You are on page 1of 23

MENELUSURI JEJAK CSR PADA BUMN

Suatu Kajian Normatif PKBL BUMN Pasca UU No. 40 Tahun 2007


I. PENDAHULUAN
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peran dan fungsi yang strategis, sebagai
pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut
membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. Demikian vitalnya eksistensi suatu
BUMN dan untuk memberikan landasan pijakan hukum yang kuat bagi ruang gerak
usaha BUMN, maka pemerintah bersama-sama dengan DPR menyetujui dan
mengesahkan Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN)
yang mulai berlaku sejak tanggal 19 Juni 2003. Pasal 2 ayat (1) huruf e UU BUMN
menyebutkan bahwa salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan lemah, koperasi, dan
masyarakat. Selanjutnya didalam Pasal 88 ayat (1) UU BUMN tersebut disebutkan
bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan
usaha kecil dan koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Sebagai tindak lanjut dari UU BUMN tersebut, khususnya menyangkut Pasal 2 dan Pasal
88, diterbitkan Keputusan Menteri Negara BUMN (Kepmen.BUMN) No. Kep-
236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program
Bina Lingkungan, yang selanjutnya dilakukan penyempurnaan dengan Peraturan
Menteri Negara BUMN (Permen.BUMN) No. Per-05/MBU/2007 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Berdasarkan
keputusan menteri tersebut, bentuk kepedulian BUMN dijabarkan kedalam 2 (dua)
program, yakni : Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan. Yang dimaksud dengan Program Kemitraan adalah program untuk
meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sedangkan yang dimaksud dengan Program
Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN
melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Dalam lingkup pergaulan internasional (global) tengah tumbuh-berkembang konsep
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(TJSL). Istilah CSR itu sendiri telah mulai digunakan sekitar tahun 1970-an dan
semakin popular terutama setelah lahir konsep pemikiran dari John Elkington yang
dituangkan kedalam buku Cannibals With Forks : The Triple Bottom Line in 21st
Century Business (1998). Menurut konsep tersebut, CSR dikemas kedalam tiga
komponen prinsip yakni : Profit, Planet, dan People (3P). Dengan konsep ini
memberikan pemahaman bahwa suatu perusahaan dikatakan baik apabila perusahaan
tersebut tidak hanya memburu keuntungan belaka (profit), melainkan pula memiliki
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat
(people).
II. PERJALANAN PANJANG PKBL BUMN
Apabila dirunut jauh kebelakang, sebenarnya peran perseroan milik pemerintah telah
dimulai sejak tahun 1983 seiring dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.
3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan
(Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero). Didalam
Pasal 2 PP tersebut disebutkan bahwa salah satu dari maksud dan tujuan kegiatan
Perjan, Perum, dan Persero adalah turut aktif memberikan bimbingan kegiatan kepada
sektor swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi.
Pada masa itu perseroan milik pemerintah yang melaksanakan kegiatan pembinaan
usaha kecil dan masyarakat sering disebut-sebut sebagai / dengan predikat Bapak
angkat usaha kecil / industri kecil. Baru setelah muncul Keputusan Menteri Keuangan
(Kepmenkeu) No. 1232 / KMK.013 / 1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman
Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi Melalui BUMN, nama program
tersebut dikenal dengan Program Pegelkop.
Didalam Kepmenkeu No. 1232 / KMK.013 / 1989 disebutkan bahwa BUMN wajib
melakukan pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah dan koperasi (Pasal 2).
Pembinaan diberikan dalam bentuk peningkatan kemampuan manajerial, teknik
berproduksi, peningkatan kemampuan modal kerja, kemampuan pemasaran dan
pemberian jaminan untuk mendapatkan kredit perbankan (Pasal 3). Kepmenkeu No.
1232 Tahun 1989 tersebut juga secara eksplisit menegaskan bahwa pembiayaan untuk
kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh BUMN diambil / disediakan dari bagian laba
BUMN yang bersangkutan, dengan besaran antara 1%-5% setiap tahun dari laba
setelah pajak (Pasal 4). Dengan Kepmenkeu No. 306 / KMK.013 / 1991 Tanggal 20
Maret 1991, yang merupakan penyempurnaan Kepmenkeu No. 1232 / KMK.013 / 1989,
diberikan batasan maksimal pembiayaan yang diperlukan untuk melaksanakan
pembinaan sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Status dana
pembinaan dapat ditetapkan sebagai hibah atau pinjaman kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah dan koperasi (Pasal 7 ayat 2). Pelaksanaan pembinaan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab direksi BUMN yang bersangkutan (Pasal 10).
Berdasarkan Kepmenkeu No. 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang
Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian
Laba BUMN, nama program diubah menjadi PUKK. Pasal 2 Kepmenkeu No. 316 Tahun
1994 tersebut ditegaskan bahwa BUMN wajib melakukan pembinaan terhadap
pengusaha ekonomi lemah dan koperasi. Sumber dana pembinaan berasal dari bagian
pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1%-5% dari seluruh laba perusahaan
setelah pajak. Bentuk pembinaan berupa pendidikan, pelatihan, penelitian dan
perdagangan, untuk meningkatkan kemampuan kewirausahaan, manajemen, serta
teknik berproduksi, jaminan kredit dan penyertaan pada perusahaan modal ventura
yang membantu pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi.
Pada tahun 1995 diterbitkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang
didalamnya terkandung komitmen secara eksplisit yakni : pemerintah, dunia usaha,
dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, Sumber Daya Manusia (SDM), dan teknologi
(Pasal 14). Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menyediakan pembiayaan bagi
pengembangan usaha kecil meliputi : kredit perbankan, pinjaman lembaga keuangan
bukan bank, modal ventura, pinjaman dari penyisihan sebagian laba BUMN, hibah, dan
jenis pembiayaan lain (Pasal 21).
Kurun waktu berikutnya lahir PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Kecil, yang didalam Penjelasan Pasal 10 huruf e ditegaskan
bahwa penyediaan dana dilakukan oleh departemen teknis, kantor menteri Negara,
pemerintah daerah (pemda), BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), anggaran perusahaan sesuai dengan program pembinaan dan
pengembangan usaha kecil di masing-masing sektor, sub sektor, pemda, BUMN, dan
BUMD yang bersangkutan. Hingga pada akhirnya, tahun 2003 terbit UU No. 19 Tahun
2003 tentang BUMN yang kemudian khusus menyangkut TJSL dijabarkan lebih lanjut
dengan Kepmen.BUMN No. Kep-236/MBU/2003 juncto Permen.BUMN No. Per-
05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan.
III. MENGGALI PRINSIP-PRINSIP CSR DIDALAM HUKUM POSITIP
Sekedar mereview bagian pendahuluan diatas, berangkat dari pemikiran yang digagas
oleh John Elkington dipaparkan sebuah pemahaman bahwa perusahaan yang baik
adalah perusahaan yang tidak hanya memburu keuntungan ekonomi semata (profit),
melainkan pula harus memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people). Hingga saat ini masih belum ada definisi CSR yang
secara universal diterima oleh berbagai kalangan/lembaga dibelahan dunia manapun.
Beberapa definisi pengertian CSR dilahirkan oleh sejumlah lembaga internasional
sebagai upaya untuk mengakomodasi pemahaman dimensi konsep CSR dari John
Elkington diatas yang dikenal dengan 3P, diantaranya :
-. World Business Council for Sustainable Development :
Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan
karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.
-. International Finance Corporation :
Komitmen dunia bisnis untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi
berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal
dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang
baik bagi bisnis maupun pembangunan.
-. Institute of Chartered Accountants, England and Wales :
Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif
bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang
saham (shareholders) mereka.
-. Canadian Government :
Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial kedalam nilai,
budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan
secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat
dan berkembang.
-. European Commission :
Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial
dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
-. CSR Asia :
Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip
ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para
stakeholders.
International Organization for Standarization, sebuah lembaga sertifikasi internasional,
saat ini sedang melakukan pengembangan standar internasional ISO 26000 mengenai
Guidance on Social Responsibility yang juga memberikan definisi CSR. Meski pedoman
CSR standar internasional ini baru akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini
dapat dijadikan rujukan. Menurut ISO 26000, CSR adalah : Tanggung jawab sebuah
organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-
kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku
transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan,
sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta
terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (draft 3, 2007).
Meski belum banyak memberikan kontribusi dalam melahirkan dan mengembangkan
wacana-wacana dan pemahaman mengenai CSR di tingkat pergaulan internasional,
Pemerintah Indonesia sebenarnya pun telah lama berupaya untuk menanamkan dan
menerapkan prinsip-prinsip dimensi CSR sebagaimana ditumbuhkembangkan dalam
pergaulan internasional (Konsep 3P). Hal tersebut dapat dilihat didalam berbagai
produk peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah, termasuk
regulasi yang mengatur perseroan yang dimiliki oleh Negara. Coba kita simak PP No. 3
Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan
(Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero), yakni
didalam Pasal 2 disebutkan bahwa salah satu maksud dan tujuan dari kegiatan Perjan,
Perum, dan Persero adalah turut aktip memberikan bimbingan kegiatan kepada sektor
swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi. Kegiatan
perusahaan-perusahaan milik negara harus dapat menunjang pelaksanaan
kebijaksanaan maupun program pemerintah di bidang pembangunan pada khususnya
dan perekonomian pada umumnya, terutama sebagai perintis dalam rangka melengkapi
kegiatan sektor swasta dan sektor koperasi. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tetap
mengindahkan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang sehat, efisien dan efektif
sehingga dapat membantu meningkatkan kemampuan keuangan negara, memberikan
sumbangan kepada perekonomian negara serta meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat.
Selanjutnya pada tanggal 11 Nopember 1989 diterbitkan Kepmenkeu No. 1232
/ KMK.013 / 1989. Didalam Pasal 2 Kepmenkeu tersebut ditegaskan bahwa BUMN
diwajibkan untuk melakukan pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah dan
koperasi. Yang dimaksud dengan pembinaan adalah pemberian bantuan kepada
pengusaha ekonomi lemah dan koperasi guna lebih meningkatkan potensi usaha dan
kemampuannya secara efisien dan efektif (Pasal 1 angka (4)). Pembinaan BUMN
terhadap pengusaha ekonomi lemah dan koperasi dapat berupa :
a. Peningkatan kemampuan manajerial;
b. Peningkatan kemampuan dalam ketrampilan teknik produksi;
c. Peningkatan kemampuan modal kerja, antara lain bantuan pengadaan bahan baku
dan modal usaha;
d. Peningkatan kemampuan pemasaran atau bantuan pemasaran;
e. Pemberian jaminan untuk mendapatkan kredit perbankan.
Kebijakan pemerintah yang dituangkan didalam Kepmenkeu No. 1232 Tahun 1989
tersebut didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Dalam rangka mendorong kegairahan dan kegiatan ekonomi serta pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, memperluas lapangan kerja serta meningkatkan taraf
hidup masyarakat, perlu adanya pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi
secara terarah dan berkesinambungan melalui BUMN;
b. Bahwa potensi pengusaha ekonomi lemah dan koperasi yang cukup besar, perlu
dikembangkan dengan menciptakan iklim usaha yang sehat dan tata hubungan yang
mendorong tumbuhnya kondisi saling menunjang antara BUMN, koperasi dan swasta.
Pada masa periode selanjutnya, sebagai pengganti dari Kepmenkeu No. 1232
/ KMK.013 / 1989 tanggal 11 Nopember 1989, diterbitkan Kepmenkeu No. 316
/ KMK.016 / 1994 tanggal 27 Juni 1994, yang memiliki dasar pertimbangan dalam
rangka mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya pemerataan
pembangunan melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha perlu
dikembangkan potensi usaha kecil dan koperasi agar menjadi tangguh dan mandiri
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mendorong tumbuhnya
kemitraan antara BUMN dengan usaha kecil dan koperasi.
Kurun waktu berikutnya, terbit UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang memuat
pokok-pokok pemikiran sebagai berikut :
a. Pemberdayaan usaha kecil dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
dalam bentuk penumbuhan sehingga usaha kecil mampu menumbuhkan dan
memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
b. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha,
dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang
tangguh dan mandiri.
c. Upaya tersebut diatas dilakukan melalui kemitraan yang merupakan kerja sama
usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan, baik dalam aspek produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya
manusia, maupun teknologi.
Di tahun 1998 diterbitkan PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Kecil, dengan penjabaran atas pokok-pokok pemikiran yang lebih
terperinci sebagai berikut :
a. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha
dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dan dilakukan
secara terarah dan terpadu serta berkesinambungan untuk mewujudkan usaha kecil
yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah.
b. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil tersebut diatas dilaksanakan dengan
memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil.
c. Ruang lingkup pembinaan dan pengembangan usaha kecil meliputi bidang produksi
dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dan teknologi.
d. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
-. identifikasi potensi dan masalah yang dihadapi oleh usaha kecil;
-. penyiapan program pembinaan dan pengembangan sesuai potensi dan masalah yang
dihadapi oleh usaha kecil;
-. pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan;
-. pemantauan dan pengendalian pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan
bagi usaha kecil.
e. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di bidang produksi dan pengolahan,
dilaksanakan dengan :
-. meningkatkan kemampuan manajemen serta teknik produksi dan pengolahan;
-. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan;
-. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan
pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan;
-. menyediakan tenaga konsultan profesional di bidang produksi dan pengolahan.
f. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di bidang pemasaran, dilaksanakan
dengan :
-. melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran;
-. meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;
-. menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji coba pasar;
-. mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi;
-. memasarkan produk usaha kecil;
-. menyediakan tenaga konsultan profesional di bidang pemasaran;
-. menyediakan rumah dagang dan promosi usaha kecil.
-. memberikan peluang pasar.
g. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di bidang sumber daya manusia,
dilaksanakan dengan :
-. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan;
-. meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial;
-. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan, pelatihan dan konsultasi
usaha kecil;
-. menyediakan tenaga penyuluh dan konsultan usaha kecil;
-. menyediakan modul manajemen usaha kecil;
-. menyediakan tempat magang, studi banding dan konsultasi untuk usaha kecil.
h. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di bidang teknologi, dilaksanakan dengan
:
-. meningkatkan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu;
-. meningkatkan kemampuan di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan
teknologi baru;
-. memberikan intensif kepada usaha kecil yang menerapkan teknologi baru dan
melestarikan lingkungan hidup;
-. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;
-. meningkatkan kemampuan dalam memenuhi standardisasi teknologi;
-. menumbuhkan dan mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di
bidang desain dan teknologi bagi usaha kecil;
-. menyediakan tenaga konsultan profesional di bidang teknologi;
-. memberikan bimbingan dan konsultasi berkenaan dengan hak atas kekayaan
intelektual.
Sampai pada akhirnya lahir UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang ditindaklanjuti
dengan Kepmen.BUMN No. Kep-236/MBU/2003 junctoPermen.BUMN No. Per-
05/MBU/2007, yang memiliki pokok-pokok pemikiran atau pertimbangan sebagai
berikut :
a. Mengingat bahwa salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan lemah, koperasi, dan
masyarakat, maka BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan
pembinaan usaha kecil / koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
b. Persero dan Perum milik Pemerintah (BUMN) wajib melaksanakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan, sedangkan bagi BUMN Persero Terbuka
pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dapat mengacu kepada
pelaksanaan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan pada Persero dan
Perum (BUMN Non Terbuka).
c. Dana Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan BUMN bersumber dari :
-. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen), yang ditetapkan
oleh Menteri bagi BUMN berbentuk Perum dan RUPS bagi BUMN berbentuk Persero;
-. Jasa administrasi pinjaman, marjin, bagi hasil, bunga deposito, dan atau jasa giro
dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi biaya operasional;
Apabila memungkinkan, suatu BUMN dapat melimpahkan dana Program Kemitraan
kepada BUMN yang lain.
d. Program Kemitraan diberikan dalam bentuk : pembiayaan modal kerja dan atau
pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan, atau
pembiayaan kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha yang diperlukan dalam
rangka memenuhi pesanan dari rekanan.
e. Program Bina Lingkungan diberikan dalam bentuk :
-. Bantuan korban bencana alam;
-. Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;
-. Bantuan peningkatan kesehatan;
-. Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;
-. Bantuan sarana ibadah;
-. Bantuan pelestarian alam.
Melihat pada pemaparan diatas sebagai hasil kajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang mengandung nilai-nilai TJSL, kiranya penulis mengemukakan suatu
keyakinan bahwa pemerintah, nyata dan sungguh-sungguh, memiliki komitmen, cara
pandang, dan wawasan berdimensi CSR didalam upayanya menggerakkan
pembangunan perekonomian nasional. Apalagi kalau dikaitkan dengan jiwa dan makna
dari Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 peran yang demikian ini memang
merupakan tuntutan tersendiri yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Selain
daripada itu, berbagai perangkat hukum peraturan perundang-undangan tersebut
diatas menunjukkan adanya dua bidang sisi pengaturan oleh pemerintah, yakni : sisi
publik dan sisi privat. Pada sisi publik, dengan dikeluarkannya peraturan perundang-
undangan yang mengatur perusahaan perseroan yang dimiliki oleh pemerintah, maka
perusahaan perseroan milik pemerintah ( baik dalam bentuk-bentuk badan hukum pada
saat itu hingga pada akhirnya mengalami penyederhanaan seperti saat ini ) diberikan
kewajiban untuk menjalankan peran TJSL. Sementara pada sisi privat, pemerintah
melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan usaha
kecil dan koperasi juga memberikan kewajiban serupa kepada pengusaha menengah
dan besar untuk tetap memperhatikan dan peduli terhadap pengusaha kecil dan
koperasi serta masyarakat sekitarnya.
IV. MENGGALI KORELASI PKBL BUMN DAN PASAL 74 UU NO. 40 TAHUN 2007
Sebuah terobosan baru dalam perkembangan pranata hukum di Indonesia dilakukan
oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal
16 Agustus 2007 dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT). Undang-undang tersebut menggantikan undang-undang serupa,
yakni UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Apabila disimak pada bagian
penjelasan umum dari undang-undang tersebut, maka sangat nyata sekali adanya
keinginan yang kuat dari pemerintah untuk melakukan pembaharuan atau reformasi
bidang hukum. Dengan undang-undang tersebut telah diakomodir atau diakui
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang berkembang pesat
sedemikian rupa pada era globalisasi ini, seperti : jasa teknologi informasi sistem
administrasi badan hukum secara elektronik, berkembangnya dunia usaha yang
didasarkan prinsip-prinsip syariah, dan mengenai TJSL bagi perseroan terbatas.
Lebih jauh didalam UUPT tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perseroan
terbatas (perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perseroan harus memiliki maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Organ
perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan
Komisaris.
RUPS memiliki kewenangan yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris.
Adapun Direksi merupakan organ perseroan yang memiliki kewenangan dan tanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar
pengadilan. Sementara Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang memiliki tugas
untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran
dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. RUPS-lah yang memutuskan mengenai
pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris suatu perseroan.
Apabila dipahami lebih mendalam ternyata UU BUMN memiliki konstruksi hukum yang
serupa dengan UUPT. UU BUMN mereformasi dan melakukan pembaharuan pranata
hukum di Indonesia. Dengan UU tersebut, BUMN disederhanakan menjadi dua bentuk
yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) yang bertujuan memupuk keuntungan dan
Perusahaan Umum (Perum) yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan usaha
sebagai implementasi kewajiban pemerintah guna menyediakan barang dan jasa
tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk bentuk usaha Perum,
walaupun keberadaannya untuk melaksanakan kemanfaatan umum, namun demikian
sebagai badan usaha diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk itu Perum harus
diupayakan juga untuk mendapat laba agar bisa hidup berkelanjutan.
Sebelum UU BUMN muncul, penataan sistem pengelolaan dan pengawasan BUMN
dilakukan oleh Pemerintah pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya UU Nomor 19 Prp.
Tahun 1960 yang bertujuan mengusahakan adanya keseragaman dalam cara mengurus
dan menguasai serta bentuk hukum dari badan usaha negara yang ada. Pada tahun
1969, ditetapkan UU Nomor 9 Tahun 1969 dimana BUMN (saat itu) disederhanakan
menjadi tiga bentuk badan usaha negara yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan) yang
sepenuhnya tunduk pada ketentuan Indonesische Bedrijvenwet (Stbl. 1927: 419),
Perusahaan Umum (Perum) yang sepenuhnya tunduk pada ketentuan UU Nomor 19
Prp. Tahun 1960 dan Perusahaan Perseroan (Persero) yang sepenuhnya tunduk pada
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl. 1847: 23) khususnya pasal-
pasal yang mengatur perseroan terbatas (yang saat ini telah diganti dengan UU Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Sejalan dengan amanat UU Nomor 9
Tahun 1969 tersebut, Pemerintah membuat pedoman pembinaan BUMN yang berkaitan
dengan mekanisme pembinaan, pengelolaan dan pengawasan sebagaimana dituangkan
dalam PP Nomor 3 Tahun 1983, kemudian diperbaharui dengan PP Nomor 12 Tahun
1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO), PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) dan PP Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan
(PERJAN).
Dikatakan didalam UU BUMN tersebut, yang dimaksud dengan BUMN adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Modal
suatu perseroan terbatas BUMN terbagi dalam saham, yang apabila seluruh saham atau
paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia maka perseroan
terbatas BUMN tersebut berbentuk Persero yang memiliki tujuan utamanya mengejar
keuntungan, sedangkan apabila seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi
atas saham maka perseroan terbatas BUMN tersebut berbentuk Perum yang memiliki
tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan.
Meski tidak secara eksplisit menegaskan mengenai organ perseroan suatu BUMN, UU
BUMN menyebutkan bahwa pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi (Pasal 5 ayat 1),
sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas (Pasal 6
ayat 1). Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan
dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi, Komisaris, maupun Dewan Pengawas
harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib
melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Direksi selaku organ BUMN yang ditugasi melakukan pengurusan tunduk pada semua
peraturan yang berlaku terhadap BUMN dan tetap berpegang pada penerapan prinsip-
prinsip good corporate governance yang meliputi:
a) transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan
dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan;
b) kemandirian, yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
c) akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
d) pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
e) kewajaran, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
UUPT menegaskan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam memiliki kewajiban untuk melaksanakan
TJSL (Pasal 74 ayat 1), dimana kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74 ayat 2). Bagi
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 74 ayat 3). Yang dimaksud dengan
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah
Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseroan yang tidak mengelola dan
tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam. Hadirnya ketentuan Pasal 74 UUPT diatas
memiliki tujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang,
dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Oleh
karena itu, Perseroan yang tidak melaksanakan TJSL tersebut diatas dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud
dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang terkait (Penjelasan Pasal 74 ayat 3).
Ketentuan Pasal 74 UUPT ini mengundang polemik banyak kalangan, terutama dari
para pengusaha. Polemik tersebut berlanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi, dengan
didaftarkannya permohonan Pengujian Materiil Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) beserta
penjelasannya UUPT terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945
oleh Mohamad Sulaiman Hidayat (Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia Periode 2004-2009 yang juga Bendahara Partai Golongan Karya), Erwin Aksa
(Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang juga CEO
Bosowa Group), dan Fahrina Fahmi Idris (anak Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang
juga Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) pada tanggal 3 Desember 2008
dengan Registrasi Perkara No. 53/PUU-VI/2008.
Norma yang diajukan untuk diuji adalah 1 (satu) norma materiil yang berada didalam
Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPT, sebagai berikut :
Ayat (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
Ayat (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memeperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
Ayat (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang;
Sedangkan norma yang dipergunakan sebagai alat uji adalah 3 (tiga) norma yang
tertuang didalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD
1945, sebagai berikut :
Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif.
Pasal 33 ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
Alasan-Alasan yang dikemukakan oleh Pemohon dengan diterapkan UUPT bertentangan
dengan UUD 1945, adalah sebagai berikut
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/resume_sidang_perkara
%2053%20%20PT.pdf) :
1. Bahwa CSR atau TJSL merupakan suatu prinsip yang bersifat etis dan moral,
penempatan norma tersebut didalam Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UUPT
menjadikannya bersifat kewajiban dan memiliki sanksi bagi yang tidak menjalankan
pasal dimaksud. Tindakan tersebut menyebabkan Indonesia menjadi satu-satunya
negara di dunia yang memberi norma pada sifat etis dan moral pada CSR/TJSL
sehingga menjadi bersifat wajib dan harus dianggarkan serta diperhitungkan sebagai
biaya operasional korporasi dengan pemberian sanksi;
2. Tindakan tersebut di atas juga menimbulkan ketidakpastian dan contradictio in
terminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara Tanggung Jawab yang
didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) yang bersifat voluntairly dengan
kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) yang mempunyai daya memaksa;
3. Pemberian norma pada prinsip CSR/TJSL dengan sifat wajib juga telah menimbulkan
perlakuan yang tidak sama di muka hukum dan juga mempunyai tendensi sebagai
tindakan yang dapat dikualifikasi bersifat diskriminatif karena perusahaan yang
bergerak dibidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya berdasarkan
Undang-undang sektoral, tetapi masih diwajibkan untuk menganggarkan TJSL,
sedangkan terhadap perusahaan-perusahaan lain tidak diwajibkan untuk melakukan
TJSL. Demikian juga terhadap perusahan-perusahaan lain yang tidak tunduk pada UUPT
tidak diwajibkan.
4. Pasal 1 angka 3 UUPT menyatakan bahwa tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, tetapi Pasal 74 ayat (1) dan (2) UUPT merumuskannya menjadi suatu
kewajiban bagi perseroan untuk menjalankan TJSL serta wajib menganggarkan dan
memerhitungkannya sebagai biaya Perseroan. Kewajiban menganggarkan biaya TJSL
justru juga menimbulkan kerancuan pengertian TJSL karena TJSL didefinisikan seolah-
olah hanya kegiatan yang harus mengeluarkan biaya saja. Ada begitu banyak kegiatan
TJSL yang tidak menimbulkan konsekwensi biaya bahkan dapat menghemat biaya,
seperti : upaya peghematan energi dan air, pemberdayaan masyarakat dengan
pelibatan dalam lembaga keuangan mikro, dan memperlakukan karyawan dengan lebih
manusiawi.
5. CSR/TJSL yang dinormakan menjadi kewajiban menciptakan atau setidaknya
potensial menciptakan penyelewengan (sikap dan prilaku koruptif), tidak hanya pada
birokrasi lebih jauh meluas di kalangan masyarakat umum, karena TJSL hanya
ditafsirkan secara sempit saja, yaitu: sebagai ganti kerugian, bukan sebagai biaya
untuk membangun hubungan harmonis jangka panjang antara perusahaan dengan
stakeholder.
6. CSR/TJSL sebagai kewajiban merupakan tindakan penyeragaman dan potensial
bersifat artifisial karena hanya dilihat dari perspektif pemenuhan prasyarat legal formal.
Hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi terutama frasa efisiensi
berkeadilan , karena TJSL tiap perusahaan berbeda-beda tidak bisa disamaratakan,
dan secara relatif yang paling memahami, apakah suatu program TJSL bermanfaat bagi
stakeholder adalah pelaku usaha sendiri, sehingga pemerintah tidak pada posisi
melakukuan tindakan penyeragaman kebijakan TJSL dan bahkan menjadikannya
sebagai suatu kewajiban. TJSL tidak hanya sekedar dan berarti pemberian ganti
kerugian, tetapi membangun hubungan harmonis perusahaan dengan lingkungannya
itu bisa berujud beragam program, seperti : membangun sekolah, rumah sakit, tempat
pendidikan atau upaya lain mensejahterakan lingkungannya. Itu sebabnya, besar
kecilnya dan peruntukan TJSL tidak dapat dibuat serupa dan ditentukan
keseragamannya. Dengan demikian, TJSL sebagai kewajiban yang legal normative
bertentangan dengan esensi efisiensi berkeadilan;
7. UUPT termasuk ranah yang mengatur tentang mekanisme pendirian sebuah
perseroan terbatas yang dimaksudkan untuk menjamin terselengaranya iklim dunia
usaha yang kondusif, tetapi secara sembarangan dan tidak jelas landasan kajian
akademisnya telah mengatur tentang kewajiban Tangung Jawab Sosial dan
Lingkungan perseroan terbatas yang justru potensial akan menciptakan iklim usaha
yang tidak kondusif melalui adanya kewajiban penganggaran yang memberatkan
pengusaha. Keadaan faktual ini semakin relevan dengan adanya krisi keuangan yang
kini tengah melanda dunia termasuk di dalamnya Indonesia sehingga kian
memberatkan;
8. Negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan serta juga bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dengan demikian, pemajuan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
secara subtantif sesungguhnya merupakan kewajiban serta bagian dari fungsi negara.
Tindakan dan/atau pengaturan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 74 ayat (1), (2),
dan (3) UUPT tersebut dapat dikualifikasi sebagai penormaan TJSL menjadi kewajiban
dunia usaha. Tindakan sedemikan dapat dimaknai sebagai privatisasi fungsi negara
pada dunia usaha.
9. Penjelasan yang tersebut dalam Pasal 74 yang mengatur masalah TJSL/CSR juga
dapat dikualifikasi sebagai pembuatan norma baru dari Pasal 74 ayat (1) dan (2) UUPT.
Penjelasan dimaksud memperluas pasal tersebut karena perseroan tersebut tidak
hanya perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam, tetapi juga perseroan yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi
kemampuan sumber daya alam.
Pada sisi lain terdapat versi argumentasi yang mendukung pengaturan CSR atau TJSL
didalam undang-undang. Qomaruddin, Direktur Litigasi Perundang-undangan Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, didalam
makalahnya berjudul Pengaturan Corporate Social Responsibility Menurut UUPT yang
disampaikan pada acara Workshop Kajian Penerapan Pasal 74 UUPT dan Kaitannya
Dengan PKBL Pada BUMN diselenggarakan oleh Kementerian Negara BUMN pada
tanggal 3-4 Desember 2008 di Jakarta menjelaskan bahwa sebenarnya TJSL menurut
UU No. 40 Tahun 2007 tidak berbeda dengan konsep CSR yang selama ini dikenal
dalam dunia usaha. Perbedaannya adalah didalam UUPT secara tegas memasukkan
juga tanggung jawab lingkungan. Selain itu, TJSL menurut UUPT hanya berlaku bagi
perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dibidang sumber daya alam atau yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Hal ini menimbulkan pengertian bahwa
perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usaha baik di bidang sumber daya alam
atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak memiliki kewajiban untuk
melaksanakan TJSL.
Dengan memperhatikan manfaat dan peran yang mampu diberikan oleh perseroan
terbatas dalam tatanan sistem pembangunan perekonomian, maka muncul satu
kebutuhan untuk melakukan penataan peraturan perundang-undangan dibidang
perseroan terbatas secara komprehensip yang mengatur seluruh aspek kegiatan
perekonomian, mulai dari penataan bentuk badan usahanya, prosedur pemberian
izinnya, kegiatan usahanya, termasuk etika dalam melakukan kegiatan bisnisnya.
Selain itu, keberadaan perseroan terbatas dalam melaksanakan perannya sebagai
pelaku ekonomi tidak dapat dilepaskan tanggung jawabnya dari berbagai persoalan
sosial dan lingkungan dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi
perusahaan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini
dimaksudkan demi terciptanya hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai norma, dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, jelas
dapat dilihat adanya tujuan pengaturan TJSL didalam undang-undang yakni untuk
mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perusahaan itu sendiri, komunitas
setempat, dan masyarakat pada umumnya. Disamping itu, dimaksudkan juga untuk
mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Pablo Nieto, peneliti dan jurnalis CSR dari Spanyol, mengatakan bahwa jika
menganalisis argumentasi yang mendukung pengaturan CSR/TJSL didalam peraturan
perundangan, maka dapat teridentifikasi adanya dua orientasi, yakni (Qomaruddin,
Makalah disampaikan pada Workshop Kajian Penerapan Pasal 74 UUPT dan Kaitannya
Dengan PKBL Pada BUMN yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara BUMN, tahun
2008, hal.5) :
Pertama : Orientasi agar pemerintah mengambil peranan untuk mendukung budaya
CSR antar perusahaan; dan
Kedua : Orientasi bahwa hukum CSR sangat diperlukan untuk menentukan konsep,
normalisasi kegiatan, standarisasi perilaku, membangun sistem audit, membangun
jaringan tiga kewajiban dasar bagi perusahaan yang ada dalam pasar modal, etika
berinvestasi dana yang baik, mendorong daya beli masyarakat dan sistem pengupahan
perusahaan-perusahaan tersebut yang dapat diklasifikasi sebagai tanggung jawab
sosial.
Anastasia Dwifebri Martanti, didalam tulisan berjudul Corporate Social Responsibility
(CSR) Seharusnya Ikut Serta Perbaiki Perekonomian Bangsa yang dipublikasikan di
laman website http://www.isei.or.id/page.php?id=5aug073, menyampaikan
bahwa Polling tentang perlukah perusahaan melaksanakan CSR pernah dilaksanakan
oleh Majalah Swa. Polling yang melibatkan 789 responden ini menunjukkan bahwa
91.38% perlu melaksanakan CSR, 5.58% menyatakan tidak perlu, dan 3.04%
menyatakan tidak tahu. Hasil survey The Millenium Poll on CSR (1999) yang
dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan
Prince of Wales Business Leader Forym (London) diantara 25.000 responden di 23
negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini perusahaan, 60% mengatakan
bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan,
tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40%
citra perusahaan dan brand image yang akan paling mempengaruhi kesan mereka.
Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor
finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan, atau managemen. Lebih lanjut,
sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin
menghukum (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang
bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan
tersebut. Dari pro dan kontra yang terjadi antara beberapa pihak tentang CSR,
sebenarnya jika kita telaah lebih dalam, CSR harusnya bisa ikut serta dalam
memperbaiki perekonomian bangsa. Jika selama ini pemerintah tidak bisa membangun
bangsa karena alasan kurangnya anggaran dan sumberdaya, dengan adanya CSR
sebenarnya perusahaan bisa membantu. Sepatutnya CSR ditetapkan dalam aturan
yang lebih jelas agar pelaksanaannya benar benar terkoordinasi sehingga peluang
terjadinya penyimpangan bisa diminimalisir. Perlu dicatat para pelaku bisnis, bahwa
CSR di Indonesia juga akan makin berperan, dan berbisnis dengan melakukan CSR
akan menjadi suatu investasi bagi masa depan perusahaan.
Erna Witoelar, Duta Besar Millenium Development Goals (MDGs) Periode Tahun 2001-
2007, menyampaikan pandangan bahwa kontribusi korporat dalam pembangunan dan
pengembangan Indonesia tak hanya ditentukan lewat kegiatan bisnis, tetapi juga pada
beberapa kontribusinya terhadap lingkungan sekitar (Warta Ekonomi, 23 Juli 2007).
Terlepas dari pro dan kontra tersebut diatas, bagaimana halnya dengan pelaksanaan
PKBL yang selama ini telah dilaksanakan oleh BUMN, perusahaan perseroan milik
Negara, bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 74 UUPT tersebut?
Penulis berpendapat bahwa masuknya campur tangan pemerintah kedalam sisi privat
daripada pelaku usaha adalah adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk
memperoleh jaminan dari pelaku usaha menyangkut keserasian, keseimbangan, dan
kesesuaian lingkungan antara perusahaan dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat. Pemerintah meyakini bahwa perusahaan-perusahaan milik swasta telah
menjadikan CSR sebagai bagian dari sistem manajemen perusahaan apabila
perusahaan yang bersangkutan ingin agar tetap dapat tumbuh berkembang dan
diterima oleh masyarakat (konsumen). Pada sisi lain, penulis juga tidak menampikkan
pendapat yang mengatakan bahwa hadirnya ketentuan yang mewajibkan perusahaan
tertentu untuk melaksanakan TJSL memberikan kesan seolah-olah pemerintah
menutupi ketidakmampuannya dalam memberikan jaminan kepada setiap warga
negaranya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Banyaknya perangkat
peraturan perundang-undangan sektoral yang mengikat bagi perusahaan masih juga
belum dapat berjalan secara efektif sehingga disana-sini banyak dijumpai pengrusakan
sumber daya alam yang berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar perusahaan
tersebut.
Melihat pada hasil analisa normatif diatas, penulis berpendapat bahwa UU BUMN Tahun
2003 merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang bersifat
melengkapi (komplementer) terhadap UUPT. UUPT merupakan instrumen hukum yang
mengatur sisi privat daripada pelaku usaha, sementara UU BUMN mengambil peranan
pada sisi publiknya yakni adanya unsur campur tangan dari pemerintah selaku pemilik
perseroan BUMN. Pemerintah merasa perlu untuk memainkan perannya terhadap
perseroan BUMN agar BUMN tersebut dapat berjalan selayaknya badan usaha milik
swasta (privat) lainnya, sebagai kompetitor sekaligus penyeimbang peranan pihak
swasta dalam pembangunan sistem perekonomian nasional.
Ketentuan serupa Pasal 74 UUPT dapat dijumpai pada UU BUMN yakni terkandung
didalam Pasal 2 ayat (1) huruf e juncto Pasal 88 ayat (1). Maksud dan tujuan daripada
pendirian suatu BUMN diantaranya adalah turut aktif memberikan bimbingan dan
bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Guna
mewujudkannya, BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan
pembinaan usaha kecil dan koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
Komitmen pemerintah ini secara lebih terperinci diuraikan didalam Penjelasan Umum
UU BUMN yang menegaskan bahwa memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yang selanjutnya lebih rinci
diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, merupakan tugas konstitusional bagi seluruh
komponen bangsa. BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dan
komponen bangsa dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan
koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi
melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi. Dalam sistem
perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang
diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.
Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam
sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga
mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang
kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil dan
koperasi. Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 88 UU BUMN tersebut ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya Permen.BUMN No. Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN
dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PKBL BUMN tidak
secara tegas eksplisit memberikan pemisahan antara BUMN yang menjalankan kegiatan
usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dengan BUMN yang
kegiatan usahanya tidak dibidang dan/atau berkaitan sumber daya alam. Sementara
pada UUPT, yang mengatur TJSL bagi perusahaan milik swasta, memberikan garis
pemisah secara tegas eksplisit yakni bahwa tanggung jawab dimaksud hanya
dibebankan / diwajibkan kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pemerintah, sesuai dengan komitmen untuk mewujudkan dan
memaksimalkan peranan BUMN bagi pengembangan perekonomian nasional, tanpa
melihat jenis atau bidang usahanya memberikan tanggung jawab yang mulia kepada
BUMN untuk turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan lemah, koperasi, dan masyarakat melalui / dalam bentuk PKBL. Yang
menjadikannya berbeda adalah bahwa sesuai dengan ketentuan PKBL maka biaya
untuk pelaksanaan PKBL berasal dari laba bersih BUMN setelah pajak, sementara
menurut UUPT biaya program untuk pelaksanaan TJSL merupakan biaya yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan.
Pasal 3 UU BUMN menegaskan bahwa terhadap BUMN berlaku undang-undang ini (UU
BUMN), anggaran dasar, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya dijelaskan didalam
Penjelasan Pasal 3-nya, yakni ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
termasuk perubahannya jika ada dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan
perundang-undangan sektoral yang mengatur bidang usaha BUMN dan swasta yang
dikeluarkan oleh departemen/lembaga nondepartemen. Dengan demikian jelas bahwa
ketentuan PKBL BUMN pun harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal 74 UUPT, hanya
saja oleh karena ketentuan lebih lanjut mengenai TJSL tersebut belum ada sampai saat
ini maka Kementerian Negara BUMN mengeluarkan Surat Edaran No. SE-07/MBU/2008
(SE-07 BUMN) tentang Pelaksanaan PKBL dan Penerapan Pasal 74 UUPT. Didalam SE-
07 BUMN disebutkan bahwa bagi BUMN yang sumber dana PKBL-nya berasal dari
penyisihan laba, maka tetap melaksanakan PKBL sesuai dengan alokasi dana yang
disetujui RUPS. Hal ini berarti bahwa PKBL BUMN tetap mengacu
kepada Permen.BUMN No. Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
V. KESIMPULAN
Melihat pemaparan tersebut diatas sebagai hasil kajian normatif kebijakan pemerintah
mengenai PKBL BUMN pasca terbitnya Pasal 74 UUPT, maka penulis menyimpulkan
beberapa hal, sebagai berikut :
1. Bahwa pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menanamkan dan
menerapkan prinsip-prinsip berperilaku bagi para pelaku ekonomi dalam tatanan
perekonomian Indonesia yang berdimensi CSR, melalui berbagai kebijakan berupa
peraturan perundang-undangan sektoral;
2. Bahwa tidak hanya pelaku ekonomi skala menengah dan besar saja yang diarahkan
untuk selalu memperhatikan prinsip-prinsip berperilaku etis dalam berusaha yang
berdimensi CSR, BUMN selaku bagian dari pelaku ekonomi dalam tatanan
perekonomian Indonesia juga mengemban amanat serupa yang pelaksanaannya
diwujudkan dalam bentuk PKBL;
3. Bahwa pemerintah tidak memberikan pembedaan antara BUMN yang bergerak
dibidang sumber daya alam dengan BUMN yang tidak dibidang sumber daya alam
dalam pelaksanaan PKBL-nya.
4. Bahwa UU BUMN secara tegas menundukkan BUMN pada UUPT, yang berarti pula
bahwa pelaksanaan PKBL BUMN juga harus disesuaikan / tunduk dengan ketentuan
Pasal 74 UUPT. Namun mengingat bahwa peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari
ketentuan Pasal 74 UUPT tersebut hingga saat ini belum ada, maka pelaksanaan PKBL
BUMN tetap mengacu kepada peraturan pelaksanaan PKBL BUMN yang lama
(Permen.BUMNNo. Per-05/MBU/2007 juncto Surat Edaran No. SE-07/MBU/2008);
5. Dengan melihat pada ruang lingkup program yang dijalankan oleh PKBL BUMN, maka
dapat dikatakan bahwa PKBL BUMN sebenarnya juga merupakan bentuk perilaku
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan TJSL menurut Pasal 74 UUPT. Perbedaannya
terletak pada sumber dana pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatannya, yang untuk
hal ini masih dilakukan pengkajian lebih lanjut sembari menunggu peraturan
pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 74 UUPT.
*) Penulis adalah Legal Staff pada PT. JIEP (BUMN Pengelola Kawasan Industri
Pulogadung) dan Anggota PKBL PT. JIEP.
-
Tata cara / Persyaratan Pinjaman Program Kemitraan
Bagi pelaku UMKM yang ingin bermitra dengan BUMN berikut ini adalah tata
cara/persyaratan pinjaman, namun terdapat beberapa perbedaan untuk setiap BUMN,
akan tetapi secara umum persyaratan pinjaman adalah sebagai berikut :
1) Mengajukan proposal permohonan pinjaman yang memuat :
a) Data pribadi sesuai KTP
b) Data Usaha (bentuk usaha, alamat usaha, mulai mendirikan usaha, jumlah tenaga
kerja, dsb)
c) Data Keuangan meliputi Laporan Keuangan/Catatan Keuangan 3 (tiga) bulan
terakhir,
d) Rencana Penggunaan Dana Pinjaman
2) Melampirkan :
a) Fotocopy KTP Suami/Istri atau identitas lainnya.
b) Fotocopy Kartu Keluarga.
c) Pas Photo ukuran 34
d) Ijin Usaha / Surat Keterangan Usaha dari pihak yang berwenang.
e) Gambar / Denah Lokasi Usaha.
f) Fotocopy Rekening Bank / Buku Tabungan.
g) Laporan Keuangan Sederhana (diisi pada formulir aplikasi).
h) Surat Pernyataan tidak sedang mendapatkan pinjaman Kemitraan dari BUMN lain.
Bentuk Program Kemitraan BUMN dengan UMKM
Bentuk Program Kemitraan yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku UMKM adalah
pemberian pinjaman untuk modal kerja dan investasi produktif, pinjaman khusus.
BUMN juga melakukan pendampingan kepada UMKM untuk meningkatkan kapasitas
usaha. Secara rinci bentuk program kemitraan BUMN dengan UMKM adalah :
1) Pemberian pinjaman untuk modal kerja dan/atau pembelian Aktiva Tetap Produktif;
2) Pinjaman khusus bagi UMK yang telah menjadi binaan yang bersifat pinjaman
tambahan dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha UMK Binaan.
3) Program pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity building)
UMK binaan dalam bentuk bantuan pendidikan/pelatihan, pemagangan, dan promosi.
4) Capacity Building diberikan di bidang produksi & pengolahan, pemasaran, SDM, dan
teknologi. Dana capacity building bersifat hibah dan hanya dapat diberikan kepada atau
untuk kepentingan UMK Binaan.
Jenis Usaha yang Dibiayai Program Kemitraan BUMN dengan UMKM
Pada prinsipnya semua jenis usaha yang produktif dari semua sektor ekonomi (industri/
perdagangan/ pertanian/ perkebunan/ perikanan/ jasa/ lainnya)dapat bermitra dan
dibiayai oleh BUMN. Baik itu usaha yang menghasilkan barang atau produk maupun
usaha berbentuk jasa dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Memiliki kriteria sebagai usaha kecil (termasuk usaha mikro), yaitu memiliki
kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.1 milyar; Ketentuan ini
disesuaikan dengan Undang Undang No 20 Tahun 2008.
b) Milik Warga Negara Indonesia;
c) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha
menengah atau usaha besar;
d) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum
atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi;
e) Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan;
f) Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun;
g) Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable).
Demikianlah informasi singkat mengenai Priogram PKBL BUMN yang dapat
dimanfaatkan oleh para pelaku usaha mikro kecil dan menengah dimanapun berada,
terutama yang berdekatan dengan lokasi BUMN berada. Infromasi lanjutan akan Penulis
paparkan pada tulisan-tulisan berikutnya, Insya Allah. Namun untuk lebih jelasnya,
para pelaku UMKM dapat menghubungi langsung bagian PKBL yang ada di setiap
BUMN, minta penjelasan rinci dari mereka.

You might also like