus yang disebabkan
oleh opioid intratekal atau epidural terjadi akibat migrasi
opioid dalam cairan serebrospinal ke arah kranial dan
merangsang langsung nukleus trigemini yang terletak super-
sial di medula. Collin menyatakan penggunaan morn leb-
ih sering menyebabkan pruritus dibandingkan penggunaan
fentanil intratekal. Pada penelian ini didapa angka ke-
jadian pruritus yang dak berbeda bermakna. Pruritus yang
terjadi masih dapat ditoleransi oleh pasien dan dak sam-
pai memerlukan nalokson. Dahlgren dkk., pada penelian-
nya hanya menemukan kejadian pruritus ringan ini sebesar
4%. Tolia, Harsoor, serta Kang, juga mendapatkan insidens
pruritus ringan yang dak signikan bermakna pada peng-
gunaan bupivakain ditambah fentanil intratekal.
3,7,20,21,24
Pada penelian ini dak ada kejadian depresi
napas pada kedua kelompok. Hasil serupa juga dilaporkan
oleh penelian sebelumnya yang menggunakan fentanil
intratekal.
3,8,10-13,20-22,28,30,31
Hunt dkk., dalam peneliannya
menggunakan beragam dosis fentanil intratekal, 2,5-50
mcg, dak menemukan adanya insidens depresi napas.
18

Gwirtz dkk., melakukan penelian terhadap pasien yang
menjalani bedah urologi, bedah ortopaedi, bedah umum
atau vaskular, bedah toraks, dan bedah ginekologi nonob-
stetrik yang mendapat opioid intratekal, mengemukakan
kejadian depresi napas sebesar 3%, dengan jumlah sampel
5069 pasien dan dengan periode waktu yang lama, yaitu tu-
juh tahun.
32
Perbandingan nilai APGAR pada kedua kelompok
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 15
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
dak berbeda bermakna secara stask. Adanya nilai AP-
GAR 0 pada kedua kelompok disebabkan kondisi janin yang
telah didiagnosis intrauterine fetal death (IUFD) sebelum
dilakukan ndakan anestesia maupun pembedahan. Kon-
disi ini dak termasuk dalam kriteria drop out, tetapi data
nilai APGAR kega sampel tersebut (1 pada kelompok I dan
2 dalam kelompok II) dak disertakan dalam pengolahan
uji stask karena nilai APGAR yang rendah ini dak dise-
babkan dan dak berkaitan dengan modalitas anestesia
spinal yang diteli. Selebihnya, dak ditemui nilai APGAR
di bawah 7 pada kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan
penelian sebelumnya.
3,8,10,13,20-22,28,31
Hasil yang diperoleh
dari penelian ini menggambarkan bahwa penambahan
fentanil 25 mcg intratekal dak menimbulkan efek depresi
yang signikan pada janin.
SIMPULAN
Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain
hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih efekf
dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% pada be-
dah sesar karena menghasilkan analgesia intraoperaf yang
adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganapathy S. Editorial: Walking spinals: A myth or real-
ity? Can J Anaesth 2001;52:222-4.
2. Data Rekapitulasi Anestesia Spinal Instalasi Gawat
Darurat RSUPNCM tahun 2005-2007.
3. Tolia G, Kumar A, Jain A, Pandey M. Low dose intrathe-
cal bupivacaine with fentanyl for cesarean delivery. J
Anesth Clin Pharmacol 2008;24(1):201-4.
4. Wlody D. Complicaon of regional anesthesia in obstet-
rics. Clin Obstet Gynecol 2003;46:667-78.
5. Lee A, Ngan KWD, Gin T. Prophylacc ephedrine pre-
vent hypotension during spinal anesthesia for cesarean
delivery. Can J Anaesth 2002;49:588-99.
6. Ronald D, Miller MD. Anesthesia. 6th ed. New York:
Churchill Livingstone; 2005. p. 232-329.
7. Collins VJ. Principles of anesthesiology. 3rd

ed. Philad-
helphia: Lea-Febiger; 1993. 1199-281; 1445-555.
8. Chung CJ, Choi SR, Yeo KH, Park HS, Lee SI, Chin YJ.
Hyperbaric spinal ropivacaine for cesarean delivery: A
comparison to hyperbaric bupivacaine. Anesth Analg
2001;93:157-61.
9. Riley E, Cohen SE, Rubenstein AJ, Flanagan B. Preven-
on of hypertension aer spinal anesthesia for cesar-
ean secon: 6% hetastarch versus lactated ringers so-
luon. Anesth Analg 1995;81:838-42.
10. Siddik-Sayyid SM, Aouad MT, Jalbout MI, Zalaket MI,
Berzina CE, Baraka AS. Intrathecal versus intravenous
fentanyl for supplementaon of subarachnoid block
during cesarean delivery. Anesth Analg 2002;95:209
13.
11. Bryson GL, Macneil R, Jeyaraj LM, Rosaeg OP. Small
dose spinal bupivacaine for caesarean delivery does
not reduce hypotension but accelerates motor recov-
ery. Can J Anesth 2007;54:531-7.
12. Bogra J, Arora N, Srivastava P. Synergisc eect of intra-
thecal fentanyl and bupivacaine in spinal anesthesia for
cesarean secon. BMC Anesthesiol 2005;5:5.
13. Suwardi C. Perbandingan analgesia spinal pada bedah
sesar antara kombinasi 10 mg bupivakain hiperbarik
0,5% + 12,5 mcg dengan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
0,5%. FKUI 2005.
14. Akmal E. Penyebaran anestek lokal dan efek hemo-
dinamik pada operasi seksio sesaria dalam anestesia
spinal. FKUI 2008.
15. Russel F, Holmqvist ELO. Subarachnoid analgesia for
caesarean secon. Br J Anaesth 1987;59:347-53.
16. Richardson MG, Collins HV, Wissler R. Intrathecal plain
vs hyperbaric bupivacaine with mophine for cesarean
secon: A comparison of eecveness, side-eects and
sedaon. Anesthesiology 1997;87:A890.
17. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET.
ED50 and ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine
coadministered with opioid in cesarean delivery. Anes-
thesiology 2004;100:676-82.
18. Hunt CO, et al. Perioperave analgesia with subarach-
noid fentanyl-bupivacaine for cesarean secon. Anes-
thesiology 1999;71:535-40.
19. Stoelng RK. Pharmacology and physiology in anesthet-
ic pracce. 3
rd
ed. Philadelphia: Lippinco-Raven; 1999.
p. 158-81.
20. Kang FC, Tsai YC, Chang PJ, Chen TY. Subarachnoid fen-
tanyl with diluted small-dose bupivacaine for cesarean
secon delivery. Acta Anaesthesiol Sin 1998;36:207-14.
21. Dahlgren G, Hulstrand C, Jakobsson J, Norman M, Er-
iksson EW, Marn H. lntrathecal sufentanil, fentanyl,
or placebo added to bupivacaine for cesarean secon.
Anesth Analg 1997;85:1288-93.
22. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK, Saxena S, Dua D,
Chandra P, et al. Hyperbaric or plain bupivacaine com-
bined with fentanyl for spinal anesthesia during caesar-
ean delivery. Indian J Anaesth 2004;48:44-5.
23. Sarvela PJ, Halonen PM, Korla KT. Comparaon of in-
trathecal hypobaric and hyperbaric bupivacain both
with fentanyl for cesarean secon. Anesth Analg
1999;89:71:706-10.
24. Harsoor S,Vikram M. Spinal anaesthesia with low dose
bupivacaine with fentanyl for caesarean secon. SAARC
J Anaesth 2008;1(2):142-5.
25. das Neves JF, Monteiro GA, de Almeida JR, Brun A, Ca-
zarin N, SantAnna RS, Duarte ES. Spinal anesthesia for
cesarean secon. Comparave study between isobaric
and hyperbaric bupivacaine associated to morphine.
Rev Bras Anestesiol 2003;53(5):5738.
26. Lee A, Ngan Kee WD, Gin T. A dose-response meta-
analysis of prophylacc intravenous ephedrine for the
prevenon of hypotension during spinal anesthesia for
elecve cesarean delivery. Anesth Analg 2004;98:483-
90.
27. Van de velde M. Spinal anesthesia in the obstetric pa-
ent: Prevenon and treatment of hypotension. Acta
Anaesth Belg 2006;57:383-6.
28. Ben-David B, Miller G, Gavriel R, Gurevitch A. Low-dose
bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 16
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
delivery. Reg Anesth Pain Med 2000;25:235-9.
29. Borgeat A, Ekatodramis G, Schenker CA. Postoperave
nausea and voming in regional anesthesia. A review.
Anesthesiology 2003;98:530-47.
30. Seyedhejazi M, Madarek E. The eect of small dose
bupivacaine-fentanyl in spinal anesthesia on hemody-
namic nausea and vomi ng in cesarean secon. Pak J
Med Sci 2007;23:747-50.
31. Belzarena SD. Clinical eect of intratechally adminis-
tered fentanyl in paents undergoing cesarean secon.
Anesth Analg 1992;74:653-7.
32. Gwirtz KH, et al. The safety and e cacy of intrathecal
opioid analgesia for acute postoperave pain: Seven
years experience with 5969 surgical paents at Indiana
university hospital. Anesth Analg 1999;88:599-604.
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 17
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
ABSTRACT
Background: Along with globalizaon era there are
much worries about the paent complaints caused by com-
plicaons of medical procedures. Tracheal intubaon pro-
cedure rounely conducted for general anesthesia has been
associated with throat complaints (i.e sore throat, cough,
and hoarseness) caused by the endotracheal tube cu trau-
mac pressure at the tracheal lateral wall.
Methods: Fiy ASA class 1 and 2 paents, aged 20
to 60 years undergoing elecve surgeries under general an-
esthesia with endotracheal intubaon in GBPT dr Soetomo
Hospital Surabaya were randomized into two groups: treat-
ment and control groups. The rst was using Endotest

spe-
cial device while the later assessed by clinical esmaon.
Throat complaints were recorded 20-24 hours aer surgery.
The cu inaons and post operave assessments all con-
ducted by double blinded technique.
Result: Air volume injected into endotracheal tube cu
in the rst group was averaging 5,24 + 1,66 ml, the later
group cu pressure was maintained between 25 and 30 cm-
H
2
O as recommended by previous studies. The incidence of
throat complaints was considerably lower (20%) compared
to other reports in the literature, this study found no sig-
nicant dierences of throat complaints incidence between
those groups (OR = 0,603, 95% CI = 0,147 to 2,468).
Conclusion: A simple and cheap method to inate
the endotracheal tube cu using minimal occlusive volume
technique was showed relavely safe in daily anesthesia
pracce, especially if there is no such more expensive En-
dotest

special device available around.


Keywords: Complicaons, Sore Throat, Endotracheal
Tube Cu, Inaon Methods
ABSTRAK
Latar Belakang: Sejalan dengan era keterbukaan,
kekuaran mbulnya keluhan atas komplikasi ndakan
medis sangatlah beralasan. Tindakan intubasi endotrakeal
yang sering dilakukan untuk kepenngan anestesi umum
saat dilakukan pembedahan memiliki risiko komplikasi be-
rupa trauma terhadap mukosa saluran nafas, antara lain
adalah gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk, dan sua-
ra serak) pasca intubasi. Komplikasi tersebut terutama di-
sebabkan oleh tekanan kaf pipa endotrakea pada dinding
lateral trakea.
Metode: Subyek adalah pasien yang menjalani operasi
pembedahan elekf menggunakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Ek secara
random dipilih 50 orang usia 20-60 tahun dengan status PS
ASA 1-2, yang dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan
kontrol. Kelompok kontrol pengisian kafnya menggunakan
esmasi klinis, sedang kelompok perlakuan memakai alat
Endotest

. Gejala tenggorok yang muncul pasca intubasi


diketahui berdasarkan pemeriksaan 20-24 jam pasca pem-
bedahan. Prosedur pengisian kaf dan pemeriksaan pasca
pembedahan tersebut dilakukan secara double blinded.
Hasil: Pada kelompok kontrol diisikan ke dalam kaf
volume udara rata-rata sebanyak 5,24 + 1,66 ml, adapun
pada kelompok perlakuan diatur tekanan kaf antara 25-
30 cmH
2
O. Pada penelian ini diperoleh kejadian gejala
tenggorok yang cukup rendah (20%) dibandingkan peneli-
an-penelian terdahulu, dimana dak terdapat perbeda-
an yang signikan diantara kedua kelompok tersebut (OR =
0,603 dengan C1 95% = 0,147-2,468).
Simpulan: Pengisian kaf pipa endotrakea secara se-
derhana dengan hanya bermodalkan spuit, menggunakan
minimal occlusive volume technique, masih cukup aman
untuk dapat dilakukan sehari-hari apabila dak terdapat
fasilitas alat khusus pengukur tekanan kaf Endotest

yang
relaf jauh lebih mahal.
Kata kunci: komplikasi, nyeri tenggorok, kaf pipa en-
dotrakea, metode inasi
I LAPORAN PENELITIAN I
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Esmasi dan
Pengukuran Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr.
Soetomo Surabaya
Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intubaon: Comparison of Esmaon
and Measurement on Cu Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo
Surabaya
Herdy Sulistyono H
Herdy Sulistyono H
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo - Surabaya
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 18
PENDAHULUAN
Tindakan intubasi endotrakea untuk kepenngan
anestesi umum seringkali menyebabkan trauma terhadap
mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai
gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala
yang dikeluhkan pasien antara lain adalah: nyeri tenggorok
(sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness),
yang dilaporkan oleh Christensen, dkk serta Loeser, dkk
memiliki insidens sebesar 21-65%.
1,2
Meskipun dak sam-
pai menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat
dirasakan sangat dak nyaman dan bahkan bisa menimbul-
kan keluhan dari pasien terutama yang akan dipulangkan
pasca ndakan yang bersifat poliklinik. Gejala-gejala terse-
but, nampaknya merupakan akibat dari terjadinya iritasi lo-
kal dan proses inamasi yang terjadi pada mukosa saluran
nafas atas. Penelian oleh Stout, dkk menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara pemasangan pipa dengan mun-
culnya gejala,
3
demikian pula penelian oleh Jensen, dkk
yang mengaitkan pengaruh kaf terhadap gejala tenggorok
tersebut.
4
Dari penelian-penelian yang telah dilakukan ter-
hadap pengaruh pemasangan pipa endotrakea, ternyata
minat lebih banyak ditunjukkan kepada lesi yang diakibat-
kan oleh tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea.
5

Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan
pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, la-
serasi pada plika vokalis, dan bahkan subluksasi karlago
aritenoid,
6
obstruksi pipa, stenosis subglos, penggeseran
atau displacement tube, stridor pascaekstubasi, ulserasi na-
sal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pascaekstubasi.
Sebuah penelian yang dilakukan oleh Sulistyono (1990) di
RSUD dr Soetomo
7
merupakan sebuah contoh studi tentang
komplikasi yang dimbulkan ndakan intubasi endotrakea
di Indonesia, namun di luar itu sendiri belum banyak dilaku-
kan penelian yang intensif mengenai hal tersebut.
Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di
GBPT RSU dr Soetomo Surabaya, pada saat pemasangan
endotracheal tube, tekanan kaf biasanya diberikan secara
trasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit uku-
ran 20 cc, diberikan tekanan udara secara perlahan-lahan
ke dalam kaf sambil memperhakan suara yang muncul di
tenggorok pasien akibat pernafasan buatan venlasi tekan-
an posif yang diberikan oleh ahli anestesi (minimal occlu-
sive volume technique). Suara yang muncul ini adalah aki-
bat kebocoran udara akhir inspirasi dari paru yang melewa
ruangan disela-sela dinding trakhea dan dinding luar pipa
endotrakea. Tekanan kaf dianggap sudah mencapai opmal
keka dak lagi terdengar suara nafas tersebut.
8
Menurut
beberapa penelian, metode ini bisa memberikan tekanan
kaf dengan kondisi underinaon atau justru overinaon.
Tekanan kaf yang kurang dapat memperbesar risiko aspirasi
dan sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbul-
kan trauma pada trakhea. Penelian ini akan mengama
apakah metode pemberian tekanan kaf dengan metode
Minimal occlusive volume technique yang run dilakukan
tersebut dak menyebabkan lebih banyak kejadian kom-
plikasi gejala tenggorok dibandingkan apabila tekanan kaf
diukur menggunakan alat khusus.
BAHAN DAN CARA KERJA
Jenis penelian ini adalah uji klinis randomized
clinical trial, dengan model parallel design. Dilakukan ran-
domisasi terhadap subyek kelompok studi dan kelompok
kontrol di mana rekrutmen dilakukan pada saat yang sama.
Selanjutnya perlakuan diberikan berbeda secara double
blinded.
9,10
Penelian ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan
ruang rawat inap pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya,
September sampai Nopember 2009.
Populasi penelian adalah semua pasien yang
menjalani pembedahan elekf menggunakan anestesi
umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soeto-
mo Surabaya selama periode September Nopember 2009.
Sampel adalah penderita yang dilakukan pembe-
dahan elekf menggunakan anestesi umum dengan intu-
basi endotrakea di GBPT RSU dr. SOetomo Surabaya, selain
bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi
seksio sesarea, dan bedah saraf.
Sampel diperoleh dari metode consecuve sam-
pling (peneli meneli semua pasien yang masuk dalam
kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu/selama masa
pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi).
9,10

Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel se-
besar 22 orang pada masing-masing kelompok kontrol dan
perlakuan. Dengan esmasi jumlah sampel putus uji sebe-
sar 10%, maka pada ap grup ditambahkan 3 orang. Sehing-
ga jumlah total sampel adalah 50 orang.
Setelah mendapatkan persetujuan dari pania Ke-
laikan Ek Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU
dr. Soetomo Surabaya, penelian ini mulai dijalankan. Seba-
gaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien
yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anes-
tesi umum dengan pemasangan intubasi endotrakea. Pada
kunjungan pra operasi malam hari sebelum pelaksanaan
operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir
terhadap pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi,
mencatat kondisi terakhir pasien, serta memberi penjela-
san sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan
pasien untuk mengiku penelian.
Alokasi subyek pada penelian ini dengan desain
pararel untuk uji klinis dengan 2 kelompok. Subyek yang
memenuhi kriteria penelian dilakukan randomisasi (R).
Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan ke-
lompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian
kaf pipa endotrakea secara klinis yaitu sampai suara nafas
menghilang (minimal Occlusive Volume Technique). Se-
dangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggu-
nakan alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan
dibandingkan terhadap munculnya gejala tenggorok (nyeri
tenggorok, batuk dan suara serak) pasca operasi.
Data-data hasil penelian dianalisis dengan meng-
gunakan perangkat lunak komputer SPSS 13.0. for Windows,
memakai uji Mann Whitney test, Students test, atau x
2
test,
sesuai data yang ada. Digunakan ngkat kepercayaan (con-
dence interval) sebesar 95%, a = 0,05 dan power of test
atau (1-b) = 0,90. Derajat signikansi dianggap bermakna
HERDY SULISTYONO H
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 19
apabila P < 0,05.
HASIL
Menurut perhitungan menggunakan rumus sam-
pel penelian eksperimental randomized controlled trial di
awal penelian, diharapkan minimal 42 orang dapat dija-
dikan subyek penelian ini, yaitu masing-masing 21 orang
pada kelompok perlakuan dan kontrol. Namun dengan per-
mbangan tentang kemungkinan terjadinya drop out mau-
pun eliminasi pada perhitungan stask, maka diputuskan
untuk mengambil jumlah sampel besar sebesar 25 orang
pada ap kelompok. Dengan demikian jumlah total subyek
penelian adalah 50 orang. Dari seluruh jumlah tersebut -
dak terdapat subyek yang droup out ataupun dikeluarkan
dari perhitungan dan analisa stask, karena meskipun di-
pilih secara acak dari populasi pasien, namun ternyata se-
muanya telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Sebelum dilakukan analisis mempergunakan me-
tode analik, perlu diketahui terlebih dahulu pola sebaran
data yang diperoleh sebagai hasil penelian ini, sehingga -
dak akan terjadi kesalahan ataupun kerancuan dalam mem-
pergunakan uji-uji stask.
Analisis karakterisk dan sebaran data dari bebe-
rapa variabel, yang melipu antara lain variable umur, jenis
kelamin, indeks massa tubuh, status PS ASA, dan jenis ope-
rasi yang dijalaninya adalah seper yang dilihat pada tabel
1 dan 2.
Selanjutnya untuk memaskan bahwa sebaran
variabel memenuhi persyaratan distribusi normal, yang
dilakukan perhitungan uji Kolmogorov Smirnov dan uji
Runs. Uji Kolmogorov Smirnov merupakan salah satu uji
Non Parametrik yang dapat dipakai untuk menguji keselar-
asan data berskala minimal ordinal, mengindikasikan nor-
malitas sebuah distribusi apabila p > 0,05. Sementara uji
Runs sendiri untuk data yang bersifat nominal, dengan in-
terprestasi yang sama dengan uji Kolmogorov Smirnov.
10
Tabel 1. Distribusi karakterisk demogra, morfometri dan
biomedis subyek
Variabel data
Kelompok
p
Perlakuan kontrol
Jumlah pasien
25 25
Umur (tahun)
42,40 +
12,69
42,36 +
10,72
0,822
Jenis Kelamin
(L/W)
9/16 12/13 0,676
Berat Badan
(kg)
61.08 +
12.67
60,60 +
11,41
0,659
Tinggi Badan
(m)
162,96 +
8,73
165,08 +
6,86
0,605
Status PS ASA
(1/2)
8/17 13/12 0,676
Tabel 1 menyajikan fakta bahwa subyek penderita
yang tergabung dalam kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol memiliki karakterisk-karakterisk yang hampir mi-
rip. Sebagai contoh, umur subyek berkisar antara 22 sam-
pai 60 tahun dengan nilai rata-ratanya adalah 42,20 16,63
tahun. Sedangkan menurut jenis kelamin, maka terlihat
bahwa sebagian besar subyek adalah perempuan, yaitu 16
orang (64%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang (52%)
pada kelompok kontrol. Adapun menurut penilaian kondisi
subyek berdasarkan skoring status PS ASA, pada kelompok
perlakuan lebih didominasi oleh status PS ASA 2 yang ber-
jumlah 17 orang (98%), berbeda dengan kelompok kontrol
yang jumlah status PS ASA 1 sedikit lebih banyak (13 orang
atau 52%) dibanding PS ASA 2.
Selain itu juga terlihat pada tabel 1 di atas bahwa
sebaran data pada semua variabel memenuhi kriteria dis-
busi normal karena nilai p nya > 0,05. Namun demikian
hasil uji ini dak memiliki ar lain kecuali bahwa memang
subyek yang diikutkan dalam penelian berasal dari po-
pulasi yang terbesar acak. Dengan kata lain bahwa hasil
uji normalitas ini dak serta merta menjanjikan dapat di-
pergunakannya uji stask parametrik sebagai alat bantu
pengambilan keputusan analisis, karena sebagaimana dike-
tahui ternyata sebagian besar variabel data yang kami miliki
bersifat kualitaf yaitu data nominal (kategori) dan ordinal.
Untuk mengetahui jenis ndakan operasi yang di-
jalani pasien-pasien yang menjadi subyek penelian, jenis
pembiusan umum yang dipilih, serta lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk ndakan operasi tersebut, dilakukan
pengelompokan terhadap variabel-variabel data yang ada
pada tabel 2.
Tabel 2. Jenis ndakan operasi, jenis anestesi umum, dan
lamanya operasi
Variabel
Kelompok
Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25)
Fre-
kuensi
(%)
Fre-
kuensi
(%)
Jenis operasi
Orthopedi
8 32 8 32
Ginekologi
3 12 1 4
Digestif
8 32 8 32
Urologi
3 12 - 0
Onkologi
(Breast)
3 12 8 32
Jenis anestesi
umum
Inhalasi
13 52 13 52
TIVA
12 48 12 48
L a m a n y a
operasi
< 1 jam
2 8 2 8
1 2 jam
15 60 11 44
2 3 jam
7 28 10 40
3 4 jam
1 4 2 8
Setelah dilakukan pengelompokan terhadap data
yang ada, maka terlihat pada tabel 2 di atas bahwa subyek
sebagian besar diambil dari penderita yang menjalani jenis
operasi orthopedi dan digesf. Terhadap sejumlah 8 Orang
(32%) subyek yang dilakukan operasi orthopedi atau diges-
f tersebut pada masing-masing kelompok perlakuan dan
kontrol.
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 20
Jenis operasi orthopedi yang dijalani subyek me-
lipu antara lain operasi reposisi pada dislokasi sendi ser-
ta pemasangan orif (baik pla ng maupun pinning) pada
ekstrimitas atas dan/atau bawah. Sebagai contoh adalah
ndakan pemasangan orif pla ng pada close fracture an-
tebrakii 1/3 distal, pla ng pada close fracture kruris, dan
pla ng klavikula. Sedangkan jenis operasi digesf lebih
bervariasi, mulai dari operasi appendektomi, herniotomi,
hingga laparatomi. Selain itu bisa didapa operasi mini
laparatomi pada operasi ginekologi atau urologi. Adapun
pada kelompok kontrol juga tampak terdapat beberapa
subyek yang menjalani jenis operasi bedah onkologi yaitu
mastektomi.
Berikutnya pada tabel 3 dan tabel 4 berikut ini di-
paparkan data tentang penggunaan pipa endotrakea untuk
ndakan anestesi umum, yang melipu antara lain: ukuran
diameter interna yang dipilih, tekanan kaf diawal dan di ak-
hir ndakan operasi untuk kelompok perlakuan, serta volu-
me udara yang diisikan ke dalam kaf sesuai teknik minimal
occlusive volume pada kelompok kontrol.
Pada tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik
pada kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih
dari separuh (72%) pipa endotrakea jenis kinked yang di-
pergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang terse-
ring dipergunakan adalah 7,5 mm (masing-masing 52 % dan
44%).
Tabel 3. Jenis dan ukuran pipa endotrakea
Variabel
Kelompok
Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25)
Frekuen-
si
(%)
Fre-
kuensi
(%)
Jenis ETT
Kinked
18 72 18 72
Non kinked
7 28 7 28
Ukuran diame-
ter interna ETT
7,0 mm
8 32 4 16
7,5 mm
13 52 11 44
8,0 mm
4 16 10 40
Tabel 4. Tekanan dan volume kaf pipa endotrakea
Variabel
Satu-
an
Rata-
rata
Mini-
mum
Maksi-
mum
K-S value
Z p
Kelompok
Perlakuan
(n = 25)
Tekanan
awal
(cm-
H
2
O)
29,20 +
1,15
26 30 1,97 0,01*
Tekanan
akhir
(cm-
H
2
O)
29,36 +
3,99
20 34 1,13 0,16
Beda
Tekanan
(cm-
H
2
O)
0,96 +
4,08
-8 10 0,80 0,54
Kelompok
kontrol (n
= 25)
Volume
mL
5,24 +
1,66
4 11 1,79 0,03*
Pada tabel 4 ditampilkan hasil pengumpulan data
tentang tekanan kaf yang diberikan pada kelompok per-
lakuan menggunakan alat Endotest@, dan volume udara
yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang dipergunakan
di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive Tech-
nique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan
maksimal adalah 30 cmH
2
O. Sementara, volume udara yang
diisikan bervariasi antara 4 sampai 11 ml, dengan rata-rat-
anya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk beda tekanan
awal dan akhir bervariasi antara 8 sampai dengan 10 cm-
H
2
O.
Saat dilakukan perhitungan analisis stask mem-
pergunakan uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov terhadap
data tekanan udara dan volume udara yang diisikan ke-
dalam kaf, didapatkan ngkat kemaknaan (p) < 0,05 pada
variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini hanya memiliki
satu ar, yaitu bahwa pemberian tekanan ataupun volume
udara ke dalam kaf dak dilakukan secara acak dan bukan
merupakan sebuah distribusi normal.
Tabel 5 berikut ini menyajikan perhitungan dan
analisis tentang kejadian gejala tenggorok; yang berupa
nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak; pasca ndakan
intubasi endotrakea saat dilakukan anestesi umum. Untuk
melihat secara garis besar, telah dilakukan pengelompo-
kan data-data tentang beberapa variabel yaitu jenis sam-
pel, umur, jenis kelamin, ukuran ETT, jenis ETT, penggunaan
agent inhalasi serta lamanya waktu dilakukannya ndakan
operasi.
Pada tabel 5 berikut ini terdapat rekapitulasi data
tentang kejadian gejala tenggorok yang dialami subyek
penelian dinjau dari beberapa variabel yang dianggap
mungkin berpengaruh. Selain dilakukan penggelompokan
terhadap karekterisk-karekterisk tersebut, juga dilaku-
kan uji stask Mann Whitney untuk mencoba mengeta-
hui apakah terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok
akibat pengaruh variabel-variabel itu. Namun sayangnya,
ternyata hasil uji menunjukkan dak adanya perbedaan
bermakna secara stask, yang dicerminkan oleh derajat
signikasi P> 0,05 pada seluruh variabel yang diuji.
Apabila hanya selintas saja diama tampak kelom-
pok kontrol, yang menggunakan teknik minimal occlusive
volume untuk pengisian kaf, menunjukkan kejadian gejala
tenggorok ringan relaf lebih banyak dari pada kelompok
perlakuan. Namun begitu, dari analisis yang dilakukan dik-
etahui bahwa perbedaan ini dak signikan secara stask
(p
=
0,484).
Gejala nyeri tenggorok juga sekilas terlihat lebih ba-
nyak dialami oleh kelompok umur 50-60 tahun, sedangkan
gejala batuk justru dak dialami sama sekali oleh kelompok
umur ini. Hasil uji stask juga dak menunjukkan perbe-
daan yang bermakna (p
=
0,680).
Dari variabel jenis kelamin, terlihat bahwa subyek
perempuan lebih banyak yang mengalami gejala tenggorok
ini, meskipun juga dak signikan secara stask (p
=
0,395).
Berdasarkan analisa faktor endotracheal tube, da-
pat diama bahwa ukuran diameter interna 7,0 mm dan
jenis yang kinked relaf lebih banyak berkaitan dengan ge-
jala tenggorok pasca intubasi. Namun demikian, uji stask
HERDY SULISTYONO H
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 21
juga menunjukkan dak adanya perbedaan yang signikan
secara stask (p>0,05). Pada kelompok-kelompok tersebut
(ukuran diameter interna p
=
0,25 dan jenis ETT p
=
0,533).
Tabel 5. Rekapitulasi kejadian gejala tenggorok pascaintu-
basi endotrakea
Variabel
Nyeri Teng-
gorok*
Batuk* Suara serak*
Skor
0
Skor
1
Skor
0
Skor
1
Skor
0
Skor
1
Jenis sampel
Perlakuan
23 2 24 1 24 1
Kontrol
21 4 23 2 23 2
Umur
20-30
11 0 10 1 10 1
31-40
11 1 11 1 11 1
41-50
9 1 9 1 10 0
50-60
13 4 17 0 16 1
Jenis Kelamin
Laki-laki
19 2 20 1 20 1
Perempuan
25 4 27 2 27 2
Ukuran ETT
7,0 mm
9 3 11 1 10 2
7,5 mm
23 1 23 1 24 0
8,0 mm
12 2 13 1 13 1
Jenis ETT
Kinked
31 5 34 2 34 2
Non Kinked
13 1 13 1 13 1
Beda Tekanan
Awal dan Akhir
< 0 cmH
2
O
7 0 7 0 7 0
0 5 cmH
2
O
14 2 15 1 16 0
> 5 cmH
2
O
2 0 2 0 1 1
Teknik Anestesi
Inhalasi
22 4 23 3 23 3
TIVA
22 2 24 0 24 0
Lama Operasi
< 1 jam
4 0 4 0 4 0
1 2 jam
23 3 25 1 25 1
2 3 jam
14 3 15 2 15 2
3 4 jam
3 0 3 0 3 0
Ket: * skor 2 dan 3 dak dicantumkan karena dak dikelu-
hkan oleh satupun penderita. Dilakukan uji Mann-
Whitney, diberi tanda ** bila p < 0,05.


Mengama beda tekanan kaf yang diukur pada awal
dan akhir ndakan operasi, terlihat beberapa menunjukkan
peningkatan tekanan dan beberapa yang lain justru meng-
gambarkan penurunan tekanan kaf. Namun setelah dilaku-
kan analisa stask juga dak didapatkan perbedaan yang
signikan diantara kelompok tersebut (p
=
0,678).
Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi per-
haan karena seolah-olah menyebabkan kejadian gejala
tenggorok lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total
Intra Venous Anesthesia). Seper terlihat jelas pada tabel
5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang
terjadi pada kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat da-
ripada kelompok TIVA. Setelah dilakukan uji stask ter-
nyata menunjukkan perbedaan yang dak terlalu signikan
(p=0,05). Sehingga dengan demikian mungkin perlu untuk
dilakukan pendalaman mengenai hal ini.
Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa
kelompok operasi yang memakan waktu 2-3 jam terlihat
paling banyak mengalami kejadian gejala tenggorok, walau-
pun juga akhirnya dak menunjukkan perbedaan yang sig-
nikan secara stask (p
=
0,291).
Sesuai dengan tujuan utama penelian yaitu
mengetahui adanya perbedaan kejadian gejala tenggorok
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dilakukan
uji stask yang hasilnya tercantum pada tabel 6. Untuk le-
bih memudahkan perhitungan maka kejadian gejala teng-
gorok dikelompokkan lagi menjadi 2 kelompok besar saja,
yaitu subyek yang sama sekali dak mengalami gejala apa-
pun serta subyek yang mengeluh gejala walaupun ringan
saja.
Tabel 6. Kejadian gejala tenggorok pada kelompok perla-
kuan dan kelompok kontrol
Gejala Tenggorok
Ya dak Total
Kelompok Perlakuan
4 21 25
Jenis sampel Kontrol 6 19 25
Total
10 40 50

Pada tabel 6 di atas dapat diama data tentang kejadian
gejala tenggorok pasca ndakan intubasi endotrakea pada
dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan
yang tekanan kafnya diisi dengan alat khusus dan kelompok
kontrol yang tekanan kafnya diisi sebagaimana prosedur se-
hari-hari melalui esmasi dengan teknik Minimal Occlusive
Volume. Pada tabel ini terlihat bahwa angka kejadian gejala
tenggorok pada penelian ini adalah sebesar 20% (10 dari
50 subyek). Selain itu, data tersebut disajikan dalam bentuk
tabel 2 x 2 untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Odds
Rao, yaitu sejenis Risiko Relaf pada penelian kohort. Ha-
sil Odds Rao sebesar 0.603 diatas dapat dibaca sebagai ri-
siko terjadinya gejala tenggorok pada kelompok perlakuan
adalah sebesar 0.603 kali dibandingkan kelompok kontrol.
Namun demikian, sayang sekali, dikarenakan interval ke-
percayaan (Condence Interval/CI) mencakup angka 1 maka
kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa dak terdapat
perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kedua macam
cara pengisian kaf pipa endotrakea atau bahwa perbedaan
cara pengisian kaf pada ndakan intubasi dalam penelian
ini dak memiliki hubungan dengan kejadian gejala teng-
gorok pasca ndakan.
PEMBAHASAN
Perkembangan teknologi saat ini sebenarnya te-
lah jauh memberikan keuntungan kepada para praksi dan
klinisi bidang Anestesiologi dan Reanimasi untuk melaku-
kan ndakan intubasi endotrakea secara lebih aman dan
nyaman untuk pasien. Pipa endotrakea dengan kaf yang
memiliki daya regang (compliance) nggi, yang ditujukan
untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan kemungkinan
terjadi aspirasi, diciptakan khusus dengan ruang volume
besar namun tekanan rendah (high-volume low-pressure
cu) sehingga tekanan terhadap dinding mukosa trakea
dapat diminimalkan. Namun begitu, dikarenakan karak-
terisk mukosa trakea yang terbentuk dari epitel pseudo-
straed berbulu silia, menyebabkan dinding tersebut
sangat sensif terhadap pergeseran dengan dinding luar
pipa endotrakea.
1,3,6,11
Oleh sebab itu, dalam penelian ini
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 22
berupaya dihindari melakukan semua ndakan atau kondisi
yang dapat menimbulkan bias terhadap munculnya gejala
tenggorok yang dak murni disebabkan oleh cara peng-
embangan kaf itu sendiri.
Beberapa yang dicoba untuk dieliminasi anta-
ra lain: adanya penyulit pada saluran nafas atas subyek
semisal infeksi atau keradangan kronis yang diakibatkan
riwayat merokok lama, pemasangan pipa nasogastrik yang
diduga juga dapat menyebabkan tambahan iritasi, prosedur
ndakan intubasi yang kasar dan dilakukan berulang kali,
penyedotan lendir (suconing) yang berlebihan, gerakan-
gerakan kepala leher yang berlebihan atau berulang-ulang
saat ndakan operasi dilakukan, serta semakin lamanya
ndakan intubasi dilakukan sehingga dibatasi dipilih hanya
ndakan-ndakan operasi yang kurang dari 4 jam.
Selain semua hal eksternal penng tersebut, faktor
pipa endotrakea sendiri juga mendapat perhaan cukup se-
rius supaya dak menimbulkan bias yang besar. Sengaja un-
tuk penelian ini dipilihkan ukuran diameter interna yang
diperkirakan paling sesuai (t) untuk masing-masing suby-
ek. Dipergunakan pipa endotrakea yang masih steril dari ke-
masan pabrik, yang pemilihan ukurannya dilakukan melalui
perbandingan dengan ukuran keliling ibu jari saat subyek
masih bagun. Selanjutnya diberikan lubrikasi menggunakan
spray Xylocaine
R
2% dimulai dari ujung distal sampai dengan
ukuran lebih 15 cm dari ujung pipa endotrakea, dan nan
nya juga akan dengan dilakukan penyemprotan cairan yang
sama kedalam faring saat dilakukan ndakan laringoskopi.
Untuk mencegah terjadinya insidens batuk di sekitar saat-
saat subyek di-ekstubasi dan dibangunkan, menurut renca-
na semula akan diberikan Lidocain 2% 1,5 mg/kgBB kurang
lebih 3 menit sebelum melakukan ekstubasi. Namun pada
kenyataannya hal ini dak dilakukan secara run, selama
subyek dak terlihat mengalami iritasi hebat. Pencegahan
yang dilakukan adalah dengan membatasi suconing hanya
cukup untuk membersikan lendir yang ada saja. Disadari
bahwa hal ini berisiko untuk terjadinya aspirasi, oleh karena
itu benar-benar harus diyakinkan faring dan rongga mulut
sudah bersih dari lendir. Selain itu juga disyaratkan subyek
penelian tersebut sudah sadar sesaat sebelum dilakukan
ekstubasi.
Untuk mencegah bisa juga dak digunakan gas ni-
trit oksida (N
2
O) pada penelian ini. Dalam prakk ndakan
anestesi sehari-hari gas N
2
O ini sering digunakan bersama-
sama agen inhalasi lain untuk mendapatkan efek analgesia
dan mengurangi kebutuhan gas inhalasi tesebut. Semua
literatur hasil penelian yang mencari hubungan antara
pengembangan kaf dan pemakaian gas N
2
O kedalam kaf
yang berrongga.
12,13,14,15
terjadi proses dan mencapai pun-
caknya pada fase 1 jam pertama penggunaan gas N
2
O, yang
selanjutnya turut mengisi dan meningkatkan tekanan oleh
kaf ke dinding mukosa trakea di sekelilingnya.
16,17
Seper halnya penelian-penelian lain sebelum-
nya tentang kejadian gejala tenggorok pasca ndakan intu-
basi endotrakea, dak ditemukan kaitan bermakna antara
karakterisk demogra dan morfometri dengan kejadian
gejala tenggorok. Sengupta dkk, Parwani dkk, Braz dkk,
adalah contoh para peneli yang dalam laporannya menya-
takan tentang hal serupa tersebut.
18,19,20

Umur pasien yang rata-rata adalah masing-ma-
sing 42,04 12,69 tahun pada kelompok perlakuan dan
42,3610,72 tahun pada kelompok kontrol, sedaknya
menggambarkan proporsi subyek penelian yang memben-
tuk distribusi normal. Kelompok umur dewasa muda (31-50
tahun) ini jumlahnya hampir separuh subyek penelian.
Pipa endotrakea (ETT) yang dipakai untuk peneli-
an ini adalah sesuai dengan yang sehari-hari digunakan di
lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu merek Rusch
R
produksi
perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high-volume
low-pressure. Bernhard dkk. telah melaporkan dalam pu-
blikasi ilmiah mereka tentang karakterisk dan ukuran-
ukuran pipa endotrakea ini, beserta beberapa merek pipa
endotrakea lain yang banyak dipakai di seluruh dunia.
5
Dari
dua jenis pipa endotrakea yang ada, yaitu kinked dan non
kinked, ternyata sebagian besar yang dipakai oleh subyek
penelian ini adalah jenis kinked, yaitu masing-masing 18
buah (72%) pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Hal
ini sangat wajar terjadi karena hampir semua jenis operasi
yang dipilih adalah yang dak memerlukan pengaturan po-
sisi-posisi khusus, semisal miring atau tengkurap, sehingga
dak terlalu besar kekhawaran terjadinya kinking pada
pipa endotrakea yang dipergunakan.
Adapun ukuran diameter interna yang dipilih seba-
gian besar adalah 7,5 mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%)
pada kelompok perlakuan dan 11 kali penggunaan (44 %)
pada kelompok kontrol. Untuk pemilihan ukuran diameter
interna ini, seper telah dijelaskan sebelumnya, biasanya
disesuaikan secara esmasi klinis dengan memperha-
kan berat badan subyek atau membandingkan ukuran jari
kelingking subyek dengan nomer pipa endotrakea yang
hendak digunakan.
Tabel 4 menunjukan gambaran tentang besarnya
tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan kedalam
kaf pipa endotrakea dalam penelian ini. Dari aspek pengis-
ian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur tekanan
kaf yang dipergunakan dalam penelian ini (Endotest), te-
lah direkomendasikan tekanan udara sesuai range tertentu,
yaitu 25-30 cmH
2
O. Sehingga besaran tekanan udara yang
telah diberikan kedalam kaf daklah terlalu bervariasi, yai-
tu selama masih berada di dalam rentang aman tersebut.
Dan setelah dilakukan analisis stask nampak bahwa rata-
rata tekanan udara yang diisikan kedalam kaf adalah 29,20
1,15 cmH
2
O, dimana pemberian tekanan terendah adalah
26 cmH
2
O dan ternggi 30 cmH
2
O.
Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal
occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume
udara yang diisikan adalah sebanyak 5,241,66 ml. Hasil ini
sesuai dengan yang telah diperkirakan sebelumnya, karena
pada prakk sehari-hari pengisian udara untuk kaf di ling-
kungan RSU Dr. Soetomo juga berkisar kurang lebih 5 ml.
Sebagai perbandingan, sebuah publikasi ilmiah oleh Seng-
upta dkk, menemukan bahwa volume udara yang diisikan
ke dalam kaf, mempergunakan metode palpasi dan men-
dengarkan kebocoran udara tekanan posif di beberapa
rumah sakit di Louisville USA, rata-rata adalah sebanyak
4,41,8 ml.
18
Variabel tekanan akhir kaf, yang diukur pasca
ndakan operasi selesai atau sesaat sebelum dilakukannya
HERDY SULISTYONO H
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 23
ndakan ekstubasi, juga diobservasikan dalam penelian
ini. Sebenarnya dak ada tujuan tertentu untuk mengukur
tekanan udara kaf ini, melainkan hanya sekedar keinginan
mengetahui dan mencocokkan berbagai informasi yang
ada, bahwa tekanan kaf bisa berubah di akhir ndakan
operasi, jika dibandingkan dengan tekanan awal, Dinyata-
kan bahwa gas N
2
O bisa menyebabkan fenoma tersebut.
Namun karena pada penelian ini dak digunakan jenis
agen inhalasi tersebut dalam ar hanya gas O
2
murni ditam-
bah agen inhalasi tertentu (misal Halotan, Isouran, dll), di-
duga dak terdapat banyak perbedaan dengan tekanan kaf
awal yang diberikan bahwa nilai rata-rata tekanan kaf akhir
adalah sebesar 29,363,99 cmH
2
O. Sebagai perbandingan,
penelian yang dilakukan Manissery dkk melaporkan ba-
hwa pada anestesi menggunakan 67 % N
2
O sebagai agen
inhalasi, tekanan kaf pada akhir 1 jam pertama ditemukan
sebesar rata-rata 62,612,33 cmH
2
O. Padahal sebagaimana
sudah diketahui, bahwa tekanan kaf di atas 50 cmH
2
O (37
mmHg) yang merupakan crical perfusion pressure sudah
akan menyebabkan terjadinya penghenan aliran perfusi
darah ke jaringan mukosa cincin trakea dan dinding poste-
rior.
21
Pada tabel 3 yang menyajikan data tentang peng-
gunaan agen anestesi inhalasi terlihat bahwa variabel ini
sangat besar kemungkinan dapat ikut menyebabkan keja-
dian gejala tenggorak. Terbuk dengan jumlah kejadiannya
yang lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra
Venous Anesthesia), yaitu hampir 2 kali daripada kelompok
TIVA. Dan setelah dilakukan uji stask ternyata menunju-
kan perbedaan yang dak terlalu signikan (p=0,05). Hingga
penelian ini dilakukan masih belum ditemukan, berbagai
terbitan ilmiah, tentang pengaruh penggunaan gas inhalasi
terhadap gejala tenggorok pasca intubasi. Oleh karena itu
penulis masih belum dapat mengambil kesimpulan yang
mendalam terhadap fenomena tersebut. Namun demikian
bukan dak mungkin apabila dilakukan penelian yang le-
bih khusus dan dengan melibatkan subyek penelian jauh
lebih banyak, akan bisa diketahui seberapa besar hubungan
antara kedua aspek tersebut.
SIMPULAN
Salah satu keterbatasan dari penelian ini adalah
bahwa penilaian skoring gejala tenggorok yang mbul ha-
nya dilakukan sekali saja, dalam rentang waktu 20-24 jam
pasca ndakan operasi dan anestesi. Sebenarnya alasan u-
tama dipilihnya masa tersebut adalah permbangan bahwa
kejadian gejala tenggorok tersering dan terparah keluhan-
nya muncul didalamnya.
7
Selain itu, dianggap pada masa
waktu 20-24 jam pasca ndakan operasi dan anestesi apa-
bila dilakukan wawancara dan penilaian keparahan gejala,
akan diperoleh data subyekf yang baik karena pengaruh
anestesi umum yang diberikan sudah hilang. Namun apa-
kah dimungkinkan terjadinya delayed symptoms, tentunya
diperlukan penelian lebih lanjut dengan desain yang lebih
advanced yaitu dengan observasi prospecve cohort.
Sebagai hasil penelian terhadap 50 orang pasien
yang dilakukan operasi pembedahan elekf menggunakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal di GBPT RSU.
Soetomo Surabaya selama periode penelian, diperoleh ke-
simpulan sebagai berikut :
1. Pasien-pasien yang dijumpai dalam penelian ini me-
miliki karakterisk antara lain : umur mereka bervari-
asi antara 22 sampai 60 tahun dengan rata-rata adalah
42,20 16,63 tahun, sebagian besar adalah perempuan
yaitu 29 orang (58%), dan memiliki kondisi preoperaf
yang sebagian besar (60%) adalah status PS ASA 2.
2. Jenis-jenis operasi pembedahan yang didapat selama
periode penelian melipu antara lain orthopedi, gine-
kologi, digesf, urologi, dan onkologi (breast). Dimana
jumlah terbanyak pasien adalah yang menjalani operasi
orthopedi dan digesf, keduanya secara bersama-sama
mencapai 64% dari keseluruhan.
3. Pipa endotrakea yang digunakan untuk intubasi pada
pasien selama periode penelian lebih dari separuhnya
(72%) adalah jenis kinked, dengan ukuran diameter in-
terna yang tersering digunakan adalah 7,5 mm (48%).
Tekanan kaf yang diberikan dengan alat Endotest
R
ada-
lah sesuai dengan tekanan yang rekomendasikan yaitu
antara 25-30 cmH
2
O, sedangkan volume udara yang dii-
sikan rata-rata sebanyak 5,241,66 ml.
4. Kejadian gejala tenggorok yang dialami pasien selama
periode penelian hanya melipu nyeri tenggorok dan
batuk minimal saja, yang terjadi pada 10 (20%) pasien.
Semua faktor yang diperkirakan memiliki kaitan dengan
kejadian tersebut; misal umur, jenis kelamin, ukuran
diameter interna dan jenis pipa endotrakea, jenis agen
anestasi, serta lama operasi; ternyata dak menunjuk-
kan hubungan yang signikan secara stask (p>0,05).
5. Kejadian gejala tenggorok pasca intubasi endotrakheal
pada pasien yang dilakukan intubasi dengan pengisian
kaf pipa endotrakea berdasarkan esmasi klinis atau
sesuai tekanan yang diukur dengan alat khusus pengu-
kur tekanan kaf Endotest
R
memiliki Odds Rao Mantel-
Haenszel =0,603 dengan CI 95% (0,147;2,468), yang
berar dak ada perbedaaan antara keduanya dan/
atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada nda-
kan intubasi dalam penelian ini dak memiliki hu-
bungan dengan kejadian gejala tenggorok pascanda-
kan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Christense Am, Willemoes-Larsen H, Lundby L, Jakob-
sen KB. Postoperave throat complaints aer tracheal
intubaon. Br J Anaesth. 1994; 73: 786-7.
2. Loeser EA, Bene GM, Orr DL, Stanley TH. Reducon of
postoperave sore throat with new endotracheal tube
cu. Anesthesiology. 1980; 52: 257-9.
3. Stout DM, Bishop MJ, dwersteg JF, Cullen BF. Correla-
on of endotracheal tube size with sore throat and
hoarseness following general anesthesia. Anesthesiol-
ogy. 1987; 67: 419-21.
4. Jensen PJ, Hommelgaard P, Sondergaard P, Eriksen S.
Sore throat aer operaon: inuence of tracheal intu-
baon, intra cu pressure and type of kaf. Br J Anaesth.
1982; 54: 453-6.
5. Bernhard WN, Yost L, Turndorf H. Cued tracheal tubes-
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 24
physical and behavioral characteriscs. Anesth Analg.
2003; 61: 36-41.
6. Kambic V, Radsel Z. Intubaon lesions of the larynx. Br
J Anaesth. 1998; 50: 587-90
7. Sulistyono H. Pengaruh intubasi endotrakheal pada
gangguan tenggorok: Perbandingan pemakaian pipa
endotrakheal bersih dan steril. Warta IKABI. 1990; 3 (1):
32-38.
8. Steward SL, Secrest JA, Norwood BR. A comparison
of endotracheal tube cu pressures using esmaon
techniques and direct intra cu measurement. AANA
Journal. 2003; 71 (6): 443-7.
9. Sukidin M. Metode Penelian, Membimbing dan
Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelian.
Insan Cendikia, Surabaya, 2005.
10. Wawolumaya C. Metodologi Riset Kedokteran: Metode
Epidemiologi Eksperimen. Sea BJ, Jakarta, 1997.
11. Dobrin P, Caneld T. Kaf endotracheal tubes: mucosal
pressure and tracheal blood ow. The American Journal
of Surgery. 1977; 133: 562-7
12. Nguyen T, Saidi N. Nitrous oxide increases endotracheal
cu pressure and the incidence of tracheal lesions in
anesthezed paents. Anest Analg. 199; 89 (1): 187-90
13. ODonnell JH. Orotracheal tube intra cu pressure ini-
ally and during anesthesia including nitrous oxide.
CRNA: Clin Forum Nurse Anesthest. 1995; 6: 79-85,
2000.
14. Bensaid S, duvaldesn P. Nitrous oxide increases endo-
tracheal cu pressure and the incidence of tracheal le-
sions in anesthezed paents. Anesth Analg. 1999; 89:
187-90
15. Manissery JJ, Shenoy V, Ambareesha M. Endotracheal
tube cu pressures during general anaesthesia while
using air versus a 50% mixture of nitrous oxide and oxy-
gen as inang agents. Indian J Anaesth. 2007; 57 (1):
24-27
16. Vandam LD. Introducon to Anesthesia. Longnecker DE,
Murphy FL, eds. WB Saunders Co, Philadelphia, 1999.
17. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesi-
ology. 4
th
ed. McGraw-Hill Co, Inc. New York. 2006
18. Sengupta P, Sessler DI, Maglinger P. Endotracheal tube
cu pressure in three hospitals, and the volume re-
quired to produce an appropriate kaf pressure. BMC
Anesth. 2004; 4: 1-6.
19. Yadi DF, King LS. A simple endotracheal tube cu pres-
sure measuring device: an inexpensive alternave. An-
est & Crit Care. 2007; 25: 225-32.
20. Parwani V, Hanh IH, Krieger P. Assesing Endotracheal
tube cu pressure. Amerg Med Serv. 2006; 35: 82-4.
21. Seegobion Rd, Vanhasselt GL. Endotracheal cu pres-
sure and tracheal mucosal blood ow: endoscopic
study of eects of four large volume cu. Br Med J.
1984; 288: 965-8.
HERDY SULISTYONO H
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 25
I LAPORAN KASUS I
Tatalaksana Ensefalis dan Epilepsi di ICU
Management Encephalis and Epilepsy in ICU
Rudy Manalu
makan dan merupakan bentuk non epidemik yang dise-
babkan virus herpes simplek.
1
Pada pasien ensefalis yang disebabkan virus her-
pes simpleks, pengobatan dini dengan aciclovir akan men-
gurangi morbiditas dan mortalitas secara dramas. Sejak
diketahuinya aciclovir secara umum merupakan obat yang
aman, pemberian secara empirik dibenarkan apabila secara
kilinis diduga penyebabnya adalah herpes simpleks.
1
Pengobatan suporf melipu:
1
Proteksi jalan nafas dan pemakaian venlasi me-
kanik pada kasus tertentu.
Langkah - langkah untuk mengendalikan ICP (ter-
masuk pemberian manitol) dan mempertahankan
CPP.
Memantau klinis dan elektrosiologik dan mengen-
dalikan kejang.
Ventrikulostomi untuk hidrosefalus obstrukf atau
bedah dekompresi pada kasus yang refrakter.
Steroid terkadang diberikan pada kasus yang men-
gancam nyawa pada kenaikan ICP disebabkan pem-
bengkakan otak.
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak perempuan, 12 tahun , BB 40 kg diru-
juk ke ICU dari IMC karena kejang yang dak terkontrol dise-
babkan ensefalis. Pasien sebelumnya masuk ke perawatan
umum dan dirawat selama 8 hari. Pasien pada awalnya di-
duga mengalami CVD karena mengeluh sakit kepala selama
2 minggu, sulit bicara dan muntah muntah. Namun diag-
nosa dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan
MSCT dalam batas normal. Pasien dipindahkan ke IMC dan
dirawat selama 5 hari sebelum dipindahkan ke ICU.
Minggu I di ICU (2-2-2010 s/d 9-2-2010)
Saat ba di ICU (2-2-2010, pukul 23.10). Kesadaran
pengaruh sedasi (Diazepam drip 50 mg/24 jam), Diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) 4 kali. Kaku kuduk (-) Suhu
38,8
0
C. TD 128/ 78 mmHg, HR 128 x/mnt. SP vesikuler Rh
(+)/(+). Pemberian O2 2 L/menit melalui nasal. AGD, pH
7,401, PaO2, 177,3, PaCO2, 51,9, HCO3 32,5, BE 6,9, Sat
ABSTRACT
A 12 years old female was transferred to Intensive
Care Unit (ICU) from Intermediate Care (IMC) with uncon-
trolled seizures due to encephalis. She was managed in
ward over 8 days and in IMC for 5 days prior to ICU admis-
sion. During management in ICU , the paent needed to be
intubated followed by mechanical venlaon . To avoid pro-
longed endotracheal intubaon, a standard tracheostomy
procedure was performed to provide a long - term route
for mechanical venlaon. Successful weaning from me-
chanical venlaon was achieved aer 43 days. The paent
survived from sepsis with DIC and was discharged from the
hospital with post-encephalic epilepsy and connued her
treatment with home care, aer total treatment of 70 days
in ICU.
Keywords: Encephalis, intubaon, mechanical
venlaon, tracheostomy, sepsis, epilepsy.
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang anak
perempuan, 12 tahun , yang dirujuk ke Intensive Care Unit
(ICU) dari Intermediate Care (IMC) dengan kejang karena
ensefalis. Sebelumnya pasien dirawat di ruang perawatan
umum selama 8 hari dan setelah itu dirawat di IMC selama
5 hari. Pasien diintubasi dan dibantu dengan venlasi me-
kanik. Untuk menghindari penggunaan ETT yang berkepan-
jangan dilakukan trakeostomi. Pasien berhasil disapih
setelah memakai venlasi mekanik selama 43 hari. Dalam
perjalanan penyakitnya pasien mengalami Sepsis dan DIC.
Pasca ensefalis pasien mengalami epilepsi. Pasien dirawat
selama 70 hari di ICU dan mengalami perbaikan. Pasca per-
awatan ICU pasien pulang ke rumah.
Kata kunci : Ensefalis, intubasi, venlasi mekanik ,
trakeostomi, sepsis, epilepsi.
PENDAHULUAN
Islah Ensefalis diterapkan pada kondisi yang
mana terjadi peradangan pada jaringan otak; keka terjadi
juga peradangan pada selaput otak (meningens) maka digu-
nakan islah meningoensefalis.
1,2
Kebanyakan kasus ensefalis yang ditemukan di
ICU adalah disebabkan oleh virus, yang paling umum me-
Rudy Manalu
Program Pendidikan Khusus KIC
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 26
99,5 %. DPL, Hb 12,2, Ht 39, Leukosit 14.500, Trombosit
276.000. Elektrolit, Na 133, K 3,7, Ca 8,4, Cl 97, GDS 187.
Terapi Fenitoin : 3 x 100 mg, Nebulizer 3 x /hari,
Suconing. Terapi dari IMC diteruskan, Streptomisin 1 x 750
mg, Rimstar ( Rifampisin 150 mg,INH 75 mg, Pirazinamid
400 mg, Etambutol 275 mg) 3x1 tab. Methycobal (meco-
balamin) 2x1 Parasetamol tab k/p. Zithromax (Azitromisin)
1 x 500 mg. Diet per NGT: Nutren 6 x 250 mL (diteruskan
di ICU). Rencana: Intubasi , pasang Central Venous Catheter
(CVC) dan Foto polos toraks.
Hari 1 :
Kesadaran pengaruh sedasi, Pupil isokor, diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) sangat sering, kaku kuduk
(-), Suhu 36,8 38
0
C. Dilakukan foto polos toraks, pemasan-
gan CVC melalui vena subklavia kanan dan intubasi difasili-
tasi dengan Propofol 40 mg dan Vecuronium 4 mg. TD Sisto-
lik 100 120 mmHg Diastolik 60 80 mmHg HR 100 120 x/
menit. CVP : 6 14 cm H
2
O. Terdapat episode hipotensi TD
80 /40 mmHg, HR 125 x/menit, diberikan cairan gelofusin
beberapa kali sampai total 500 mL dan CVP mencapai 12 cm
H2O dan TD 90/60 mmHg HR 120 x/menit. Diberikan nor-
epinefrin 0,05 ug/kg BB/menit (dosis trasi). SP bronkovesi-
kuler, Rh basah (+)/(+). Venlasi mekanik, mode PCV Pinsp
12, RR 12, PEEP 5, I : E = 1 : 2 Fi O2 : 100 % s/d 40 %. Posisi
head up 45
0
, Demam (+), Cooling blanket.
Terapi tambahan. IVFD Ringer asetat 1000 mL /24
jam, Pentotal Bolus 100 mg dilanjutkan dengan drip 1- 5
mg/kg bb/jam (dosis trasi), Diazepam drip stop, Fenitoin
Stop digan dengan Depakene syrup (Valproic acid) 2 x 10
mL, Ranidin 150 mg 2 x 1 tab. Pengambilan spesimen un-
tuk kultur sputum dan darah.
Hari - hari berikutnya
Kesadaran pengaruh sedasi. Hemodinamik, MAP
60 90 mmHg, HR : 95 120 x/ menit. CVP 10 14 cm H2O.
Respirasi Venlasi mekanik PCV Pinsp 12, PEEP 5, RR 10 Fi
O2 30 40 %. Kejang (+) sering walau pun sudah diberikan
Pentotal drip (dosis trasi). Pentotal habis dan digan den-
gan Propofol 50 mg dan dilanjutkan Propofol drip 2 5 mg/
kg/jam (dosis trasi). Pasien masih sering kejang (10 -15
kali/hari) , lama kejang 2- 10 menit sehingga beberapa kali
diberikan Vecuronium 2 mg IV (ekstra).
Pada hari ke-6 dilakukan Lumbal Punksi (LP) dan
hasilnya None (-), Pandi (-), Protein kuantaif 15 mg/dL,
Glukosa 86 mg/dL, Klorida 126 mEq/L, Hitung sel 1. Dari
hasil LP disimpulkan bahwa pasien sudah dak menderita
Ensefalis. Venlasi mekanik FiO2 ditrasi sesuai dengan
keadaan klinis dan hasil Analisis Gas Darah (AGD).
Berikut ini grak PaO2 dibandingkan dengan FiO2 dalam
minggu ke- 1. (grak 1)
Grak 1.
Tanggal 9 Feb 2010 , Hasil kultur darah : Tidak ada pertum-
buhan bakteri setelah 5 hari.
Gambar 1.
RUDY MANALU
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 27
Minggu II di ICU (10/2/2010 s/d 16/2/2010)
Kejang masih sering terjadi (5-10 kali/hari), lama
kejang 2- 5 menit. Suhu 38-40
0
C. Hemodinamik , MAP
6590 mmHg HR 90 - 120 x/menit. CVP 11-18 cm H2O. SP
bronkovesikuler ,Rh +/+ ,Wh (-). Venlasi mekanik, PCV Pin-
sp 12, RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 30-50 %.
Pada hari ke- 14 didapatkan hasil kultur dan Resis-
tensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan bak-
teri batang gram negaf dan sensive terhadap Amikasin,
Gentamisin, Piperacillin + Tazobactam, Imepenem, me-
ropenem, Cefepime, Ceazidim, Siprooksasin, Aztreonam,
Piperacillin, Levooksasin.
Perubahan Terapi. Meropenem 3 x 500 mg, Amika-
sin 1 x 500 mg, Farmadol drip 1 gr dalam 6 jam, kalau de-
mam.
Dibawah ini grak PaO 2 / FiO2 dalam minggu ke -2.
Grak 2.
Minggu III di ICU (17-2-2010 s/d 23-2-2010)
Kejang masih sering terjadi (5- 8 kali/hari), lama ke-
jang 1- 3 menit. Suhu 38- 39
0
C. Hemodinamik, MAP 6090
mmHg, HR 90-120 x/menit. CVP 11-18 cmH2O. SP bronk-
ovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Venlasi mekanik, PCV Pinsp 12,
RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 3040.
Pada hari ke-16 dilakukan pemasangan CVC yang
baru melalui vena subklavia kiri karena CVC yang lama dak
berfungsi dengan baik. Terdapat perembesan darah pada
tempat insersi CVC. Ujung CVC yang lama dikultur. Dilaku-
kan foto polos toraks setelah pemasangan CVC. Tanggal
22-2-2010, sputum dikultur. (Gambar 2)
Di bawah ini adalah grak PaCO
2
/FiO
2
dalam minggu ke-3.
(Grak 3)
Grak 3.
Gambar 2.
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 28
Minggu IV di ICU (24-2-2010 s/d 2-3-2010)
Kejang masih sering terjadi (2-3 kali/hari), lama
kejang 1- 3 menit. Pada hari ke-24, dak dtemukan adanya
kejang, hanya gerakan involunter. Suhu 38- 39
0
C. Hemodin-
amik , MAP 6095 mmHg HR 95-120 x/menit. CVP 10-16
cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Venlasi mekan-
ik, PCV Pinsp 12, RR 10-12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 : 3040
%.
Tanggal 27-2-2010 diterima hasil kultur dan resis-
tensi ujung CVC: Klebsiela pneumoniae, ditemukan bakteri
kokobasil gram negaf. Keterangan: Pada pasien ditemu-
kan bakteri Klebsiela pneumoniae dengan ESBL (+). Sensif
terhadap Meropenem, Ertapenem, Imipenem, Gentamisin,
Amikasin, piperacillin + Tazobactam.
Perubahan terapi Piperacillin + Tazobactam 3 x 2,25
gr. Gentamisin 1 x 160 mg
Tanggal 1-3-2010 diterima hasil kultur dan resis-
tensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan batang
gram negaf. Sensif terhadap: Ceazidim, Aztreonam,
Siprooksasin, Levooksasin, Gentamisin, Amikasin, Piper-
acillin , Meropenem (I). Diet cair 1900 kalori (6 x pemberian
) + puh telur 3 x 2 bur.
Di bawah ini adalah grak PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -4.
RUDY MANALU
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 29
Grak 4.
Minggu V di ICU (3-3-2010 s/d 9-3-2010)
Pasien bebas kejang selama 5 hari, kejang 1 kali hari
ke- 34 dan 3 kali pada hari ke-35, lama kejang 1-3 menit.
Suhu 38-39
0
C, Hemodinamik MAP 60 95 mmHg, HR 95
- 120 x/menit. CVP dak bisa berfungsi untuk pengukuran,
hanya untuk jalur masuk obat. Darah keluar dari hidung dan
mulut. Maka diperiksa faal hemostasis dan diberikan Hepa-
rin 10.000 Unit/24 jam.
Hematologi: FFP 400 ml, Cryoprecipitate 5 kantong
(4 maret 2010). 5 Maret 2010 FFP 300 mL, Cryoprecipitate 3
kantong, Heparin 10.000 IU/ 24 jam. 6 Maret 2010 Heparin
12.000 IU/24 jam, PRC 500 mL dan periksa AT III, 8 Maret
2010: Heparin 15.000 IU/24 jam, 9 Maret 2010; Heparin
16.000 IU/ 24 jam.
Tanggal 4 - 3 2010 KCL drip 50 mEq / 24 jam
setelah itu KSR 3 x 1 tab. SP vesikuler, Rh -/- ,Wh (-). Venlasi
mekanik. Mulai dicoba proses penyapihan secara bertahap
dirubah menjadi SIMV namun dua kali mengalami desatu-
rasi pada tanggal 5-3-2010, didapatkan PaO2 59,8 dengan
FiO2 0,4 dan pada tanggal 9-3-2010 didapatkan PaO2 65,2
dengan FiO2 0,4.
Dilakukan kultur dan resistensi darah dan sputum
pada tangal 6 Maret 2010. Albumin 25 % per hari selam 3
hari.
Di bawah ini adalah grak PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -5.
Grak 5.
Minggu VI di ICU (10-3-2010 s/d 16-3-2010)
Kesadaran pengaruh sedasi. Kejang 1-2 kali per
hari. Hemodinamik, MAP 65100 mmHg, HR 90 100 x /me-
nit. SP Vesikuler Rh -/-, Wh (-)/(-). Venlasi mekanik proses
penyapihan di mulai dengan SIMV.
Pada tanggal 13 3 - 2010 : CPAP. Pada tanggal 15
3 2010 : T-piece. Dibawah ini grak perbandingan PaO2 :
FiO2 selama minggu ke-6.
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 30
Grak 6.
Gambar 3. Foto toraks tanggal 10-3-2010.
Tanggal 10-3-2010 dipasang CVC melalui vena sub-
klavia kanan dan ujung CVC yang lama dikultur ; dilakukan
foto polos toraks.
Tanggal 11-3-2010 didapatkan hasil kultur dan resis-
tensi darah, ditemukan bakteri gram negaf Klebsiela pneu-
moniae. Sensif terhadap : Meropenem, Amox + Clavulanic
Acid, Siprooksasin, Levooksasin, Ertapenem, Imepenem,
Gentamisin, Cefepime, Amikasin. Sputum: ditemukan bak-
teri batang gram negaf Pseudomonas aeruginosa. Sensif
terhadap Ceazidim, meropenem,Siprooksasin, Gentamis-
in, Cefepime, Amikasin, Piperacillin + Tazobactam (I).
Terapi. Meropenem 3 x 1 gr dan Siprooksasin 3 x
200 mg. Zonegran ( Zonisamid) 100 mg : 2 x 1 ( Obat an
epilepsi).
Minggu VII di ICU (17-3-2010 s/d 23-3-2010)
GCS : E4 M4Vtrakeostomi, Suhu : 37 -37,5
0
C. Ger-
akan involunter (+) Hemodinamik , MAP 70-90 mmHg HR :
90 100 x/menit, CVP 7,58,5 cm H2O. Respirasi Spontan
tanpa venlasi mekanik dengan O2 5 L/menit didapatkan
pulse oxymetry saturasi :98-99 %. SP Vesikuler Rh -/- , Wh
-/-, RR 14 16 x/ menit.
Tanggal 17-3- 2010 , Hasil kultur ujung CVC : Tidak
ditemukan bakteri. Tanggal 18-3-2010, dilakukan kultur
dan resistensi sputum. Tanggal 22-3-2010, hasil kultur dan
Resistensi sputum ditemukan bakteri batang gram negaf
Pseudomonas aeruginosa. Sensif terhadap Siprooksasin,
Levooksasin, Cefepime, Amikasin.
Pasien secara klinis mengalami perbaikan, maka di-
RUDY MANALU
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 31
coba untuk menghenkan pemakaian anbiok.
Minggu VIII di ICU (24-3-2010 s/d 31-3-2010)
GCS E4M4Vtrakeostomi, Suhu 37-37,5
0
C (tanggal
28-3-2010 suhu 38,4
0
C ). Gerakan involunter (+). Hemodin-
amik, MAP 70-90 mmHg, HR 90 100 x/menit. CVP 7,5 8,5
cm H2O. Respirasi Spontan tanpa venlasi mekanik dengan
O2 5 L/menit didapatkan pulsasi. Oksimetri saturasi 98-99
%. SP Vesikuler Rh -/- , Wh -/- , RR 14 16 x/ menit.
Foto polos toraks 25 3 2010 , Eksperse Radi-
ologis: paru, bercak di kedua paru berkurang, hilus normal.
Jantung, bentuk dan besar kesan normal. Mediasnum -
dak melebar, trachea letak di tengah. Kedua sinus phrenico-
costalis tajam. Diafragma kanan-kiri baik. Tampak masih ter-
pasang TT dan CVC kedudukan stqa. Dibanding foto tanggal
10 -3-2010, perbaikan.
Tanggal 25-3- 2010 pemberian Heparin drip 5000
IU / 24 jam. Tanggal 31-3- 2010 pemberian Heparin 5000 IU
/hari SK. Tanggal 28-3- 2010 dilakukan bronkoskopi karena
terdapat adanya darah dari lumen trakeostomi sewaktu suc-
oning.
Terdapat stenosis parsial oleh karena ujung trake-
ostomi tube menempel ke dinding trakea. Dilakukan kul-
tur dan resistensi dengan bahan bilasan bronkus. Tanggal
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 32
29-3-2010 : Cefepime 3 x 1 gr. Pasien rencana pindah ke
IMC.
Gambar 4. Foto toraks tanggal 25-3-2010
Gambar 5. Bronkoskopi tanggal 28-3-2010
Minggu IX di ICU ( 1-4-2010 s/d 7-4-2010)
GCS E4 M4Vtrakeostomi, Suhu 37 -37,5
0
C, terdapat
gerakan gerakan involunter. Hemodinamik, MAP 70 - 90
mmHg HR 90 100 x/menit. CVP 7,5 9,5 cm H2O. SP vesi-
kuler Rh (-) /(-). Respirasi Spontan tanpa venlasi mekanik
dengan O2 5 L/menit didapatkan pulse oxymetry saturasi
98- 99 %.
Tanggal 3-4-2010. Hasil bilasan bronkus : Candida
parapsilosis dan sensif terhadap Amfoterisin B, Flusitosin,
Flukonazol ,Vorikonazol. Pseudomonas aeruginosa dan
sensif terhadap Ceazidim, Siprooksasin, Levooksasin,
Amikasin, Piperacillin + Tazobactam. Diet bubur saring 1900
kalori (6 x pemberian ) , puh telur 3 x 2 bur. Perubahan
Terapi: Fluconazol drip 1 x 200 mg.
Minggu X di ICU ( 8-4-22010 s/d 14-4-2010)
GCS E4M5V4, Suhu 36,5-37
0
C, terdapat gerakan-
gerakan involunter. Hemodinamik, MAP 78-100 mmHg, HR
90 100 x/menit. CVP 7,5 10 cm H2O. SP vesikuler Rh (-)/
(-) Wh (-). Respirasi spontan dengan udara kamar pulse oxy-
metry saturasi 98- 99 %.
Tanggal 8- 4 -2010 tracheostomy tube dilepas.
Tanggal 9-4 -2010 CVC dilepas. Tanggal 10-4-2010 rencana
pindah ke ruang perawatan umum. Tanggal 14-4- 2010 ke-
luar perawatan ICU dan langsung pulang ke rumah.
PEMBAHASAN
Dalam laporan kasus ini ada beberapa hal yang
akan dibahas antara lain: ensefalis, tata kelola kejang, tata
kelola sepsis dan DIC.
Ensefalis
Pasien ini masuk ke rumah sakit dan dirawat den-
RUDY MANALU
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 33
gan dugaan CVD namun diagnosis dapat disingkirkan kare-
na hasil pemeriksaan MRI dan MSCT dalam batas normal.
Keluhan pasien adalah sakit kepala yang hebat selama 2
minggu, sulit bicara dan muntah-muntah. Dalam perjala-
nannya, terdapat gerakan involunter pada lengan pasien.
Dilakukan pemeriksaan EEG dan hasilnya : EEG abnormal,
perlambatan umum terutama kiri. Pasien mengalami de-
mam, kejang, penurunan kesadaran namun dak dijumpai
kaku kuduk. Dilakukan lumbal punksi dan hasilnya : Glukosa
49 mg/dL, Protein 17 g/dL, hitung sel 173 uL, PMN 10 %,
MN 90 %, None (-), Pandy (-).
Dari data di atas ditegakan diagnosis pasien men-
derita Ensefalis dimana terdapat demam, sakit kepala,
muntah, gangguan bicara, kejang, penurunan kesadaran,
dak terdapat kaku kuduk.
1,3
Analisis cairan liquor juga
mendukung diagnosa tersebut dimana terdapat pleositosis
(predominantly mononuclear cells) dan kadar protein yang
nggi.
3
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 34
Penyebab ensefalis adalah:
3
HSV type 1 dan 2 (terutama pada neonatus), VZV,
EBV, measles virus (PIE dan SSPE), mumps, rubella
yang disebarkan melalui kontak antar personal.
Mycoplasma species
Ricketsia
Tozoplasma
Selama perawatan di ruangan dilakukan pemerik-
saan untuk mengetahui penyebabnya.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
1. HSV 1 Ig G (+) 1,916 , HSV1 IgM (-)
2. HSV2 Ig G (-), HSV2IgM (-)
3. Toxoplasma IgG (-), IgM (-)
4. Rubella IgG (+) 226, Rubelle IgM (-)
5. CMV Ig G (+) 11, CMV IgM (-)
6. An Mycoplasma IgG : 72,40 RU/mL, An Mycoplasma
IgM 3,43 RU/mL
Dari hasil ini didapatkan kesimpulan bahwa dak
dijumpai virus sebagai penyebab karena walaupun ada be-
berapa IgG (+) tetapi IgM semuanya (-) , tetapi obat an vi-
rus tetap diberikan.
Disimpulkan juga adanya infeksi Mycoplasma akf
dan pasien diterapi dengan Azitromisin.
Disamping itu juga diberikan OAT oleh dokter spesialis paru
karena hasil foto polos toraks menunjukan minimal lesion
proses spesik.
Pada hari ke-6 di rawat di ICU dilakukan evaluasi
ulang terhadap ensefalis dengan melakukan lumbal punksi
dimana hasilnya dak mendukung ensefalis.
Tata kelola Kejang
Selama perawatan di ruang perawatan umum dan
di IMC pasien mengalami kejang yang diterapi dengan Diaz-
epam drip dan Fenitoin 3x 100 mg.
Pasien pindah rawat ke ICU karena kejang yang dak terken-
dali dengan terapi di atas.
Di ICU pasien diintubasi dan didukung dengan venlasi me-
kanik dan kejang dikendalikan dengan pemberian Pentotal
atau pun Propofol.
Urutan pengendalian kejang adalah pertama den-
gan pemberian Benzodiazepin dan apabila kejang masih ter-
jadi juga diberikan Fenitoin.
Bila kejang masih terjadi juga maka pasien diintubasi dan
dibantu dengan venlasi mekanik dan kejang dikendalikan
dengan salah satu obat yaitu:
Thiopental, Propofol, atau Midazolam.
4
Obat
pelumpuh otot mungkin diperlukan pada kejang yang dak
terkendali dan berkepanjangan.
5
Di ICU pemberian Fenitoin dihenkan karena kadar
Fenitoin dalam darah sudah jauh melebihi ambang batas.
Kejang yang sangat sering dan lama menyebabkan digunak-
annya pelumpuh otot sebagai tambahan untuk mengenda-
likan kejang. Penggunaan sedasi dan pelumpuh otot yang
banyak dan lama akan menyebabkan kelemahan otot-otot
pernafasan yang akan mempersulit proses penyapihan dari
venlasi mekanik.
Pasca ensefalis pasien masih mengalami kejang
dan diterapi dengan pemberian Propofol atau pun Diaze-
pam secara intermiten . Pasien juga mendapat kan obat an
epilepsi Zonisamid yang bekerja dengan cara menghambat
Na+ channels, menghambat Ca++ channels, memblok ak-
vitas Glutamat dan meningkatkan GABA. Keka pasien pu-
lang masih terdapat gerakan-gerakan involunter.
Tatalaksana Sepsis dan DIC
Sepsis didenisikan sebagai adanya infeksi dit-
ambah manisfestasi sistemik dari infeksi.
7
Manifestasi
sistemik dari infeksi (Systemic Inammatory Respon Syn-
drome = SIRS) ditandai dengan terdapatnya paling sedikit
dua dari kondisi berikut : Suhu < 36
0
C atau > 38
0
C, Laju jan-
tung > 90 x/menit, Laju nafas > 20 x/menit atau PaCO2 < 32
mmHg atau memerlukan venlasi mekanik, jumlah leukosit
< 4000/uL atau > 12.000/uL.
Pasien ini kita sebut mengalami sepsis karena
terdapatnya SIRS dan adanya infeksi paru (Pneumonia).
Temuan laboratorium disamping biakan kuman, leukositosis
(terutama pada minggu ke-4) , juga terdapat kadar CRP yang
nggi, kadar asam laktat dan juga Prokalsitonin mendukung
diagnosa tersebut. Pneumonia bakterial secara pikal akan
tampak dengan adanya demam, leukositosis, produksi spu-
tum yang purulent, dan terdapatnya gambaran inltrat yang
baru pada pemeriksaan foto toraks.
9,10
Penng membedakan beberapa terminologi seper-
: Hospital Acquired Pneumonia (HAP), Venlator Associat-
ed Pneumonia (VAP) dan Health Care Assosiated Pneumonia
(HCAP). HAP adalah pneumonia yang mbul dalam waktu
48 jam setelah rawat inap ,dan dak dalam masa inkubasi
pada saat pasien masuk. VAP adalah pneumonia yang m-
bul dalam waktu 48 72 jam setelah intubasi endotrakeal.
HCAP adalah pasien yang dirawat dalam perawatan akut ,
selama dua hari atau lebih karena infeksi dalam waktu 90
hari terakhir ; nggal di pan wreda atau fasilitas perawatan
jangka panjang lainnya; menerima terapi anbioka intrav-
ena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
terakhir; atau mendapatkan hemodialisis baik di klinik mau
pun rumah sakit.
Pemberian anbioka pada pasien ini disesuaikan
dengan hasil kutur dan resistensi dari bahan sputum dan
darah. Namun tetap ditemukan adanya Pseudomonas ae-
ruginosa pada sputum pasien ini sampai perawatan minggu
ke-7. Karena secara klinis didapatkan perbaikan, jumlah leu-
kosit menurun, foto polos toraks perbaikan maka pembe-
rian anbiok dicoba dihenkan.
Dilakukan pemantauan dan setelah 7 hari bebas anbiok,
mbul kembali demam dan terjadi sedikit kenaikan leukosit
sehingga kembali diberikan anbiok.
Hemodinamik pada pasien ini relaf stabil den-
gan mencukupkan volume intra vaskular (pemantauan nilai
CVP) dan juga bantuan vasopresor sehingga dak sampai
terjadi sepk syok.
Disseminated Intravascular Coagulaon (DIC) bukanlah
gangguan primer dan yang tersering merupakan komplikasi
dari Sepsis, trauma, dan kegawatan obstetrik (seper ab-
rupo placentae).
11
Pada pasien ini secara klinis terjadi perdarahan dan
pemeriksaan faal hemostasis menunjukan terjadinya DIC
RUDY MANALU
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 35
yaitu trombositopenia, PT dan APTT yang memanjang dan
peningkatan D-Dimer.
12,13
Terapi dari DIC
13
Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)
Cryoprecipitate
Transfusi trombosit , yang mungkin diperlukan apa-
bila terjadi
perdarahan yang mengancam jiwa.
An trombin III
Heparin
Pada pasien ini diberikan heparin dengan dosis
yang disesuaikan dengan temuan laboratorium , FFP dan
Cryoprecipitate. Walau pun pada minggu ke-5 terjadi penu-
runan jumlah trombosit sampai mencapai 23.000 tetapi -
dak diberikan transfusi trombosit. Terjadi kenaikan jumlah
trombosit dengan sendirinya pada minggu ke-6.
SIMPULAN
Pasien menderita ensefalis dengan kejang yang -
dak terkontrol sehingga diperlukan perawatan di ICU. Dalam
perjalan penyakitnya pasien menderita pneumonia, sepsis
dan DIC. Di ICU dilakukan tata kelola pasien kejang dan sep-
sis dan pasien dak sampai mengalami sepk syok sehingga
mengalami perbaikan. Pasien pulang dengan gejala sisa epi-
lepsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hinds CJ, Watson D. Encephalis-intensive care a
concise textbook. Third ed. Philadelphia: Saunders;
2008; 422.
2. Kennedy AM. Meningis and encephalomyelis. In:
Bersten AD, Soni N ed. Ohs Intensive Care Manu-
al. Sixth ed. Philadelphia: Buerwoth Heinemann
Elsevier, 2009; 583 - 91.
3. Childhood meningis and encephalis. Available
from: hp : //www.ped-zag org.
4. Hinds CJ, Watson D. Status epilepcus-Intensive
care a concise textbook. Third ed. Philadelphia:
Saunders; 2008; p. 432-36.
5. Opdam HI. Status epilepcus. In: Bersten AD,Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Phila-
delphia: Buerwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
541 - 48.
6. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving
sepsis campaign: Internaonal guidelines for man-
agement of severe sepsis and sepc shock 2008.
Crit Care Med 2008; 36(1): 299-327.
7. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Bersten AD,Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Phila-
delphia: Buerwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
709-16.
8. Marino PL. Pneumonia in the ICU The lile ICU
book of facts and formulas. Philadelphia: Lippinco
Williams & Wilkins; 2009; p. 535-47.
9. Gomersall CD. Pneumonia. In: Bersten AD,Soni N
ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadel-
phia: Buerwoth Heinemann Elsevier, 2009; 415
26.
10. Marino PL. Trombocytopenia and platelet trans-
fusions. The lile ICU book of facts and formulas.
Philadelphia: Lippinco Williams & Wilkins; 2009;
493-503.
11. Kwasneske D. Understanding Disseminated Intra-
vascular Coagulated (DIC). Available from: hp: //
faculty alverno.edu.
12. Isbister JP. Haemostac failure. In: Bersten AD, Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Phila-
delphia: Buerwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
1025 - 38.
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 36
I LAPORAN KASUS I
Perdarahan Terkait Koagulopa pada Infeksi Intraabdominal
Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infecon
Diah Widyan
Diah Widyan
Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis
Anestesiologi KIC
ABSTRACT
Naturally, human body has a complex mechanism
in compensang certain bleeding to ancipate blood loss.
Some life threatening bleeding is caused by combinaon of
vascular rupture and coagulopathy. This condion needs re-
suscitaon. The resuscitaon uses much of crystalloid, col-
loid, and followed by Red Blood Cell transfusion. The main
treatment of coagulopathy related bleeding are fresh fro-
zen plasma transfusion, thrombocyte, coagulant factor, and
cryoprecipitate. But however, coagulopathy oen happens
in early period of post injury and acts as mortality predictor
so independently that has a potenal to decrease mortal-
ity rate. It is also important to ancipate chain connecon
between acidosis, metabolic, hypothermia, and progresif
coagulopathy as soon as possible.
Keywords: coagulopathy, infecon, intraabdominal.
ABSTRAK
Secara alamiah, tubuh mempunyai mekanisme
kompleks untuk melakukan kompensasi keka terjadi
perdarahan agar tubuh dak kehilangan banyak darah.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening
bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan pem-
buluh darah dan koagulopa. Hal ini membutuhkan resusi-
tasi sebagai penatalaksanaan. Resusitasi pada perdarahan
masif menggunakan sejumlah besar cairan kristaloid, ko-
loid, dan diiku transfusi sel darah merah (RBC). Penatalak-
sanaan perdarahan terkait koagulopa (koagulopa-related
bleeding) yang terutama ialah transfusi fresh frozen plasma
(FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Na-
mun demikian, koagulopa sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas
yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa di-
perkirakan berpotensi menurunkan angka kemaan. Maka
dari itu, rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipoter-
mia, dan koagulopa progresif harus diansipasi sejak dini.

Kata kunci: koagulopa, infeksi, intraabdominal
PENDAHULUAN
Kontrol terhadap perdarahan selama pembeda-
han merupakan salah satu tanggung jawab bersama an-
tara dokter bedah dan dokter anestesi. Secara alamiah,
tubuh mempunyai mekanisme kompleks untuk melakukan
kompensasi keka terjadi perdarahan agar tubuh dak ke-
hilangan banyak darah, yaitu melalui pembentukan bekuan
trombosit dan brin pada pembuluh darah yang mengala-
mi cedera, disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan
dan regenerasi endotel. Mekanisme yang kompleks ini akan
berusaha mempertahankan darah tetap cair dan mengalir
lancar dalam pembuluh darah untuk kembali ke dalam ke-
adaan siologis.
Resusitasi cairan dan darah pada kasus perdara-
han menunjukkan perbaikan secara signikan, tetapi pada
perdarahan yang dak terkontrol masih merupakan tantan-
gan tersendiri dan diperkirakan sekitar 40% kejadian dapat
menyebabkan kemaan.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threaten-
ing bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan
pembuluh darah dan koagulopa. Kerusakan pada pembu-
luh darah besar sering membutuhkan ndakan pembedah-
an secara cepat, tetapi koagulopa karena perdarahan yang
difus sulit untuk ditangani. Penyebab koagulopa bersifat
mulfaktorial, termasuk di antaranya konsumsi dan dilusi
faktor pembekuan dan trombosit, disfungsi trombosit dan
sistem koagulasi, peningkatan brinolisis, gangguan sistem
koagulasi karena pemberian cairan koloid, transfusi dan
hemodulisi masif, hipokalsemia serta disseminated intra-
vascular coagulaon-like syndrome. Kombinasi koagulopa
dengan hipotermia dan asidosis disebut lethal triad kare-
na dapat menyebabkan angka kemaan yang nggi.
Resusitasi pada perdarahan masif menggunakan
sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diiku transfusi
sel darah merah (RBC). Walaupun tranfusi RBC memperbaiki
transpor oksigen, tetapi dak dapat mengoreksi kehilangan
faktor koagulasi dan trombosit serta dapat menyebabkan
koagulopa. Penatalaksanaan perdarahan terkait koagu-
lopa (koagulopa-related bleeding) yang terutama ialah
transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, faktor pem-
bekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, pada koagu-
lopa yang disertai hipotermia dan asidosis, pengganan
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 37
(replacement) yang adekuat sekalipun dak mampu men-
gontrol perdarahan dan pasien dapat jatuh pada kondisi
yang serius. Koagulopa sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortali-
tas yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa
diperkirakan berpotensi menurunkan angka kemaan.
Infeksi dan mulple organ gagal (MOF) adalah
komplikasi yang terjadi pada pasien yang selamat dari jejas.
Penelian menunjukkan bahwa akumulasi dari tranfusi RBC
mempunyai efek negaf terhadap lamanya pernyembuhan
penyakit dan meningkatnya kejadian infeksi pascajejas dan
MOF. Mengurangi pemberian RBC mungkin dapat menu-
runkan komplikasi dan memperbaiki keluaran (outcome).
Mekanisme Hemostasis
Terdiri dari ga sistem yaitu :
1. Sistem koagulasi
2. Sistem penghambat koagulasi
3. Sistem brinolik.
Sistem koagulasi
Faktor-faktor koagulasi terdiri dari protein di dalam plasma
yang berbentuk prekursor akf, yaitu :
Faktor I = brinogen
faktor II = protrombin
faktor III = tromboplasn
faktor IV = kalsium
faktor V = proakselerin (faktor labil)
faktor VII = prokonvern (faktor stabil)
faktor VIII = faktor an hemolik
faktor IX = komponen tromboplasn plasma (faktor
Christmas)
faktor X = faktor StuartPower
faktor XI = anteseden tromboplasn plasma
faktor XII = faktor Hageman
faktor XIII = faktor stabilisator brin
Faktor V dan VIII cepat menjadi nonakf di dalam darah
simpan.
Sistem penghambat koagulasi
Merupakan sistem yang merusak seap faktor ak-
f, beberapa saat setelah faktor tersebut menjadi akf.
Sistem brinolik
Sistem ini membentuk plasmin yang menghan-
curkan brin. Plasmin dibentuk dari plasminogen yang
terdapat di dalam jaringan, plasma dan air kemih. Selain
menghancurkan brin, plasmin juga merusak brinogen,
faktor V, dan factor VIII. Di dalam pembuluh darah, plasmin
cepat dinonakan oleh anplasmin.
Respon Tubuh Terhadap Perdarahan
Setelah perdarahan, albumin, air dan elektro-
lit akan berpindah dari ruang intersal ke intravaskuler.
Orang sehat dapat memobilisasi cairan dengan cara ini se-
banyak 100 ml/ jam, dengan kecepatan yang makin lambat,
dan hemodilusi ini akan berakhir setelah 36 - 48 jam pasca
perdarahan. Penelian membukkan, cairan ringer laktat
yang dimasukkan dengan cepat ke dalam sirkulasi pasien
yang kehilangan 10% darahnya akan dipertahankan lebih
lama dari pada bila infuse tersebut dilakukan kepada orang
yang normovolemik.
Perdarahan yang Masif dan Akut
Apabila perdarahan mencapai 20 - 30% volume da-
rah akan terjadi gangguan perfusi paru. Penurunan curah
jantung yang terjadi juga meningkatkan ekstraksi oksigen
oleh jaringan. Ar klinis perubahan ini ialah
1. Obat-obat golongan morn harus diberikan dengan
haha, dan hanya atas indikasi yang kuat (untuk
mengatasi nyeri hebat).
2. Peningkatan fraksi oksigen inspirasi (30% atau lebih) bi-
asanya sangat menolong.
3. Cairan seper NaCl, plasma, dextran, ringer laktat atau
plasma ekspander yang lain harus segera diberikan
sampai tersedia darah.
Penyulit setelah transfusi masif
Transfusi masif ialah transfusi sebanyak 500 ml
dalam waktu < 5 menit, atau transfusi sebanyak 50% vol-
ume darah resipien dalam waktu kurang dari 1 jam.
Gangguan pembekuan darah akibat pengenceran.
Koagulasi intra vaskuler diseminata.
Intoksikasi sitrat. Dapat diatasi dengan pemberian kal-
sium.
Pergeseran keseimbangan asam basa. Biasanya ter-
jadi asidosis ringan yang dak boleh terburu-buru di
koreksi, karena dengan sirkulasi yang baik keadaan ini
akan terkoreksi sendiri dalam waktu beberapa jam.
Hiperkalemia.
Pengendapan mikroagregat di dalam paru sehingga
terjadi edema paru.
Pergeseran kurva disosiasi oksigen hemoglobin ke
kiri, sehingga pelepasan oksigen untuk jaringan lebih
sukar, akibat 2,3 DPG yang rendah. Kurva ini akan kem-
bali normal setelah 24 jam.
ILUSTRASI KASUS

Pasien laki-laki, 26 tahun, BB 53 kg, datang dengan
keluhan keluar feses dari perut sejak 2 hari SMRS disertai
keluhan nyeri yang sangat pada perut yang mbul menda-
dak, nyeri dapat dilokalisir. Pasien memiliki riwayat operasi
post Appendiktomy di tahun 2004 dan post Laparotomy ai.
Ileus Obstruksi di tahun 2006. Pada tanggal 26 April 2009 (6
hari SMRS) post laparatomy eksplorasi di RS TNI Bogor, pen-
emuan intra-operasi didapatkan perlengketan usus kecil, di
lakukan adhesiolisis, 4 hari post op, terjadi obstruksi dan
stel dari luka operasi.
Pada pasien dak ditemukan adanya kelainan/pe-
nyakit seper hipertensi, DM, sakit jantung (nyeri dada),
sakit paru (TBC, asma), sakit kuning, riwayat kejang, ping-
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 38
san, cedera kepala, kelainan pembekuan darah. Riwayat
merokok (+). Tidak ditemukan adanya riwayat alergi terha-
dap makanan, obat-obatan atau bahan-bahan tertentu se-
belumnya.
Pada pemeriksaan sik ditemukan keadaan umum
tampak sakit ringan, kompos mens, TD 100/60 mmHg,
pulse 78 x/mnt, RR 20x/mnt, t 37,4
0
C, BB 53 kg/176 cm.
Mata tdk anemis dan tdk ikterik. THT Mal II. Gerakan dind-
ing dada simetris, BJ I-II (N), bising (-), gallop (-). Napas Vesk
(N), Rh (-), Wh (-). Abdomen supel, Dist (-), peristalk (N),
stel enterokutan + faeces. Pada seperga abdomen bagian
bawah dengan warna kemerahan di sekitarnya. Ekstremitas
: akral hangat, udem (-), motorik (N).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium 29
April 2009, DPL 11,9/35/15800/173000 BT/CT 330/1230,
PT/APTT 19,8/33,1 (12,6/30,4), Alb 3,2 GDS 85 gr% E
121/3,66/104, AGD 7,453/36,2/92,6/24,9/1,6/98,3%, O2
21%. Pada tanggal 08 Mei 2009, Hb 12.1, Hct 35.1, Leukosit
16.300, Trombosit 981.000. Kesimpulan foto thorak dak
tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo. Kesan
rontgen abdomen 3 Posisi ileus obstrukf. EKG :SR,NA, HR:
98x/menit, ST-T ch(-),T tall V2-V6, LVH(-), RVH (-), BBB(-).
Diagnosis masuk pasien ini adalah Fistel enterokutan high
output + Undernutrisi (BMI 17) + Hyponatremia.
Terapi yang diberikan diet rendah sisa, bubur sar-
ing 2 kali/hari, Peptamen 6x200cc (1200kalori), KaenMg3
500cc (200 kalori), Triofusin E 500cc (500 kalori), Ive-
lip20% 100cc (200 kalori), Total: 2300cc (2100 kalori).
Pada tanggal 13 Mei diberikan Ceazidime 2 x 1gr iv. Pen-
derita mendapat perawatan selama 12 hari di ruang HCU
Bedah untuk perbaikan gizi dan gangguan elektrolit pro
laparatomi eksplorasi pada tanggal 14 Mei 2009.
14/05/09 :ICU jam 23.30
S :
Pasien masuk dari OK- IBP dengan Post LE + pema-
sangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis, end il-
eostomi. Assessment ASA III dengan co-morbid SIRS ( leo-
kositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5
o
C, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hyponatremia:121. Anestesi General Isouran
+ N
2
O. Lama Operasi 13 jam 30 menit, Lama anestesi 14 jam
45 menit. Masalah intra Op perdarahan >>, hemodinamik
dak stabil, operasi dihenkan karena hemodinamik dak
stabil (MAP 40-50) perdarahan >>>, Cairan masuk: kristal-
loid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc. Keluar
perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam.
Kondisi di ICU :
O :
A : Airway bebas, terintubasi,Tampak Sakit Berat. B:
Bagging O2 10 lpm, RR 14-16x/m kemudian di hubungkan
dengan venlator CMV : RR 12, TV 350, PEEP +5, FiO2 60%,
Paru : suara napas vesikular +/+, rh-/-,wh-/- SaO2 100%. C
: Perfusi : dingin,basah,pucat, FN 90-100x/m, regular, kuat
angkat. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/kgBB/jam), suhu 34-
35
o
C. Jantung: BJ I-II, reguler, murmur(-),gallop(-). D: DPO,
pupil : bulat isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3.

Pemeriksaan Penunjang :
Jam 20.38 : AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-
0.3/98.9%, Hb/Ht : 3,1/10.1, Elektrolit: Kalium :3.8/ Natri-
um :134/ Chlorida :100
Jam 23.30 : AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3
18.3/SaO2 98.4%, dengan CMV : RR 12 TV 350 PEEP +5 O2
60%, Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000,
SGOT 11,SGPT 12, Ureum 21, Kreanin 0.3, PT 27.5/13.2
APTT 80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS
333.
A :
Hemodinamik dak stabil ec.perdarahan, Post lap-
arotomi eksplorasi (LE) + pemasangan stoma a/i stel en-
terokutan adhesiolisis, end ileostomi + SIRS + Undernutrisi,
Hipoalbumin. Masalah hemodinamik dak stabil, perdara-
han dan hemodilusi massive, gangguan faal hemostak/
koagulopa, Operasi dan Anestesi lama ( 14 jam 45 menit),
Hipotermi suhu 34-35
o
C.

P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, koreksi kom-
ponen darah, Warming, Venlator support : CMV : TV:
350cc,RR 12 , PEEP +5, FiO2: 60%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1
ug/kgBB/jam, NS 10 + miloz 5 mg = 1mg/jam. NS pro CVP.
Gelofusin pro resusitasi cairan. Asering pro resusitasi cairan.
Ceazidim 2 x 1 gr.iv (H2). Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H1). Ranidin 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg iv. Vit C 1 x 1 gr iv. APS : Marcain 0.125 %+ fentanyl
1u : 10cc/jam bila hemodinamik stabil.
Laporan Operasi 14 Mei 2009
Diagnosis Pra Bedah stel enterokutan, high out-
put. Diagnosis Pasca Bedah stel enterokutan adhesi. Tin-
dakan Adhesiolisis, end ileostomi. Durante operasi : luka
lama di buka, tampak perlengketan usus halus dengan
dinding abdomen anterior, dilakukan pembebasan, tampak
6 muara stel sepanjang luka lama, dilakukan pembebasan
lebih lanjut kearah oral didapatkan loop usus halus sepan-
jang 150 cm dari ligamentum Treitz, pembebasan dilanjut-
kan kearah distal, tampak loop ileum dengan muara stel
sampai dengan 7 cm dari valvula Baunii. Sekum, kolon as-
cendens, kolon transversum sampai dengan sigmoid kesan
intak. Intraoperaf di dapatkan MAP berkisar 40-50 mmHg,
diputuskan menghenkan operasi. Puntung proksimal di
keluarkan sebagai stoma, puntung distal ditutup. Luka op-
erasi ditutup dengan jahitan Benton, drain di pelvik sinistra.
Masalah selama perawatan di ICU H1 (hari perta-
ma) : Hemodinamik dak stabil.
Tabel 1.
Jam Masalah Tindakan
23.30 TD 94/51 loading Asering 300cc,
vascon 3cc/jam: 0,1ug
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 39
24.00 CVP : +51/2 Loading gelofusin 300cc-200cc
dalam 30 menit
01.00 Hb/Ht : 3,1/10.1 PRC 750cc FFP 500cc
03.00 MAP (62), TD
92/57 mmHg
Produksi urine
>>,
Hb 6,7
gelofusin 500cc/30 menit,
pesan darah
H2 : 15/05/09
S : -
O :
CNS: di bawah pengaruh obat (DPO), pupil : bulat
isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS: BJ I-II
normal, murmur -, gallop . TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/
kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38
o
C. RS : R R
15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%. Vent:
PC8 SIMV15 PS7-8, RR12 TV350,MV 5.5 PEEP5-6, FiO2 40-
60%. GIT : BU+, produksi stoma >>. GUT: Urin jernih. Ext:
Petekie, akral hangat.
A :
Health Care Associated Intra Abdominal Infecon
+ Peritonis Terary. Post LE + pemasangan stoma a/i stel
enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah: Hemo-
dinamik dak stabil, Perdarahan dan Gangguan faal hemo-
stak/Koagulopa, Produksi kolostomi >>, Hipoalbumin,
febris suhu 37,7- 38
o
C.
P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, komponen darah, Reg-
ulasi suhu. Venlator support : PC8 SIMV15 PS7-8, RR12
TV350-643. MV 5.5-10.3 PEEP 5- 8- 6, FiO2 40-60%. NS50
+ Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg :
1mg/jam. PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gel-
ofusin pro resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3
1000cc/24 jam. Ceazidim 2 x 1 gr iv (H3). Metroni-
dazol 1 x 1500mg iv (H2). Ranidin 2 x 50 mg.iv. Transamin 3
x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr .iv. APS : Marcain
0.125 %+ fentanyl 1u : 10cc/jam stop
Pemeriksaan penunjang:
Jam 07.00 : AGD : 7.325/35.3/211.1/-6.9/17.9/98.3
- 7.274/42.6/35.6/-6.7/71.3. Hb 7,9/23.0/2.60/20.6/239 Na
137/3,9/108, alb 1.10. Jam 21.00 : AGD 7.533/19.4/296.7/-
5.7/19.7/98.9. Kesimpulan Thorax AP: Pneumothorax kan-
an.
Masalah selama perawatan H2:
Tabel 2.
Jam Masalah Instruksi
07.30 TD 79/61 HR 110, CVP
+7
CVP +9, TD 95/57
haemacell 500cc/30
m,Vascon 0,1u/jam = 4 cc/
jam ,asering 500cc
10.40 TD 74/40-90/50 (59),
FN 163 CVP +5
Koloid 500, asering 500
11.30 Produksi drain banyak
+650cc
LP 78-79
13.00 TD 82/36 (46) drain >>> Vascon 0.2u, voluven
500cc, gelofusin 500cc
15.00 TD 90/40 (52) FN 150x
RR 35x/m
Haemacell 500cc, SIMV5,
PC8 O2 40%
Voluven 1000cc, RL
1000cc, haemacell 500
N-Epi 0,2 uq -> 8,2uq/jam
(4u)
20.47 TD 79/47 Vascon 0,3 uq : 12 cc/jam
22.27 Tachycardia FN 166x
,96/50
Haemacell 300cc/30
23.00 Suhu febris Novalgin 500mg.iv -> no-
valgin 500mg/4jam
24.00 Produksi colostomy >>
Clo ng darah
04.21 Produksi urine << Asering 500cc/30 vascon
0,4uq
05.00 Produksi colostomy >>
Clo ng darah
H3 : 16/05/09
S :
Cardiac Arrest
O :
CNS: Kompos mens, GCS : E4VtubeM6. Pupil :
bulat isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS:
BJ I-II normal, murmur -, gallop . TD: 102/46 mmhg (NE
0,1mg/kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38
o
C. RS:
RR 15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%.
Vent: PC12 PEEP5, FiO2 40%. GIT : BU+, produksi
stoma >>>. GUT: Urin jernih, produksi > 1cc/kgBB/jam. Ext:
Akral hangat.
A :
Healthcare associated Intra Abdominal infecon
+ Peritonis Terary. Post LE + pemasangan stoma a/i s-
tel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah :
Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik dak Stabil, Koagu-
lopa : perdarahan medical bleeding, Produksi kolostomi
>>, Hipoalbumin
P :
Sirkulasi Support : resusitasi cairan, komponen da-
rah. Venlator support : PC12 PEEP 5, FiO2 40%. NS50 + Vas-
con 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg : 1mg/jam.
PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro
resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3 1000cc/24
jam. Ceazidim 2 x 1 gr iv (H4) Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H3). Ranidin 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr iv. Novalgin 500mg/4jam.
Masalah selama Perawatan H3:
Tabel 3.
Jam Masalah Instruksi
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 40
06.50 TD 97/53 (64) vascon 0.4mcg
09.00 Produksi colostomy >>
500cc
Produksi drain >>
Dr.Bedah sudah lihat :
bleeding medical, belum
ada rencana buka
Asering 500cc/30 menit
Gelofusin 500cc/30 me-
nit
Vascon 0.4u = 8cc/jam
14.30 TD 99/36 (50)HR 141x/
menit
Vascon 0.4u = 8cc/jam
15.00 88/20 (45) HR120x/m Loading Haemacell
500cc, gelofusin 500cc
15.10 HR 72x/m SA 2 ampul
15.25 Bradycardia 35x/m
TD dak terukur,
Arrest, resusitasi, SpO2
85%
Asodosis metabolik BE-
20
SA 2 ampul Adrenalin 1
ampul- 1 ampul,
Bagging+RJP 20 menit,
Arrest (1)
Bicnat 50 mEg
15.30 Gan balutan luka op-
erasi 200cc + ileostomy,
TD 120/73 FN 120-120x/
m
Loading voluven 500-500
15.40 Bradycardia 45x/m
TD dak terukur, Arrest
Bagging 10lpm,SA 2-2
amp,adrenalin 1-1mg
RJP 5 menit Ar-
rest (2)
16.00 TD 126/70 (83)
Abdomen ada petechie,
edema palpebra
Vascon 0.4 ug/jam = 8 cc/
jam
19.30 Rembesan luka operasi
400cc
Gan balutan luka
21.00 CM 7283.2 CK 3710
24.00 Transfuse 1004 cc Ca gluconas 1 amp, cek
DPL
03.00 CM 8095,8 CK 4170 -
H4 : 17/05/09 : post cardiac arrest 2x, hemodinamik tetap
dipertahankan stabil Masalah selama Perawatan H4:
Tabel 4.
Jam Masalah Instruksi
10.10 Cairan serosa mengalir
akf pada luka operasi
250cc rembesan
Visite dr.bedah : bukan
darah, cairan serosa
10.30 Terdapat perdarahan
dari colostomy akf
200cc
Observasi, C. IPD- Hema-
tologi
11.45 Hb 9,7g/dl PT/APTT me-
manjang, brinogen 59
PRC 170cc, pesan FFP
500cc
Cryopresipitate (Hematol-
ogy-anestesi)
12.00 CM 260.2 CK 1440 =
-1179.8
17.50 Balans - 700 Asering 500cc/30 menit
22.00 Luka operasi rembes,
produksi colostomy (+)
faeces (+)
Perawatan colostomy, GV
03.00 Input 2838.4 output
3310
B 471.6
Kesimpulan Thorax AP: Dibandingkan dengan foto
tgl 15/05/09 pneumothorak kanan perbaikan. Inltrat ber-
tambah dengan DD/ bronchopneumonia, awal bendungan
paru
Problem list: Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik
Stabil, Perdarahan: medical bleeding, koagulopa, Produksi
colostomy >>, Rembesan pada luka jahitan operasi, faeces
(+), VAP : Venlator Associated Pneumonia, Peningkatan
Liver Funcon Test : SGOT/SGPT, Bilirubin, Peningkatan ure-
um/Creanin : AKI (Acute Kidney Injury)
Plan: Sirkulasi support : resusitasi, komponen da-
rah, Ceazidim 2 x 1 gr iv (H5), Metronidazol 1 x 1500mg
iv (H4), Levooxacin 1 x 500mg iv (H1), Ranidin 2 x
50 mg iv, Transamin 3 x 500mg iv, Vit K 3 x 10 mg iv, Vit C 1
x 1 gr iv. Diskusi Ts. Bedah pro re-laparatomy ai. terdapat
faeces pada rembesan luka operasi
H5 : 18/05/09
Masalah selama Perawatan H5: Trombositopenia
Tabel 5.
Jam Masalah Instruksi
08.30 Vascon 3,5 cc/0.21 uq
09.00 Rembesan dari
luka op 50cc
Gan verban
12.00 CM 492, CK 1310
15.00 Hb 9,3gr%, drain
500cc
Transfusi PRC 1 kantong
18.00 CM 1449 CK 2960
B-1510
Kristalloid 500cc/30, cek DPL
post transfusi
24.00 Input 2677 output
4210
Balans 1532
Trombosit 20.000
Transfusi TC 10 kantong
H6 : 19/05/09
Masalah selama Perawatan H6: Hipokalemia
Tabel 6.
Jam Masalah Instruksi
Vascon 0.1= 2cc/jam, miloz 0,5
u/jam
13.30 Albumin 2.25 Pemberian albumin ke-3
14.00 R/.besok operasi Pesan PRC 1000cc, FFP 750cc
17.00 KCL 3.1 KCL 50mEg dalam Nacl 100 cc
dalam 4jam
18.00 CM 1201.2 CK
2620 B= -1418
CVP +10.5
Vascon 0.1u/jam = 2cc/jam
Asering 500cc
22.00 CVP +5 Voluven 300cc
23.30 K:3.0 KCL 50Meg/4jam
03.00 CM 3023 CK 4250
B -1226
K: 3.2
Asering 500cc/30
KCl 50mEg/4jam
Pada perawatan selanjutnya di ICU, kondisi pend-
erita relaf stabil, hemodinamik stabil terdapat perbaikan
dengan venlator support untuk VAP, koreksi komponen
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 41
darah untuk gangguan koagulasi, tanda-tanda infeksi den-
gan anbiok kombinasi ceazidim, metronidazol dan le-
vooxacin untuk VAP dan Healthcare Associated Intra Ab-
dominal Infecon.
Plan : Weaning venlator, Weaning inotropik,
Nutrisi Enteral, Pro re-laparatomi tanggal 20 mei 2009
H7 : 20/05/09
Masalah selama Perawatan H7:
Tabel 7.
Jam Masalah Instruksi
06.50 Vascon 0.1uq = 2 cc/jam
08.30 TD 88/50 (59) Voluven 500cc/30
15.00 TD 97/66 (72) Gelofusin 500cc/30, vascon
0.2uq
17.00 CVP +8 FN 108 TD
107/60
Haemacele 500cc/30, asering
500cc/30
19.00 Trombosit 35.000 Transfusi trombosit 10 kantong
21.30 CVP +11 Gelofusin 500cc dalam 30
02.10 CVP +11 Asering 500cc dalam 30
Jam 09.00 14.45 : Dilakukan re-Laparatomi
Diagnosis Pra Bedah: susp.perforasi jejunum post
op reseksi ileum ec stel enterokutan. Diagnosis Pasca Be-
dah : Nekrosis ileum terminal, saekum, dan kolon ascen-
dens. Tindakan : Laparatomi, reseksi ileum terminal ko-
lon ascendens, jejunostomi. DO : pada eksplorasi : keluar
succus enterikus 700cc, jejunum 100cm dari Treitz,
bekas jahitan terbuka 0.3cm, 120 cm jahitan terlepas.
Mulai dari ileum terminal sampai dengan kolon ascendens
tampak nekrosis, kontaminasi faeces (+). Dilakukan reseksi
bagian yang nekrosis, puntung kolon transversum di tutup,
bekas jahitan 100cm dari Treitz di keluarkan sebagai sto-
ma, drain parakolika kanan.
Kesimpulan: nekrosis mulai dari ileum terminal s/d
Kolon ascendens, jahitan pada jejunum 100cm dari Treitz
terbuka 1 jahitan, jahitan pada jejunum 120 cm dari Treitz
terbuka.
Post operasi: Kondisi penderita membaik, Hemo-
dinamik stabil, VAP membaik, Tidak tampak tanda2 infeksi,
Lab : SGOT/SGPT kembali normal, PT/APTT dalam batas
normal, Renal Funcon test; Ureum/Kreanin dalam batas
normal.
H8 : 21/05/09
Masalah selama Perawatan H8: Rembesan luka Operasi
Tabel 8.
Jam Masalah Instruksi
09.30 TD 78/42 Vascon 0.3uq = 6cc/jam, voluven
500cc/30
10.30 TD 140/80
Rembesan dari
luka op 250cc
Vascon 0.2uq
12.00 CM 866cc CK 1950
CVP+9
Voluven 500cc
15.30 Rembes luka
op,Balance
913.8
Wound care
20.00 Rembes luka op Wound care
21.00 Balance - 1273 TD
158/90(100)
Vascon 0.15 u (3 cc/jam)
24.00 CM 3242 CK 5400
B= - 2158
TD 143/75 HR
90x/m
Asering 1000cc/6jam
22.00 Rembesan luka op
100cc
GV
03.00 Rembesan 100 cc GV
06.30 Rembesan 100cc GV
H9 : 22/05/09. Masalah selama Perawatan H9: Hipokale-
mia dalam koreksi, rembesan luka operasi.
Tabel 9.
Jam Masalah Instruksi
07.00 TD 124/74 (84) Tramadol 100mg/8jam = 1cc/
jam,Vascon 0,1u
08.00 Hasil AGD K: 2.7 Koreksi KCL 50mEg
12.20 Urine 50cc/3jam Asering 500cc, vascon turun
0.05uq
13.40 TD 88/37 (54)
nadi 91 Hb7.0
Haemacele 500cc/30 transfuse
PRC 3 kantong
16.00 Rembesan 50cc Koloid 500cc/30
18.00 Ureum 89, creat-
inin 3.2
Lanjut KCL 50mEg/8jam (+NS100
-> 150u)
20.00 TD 138/74(89) Vascon stop
H10 : 23/05/09. Masalah selama Perawatan H10: produksi
kolostomi banyak.
Tabel 10.
Jam Masalah Instruksi
10.00 Produksi colosto-
my >>
Luka op rembes,
warna hijau
Bedah digesve : a 1 jahitan,
pasang colostomy bag
10.45 CVP +8.5 balans
( -)
Kristaloid 500cc/30
11.05 T-piece trial , Sat
100%
Pro ekstubasi, dexamethason 2
amp
12.00 Ekstubasi
16.00 Produksi colosto-
my >>
Luka operasi rem-
bes,
Gan colostomy bag, gan balu-
tan
22.15 Balans 702 CVP
+6
Gelofusin 500cc/30
24.00 CM 3131 CK 4255 Gelofusin 500cc/30
Dilakukan ekstubasi. Evaluasi thorax AP: dak tampak ke-
lainan pada cor/pulmo saat ini. Test Norit negaf.
H11: 24/05/09. Masalah selama Perawatan H11: produksi
kolostomi banyak
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 42
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 43
Tabel 11.
Jam Masalah Instruksi
10.00 Produksi colosto-
my >> 300cc
15.00 CVP +5, urine pe-
kat
CM 1021 CK 1495
TD 99/65 (73) FN
85
Haemacele 500cc/30
15.30 PT/APTT meman-
jang
Renc. Transfusi FFP 500cc (se-
dang pesan)
21.30 Transfusi FFP
22.00 Produksi jejunos-
tomi kanan
250cc warna
kuning
24.00 Balans +500cc
H12 : 25/05/09. Masalah selama Perawatan H12: Hipokale-
mia dalam koreksi
Tabel 12.
Jam Masalah Tindakan
07.30 K : 2,9 Koreksi KCL 25 mEg/4
jam
08.59 CVP +6 cm H2O, urine
pekat
Asering 500cc - hae-
macele 500cc
11.00 CVP +9, urine pekat Haemacele 500cc/5 jam
KCL 50mEg/8jam
12.00 Yeyunostomi>>
encer warna kuning
Rawat luka
13.10 Pindah HCU bedah
Pemeriksaan Penunjang
24 April 2009 Abdomen 3 posisi.
Distribusi udara usus tampak meningkat, tak sam-
pai ke bawah. Psoas line tak tampak, preperitonial fat line
baik. Tampak air uid level/herring bone appearance (+).
Tak tampak free air. Tak tampak batu opak traktus urinarius.
Tulang-tulang baik. Kesan: ileus obstrukf.
02/05/09 :
Asuhan Gizi : TB : 176 cm BB ideal : 68.4 kg, BB: 53 kg
Masalah: stel enterokutan
Assesment: Antropometri TB: 176cm BB: 53kg
BMI: 17.15, Biokimia: Hb 11.9, leukosit 15.800. Kesadaran
CM. Riwayat Diet : pola makan di rumah; makan dak tera-
tur, mual(-), muntah(-), merokok(+) BB biasanya 53kg.
Diagnosa Gizi: Peningkatan kebutuhan energi dise-
babkan adanya infeksi ditandai leukosit yang nggi, Pen-
ingkatan kebutuhan energy disebabkan BB yang kurang
ditandai BMI 17.15. Intervensi Gizi : diet cair rendah sisa +
makanan cair rendah sisa komersial (500kkal)
Tabel 13. Thorax AP :
11/05 Jantung dak membesar (CTR<50%)
Aorta baik, Mediasnum superior dak melebar
Hilus kanan-kiri dak menebal
Corakan bronkhovascular kedua paru baik
Sinus kostofrenikus kanan-kiri lancip dan kedua leng-
kung disfragma baik
Jaringan lunak dan tulang-tulang baik
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan radiologist pada
cord dan pulmo
15/05 Tampak area lusen avascular di lateral hemithorax
kanan dengan gambaran pleura visceral line.Jantung
kesan dak membesar
Aorta dan mediasnum superior tak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus tak menebal
Diafragma licin, sinus costofrenicus lancip
Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6
(proyeksi vena cava superior)
Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3
(proyeksi 1 corpus di atas carina
Kesimpulan :
Pneumothorax kanan
17/05 Sudah dak tampak area lusen avascular di lateral
hemithorax kanan, masih tampak penebalan garis
pleura di lateral hemithorax kanan. Jantung kesan -
dak membesar, Tampak inltrate di lapangan tengah
dan bawah paru kanan kiri terutama di sentral yang
bila dibandingkan dengan foto tanggal 15/05/09
bertambah
Diafragma licin, sinus kostofrenikus lancip
Aorta dan mediasnum superior tak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus suram
Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6
(proyeksi vena cava superior)
Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3
(proyeksi 1 corpus di atas carina)
Kesimpulan :
Dibandingkan dengan foto tgl 15/05/09 pneumotho-
rak kanan perbaikan
Inltrat bertambah dengan DD/ bronchopneumo-
nia, awal bendungan paru
(dr.Deddy/Anto/Ellius/Ica)
22/05 Inspirasi cukup, posisi simetris, CTR <50%
Aorta dan mediasnum superior tak melebar
Trakea di tengah, terpasang ETT dengan ujung distal
senggi 3 corpus di atas karina.
Kedua hilus dak menebal, Corakan bronkovascular
kedua paru baik
Tidak tampak inltrate di kedua lapangan paru, Ked-
ua hemidiafragma licin, sinus kostofrenikus lancip
Jaringan lunak dan tulang-tulang baik
Kesimpulan : dak tampak kelainan pada cor/pulmo
saat ini
Hasil Kultur
Sputum: diterima 18/05/09 hasil 19/05/09. Pewar-
naan gram ; coccus gram (+) : pos. sedikit, Leukosit; 6-8/
LP,Epitel : 2-3/LP. Biakan : di terima 18/05/09, hasil 22/05/09
: pseudomonas Sp. Sensif : gentamycin, amikasin, seazi-
dime, ciprooxacin, piperacil/tazobactam, cefepime, me-
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 44
ropenem, imipenen. Resisten: ceriaxone, kanamycin ce-
fotaxime, cephalon. Darah : steril
Luka Operasi : diterima 22/05/09 hasil 26/05/09.
Escherichia coli. Sensive : Amikasin, meropenem, imipe-
nem. Resisten: Gentamycin, sulbactam/ampicillin , cefo-
taxime, cephalon, ceriaxone, kanamycin, ceazidime,
piperacil/tazobactam, levooxacin, cefepime, cefpirom.
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki/26 tahun/53kg/176cm masuk ICU
RSCM dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i
stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi.
Assessment: ASA III dengan ko-morbid : SIRS ( leo-
kositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5
o
C, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hiponatremia:121. Anestesi : General Anestesi
: Isouran + N
2
O. Lama Operasi : 13 jam 30 menit, Lama
anestesi : 14 jam 45 menit. Masalah intra Op: perdarahan
>>, hemodinamik dak stabil, operasi dihenkan karena he-
modinamik dak stabil (MAP 40-50), Cairan masuk : kristal-
loid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc,Keluar
: perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam. Durante operasi
di dapatkan hasil AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-0.3/98.9% .
Hb/Ht : 3,1/10.1, Kalium :3.8/ Natrium: 134/ Chlorida :100.
Tiba di ICU, tetap dilakukan respiratory suppor, CMV : RR 12
TV 350 PEEP +5 O2 60%, MAP tetap di pertahankan stabil
berkisar 50-60 mmHg, dengan Nor-epinefrin 0.1ug/menit.
AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3 18.3/SaO2 98.4%,
Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000, SGOT
11,SGPT 12, ureum 21, creanin 0.3, PT 27.5/13.2 APTT
80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS 333.
Didapatkan Unstabile Hemodinamic ec.perdarahan, Post
LE + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis,
end ileostomi + SIRS + Undernutrisi, Hipoalbumin. Masalah:
hemodinamik dak stabil, perdarahan dan hemodilusi mas-
sive, gangguan faal hemostas/koagulopa, operasi dan
Anestesi lama ( 14 jam 45 menit), hypothermi suhu 34-35
o
C.
Durante operasi di dapatkan perdarahan terus
menerus akibat ndakan pembedahan, dilakukan resusi-
tasi cairan dengan menggunakan kristalloid, koloid, trans-
fusi darah dan komponen darah. Keadaan hemodilusi dan
transfusi masif mengakibatkan dilusi dari faktor-faktor pem-
bekuan dan trombosit disertai hipotermia, mengakibatkan
koagulopa. Perdarahan yang terjadi dan koagulopa send-
iri menyebabkan perdarahan yang terus-terus dan tetap
membutuhkan hemodilusi dan transfusi massif.
Perdarahan juga mengakibatkan ssue hypoxia,
terjadi asidosis yang juga memicu terjadinya koagulopa.
Koagulopa disertai hipotermia dan asidosis di kenal seb-
agai lethal triad karena dapat menyebabkan meningkat-
nya angka kemaan.
Penelian yang dilakukan oleh T.Kasai MD
10
menunjukkan
bahwa suhu tubuh menurun pada pasien dalam pengaruh
anestesia. Severe hypothermia sering terjadi pada oper-
asi yang lama termasuk abdominal atau thoracic surgery,
dibandingkan dengan ndakan prosedur yang lebih seder-
hana dan menyebabkan berbagai komplikasi. Dari 862
pasien ter-anestesi (ASA status sik I or II) pada abdominal
surgery dibawah general anesthesia, kira-kira setengahnya
berkembang menjadi hipotermia (suhu in <36.0C), sep-
erga menjadi hipotermia dengan suhu in <35C selama
pembedahan. Penatalaksanaan pemberian cairan dan kom-
ponen darah pada perdarahan seper terlihat pada gambar
di bawah ini:
Gambar 1. Permission from european society of haema-
pheresis. Tatalaksana pemberian cairan dan komponen da-
rah.

Gambar 2. The interplay between metabolic acidosis, hypo-
termia and coagulopaty in trauma

Sessler
11
menyarankan suhu in intraoperaf harus
dipertahankan pada suhu >36.0C. Forced-air warming, IV
uid warming , dan preanesthec warming efekf mence-
gah hipotermia intraoperaf. Untuk memprediksi terjadinya
hipotermia intraoperaf selama periode dilakukan roune
thermal care pada kamar operasi dengan suhu 2224C,
mempergunakan circulang-water maress, dipanaskan
pada 38C diletakkan sebagai alas pasien. Kulit pasien ditut-
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 45
up dengan surgical drapes, heat-moisture exchanger (HME)
pada tracheal tube. IV uids, dihangatkan mendeka suhu
tubuh. Pengukuran suhu in tubuh seap 5 menit.
Pada pasien-pasien yang menerima transfuse mas-
sif RBC juga diberikan FFP, trombosit, brinogen concen-
trate atau cryoprecipitate. Tidak ada guideline yang univer-
sal pada pemberian komponen hemostak. Rekomendasi
yang dianjurkan berdasarkan pengalaman, pendapat dan
personal experiment dibandingkan evidence base dari ran-
domized controlled trials.
Tabel 14. Guidelines for replacement therapy in paents
with coagulopathy, by American Society of Anesthesiology
Task Force on Blood Component Therapy.
Coagulaon parameter Recommended therapy
Prothrombin me >1.5 mes
normal
Fresh frozen plasma,
prothrombin complex
concentrate
Acvated paral throm-
boplasn me >1.5 mes
normal
Fresh frozen plasma
Fibrinogen <1.0 g litre_1 Fibrinogen concentrate,
cryoprecipitate
Platelets <50 109 litre_1 Platelets
Pada perawatan hari ke-3 pasien mengalami hen
sirkulasi di sebabkan karena perdarahan dari luka operasi
dan stoma yang banyak, dan resusitasi yang diberikan -
dak dapat mengejar kehilangan darah yang begitu banyak.
Pasien jatuh dalam keadaan syok hipovolemia kemudian
sirkulasi gagal dan hen sirkulasi. Pada saat itu di cek kadar
Hb 1,5gr%.
Mekanisme transfor oksigen terdiri dari : Sistem
pernapasan yang membawa O2 udara sampai ke alveoli, ke-
mudian difusi masuk kedalam darah, Sistem sirkulasi yang
membawa darah berisi O2 ke jaringan, dan sistem O2- Hb
dalam eritrosit dan transfor kejaringan. Gangguan oksige-
nasi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah
( hipoksi ). Pada perdarahan dan syok terjadi gabungan
hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan oksigen arteri (
Oxygen cotent = CaO2 ) menurut rumus Nunn- Freeman;
CaO2 = ( Hb x Saturasi O2 x 1,34 ) + ( pO2 x 0,003 )
Hb = kadar hemoglobin ( g % )
Sa O2 = Saturasi oksigen ( % )
1,34 = konstanta ( banyaknya ml oksigen yang terikat seap
1 g Hb )
pO2 = tekanan paral oksigen
0,003 = konstanta kelarutan oksigen dalam plasma
Pengiriman oksigen (Oxygen delivery = DO2 )
adalah banyaknya oksigen yang disuplai kejaringan yang
besarnya ditentukan oleh curah jantung ( Cardiac output =
CO ) dan banyaknya kandungan oksigen arteri
DO2 = CO x CaO2
DO2 = oxygen delivery
CO = Cardiac out put ( Stroke volume x frekwensi )
CaO2 = Oxygen content.
Dalam keadaan normal Hb 15 g%, SaO2 100% dan
CO 5 L / menit maka banyaknya kandungan oksigen adalah
50 x 15 x1 x 1,34 = 1005 ml /menit. Jika terjadi perdarahan
akut maka unsur- unsur yang dapat berkompensasi adalah
kadar Hb dan curah jantung . Kompensasi Hb sangat lam-
bat dan dak dapat mengatasi krisis akut, Kompensasi yang
paling cepat adalah Curah jantug yang dapat naik 300% jika
volume sirkulasi dak hipovolemik ( Venous return normal
) Setelah keadaan normovolemi tercapai kadar Hb menjadi
lebih rendah, tetapi karena venous return normal CO dapat
naik. Misalnya Hb 5 g% , SaO2 100 % dan CO naik 15 L/me-
nit , maka oksigen tersedia = 150 x 5 x 1 x 1,5 = 1003 ml /
menit. Dulu diyakini bahwa kadar Hb harus lebih nggi dari
10 g% agar tersedia oksigen untuk memenuhi kebutuhan
organ vital ( otak , jantung ) dalam keadaan stess, Sekarang
dibukkan bahwa Hb 6 g% masih dapat mencukupi kebutu-
han oksigen jaringan.
Pada pasien ini pada saat perdarahan dan resusi-
tasi yang diberikan, didapatkan kadar Hb 1,5gr%, walaupun
2 kali mengalami hen sirkulasi ternyata kompensasi curah
jantung masih baik dikombinasi dengan volume yang diberi-
kan serta obat yang cepat (atropine, adrenalin, dosis nor
adrenalin dinaikkan) menjadikan pasien ini tetap bertahan.
Pada hari perawatan ke-4, Post hen sirkulasi ter-
jadi komplikasi pneumonia. Venlator Associated Pneu-
monia adalah pneumonia nosokomial yang dihubungkan
dengan penggunaan venlasi mekanik yang mana terjadi
setelah pemakaian venlator mekanik sedikitnya 48 jam
atau lebih dari saat masuk rumah sakit dan dak dalam
masa inkubasi
3
. Diagnosis ditegakkan berdasarkan Clinical
Pulmonary Infecon Score (CPIS) for Diagnosis of Nasoco-
mial Pneumonia.
Pada pasien ini sebelum dilakukan operasi atau se-
belum di intubasi serta gambaran CXR yang dalam batas
normal, dak menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau
dan CIPS <6,begitupun pada saat hari pertama masuk ICU,
evaluasi CPIS < 6. Setelah perawatan hari ke-3, dilakukan
kembali evaluasi CPIS >6 dan penggunaan venlator > 48
jam. Berdasarkan suhu 38,5C score: 1, leukosit 43.900:
2,sekret purulent:2, PF rao232: 2, CXR inltrat baru: 2 dan
pemeriksaan mikrobiologi : 2 (hasil sputum didapat-
kan Pseudomonas sp). Berdasarkan bagan di bawah, ke-
mungkinan penyebabnya adalah translokasi bakteri akibat
hipoperfusi splanik pada saat sirkulasi gagal.
Tabel 15. Clinical Pulmonary Infecon Score (CPIS) for Diag-
nosis of Nasocomial Pneumonia
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 46
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 47
Gambar 3. Classicaon scheme for intraabdominal infecons
Tabel 16.
Day Parameter Value for Score of:
1 Point 2 Points
1 Temp (
0
C) 38,5 to 38,9 39 or 36
White Blood Cells/
mm
3
<4000 or
>11000
<4000 or >11000
or 50% bands
Secreon Non Purulent Purulent
PaO2/FiO2 240 and no ARDS
Chest X Ray Inl-
trates
Diuse or
Patchy
Localized
3 Temp (
0
C) 38,5 to 38,9 39 or 36
White Blood Cells/
mm
3
<4000 atau
>11000
<4000 or >11000
or 50% bands
Secreon Non Purulent Purulent
PaO2/FiO2 240 and no ARDS
Chest X Ray Inl-
trates
Diuse or
Patchy
Localized
Progression of
Chest X Ray Inl-
trates
Yes (no ARDS or
CHF)
Sputum Culture > 1+ Culture > 1+ and
same organism on
Gram Staining
Tabel 17.
Hari 1 2 4 5 6 - 7 10-11-12
PaO2 459 333 139 99 109 183 175. 172 147
FiO2 1 0.6 0,6 0,45 0,45 0,45 0,45 0,4 0,4
PEEP 5 5 6 6 6 6 6 5 5
PF rao 459 555 232 221 244 380 389 431 368
Pada perawatan hari ke-3, pasien juga mengalami
suatu kondisi AKI atau Acute Kidney Injury akibat aliran da-
rah ke ginjal berkurang pada saat sirkulasi gagal.
Diagnosis di tegakkan berdasarkan:
Tabel 18.
RIFLE Kriteria Kreanin
Serum
Kriteria urin output
Risk
Injury
Gagal
Peningkatan Cr
serum1,5x base-
line atau penurunan
GFR25%
Peningkatan Cr
serum1,5x base-
line atau penurunan
GFR50%
Peningkatan Cr
serum1,5x baseline
atau penurunan GFR
75%
atau Cr 354umol/L
dengan peningkatan
akut sekurangnya
44umol/L
<0,5 mL/kg/h 6 jam
<0,5 mL/kg/h 12jam
<0,5 mL/kg/h 24jam
atau anuria 12 jam.
AKIN Kri-
teria
Kriteria kreanin serum Kriteria Urin Output
Stage 1
Stage 2
Stage 3
Peningkatan Cr serum
26,2umol/L atau
150-199%(1,5-1,9kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
200-299%(>2-2,9 kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
354umol/L dengan
peningkatan akut seku-
rangnya 44umol/L atau
dimulainya RRT
<0,5 mL/kg/h 6 jam
<0,5 mL/kg/h 12jam
<0,5 mL/kg/h 24jam
atau anuria 12 jam
Pada pasien ini di dapatkan hasil evaluasi pemerik-
saan kadar kreanin dan observasi dan monitoring produk-
si urine seper di bawah ini :
Jam 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
H-3 - - - - - 20 - - 25 -
16 17
- 5
18 19 20 21 22 23 24 1 2 3
- - 150 - - 150 - - 110 -
4 5
- 100
Jumlah total produksi urine 560/24 jam atau 0.4cc/
jam/kgBB atau < 0,5 mL/kg/h 6 jam atau < 0,5 mL/kg/h
12 jam, Kreanin meningkat 2.6 X dari nilai awal/ sebelum-
nya, berdasarkan RIFLE masuk kriteria Injury.
Tabel 19. Evaluasi pemeriksaan Ureum/Kreanin dan
produksi Urine
Hari 2 3 6 12
Ureum 21 42 26 14
Creanin 0.3 0.8 0.5 0.3
Cc/jam 0.6 0.4 2.8 1.7
Cc/24j 850 560 3670 2050

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 48
Gambar 4. Patogenesis Venlator-Associated Pneumonia
Peningkatan Liver Funcon Test/LFT pada pasien ini
disebabkan karena proses hemolisis akibat perdarahan dan
pemberian transfuse massif dan pada perjalanan selanjut-
nya cenderung kembali mendeka normal tanpa terapi me-
dikamentosa.
Tabel 20. Evaluasi pemeriksaan Liver Funcon Test
Hari/Tgl H-6/08 H1/15 H5/19 H6/20 H10/24 H12/26 H16/30
SGOT/AST 30 11 587 130 16 18 16
SGPT/ALT 20 12 905 525 105 59 26
Bil.Total 4.65 6.47 7.61 4.47
Bil.Direct
Bil.Indirect
3.52
2.95
4.76
2.85
2.83
1.64
Health Care Associated Intra-abdominal Infecons
(1)
Intra-abdominal infecons (IAIs) adalah golongan
penyakit yang sering terjadi pada pasien bedah. Mortalitas
sekitar 2535% mungkin dapat meningkat menjadi 70%.
Mortalitas secondary peritonis dengan severe sepsis atau
sepc shock sekitar : 30%.
Kebanyakan IAIs dapat dikontrol secara efekf dan
dapat dihubungkan dengan penurunan angka kemaan
yang rendah dengan cara : membuang atau memperbaiki
infected focus, treatment with narrow-spectrum pathogen-
specic anmicrobial, pembedahan untuk terapi denive
source control.
IAI didenisikan sebagai infeksi dari intra-abdom-
inal viskus dengan atau tanpa mengenai peritoneum, dan
disertai dokumentasi systemic inammatory response syn-
drome (SIRS). Abdominal sepsis adalah severe sepsis atau
sepc shock yang disebabkan secondary IAI.
Peritonis didenisikan berdasarkan penyebab
atau meluasnya infeksi. Pada Primary peritonis, sumber in-
feksi dak berasal dari GI tract dan dak ada kelainan ana-
tomi pada intra-abdominal viscera. Secondary peritonis
disebabkan oleh infecon abdominal viscera sebagai kon-
sekuensi dari perforasi, ischemic necrosis, atau penetrang
injury. Terary peritonis: peritonis yang tetap ada setelah
lebih dari satu ndakan source control procedure yang ga-
gal.
Health care-Associated IntraAbdominal Infec-
ons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang di-
rawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien
yang sudah mendapat terapi anbioka sebelumnya.
Semua pasien postoperave IAIs merupakan HA-IAIs
Pathogens isolated from complicated intra-abdominal in-
fecons:
Gram-negave : Escherichia coli, Enterobacter spp,
Klebsiella spp, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Aci-
netobacter spp. Gram-posive : Streptococci, Enterococci,
Coagulase-negave staphylococci, Staphylococcus aureus.
Anaerobic bacteria : Bacteroides spp, Clostridium spp. Fun-
gi : Candida spp. Healthcare-Associated IntraAbdominal
Infecons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang
dirawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien
yang sudah mendapat terapi anbioka sebelumnya.
Semua pasien postoperave IAIs merupakan HA-IAIs
Diagnosis
Pada pasien sadar didapatkan tanda-tanda SIRS
disertai gejala abdominal akut
Pada pasien-pasien koma, mungkin dak didapat-
kan gejala, menyebabkan kesulitan diagnosis. Ad-
anya infeksi disertai dengan kondisi asidosis yang
dak dapat dijelaskan penyebab lainnya, organ
dysfuncon, inability tolerate enteral feeding,
kebutuhan cairan yang dak dapat dijelaskan ha-
rus di kaji sebagai IAI, terutama pada pasien yang
menjalani abdominal surgery.
Pemeriksaan sik memerlukan konrmasi abdomi-
nal imaging,
Diagnosis mikrobiologi diagnosis CA-IAIs dak ter-
lalu bermanfaat karena biasanya sudah mendapat-
kan terapi anbiok empirik sebelum diambil kul-
tur yang pertama dari abdomen.
Penatalaksanaan
Source control,
Restoraon of GI tract funcon,
Systemic anmicrobial therapy,
Support of organ funcon
Recommended anmicrobial regimens for the treatment
of intraabdominal infecons:
Single-drug regimens:
-lactam/-lactamase inhibitor combinaons :
Ampicillin/sulbactam, Piperacillin/tazobactam,
Ticarcillin/clavulanic acid
Carbapenems : Imipenem-cilastan,
Meropenem, Ertapenem
Cephalosporins : Cefotetan, Cefoxin
Combinaon regimens:
Aminoglycoside plus metronidazole
Aztreonam plus clindamycin
Cefuroxime plus metronidazole
Fluoroquinolone plus metronidazole
Pada pasien ini di diagnosis Healthcare associated
Intra Abdominal infecon + Peritonis Terary berdasarkan;
riwayat operasi sebelum masuk RSCM, dari luka operasi ke-
luar faeces pre-op terdapat tanda-tanda SIRS ( leokositosis
16.300,Suhu 37.6-38.5
o
C, takikardia 96-100x/m, takhipnea
24-28x/m) disertai kegagalan ndakan pembedahan dua
kali di RSCM.
Status Nutrisi: Undernutrion
Berdasarkan : BB : 53 kg/176 cm
BMI : Body Mass Index = Weight(kg)/Height (m)2 = 53/
(1.76)2 = 17.1
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 49
Nutrional Support pada pasien Pembedahan harus mem-
perhakan dua komponen penng :
1. Efek starvasi eect dari penyakit, pembatasan pe-
masukkan oral, atau keduanya
2. Efek metabolik dari stress/inamasi, Hiperkatabo-
lisme, anabolisme menurun
Perubahan Metabolik yang terjadi :
1. ebb phase: 12-24 jam, ditandai dengan fever,
konsumsi O2, suhu tubuh, vasokonstriksi
2. ow phase: acute illness, hiperkatabolisme,
penggunaan lemak sebagai sumber energi utama
3. anabolic phase: dimulai saat masa penyembu-
han, ditandai dengan normalisasi tanda vital, per-
baikan nafsu makan dan diuresis.
Goal of Nutrional Support: maintain vital organ structure
and funcon
Tabel 21. Esmaon of energy requirement in adult surgy-
cal paent
Uncomplicated Complicated/
stressed
Energy
(Kcal/kg/day)
30 34 40
53kg = 1590 - 2120
kkal
Protein (g/kg/day) 1.3 1.3 2
53kg = 68.9-106 gr
Volume
( ml/kg/day)
20 - 40 20 40
53 kg = 1060 2120
cc
Pada perawatan selama di ICU pasien mendapat-
kan nutrisi bertahap dimulai dengan parenteral, kemudian
enteral secara bertahap. Sayangnya terapi nutrisi yang di-
berikan dak opmal. Pasien tetap berada dalam kondisi
hiperkatabolisme oleh karena selama perawatan di ICU
mengalami dua kali stress pembedahan dan hen sirkulasi
serta hemodinamik dak stabil dalam jangka waktu lama.
Tabel 22. Pemberian Nutrisi selama perawatan di ICU- RSCM
Hari/tgl 2-3 4-5 6/20 7-8 9-12
KaenMg3
1000cc
400 kal
1000cc
400kal
1000cc
400kal
Combiex
1000cc
1000
Albumin
TE 1000 - 1000 kal 1000kal Albumin 1000
CF D5% - 30cc/j puasa 50cc/jam -
P e p t a -
men - - 50cc/j 50cc/j
GDA 113 332 94 106 121
Natrium 137 141 136 3.2 3.4
Kalium 3.9 3.7 3.2 136 130
Cl 108 112 98 98 91
Albumin 2.20 1.10 2.25 2.03
1.99
2.26
Terapi Anmikrobial
Pada pasien ini diberikan Ceazidime 2 x 1 gr, Met-
ronidazol 1 x 1500mg dan Levooxacin 1 x 500mg.iv. An-
bioka yang di berikan pada pasien ini disesuaikan dengan
Guideline Intra Abdominal Infecons (IDSA 2003) dan VAP
(ATS/IDSA 2004). Setelah hasil kultur diperoleh disesuaikan
dengan hasil kultur dan anbioka sebelumnya dihenkan.
Prognosis
Tabel 23. Criteria of Dysfuncon/Gagal menurut Edwin
A.Deitch MD,
Sedangkan menurut Knaus, et al. (1986), ada
hubungan langsung antara jumlah gagal organ sistem dan
mortalitas.
Tabel 24. Data Mortalitas
OSF D1 D2 D3
1 22% 31% 34%
2 52% 67% 66%
3 80% 95% 93%
D4 D5 D6 D7
35% 40% 42 41
62% 56% 64 68
96% 100% 100 100

Pada pasien ini terjadi disfungsi pulmoner (pneu-
monia), hepak, renal (AKI), hematologi (koagulopa), dan
kardiovaskular (respons hipodinamik yang membutuhkan
dukungan inotropik), sehingga terdapat lebih dari 3 organ
gagal yang hampir semuanya terjadi pada hari ke-3 (D3).
Menurut Knaus et al, diperkirakan angka kemaan menca-
pai 93%. Kasus ini termasuk ke dalam 7%, kelompok pasien
be yang hasil selamat dan pindah ke high care unit (HCU).

Walaupun berhasil selamat, kewaspadaan dan
observasi serta pengawasan harus dilakukan secara ketat,
karena status nutrisi yang belum maksimal dan pasien ma-
sih mempunyai peluang besar untuk terjadinya Sepsis ab-
dominal dapat meningkatkan presentase perkiraan mortali-
tas pada pasien ini.
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 50
SIMPULAN
Koagulopa merupakan kondisi yang serius dan me-
merlukan penanganan yang sejak awal/dapat dicegah
Rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipoter-
mia, dan koagulopa progresif harus diansipasi sejak
dini
Gagal sirkulasi yang terjadi akibat syok hipovolemik se-
harusnya dapat di ansipasi dengan persiapan darah
dan komponen darah lebih awal
Komplikasi akibat sirkulasi gagal dapat diansipasi dan
dilakukan penatalaksanaan yang opmal
Perlunya diskusi antara intensis, ahli bedah, dan ahli
gizi dalam rangka perbaikan status nutrisi pasien
Perlunya komunikasi anestesi dan sejawat bedah pre-
operaf maupun perioperaf untuk mencegah kom-
plikasi koagulopa yang terjadi
DAFTAR PUSTAKA
1. Pieracci FM, Barie PS. Management of severe sepsis of
abdominal origin. Scand J Surg 2007;96:184-96.
2. Calandra T, Cohen J. Internaonal sepsis forum deni-
on of infecon in the ICU Consensus Conference. 2005.
3. Kollef M. Venlator associated pneumonia. Chest
2005;128:3854-62.
4. Ward N. Nutrion support to paents undergoing gas-
trointesnal surgery. Nutr J 2003;2:18.
5. Joseph S. Guidelines for the selecon of an-infecve
agents for complicated intra-abdominal infecons.
IDSA 2003.
6. Chaudhry R. The challenge of enterocutaneous stulae.
MJAFI 2004;60:235-8.
7. Leah. Transfort oxygen in ABC of Oxygen. BMJ 1998;
317.
8. Fernando. Determinants of postoperave acute kidney
injury. Crical Care 2009;13:79.
9. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D. Guidelines on the
management of massive blood loss. BJH 2006;135:634-
41.
10. Kasai T. Preoperave risk factors of intraoperave
hipotermia in major surgery under general anesthesia.
Anesth Analg 2002;95:1381-3.
11. Sessler DI. Mild perioperave hipotermia. N Engl J Med
1997;336:1730-7.
DIAH WIDYANTI
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 51
ABSTRACT
Lung oedema is a high frequent case in ICU, includ-
ing cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemo-
dinamic monitoring is needed to disnguish both of those
types, it is also needed to treat this case. This case report
shows a woman, 26 years old, post seco caesarea, admit-
ted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpaent
period, she got VAP sepsis. It is important to disnguish lung
oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to
treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitor-
ing device.
Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis
ABSTRAK
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan peman-
tauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalak-
sanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter he-
modinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita,
26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan se-
lama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi ma-
salah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membeda-
kan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat
VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang dak
dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif.
Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis
PENDAHULUAN
Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang
sangat penng di ICU dan merupakan salah satu faktor
penng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola
kasus-kasus kriris di ICU. Seper diketahui, dak semua ICU
di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodin-
amik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana
pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi
dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk
kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan
jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tampon-
ade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup me-
nyulitkan.
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
I LAPORAN KASUS I
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Maria Irawaty
Maria Irawaty
Alumnus Program Pendidikan Intensive Care
Universitas Indonesia RSCM
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis ede-
ma paru ini berbeda secara patogenesis dan patosiologi
meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering ked-
ua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan peman-
tauan hemodinamik invasif, seper diketahui secara de-
nisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula
dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan
parameter hemodinamik.
Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26
tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan se-
lama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada
kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi
anbioka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan su-
perinfeksi lalu kemudian meninggal.
Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan ka-
sus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardio-
genik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksa-
naannya di ICU yang dak dilengkapi dengan pemantauan
hemodinamik invasif.
ILUSTRASI KASUS
Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD)
pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tang-
gal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas.
Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS),
pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan peker-
jaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien
merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak dak
disertai batuk, demam dan dak berbunyi. Beberapa jam
sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat.
Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia
kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah nggi. Riwayat
kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin ma-
sih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit
dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut
jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa
sesak bila malam hari sehingga harus dur dengan 2 bantal.
Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU):
Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit
berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 52
16x/m dengan bagging 02 10 l/menit, SO2 100%. Suhu
36,8C.CVP 16. Paru, sonor seluruh paru, auskultasi ditemu-
kan ronki basah diseluruh paru. Jantung , tampak pulsasi di
parasternal, epigastrium dan ictus cordis. Ictus melebar, tak
kuat angkat,thrill +, Pulsasi di PS kiri , thrill +, kongurasi jan-
tung membesar ke kiri dan kanan, pinggang jantung menda-
tar. BJ I-II, murmur sistolik ejeksi di SIC grade 4/6.Pung-
tum maksimum di PS Kiri. Abdomen, Rata, supel , hepar dan
lien tak teraba, pekak sisi normal dan pekak alih dak ada,
bising usus (-). Ekstremitas tak sianosis, clubbing (-), hangat.
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium
Hb/Ht/L/Tr 13,6/41/22700/186000
SGOT/SGPT/GDS 100/30/161
Ur/cr/Na/K/Cl/ 31/1,5/135/5,4/102
AGD
PaO2/FiO2
7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3
200
Assesment
Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup,
Dd/ PEB
Rencana
KAEN 3B, puasa CF (CF = clear uid) 60 cc, MC (MC = makan-
an cair) 30 cc/jam, morn bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam,
dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45, ranidin 2x 50 mg IV,
respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram.
Catatan Kemajuan
H 1
Hemodinamik dak stabil, cenderung turun ( MAP
50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam
yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung tu-
run, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai
0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga
MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang
dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi sta-
bil 90-100%. Rao PaO2/FiO2 200 . Mode venlator kemu-
dian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14.
H 2-3
Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik
ditrasi turun dan kemudian di henkan hari kega. Respi-
rasi ditopang dengan venlasi mekanik dengan mode SIMV
12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%.
Rao PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan fu-
rosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans negave.
Pasien dilakukan ekhokardiogra dengan hasil kesan LVH,
AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut dak
sesuai dengan penampilan klinis pasien.
Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari ke-
ga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah
menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun diban-
dingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP,
direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen
thoraks ulang.
H 4
Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah me-
rah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan ber-
kurang ,inltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin.
H 5
Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38,
sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari
pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99).
Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko
MDR dan diberi anbiok meropenem dan gentamicin se-
bagai empiris untuk VAP, tetapi anbioka belum terbeli.
Indeks oksigenisasi relaf baik ( stabil > 250) dan topangan
venlator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.
H 6-9
Suhu semakin meningkat ( 38-39) dengan WOB
yang meningkat, venlasi mekanik kembali dengan mode
PS 10/+8/40%. Anbioka empiris sudah terbeli.
H 10
TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild
L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari
ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter bau-
manii Anbioka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur
resistensi test yaitu ampicilin sulbactam.
H 12
Rontgen thorax tampak perburukan, kesan inltrat
bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit
cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang
memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilaku-
kan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang.
Anbioka rencana digan dengan piperacilin tazobactam
4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit
dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang.
Direncanakan untuk trakeostomi.
H 13
Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5.
Dosis NTG ditrasi naik sampai 10ug/min. Anbioka ma-
sih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah
anbioka digan.
H 14
Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC
500cc. Suhu sudah dak febris ( stabil < 37,5 C)
H-16
SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG ditrasi turun sampai
5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum dak dite-
mukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang inltrat
bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas.
H 17
PCT 0.779, anbioka tetap dilanjutkan. Topangan
venlasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/
o2 40%.
MARIA IRAWATY
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 53
Kausa : infark miokard, hipertensi, penyakit
jantung katup,eksaserbasi gagal jantung sisto-
lik /diastolik dan lainnya.
- Nonkardiogenik/edema paru permeabilitas
meningkat.
Kausa : ALI dan ARDS
Walaupun penyebab kedua jenis edema paru ter-
sebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit
karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan mem-
bedakan penyebab edema paru sangat penng karena be-
rimplikasi pada penanganannya yang berbeda
1
Patosiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari
mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel en-
dotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar intersial pada keadaan normal dak dapat
masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, keka cairan
memasuki ruang intersial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan
oleh sistem limfak ke sirkulasi. Perpindahan protein plas-
ma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostak
yang diperlukan untuk ltrasi cairan keluar dari mikrosirku-
lasi paru sama dengan tekanan hidrostak kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkok protein.

Gambar 1. Patosiologi edema Paru ( dikup dari Loraine et
al. NEJM 2005 : 353: 2791)

H 18
Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilaku-
kan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI
24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan un-
tuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien
dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh
cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan
VAP mengalami perbaikan tetapi anbioka piperacilin
tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih >
0,1.
H 20
Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan in-
ltrat bertambah,, diberikan terapi an jamur preempf
dengan memberikan ukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/
hari.
H 23 -27
Pasien tampak lebih sesak, rao PaO2/Fio2 288,
suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat
menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6),
tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuk-
tur ulang didapatkan A.baumanii sensif dengan anbioka
golongan aminoglycoside dan levooksacin. Cefoperazone/
sulbactam intermediate.
Anbioka digan menjadi amikasin 750 mg dan
sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) ,
procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan venlasi me-
kanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Di-
ambil kultur ulang untuk evaluasi.
H 28-31
Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procal-
citonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890)
direncanakan menggan anbioka dengan tygaciclin teta-
pi dak terbeli. Rao PaO2/FIO2 150, topangan venlator
dingkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10.
SVcO2 < 70 ( 55 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65
mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapat-
kan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe
sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Ront-
gen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang
bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah)
dan pertambahan inltrat. Pasien dicurigai mengalami dis-
fungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien
mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furose-
mid dihenkan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya
meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen
tanggal): Chryseomonas luteola , dengan anbiok yang
sensif amikacin dan tygaciclin.
TINJAUAN PUSTAKA
Edema Paru
Edema paru didenisikan sebagai terakumulasi-
nysa cairan di intersial dan alveolus. Penyebab Edema Paru
1,2
:
- Kardiogenik atau edema paru hidrostak atau
edema hemodinamik
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 54
Edema paru kardiogenik atau edema volume over-
load terjadi karena peningkatan tekanan hidrostak yang
cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan l-
trasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan teka-
nan hidrostak di kapiler pulmonal biasanya berhubungan
dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat pening-
katan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan teka-
nan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (
18 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler
dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan
atrium kiri meningkat lebih nggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar
1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan
yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut :
Meningkatnya konges paru akan menyebabkan de-
saturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan
akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menim-
bulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan
tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventri-
kel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel
akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insusiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis se-
hingga memperburuk fungsi jantung.
Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari
spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS
didenisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara
akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang -
dak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi
AHFS menjadi 6 klasikasi yaitu :
ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure
ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiogenic Shock
ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis
ESC 6 : Right Heart Failure
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh pen-
ingkatan tekanan hidrostak maka sebaliknya, edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabili-
tas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkat-
nya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki
kadar protein nggi karena membran pembuluh darah
lebih permeable untuk dilewa oleh protein plasma. Aku-
mulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan ltrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cai-
ran tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan non-
kardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema inter-
sisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh
cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai
batuk dan sputum kemerahan ( frothy).
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah
kausa edema paru, misalnya adanya riwayat
sakit jantung, riwayat adanya gejala yang ses-
uai dengan CHF.
- Pemeriksaan sik
Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi la-
njutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin
dengan sianosis, menggunakan otot bantu na-
fas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat
wheezing. Khususnya pada edema paru kar-
diogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi
jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.
- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevant di-
perlukan untuk mengkaji eologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut melipu diantaranya
pemeriksaan hematologi (complete blood
count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan
Brain Natriurec pepde (BNP).
Brain Natriuc Pepde (BNP) dan prekur-
sornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rap-
id test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF .
Khususnya pada pasien gagal jantung menggu-
nakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat
sebagai prediktor gagal jantung pada pasien
dengan efusi pleura dengan sensitas 91%
dan spesisitas 93%.
1.
Richard dkk melaporkan
bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi den-
gan LV lling Pressure.
2
Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu test diagnosis run untuk
menegakkan CHF berdasarkan pedoman diag-
nosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA
Guidelines).
3
Buk penelian menunjukkan bahwa Pro BNP/
BNP memiliki nilai prediksi negaf dalam me-
nyingkirkan gagal jantung dari penyakit lain-
nya.
- Rontgent Paru
Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk
membedakan edema paru kardiogenik dari
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap
ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa ede-
ma dak akan tampak secara radiologi sampai
jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensi-
vitas dan spesisitas rontgent paru, seper
rotasi, inspirasi, venlator, posisi pasien dan
posisi lm.
1.
Tabel 2. Beda Gambaran Radiologi edema Paru Kardiogenik
dan Non Kardiogenik
Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik
Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
Efusi pleura Ada Biasanya dak ada
Peribronchial Cu ng Ada Biasanya dak ada
Garis septal Ada Biasanya dak ada
Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada

dikup dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2793
MARIA IRAWATY
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 55
- Ekhokardiogra
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk
mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekhokardiogra dapat mengevalusi fungsi mio-
kard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru.
- Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmo-
nary artery occlusion pressure/PAOP) diang-
gap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentuksn penyebab edema paru akut.
Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua
jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamp-
ing itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema
paru akut dengan penyebab mulple. Sebagai
contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat
mengalami kelebihan cairan karena resusi-
tasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya,
pasien dengan gagal jantung konges dapat
mengalami ALI karena pneumonia.
1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS)
a. Suporf
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan
adalah :
o Suport Kardiovaskular
o Terapi Cairan
o Renal Suport
o Pengelolaan Sepsis
b. Venlasi
Menggunakan Venlasi protecve lung atau protocol ven-
lasi ARDS net.
Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik
Sasarannya adalah :
Mencapai oksigenisasi adekwat.
Memelihara stabilitas hemodinamik
Mengurangi stress miokard dengan menurunkan pre-
load dan aerload.
Penatalaksanaan :
Posisi setengah duduk
Oksigen terapi
Morphin IV 2,5mg
Diurek
Nitroglycerine
inotropik
Buk penelian menunjukkan bahwa pilihan terapi
yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin
(Nitroglycerine , nesiride, nitropruside ) dan diureka do-
sis rendah.
Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada
semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95-
100mmHg dengan dosis 20g/min sampai 200g /menit
(Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( <
0,5g/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 56
dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dn perfusi perifer.
4
Bila dibandingkan dengan diurek maka nitroglycerin me-
miliki beberapa keuntungan yaitu lebih efekf dalam men-
gontrol edema paru berat dengan prol hemodinamik yang
lebih stabil, penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih
cepat tanpa menurunkan CO.
4
VAP
Kemaan pasien yang dirawat di ICU dak hanya
disebabkan oleh penyakit dasarnya tetapi juga oleh infek-
si nosokomial. Pneumonia merupakan salah satu infeksi
nosokomial yang tersering, yang terjadi pada lebih dari 27%
pasien penyakit kris. Sebagian besar nosokomial pneumo-
nia berhubungan dengan pemakaian venlator mekanik
(VAP).
VAP didenisikan sebagai pneumonia yang terjadi
48 jam setelah intubasi endotrakeal dan penggunaan alat
venlasi mekanik.
5
Diagnosis
Diagnosis Klinis
Melakukan diagnosis VAP memerlukan kecurigaan
klinis yang nggi ditambah dengan pemeriksaan klinis, ra-
diologi dan mikrobiologi dari sekresi jalan napas.Biasanya
kecurigaan akan adanya VAP mbul jika pada pasien dite-
mukan inltrat paru yang progresif, leukositosis, demam
dan sekresi trakeobronkial yang purulen. Sayangnya, dak
seper CAP, kriteria klinis pneumonia di atas memiliki nilai
diagnosis yang terbatas pada kasus VAP yang sudah tegak.
Fabregas dkk melalukan penelian yang membandingkan
kriteria klinis tersebut di atas dengan hasil histologi dan
kultur jaringan paru post mortem. Penelian tersebut mel-
aporkan bahwa kriteria diagnosis tersebut memiliki sensi-
tas 69% dan spesisitas 75%. Jika kega variable klinis
tersebut dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis maka
sensitasnya turun menjadi 23% dan sebaliknya jika han-
ya satu kriteria yang digunakan maka spesitasnya turun
menjadi 33%. Kedakakuratan kriteria klinis tersebut dapat
dimenger karena sekresi trakeobronkial purulen sering
terjadi pada pasien yang menggunakan venlasi mekanik
tanpa disertai pneumonia. Demikian pula halnya dengan
tanda sistemik dari pneumonia, seper demam dan lekosi-
tosis, dapat merupakan akibat sitokin proinamasi yang
sering terjadi pada trauma, pembedahan, ARDS, DVT dan
infark paru.
Pada pasien ARDS, sensitas kriteria klinis terse-
but labih rendah lagi. Bell et al melaporkan bahwa terdapat
sekitar 46% false negave VAP pada pasien-pasien dengan
ARDS. Konsekuensinya, kecurigaan VAP pada pasien ARDS
harus lebih nggi. Bahkan satu kriteria klinis VAP, hemo-
dinamik yang tak stabil tanpa penyebab yang jelas, dan
perburukan analisa gas darah sudah seharusnya melakukan
pemeriksaan lebih lanjut kearah VAP.
6
Untuk menambah spesisitas diagnosis VAP maka
Pugin dkk mengusulkan sistem skoring terhadap kriteria kli-
nis tersebut ( Clinical pulmonary infecon score/CPIS). Jika
CPIS > 6 maka berkorelasi baik terhadap adanya VAP.Tapi
sayang, data dari beberapa penelian lain menunjukkan
ternyata spesisitas sistem skoring ini pun rendah.
Sing dkk mengusulkan modikasi CPIS yang dak
berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarna-
naan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesisi-
tasnya meningkat.
7
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan Radiogra paru juga memiliki
masalah dalam hal nilai sensitas dan spesisitasnya.
Kwalitas lm yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray
semakin dak akurat. Penelian yang dilakukan terhadap
26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan
rontgen thoraks normal ditemukan inltrat pada hasil pe-
meriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesisitas gamba-
ran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%.

Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan
gram, kultur sekresi trakea nonkwantaf dan semikwan-
taf merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan.
Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai
sensitas dan spesisitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%).
Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS
merekomendasikan kultur kwantaf dari sekresi aspirasi
endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bu-
kan.
5,6
Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia
Variabel 0 1 2
Suhu
0
C 36,1 -
38,4
38,5 -
38,9
39 - 36
Lekosit 4000 -
11000
< 4000 - >
11000
<4000- >
11000 + band
> 500
Sekresi Tidak ada Ada, non
purulen
Ada purulen
PaO2/FIO2 >240 atau
ARDS
< 240 , bukan
ARDS
Foto toraks Tidak ada
inltrate
I nf i l t r a t e
d i f u s /
patchy
Terlokalisir
Mi k r o b i -
ologi
Tidak ada,
t u m b u h
lambat
Tumbuh se-
dang atau
cepat : tam-
bah 1 poin
jika sama
d e n g a n
gram
Dikup dari PorzecanskinI,Bowton DL. Chest 2006; 130:
597-604
Terapi
Prinsip pemilihan anbiok pada HAP didasarkan
pada ada daknya faktor risiko resisten mul obat (MDR)
yaitu :
Terapi anmikroba dalam 90 ha terakhir.
Telah dirawat 5 hari atau lebih
Frekwensi resistensi anbiok di komunitas/unit
MARIA IRAWATY
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 57
rawat rumah sakit nggi..
Adanya faktor risiko HCAP
Immnunosupresi

Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan HAP/VAP/HCAP (ATS
IDSA 2005)
Pemberian anbiok empiris spektrum luas harus
diiku dengan deekskalasi berdasarkan data klinis dan mik-
robiologi serial untuk mencegah munculnya resistensi an-
bioka di rumah sakit.
Keberhasilan terapi sangat menentukan angka morta-
litas VAP dan ini sangat dipengaruhi oleh:
1. Pemilihan anbiok empiris yang dak sesuai
2. Pemberian anbiok yang terlambat
Ventrikel Septal Defect (VSD)
Pada dasarnya septum ventrikel dibagi menjadi ga
yaitu : inlet, trabecular dan outlet. VSD dikelompokkan ber-
dasarkan lokasi dan tepinya menjadi 3
7
:
- Muscular VSD : batasnya adalah miokard dan
lokasinya bisa trabekular, inlet dan outlet.
- Membranous VSD : lokasinya berada di inlet,
outlet dan trabekular dan dibatasi oleh daun
katup AV dan katum arterial.
- Dolby commied subarterial VSD, berada di
outlet dan dibatasi oleh jaringan ikat katup
aorta dan pulmonal
VSD restrikf dak akan menyebabkan gangguan
hemodinamik dan dapat menutup secara spontan, sedan-
gkan VSD besar (non restriksi) biasanya disertai overload
ventrikel kiri, yang progresif menjadi peningkatan tekanan
pulmonal dan selanjutnya shunt kira ke kanan. Selanjutnya
bila resistensi pulmonal meningkat akan menjadi sindrom
Eisenmenger.
Gambaran Klinis VSD Dewasa
Pasien dewasa dengan VSD restrikf kecil biasanya
asimptomak. Pemeriksaann sik ditemui adanya murmur
pansistolik frekuensi nggi dengan punktum maksimum di
garis parasternal kiri senggi interkostal 3-4. Pasien dengan
VSD restrikf sedang sering merasa sesak setelah dewasa,
yang kemungkinan dicetuskan oleh brilasi atrial. Pada
pemeriksaan sik akan ditemui apeks jantung yang berge-
ser ke kiri dengan murmur pansistolik, dan diastolic rumble
dan bunyi jantung 3 akibat meningkatnya aliran di mitral.
Pasien dengan nonrestrikf besar eisenmenger VSD biasan-
ya akan ditemui adanya sianosis sentral, jari tabuh disertai
tanda-tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.

Tindakan Penutupan
Penutupan VSD dapat dilakukan dengan dua cara yai-
tu secara pembedahan dan transcatheter. Indikasi ndakan
bedah penutupan VSD adalah :
VSD yang bermakna ( Qp/Qs > 1,5 : 1 )
Tekanan sistolik pulmonal > 50mmHg
Adanya pembesaran ventrikel dan atrium kanan.
Memburuknya fungsi jantung kiri tanpa adanya hiper-
tensi pulmonal.
Indikasi relaf:
- Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aor-
ta regurgitasi yang sedang dan berat.
- Endokardis berulang.
- Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi dak
memungkinkan.
Disfungsi Miokard pada Sepsis
Disfungsi miokard pada sepsis didenisikan sebagai
keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi
jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiogra pada
sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tam-
pil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan
aerload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat
namun CO dipertahankan relaf baik oleh dilatasi ventrikel
dan takikardi. Penelian menunjukkan hanya sekelompok
kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini
disertai peningkatan angka kemaan menjadi 70-90% bila
dibandingkan kemaan pada sepsis tanpa gangguan fungsi
kardiovaskular 20%.
8
Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini
bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi
miokard tetapi mulfaktorial yaitu :
- Toksin bakteri
- Sitokin : TNF , IL 1, IL 6
- Mediator
- Cardiodepressant factors
- Oxygen reacve species
- Katekolamin
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya pe-
rubahan biventrikel dengan penurunan EF pada peme-
riksaan ekokardiogra dan skingra radionuclide. Buk
secara histopatologi ditemukan adanya miokardis inter-
sial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi
diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada
sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel
kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan aerload
ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang
disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS.
Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga se-
bagai akibat menurunnya kontraklitas ventrikel kanan. Se-
per sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat dak
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 58
dapat menyingkirkan disfungsi miokard pada sepsis.
8,9
BNP yang merupakan marker CHF dan troponin I dan T
yang merupakan biomarker iskemi miokard juga telah ban-
yak diteli perannya pada disfungsi miokard pada sepsis.
Beberapa penelian kecil melaporkan adanya hubun-
gan antara peningkatan Troponin dan disfungsi ventrikel
kiri pada sepsis. Troponin jantung juga dilaporkan berkore-
lasi dengan lamanya hipotensi dan intensitas terapi vaso-
presor. Troponin juga dihubungkan gengan peningkatan
derajat beratnya sepsis (berdasarkan SAPS II, APACHE II)
dan peningkatan risiko kemaan . Sehingga, cukup berala-
san jika memasukkan Troponin dalam pemantauan pasien
dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk prognosis dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya disfungsi jan-
tung.
9
Tidak demikian halnya dengan BNP. Penelian-pe-
nelian yang ada dak menunjukkan hasil yang seragam,
sehingga BNP dak dapat dipakai dalam mendiagnosis ada-
nya disfungsi ventrikel pada sepsis. Eveluasi menyeluruh
dengan ekokardiogra lebih dianjurkan daripada peme-
riksaan BNP.
.9
Akhir-akhir ini, beberapa penelian menunjukkan ba-
hwa Pro BNP lebih baik daripada BNP/ANP sebagai marker
disfungsi miokard dan sebagai penentu prognosis pada
pasien sepsis. Penelian-penelian tersebut menunjuk-
kan adanya korelasi antara pro BNP dan LVSWI pada pasien
dengan sepsis. Roch dkk meneli 39 pasien syok sepk
dengan venlator mekanik. Mereka melaporkan bahwa ka-
dar BNP pada non survivor lebih nggi dibanding yang sur-
vivor ( p = 0,002).Angka pro BNP > 13600 pg/ml selama 24
jam dilaporkan merupakan prediktor mortalitas ICU dengan
sensitas 73% dan spesisitas 83% (AUC 0,8).
Walaupun demikian dibutuhkan penelian lebih lan-
jut untuk menentukan peran Troponin dan Pro BNP dalam
menentukan derajat beratnya penyakit dan dalam menen-
tukan terapi.
Terapi
Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jan-
tung merupakan penyebab penng dari kemaan pada pa-
sien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi
utama.
Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign,
dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk
meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan
syok sepk, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien
dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri
dan CO yang turun.
PEMBAHASAN
1. Edema Paru Kardiogenik
Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema
paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan cu-
riga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardio-
genik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin
memberat dengan bertambah beratnya beban
sik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk
RS dengan keluhan sesak napas hebat .
- Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelain-
an jantung: kongurasi jantung yang membesar,
murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal
kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah se-
dang bilateral.
- Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemu-
kan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema
paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada
pasien ini adalah inltrat yang letaknya di sentral
dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkam pro BNP yang mening-
kat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah
700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro
BNP < 500 ng/l memprediksi dak adanya disfung-
si jantung dengan sensitas 89% dan spesisitas
43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil
yang dilaporkan oleh peneli lainnya. Kekuatan ni-
lai diagnossk Pro BNP ini terletak pada prediksi
negafnya terhadap diagnosis CHF dan semakin
bermakna bila dikombinasi dengan variable diag-
nosis lainnya.
10
Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari
kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Ber-
dasarkan TEE didapatkan bahwa pe dari VSD ini adalah
perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka
pe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV over-
load sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan.
Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan
dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru
kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung
bawaan tersebut. Seper diketahui pada kehamilan dan
pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah
jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan
darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel
darah merah.( tabel 3)
12
Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan
Parameter Kehamilan Persalian Postpartum
Curah jantung
Volume darah
Frekuensi jan-
tung
Tekanan darah
SVR
VO2
RBC mass
Meningkat 30-
50%
Meningkat 30-
50%
Meningkat 15-
20x/menit
T u r u n
5-10mmHg
Turun
Meningkat 20%
Meningkat 15-
20
Me n i n g k a t
50%
Me n i n g k a t
3 0 0 - 5 0 0 c c
ap kontraksi
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
M e n i n g -
kat 60-
80% dalam
15-20menit
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke
baseline
Dikup dari Baldisseri MR.FINK

Pada wanita dengan kelainan jantung yang berat,
perubahan hemodinamik tersebut di atas dapat mengan-
cam nyawa, mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas maternal dan janin. Mortalitas wanita hamil
dengan penyakit jantung yang dak berat < 1% tetapi akan
menjadi 50% bila disertai hipertensi pulmonal atau pe-
MARIA IRAWATY
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 59
nyakit jantung sianok. Umumnya wanita hamil penderita
kelainan jantung dengan fungsional class NYHA I-II, dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik tersebut. Namun
kemaan akibat jantung pada wanita hamil dengan FC
NYHA III-IV adalah 85%.
12
Seper diketahui bahwa prinsip penanganan ede-
ma paru kardiogenik adalah :
- Memelihara oksigenisasi adekuat dan stabilisasi
hemodinamik.
- Mengurangi preload dan aerload
- Koreksi faktor pemberat dan penyakit dasarnya.
Melihat kompleksnya kasus ini ( wanita postpartum
dangan fc NYHA III-IV, sepsis VAP) maka evaluasi hemodina-
mik ( LVEDP,PAOP, PAP,PVR dll) waktu demi waktu sangatlah
diperlukan. Parameter tersebut di atas diperlukan dalam
penatalaksanaan dan pemantauan terapi pada kasus CHF
terutama di ICU. Pada kasus ini dengan kondisi ICU yang -
dak memungkinkan melakukan pemantauan hemodinamik
invasif maka dipakai analisa SVcO2 dan kadar pro BNP se-
rial.

Beberapa penelian menunjukkan adanya hubungan
nilai BNP/pro BNP dengan PAOP. Sementara penelian lain
melaporkan hal sebaliknya. Jadi buk penelian belum kuat
untuk mendukung nilai pro BNP/BNP dalam menggankan
pemantauan hemodinamik pada kasus di ICU.
10

Pro BNP merupakan pepda yang dihasilkan oleh
ventrikel. Smulus siologis utama sekresi BNP adalah vo-
lume dan pressure overload. Menurunnya kadar BNP di-
hubungkan dengan perbaikan hemodinamik, menurunnya
preload dan resistensi perifer (SVR).
10
Berdasarkan data
tersebut maka semula dipikirkan untuk menggunakan pro
BNP serial sebagai surrogate marker hemodinamik. Sayang-
nya, waktu paruh yang panjang (2 jam) menyebabkan kadar
pro BNP akan bermakna jika diperiksa seap 12 jam. Seha-
rusnya lebih tepat jika memeriksa kadar BNP yang memiliki
waktu paruh lebih pendek (20 menit) sebagai pemantauan
terapi. Lagipula adanya variasi intraindividu ( jam ke jam
atau hari ke hari) membatasi kemaknaan kadar proBNP di-
pakai sebagai pemantauan terapi.
13
Pasien ini mendapatkan terapi standard CHF yaitu :
- Mencapai oksigenisasi adekwat.
- Memelihara stabilitas hemodynamik
- Mengurangi stress miokard dengan menurunkan
preload dan aerload dengan diurec dan NTG.
Inotropik diberikan berdasarkan nilai SPO2 dan
SVcO2. Terapi diurek dan NTG ditrasi sesuai klinis dan ha-
sil pro BNP yang diulang seap kali terjadi perburukan klinis
( mundurnya mode venlator, ronki yang bertambah, rao
P/F, dan rontgen thoraks). Pasquate dkk meneli 53 pasien
rawat jalan dengan diagnosis CHF . Mereka melaporkan
bahwa kebutuhan dosis diurek yang semakin besar ber-
korelasi dengan peningkatan kadar pro BNP yang diperiksa
serial dan menurun pada kasus dengan perbaikan klinis.
Kelemahan serial pro BNP sebagai guidance terapi pada
kasus ini adalah karena pemeriksaannya dak dapat dilaku-
kan secara bedsite dan memerlukan waktu sekitar 5-6 jam,
disamping harganya yang mahal.
2,10.
Sehingga dosis diurek
dan NTG lebih dulu ditrasi hanya berdasarkan tampilan
klinis.
Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin
turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml
dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat ter pro BNP semakin tu-
run maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini
relaf perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami per-
burukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan dise-
babkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi
oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/
Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien.
BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat
tajam.
10,13
Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi mio-
kard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien
ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi
70-90%. Kadar pro BNP dak dapat dipakai dalam mendiag-
nosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walau-
pun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan
terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dili-
hat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak sema-
kin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa
kadar troponin T/I.
9
Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan al-
kalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipok-
loremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furo-
semid terus menerus. Seper diketahui, keadaan alkalosis
hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat
venlasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan
pasien ini decit cairan intravaskuler dinilai dengan meng-
gunakan PLR yang ternyata dak respon. Disamping itu
juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya
dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka
dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po (
hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP).
Seper sudah dibahas di njauan pustaka, bahwa
nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan den-
gan pemberian diurek sebagai lini pertama terapi edema
paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efekf dalam
mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO den-
gan prol hemodinamik yang stabil. Sementara diurek
dapat menurunkan GFR, akfasi neurohumoral, semakin
bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi
sekuncup. Beberapa penelian mennunjukkan bahwa do-
sis nggi loop diurec meningkatkan angka rawat inap dan
mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa
dak semua edema paru disertai keadaan overload cairan.
Pasien ini mendapatkan diurek yang lama, den-
gan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering
dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gang-
guan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis
hipokloremik.
1. VAP Sepsis
Pasien saat masuk RS dak ada riwayat demam
dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walau-
pun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis
22700, takikardi 150x/menit dan takipnea).
Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik (
37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki
bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 60
saan laboratorium lekosit 11520 dan procalcitonin
1,92.Pasien didiagnosis dengan VAP. Jika dilihat dari
onset terdiagnosisnya VAP terjadi < 5 hari maka ka-
sus ini termasuk VAP early onset tetapi karena pasien
ini mendapat anbioka selama 4 hari terakhir (An-
biok prolaksis seksio sesarea yang terus diberikan)
maka pasien ini termasuk VAP dengan risiko nggi
kuman MDR sehingga pilihan anbioka empirisnya
sesuai dengan VAP late onset adalah meropenem dan
gentamisin,dengan mengambil bahan sputum dari as-
pirasi endotrakeal sebelumnya. Hari perawatan ke 10
keluar hasil kultur sputum, yang hasilnya adalah Aci-
netobacter baumanii. Acinetobacter Baumanii meru-
pakan salah satu anmikroba yang disebut sebagai
Di cult to treat (DTT). Mikroba yang termasuk DTT
adalah P auroginosa, Oxacillin resisten Staphylococcus
aureus dan Acinetobacter baumanii. Anbiok kemu-
dian dideekskalasi dengan ampicillin sulbactam. Pe-
makaian anbioka prolaksis operasi yang diteruskan
sampai hari keempat, anbiok empiris yang diterus-
kan sampai lebih dari 3 hari ( karena hasil kultur jadi
setelah 5 hari) merupakan faktor yang perperan terha-
dap terjadinya infeksi oleh bakteri DTT. Penelian mel-
aporkan bahwa separuh dari kasus infeksi oleh mikroba
DTT disebabkan oleh pemakaian anbioka yang dak
sesuai dengan pedoman penggunaan anbioka.
12
Se-
jumlah penelian menunjukkan bahwa adanya infeksi
bakteri DTT ini merupakan penentu survival pasien.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serial pro-
calcitonin, dan lekosit , rontgen thoraks untuk men-
gevaluasi nilai CPIS. Hanya disayangkan bahwa rontgent
thorax dak selalu dapat diulang karena keterbatasan
dana.
Pada hari ke 30 pasien jatuh menjadi sepsis berat
( sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi dan hipo-
tensi). Disfungsi organ yang terjadi melipu hipoksemia (
PaO2/FIO2 < 300). Laktat pada hari ke 30 ini belum sempat
diperiksa, tetapi jika kita melihat AGD maka terdapat unme-
assured anion ( kira-kira -9), yang kemungkinan adalah lak-
tat. Menjelang hari ke 31, MAP turun menjadi < 65. Sangat
disayangkan pasien ini dak dilakukan resusitasi cairan ter-
lebih dahulu tetapi hanya menaikkan dosis dobutamin dan
norepinefrin saat SVcO2 turun ( 49%). Sedaknya mungkin
saat itu dapat dilakukan passive leg raising untuk menilai
apakah pasien ini masih respon respon terhadap cairan. Pa-
sien kemudian meninggal pada hari ke 31.
Pasien ini juga diduga mengalami perburukan
fungsi jantung akibat semakin memburuknya sepsis VAP.
Kecurigaan ini didukung oleh semakin membesarnya siluet
jantung secara bermakna bila dibandingkan rontgent tho-
raks hari ke 27. Turunnya kadar pro BNP ( 468-343) dak
dapat menyingkirkan kemungkinan tersebut. Disamping itu
keadaan hipoksemia/desaturasi juga berperan dalam me-
nyebabkan memburuknya fungsi jantung pasien ini.
Infeksi yang dak terkontrol walaupun anbiok empiris
sudah diberikan sesuai guidelines VAP dan sesuai pola ku-
man di ICU RSCM dan didekskalasi sesuai hasil kultur, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh :
1. Hasil kultur sputum yang dak kwantaf , sehing-
ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penye-
bab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS me-
rekomendasikan pemeriksaan kultur kwantaf.
Hasil kultur yang nonkwantaf atau semikwan-
taf memiliki spesisitas yang rendah ( 27%) , kita
dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupa-
kan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.
5
2. Pasien mengalami paralisis system immune (
CARS), sehingga dak mampu mengeliminasi infek-
si primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya
diarahkan untuk mensmulasi sistem imun seper
interferon atau GM CSF yang dalam hal ini dak
mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan
sarana.
15
Status nutrisi yang dak baik juga berperan pada
keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam
keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan
berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin
berkurang. Seper diketahui bahwa otot skeletal merupak-
an tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa
otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya
desiensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepan-
jangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sep-
sis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan
hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka
intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, se-
lenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus
ini.
16
SIMPULAN
1. Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai penya:
edema paru kardiogenik atau non kardiogenik.
2. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis
kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai eolo-
gi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai
prediksi negaf yang nggi tetapi dak dapat dipakai
sebagai penentu terapi.
3. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis
lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai un-
tuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU
dengan sarana yang terbatas.
4. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru
kardiogenik
5. Jika dibandingkan diurek karena lebih efekf dalam
mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan
hemodinamik lebih stabil.
6. Hasil kultur yang nonkuantaf atau semikuantaf
memilikI spesisitas yang rendah ( 27%) , kita dak
tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penye-
bab infeksi atau hanya kolonisasi.
7. Pemberian anbioka yang dak tepat dan sesuai tera-
pi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri
Di cult to treat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine B,Mahay. Acute pulmonary edema. N Eng J
Med 2005: 353 : 2788-96
2. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker
MARIA IRAWATY
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 61
in Chronic Heart Failure. Circulaon 2004 : 110 : 1091-
1096
3. ACC/AHA 2005 Guideline Update for diagnosis and
managemen CHF in the adult summary arcle. Circula-
on 2005;112;1825-1852
4. Kruger W, Ludwan A. Acute Heart Failure. Birkhaus-
er.2009. Berlin: 48-65
5. ATS IDSA. Guidelines for the Management of adults
with Hospital acquired, Venlator associated and
Healthcare associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005; 171 : 388-416
6. Koenig SM, Truwit JD. Venlator Associated Pneumo-
nia: Diagnosis , treatment and prevenon. Clinical Mi-
crobiology Review. 2006 : 63-57
7. Webb GD et al. Diseases of The Heart, Percardium, and
Pulmonary Vasculature Bed. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP eds. Brawnwalds Heart Disease. A
textbook of Cardiovascular Medicine. Vol 2.8
th
ed. Phil-
adelphia: Sanders elsivier.2008 p.1583-1585.
8. Maeder M etal. Sepsis associated Myocardial dysfunc-
on : diagnosc and prognosc impact of cardiac tro-
ponin and natriurec pepdes. Chest 2006; 129 ; 1349-
1366
9. Morsch RD etal. Sepsis and myocardial dysfuncon.
Einstein. 2006;4(4): 338-342
10. Collinson PO. Commentary Natriurec pepde deter-
minaon in crical care medicine: part of roune clini-
cal pracce of research test only. Crical Care 2009 :
13 : 105
11. Reichlin T, Noveanu M, Mueller C. Use of Natriurec
pepdes in the emergency department and the ICU. In
Vincent ed. Year Book of Intensive care and emergen-
cy medicine. 2009.Berlin Heidelberg: Springer 2009.p.
523-527
12. Baldisseri MR. Cardiovascular and endocrinologic
changes Associated with Pregnancy. In: Fink MP, Abra-
ham E, Vincent JL etc eds. Textbook of Crical Care 5
th

ed.Philadelphia : Sanders elsivier 2005. p. 1535-39
13. Prahash et al. B type Natriurec pepde: A diagnosc,
prognosc, and therapeuc tool in heart failure. Ameri-
can Journal of Crical Care. 2004 ; 13 : 46-55
14. Garcin, Leone,Antorini, Charvet et al. Non adherence
to guidelines an avoidable cause of failure of empiri-
cal anmicrobial therapy in the presence of di cult to
treat bacteria. Intensive Care Med. 2010 :36:75-82
15. Monneret,et al. Monitoring Immune disfuncons in
the sepc paent : A New Skin for the old ceremony.
Mol Med 2008 : 14: 64-78
16. Berger MT, Chlorelo RL. Anoxidant supplementaon in
sepsis and systemic inammatory response syndrome.
Crit Care Med 2007;5,No 9 (suppl): S584-589
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 62
ABSTRACT
Intra operave awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by paents of intra operave
events that occur during general anesthesia. It is a com-
plicaon of surgical general anesthesia that is oen over-
looked. Conscious awareness with explicit recall has been
known to potenally result in severe long-term psychologi-
cal sequelae such as PTSD.
The incidence rate for intra operave awareness in
general surgical populaon varied between 0.10% and 1.0%
(with an excepon of 0.0068% incidence rate reported in
one study). Larger percentages were esmated for paents
undergoing cesarean secons and cardiac surgeries with
incidence rates of 0.26% and 0.5%, respecvely. The major-
ity of cases were discovered within days or weeks aer the
operaon and auditory percepon was the most common
complaint reported by paents in the studies. The incidence
of PTSD following awareness was found inconclusive due
to the limited number of studies invesgang psychologi-
cal sequelae of intra operave awareness and conicng
results between the studies performed.
Awareness detecon should be included in clinical
rounes with the aim of improving anesthec pracce and
postoperave professional psychiatric assessment and fol-
low-up should be established as standard pracce for those
in need of further assistance aer experiencing intra opera-
ve awareness.
Keywords: general anesthesia, sequelae, psycho-
logical; post-traumac stress disorder; awareness, intra op-
erave; incidence.
ABSTRAK
Kewaspadaan intraoperaf (intra operave aware-
ness) didenisikan sebagai kemampuan pasien untuk
mengingat kembali secara eksplisit periswa-periswa yang
berlangsung pada saat pasien dalam pengaruh anestesia
umum. Hal ini merupakan komplikasi dari anestesia umum
yang sering sekali terabaikan. Kewaspadaan yang disertai
ingatan eksplisit akan periswa-periswa intraoperaf ber-
potensi mengakibatkan gejala psikologis berat jangka pan-
jang seper Post-Traumac Stress Disorder (PTSD).
Insiden kewaspadaan intraoperaf pada bedah
umum bervariasi antara 0,1% dan 1,0% (dengan pengecual-
ian angka insiden 0,0068% pada satu literatur). Persentase
lebih besar didapatkan pada caesarean secon dan bedah
jantung dengan angka insiden 0,26% dan 0,5%. Kebanyakan
dari kasus ditemukan beberapa hari hingga beberapa min-
ggu setelah operasi dan persepsi auditorik merupakan kelu-
han yang paling sering dilaporkan oleh pasien. Insiden PTSD
setelah terjadinya kewaspadaan intraoperaf belum dapat
disimpulkan dikarenakan terbatasnya jumlah studi yang
menginvesgasi gejala psikologis setelah kewaspadaan in-
traoperaf dan angka-angka insiden yang bertentangan
yang didapatkan dari studi-studi yang telah dilakukan.
Deteksi kewaspadaan intraoperaf seharusnya dii-
kutsertakan dalam runitas klinik dengan tujuan mening-
katkan kualitas pelayanan anestesia, dan evaluasi psikiatrik
pascaoperaf dan follow up seharusnya ditetapkan sebagai
standar praktek anestesia bagi mereka yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut setelah mengalami kewaspadaan
intraoperaf.
Kata Kunci: anestesia, umum; sequelae, psikologis, post-
traumac stress disorder; awareness, intra operaf; in-
sidens.
INTRODUCTION
Intra operave awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by paents of intra operave
events that occur during general anesthesia.
1
It has been
recognized as a complicaon of general anesthesia since
1846 when William Morton successfully demonstrated the
use of ether but overlooked the paents recollecon of
the surgery.
2,3
The types of intra operave awareness dif-
fer from one paent to another and can usually be charac-
terized by the duraon of awareness, whether or not pain
and/or anxiety are experienced, and whether or not the pa-
ent is able to explicitly recall of the event.
4
The worst and
most feared cases of intra operave awareness are those
of awake paralysis where the paents are fully aware for
a prolonged period of me, subjected to pain and anxiety,
I STUDI PUSTAKA I
Kesadaran Intraoperaf dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trau-
mac Stress Disorder
Intra-operave Awareness in General Anesthesia and the Development of Post-traumac
Stress Disorder
Maria Blandina
Maria Blandina
Department of Anesthesia and Pain Management
The Royal Melbourne Hospital
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 63
Table 1. Studies evaluang incidence of awareness between 1990 and 2008
Study (Coun-
try)
Dates
performed
Design Sample
size
Populaon
Sandin et al.
(Sweden)
1997-1998 Prospecve cohort
study
11,785 All paents > 15 yo who have had
GA
Myles et al.
(Australia)
1993-1999 Prospecve cohort
study
10,811 All paents receiving GA (exclud-
ing obstetrics and paediatrics)
Wennervirta et
al. (Finland)
April 1998-June
1999
Prospecve cross-
seconal study
3,843 All paents > 15 yo undergoing
surgery using general anesthesia
Errando et al.
(Spain)
April 1995-April
1997 & Decem-
ber 1998-No-
vember 2001
Prospecve obser-
vaonal study
4,001 All paents > 15 yo scheduled for
elecve or urgent surgery requir-
ing GA, excluding cardiac surgery
and paents transferred to Cri-
cal Care Unit
Ranta et al.
(Finland)
January
1995-January
1996
Prospecve cross-
seconal study
929 All cardiac surgery paents
Paech et al.
(Australia)
June 2005
January 2007
Prospecve obser-
vaonal study
1,095 All women > 18 yo undergoing
Caesarean Secon under GA
Sebel et al.
(USA)
Pollard et al.
(USA)
April 2001
December
2002
January 2002
December
2004
Prospecve,
nonrandomized,
cohort study
Prospecve obser-
vaonal study
19,575
177,468
All paents > 18 yo receiving GA,
normal mental status, able to
provide informed consent.
All paents > 18 yo who under-
went GA
GA = General Anesthesia
yo = years old
Table 2. Modied Brice interview
10
1. What is the last thing you remember before going to sleep?
2. What is the rst thing you remember waking up?
3. Do you remember anything between going to sleep and waking up?
4. Did you dream during your procedure?
5. What was the worst thing about your operaon?
and able to fully recall the experience aerwards. The ma-
jority of awareness cases, however, are brief and without
experience of pain/anxiety.
4
The causes of awareness are sll uncertain and the
problem is thought to be mul factorial. However, there are
a few plausible causes that may explain the occurrence of
awareness. Firstly, central nervous system target receptors
may have inherited variability in their expression and/or
funcon, which may result in unpredictable paent-specic
variability in dose requirements of anesthec drugs. The
basis underlying this theory is yet to be elucidated, but
preclinical studies involving mice have uncovered a genec
deciency in one type of receptor for the inhibitory neu-
rotransmier g-aminobutyric acid (GABA) that presented
resistance to the memory-blocking properes of etomidate.
Secondly, low physiologic reserves (e.g. poor cardiac func-
on, severe hypovolemia) may render the paents less ca-
pable of tolerang an amnesic level of anesthesia because
it may catastrophically worsen their state of hypotension.
Insu cient anesthec drugs could then result in aware-
ness. Thirdly, a pacemaker or drugs such as -blockers may
conceal the physiologic characteriscs that normally indi-
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
Developement of Post-traumatic Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 64
cate the need for a dose change. And lastly, equipment mal-
funcon or misuse may compromise drug delivery systems
pu ng the paents at risk for awareness.
1
Previous studies have shown that the incidence of
awareness in general anesthesia is approximately 0.18%
when neuromuscular blockers are used and 0.10% in the
absence of such drugs.
5,6
Assessing anesthec depth when
muscle relaxants are used is parcularly di cult because of
the absence of motor responses to smuli.
4
Muscle paraly-
sis is perhaps the reason for higher incidence of awareness
in view of the fact that the paents are unable to signal the
anesthests when they are aware.
Conscious awareness with explicit recall have been
known to result in paent dissasfacon on anesthec
care, distress, and potenal long-term psychological symp-
toms.
6,7
Although the numbers are not similar in all stud-
ies performed, approximately 56% of paents experiencing
conscious awareness during general anesthesia have been
found to develop PTSD as a complicaon.
7
The characteris-
c symptoms of PTSD include depression, anxiety aacks,
sleep disorders, and ashbacks and nightmares of the trau-
mac experience. PTSD have also been known to be diag-
nosed in paents without explicit recall of the events but
develop symptoms such as recurrent dreams about being
buried alive which indicate that intra operave awareness
may have occurred.
4
In a sense, suerers of PTSD are inca-
pable of leaving the event behind. In 1982, Turnstall and
Lowit
8
gave an account of a paent who developed sleep
phobia aer experiencing conscious awareness with pain
during general anesthesia for a caesarean secon. This
paent experienced a sense of panic and a sinking feeling
when lying on her back, had recurrent nightmares, di culty
going to sleep, and felt unable to breathe when she nally
fell asleep. This problem dramacally altered her life and
personality in the years that followed.
This review aims to assess the incidence of intra
operave awareness in general anesthesia and the psycho-
logical impact and psychiatric sequelae that may develop
aerwards, with the intenon of increasing our knowledge
about intra operave awareness, awareness-induced PTSD,
and ways of prevenng such an unfortunate event from
occurring. This review begins by summarizing research on
the incidence of intra operave awareness and invesgates
psychological symptoms following intra operave aware-
ness. Further discussion then focuses on monitoring aware-
ness in general anesthesia, risk factors for awareness, and
strategies for prevenng awareness and the development
of PTSD in paents with conscious awareness and recall.
METHODS
The literature search was conducted using com-
puterized databases including PUBMED, The Cochrane Li-
brary, and MEDLINE in order to idenfy the relevant arcles
that have been published unl April 2009. Arcles were
retrieved using the keywords: awareness AND general
anesthesia, awareness AND general anesthesia AND
posraumac stress disorder, and also intra-operave
awareness AND psychological sequelae. The search
was limited to studies that were published in English and
used human adult subjects. Publicaons on pediatric cases
were excluded because awareness in children has not been
reported to result in PTSD. This may be caused by the dif-
ference between a childs expectaons of surgery than an
adults in which an adult would expect to be fully uncon-
scious without any memory throughout the procedure.
The reported incidence of hosle behavioral changes and
sleep disturbances of children who suered intra operave
awareness was found to be not signicantly dierent than
those in children without awareness.
9
A total of sixty-seven
arcles were acquired by the search and only seven arcles
met the inclusion criteria. Abstracts were read thoroughly
before complete arcles were obtained and the references
from the relevant publicaons were manually explored to
ascertain further potenal arcles. In the end, eleven pub-
licaons were reviewed, including one literature review.
RESULTS
All available literature on awareness in general
anesthesia and PTSD were considered for inclusion in the
review. Prospecve randomized controlled trials and meta-
analyses were originally preferred for the review; however,
given the absence of level I (NHMRC guidelines) and scar-
city of level II (NHMRC guidelines) evidence, observaonal
studies on awareness in general anesthesia, case series and
cohort studies were also considered. Retrospecve reviews
and expert opinion were not eliminated.
Study Designs
The majority of selected studies evaluated the in-
cidence of awareness (Table 1) and only a few addressed
psychological sequelae of intra operave awareness. These
studies employ dierent strategies in discovering the inci-
dence of awareness and PTSD. Sandin et al.
5
invesgated
the possibility of awareness or awake paralysis in 11,785
paents who had undergone general anesthesia. Interviews
were performed by trained sta using the Brice modied in-
terview (Table 2) and took place before the paent le the
post-anesthesia care unit (PACU); 1-3 days aer; and 7-14
days aer the surgery. A similar method was also used by
Sebel et al.
10
in interviewing 19,575 paents in the recov-
ery room and follow-up interview up to two weeks follow-
ing the surgery. Errando et al.
11
also used a similar strategy
(with the excepon of ulizing their own structured inter-
view) when interviewing 4,001 paents in PACU immedi-
ately aer the surgery and follow-up interviews to conrm
awareness episodes on the seventh and thireth day aer
surgery. In another study conducted in Australia, Myles et
al.
12
calculated the incidence of awareness when evaluang
paents sasfacon with anesthesia. Their interviews took
place within 24 hours aer the surgery and the paents
were asked whether they were sased, somewhat dis-
sased, or dissased with the anesthec service they
had received. The reasons for paents dissasfacon were
further explored aerwards.
Another study by Wennervita et al.
13
aimed to
assess the incidence of awareness and recall during gen-
eral anesthesia in outpaent surgery and used inpaents
MARIA BLANDINA
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 65
as controls. A total number of 1500 outpaents and 2343
inpaents were interviewed during their stay in the re-
covery room using a modied version of Brice interview
method. Those found to have recollecons in the recovery
room were reinterviewed by one of the researchers on the
same day or the following day and later reinterviewed for
the third me by phone within 12-24 months aer the op-
eraon to evaluate the possibility of psychological sequelae
that may follow (e.g. sleep disturbances, anxiety, depres-
sion, preoccupaon with death). Paech et al.
14
also used
modied Brice interview method in assessing 1095 cases of
cesarean secon under general anesthesia for incidence of
awareness and recall. Paents were interviewed at two oc-
casions; the rst 2-6 hours postoperavely and the second
at least 48 hours aer surgery (but before being discharged
from the hospital). Brice modied interview was also used
by Ranta et al.
15
in evaluang paents conscious recollec-
ons from cardiac surgery. Nine hundred and twenty nine
paents were interviewed within postoperave days 1 to
18.
Incidence of Awareness
In 2000, Sandin et al.
5
reported that aer inter-
viewing 11,785 paents who had undergone general anes-
thesia, it was established that the rate of incidence of intra
operave awareness was 0.18% in cases where neuromus-
cular blockers were used and 0.10% in the absence of those
drugs. A similar incidence of awareness (0.11%) was also
reported by Myles et al.
6
on the same year when invesgat-
ing risk factors for paents dissasfacon aer anesthesia.
Sebel et al.
10
later conrmed that percentage with an over-
all incidence of 0.13% in 19,575 paents in a mulcenter
study in the United States of America. This rate is equiva-
lent to 1 to 2 cases of intra operave awareness in every
1000 paents who receive general anesthesia. However,
Errando et al.
11
reported an incidence rate as high as 1.0%
among 4,001 interviewed paents or 0.8% if emergency pa-
ents were excluded, which is comparable to 8 to 10 cases
in every 1000 paents receiving general anesthesia.
An exceponally low incidence of intra operave
awareness was reported by Pollard et al.
16
in 2007. The
authors reviewed the data collected over 3-year period
through a major regional medical system in the United
States. A dierent, somewhat modied version of Brice
quesonnaire than previously used in other studies was u-
lized as a method for invesgang awareness in this study
and six awareness cases out of the total of 177,468 paents
was found. From this result, the authors then calculated
a substanally lower incidence rate of 0.0068%, which is
equivalent to 1 case per 14,560 paents.
Risk Factors for awareness
Types of surgery
A slightly higher incidence of intra operave
awareness than is normally reported in the general surgical
populaon had been observed by Paech et al.
14
amongst
the obstetric populaon of women who underwent cesar-
ean secon. The observed rate of 0.26% conrmed that
pregnant women are at high-risk of awareness. Factors that
may account for higher risk of awareness in the obstetric
populaon include physiological changes during pregnancy
(e.g. an increased cardiac output), which accelerate the re-
distribuon of intravenous anesthec agents and reduce
the establishment of an adequate paral pressure of vola-
le anesthec agent, and lighter general anesthesia which
is usually given for obstetric paents to avoid the depres-
sant eects of volale agents on the newborn and on the
uterine musculature aer delivery.
14, 17
Another group of paents with high-risk of aware-
ness are those undergoing cardiac surgery. The main reason
for the increased risk is that general anesthesia in cardiac
surgery may rely only on opioids and benzodiazepines while
volale agents may oen be avoided in paents who al-
ready have considerable preoperave myocardial morbid-
ity and those who may develop complicaons (e.g. coagu-
laon problems) aer bypass surgery.
17
A study by Ranta
et al.
15
invesgated the incidence of awareness with post-
operave recall by surveying the experience of 929 cardiac
surgery paents. They reported an incidence of 0.5% when
only the paents with objecve recollecons were includ-
ed which was sll a higher incidence compared to those in
general surgical populaons. However, the authors claimed
that the incidence rate was similar to those in non-cardiac
surgery populaons.
Hypovolemic trauma paents also have a signi-
cantly increased risk of awareness even though they be-
come more hypotensive with the administraon of anes-
thec drugs from which cerebral perfusion is expected to
decrease and therefore, theorecally, should reduce aware-
ness
17
. Postoperave recall, however, has been known to
occur despite signicant hypotension during resuscitaon
17
. The incidence rate of awareness in trauma paents could
not be obtained due to the lack of awareness studies as-
sessing this group of paents.
Paent variability
A previous history of awareness and history of dif-
cult intubaon, which could be discovered preoperave-
ly, are both factors which signicantly increase the risk of
awareness and may therefore inuence anesthec require-
ments. Less readily idenable and more complex factors,
such as genecs, paent physiology, and drug interacons
may also play a role in the variability of response to anes-
thecs. Chronic use of alcohol, opioids, sedaves, and the
acute use of amphetamines may increase anesthec drugs
doses required to produce and maintain anesthesia.
17
Age and Gender
Minimum alveolar concentraon (MAC) is the
standard measurement used to determine the potency of
inhaled anesthec drugs. MAC increases as age decreases
and therefore larger inhaled concentraons of volale an-
esthecs are required in order to maintain the state of un-
consciousness in young paents.
18
An increase in anesthec
requirements in young paents compared to elderly pa-
ents suggest that younger paents are more likely to suf-
fer from awareness.
17
In fact, a higher incidence of aware-
ness among children has been reported in the literature. A
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
Developement of Post-traumatic Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 66
prospecve study of awareness by Davidson et al.
18
involv-
ing 864 children undergoing general anesthesia at the Royal
Childrens Hospital in Melbourne, Australia, established an
incidence rate of 0.8% which is equivalent to 8 awareness
cases in every 1000 children. However, unlike adult cases of
awareness, no signs of distress were observed in children
who experienced awareness and the postoperave behav-
ioral disturbances are comparable to those who did not ex-
perience awareness.
Gender is also a risk factor for awareness. Women
are found to be more likely to report intra operave aware-
ness and they also recover from anesthesia more rapidly
compared with men which suggests that women may be
less sensive to the eects of anesthec agents.
17
Incidence of PTSD following intra operave awareness
Lennmarken et al.
19
performed a follow-up study
to invesgate the long-term mental eects of awareness
by quesoning the 18 paents idened by Sandin et al.
5

in the study published two years prior. Only nine out of 18
paents were available for evaluaon (six of them declined
to parcipate) and four out of those nine paents were
found to have severe psychiatric/psychological symptoms.
All four paents could recall in detail their traumac events
of awareness and the memories showed no propensity to
diminish. They revealed common symptoms of PTSD such
as re-experiencing events, feelings of fear and helplessness,
ashbacks, panic aacks, anxiety, di culty concentrang,
irritaon, insecurity, sleep disturbances and nightmares. All
four of them a rmed that these symptoms had caused im-
pairment in their social lives for the whole 2 years following
the surgery.
Samuelsson et al.
7
reported 46 paents who had
experienced awareness under general anesthesia earlier in
their lives in a cohort of 2,681 paents. Thirty one of them
denied any late psychological symptoms while the remain-
ing 15 paents experienced nightmares, anxiety, and ash-
backs. These symptoms faded within 2 months in 9 out of
those 15 paents and persisted only in the form of night-
mares and ashbacks for years in the other 4 paents. The
remaining two paents developed severe mental problems
and underwent psychiatric therapy. However, only one of
the two paents was diagnosed with PTSD (while the other
was diagnosed with schizophrenia) and whether or not it
was caused by intra operave awareness was obscured
by the fact that she had been exposed to extreme mental
stress earlier in her life.
An incidence rate of 56.3% for PTSD following
awareness was accounted by Osterman et al.
20
aer in-
terviewing 16 subjects who were recruited from adver-
sements in newspapers, iers in hospitals, self-referred
following print and television news stories, or referred by
an anesthesiologist. Subjects reported signicant postop-
erave distress during their awareness episode, with most
common and intense experiences of feeling unsafe and
helpless, abandoned by his/her doctors and nurses, feeling
betrayed by his/her doctors and nurses, terror, and inability
to communicate. Nine out of the sixteen subjects met the
DSM-IV diagnosc criteria for PTSD with funconal impair-
ment years aer suering intra operave awareness. How-
ever, the study is weakened by potenal selecon bias.
The more credible percentage was previously es-
tablished by Schwender et al.
21
aer interviewing two
groups of paents with experience of awareness during
general anesthesia (21 paents who answered to adver-
sement and 24 paents who were referred by colleagues
from three large hospitals involved in the study). Twenty-
two of 45 paents (50%) were found to suer aer eects
of their awareness episode (e.g. reluctance to undergo fu-
ture anesthesia and operaons, suered anxiety during the
day, and had nightmares at night) and three of them (6.6%)
developed PTSD syndrome. Schwender et al. also discov-
ered that, during the awareness episode, visual percepon
was reported by nearly 50% of paents and an incidence
of pain percepon of 25% with 17.8% of paents suering
severe pain localized in the area where the pain smuli oc-
cured. All 45 paents reported auditory percepon during
their episodes: 20 paents could recall the remarks made
by the surgical team that were emoonally relevant to
them (e.g. derogatory remarks) while the other 25 paents
only recalled theatre conversaons and noises.
Prevenon of intra operave awareness and PTSD
The rst line of awareness prevenon starts with
preoperave assessment. Paents at high risk of awareness
should be idened in the pre-admission clinic and their
management should be planned aerwards.
2
Paents at
risk of awareness include those having high-risk of aware-
ness surgery (e.g. cardiac surgery and cesarean secon) or
surgery associated with signicant blood loss, paents who
are medicated with signicant doses of sedaves and an-
algesic drugs, and paents with previous history of aware-
ness.
2
This group of paents should be provided with infor-
maon about awareness and assured that there would be
eorts to prevent such an unfortunate event from happen-
ing.
2
BIS Monitoring
The bispectral index system (BIS) is an apparatus
created to indirectly monitor hypnoc depth and anes-
thec drug concentraons in general anesthesia by pro-
cessing electroencephalogram data through a proprietary
algorithm, which is then displayed as a calculated dimen-
sionless parameter between 0 and 100 (with 40 to 60 con-
sidered appropriate for general anesthesia).
2, 12
BIS moni-
tor was the rst device approved by the US Food and Drug
Administraon for monitoring anaesthesic depth and it has
the capability of reducing the incidence of awareness by
alerng the anaesthests when the depth of anesthesia is
inadequate. A randomized double-blind controlled trial by
Myles et al.
12
showed that BIS monitoring could reduce the
incidence of awareness by 82% in at-risk adults undergoing
relaxant general anesthesia. It also conrmed that aware-
ness during BIS monitoring is less common than during rou-
ne care. However, Avidan et al.
22
challenged this nding by
proposing that BIS monitoring was not proven to be more
benecial than a protocol based on end-dal anesthec gas
(ETAG) concentraons for prevenng anesthesia aware-
MARIA BLANDINA
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 67
ness. However, the study was under-powered to draw any
conclusions as there were only two cases of awareness in
each group.
Beta-Blockers
Salomons et al.
23
presented two cases of PTSD that
persisted for years aer intra operave awareness in which
the pain symptoms that they re-experienced were similar
in locaon to the pain they had felt during their episodes
of awareness. These two cases suggested that some smuli
that were associated with the trauma may have triggered
pain ashbacks and this could be further denoted as fear
condioning that may have occurred around the me of
trauma.
23
Pitman et al.
24
proposed that adrenaline release
at the me of a psychologically traumac event could ini-
ate an exaggerated emoonal memory and fear condi-
oning which consequently manifest as PTSD symptoms.
Given this theory, administraon of propanolol to block
-adrenergic receptors immediately aer a traumac event
could have a prophylacc eect. A double-blind, placebo-
controlled pilot study
24
proved that a course of propranolol
which begun shortly aer an acute traumac event is ef-
fecve in reducing PTSD symptoms 1 month later. Further
studies, however, are sll required to reassure this nding.
DISCUSSION
The word anesthesia originated from the Greek
word anaisthsia which literally means loss of feeling or
sensaon.
25
Indeed, the aim of anesthesia is to arcially
induce the loss of physical sensaon, most especially pain,
with or without loss of consciousness through the adminis-
traon of various anesthec drugs, gases, and any other an-
esthec agents. The fundamental role of an anaesthest in
general anesthesia is therefore to keep a paent in a state
of unconsciousness in conjuncon with complete loss of
physical sensaon. Unfortunately, mulple factors may at
mes fail anaesthests to achieve this idyllic goal and con-
sequently result in awareness.
This review found the incidence rate for in-
tra operave awareness in general surgical populaon var-
ied between 0.10% and 1.0% (with an excepon of 0.0068%
incidence rate reported in one study
16
and equivalent to 1
to 10 awareness cases per 1000 paents.
5, 6, 10, 11
Larger per-
centages were esmated for paents undergoing cesarean
secons and cardiac surgeries with incidence rates of 0.26%
14
and 0.5%
15
, respecvely, which are comparable to 3 and
5 awareness cases per 1000 paents. The most common
complaint reported by paents in these studies was audi-
tory percepon, whether it was the voices of the surgeons
conversing with other members of the surgical team or
barely audible noises in the background. Other complaints
include loss of motor funcon, feeling of imminent death,
feeling helpless, anxiety, panic, and pain. Most awareness
cases in the studies were detected using a modied Brice
interview quesonnaire (Table 2) and enquired during the
paents stay at the PACU and repeated at intervals of days
and weeks aer the surgery. The majority of awareness
cases were discovered within days or weeks aer the op-
eraon and not while the paents were in the PACU, which
showed that paents recollecons of their awareness
episode oen gradually emerged over me. The eects of
residual anesthecs and the paents divided aenon in
the early recovery period (which is usually more focused
on common symptoms such as pain and nausea) are the
main causes for delayed recollecons.
17
Addionally, the
trauma of conscious awareness may have dissociave ef-
fects on the paents mental state that leads to the division
of memory of the event into sensory fragments and ago-
nizing emoonal states, which consequently hinders these
paents from fully recounng their experience.
17

The greatest concern surrounding intra
operave awareness is the severe long-term psychologi-
cal sequelae that may develop aerwards. The extent of
psychological impact on paents following intra operave
awareness varies individually. Some may only experience
short-term psychological disturbances such as nightmares
and di culty sleeping which are resolved within a few
weeks, while others may develop debilitang long-term
psychiatric disorder such as PTSD. Four studies that inves-
gated the psychological sequelae of awareness found in-
cidences of PTSD in 22.2%
19
, 56.3%
20
and 6.6%
21
of aware-
ness cases. Limited number of studies and the potenals
for selecon bias in the studies performed restrict the con-
dence to draw any conclusions on the true incidence of
PTSD following intra operave awareness.
The development of PTSD in awareness may be
due to inescapable stress situaon while paents are
conscious of intra operave smuli.
26
Failure of escaping
stressful event through normal ght or ight response
results in passive coping mechanism or dissociaon.
26
Pa-
ents who suer from dissociaon would appear expres-
sionless, silent, and indierent toward their surroundings.
20
They oen also appear calm and seemingly non-trau-
mazed by the experience.
20
Coping mechanism through
parasympathec acvity would show reduced heart rate
as a physical sign.
20
A dissociave state around the me of
trauma where the paents are incapable of narrang their
experience as a result of fragmented memory is a signi-
cant long-term predictor for the development of PTSD.
27, 28

Van der Kolk & Fisler
27
explained that considerable narrow-
ing of consciousness occur when people feel threatened.
This narrowing of consciousness may advance toward loss
of memory for parts or for the enre experience when an
individual is traumazed, leaving him or her unable to give
coherent account of the event. Some aspects of the trauma
may invade consciousness when the person fails to organize
the traumac memory into a narrave and results in terrify-
ing percepons, obssessional preoccupaons, and somac
reexperiences of the event.
27
The three main characteriscs of PTSD are: 1).
re-experience, 2). avoidance, and 3). hyperarousal.
26
Re-
experiencing usually happens in the form of nightmares
and ashbacks in which they would re-experience paralysis,
auditory percepon, sense of helplessness and anxiety, and
somemes even feel the pain of surgical smuli.
20
Re-ex-
periencing is usually triggered by reminders that resemble
their traumac situaon such as the state of light sleep or
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
Developement of Post-traumatic Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 68
the process of falling asleep, sounds of clinking silverware,
or smell of alcohol.
26
Re-experiencing and insomnia are the
two most common complaints reported by postawareness
paents in the studies. Postawareness paents have also
been known to avoid cues and situaons that would con-
front them with their traumac memories such as hospitals,
medical workers, television programs with hospital themes,
and some even develop sleep phobias.
8, 20
Avoiding these
cues and situaon may oen prevent these paents from
inquiring aercare and discussing their experience with
medical personnel.
26
Avoidance was perhaps the reason
for paents refusal to parcipate in the two year follow-up
study by Lennmarken et al
19
. For this same reason, paent
recruitment through adversements to invesgate PTSD
would be largely ineecve. Physiological hyperarousal
symptoms in PTSD include easy startle, hypervigilance, and
irritability.
20
A paents understanding of their experience is cru-
cial in prevenng psychological morbidity in postawareness
paents.
4
When awareness is suspected to have happened
during a surgery, anaesthests or surgeons should clarify
with the paent the reasons why awareness occurred and
reassure that it is unlikely to happen again in the future.
1
It
should also be noted that, when awareness is suspected to
be occurring during a procedure, speaking to the paents
and telling them that the surgical team is aware that they
are awake and that they are ge ng help would signicantly
diminish the traumazing eect of the experience.
20, 26
Vali-
daon by medical personnel of the actuality of the traumat-
ic experience has been reported to prevent the develop-
ment of PTSD and even diminish or stop PTSD symptoms.
4,
26
In conclusion, social support and acknowledgement are
the most vital protecve factors against the development
of PTSD in paents suering intra operave awareness.
26
Further studies on intra operave awareness are
necessary to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact, improve
detecon of awareness, and develop eectual treatment.
26

Creang a registry for postawareness paents similar to
the one established by The American Society of Anesthesi-
ologists (www.AwareDB.org) would prove benecial to in-
crease our knowledge of awareness from direct paent re-
ports. This program would also be a useful way to educate
paents by providing helpful informaon on awareness.
Finally, educaon on intra operave awareness for surgical
and anesthesia teams is necessary to further understand
the issue as well as gaining knowledge of managing such an
event.
CONCLUSION
It is crucial for surgical and anesthesia teams to ac-
knowledge the reality of surgical experience and recognize
the emoonal impact on paents. For a variety of reasons,
paents rarely report awareness and their suerings oen
le unrecognized. The propensity for avoidance rather than
inquiring assistance in these paents makes it necessary to
include awareness detecon in clinical rounes with the
aim of improving anesthec pracce. Awareness assess-
ment should be an ongoing process that begins in the re-
covery room and connued through to follow-up visits with
the surgeons. Awareness-induced PTSD should be consid-
ered for any paent with psychiatric complains following
surgery and therefore connuous postoperave assess-
ment is vital in discovering the maer. A thorough periop-
erave management of anesthesia is crucial in prevenng
intra operave awareness and postoperave professional
psychiatric assessment and follow-up should be established
as standard pracce for those in need of further assistance
aer experiencing intra operave awareness.
KEY POINTS
Intra operave awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by paents of intra
operave events that occur during general anes-
thesia.
The causes of awareness are sll uncertain and the
problem is thought to be mul factorial.
The extent of psychological impact on paents
following intra operave awareness varies indi-
vidually; some may only experience short-term
psychological disturbances, while others develop
debilitang long-term psychiatric disorder such as
PTSD.
Re-experience, avoidance, and hyperarousal are
the three main characteriscs of PTSD.
Further studies on intra operave awareness that
aim to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact,
improve detecon of awareness, and develop ef-
fectual treatment are indispensable.
REFERENCES
1. Orser BA, Mazer CD, Baker AJ. Awareness during an-
esthesia. Canadian Medical Associaon Journal.
2008;178(2):185-8.
2. Myles PS. Prevenon of awareness during anesthe-
sia. Best Pracce & Research Clinical Anaesthesiology.
2007;21(3):345-55.
3. Lennmarken C, Sydsjo G. Psychological consequences
of awareness and their treatment. Best Pracce & Re-
search Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):357-67.
4. Forman SA. Awareness during general anesthesia: con-
cepts and controversies. Seminars in Anesthesia, Peri-
operave Medicine and Pain. 2006;25:211-8.
5. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, Lennmarken C.
Awareness during anesthesia: a prospecve case study.
The Lancet. 2000;355:707-11.
6. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, Anderson H, Weeks
AM. Paent sasfacon aer anesthesia and surgery:
results of a prospecve survey of 10,811 paents. Brit-
ish Journal of Anesthesia. 2000;84(1):6-10.
7. Samuelsson P, Brudin L, Sandin RH. Late Psychological
Symptoms aer Awareness among Consecuvely In-
cluded Surgical Paents. Anesthesiology. 2007;106(26-
32).
8. Turnstall M, Lowit I. Clinical curio: sleep phobia af-
MARIA BLANDINA
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 69
ter awareness during general anesthesia: treatment
by induced wakefulness. Brish Medical Journal.
1982;285:865.
9. Hammer GB. Awareness during general anesthesia in
children. Seminars in Anesthesia, Perioperave Medi-
cine and Pain. 2006;25:95-9.
10. Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, Rampil IJ, Padilla
RE, Gan TJ, et al. The Incidence of Awareness During
Anesthesia: A Mulcenter United States Study. Anes-
thesia & Analgesia. 2004;99:833-9.
11. Errando CL, Sigl JC, Robles M, Calabuig E, Garcia J,
Arocas F, et al. Awareness with recall during gen-
eral anesthesia: a prospecve observaonal evalua-
on of 4,001 paents. Brish Journal of Anesthesia.
2008;101(2):178-85.
12. Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan M. Bispec-
tral index monitoring to prevent awareness during an-
esthesia: the B-Aware randomized controlled trial. Lan-
cet. 2004;363:1757-63.
13. Wennervirta J, Ranta SO-V, Hynynen M. Awareness and
Recall in Outpaent Anesthesia. Anesthesia & Analge-
sia. 2002;95:72-7.
14. Paech MJ, Sco KL, Clavisi O, Chua S, McDonnell N,
Group tAT. A prospecve study of awareness and re-
call associated with general anesthesia for caesarean
secon. Internaonal Journal of Obstetric Anesthesia.
2008;17:298-303.
15. Ranta SO-V, MD., Herranen P, RN. , Hynynen M, MD. Pa-
ents Conscious Recollecons From Cardiac Anesthe-
sia. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia.
2002;16(4):424-30.
16. Pollard R, Coyle J, Gilbert R, Beck J. Intra operave
Awareness in a Regional Medical System: A Review of 3
Years Data. Anesthesiology. 2007;106:269-74.
17. Ghoneim MM. Incidence of and risk factors for aware-
ness during anesthesia. Best Pracce & Research Clini-
cal Anaesthesiology. 2007;21(3):327-43.
18. Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C, Gibson MA, Stew-
art SA, Jamsen K, et al. Awareness During Anesthesia
in Children: A Prospecve Cohort Study. Anesthesia &
Analgesia. 2005;100:653-61.
19. Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, Samuelsson P, San-
din R. Vicms of awareness. Acta Anaesthesiologica
Scandinavica. 2002;46:229-31.
20. Osterman JE, Hopper J, Heran WJ, Keane TM, van der
Kolk BA. Awareness under anesthesia and the develop-
ment of posraumac stress disorder. General Hospital
Psychiatry. 2001;23:198-204.
21. Schwender D, Kunze-Kronawier H, Dietrich P, Klas-
ing S, Forst H, Madler C. Conscious awareness during
general anesthesia: paents percepons, emoons,
cognion and reacons. Brish Journal of Anesthesia.
1998;80:133-9.
22. Avidan MS, Zhang L, Burnside BA, Finkel KJ, al. e. An-
esthesia Awareness and the Bispectral Index. The New
England Journal of Medicine. 2008;358(11):1097-108.
23. Salomons T, Osterman J, Gagliese L, Katz J. Pain Flash-
backs in Posraumac Stress Disorder. Clinical Journal
of Pain. 2004;20(2):83-7.
24. Pitman R, Sanders K, Zusman R, al. e. Pilot Study of
Secondary Prevenon of Posraumac Stress Disorder
with Propanolol. Biological Psychiatry. 2002;51:189-92.
25. ENCARTA. Encarta World English Diconary [North
American Edion]. Bloomsbury Publishing Plc.; 2009
[updated 2009; cited 2009 May 19th]; Available from:
hp://encarta.msn.com/diconary_1861585551/an-
esthesia.html.
26. Osterman JE, van der Kolk BA. Awareness During Anes-
thesia and Posraumac Stress Disorder. General Hos-
pital Psychiatry. 1998;20:274-81.
27. Van der Kolk BA, Fisler R. Dissociaon and the Frag-
mentary Nature of Traumac Memories: Overview
and Exploratory Study. Journal of Traumac Stress.
1995;8(4):505-25.
28. Davidson A. Consequences of Awareness. Australian
and New Zealand College of Anaesthests; 2005 [up-
dated 2005; cited 2009 May 20th]; Available from:
http://www.anzca.edu.au/events/asm/asm2005/da-
vidsona_awareness-1.htm.
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
Developement of Post-traumatic Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 70
ABSTRACT
The classical extraconal (peribulbar) block was in-
troduced in 1986 as a safer alternave to the retrobulbar
block, in which the needle p remained outside the muscle
cone.
Intraconal (retrobulbar) block involves the injecon
of a local anaesthec agent into the muscle cone, behind
the globe that is more easy to occur complicaon. Muscle
cone formed by 4 rec muscles and the superior and in-
ferior oblique muscles. Evisceraon is the surgical removal
of the contents of the eye, leaving the white part of the
eye and the eye muscles intact. Usually, this procedure un-
der general anaesthesia technique, but that have worried
about prolong venlaon aer surgery or other complica-
on related general anaesthesia, and ambulatory se ng
changes. Knowledge of orbital anatomy and training are es-
senal for the pracce of safe orbital regional anaesthesia
and similar the aim of ambulatory anaesthesia low cost,
paent safety and sasfacon.
Keywords: Peribulbar block, modality ambulatory, eviscera-
on
ABSTRAK
Blok Peribulber yang telah diperkenalkan tahun
1986 merupakan pilihan cara yang lebih aman dibanding
blok retrobulber dimana ujung jarum ditempatkan diluar
muscle cone. Pada blok retrobulber ujung jarum ditem-
patkan di dalam muscle cone, dibelakang bola mata se-
hingga mudah terjadi komplikasi. Muscle cone dibentuk
oleh 4 otot rektus dan otot oblik superior dan inferior.
Eviserasi adalah operasi pengeluaran isi bola tanpa men-
gangkat sklera dan tanpa memotong otot-otot bola mata.
Biasanya operasi ini dilakukan dengan teknik anestesi
umum. Namun ada kekhawaran terjadinya prolong ven-
laon atau komplikasi lainnya sehubungan dengan tehnik
anestesi umum yang menyebabkan prosedur ambulatory
berubah. Blok Peribulber dapat merupakan suatu modali-
tas anestesi ambulatori karena dengan teknik ini dapat kita
hindari komplikasi akibat anestesi umum. Pengetahuan
anatomi bola mata yang baik disertai pelahan yang baik
diperlukan dalam praktek regional anestesia mata yang
aman dan hal ini sesuai dengan tujuan pada anestesi ambu-
latori yaitu biaya murah, aman bagi pasien dan nyaman.
Kata kunci: Blok peribulber, modalitas ambulatori, evisera-
si.
INTRODUCTION
The terminology used for regional orbital blocks is
controversial. A name based on the likely anatomical place-
ment of the needle is accepted widely. An intraconal (ret-
robulbar) block involves the injecon of a local anaesthec
agent into the part of the orbital cavity (the muscle cone),
behind the globe that is formed by 4 rec muscles and the
superior and inferior oblique muscles. The classical extra-
conal (peribulbar) block was introduced in 1986 as a safer
alternave to the retrobulbar block, in which the needle p
remained outside the muscle cone.
The provision of ophthalmic regional anaesthesia
for eye surgery varies worldwide. These may be chosen to
eliminate eye movement or not and both non-akinec and
akinec methods are widely used. Paent comfort, safety
and low complicaon rates are the essenals of regional
anaesthesia.
The anaesthec requirements for ophthalmic sur-
gery are dictated by the nature of the proposed surgery, the
surgeons preference and the paents wishes. Evisceraon
surgery is the commonest ophthalmic surgical procedure
and general anaesthec technique is usually preferred.
4,7

Ambulatory anesthesia is tailored to meet the
needs of ambulatory surgery so you can go home soon af-
ter your operaon. Short-acng anesthec drugs and spe-
cialized anesthec techniques as well as care specically
focused on the needs of the ambulatory paent are used to
make your experience safe and pleasant. In general, if you
are in reasonably good health, you are a candidate for am-
bulatory anesthesia and surgery. A queson is How about
a paent with co-excisng disease (example : Staphy-
loma cornea with destroyed lung/ asthma bronchiale etc,
undergoing to evisceraon surgery ), usually, who are un-
dergoing evisceraon surgery with general anaesthesia
I TINJAUAN PUSTAKA I
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi
Oalmika
Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Evisceraon
Surgery
Andi Salahuddin
Andi Salahuddin
Department of Anesthesiology, Intensive Care and Pain
Management of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital
Faculty of Medicine Hasanuddin University Makassar
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 71
technique, but some anaesthest worry about prolong
venlaon aer surgery or asthma aack, and ambulatory
se ng changes (see. Fig.1,2) .Based on your medical his-
tory, a type of anaesthec may have an addional margin
of safety. As an outpaent, some techniques may allow you
to recover more quickly with fewer side eects, for example
: peribulbar regional ophthalmic anaesthesia.
There are many advantages of regional anesthesia.
First, the paent is conscious during surgery. Therefore, the
paent can maintain his own airway, contain his own gastric
secreons, and warn the surgeon of impending complica-
ons, for example vergo in stapes surgery. Next, unlike
general anesthesia, paents are awake and usually have a
smooth postoperave course. This allows for less nursing
care aer procedures, and shorter recovery mes facilitat-
ing outpaent surgery. Another advantage is the elimina-
on of painful aerent smuli for the operave site plus
the blockade of eerent sympathec nerves to endocrine
glands eliminates or greatly reduces the metabolic endo-
crine changes seen aer surgical operaons.
1,2,3
Each paent is unique, your anesthesiologist will
carefully evaluate you and your health status to determine
if you should undergo ambulatory anesthesia.
6
With the growth in ambulatory surgery and anes-
thesia in the United States comes a parallel growth in liabili-
ty for the anesthesiologist providing ambulatory anesthesia
services. The U.S. government esmates that about half of
all anesthesia procedures are conducted on an ambulatory
basis. The good news for anesthesiologists praccing in an
outpaent se ng is that fewer than half of all closed anes-
thesia malpracce claims arise from procedures conducted
on an ambulatory basis.
2
Assessment and Preparaon
Preoperave preparaon and assessment vary
worldwide. In the UK, the Joint Colleges Working Party Re-
port recommended that paents are not fasted but fasng
policies vary considerably. Complicaon rates as a result of
starvaon or aspiraon in ophthalmic regional anaesthesia
are unknown and dangers remain if a paent vomits whilst
undergoing any form of anaesthesia and surgery. Accord-
ing to published guidelines and reported evidence, roune
invesgaon of paents undergoing cataract surgery is not
essenal because it improves neither the health nor the
outcome of surgery, but tests can be done to improve the
general health of the paent if required. The preoperave
assessment should always include a specic enquiry about
bleeding disorders and related drugs. There is an increased
risk of haemorrhage and this requires that a clo ng prole
is available (and recorded) prior to injecon. Paents re-
ceiving ancoagulants are advised to connue their medi-
caon. Clo ng results should be within the recommended
therapeuc range. Currently there is no recommendaon
for paents receiving anplatelet agents. Procedures under
topical, subconjuncval, sub-Tenons or shallow peribulbar
blocks are recommended.
There are a number of risk factors that predispose
the globe to needle penetraon. The presence of a long
eye, staphyloma or enophthalmos, faulty technique, a lack
of appreciaon of risk factors, an uncooperave paent
and the use of unnecessarily long needles are some of the
contribung causes. Paents presenng with axial myopia
have greater risk of globe puncture compared with paents
with normal axial length and carry a risk rate of one perfo-
raon for every 140 needle blocks performed in eyes with
an axial length greater than 26 mm. A precise axial length
measurement is usually available for intraocular lens diop-
tre power calculaon before cataract surgery. If the block is
performed for other surgery and the axial length measure-
ment is not known, close aenon to the dioptre power of
paents spectacles or contact lenses may provide valuable
clues to globe dimension. In the presence of high myopia,
a classical peribulbar block or a single medial peribulbar
injecon is advocated. Similar cauon will apply where
there is a pre-exisng scleral buckle from an earlier renal
operave procedure. Once the decision is made to oper-
ate, the anaesthec and surgical procedures are explained
to the paents to enable informed consent. All monitoring
and anaesthec equipment in the operang environments
should be fully funconal. Blood pressure, oxygen satura-
on and ECG leads are connected and baseline recordings
are obtained. Intravenous line must be inserted before em-
barking on a needle block. The presence of a secure intra-
venous line remains good clinical pracce.
Applied Anatomy
As with all regional anaesthec techniques, knowl-
edge of the anatomy of the orbit and its contents is essen-
al to the safe pracce of ophthalmic regional anaesthesia
and many excellent textbooks on anatomy are available.
The orbit is an irregular four-sided pyramid with its apex
poinng posteromedially and its base facing anteriorly. The
annulus of Zinn, a brous ring arising from the superior
orbital ssure, forms the apex. The base is formed by the
surface of the cornea, the conjuncva and the lids. Globe
movements are controlled by the rectus muscles (inferior,
lateral, medial and superior) and the oblique muscles (su-
perior and inferior).
The rectus muscles arise from the annulus of Zinn
near the apex of the orbit and insert anterior to the equa-
tor of the globe, forming an incomplete cone. The distance
from the inferior temporal orbital rim to the annulus mea-
sures 42 to 54 mm. Within the annulus and the muscle cone
lie the opc nerve (II), the oculomotor nerves (III containing
both superior and inferior branches), the abducent nerve
(VI nerve), the nasociliary nerve (a branch of V nerve), the
ciliary ganglion and vessels. The superior branch of ocu-
lomotor nerve supplies the superior rectus and the leva-
tor palpebrae muscles. The inferior branch of oculomotor
nerve supplies the medial rectus, the inferior rectus, and
the inferior oblique muscles. The abducens nerve sup-
plies the lateral rectus. The trochlear nerve (IV nerve) runs
outside and above the annulus, and supplies the superior
oblique muscle (retained acvity of this muscle is frequent-
ly observed as anaesthec agents oen fail to block this
nerve).
Corneal and perilimbal conjuncval and superona-
sal quadrant of the peripheral conjuncval sensaons are
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
Ophtalmic Evisceration Surgery
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 72
mediated through the nasociliary nerve. The remainder of
the peripheral conjuncval sensaon is supplied through
the lacrimal, frontal and infraorbital nerves coursing out-
side the muscle cone; hence, intraoperave pain may be
experienced if these nerves are not blocked. The fascial
sheath (Tenons capsule) is a thin membrane that envelops
the globe and separates it from the orbital fat. It thus forms
a socket for the globe. The inner surface is smooth and
shiny and is separated from the outer surface of the sclera
by a potenal space called the episcleral space. Crossing
the space and aaching the fascial sheath to the sclera are
numerous delicate bands of connecve ssue (Fig. 1).
Anteriorly, the fascial sheath is rmly aached to
the sclera, about 3 to 5 mm posterior to the corneoscleral
juncon. However, the descripon of Tenons capsule does
vary and one major textbook of anatomy suggests that the
space under the Tenon capsule is actually a lymph space
and this follows the opc nerve and connues with sub-
arachnoid space.
Posteriorly, the sheath fuses with the meninges
around the opc nerve and with the sclera around the exit
of the opc nerve. The tendons of all 6 extrinsic muscles of
the eye pierce the sheath as they pass to their inserons on
the globe. At the site of perforaon the sheath is reected
along the tendons of these muscles to form, on each, a tu-
bular sleeve. The superior oblique muscle sleeve extends as
far as the trochlea and the inferior oblique muscle sleeve
extends to the origin of the muscle.
The tubular sleeves for the 4 rec muscles also have
expansions. Those for medial and lateral rec are strong
and are aached to the lacrimal and zygomac bones and
are called the medial and lateral check ligaments respec-
vely. Thinner and less disnct expansions extend from the
superior rectus tendon to that of the levator palpebrae su-
perioris and from the inferior rectus to the inferior tarsal
plate. The inferior part of the fascial sheath is thickened and
is connuous medially and laterally with the medial and lat-
eral check ligaments. A matrix of connecve ssue, which
supports and allows dynamic funcon of the orbital con-
tents, also controls the injectate spread.
Globe and conjungval anesthesia (conducon
block of intraorbital sensory devisions of the ophthalmic
branch of the trigeminal nerve) are achieved more easily
than globe akinesia (conducon block of intraorbital por-
ons of the oculomotor cranial nerves III, IV and VI). The
oculomotor nerve enter the muscle bellies of the four rec-
tus muscles from the conal surface 1,0 1,5 from the apex
of the orbit. Local anaesthecs, in blocking concentraons,
have to reach an expose 5 10 mm segment of these motor
nerve in the posterior intracone space for conducon block
of those nerves and akinesia of their supplied muscles to
occur. Retained acvity of the superior oblique muscle fre-
quently seen aer intraconal local anaesthecs injecon,
because its motor nerve, the trochlear, runs an extraconal
course.
There is insu cient space between the lateral rec-
tus muscle and adjacent lateral orbit wall, and between the
inferior rectus muscle and adjacent orbit oor, to consider
place injectate in either locaon without risking injury to
the respecve muscles.
Corneal and perilimbal conjungval sensaon is
mediated via nasociliary nerve which lies within the cone
of muscles; intracone blocks therefore produce anaesthesia
of the cornea and conjuncva immediately surrounding it.
However the sensaon of the peripheral conjuncva is sup-
plied through the lacrimal, frontal and infraorbital nerve
coursing outside the muscle cone; intraoperave pain may-
be experienced in this area aer a solely intracone block.

Fig. 1. Anatomy of the orbit and contents
Globe posion
The tradional teaching of having paent
look up and in during retrobulbar block needle place-
ment has been superseded by instrucon to direct their
eyes in primary gaze. With the globe in primary gaze
the opc nerve assumes a much safer locaon, total-
ly on the medial side of the mid- sagital plane. (g.2,3)

Fig. 2. View from front
Fig. 3. View from above
Site and deep injecon
Relavely avascular areas suitable for injecon are
the anterior half of the orbit in the inferotemporal quad-
ANDI SALAHUDDIN
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 73
rant, and the compartement of the nasal side of the medial
rectus muscle; needle must never be inserted deeply to the
orbital apex. (Fig 2,3).
Anaesthesia mixture
Any of the full potency local anaesthecs may be
used, the eventual choice depending on the availlability, pa-
ent age and desired duraon of eect. Concentraons up
to but not exceeding 2% lignocaine (or Bupivacaine 5%) are
appropriate. Adrenaline is use commonly for prolongaon
of block duraon and to increase extend of block, but may
be contraindicated if orbital vascular pathology is present;
a concentraon 1: 200.000, given the volume of injectate
used in ophthalmic regional anaesthesia, is devoid of sys-
temic eect.
Adjuvants
3,4,5
Vasoconstrictors: Vasoconstrictors (epinephrine
and felypressin) are commonly mixed with local anaesthec
soluon to increase the intensity and duraon of block, and
minimise bleeding from small vessels. Absorpon of local
anaesthec is reduced, thus avoiding high concentraons
of local anaesthec in the plasma. Epinephrine is com-
monly mixed with the local anaesthec agent to prolong
the duraon and intensity of the block. A concentraon of
1:200,000 has no systemic eect. However, epinephrine
may cause vasoconstricon of the ophthalmic artery, com-
promising the renal circulaon. The use of epinephrine-
containing soluons should also be avoided in elderly pa-
ents suering from cerebrovascular and cardiovascular
diseases. Phacoemulsicaon cataract extracon is usually
of short duraon; hence the duraon of block achieved by
lidocaine without epinephrine usually su ces.
Dexmetomidine: Dexmedetomidine, a more selec-
ve -2 adrenoceptor agonist, is also known to enhance
central neural blockades.
8
Hyaluronidase: Hyaluronidase is an enzyme, which
reversibly liquees the intersal barrier between cells by
depolymerisaon of hyaluronic acid to a tetrasaccharide,
thereby enhancing the diusion of molecules through s-
sue planes. It is available as a powder readily soluble in lo-
cal anaesthec soluon. Hyaluronidase has been shown to
improve the eecveness and the quality of needle as well
as sub-Tenons block but its use remains controversial. The
amount of hyaluronidase used in published studies varies
from 5 to150 IU/mL. The UK data sheet limits the concen-
traon to 15 IU/mL. Orbital swelling due to rare allergic
reacons or excessive doses of hyaluronidase and orbital
pseudo-tumour has been reported. Excellent blocks can
be achieved without hyaluronidase but there are reports of
muscle dysfuncon when it is not used during needle block.
pH Alteraon: Commercial preparaon of lidocaine
and bupivacaine are acidic soluons in which the basic local
anaesthec exists predominantly in the charged ionic form.
It is only the nonionised form of the agent that traverses
the lipid membrane of the nerve to produce the conducon
block. At higher pH values, a greater proporon of local an-
aesthec molecules exist in the nonionised form, allowing
more rapid inux into the neuronal cells. Alkalinisaon has
been shown to decrease the onset me and prolong the
duraon of eect aer needle block but no such benet is
seen during sub-Tenons block.
Others: The addion of muscle relaxants, clonidine
and other chemicals are known to increase the onset and
potency of orbital block but their use is neither roune nor
recommended.
Sedaon and Ophthalmic Regional Blocks
3,4,5
Sedaon is commonly used during topical anaes-
thesia. Selected paents, in whom explanaon and reassur-
ance have proved inadequate, may benet from sedaon.
Shortacng benzodiazepines, opioids and small doses of
intravenous anaesthec inducon agents are favoured but
the dosage must be minimal. The roune use of sedaon is
discouraged because of an increased incidence of adverse
intraoperave events. It is essenal that when sedaon is
administered, a means of providing supplementaon oxy-
gen is available. Equipment and skills to manage any life
threatening events must be immediately accessible.
Intraocular Pressure (IOP) and Ophthalmic Regional
Blocks
3,4,5
Changes in intraocular pressure aer retrobulbar
and peribulbar injecons are controversial but IOP is gener-
ally reported to increase immediately aer injecon. Prior
reducon of IOP is associated with fewer operave com-
plicaons, notably shallowing of the anterior chamber and
vitreous loss during large-incision extracapsular cataract
extracons. These complicaons are less likely to happen
during modern small-incision phacoemulsicaon proce-
dure as the tendency for the anterior chamber to collapse
is reduced. Any rise in IOP may have other serious conse-
quences in paents with glaucoma and paents with ad-
vanced visual eld loss.
Retained Visual Sensaons During Ophthalmic Regional
Blocks
Many paents experience intraoperave visual
sensaons that include light, colours, movements and in-
struments during surgery under all forms of local ophthal-
mic anaesthesia. Although the majority of paents feel
comfortable with the visual sensaons they experience, a
small proporon nd the experience unpleasant or fright-
ening. Therefore, paents receiving orbital blocks should
receive preoperave advice as this may alleviate an un-
pleasant experience.
1,3
Intraoperave Care and Monitoring
The paent should be comfortable and so pads
are placed under the pressure areas. All paents undergo-
ing major eye surgery under local anaesthesia should be
monitored with pulse oximetry, ECG, non-invasive blood
pressure measurement and the maintenance of verbal con-
tact. Paents should receive an oxygen-enriched breathing
atmosphere to prevent hypoxia and at a ow rate enough
to prevent re-breathing and the ensuing hypercarbia once
draped. ECG and pulse oximetry should be connued. Once
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
Ophtalmic Evisceration Surgery
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 74
the paent is under the drapes, verbal and tacle contacts
are maintained.
1,3
Dirences between younger and older Adult paent
Younger adult paent present more of a challenge
an achieving total akinesia than the elderly because of more
dense connecve ssues hindering access of anaesthecs
to the oculomotor nerve.
3
Needle Type and syringe size
Tradional teaching favoured blunt pped, inter-
mediated gauge needles with the supposed advantages
that blood vessels were pushed a side rather than trauma-
zed and that ssue planes could be more accurately de-
ne. (Fig.4). Although a commonly held belief among oph-
thalmologists, it is not true is more di cult to penetrate the
globe, the opc nerve sheath or blood vessels with a blunt
needle. Larger blunt needles compared with ne dispossible
ones cause more serious damage if the globe is penetrated.
Because dispossible cu ng needles produce minimal ssue
distoron, lile or no pain results. Tacle discriminaon is
progressively reduced with increasing needle size. Special
aenon should be paid to the lenght of needle entering
beyond orbital rim; 31 mm as measured from the orbit rim
should never be exceded in order to exclude opc nerve
impalement. All needles used for intracone or pericone.

Fig. 4. Needle for main inferotemporal injecon (27 gauge,
2 cm long).
Placement should be oriented tangenally to the
globe with the bevel opening faced towards the globe. Be-
cause less force has to be excerted, a change in resistance
to injectate ow is detected more easily by the injecng
hand when using a needle mounted on a smaller syringe
compared with a larger size. This ability to detect more eas-
ily changes in resistance to injecon is more important in
the avoidance of complicaons.
Preblock Inspecon of The Globe and Eyelids (See Fig. 5.)
Most, but not all, inferotemporal injecons may be
made with tranconjuncval entry. If on digital retracon of
the paents lower eyelid in a downward and outward di-
recon the eyelid margin is found to be ghtly held agains
the globe, if the globe is deeply, recessed within the globe
if there is the wide lateral canthal fold, or if the paent is
blinking uncontrollably, a transcutaneous approach is oen
the safest choice. In all cases the axial length measurement
of the globe is carefully note; in the presence of high myo-
pia, pericone as opposede to intracone, placement or even
general anaesthesia may be more prudent.
Intracone (Retrobulbar) Block
Although there is communality between the fat
compartement within and outside the geometric connes
of the cone of the rectus muscles, injectate placed in mid-
orbit intraconnaly (see Fig.7) compared with periconnaly
(see Fig.6) is more eecve in producing globe akinesia.
Precision placement is the key to avoidance of complica-
on.
Fig. 5. Preblock inspecon of the globe and eyelid
Tabel.1. Summary nerve supply to the orbit
ANDI SALAHUDDIN
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 75
Fig.6.Periconal/ Extraconal (Peribulbar) block.


Fig.7. Intracone (Retrobulbar) block
Fig.8.. Inferotemporal pericone injecon
Pericone (Peribulbar, Periocular) Block
Although injectate deposited within the orbit but
not entering the geometric connes of the cone of the rec-
tus muscles was introduced as being safer than intraconal
blocking for avoidance of serious complicaons, neverthe-
less problems have been reported. Knowledge of orbital
anatomy is as important as with intracone techniques.
A failure rate to achieve akinesia with periconal
blocking of up to 50% has been reported, there are many
variaons of the pericone technique, a common one as be-
ing placement in two locaons, one in the inferotemporal
kwadrant, and one in the superonasal quadrant. A prefer-
able alternave to the laer site of injecon is the fat com-
partement of the nasal side of the medial rectus muscle.
Access of local anaesthecs to the motor nerve supply of
the superior oblique muscle and, by spread through the
orbital septum, of the orbicularis muscle, are promoted.
Addionally enhance peripheral conjuncval anaesthesia,
eliminates intraoperave discomfort, somemes encoun-
tered in low volume solely intracone techniques. The
roune combinaon of inferotemporal pericone injecon
with superonasal pericone injecon (medial compartement
block recommended) (Fig.9.) produces block anaesthesia/
akinesia, intraoperave paent comfort and eyelid akinesia
beer than other techniques.
Inferotemporal injecon
The lower lid is retracted manually and the needle
is placed halfway between the lateral canthus and the lat-
eral limbus (edge of the iris). The injecon is not painful as
it is passing through an already anaesthesed conjuncva.
If there is not enough room for the needle to be posioned
correctly then the injecon may be made directly through
the skin (see.Fig.9) .
Fig. 9. Superonasal pericone injecon.
Classically the point of needle inseron was made
in line with the edge of the limbus, however more recently
a point midway between here and the lateral canthus has
been adopted. The needle is advanced in the sagial plane,
parallel to the orbital oor passing under the globe. There
is no need to apply pressure to the syringe as it will easily
advance without resistance. When the needle p is judged
to be past the equator of the globe the direcon is changed
to point slightly medial (20) and cephalad (10 upwards) to
avoid the bony orbital margin. Advance the needle unl the
hub (which is at 2.5 cm) is at the same depth as the iris. It
is important to orientate the bevel of the needle facing the
globe and any movement of the eye during needle inseron
should alert the anaesthest to possible globe penetraon.
Avoid any tendancy to wiggle the needle to conrm the
globe is disengaged as this only increases the risk of perfo-
raon. Following negave aspiraon, 5-8 ml of the soluon
is slowly injected. There should not be any resistance while
injecng. If resistance is encountered, the p of the needle
may be in one of the extraocular muscles and should be
reposioned.
During the injecon the lower lid may ll with the
anaesthec mixture and there may be some conjuncval
oedema (chemosis). Should the upper lid close quickly or
the globe become tense or proptosed aer only small vol-
umes of local anaesthec mixture the needle point is likely
to be retrobulbar, and cauon should be taken not to inject
further. Within 5-10minutes of this injecon, most paents
will develop adequate anaesthesia and akinesia. Some pa-
ents however may not and a top up injecon can be given
either at the same site or via a nasal approach.
1,3,5
The same needle is inserted through the skin/ con-
juncva on the nasal side, medial to the caruncule and di-
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
Ophtalmic Evisceration Surgery
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 76
rected straight back parallel to the medial orbital wall point-
ing slightly cephalad (20) unl the hub of the needle is at
the same level as the iris.
The needle traverses the tough medial canthal
ligament and may require rm gentle pressure. This may
cause the the eye to be pulled medially briey. Aer nega-
ve aspiraon up to 5ml of the anaesthec mixture is in-
jected. The eye is then closed with adhesive tape. A piece
of gauze is placed over the lids and pressure applied with a
Macintyre oculopressor or Honan balloon for 10 minutes
at a pressure of 30 mmHg. If no oculopressor is available
gently press on the eye with the ngers of one hand. This
is to lower intraocular pressure (IOP) by reducing aqueous
humour producon and increasing its reabsorbon. Assess-
ment of the block is usually judged aer an interval of 10
minutes.1,3,5
The signs of a succesful block are:
5
Ptosis (drooping of the upper lid with inability to open
the eyes)
Either no eye movement or minimal movement in any
direcon (akinesia)
Inability to fully close the eye once opened.

Fig.10. Assesment of the block ( eye movement lateral, me-
dial, inferior, superior)
A simple akinesia score known as the Brahma score
can be used for assessment of the block. Eye movement is
assessed in four direcons inferior, superior, medial and
lateral. Normal movement is scored at 3, paral movement
at 2 and and ickering movement at 1 and no movement
is scored at zero. A score of less than 2 is acceptable. Since
the local anaesthec is placed outside the muscle cone the
concentraon around the opc nerve may not be su cient
to abolish vision completely. Some light percepon will
therefore remain, however the paent is not able to see
the operaon. If, aer 10 minutes the block is inadequate
a supplementary injecon of 2-5 ml of the anaesthec mix-
ture may be required. If the residual eye movements are
downward and lateral, the supplementary injecon is given
at the inferotemporal site and if upward and medial, at the
nasal site. Pressure is then reapplied for a further 10 min-
utes.
5
Complicaons of Needle Block
3,5
There are many complicaons of needle blocks,
ranging from simple to serious, that have been reported
in many reviews. The complicaons may be limited to the
orbit or may be systemic. Orbital complicaons include fail-
ure of the block, corneal abrasion, chemosis, conjuncval
haemorrhage, vessel damage leading to retrobulbar haem-
orrhage, globe perforaon, globe penetraon, opc nerve
damage and extraocular muscle damage. Systemic compli-
caons, such as local anaesthec agent toxicity, brainstem
anaesthesia and cardio-respiratory arrest, may be due to
intravenous or intrathecal injecons or the spread or mis-
placement of drug in the orbit during or immediately aer
injecon.
3

Intravascular injecon and anaphylaxis can occur,
hence resuscitaon facilies must always be readily avail-
able.
Haemorrhage - retrobulbar haemorrhage is char-
acterised by rapid orbital swelling and proptosis along with
a sudden rise of IOP and usually requires surgery to be post-
poned. The surgeon should be informed immediately and
the pulsaon of the central renal artery assessed. A lateral
canthotomy can be performed to alleviate the rise in IOP.
It is very rare with shallow retrobulbar or peribulbar injec-
ons (0.07%). Subconjuncval haemorrhage is less signi-
cant as it will eventually be absorbed.
Subconjuncval oedema (chemosis): This is un-de-
sirable as it may interfere with suturing. It can be minimised
by slowing the rate of injecon. It rapidly disappears when
gentle pressure is applied to the closed eye.
Penetraon or perforaon of the globe (<0.1%) -
this is more likely to occur in myopic eyes which are lon-
ger but also thinner than normal and may have developed
staphylomata. A diagnosis of perforaon may be made if
there is pain at the me the block is performed, sudden loss
of vision, hypotonia, a poor red reex or vitreous haemor-
rhage. Perforaon may be avoided by carefully inserng the
needle tangenally and by not going up and in unl the
needle p is clearly past the equator of the globe.
Central spread of local anaesthec - this is due to
either direct injecon into the dural cu which accompa-
nies the opc nerve to the sclera or to retrograde arterial
spread. A variety of symptoms may follow including drowsi-
ness, voming, contra-lateral blindness caused by reux
of the drug to the opc chiasma, convulsions, respiratory
depression or arrest, neurological decit and even cardiac
arrest. These symptoms usually appear within about 5min.
Oculomedullary reexes discussed below.
Opc nerve atrophy. Opc nerve damage and
renal vascular occlusion may be caused by direct damage
to the opc nerve or central renal artery, injecon into
the opc nerve sheath or haemorrhage within the nerve
sheath. These complicaons may lead to paral or com-
plete visual loss.
Oculomedullary reexes
5
Oculocardiac reex causes bradycardia, nodal
rhythms, ectopic beats or sinus arrest due to pressure, tor-
sion or tracon on the extraocuar muscles. It is a trigemino-
vagal reex the aerent arc is via long and short ciliary
nerves to the ciliary ganglion and the ophthalmic division of
the trigeminal nerve with the eerent impulses conveyed
by the vagus. This reex most commonly occurs in paediat-
ric squint paents. Local anaesthec blocks may aenuate
the aerent arc and muscarinic antagonists block the eer-
ent limb at the level of the heart. Hypercarbia sensises the
reex and should be avoided.
3,4,5
Oculorespiratory reex may cause shallow
breathing, reduced respiratory rate and even full respira-
ANDI SALAHUDDIN
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 77
tory arrest. The aerent pathways are similar to the above
reex and it is thought that a connecon exists between the
trigeminal sensory nucleus and the pneumotacc centre in
the pons and medullary respiratory centre. Again this reex
is commonly seen in strabismus surgery and atropine has
no eect. If controlled venlaon is not rounely employed
then extra aenon is needed.
5
Oculoemec reex is likely responsible for the
high incidence of voming aer squint surgery (60- 90%).
Again this is a trigemino-vagal reex with tracon on the
extraocular muscles smulang the aerent arc. Whilst an-
emecs may reduce the incidence, a regional block tech-
nique provides the best prophylaxis.
5
Jerome Morrel. et.al demonstrate in randomized,
double-blind, controlled study that 1% ropivacaine peribul-
bar (PB) block in conjuncon with general anesthesia (GA)
were similar with respect to the incidence of postoperave
nausea and voming. Overall, PB block combined with GA
improves operave condions and postoperave analgesia
compared with GA combined with subcutaneous normal
saline injecon into the inferior eyelid.
6
Regional versus general anaesthesia.
1,3,4,5

Advantages
May be performed as day cases.
Produce good akinesia and anaesthesia.
Minimal aect on IOP.
Requires minimum equipment.
Disadvantages
Not suitable for some paents (children, mentally
handicapped, deaf, language barrier).
Complicaons as above.
Depends on the skill of anaesthest.
Unsuitable for certain types of surgery (e.g. dacro-
cystorhinostomy-DCR).
RECOVERY IN THE SURGICAL FACILITY
What can I expect aer the operaon unl I go
home?
Aer surgery, you will be taken to the postanesthe-
sia care unit, oen called the recovery room. Your anesthe-
siologist will direct the monitoring and medicaons needed
for your safe recovery. For about the rst 30 minutes, you
will be watched closely by specially trained nurses. Dur-
ing this period, you may be given extra oxygen, and your
breathing and heart funcons will be observed closely. In
some facilies, you may then be moved to another area
where you will connue to recover, and family or friends
may be allowed to be with you. Here you may be oered
something to drink, and you will be assisted in ge ng up.
Will I have any side eects?
The amount of discomfort you experience will de-
pend on a number of factors, especially the type of surgery.
Your doctors and nurses can relieve pain aer your surgery
with medicines given by mouth, injecon or by numbing
the area around the incision. Your discomfort should be tol-
erable, but do not expect to be totally pain-free. Nausea or
voming may be related to anesthesia, the type of surgi-
cal procedure or postoperave pain medicaons. Although
less of a problem today because of improved anesthec
agents and techniques, these side eects connue to occur
for some paents. Medicaons to minimize postoperave
pain, nausea and voming are oen given by your anesthe-
siologist during the surgical procedure and in recovery.
When will I be able to go home?
This will depend on the policy of the surgery cen-
ter, the type of surgery and the anesthesia used. Most pa-
ents are ready to go home between one and four hours
aer surgery. Your anesthesiologist will be able to give you
a more specic me esmate. Occasionally, it is necessary
to stay overnight. All ambulatory surgical facilies have ar-
rangements with a hospital if this is medically necessary.
What instrucons will I receive?
Both wrien and verbal instrucons will be given.
Most facilies have both general instrucons and instruc-
ons that apply specically to your surgery.
In general, for 24 hours aer your anesthesia:
Do not drink alcoholic beverages or use nonprescrip-
on medicaons.
Do not drive a car or operate dangerous machinery.
Do not make important decisions.
You will be given telephone numbers to call if you have any
concerns or if you need emergency help aer you go home.
RECOVERY AT HOME
What can I expect?
Be prepared to go home and nish your recovery
there. Paents oen experience drowsiness and minor aer
eects following ambulatory anesthesia, including muscle
aches, sore throat and occasional dizziness or headaches.
Nausea also may be present, but voming is less common.
These side eects usually decline rapidly in the hours fol-
lowing surgery, but it may take several days before they are
gone completely. The majority of paents do not feel up to
their typical acvies the next day, usually due to general
redness or surgical discomfort. Plan to take it easy for a
few days unl you feel back to normal. Know that a period
of recovery at home is common and to be expected.
CONCLUSION
Eye blocks provide excellent anaesthesia for oph-
thalmic surgery and success rates are high. Sasfactory an-
aesthesia and akinesia can be obtained with both needle
and cannula. Although rare, orbital injecons may cause se-
vere local and systemic complicaons. Knowledge of orbital
anatomy and training are essenal for the pracce of safe
orbital regional anaesthesia and the aim of ambulatory an-
aesthesia low cost, paent safety and sasfacon come
true.
REFERENCE
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
Ophtalmic Evisceration Surgery
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 78
1. Hamilton, R.C. Techniques of Orbital Regional An-
esthesia. Brish Journal Of Anesthesia 1995;75:
88 92.
2. Posner, KL: Liability Prole of Ambulatory Anesthe-
sia. ASA Newsleer. 2000; 64(6):10-12.
3. Chandra M Kumar. Review Arcle: Ophthal-
mic Regional Block. Ann Acad Med Singapore
2006;35:158-67
4. American Society of Ophthalmic Plasc and Recon-
strucve Surgery. COPYRIGHT 2005, ASOPRS.
ALL RIGHTS RESERVED
5. Dr. Kim Chish. Anaesthesia for Ophthalmic Sur-
gery Part 1, 25/5/2009. ANAESTHESIA TUTORIAL
OF THE WEEK 135, 25TH MAY 2009. email worldan-
aesthesia@mac.com.
6. Jerome Morel, MD. et.al. Preoperave Peribulbar
Block in Paents Undergoing Renal Detachment
Surgery Under General Anesthesia: A Randomized
Double-Blind Study. Anesth Analg 2006;102:1082
7.
7. Bakht Samar Khan, Mohammad Naeem Khan, Ak-
bar Shah, Zia ul Islam. Evisceraon, Enucleaon,
and Exentraon: painful but life saving surgical pro-
cedures. Pakistan J. Med. Res. 2005. Vol. 44, No.2.
8. Takuya Miyawaki, DDS, PhD, et.al. Dexmedetomi-
dine Enhances the Local Anesthec Acon of Li-
docaine via an -2A Adrenoceptor. Anesth Analg
2008;107:96 101
ANDI SALAHUDDIN
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 79
Majalah Anestesia & Crical Care menerima
arkel penelian yang original yang relevan dengan
bidang kesehatan dan kedokteran. Majalah Anestesia &
Crical Care juga menerima njauan pustaka, laporan
kasus, penyegaran ilmu kedokteran, penegasan, dan
surat kepada redaksi.
1. Arkel penelian: Berisi arkel mengenai hasil
penelian original dalam ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan pada umumnya. Format terdiri atas:
Pendahuluan: Berisi latar belakang, masalah, dan
tujuan penelian. Bahan dan cara: Berisi desain
penelian, tempat dan waktu, populasi dan sampel,
cara pengukuran data, dan analisis data. Hasil:
Dapat disajikan dalam bentuk teksbular, tabular,
atau grakal. Berikan kalimat pengantar untuk
menerangkan tabel atau gambar tetapi jangan
mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel atau
gambar. Diskusi: Berisi pembahasan mengenai hasil
penelian yang ditemukan. Bandingkan Hasil tersebut
dengan Hasil penelian lain. Jangan mengulang apa
yang telah ditulis di bab Hasil. Kesimpulan: Berisi
pendapat penulis berdasarkan hasil peneliannya.
Ditulis ringkas, padat, dan relevan dengan hasil.
2. Tinjauan Pustaka: Merupakan arkel review dari
jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan
kesehatan yang mutakhir.
3. Laporan Kasus: Berisi arkel tentang kasus di klinik
yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan
di kalangan Sejawat lainnya. Format terdiri atas:
Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.
4. Penyegaran ilmu kedokteran: Berisi arkel yang
mengulas berbagai hal lama tetapi masih up do date
dan perlu selalu diingat.
5. Penegasan: Tulisan atau laporan yang menyangkut
dunia kedokteran atau kesehatan yang perlu
disebarluaskan.
Petunjuk umum
Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum
pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi,
Majalah Anestesia & Crical Care dak menerima makalah
yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang
bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memaskan
bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan
menyetujui makalah.
Semua makalah yang dikirimkan ke Majalah
Anestesia & Crical Care akan dibahas para pakar dalam
bidang keilmuan dan redaksi. Makalah akan dievaluasi
oleh dewan redaksi dan bila diperlukan akan dilakukan
perubahan dengan dak mengubah isi dan maksud
makalah. Makalah yang perlu perbaikan format atau isi
akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki.
Penulisan Makalah
Makalah termasuk tabel, daar pustaka, dan
gambar harus dikek dalam Microso Word, 2 spasi,
pada kertas ukuran 21,5 X 28 cm (kertas A4), dengan
jarak dari tepi minimal 2,5 cm, jumlah halaman maksimal
(arkel asli: 15 halaman, laporan kasus: 10 halaman,
njauan pustaka: 20 halaman, penyegaran: 3 halaman,
dan surat kepada redaksi: 1 halaman). Seap halaman
diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman
judul sampai halaman terakhir. Kirimkan dalam bentuk
makalah 2 buah dan disket. Makalah yang dikirim dak
akan dikembalikan pada penulis.
Halaman judul
Halaman judul berisi judul makalah, nama seap
penulis dengan gelar akademik ternggi dan lembaga
aliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor
telepon, nomor faksimili, dan alamat e-mail. Judul singkat
dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf dan
spasi.
Abstrak dan kata kunci
Abstrak untuk Arkel Penelian, Tinjauan Pustaka,
dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan
Inggris dalam bentuk terstruktur dengan jumlah maksimal
masing-masing 250 kata. Abstrak arkel penelian harus
berisi Latar belakang dan tujuan penelian, Metode, Hasil
Utama, dan Kesimpulan Utama. Abstrak dibuat ringkas
dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami
tentang aspek baru atau penng tanpa harus membaca
seluruh makalah.
Kata kunci dicantumkan pada halaman yang sama
dengan abstrak, sesuai dengan UNIFORM REQUIREMENTS
yang diterbitkan oleh Internaonal Commiee of Medical
Journal Editors di Vancouver, Brish Columbia pada tahun
1997. Br Med J 1998;296:401-5. Pilih 3-5 buah kata yang
dapat membantu penyusun indeks.
Cara Penulisan Daar Pustaka
Penulisan Daar Pustaka: Nomor kepustakaan
berdasarkan urutan datang didalam teks, Vancouver
style. Contoh cara penulisannya:
Dari Jurnal:
6. Ohata H, lida H, Dohi S, Watanabe Y. Intravenous
dexmedetomidine inhibits cerebrovascular dilataon
induced by isourane and sevourane in dogs. Anest
I PEDOMAN BAGI PENULIS I
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 80
Analg 1999;89:370-7.
7. Andrew PJ, Murugavel S, Deehan S. Convenonal
mulmodality monitoring and failure to detect
ischemic cerebral blood ow. J Neurosurg
Anesthesiol 1996;8(3):220-6.
Dari buku:
1. Avellino AM, Lam AM, Winn HR. Management
of acute head injury. In: Albin MS, ed. Textbook
of neuroanesthesia with neurosurgical and
neuroscience perspecves. New York:McGraw-Hill,
Inc;1997,1137-75.
2. Le Roux PD, Winn HR. Surgical management of
acutehead injury. In: Lam AM, ed. Anesthet
ic managementof acute head injury. New York:
McGraw-Hill, Inc; 1995,101-104.
Catatan
1. Pada penulisan daf tar pustaka mohon diperhakan
penempatan tanda k, koma, k koma; k
dua, dan mana yang harus dicetak miring.
2. Apabila ada kesulitan pengiriman naskah ke alamat
Redaksi, dapat mengirimkan ke alamat Prof. Dr. Amir
S. Madjid, dr., SpAn KIC melalui E-mail: majalah.
anestesia@gmail.com.
Contoh Abstrak Penelian
Abstract
Background and objecve: There is a few study
of adding sodium bicarbonate to ropivacaine. The
objecve of this study is to evaluate e cacy sodium
bicarbonate as addive to ropivacaine on the onset and
duraon of epidural blockade.
Methods: This studies included 32 paents on
epidural anesthesia for inguinal herniorraphy. The
subject were divided into two groups, 16 paents for each
group, group 1 ropivacaine 20 ml that added 0,03 meq
sodium bicarbonate 8,4% prior the soluon was injected
and group II ropivacaine 20 ml that added 0,1 ml
saline. The paents were given 15 ml/kg Lactats ringer
as preloading 15 minutes before epidural anesthesia.
Intraoperave outcomes compared included the onset
and the duraon of sensory and motor blockade, peak
level of sensory blockade, and the side eects.
Result: Ropivacaine that added 0,03 meq sodium
bicarbonate hasten the onset of sensory and motoric
blockade. However, the duraon of epidural blockade,
peak level of sensory blockade, quality of intraoperave
analgesia, relaxaon and side eect comparable.
Conclusion: Adding 0,03 meq sodium bicarbonate
8,4% to ropivacaine soluon prior injecon produces
epidural anesthesia with hasten the onset of sensory
and motoric blockade without changes the duraon of
sensory and motoric blockade.
Keywords: epidural anesthesia, herniorrhaphy,
ropivacaine, sodium bicarbonate.
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Masih sedikit
penelian tentang penambahan sodium bikarbonat
pada ropivakain. Penelian ini untuk mengetahui
efekvitas sodium bikarbonat sebagai tambahan pada
ropivakain terhadap mula kerja dan lama kerja blokade
epidural.
Metode: Penelian ini dilakukan terhadap
32 pasien status sik ASA I-II, usia 18-60 tahun yang
menjalani herniora dengan anestesi epidural. Pasien
dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 16 orang,
kelompok I Ropivakain 0,75% 20 ml ditambah 0,03
meq sodium bikarbonat 8,4% beberapa saat sebelum
obat disunkkan, kelompok II Ropivakain 0,75% 20 ml
ditambah 0,1 ml salin. Pasien diberikan cairan ringer
laktat 15 ml/kg sebagai preloading 15 menit sebelum
ndakan anestesi epidural. Diteli mula kerja, lama kerja
blokade motorik dan sensorik, nggi blokade sensorik
puncak, efektas dan efek samping intraoperaf.
Hasil: Pada kelompok ropivakain-sodium
bikarbonat mula kerja blokade sensorik dan motorik
lebih cepat daripada kelompok ropivakain-salin
sedangkan lama kerja, nggi blokade sensorik puncak,
kualitas analgesia dan relaksasi motorik serta efek
samping sebanding.
Simpulan: Penambahan 0,03 meq sodium
bikarbonat 8,4% pada 20 ml ropivakain 0,75%
menghasilkan anestesi epidural dengan mula kerja
blokade sensorik dan motorik yang lebih cepat tanpa
mempengaruhi lama kerja.
Kata kunci: anestesi epidural, herniora, ropivakain,
sodium bikarbonat.
Contoh Abstrak Laporan Kasus
Abstract
In severe head injury due to tra c accident or
other traumas that causes intracranial and extracranial
haemmorhage and contussio cerebri, that requires an
immediate craniotomy surgery to evacuate the blood
clot, will need a spesic anesthesia technique and
monitoring equipment in order to achieve a maximum
result, especially in paents with an underlying disease
before the head injury occured. For example in
paents with history of chronic renal failure (uremic),
heart problems, diabetes mellitus, obesity, etc. These
problems are quite challenge for anesthesiologist in
order to perform a good and accurate perioperave
management in preoperave, durante operave,
and post operave. A solid team of anesthesiologist,
neurosurgeon, internist, nephrologist and cardiologist
must work together to achieve the best result for the
paent.
This is a case report of 43 years old male, 110 kg,
PEDOMAN BAGI PENULIS
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 81
who has admied to the hospital with main complaint
of nausea, vomi ng, weakness and anorexia. The
paent was diagnosed with chronic renal failure with
ureum 395 mg/dl and creanine 24,4mg/dl. This paent
was advised by the nephrologist and internist to
underwent a hemodialysis treatment, but the paent
refused the treatment. The paent fell from the stairs and
sueres a decrease in consciousness with GCS E1V2M3.
Subdural haematome with Subarachnoid Haemorrhage
and Contussio cerebri was found in CT Scan.
A Cito craniotomy surgery was performed to
evacuate the hematome. The operaon was well managed
and a free heparin post operave hemodialysis was
performed. On the third day, while having a hemodialysis
session, the paents blood pressure decreased to 70/40
mmHg and heart rate 50x/min then the paent had a
cardiac arrest. The paents death was presumed due to
side eects of hemodialysis which are hypotension and
Dialysis Disequillibrium Syndrome.
Keywords: severe head injury, chronic renal failure,
hemodialysis, dialysis disequllibrium syndrome.
Abstrak
Pada pasien yang mengalami trauma kepala
berat baik oleh karena kecelakaan lalu lintas maupun
trauma lainnya yang menyebabkan pendarahan
intrakranial, ekstrakranial, maupun contussio cerebri
(memar otak) yang harus segera dilakukan ndakan
pembedahan kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah,
memerlukan suatu teknik anestesi tertentu dan alat
monitoring khusus untuk mencapai hasil yang maksimal,
apalagi keadaan pasien mempunyai kelainan penyakit
penyerta sebelum terjadinya trauma kepala. Misalnya
pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (uremia),
kelainan jantung, diabetes melitus, obesitas dan lain-
lain. Hal ini merupakan permasalahan atau tantangan
untuk dokter anestesi untuk melakukan manajemen
perioperaf yang teli, baik dari prabedah, bedah dan
pascabedah. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
m yang dapat bekerjasama antara dokter anestesi,
bedah saraf, penyakit dalam, nefrologis, dan kardiologis
agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam ndakan
tersebut.
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang
laki-laki 43 tahun dengan berat badan 110 kg yang
dirawat di rumah sakit dengan keluhan mual, muntah,
lesu dan dak ada nafsu makan. Pasien ini didiagnosis
dengan gagal ginjal kronis dengan ureum 395 mg/
dl dan kreanin 24,4 mg/dl. Pada pasien ini dianjurkan
oleh nefrologis dan internis untuk segera dilakukan
hemodialisis (HD) namun pasien menolak untuk
dilakukan hemodialisa. Tiba-ba pasien terjatuh keka
menuruni tangga dan mengalami penurunan kesadaran
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1 V2 M3. Pada CT
Scan dijumpai subdural hematom dengan perdarahan
subaraknoid dan contussio cerebri.
Dilakukan cito kraniotomi untuk evakuasi
hematom. Operasi berjalan dengan lancar dan pada
pasca bedah dilakukan hemodialisis tanpa memakai
ankoagulan (free heparin). Namun, pada hari kega
pascabedah saat dilakukan HD kedua ba-ba pasien
mengalami penurunan tekanan darah 70/40 mmHg dan
denyut jantung 50x/menit dan akhirnya mengalami hen
jantung dan dilakukan RJPO, tapi dak berhasil. Pasien
meninggal diduga dari HD, yaitu hipotensi dan Dialysis
Disequillibrium Syndrome (DDS) yang menyebabkan
edema otak akut.
Kata Kunci: trauma kepala berat, gagal ginjal kronis,
hemodialisis, Dialysis Disequllibrium Syndrome.
Contoh Abstrak Tinjauan Pustaka
Abstract
Evidenced Based Medicine (EBM) is the
conscienous, explicit, and judicious use of the
current best evidence in making decisions about the care
of individual paents. The pracce of EBM means
integrang individual clinical experse with the best
available external clinical evidence from systemac
research. Good doctors use both individual clinical
experse and the best available external evidence, and
either of them is not enough.
An ever changing and rapidly developed nature
of medical eld is basic reason why EBM become an
important need for paents management. EBM
pracse is a life long and self directed learning
process, where needs for important clinical informaon
on diagnoscs, prognoscs, treatment and other related
clinical issue must be connued by crical appraisal and
prudent applicaon.
EBM is not restricted to randomized trials and
metaanalysis. It involves tracking down the best external
evidence with which to answer our clinical quesons.
However, some quesons about therapy do not
require randomized trials or cannot wait the trial to be
conducted. And if no randomized trial has been carried
out paents predicament we follow the trail to the next
best external evidence and work from there.
EBM process need a master new skills such as ability
on searching informaons e ciently, and applicaons
of formal method on reviewing the evidence.
Keywords: Evidenced Based Medicine, metaanalysis,
clinical pracce
Abstrak
Evidence Based Medicine (EBM) adalah
penggunaan buk terbaik dan terkini secara berha-
ha, teli, tegas, dan bijaksana dalam membuat
keputusan tentang perawatan atau penanganan pasien
secara individual. Prakk EBM berar penanganan
pasien secara individual dengan buk klinis eksternal
PEDOMAN BAGI PENULIS
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 82
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Januari 2010 83
terbaik yang ada dari penelian yang sistemas. Seorang
dokter yang baik menggunakan keduanya, baik keahlian
klinis individu maupun buk eksternal terbaik yang
tersedia, salah satu saja dak akan mencukupi.
Perubahan yang terus-menerus dan begitu cepat
dalam bidang kedokteran menjadi alasan kuat mengapa
EBM semakin menjadi kebutuhan dalam pelayanan
kesehatan. Prakk EBM adalah suatu proses seumur
hidup dan belajar terarah mandiri, di mana perawatan
pasien kita sendiri mendorong kebutuhan akan informasi
yang penng tentang diagnosis, prognosis, pengobatan,
dan isu-isu klinik serta perawatan kesehatan lainnya,
yang diiku dengan penelian secara kris validitas
buk -buk tersebut, menerapkan hasil penelaahan
ini semua pada prakk klinik, serta mengevaluasi kerja.
EBM dak sekedar terbatas pada randomized
trials atau metaanalisis. EBM melibatkan pencarian
buk eksternal terbaik yang digunakan untuk menjawab
berbagai masalah klinis. Banyak masalah pengobatan
dak memerlukan randomized trials atau dak dapat
menunggu suatu uji dilakukan, dalam hal seper ini
dapat digunakan buk eksternal yang ada dan mulai
bekerja dengan memanfaatkannya.
EBM menuntut seorang klinisi menguasai skill
baru, di antaranya adalah kemampuan pencarian
literatur yang esien, dan aplikasi dari aturan formal
suatu buk hasil penelian untuk menilainya.
Kata kunci: Evidence Based Medicine, metaanalisis,
prakk klinik.
PEDOMAN BAGI PENULIS

You might also like