You are on page 1of 13

MARKA BELA MONIKA

0907101050043
HIPEREMESIS GRAVIDARUM & INKOMPATABILITAS
DARAH

1. Hiperemesis Gravidarum
1.1 Definisi
Hiperemesis Gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita
hamil sampai mengganggu pekerjaan sehari-hari karena keadaan umumnya yang
menjadi buruk, akibat terjadi dehidrasi (Mocthar, 1998). Hiperemesis gravidarum
sendiri adalah mual dan muntah hebat dalam masa kehamilan yang dapat
menyebabkan kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau gangguan elektrolit
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan membahayakan janin di dalam
kandungan (Asih et al., 2009).

1.2 Epidemiologi
Mual dan muntah merupakan gejala yang umum terjadi pada sekitar 50%
sampai 90% dari seluruh kehamilan. Kondisi ini umumnya disebut morning
sickness. Bagaimanapun sebesar 0,05% - 2% pada seluruh kehamilan dapat
terjadi mual dan muntah yang berat, kondisi ini sering disebut dengan hiperemesis
gravidarum,dengan prevalensi 1% sampai 3% atau 5-20 kasus per 1000
kehamilan(Simpson et al., 2001). Mual dan muntah pada kehamilan biasanya
dimulai pada kehamilan minggu ke-9 sampai ke-10, memberat pada minggu ke-11
sampai ke-13 dan berakhir pada minggu ke-12 sampai ke-14. Hanya pada 1-10%
kehamilan gejala berlanjut melewati minggu ke-20 sampai ke-22. Pada 0,3-2%
kehamilan terjadi hiperemesis gravidarum yang menyebabkan ibu harus ditata
laksana dengan rawat inap. Hiperemesis gravidarum jarang menyebabkan
kematian, tetapi angka kejadiannya masih cukup tinggi. Hampir 25% pasien
hiperemesis gravidarum dirawat inap lebih dari sekali (Gunawan et al,. 2011).



1.3 Etiologi
Sebab pasti belum diketahui, namun ada faktor-faktor predisposisi yang
dikemukakan adalah (Mocthar, 1998).
a. Sering terjadi pada primigravida, mola hidatidosa, diabetes, dan kehamilan
ganda akibat peningkatan kadar HCG.
b. Faktor organic: karena masuknya vili khoriales dalam sirkulasi maternal
dan perubahan metabolik.
c. Faktor psikologik : keretakan rumah tangga, kehilanggan pekerjaan, rasa
takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut memikul tanggung jawab
dan sebagainya.
d. Faktor endokrin lainnya: Hipertiroid, diabetes, dan lain-lain.

1.4 Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen yang biasa
terjadi padatrimester I. bila perasaan terjadi terus-menerus dapat mengakibatkan
cadangan karbohidrat danlemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena
oksidasi lemak yang tak sempurna,terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam
aseto-asetik, asam hidroksida butirik dan asetondarah. Muntah menyebabkan
dehidrasi, sehingga caira ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida
darah turun. Selain itu dehidrasai menyebabkan hemokonsentrasi,sehingga aliran
darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan
danoksigen ke jaringan berkuang pula tertimbunnya zat metabolik yang toksik.
Disamping dehidrasidan gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping dehidraasi
dan gangguan keseimbanganelektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lendir
esofagus dan lambung (sindroma mollary-weiss), dengan akibat perdarahan
gastrointestinal. Bedah mayat pada wanita yang meninggal akibat Hiperemesis
Gravidarium menunjukkan kelainan pada berbagai alat tubuh (Gunawan et al.,
2011)
a. Hati
b. Jantung menjadi lebih kecil daripada biasa dan beratnya atrofi, ini sejalan
lamanya penyakit. Kadang-kadang ditemukan perdarahan sub-endokardial
c. Otak
d. Ginjal

1.5 Gejala Klinis
Batas mual dan muntah berapa banyak yang disebut hiperemesis gravidarum
tidak ada kesepakatan. Ada yang mengatakan bila lebih dari sepuluh kali muntah.
Akan tetapi apabila keadaan umum ibu terpengaruhdianggap sebagai hiperemesis
gravidarum. Menurut berat ringannya gejala dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
(Sulaifi, 2010) :
1. Tingkat 1 (Ringan)
- Mual muntah terus-menerus yang mempengaruhi keadaan umum
penderita
- bu merasa lemah
- Nafsu makan menurun
- Barat badan menurun
- Merasa nyeri pada epigastrium
- Nadi meningkat sekitar 100 kali/menit
- Tekanan darah menurun
- Turgor kulit berkurang
- Lidah mengering
- Mata cekung
2. Tingkat II (Sedang)
- Penderita tampak lebih lemah dan apatis
- Turgor kulit mulai jelek
- Lidah mengering dan tampak kotor
- Nadi kecil dan cepat
- Suhu badan naik (dehidrasi)
- Mata mulai ikterik
- Berat badan menurun dan mata cekung
- Tensi turun, hemokonsentrasi, oliguri dan konstipasi
- Aseton tercium dari hawa pernafasan dan terjadi asetonuria
-
3. Tingkat III (Berat)
- Keadaan umum lebih parah (kesadaran menurun dari somnolen sampai
koma)
- Dehidrasi hebat
- Nadi kecil, cepat dan halus
- Suhu badan meningkat dan tensi turun
- Terjadi komplikasi fatal pada susunan saraf yang dikenal dengan
enselopati wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia dan penurunan
mental
- Timbul ikterus yang menunjukkan adanya payah hati.

1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium
meliputi pemeriksaan keton urin (air seni), serta elektrolit darah (Simpson et al.,
2001)

1.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan pada kehamilan muda dan
muntah terus-menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Namun harus
dipikirkan pula kehamilan muda dengan penyebab lain seperti neoplasma,
hipertiroidisme, gangguan saluran cerna, pielonefritis, infeksi keracunan danlain-
lain (Teber, 2002).

1.8 Differential Diagnosis
- Ulkus Peptikum
- kolestasis obstetric
- perlemakan hati akut
- apendisitis akut
- diare akut
- hipertiroidisme dan infeksi Helicobacter pylori (Gunawan et al., 2011)


1.9 Penatalaksanaan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum dengan jalan memberikan
penjelasan tentang kehamilan dan persalinan sebagai suatu proses yang fisiologis,
berikan keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah merupakan hal
yangfisiologis pada kehamilan muda dan akan hilang kemudian (Vitoratos, 2010).
1. Pencengahan
Memberikan informasi dan edukasi tetntang kehamilan kepada ibu-ibu
dengan maksud menghilangkan faktor psikis rasa takut. Juga tentang diet
ibu hamil, makan jangan sekaligus banyak tetapi dalam porsi sedikit-
sedikit namun sering. Jangan tiba-tiba berdiri waktu bangun pagi, akan
terasa hoyong, mual, dan muntah. Defeksi hendaknya diusahakan teratur.
2. Terapi obat
Menggunakan sedativa (Luminal, Stesolid), vitamin (B1 dan B6), anti
muntah (Mediamer B6, Drammamin, Avopreg, Avomin, Torecan), dan
antasida dan anti mulas.
3. Hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dirawat inap di rumah
sakit.
- Kadang-kadang pada wanita beberapa wanita, hanya tidur di rumah
sakit saja, telah banyak mengurangi mual muntahnya.
- Isolasi, jangan terlalu banyak tamu, kalau perlu hanya perawat dan
dokter saja yang boleh masuk. Kadang kala hal ini saja, tanpa
mengobatan khusus telah mengurangi mual dan muntah.
- Terapi psikologik, berikan pengertian bahwa kehamilan adalah suatu
hal yang wajar, normal, dan fisiologis, jadi tidak perlu takut dan
khawatir. Cari dan coba hilangkan faktor-faktor psikologis seperti
keadaan sosial ekonomi dan pekerjaan serta lingkungan.
- Penambahan cairan, berikan infuse dektrosa atau glukosa 5% sebanyak
2-3 liter dalam 24 jam.
- Berikan obat-obatan sepertyi diatas.
- Pada beberapa khasus dan bila terapi tidak dapat dengan cepat
memperbaiki keadaan umum penderita, dapat dipertimbangkan suatu
abortus buatan.
1.10 Komplikasi
- Dehidrasi
- Syok
- Menghambat tumbuh kembang janin
- Gangguan keseimbangan elektrolit (Jueckstock et al., 2010)

1.11 Prognosis
Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum
sangatmemuaskan. Namun demikian pada tingkat yang berat penyakit ini
dapatmengancam jiwa ibu dan janin (Niebyl, 2010).

1.12 Kesimpulan
1. Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita
hamil sampai mengganggu pekerjaan sehari-hari karena keadaan umum
menjadi buruk.
2. Penyebab pasti belum diketahui. Diduga faktor-faktor predeposisinya karena
primigravida, kehamilan ganda, faktor organik, faktor psikologis dan faktor
endokrin lainya.
3. Biasanya dimulai pada kehamilan minggu ke-9 sampai ke-10, memberat pada
minggu ke-11 sampai ke-13 dan berakhir pada minggu ke-12 sampai ke-14.
4. Penatalaksaan dapat dilakukan dengan pencengahan (memberikan informasi
dan edukasi), dan tarapi obat-obatan. Hiperemesis gravidarum tingkat II dan III
harus dirawat inap di rumah sakit.

1.13 Daftar Pustaka
1. Asih; Kampono; Prihartono. 2009. Hubungan pajanan infeksi helicobacter
pylori dengan kejadian hiperemesis gravidarum. Majalah Obstetri
Ginekologi Indonesia. Vol 33, No 3 Juli 200.

2. Gunawan, K; Paul, SKM; Dwiana, O. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana
Hiperemesis Gravidarum. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11.

3. Jueckstock JK, Kaestner R, Mylonas I. Managing hyperemesis gravidarum: a
multimodal challenge. BMC Medicine. 2010;8:46.

4. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obster. jilid I. Jakarta : EGC.
5. Niebyl, JR. Nausea and vomiting in pregnancy. N Engl J Med. 2010;363:1544-
50.

6. Simpson. 2001. Psychological Factors and Hyperemesis Gravidarum. Journal of
Womens Health & Gender-Based Medicine. Volume 10, Number 5, 2001

7. Teber, Ben-Zian. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta : EGC.

8. Vitoratos. N, 2006. Sever liver Injury due to hyperemesis gravidarum. Journal
Obstetric Gynaecology. 26(2):172-172


























INKOMPATIBILITAS DARAH

1. Definisi
Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika seorang wanita
hamil memiliki darah Rh-negatif dan bayi dalam rahimnya memiliki darah Rh-
positif. Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat
disebabkan oleh dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas)
golongan darah ABO saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis
intravaskular akut dan juga dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen
dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan
(Sarwono, 2011). Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang
disebabkan inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO).

2. Epidemiologi
Kira-kira 15% orang kulit putih, 7% orang kulit hitam dan 1% orang Cina
tidak mempunyai antigen D (Rh negatif atau d/d). Inkompatibilitas Rh terjadi jika
ibu Rh negatif dan anak Rh positif. Sepertiga dari bayi dengan penyakit hemolitik
yang tidak mendapat pengobatan dan kadar bilirubin serum yang lebih dari 20
mg/dl akan mengalami kern ikterus. Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi
inkompabilitas ABO yang berarti bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-
B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen respective. Inkompabilitas ABO
nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana
terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika
dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan
hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus
yang membutuhkan transfusi tukar (Maisels, 2006).
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut
Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.
Gambaran klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari
inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe
darah O, karena tipe darah grup masing-masing menghasilkan anti A dan anti B
yang termasuk kelas IgG yang dapat melewati plasenta untuk berikatan dengan
eritrosit janin. Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak
hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam pertama
kehidupannya. fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki
dan perempuan (Salem, 2006).

3. Etiologi
Peyebab yang mengakibatkan Inkompatibilitas pada golongan darah ABO
adalah reaksi imunitas antara antigen dan antibody pada ibu dan janin yang
dikandungnya. Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika Ibu
golongan darah O mengandung janin golongan darah A atau B. Wanita Rh- hamil
dengan janin Rh+ (Giroux, 1997).

4. Patofisiologi
Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas Rh
dan ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang
melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit
janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti
yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk
imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan
kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin
akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi
dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas
tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan
melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan
eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan (Markum, 2001).
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati
dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti
platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat
berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang
banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada
permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai
penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi
menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut
berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin
(James, 1999).
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.

Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin.
Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi
tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada
suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin
yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan
jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus (Giroux, 2007).

5. Gejala Klinis
Pada mulanya terjadi respon maternal dengan peningkatan IgM yang tidak
dapat melewati plasenta, kemudian terjadi respon berupa pembentukan IgG yang
dapat melewati plasenta yang nantinya akan menyebabkan hemolisis. Secara
klinis derajat hemolisis dinyatakan sebagai bentuk ringan umumnya terjadi tanpa
anemia (kadar Hb splenomegali, kesulitan pernafasan), edema anasarka masif &
kolaps sirkulasi (Tudehope, 2008).

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada darah tepi terdapatnya eritrosit berinti, hiper
bilirubinemia, uji Coombs direk maupun indirek yang positif dan anemia
tergantung berat-ringannya hemolisis. Pada hidropfetalis kadar hemoglobin tali
pusat sampai 3 4 gr/dl (Santriati et al., 2006).



7. Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.
Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs
tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini
bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk
mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan tes ini, serum
darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung
antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu
ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan
terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen
spesifik. Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat
bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca
persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr %, kadar bilirubin dalam
darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan
darah tepi (Sindu, 2005).

8. Differential Diagnosis
1. Sepsis
2. Anemia hemolitik
3. Eritroblastosis fetalis

9. Penatalaksaan
Penanganan yang cepat dan tepat akan menyelamatkan bayi :
1. Transfusi ganti intra uterin (transfusi ganti dalam kandungan)
2. Segera lahirkan bayi setelah paru-paru bayi matang (32 minggu)
3. Transfusi ganti segera setelah lahir dengan darah Rh-
4. Foto terapi (terapi sinar)
(Wagle, 2009).


10. Komplikasi
- Gangguan Cairan dan Elektrolit
- Hipoglikemi dan Hipokalsemia
- Anemia berat (Wag11. Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa
janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan
janin dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang
lebih tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer
pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat
naik meskipun janinnya Rhesus negatif. Jika titer antibodi naik sampai secara
klinis bermakna, pemeriksaan titer antibody diperlukan. Titer kritis tercapai jika
didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah1:32, maka prognosis janin
diperkirakan baik (Sindu, 2005).

12. Kesimpulan
1. Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika seorang wanita
hamil memiliki darah Rh-negatif dan bayi dalam rahimnya memiliki darah
Rh-positif.
2. Penyebabnya Wanita Rh- hamil dengan janin Rh+
3. Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama
4. Penanganan yang tepat segera Transfusi ganti intra uterin, transfusi ganti
setelah bayi lahir dengan RH -.

13. Daftar Pustaka
1. Giroux AG, Moore TR. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ.
Neonatal perinatal medicine diseases of the fetus and infant. 6th ed. St.
Louis: Mosby Year Book; 1997. p.300-311.
2. James DK, Steer PJ. 1999. Fetal hemolytic disease: High Risk Pregnancy. 2nd
ed. USA: WB.Saunders.
2. Maisels J. neonatal jaundice. 2006. Pediatr Rev; 27:443-54.
3. Sindu, E. 2005. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta: Direktorat
Laboratorium Kesehatan Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI.
4. Salem L. 2006. Rh incompatibility. www. Neonatology.org.
5. Santriati, Y; Syarif, K; Asnil, PO. 2006. INKOMPATIBILITAS RHESUS
DENGAN KERN IKTERUS. Majalah Kedokteran Andalas. Vol 21, NO 2.
6. Tudehope DI, Thearle MJ. 2008. A primer of neonatal medicine. Queensland:
William BrooksQueensland.
7. Wagle S. 2009. Hemolytic disease of the newborn. http:// www.
Neonatology.org. Downloadedon November, 30th,

You might also like