You are on page 1of 42

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu Diskusi
Seorang anak perempuan berusia tiga tahun dibawa oleh orang tuanya ke
IGD dengan keluhan badan membiru. Badan tiba-tiba membiru disertai
pernafasan cepat dan anak tidak sadarkan diri. Anak ini saat lahir sudah biru dan
jika beraktivitas atau menangis kuat bisa langsung biru. Serangan ini dapat
terjadi satu sampai dua kali dalam satu bulan. Terkadang serangan datang saat
bangun tidur atau saat sedang demam. Pasien secara rutin berkonsultasi pada
dokter spesialis jantung.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
Hipoksia : Kekuranan pasokan oksigen pada jaringan
1.3 Kata Kunci
1.3.1 Anak perempuan 3 tahun
1.3.2 Badan membiru (riwayat lahir)
1.3.3 Beraktivitas atau menangis kuat bisa langsung biru
1.3.4 Serangan dating saat bangun tidur atau demam
1.3.5 S1 irregular
1.3.6 Hipoksia
1.3.7 Takikardi dan takipneu
1.3.8 Anak tidak sadarkan diri
1.3.9 Komponen pulmonal melemah
1.3.10 Murmur sistolik di katup aorta
1.4 Rumusan Masalah
Anak perempuan berusia 3 tahun datang ke IGD denan keluhan utama badan
biru disertai takipneu dan tidak sadarkan diri dengan riwayat lahir sudah biru.
2

1.5 Analisis Masalah



























Anak perempuan
3tahun
a. Sianosis
b. takipneu
Membiru saat menangis
kuat atau beraktivitas
Auskultasi Split S2
Tetralogy of Fallot
DD:
Transposition of Great Artery
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Tatalaksana
Prognosis
3

1.6 Hipotesis
Anak perempuan 3 tahun mengalami Tetralogy of Fallot
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan embriologi sistem kardiovaskuler!
2. Apa itu sianosis?
3. Jelaskan patofisiologi sianosis!
4. Jelaskan mengenai Penyakit Jantung Bawaan!
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Klasifikasi
e. Gejala Klinis
f. Tatalaksana
5. Jelaskan mengenai Tetralogy of Fallot!
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Klasifikasi
e. Gejala Klinis
f. Tatalaksana
g. Prognosis
6. Jelaskan mengenai TGA (Transposition of the Great Artery)!
a. Definisi
b. Gejala Klinis
c. Perbedaan dengan Tetralogy of Fallot
7. Apa penanganan pertama untuk kasus pada pemicu?
8. Apa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk kasus pada
pemicu?
4

9. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada pemicu?
10. Mengapa serangan datang saat bangun tidur atau demam?
11. Mengapa saat beraktivitas dan menangis anak tersebut langsung kebiruan?
























5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Embriologi sistem kardiovaskuler
1

Perkembangan jantung dimulai pada hari 18 atau 19 di mesoderm setelah
fertilisasi. Pada ujung kepala embrio, jantung berkembang dari sekelompok sel-sel
mesodermal yang disebut area kardiogenik. Setelah mendapatkan sinyal dari
endoderm, mesoderm di area ini kemudian membentuk sepasang untaian panjang
yang korda kariogenik. Kedua korda ini kemudian masing-masing membentuk
saluran berongga yang disebut endocardial tubes. Pada hari ke-21 setelah
fertilisasi, kedua tabung endokardial ini saling mendekati dan bergabung menjadi
satu tabung yang disebut primitive heart tube.
Pada hari ke-22, primitive heart tube terbagi menjadi 5 regio dan mulai
memompa darah. Regio-regio tersebut jika diurutkan dari kaudal ke cranial adalah
sinus venosus, atrium, ventrikel, bulbuskordis, dan trunkus arteriosus. Sinus
venosus mendapat darah dari semua vena embryo tersebut.
Sinus venosus kemudian akan berdiferensiasi menjadi sinus coronarius,
sinoatrial node dan sebagian atrium dextrum. Atrium akan berdiferensiasi menjadi
aurikula sinistra, atrium sinistrum, dan sebagian atrium dextrum. Ventrikel akan
berdiferensiasi menjadi ventrikel sinistra, sementara bulbus cordis menjadi
ventrikel dextra. Trunkus arteriosus akan berdiferensiasi menjadi aorta asendens
dan trunkus pulmonalis.
Pada hari ke-23, primitive heart tube mulai memanjang. Karena bulbus cordis
dan ventrikel lebih cepat berkembang dibandingkan region lainnya dan karena
ujung vena serta ujung atrial tabung ditutupi oleh pericardium, primitive hart tube
mulai tertekuk. Awalnya primitive heart tube berbentuk U, setelah tertekuk
primitive heart tube akan berbentuk S. Akibat proses yang selesai di hari ke-28 ini,
atria dan ventrikel mengalami reposisi hingga ke posisi jantung dewasa.
6


Gambar 1. Perkembangan jantung
Padahari ke-28, mesoderm pada dinding dalam jantung menebal dan
membentuk endocardial cushions. Endoncardial cushion akan saling menyatu,
kemudian terbelah dan membagikan alis atrioventrikularis menjadi 2 bagian, kiri
dan kanan. Septum interatrial mulai tumbuh menuju endocardial cushion. Septum
ini kemudian menyatu dengan endocardial cushion dan membentuk foramen
ovale, sebuah lubang di septum interatrial. Setelah lahir, foramen ovale akan
menutup.
7


Gambar2.Pemisahan 4 ruang jantung

12. Sianosis
a. Definisi
Sianosis adalah suatu keadaan dimana kulit dan membrane mukosa
berwarna kebiruan akibat penumpukkan deoksihemoglobin pada pembuluh
darah kecil pada area tersebut. Sianosis biasanya paling terlihat pada bibir,
kuku, dan telinga. Derajat sianosis terlihat dari warna dan ketebalan kulit yang
terlibat. Sebenarnya peniliaian akurat dari derajat sianosis ini sulit ditentukan
karena tingkat penurunan saturasi oksigen pada membran mukosa, seperti
mulut dan konjungtiva lebih bermakna daripada pemeriksaan kulit.
b. Patofisiologi sianosis
Sianosis mengarah pada warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa
yang merupakan hasil dari peningkatan kuantitas dari hemoglobin tereduksi
atau derivat dari hemoglobin dari pembuluh darah kecil dari jaringan.
Biasanya terlihat dari bibir, bantalan kuku, dan telinga.
Derajat dari sianosis dipengaruhi oleh warna dari pigmen pada kulit dan
ketebalan dari kulit, serta keadaan kapiler pada daerah kulit.
8

Peningkatan dari jumlah hemoglobin teroksidasi pada pembuluh darah
mukosa yang menyebabkan sianosis dapat dibawa dengan baik dengan
peningkatan jumlah dari darah pada vena sebagai akibatnya dilatasi dari venul
dan vena akhir kapiler atau dengan pengurangan SaO2 pada darah di kapiler.
Secara umum sianosis dapat terlihat bila konsentrasi hemoglobin tereduksi
pada pembuluh darah melebihi 40 g/L.
3
13. Penyakit Jantung Bawaan
a. Definisi
Penyakit jantung bawaan adalah kelainan susunan jantung, mungkin sudah
terdapat sejak lahir. Perkataan susunan berarti menyingkirkan aritmia
jantung sedangkan mungkin sudah terdapat sejak lahir berarti tidak selalu
dapat ditemukan selama beberapa minggu atau bulan setelah lahir.
4
b. Etiologi
1. Genetik
Sebagian besar penyebab penyakit jantung congenital adalah perubahan
gen baik itu berupa mutasi, delesi, atau adisi pada segmen-segmen DNA
tertentu.
5
Abnormalitas besar kromosom seperti trisomi 21, 13, dan
merupakan penyebab pada 5-8% kasus penyakit jantung kongenital.
6
Abnormalitas kecil kromosom juga berperan dalam terbentuknya penyakit
jantung congenital seperti mikro delesi lokus 22q11 pada kromatid panjang
kromosom 22, mikrodelesi lokus 1q21 pada kromatid panjang kromosom
1, mikrodelesi lokus 8p23 kromatid pendek kromosom 8, dan sebagainya.
7

2. Lingkungan
Faktor-faktor penyebab prenatal dari lingkungan antara lain adalah infeksi
Rubella, penggunaan obat-obatan teratogenik seperti thalidomide, dan
penyakit yang dialami oleh ibu (diabetes mellitus, phenylketonuria, dan
systemic lupus erythematosus).
8
Beberapa studi menyatakan bahwa ibu-ibu
9

hamil dengan obesitas (BMI 30) terdapat resiko signifikan untuk
melahirkan anak dengan penyakit jantung congenital dibandingkan dengan
ibu-ibu hamil dengan BMI normal (BMI = 19-24,9).
9,10

c. Epidemiologi
Cacat jantung bawaan adalah jenis penyakit yang paling umum dari cacat
lahir di Amerika Serikat, mempengaruhi hampir 1 % dari atau sekitar 40.000
kelahiran per tahun. Prevalensi beberapa cacat jantung bawaan, terutama jenis
ringan, meningkat, sedangkan prevalensi jenis lainnya tetap stabil. Jenis yang
paling umum dari cacat jantung adalah defek septum ventrikel.
Saat ini, tidak ada program pelacakan berbasis populasi untuk
mengumpulkan data tentang anak-anak dan orang dewasa dengan cacat
bawaan jantung. Oleh karena itu, metode lain telah digunakan untuk
memperkirakan jumlah individu dengan cacat ini diantara pertumbuhan
populasi ini. Salah satu studi memperkirakan bahwa, pada tahun 2002, ada
650.000 menjadi 1,3 juta orang dewasa yang hidup dengan cacat jantung
bawaan. Untuk memperkirakan ini , peneliti menggunakan prevalensi saat lahir
dan diperkirakan jumlah individu diharapkan untuk bertahan hidup, dengan
dan tanpa pengobatan. Studi lain memperkirakan bahwa , pada tahun 2000,
sekitar 850.000 orang dewasa yang hidup dengan cacat jantung bawaan,
dengan sekitar 80.000 dari individu-individu yang hidup dengan cacat jantung
berat. Berdasarkan studi tersebut , ada kemungkinan hampir 1 juta orang
dewasa di Amerika Serikat hidup dengan cacat jantung bawaan.
Cacat jantung bawaan adalah penyebab utama kelahiran cacat terkait
penyakit dan kematian bayi. Selama periode 1999-2006, ada 41.494 kematian
yang berhubungan dengan cacat jantung bawaan di Amerika. Selama periode
ini , cacat jantung bawaan tercatat sebagai penyebab utama kematian 27.960
orang. Hampir setengah (48 %) dari kematian akibat cacat jantung bawaan
terjadi selama masa bayi (kurang dari usia 1 tahun).
10

Setidaknya 15 % dari cacat jantung bawaan berhubungan kondisi genetik.
Sekitar 20 % sampai 30 % dari orang-orang dengan cacat jantung bawaan
memiliki masalah fisik lainnya atau gangguan perkembangan ataupun
gangguan kognitif.
11
d. Klasifikasi
Penyakit Jantung Bawaan dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu PJB
sianotik dan asianotik.
12
1. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik adalah kelainan struktur dan
fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis;
misalnya lubang di sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan,
kelainan salah satu katup jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel
atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung. Masing-
masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan
vaskuler paru.
Berdasarkan ada tidaknya pirau, kelompok asianotik terbagi atas 2
kelompok, yaitu kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan dan kelompok
tanpa pirau.
a. Kelompok dengan pirau kiri ke kanan adalah sebagai berikut:
1. Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada
jantung berupa lubang pada septum yang memisahkan ventrikel
sehingga terdapat hubungan antara antar rongga ventrikel. Defek ini
dapat terletak dimanapun pada sekat ventrikel, baik tunggal atau
banyak, serta ukuran dan bentuk dapat bervariasi.
11

Insidensi DSV terisolasi adalah sekitar 2 6 kasus per 1000
kelahiran hidup dan terjadi lebih dari 20% dari seluruh kejadian
PJB. Defek ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
Klasifikasi DSV dibagi berdasarkan letak defek yang terjadi,
yaitu:
i. Perimembranasea, merupakan lesi yang terletak tepat di bawah
katup aorta. Defek Septum Ventrikel tipe ini terjadi sekitar 80%
dari seluruh kasus DSV.
ii. Muskular, merupakan jenis DSV dengan lesi yang terletak di
otot-otot septum dan terjadi sekitar 5 20% dari seluruh angka
kejadian DSV.
iii. Suprakristal, jenis lesi DSV ini terletak di bawah katup
pulmonalis dan berhubungan dengan jalur jalan keluar ventrikel
kanan. Persentase kejadian jenis DSV jenis ini adalah 5 7% di
negara-negara barat dan 25% di kawasan timur.
Gejala klinis DSV cukup bervariasi, mulai dari asimtomatis,
gagal jantung berat, ataupun gagal tumbuh. Semua ini sangat
bergantung kepada besarnya defek serta derajat piraunya sendiri,
sedangkan lokasi defek sendiri tidak mempengaruhi derajat
ringannya manifestasi klinis yang akan terjadi. Pada DSV kecil
dengan pirau kiri-ke-kanan dan tekanan arteri pulmonalis yang
normal, pasien biasanya tidak menunjukkan gejala dan kelainan
ditemukan ketika pemeriksaan fisik. Pada defek berukuran besar
dengan peningkatan aliran darah paru dan hipertensi pulmonalis,
pasien dapat mengalami dispnea, kesulitan makan, gangguan
pertumbuhan, infeksi paru berulang, dan gagal jantung pada awal
masa bayi.
12

2. Defek Septum Atrium
12

Defek Septum Atrium (DSA) adalah anomali jantung
kongenital yang ditandai dengan defek pada septum atrium akibat
gagal fusi antara ostium sekundum, ostium primum, dan bantalan
endokardial. Defek Septum Atrium dapat terjadi di bagian manapun
dari septum atrium, tergantung dari struktur septum atrium yang
gagal berkembang secara normal.
Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran hidup dan terhitung
7% dari seluruh kejadian PJB. Prevalensi DSA pada wanita lebih
tinggi daripada pria dengan perbandingan 2:1.
Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada septum
atrium, yaitu:
i. Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium
primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek
di dasar septum. Kejadian DSA Ostium Primum pada wanita
sama dengan pria dan terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus
PJB.
ii. Ostium Sekundum, merupakan tipe lesi DSA terbanyak (70%)
dan jumlah kasus pada wanita 2 kali lebih banyak daripada pria.
iii. Sinus Venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai
dengan malposisi masuknya vena kava superior atau inferior ke
atrium kanan. Insidensi defek ini diperkirakan 10% dari seluruh
kasus DSA.
Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang
berukuran kecil sampai sangat besar dan menyebabkan pirau dari
atrium kiri ke atrium kanan dengan beban volume lebih banyak di
atrium dan ventrikel kanan. Gejala pada anak dan neonatus
umumnya asimtomatis, namun bila pirau cukup besar maka pasien
dapat mengalami sesak nafas dan sering mengalami infeksi paru.
13

Gagal jantung sangat jarang ditemukan. Pada anak dengan pirau
kiri-ke-kanan berukuran besar biasanya mengeluhkan cepat lelah
dan dispnea. Gagal tumbuh jarang didapati.
3. Defek Septum Atrioventrikularis
Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV) ditandai dengan
penyatuan DSA dan DSV disertai abnormalitas katup
atrioventrikular.
Defek Septum Atrioventrikularis terhitung 4 5% dari seluruh
kasus PJB. Predileksi defek ini antara pria dan wanita sama
banyaknya.
Gejala dapat timbul pada minggu pertama dan gagal jantung
pada bulan-bulan pertama kelahiran. Riwayat intoleransi olahraga,
cepat lelah, dan Pneumonia berulang dapat ditemukan, terutama
pada bayi dengan pirau kiri-ke-kanan dan mitral insufisiensi mitral
yang berat.
4. Duktus Arteriosus Persisten
Seperti namanya, Duktus Arteriosus Persisten (DAP)
disebabkan oleh duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah bayi
lahir. Jika duktus tetap terbuka setelah penurunan resistensi
vaskular paru, maka darah aorta dapat bercampur ke darah arteri
pulmonalis.
Kelainan ini merupakan 7% dari seluruh PJB dan sering
dijumpai pada bayi prematur.
Gejala klinis yang muncul tergantung ukuran duktus. Duktus
berukuran kecil tidak menyebabkan gejala dan biasanya diketahui
jika terdapat suara murmur saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada
pasien dengan DAP berukuran besar, pasien akan mengalami gejala
14

gagal jantung. Gangguan pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala
utama pada bayi yang menderita DAP besar.
b. Kelompok tanpa pirau meliputi:
1. Stenosis Pulmonalis (SP)
Obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, baik dalam tubuh
ventrikel kanan, pada katup pulmonalis, atau dalam arteri
pulmonalis, diuraikan sebagai Stenosis Pulmonalis (SP).
Stenosis Pulmonalis terjadi sekitar 7.1 8.1 per 100.000
kelahiran hidup. Defek ini cenderung terjadi pada wanita.
Gejala klinis umumnya asimtomatis meskipun stenosis cukup
besar. Anak bisa saja tampak sehat, tumbuh kembang normal
dengan wajah moon face, dapat berolahraga seperti normal, dan
tidak terdapat infeksi saluran nafas yang berulang. Walaupun
demikian, pasien yang awalnya tidak menunjukkan gejala dalam
perkembangan penyakitnya dapat timbul gejala yang bervariasi dari
dispnea ringan saat olahraga sampai gejala gagal jantung,
tergantung keparahan obstruksi dan tingkat kompensasi
myokardium. Obstruksi sedang-berat dapat menyebabkan
peningkatan aliran darah paru selama berolahraga sehingga terjadi
kelelahan yang diinduksi olahraga, sinkop, atau nyeri dada.
2. Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat
terjadi pada tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular.
Kelainan mungkin tidak terdiagnosis pada masa anak-anak karena
katup berfungsi normal, hanya saja akan ditemukan bising sistolik
yang lunak di daerah aorta dan baru diketahui pada masa dewasa
sehingga terkadang sulit dibedakan apakah stenosis aorta tersebut
merupakan penyakit jantung bawaan atau didapat.
15

Insidensi SA pada anak mendekati 5% dari seluruh kejadian
PJB. Defek ini lebih sering terjadi pada pria.
Gejala klinis asimtomatis, namun pada gejala yang cukup
berat dapat ditemukan nyeri substernal, sesak nafas, pusing, atau
sinkop pada saat bekerja atau olahraga. Bayi dengan SA terisolasi
dapat disertai denga gagal jantung kronik pada beberapa bulan awal
kehidupan dan menunjukkan tanda dan gejala klasik gagal jantung,
berupa dispnea, kesulitan makan, dan berat badan tidak bertambah.
3. Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KoA) adalah suatu obstruksi pada aorta
desendens yang terletak hampir selalu pada insersinya duktus
arteriosus.
Prevalensi KoA di Amerika Serikat adalah sebesar 6 8%
dari seluruh kasus PJB dan prevalensinya di Asia (<2%) lebih
rendah daripada di Eropa dan negara Amerika Utara. Rasio kejadian
defek ini pada pria dan wanita adalah 2:1.
Gejala yang tampak pada masa neonatus umumnya
merupakan jenis koarktasio yang berat. Gejala dapat hilang timbul
mendadak. Tanda klasik KoA adalah nadi brakhialis yang teraba
normal atau meningkat, nadi femoralis serta dorsalis pedis teraba
kecil atau tidak teraba sama sekali dan harus ditekankan
pemeriksaan tekanan darah pada keempat ekstremitas. Pasien dapat
menunjukkan gejala di beberapa minggu awal kehidupan berupa
kesulitan makan, takipnea, dan letargia. Gejala dapat memburuk
menjadi gagal jantung dan syok.
12



16

2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Sesuai dengan namanya, manifestasi klinis yang selalu terdapat pada
penyakit jantung sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah kebiruan pada
mukosa yang disebabkan oleh terdapatnya lebih dari 5 gr/dl hemoglobin
tereduksi dalam sirkulasi.
Dibandingkan dengan pasien PJB non sianotik, jumlah pasien PJB
sianotik lebih sedikit. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, PJB sianotik
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada PJB
non sianotik.
a. Tetralogi Fallot
Tetralogi Fallot (TF) merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu
Defek Septum Ventrikel (DSV), over-riding aorta, Stenosis Pulmonal
(SP), serta hipertrofi ventrikel kanan. Komponen paling penting untuk
menentukan derajat beratnya penyakit adalah SP yang bersifat
progresif.
Tetralogi Fallot merupakan PJB jenis sianotik dengan angka
kejadian terbanyak dengan insidensi 1 3 kasus per 1000 kelahiran
hidup.
Manifestasi klinis TF mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu
baru lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah
tumbuh. Jari tabuh pada sebagian besar pasien sudah mulai tampak
setelah berumur 6 bulan. Salah satu manifestasi yang penting pada TF
dalah terjadinya seranga sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells,
paroxysmal hyperpnea) yang ditandai oleh timbulnya sesak nafas
mendadak, nafas cepat dan dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan
dapat pula disertai kejang atau sinkop. Pertumbuhan dan perkembangan
dapat terhambat pada pasien TF yang berat dan tidak terobat, terutama
jika saturasi oksigen kurang dari 70%.
17

b. Transposisi Arteri Besar
Transposisi Arteri Besar (TAB) ditandai dengan aorta yang secara
morfologi muncul dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis muncul
dari ventrikel kiri. Pada 60% pasien, aorta berada di bagian anterior
kanan dari arteri pulmonalis walaupun di beberapa kasus aorta dapat
berada di bagian anterior kiri dari arteri pulmonalis.
Insidensi TAB yang tercatat adalah 20 30 per 10.000 kelahiran
hidup. Defek ini lebih dominan terjadi pada pria dengan persentase 60
70% dari seluruh kasus.
Gejala klinis dapat berupa sianosis, penurunan toleransi olahraga,
dan gangguan pertumbuhan fisik, mirip dengan gejala pada TF;
walaupun begitu, jantung tampak membesar. Sianosis biasanya terjadi
segera setelah lahir dan dapat memburuk secara progresif. Gejala gagal
jantung kongestif mulai tampak dalam 2 6 minggu.
c. Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh
Pada Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh (APSVU),
daun katup pulmonalis berfusi secara lengkap sehingga membentuk
membran dan tidak terdapat jalan keluar (outflow) ventrikel kanan.
Tidak terdapat aliran darah di ventrikel kanan karena tidak adanya
hubungan antarventrikel.
Defek ini terjadi 7.1 8.1 per 100.000 kelahiran hidup dengan
persentase 0.7 3.1% dari seluruh kasus PJB di Amerika Serikat.
Sianosis telah jelas tampak dalam hari-hari pertama pascalahir.
Bayi sesak dengan gejala gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik, tidak
terdengar bising, atau terdengar bising pansistolik insufisiensi trikuspid,
atau terdengar bising duktus arteriosus.


18

d. Ventrikel Kanan dengan Jalan Keluar Ganda
Ventrikel Kanan dengan Jalan Keluar Ganda (VKAJKG), yang
dalam kepustakaan barat disebut Double Outlet Right Ventricle
(DORV), adalah kelainan jantung yang ditandai dengan malposisi
arteri-arteri besar, septum outlet, atau keduanya, yang menyebabkan
kedua arteri besar muncul dari ventrikel kanan. Defek ini terjadi 1-1.5%
dari seluruh kejadian PJB.
Presentasi klinis VKAJKG sangat bervariasi, bergantung kepada
kelainan hemodinamiknya; defek ini dapat mirip DSV, TAB, atau TF.
Oleh karena itu, diagnosis tidak mungkin ditegakkan atas dasar
gambaran klinis saja. Jika defek ini disertai dengan SP, terjadi
penurunan aliran darah paru sehingga terjadi sianosis yang cukup berat
seperti gejala TF. Pasien VKAJKG tanpa SP memiliki gejala yang
sama dengan DSV, yaitu peningkatan aliran darah paru sehingga terjadi
takipnea dan kardiomegali.
e. Atresia Trikuspid
Istilah Atresia Trikuspid (AT) menggambarkan agenesis katup
trikuspid kongenital dan merupakan jenis PJB sianotik terbanyak
setelah TF dan TAB. Pada defek ini, tidak terdapat aliran dari atrium
kanan menuju ventrikel kanan sehingga seluruh aliran balik vena
sistemik masuk ke bagian kiri jantung melalui foramen ovale atau jika
terdapat defek pada septum atrium.
Insidensi AT diperkirakan 1 per 10.000 kelahiran hidup dengan
estimasi prevalensi AT dari seluruh kasus PJB adalah 2.9% dari autopsi
dan 1.4% dari penegakkan diagnosis setelah dilakukan pemeriksaan
berulang.
Sianosis biasanya muncul segera setelah lahir, dengan penyebaran
yang dipengaruhi oleh tingkat keterbatasan aliran darah pulmonal.
19

Apabila aliran darah paru berkurang maka pasien akan tampak sianotik;
semakin sedikit darah ke paru maka semakin jelas sianosis yang
terjadi.
12
e. Tatalaksana
28

Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan
penyakit jantung bawaan dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan
hidup yang lebih panjang. Umumnya tata laksana penyakit jantung bawaan
meliputi tata laksana non-bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-
bedah meliputi tata laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi.
Tata laksana medikamentosa umumnya bersifat sekunder sebagai akibat
komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain
yang menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medikamentosa untuk
menghilangkan gejala dan tanda di samping untuk mempersiapkan operasi.
Lama dan cara pemberian obat-obatan tergantung pada jenis penyakit yang
dihadapi.
Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit
yang sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung
bawaan. Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada
hubungannya dengan progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini
terdapat ketergantungan pada tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk
ke dalam golongan penyakit jantung bawaan kritis. Tetap terbukanya duktus
ini diperlukan untuk (1) percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya
pada transposisi arteri besar dengan septum ventrikel utuh, (2) penyediaan
darah ke aliran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis
pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid, (3) penyediaan darah
untuk aliran sistemik, misalnya pada stenosis aorta berat, koarktasio aorta
20

berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri. Perlu diketahui
bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara dan
merupakan upaya untukmenstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan
operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan
struktural jantung yang mendasarinya.
Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang
harus dilakukan adalah (1) mempertahankan suhu lingkungan yang netral
misalnya pasien ditempatkan dalam inkubator pada neonatus, untuk
mengurangi kebutuhan oksigen, (2) kadar hemoglobin dipertahankan dalam
jumlah yang cukup, pada neonatus dipertahankan di atas 15 g/dl, (3)
memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa, (4)
memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah
aliran darah ke paru, (5) pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus
tetap terbuka dengan dosis permulaan 0,1g/kg/menit dan bila sudah terjadi
perbaikan maka dosis dapat diturunkan menjadi 0,05 g/kg/menit Obat ini
akan bekerja dalam waktu 10- 30 menit sejak pemberian dan efek terapi
ditandai dengan kenaikan PaO
2
15-20 mmHg dan perbaikan pH. Pada PJB
dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang
terbuka lebar dapat memperbaiki sirkulasi paru sehingga sianosis akan
berkurang. Pada PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung duktus
arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan menjamin sirkulasi sistemik
lebih baik. Pada transposisi arteri besar, meskipun bukan merupakan lesi yang
bergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan
memperbaiki percampuran darah.
Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan
pengobatan yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera
diberikan dengan memakai sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang
21

adekuat harus dilakukan intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan
ventilasi mekanis. Prostaglandin E1 0,1 g/kg/menit dapat diberikan untuk
melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan
lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan dengan dosis dan
cara yang sama dengan tata laksana gagal jantung.
Pada pasien PJB dengan gagal jantung , tata laksana yang ideal adalah
memperbaiki kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-
obatan bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus
dipandang sebagai terapi sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan.
Pengobatan gagal jantung meliputi (1) penatalaksanaan umum yaitu istirahat,
posisi setengah duduk, pemberian oksigen, pemberian cairan dan elektrolit
serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan gangguan elektrolit yang ada.
Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu dilakukan ventilasi mekanis (2)
pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obat-obat yang
digunakan pada gagal jantung antara lain (a) obat inotropik seperti digoksin
atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk
neonatus misalnya, dipakai dosis 30 g/kg. Dosis pertama diberikan setengah
dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam kemudian sebesar seperempat
dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat
dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam pemberian dosis terakhir dengan
dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat inotropik isoproterenol dengan
dosis 0,05-1 g/kg/menit diberikan bila terdapat bradikardia, sedangkan bila
terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 g/kg/menit atau dopamin bila
laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 g/kg/menit. Digoksin tidak
boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika ada
penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan intoksikasi
digitalis. (b) vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-
0,5 mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral. Terakhir (c) diuretik, yang sering
22

digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/ hari per oral atau
intravena.
Bedah Jantung
Kemajuan dalam bidang perinatology memungkinkan bayi dengan
keadaan umum yang buruk dapat bertahan hidup. Sementara itu perkembangan
teknologi diagnostic telah mampu mendeteksi kelainan jantung secara dini
pada bayi baru lahir, bahkan sejak dalam kandungan dengan ekokardiografi
janin. Di dalam bidang bedah jantung, kemampuan untuk melakukan operasi
ditunjang oleh (1) teknologi pintas jantung-paru yang sudah semakin aman
untuk bayi dengan berat badan yang rendah, (2) tersedianya instrument yang
diperlukan, (3) perbaikan kemampuan unit perawatan intensif pasca bedah, dan
(4) pengalaman tim dalam mengerjakan kasus yang rumit.

Pada prinsipnya penanganan penyakit jantung bawaan harus dilakukan
sedini mungkin. Koreksi definitif yang dilakukan pada usia muda akan
mencegah terjadinya distorsi pertumbuhan jantung, juga mencegah terjadinya
hipertensi pulmonal. Operasi paliatif saat ini masih banyak dilakukan dengan
tujuan memperbaiki keadaan umum, sambil menunggu saat operasi korektif
dapat dilakukan. Namun tindakan paliatif ini seringkali menimbulkan distorsi
pertumbuhan jantung, di samping pasien menghadapi risiko operasi dua kali
dengan biaya yang lebih besar pula. Oleh karena itu terus dilakukan upaya
serta penelitian agar operasi jantung dapat dilakukan pada neonatus dengan
lebih aman. Kecenderungan di masa mendatang adalah koreksi definitif
dilakukan pada neonatus.
Bentuk operasi paliatif yang sering dikerjakan pada penyakit jantung
bawaan antara lain (1) Banding arteri pulmonalis. Prosedur ini dilakukan
dengan memasang jerat pita dakron untuk memperkecil diameter arteri
23

pulmonalis. Banding arteri pulmonalis dilakukan pada kasus dengan aliran
pulmonal yang berlebihan akibat pirau dari kiri ke kanan di dalam jantung
seperti pada defek septum ventrikel besar, ventrikel kanan jalan keluar ganda
tanpa stenosis pulmonal, defek septum atrioventrikular, transposisi arteri besar,
dan lain-lain. (2) Pirau antara sirkulasi sistemik dengan pulmonal. Prosedur ini
dilakukan pada kelainan dengan aliran darah paru yang sangat berkurang
sehingga saturasi oksigen rendah, anak menjadi biru dan sering disertai
asidosis. Jenis-jenis operasi pirau antara lain: (a) Blalock-Taussig klasik, yaitu
membebaskan arteri subklavia dan menyam- bungkannya ke arteri pulmonalis
kiri atau kanan, (b) Modifikasi Blalock-Taussig, memasang pipa Gore-Tex
antara arteri subklavia dengan arteri pulmonalis kanan atau kiri, (c) Pirau
sentral, membuat hubungan antara aorta dengan arteri pulmonalis (Waterson,
Potts, dengan Gore-Tex) dan (d) Pirau antara vena kava superior dengan arteri
pulmonalis (Glenn shunt atau bidirectional cavo-pulmonary shunt). (3)
Septostomi atrium. Prosedur ini dilakukan pada bayi sampai usia 3 bulan,
yakni dengan kateter balon melalui vena femoralis. Tindakan ini dapat
dilakukan di ruang perawatan intensif dengan bimbingan ekokardiografi, atau
dapat juga dikerjakan di ruangan kateterisasi jantung. Pada anak yang lebih
besar, tindakan ini dilakukan menurut metode Blalock-Hanlon. Septos- tomi
atrium dilakukan pada transposisi arteri besar untuk menambah percampuran
darah, pada anomali parsial drainase v. pulmonalis untuk mengurangi
bendungan v. pulmonalis, dan pada atresia trikuspid untuk mengurangi
bendungan vena sistemik.
Kemajuan yang pesat dalam pembedahan memung- kinkan dilakukannya
tindakan korektif pada penyakit jantung bawaan. Tindakan pembedahan
korektif ini terutama dilakukan setelah ditemukan rancang-bangun oksigenator
yang aman, khususnya pada bayi kecil. Metode yang banyak dipakai adalah
henti sirkulasi, sehingga lapangan operasi menjadi bersih dari genangan
24

darah dan tidak terganggu oleh kanula vena. Ada beberapa kelainan jantung
bawaan yang memerlukan pembedahan korektif pada usia neonatus misalnya
anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi, transposisi tanpa
defek septum ventrikel, trunkus arteriosus dengan gagal jantung. Sebagian lagi
pembedahan dapat ditunda sampai usia lebih besar, atau memerlukan operasi
paliatif untuk menunggu saat yang tepat untuk koreksi.
Kardiologi Intervensi
Salah satu prosedur pilihan yang sangat diharapkan di bidang kardiologi
anak adalah kardiologi intervensi nonbedah melalui kateterisasi pada pasien
penyakit jantung bawaan. Tindakan ini selain tidak traumatis dan tidak
menimbulkan jaringan parut, juga diharap- kan biayanya lebih murah.
Meskipun kardiologi intervensi telah dikembangkan sejak tahun 1950, namun
hingga pertengahan tahun 1980 belum semua jenis intervensi trans-kateter
dapat dikerjakan pada anak, termasuk balloon atrial septostomy.
Di Indonesia kardiologi intervensi pada anak dimulai pada tahun 1989,
diawali dengan kemajuan di bidang balloon mitral valvotomy yang dilakukan
di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada kasus stenosis katup mitral.
Kemudian disusul prosedur balloon atrial septostomy pada tahun 1989. Pada
tahun yang sama balloon pulmonal valvotomy mulai dikerjakan. Selanjutnya
prosedur intervensi yang dilakukan adalah oklusi duktus arteriosus persisten
dengan coil Gianturco yang baru dimulai 3 tahun terakhir. Di Indonesia sejauh
ini baru 3 pusat pelayanan kardiologi anak yang melakukan intervensi
kardiologi, yaitu RS Jantung Harapan Kita dan RSUP Cipto Mangunkusumo di
Jakarta dan RSUP Dr. Soetomo Surabaya.

25

Berbagai jenis kardiologi intervensi antara lain adalah:
1. Balloon atrial septostomy (BAS) adalah prosedur rutin yang dilakukan
pada pasien yang memer- lukan percampuran darah lebih baik, misalnya
TAB (transposisi arteri besar) dengan septum ventrikel yang utuh.
Prosedur ini dilakukan dengan membuat lubang di septum interatrium, dan
biasanya dilakukan di ruang rawat intensif dengan bimbingan
ekokardiografi. Di RSJHK telah dilakukan 64 prosedur BAS dan
umumnya prosedur ini berhasil menciptakan lubang di septum interatrium
dan memperbaiki kondisi pasien. Namun sebanyak 3 pasien mengalami
kegagalan karena sulitnya kateter balon memasuki foramen ovale paten
pada pasien dengan septum atrium yang melengkung atau atrium kiri yang
kecil. Satu pasien meninggal karena perforasi di daerah vena pulmonalis.
2. Balloon pulmonal valvuloplasty (BPV) kini merupakan prosedur standar
untuk melebarkan katup pulmonal yang menyempit, dan ternyata hasilnya
cukup baik, dan biayanya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan
operasi. Di RSJHK, prosedur ini sejak tahun 1985 telah dilakukan pada 48
kasus stenosis katup pulmonal yang seringkali disertai stenosis
infundibulum. Umumnya pasca BVP kondisi fisik pasien bertambah baik.
Penyulit terjadi pada 1 kasus karena muskulus papilaris katup trikuspid
putus saat tindakan dikerjakan sehingga memerlukan pembedahan
emergensi.
3. Balloon mitral valvotomy (BMV) umumnya dikerjakan pada kasus
stenosis katup mitral akibat demam reumatik.
4. Balloon aortic valvuloplasty (BAV) belum dilakukan rutin dan kasusnya
juga jarang dijumpai. Prosedur ini baru dikerjakan pada 2 kasus.
5. Penyumbatan duktus arteriosus menggunakan coil Gianturco juga
dikerjakan pada beberapa kasus, namun belum dianggap rutin karena
harga coil dan peralatan untuk memasukkan coil tersebut cukup mahal.
26

Tindakan ini telah dilakukan pada 12 kasus dengan duktus arteriosus
persisten, kesemuanya memakai coil Gianturco. Penyulit hemolisis terjadi
pada 3 kasus.


6. Di Subbagian Kardiologi FKUI/RSCM tindakan intervensi kardiologi
yang pernah dilakukan adalah dilatasi balon dan pemasangan stent pada
arteri renalis pada pasien arteritis Takayasu. Pasca tindakan kondisi pasien
baik dan tekanan darah turun. Tindakan lainnya seperti penutupan DSA
(defek septum atrium), DSV (defek septum ventrikel), fistula koroner,
MAPCA (major aortico -pulmonary collateral arteries) belum pernah
dilakukan.
7. Di Institut Jantung Negara Kuala Lumpur Malaysia, penutupan duktus
arteriosus persisten dilakukan dengan menggunakan umbrella, coil dan
ADO (amplatzer ductal occluder); sedangkan untuk defek septum atrium
ditutup dengan mengguna- kan ASO (amplatzer septal occluder).14 Di
Royal Children,s Hospital Melbourne, Australia telah dilakukan
penutupan defek septum ventrikel tipe muskular yang sulit dioperasi
dengan amplatzer device.
14. Tetralogy of Fallot
a. Definisi
Tetralogy of fallot (ToF) merupakan penyakit jantung bawaan sianotik
yang terdiri dari empat kelainan khas, yaitu defek septum ventrikel (ventricular
septal defect, VSD), stenosis infundibulum ventrikel kanan atau biasa disebut
stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan overriding aorta.
13,14

b. Etiologi
Kebanyakan penyebab dari kelainan jantung bawaan tidak diketahui,
biasanya melibatkan berbagai faktor.

27

Faktor prenatal yang berhubungan dengan resiko terjadinya tetralogi
Fallot adalah:
1. Selama hamil, ibu menderita rubella (campak Jerman) atau infeksi
virus lainnya
2. Gizi yang buruk selama
3. Ibu yang alkoholik
4. Usia ibu diatas 40 tahun
5. Ibu menderita diabetes
6. Tetralogi Fallot lebih sering ditemukan pada anak-anak yang
menderita sindroma Down
Tetralogi Fallot dimasukkan ke dalam kelainan jantung sianotik karena
terjadi pemompaan darah yang sedikit mengandung oksigen ke seluruh tubuh,
sehingga terjadi sianosis (kulit berwarna ungu kebiruan) dan sesak nafas.
Mungkin gejala sianotik baru timbul di kemudian hari, dimana bayi mengalami
serangan sianotik karena menyusu atau menangis.
15

c. Patofisiologi
Sirkulasi darah penderita ToF berbeda dibanding pada anak normal.
Kelainan yang memegang peranan penting adalah stenosis pulmonal dan VSD.
Tekanan antara ventrikel kiri dan kanan pada pasien ToF adalah sama akibat
adanya VSD. Hal ini menyebabkan darah bebas mengalir bolak-balik melalui
celah ini. Tingkat keparahan hambatan pada jalan keluar darah di ventrikel
kanan akan menentukan arah aliran darah pasien ToF. Aliran darah ke paru
akan menurun akibat adanya hambatan pada jalan aliran darah dari ventrikel
kanan; hambatan yang tinggi di sini akan menyebabkan makin banyak darah
bergerak dari ventrikel kanan ke kiri. Hal ini berarti makin banyak darah
miskin oksigen yang akan ikut masuk ke dalam aorta sehingga akan
menurunkan saturasi oksigen darah yang beredar ke seluruh tubuh, dapat
menyebabkan sianosis. Jika terjadi hambatan parah, tubuh akan bergantung
28

pada duktus arteriosus dan cabang-cabang arteri pulmonalis untuk
mendapatkan suplai darah yang mengandung oksigen. Onset gejala, tingkat
keparahan sianosis yang terjadi sangat bergantung pada tingkat keparahan
hambatan yang terjadi pada jalan keluar aliran darah di ventrikel kanan.
16

d. Epidemiologi
Tetralogi Fallot (TF) merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu Defek
Septum Ventrikel (DSV), over-riding aorta, Stenosis Pulmonal (SP), serta
hipertrofi ventrikel kanan. Komponen paling penting untuk menentukan derajat
beratnya penyakit adalah SP yang bersifat progresif.
1
Tetralogi Fallot
merupakan PJB jenis sianotik dengan angka kejadian terbanyak dengan
insidensi 1 3 kasus per 1000 kelahiran hidup.
26

e. Klasifikasi
15

1. Derajat I : tak sianosis, kemampuan aktivitas normal
2. Derajat II : sianosis waktu aktivitas, kemampuan aktivitas kurang
3. Derajat III : sianosis waktu istirahat, waktu aktivitas sianosis bertambah,
ada dispneu.
4. Derajat IV : sianosis dan dispneu istirahat, ada jari tabuh.
f. Gejala Klinis
Anak dengan TOF umumnya akan mengalami keluhan :
17
1. Sesak, biasanya terjadi ketika anak melakukan aktivitas (misalnya
menangis atau mengedan)
2. Berat badan bayi tidak bertambah
3. Pertumbuhan berlangsung lambat
4. Jari tangan seperti tabuh gendering/ gada (clubbing fingers)
5. Sianosis/ kebiruan : sianosis akan muncul saat anak beraktivitas,
makan/menyusu, atau menangis dimana vasodilatasi sistemik (pelebaran
pembuluh darah di seluruh tubuh) muncul dan menyebabkan peningkatan
shunt dari kanan ke kiri (right to left shunt). Darah yang miskin oksigen
29

akan bercampur dengan darah yang kaya oksigen dimana percampuran
darah tersebut dialirkan ke seluruh tubuh. Akibatnya jaringan akan
kekurangan oksigen dan menimbulkan gejala kebiruan.
6. Anak akan mencoba mengurangi keluhan yang mereka alami dengan
berjongkok yang justru dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah
sistemik karena arteri femoralis yang terlipat. Hal ini akan meningkatkan
right to left shunt dan membawa lebih banyak darah dari ventrikel kanan ke
dalam paru-paru. Semakin berat stenosis pulmonal yang terjadi maka akan
semakin berat gejala yang terjadi.
g. Tatalaksana
Tata laksana ToF tergantung dari beratnya gejala dan dari tingkat
hambatan pulmoner. Operasi merupakan satu-satunya terapi kelainan ini,
bertujuan meningkatkan sirkulasi arteri pulmonal. Prostaglandin (0,2
g/kg/menit) dapat diberikan untuk mempertahankan duktus arteriosus sambil
menunggu operasi. Dapat dilakukan dua jenis operasi yakni operasi paliatif dan
operasi korektif. Operasi paliatif adalah dengan membuat sambungan antara
aorta dengan arteri pulmonal. Metode yang paling dikenal ialah Blalock-
Taussig shunt, yaitu a. subklavia ditranseksi dan dianastomosis end-to-side ke
a. pulmonal ipsilateral. Tingkat mortalitas metode ini dilaporkan kurang dari
1%.
18
Dikenal pula modified Blalock-Taussig shunt menggunakan Goretex graft
untuk menghubungkan a. subklavia dengan a pulmonal. Potts shunt yaitu
anastomosis side-to-side antara aorta desenden dengan a.pulmonal. Waterston-
Cooley shunt, mirip dengan Potts shunt yaitu anastomosis side-toside antara
aorta asenden dengan a. pulmonal. Bedah koreksi menjadi pilihan tata laksana
ToF ideal yang bertujuan menutup defek septum ventrikel, reseksi area
stenosis infundibulum, dan menghilangkan obstruksi aliran darah ventrikel
kanan. Kebanyakan pusat kesehatan hanya akan melakukan operasi korektif
30

pada usia tiga sampai enam bulan. Jika operasi harus dilakukan sebelumnya,
maka operasi paliatif menjadi pilihan utama. Kapan saat operasi untuk
mendapatkan hasil yang optimal masih belum dapat ditentukan.
19

Hypercyanotic spell
Mengatasi serangan hipersianosis membutuhkan manuver untuk
mengembalikan keseimbangan antara aliran sistemik dan pulmonal.
Pengobatan harus fokus pada mengurangi resistensi pulmonal, dan
meningkatkan resistensi sistemik untuk mendorong aliran kiri ke kanan (left to
right shunt) melalui VSD ke saluran keluar ventrikel kanan. Pengobatan bayi
dengan serangan hipersianosis antara lain sebagai berikut: Bayi harus
ditempatkan dalam posisi kneechest dalam upaya meningkatkan resistensi
vaskular sistemik dan menurunkan venous return sistemik. Oksigen diberikan
untuk mengurangi vasokonstriksi perifer paru, juga akan meningkatkan
oksigenasi ke paru-paru, setelah aliran darah ke paru diseimbangkan.
Pemberian morfi n sulfate, 0,1-0,2 mg/kg im atau sc untuk menekan pusat
pernapasan di sistem saraf pusat, mengurangi hyperpnea, menurunkan venous
return sistemik, dan mengurangi spasme infundibulum. Fenilefrin 0,02 mg/kg
IV digunakan untuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Propanolol
dapat digunakan apabila serangan masih berlanjut; dapat diberikan secara
intravena perlahan-lahan dengan pemantauan tanda-tanda bradikardia (jika
mungkin dengan EKG). Atasi asidosis dengan natrium bikarbonat untuk
menurunkan efek asidosis pada pusat pernapasan. Penggunaan
dexmedetomidine IV untuk mengatasi hipersianosis harus dititrasi dari dosis
sangat rendah 0,1-0,125 g/kg/jam (tanpa bolus). Jika tidak membaik dengan
salah satu langkah di atas, dan anatomi bayi memungkinkan, harus dilakukan
pembuatan shunt arteri sistemik ke arteri pulmonalis darurat atau koreksi
total.
19

31

Mayoritas pasien yang sudah dioperasi mengalami tumbuh kembang yang
baik hingga dewasa. Kontraindikasi operasi primer pada ToF adalah adanya
arteri koroner yang anomali, berat lahir sangat rendah, arteri pulmonal kecil,
multipel VSD, multiple malformasi intrakardiak. Pada neonatus dengan
kelainan medis multipel, balon valvulotomi pulmonal terbukti meningkatkan
saturasi oksigen, mencegah operasi paliatif emergensi, tetapi berisiko perforasi
arteri pulmonal. Studi Robinson et al menunjukkan valvuloplasti balon
intraoperatif menyebabkan pertumbuhan anulus yang signifi kan, dengan
normalisasi ukuran anulus. Teknik ini bisa sangat berguna untuk pasien
stenosis pulmonal moderate dan displasia katup pulmonal moderate. Tidak ada
studi yang menunjukkan bahwa terapi medikemantosa saja memperlambat
progresivitas menuju komplikasi. Penggantian katup pulmonal terbukti
menurunkan ukuran ventrikel kanan dan meningkatkan fungsi ventrikel kanan
jangka panjang. Therrien et al mendapatkan bahwa pada pasien yang menjalani
penggantian katup pulmonal kemungkinan bertahan hidup 92% sampai usia 5
tahun dan 86% sampai usia 10 tahun. Saat tepat untuk operasi masih
kontroversial; beberapa berpendapat penggantian katup pulmonal dilakukan
bila sudah terjadi disfungsi ventrikel kanan. Saat ini para ahli
merekomendasikan dilakukan sedini mungkin sebelum terjadi gagal jantung.
Ada pula rekomendasi operasi bila durasi QRS lebih dari 180 ms, namun
sebagian berpendapat operasi dilakukan sebelum hal tersebut terjadi. Setelah
keputusan operasi perlu ditentukan tipe katup buatan. Katup mekanis berisiko
trombosis dan perlu antikoagulan jangka panjang; warfarin sejak usia muda,
berisiko perdarahan hebat jika terjadi trauma. Katup bioprostetik ada 2 jenis
dari jaringan manusia (homograft) dan jaringan binatang (perikardium sapi
atau babi, tergantung ukuran yang diperlukan). Katup bioprostetik tidak
memerlukan antikoagulan, namun tidak bertahan lama dibandingkan katup
mekanis. Sekitar 45% katup bioprostetik gagal dalam 10 tahun sehingga perlu
32

operasi ulang. Di masa mendatang katup pulmonal dapat digantikan melalui
prosedur perkutaneus. Katup pulmonal transkateter Melody diimplantasikan
perkutaneus melalui vena femoralis dengan bantuan fl uoroskopi. Hasil awal
menjanjikan yaitu perbaikan insufi siensi pulmonal dan ukuran ventrikel kanan
secara signifi kan.
20,21,22
Tata Laksana Komplikasi
Diagnosis komplikasi ToF perlu ditegakkan terlebih dahulu. Diagnosis
abses serebri perlu diterapi selanjutnya. Kombinasi ampisilin dan
kloramfenikol merupakan pengobatan lini pertama. Kemudian antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur. Abses dengan diameter lebih dari 2 cm perlu
dioperasi. Pasien koma, ruptur abses serebri intraventrikular, multiple abses
serebri, edema serebri hebat, dan kondisi luluh imun
(immunocompromised)memiliki prognosis buruk. Tata laksana gagal jantung
pada penderita ToF adalah dengan mengatasi penyebab. Penyebab gagal
jantung sering berkaitan dengan penundaan bedah koreksi. Pada penderita ToF,
harus sedini mungkin dilakukan bedah korektif yang sesuai. Kombinasi
digoksin dan diuretik merupakan pilihan terapi pada pasien dengan komplikasi
gagal jantung. Penggunaan ACE inhibitor pada kasus ini belum cukup populer.
Keamanan digoksin diragukan pada kondisi hipoksia berat, fungsi miokard
yang sangat buruk, dan pada kondisi seperti ini ACE inhibitor menjadi pilihan.
Diuretik diperlukan untuk mengatasi edema pulmonal maupun sistemik,
namun dapat memperburuk kondisi polisitemia dan dapat meningkatkan risiko
trombo-emboli. Tata laksana endokarditis menggunakan antibiotik; sebaiknya
disesuaikan dengan hasil kultur, biasanya selama 4-8 minggu.
Tata laksana polisitemia pada ToF masih kontroversial. Plebotomi
berpotensi mengurangi gejala, dan dapat mengurangi risiko vaso-oklusi, namun
plebotomi berulang dapat menyebabkan defi siensi besi sehingga terbentuki
microcytic erythrocytes yang justru dapat menginduksi peningkatan viskositas
33

dengan segala konsekuensinya. Pada ToF, plebotomi dilakukan hanya untuk
mengatasi keadaan akut sindrom hiperviskositas.
23
h. Prognosis
4

Tanpa operasi prognosis tidak baik. Rata-rata mencapai umur 15 tahun,
tetapi semua ini bergantung pada besar kelainan. Ancaman anak dengan TF
adalah abses otak pada umur sekitar 2-3 tahun. Gejala neurologis disertai
demam dan leukositosis memberikan kecurigaan akan adanya abses otak. Jika
bayi dengan TF terdapat gangguan neurologis, maka cendrung untuk di
diagnosis trombosis pembuluh darah otak daripada abses otak. Anak dengan
TF cenderung mengalami perdarahan lebih banyak karena mengurangnya
trombosit dan fibrinogen. Kemungkinan timbulnya endokarditis bakterialis
selalu ada.
15. TGA (Transposition of the Great Artery)
a. Definisi
4

Kelainan yang terdapat pemindahan tempat aorta dan arteri pulmonalis.
Aorta berasal dari ventrikel kanan, arteri pulmoalis berasal dari ventrikel kiri.
b. Gejala Klinis
24

Manifestasi klinis pasien transposisi arteri besar bergantung percampuran
yang adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru. Terdapatnya foramen ovale,
duktus arteriosus persisten, stenosis pulmonalis, dan kelainan anatomi lain
yang menyertai TAB, akan menyebabkan manifestasi klinis TAB yang
berbeda-beda. Sianosis dan gagal jantung kongestif merupakan manifestasi
klinis yang terpenting. Sianosis tampak sangat jelas apabila komunikasi antara
sirkulasi paru dan sistemik tidak adekuat, dan akan berkurang kalau
pencampurannya baik. Karena TAB simpel tidak terdapat DSV maupun DSA,
maka tidak terdapat percampuran darah antara sirkulasi paru dan sistemik;
sirkulasi darah akan berlangsung paralel yang akan menyebabkan bayi akan
34

mengalami hipoksia hebat. Selain hal tersebut juga terdapat gejala klinis lain
berupa, penurunan toleransi olahraga, dan gangguan pertumbuhan fisik, mirip
dengan gejala pada TF; walaupun begitu, jantung tampak membesar.
c. Perbedaan dengan Tetralogy of Fallot
Kedua penyakit merupakan penyakit jantung congenital sianotik.
Perbedaan kedua penyakit dapat dilihat pada Gambar 3.
5
Dapat disimpulkan
bahwa pada TGA tidak terdapat stenosis pulmonal ataupun hipertrofi ventrikel
dexter. Kedua tanda ini merupakan tanda klinis yang khas pada pasien
Tetralogy of Fallot.

Gambar 3. Diagram skematik penyakit jantung kongenital sianotik.
5
A) Tetralogy of Fallot. Tanda panah menandakan arah aliran darah. B)Transposisi
pembuluh darah besar (TGA) dengan atau tanpa VSD. (Ao, aorta; LA, atrium
cordis sinistrum; LV, ventrikel cordis sinister; PT, trunkus pulmonalis; RA, atrium
cordis dextrum; RV, atrium cordis dexter.)
35

16. Penanganan pertama untuk kasus pada pemicu
Anak dengan serangan anoksia ditolong dengan knee chest position, dosis kecil
morfin (1/8-1/4mg) disertai dengan pemberian oksigen. Dengan tindakan ini
serangan anoksia sering hilang dengan cepat. Pada waktu ini diberikan pula obat-
obat pemblok beta (propanolol) untuk mengurangi kontraktilitas miokard.
Pencegahan terhadap anoksia dilaksanakan pula dengan mencegah atau mengobati
anemia defisiensi besi relatif, karena hal ini sering menambah frekuensi serangan.
Asidosis metabolik harus diatasi secara adekuat.
4

17. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk kasus pada pemicu
Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat dijumpai peningkatan jumlah
eritrosit dan hematokrit (polisitemia vera) yang sesuai dengan desaturasi dan
stenosis.
27
Oksimetri dan analisis gas darah arteri mendapatkan saturasi oksigen yang
bervariasi, tetapi pH dan pCO2 normal kecuali pada kondisi tet spell. Oksimetri
berguna pada pasien kulit hitam atau pasien anemia yang tingkat sianotiknya tidak
jelas. Sianosis tidak akan tampak kecuali bila hemoglobin tereduksi mencapai 5
mg/dL. Penurunan resistens vaskular sistemik selama aktivitas, mandi, maupun
demam akan mencetuskan pirau kanan ke kiri dan menyebabkan hipoksemia.
27
Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menemukan deviasi aksis ke kanan
(+120 - +150), hipertrofi ventrikel kanan atau kedua ventrikel, maupun hipertrofi
atrium kanan. Kekuatan ventrikel kanan yang menonjol terlihat dengan gelombang
R besar di sadapan prekordial anterior dan gelombang S besar di sadapan
prekordial lateralis.
27
Pemeriksaan foto rontgen thorax dapat menemukan gambaran jantung
berbentuk sepatu (boot-shaped heart/ couer-en-sabot) dan penurunan vaskularisasi
paru karena berkurangnya aliran darah yang menuju ke paru akibat penyempitan
katup pulmonal paru (stenosis pulmonal).
27
36

MRI dapat mengukur volume ventrikel kanan dan kiri, menilai jalur aliran
darah ventrikel kanan, arteri pulmonal, aorta, defek septum ventrikel. MRI juga
dapat menilai stenosis cabang arteri pulmonal yang berkontribusi dalam
menyebabkan insufi siensi pulmonal dan kolateral aortopulmonal yang dapat
menyebabkan overload volume ventrikel kiri. Hal ini sering dijumpai pada pasien
yang disertai atresia pulmonal.
27
Ekokardiogram sangat membantu mengonfi rmasi diagnosis dan mengevaluasi
beberapa masalah yang terkait dengan ToF. Pembesaran ventrikel kanan, defek
septum ventrikel, overriding aorta, dan obstruksi saluran ventrikel kanan dapat
ditampilkan secara jelas; dapat ditunjukkan shunting yang melewati VSD dan
peningkatan kecepatan aliran Doppler yang melewati ventrikel kanan. Ukuran
cabang utama arteri pulmonalis dan proksimal serta setiap aliran darah tambahan
lain menuju ke paru dapat dievaluasi, tapi arteri pulmonalis bagian distal tak dapat
dengan mudah dilihat oleh ekokardiogram.
27
Kateterisasi bukan pemeriksaan yang rutin; dapat dilakukan jika data yang
diperlukan untuk pengambilan keputusan koreksi bedah tidak dapat diperoleh
dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Penting untuk mendapatkan data saturasi
oksigen arteri sistemik dan desaturasi berhubungan dengan stenosis saluran keluar
ventrikel kanan. Tujuan kateterisasi jantung adalah untuk menilai ukuran anulus
pulmonal dan arteri pulmonal, menilai keparahan obstruksi aliran darah ventrikel
kanan, lokasi dan ukuran defek septum ventrikel, serta menyingkirkan
kemungkinan anomali arteri koroner. Angiografi merupakan bagian integral dari
kateterisasi jantung. Angiografi paru juga harus dilakukan untuk mengetahui
ukuran arteri pulmonalis utama dan cabang serta untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya stenosis cabang arteri pulmonal. Angiografi aorta juga
diperlukan untuk memvisualisasikan anatomi arteri koroner, terutama untuk
menyingkirkan adanya arteri koroner melintasi infundibulum ventrikel kanan.
27

37

18. Interpretasi hasil pemeriksaan pada pemicu
Hasil Pemeriksaan Keterangan
Hipoksia Mengalami gangguan perfusi perifer
GCS 10 Moderate
Nadi 124x/menit Takikardi
Pernafasan 30x/menit Takipneu
Suhu 35,7
o
C Hipotermi
Mukosa mulut dan kuku
sianosis
Tidak normal
Jari tabuh pada jari Clubbing finger/ tidak normal
s1 ireguller, s2 split Tidak normal
Pulmonal melemah Tidak normal
Bising sistolik pada katup
aorta
Tidak normal

19. Mengapa serangan datang saat bangun tidur atau demam?
25

Hal ini dikarenakan oleh fenomena yang dinamakan tet spell. Fenomena ini
disebuthypercyanotic spell, biasanya merupakan hasil penyempitan secara
mendadak aliran darah ke paru. Serangan dapat terjadi setiap waktu antara usia 1
bulan dan 12 tahun, terutama terjadi antara bulan ke-2 dan ke-3. Paling sering
terlihat setelah bangun tidur, menangis, buang air besar, dan makan. Serangan
ditandai dengan meningkatnya kecepatan dan kedalaman pernapasan (hiperpnea)
dengan sianosis yang bertambah parah.
Tet spell (juga disebut 'hipoksia spell ' , 'cyanotic spell ' , 'hypercyanotic spell)
yang paling sering terjadi pada bayi muda dengan Tetralogi of Fallot tetapi
mungkin terjadi dengan cacat jantung bawaan lain yang memiliki stenosis
subpulmonary dan VSD. Paling umum terlihat pada saat menangis, buang air
38

besar, makan, bangun dari tidur siang (resistensi sistemik rendah), demam,
dehidrasi, takipnea / takikardia karena sebab apapun, dan obat-obatan (misalnya
ACE inhibitor). Hal ini cenderung terjadi pada pasien dengan sianosis ringan
sampai sedang saat istirahat dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang
kekurangan zat besi.
Hypercyanotik spell dapat dianggap sebagai ketidakseimbangan antara
resistensi pembuluh darah paru dan sistemik yang mendukung penurunan aliran
paru dan peningkatan pirau kanan ke kiri. Hipoksemia, asidosis metabolik,
hyperpnoea, meningkatkan aliran balik vena sistemik, katekolamin, dan
vasokonstriksi paru yang diduga terlibat dalam interaksi yang menghasilkan siklus
yang terus terjadi ini.
20. Mengapa saat beraktivitas dan menangis anak tersebut langsung kebiruan?
Karena pada saat beraktivitas dan menangis kontraksi jantung anak akan
meningkat sehiningga menyebabkan darah yang mengandung Co2 yang ada pada
ventrikel kanan semakin banyak di pompa ke seluruh tubuh melalui ventrikel kiri
karen arteri pulmonal mengalami stenosis dan VSD.
4












39

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima
Anak perempuan 3 tahun mengalami Tetralogy of Fallot














40

DAFTAR PUSTAKA
1. Tortora GJ &Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition.
John Wiley & Sons, Inc; 2009
2. Cox PM, Schwarz. Cyanosis. Dalam: Friedman HH, ed. Problem-Oriented
Medical Diagnosis. 7th Edition. Philadelphia: Lippincott; 2010; h. 146-148
3. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Harrison's Priciples of Internal Medicine. 17th Edition. Philaelphia: McGraw-
Hill; 2008
4. R Hassan, H Alatas. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan 11. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2007
5. Kumar V,Abbas AK, Fausto Net al. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease 8th edition. Saunders Elsevier; 2007
6. Hoffman, J. Essential Cardiology: Principles and Practice. Totowa, NJ: Humana
Press; 2005
7. Thienpont B, Mertens L, de Ravel T, et al. "Submicroscopic chromosomal
imbalances detected by array-CGH are a frequent cause of congenital heart
defects in selected patients".Eur. Heart J; 2007; 28 (22): 277884.
8. WatkinsML, Botto LD. "Maternal Prepregnancy Weight and Congenital Heart
Defects in the Offspring". Epidemiology 11 (4); 2001; 439446.
9. Mills JL, Troendle J, Conley MR, Carter T, Druschel CM. "Maternal obesity and
congenital heart defects: a population-based study". Am. J. Clin. Nutr. 91 (6);
2010; 15439.
10. Gilboa SM, Correa A, Botto LD, et al. "Association between prepregnancy body
mass index and congenital heart defects". Am J Obstet. Gynecol.202 (1); 2010;
51.e1e10.
11. Centers for Disease Control and Prevention. Congenital Heart Disease. [Update
September 12, 2011; Cited: May 18, 2014]. Available from:
http://www.cdc.gov/ncbddd/heartdefects/data.html
41

12. Bernstein, Daniel. The Cardiovascular System. Dalam: Kliegman, Robert M. et
al. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. Saunders Elsevier,
Philadelphia; 2007
13. Breitbart R, Flyer D. Tetralogy of fallot. In: Flyer DC, editor. Nadas Pediatric
Cardiology 2ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2006.
14. Nair P, Tadmouri GO, Ibrahim E, Al-Arrayed S. Tetralogy of Fallot. 2008 [April
2012]. Tersedia dari : http://www.cags.org.ae
15. Kliegman. Nelson Pediatric. 18th Edition, Cyanotic Congenital Heart Lesions:
Lesions Associated with Decreased Pulmonary Blood Flow; 2006.
16. Apitz C, Webb GD, Redington AN. Tetralogy of Fallot. Lancet 2009; 374(9699):
146271.
17. Israr, Yayan Akhyar.Tetralogi Fallot (TOF). Pekanbaru : Fakultas Kedokteran
Universitas Riau; 2010
18. Fox D, Devendra GP, Hart SA, Krasuski RA. When blue babies grow up: What
you need to know about tetralogy of Fallot. Cleve Clin J Med. 2010;77(11):821-8
19. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007.
20. Gallegos RP. Selection of prosthetic heart valves. Curr Treat Options Cardiovasc
Med. 2006;8(6):443-52.
21. Khambadkone S, Coats L, Taylor A, Boudjemline Y, Derrick G, Tsang V, et al.
Percutaneous pulmonary valve implantation in humans: results in 59 consecutive
patients. Circulation 2005;112(8):118997.
22. Lurz P, Coats L, Khambadkone S, Nordmeyer J, Boudjemline Y, Schievano S, et
al. Percutaneous pulmonary valve implantation: impact of evolving technology
and learning curve on clinical outcome. Circulation 2008; 117(15):196472.
23. Nova R. Penyulit pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Palembang: Subbagian
Kardiologi IKA FK Unsri; 2010.
42

24. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008.
25. Dr Ross Nicholson, Dr Tom Gentles. Tetralogy Of Fallot Hypercyanotic Spells.
[Update February 2010; Cited: May 18, 2014]. Available from:
http://www.adhb.govt.nz/starshipclinicalguidelines/TetralogyofFallotHypercyanot
icSpells.htm.
26. Prasodo, A. M. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Dalam: Buku Ajar Kardiologi
Anak. Binarupa Aksara, Jakarta; 1994; 234 277
27. Riska HR, Darmadi. Diagnosis dan Tatalaksana Tetralogy of Fallot.CDK-202
Vol. 40, No. 3; 2013; 177-81
28. Mulyadi M. Djer, Bambang Madiyono. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.
Sari Pediatri Vol. 2, No. 3; Desember 2000; 155-62

You might also like