Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai biomekanika vertebra servikalis. Ringkasannya adalah:
1. Dokumen tersebut membahas anatomi dan jenis-jenis vertebra servikalis serta bagian-bagiannya.
2. Vertebra servikalis memiliki peran penting dalam menopang kepala dan memungkinkan gerakan leher.
3. Cedera pada vertebra servikalis dapat berdampak buruk seperti kelumpuhan.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai biomekanika vertebra servikalis. Ringkasannya adalah:
1. Dokumen tersebut membahas anatomi dan jenis-jenis vertebra servikalis serta bagian-bagiannya.
2. Vertebra servikalis memiliki peran penting dalam menopang kepala dan memungkinkan gerakan leher.
3. Cedera pada vertebra servikalis dapat berdampak buruk seperti kelumpuhan.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai biomekanika vertebra servikalis. Ringkasannya adalah:
1. Dokumen tersebut membahas anatomi dan jenis-jenis vertebra servikalis serta bagian-bagiannya.
2. Vertebra servikalis memiliki peran penting dalam menopang kepala dan memungkinkan gerakan leher.
3. Cedera pada vertebra servikalis dapat berdampak buruk seperti kelumpuhan.
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2014 1
BAB I PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang biomekanik normal dari vertebra servikalis sangat penting untuk membedakannya dengan keadaan patologis yang bisa mengubah keadaan normal tersebut. Perubahan yang terjadi selama trauma atau keadaan patologis lain maupun karena beberapa prosedur operasi pada bagian servikal dapat mempengaruhi stabilitas dari vertebra servikal ini (Suchomel and Buchvald, 2011). Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan stroke. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, olahraga dan kecelakaan kerja. Lokasi fraktur servikal paling sering yaitu pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3 (Japardi, 2002). Trauma dapat mencederai segala bagian kolumna spinalis, namun sehubungan dengan sifat anatomis dan fisiologis masing-masing segmen vertebra, maka ada bagian tertentu yang mempunyai risiko lebih tinggi daripada yang lain terhadap salah satu jenis cedera spinal. Contohnya pada bagian leher yang bersifat lebih mobile dan merupakan penghubung antara dua bagian tubuh yang besar cenderung terlibat pada sebagian besar cedera spinal tertutup (Satyanegara, 2010). Cedera spinal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma, karena alasan ini, evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, spinal cord dan nerve roots memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini dan menjaga alignment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen. Penanganan, rehabilitasi spinal cord dan kemajuan perkembangan multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi servikal dan stabilisasi merupakan hal penting yang harus dikenal masyarakat (Japardi, 2002). Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh yang dapat mencederai bagian leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) sangat terkait dengan kemungkinan adanya kelainan vertebra servikal. Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Vertebra servikal yang mengalami 2
trauma sangat terkait dengan cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan (Japardi, 2002).
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Leher merupakan bagian vertebra yang paling bergerak (mobile), mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: 1. menopang dan memberi stabilitas pada kepala, 2. memungkinkan kepala bergerak di semua bidang gerak, 3. melindungi struktur yang melewati spina, terutama medula spinalis, akar saraf, dan arteri vertebra (Tulaar, 2008).
Gambar 1. Proyeksi vertebra servikalis dan tulang mandibula (Daniels and Kary, 2010)
4
Gambar 2. Bagian anterior vertebra servikal (Elsevier, 2013) Vertebra servikal menopang kepala, memungkinkan gerakan dan posisi yang tepat. Semua pusat saraf vital berada di kepala memungkinkan pengendalian penglihatan (vision), keseimbangan vestibular, arahan pendengaran (auditory) dan saraf penciuman. Untuk itu maka kepala harus ditopang oleh spina servikal pada posisi yang tepat agar memungkinkan gerakan spesifik untuk menyelesaikan semua fungsi tersebut (Tulaar, 2008).
2.1.1 Os (tulang) Vertebra Servikalis Vertebra servikalis adalah bagian bawah kepala dengan ruas-ruas tulang leher yang berjumlah 7 buah (CV I CV VII). Vertebra servikalis merupakan bagian terkecil di tulang belakang. Secara anatomi vertebra servikalis dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah servikal atas (CV1 dan CV2) dan daerah servikal bawah (CV3 sampai CV7) (Elsevier, 2013). Vertebra servikalis terdiri dari 7 tulang vertebra yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis dan dihubungkan oleh jaringan ligamen yang kompleks. Jaringan ligamen ini menyebabkan tulang-tulang ini dapat bekerja sebagai satu kesatuan unit yang utuh (Tambunan, 2011). 5
Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki struktur anatomi yang unik. Ketiga ruas telah diberi nama khusus, antara lain CV1 disebut atlas, CV2 disebut axis, dan CV7 disebut prominens vertebra, sedangkan vertebra servikalis 3-6 disebut vertebra servikalis tipikal karena vertebra servikalis ini memiliki ciri-ciri umum vertebra servikalis (Tambunan, 2011). Ruas tulang leher umumnya mempunyai ciri yaitu bagian korpusnya kecil dan persegi panjang, dimana diameter tranversus lebih besar dari diameter anteroposterior, terdapat sendi-sendi sinovial kecil pada tiap sisi. Vertebra servikalis mempunyai korpus yang pendek dan korpus ini berbentuk segiempat dengan sudut agak bulat jika dilihat dari atas. Tebal korpus bagian depan dan bagian belakang sama. Lengkungnya besar mengakibatkan prosesus spinosus di ujungnya memecah dua atau bifida. Prosesus tranversusnya berlubang-lubang karena banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis (Tambunan, 2011). Vertebra servikalis memiliki ciri-ciri berikut ini: tiap prosesus transversus mempunyai foramen prosesus transversus untuk arteri dan vena vertebralis, namun arteri vertebralis hanya melalui prosesus transverses C1-6 saja. Foramen vertebralis besar dan berbentuk segitiga. Prosesus artikularis superior mempunyai fasies artikularis yang rata dan kecil, menghadap ke belakang dan ke atas, prosesus artikularis inferior mempunyai fasies yang menghadap ke bawah dan depan (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
6
Gambar 3. Vertebra servikalis (Hansen, 2010)
2.1.1.1 Vertebra C1 Vertebra C1 dan C2 berbeda dari vertebra yang lain. Vertebra servikalis pertama dikenal sebagai atlas dimana berperan sebagai pendukung seluruh tengkorak. Atlas (C1) adalah struktur seperti cincin tanpa badan dengan dua lateral mass yang berartikulasi dengan kondilus oksipitalis di atas dan aksis (C2) di bawah (Tulaar, 2008). Atlas berbeda dengan vertebra servikalis lainnya karena tidak mempunyai korpus sehingga bentuknya hampir seperti cincin. Atlas tidak mempunyai prosesus spinosus namun memiliki tuberkulum posterior yang kecil yang berguna agar pergerakan kepala atau kranium lebih bebas. Atlas berbentuk cincin atau lingkaran yang dibagi dua yaitu lengkung depan disebut arkus anterior dan lengkung belakang disebut arkus posterior. Terlihat massa yang agak lebar pada pertemuan arkus anterior dan arkus posterior dan disebut lateral mass. Tiap lateral mass di bagian atas terdapat permukaan berbentuk oval dan konkaf disebut fovea artikularis superior dan permukaan ini bersendi dengan tulang kranium. Di bagian bawah tiap massa terdapat fasies artikularis yang bersendi dengan vertebra servikalis 2 (Epistropheus). 7
Di bagian samping lateral mass terdapat prosesus transversus dan foramen transversum (Tambunan, 2011).
2.1.1.2 Vertebra C2 Aksis (C2) mempunyai badan, prosesus spinosus yang bifida, dan prosesus odontoid yang menonjol ke atas yang secara kongenital adalah badan atlas yang menyatu (fused). Odontoid berartikulasi dengan lengkung anterior atlas. Hubungan normal tersebut memungkinkan pemisahan <3 mm antara lengkung anterior dan atlas. Sendi tersebut dapat menjadi lemah oleh karena trauma atau penyakit seperti artritis rheumatoid (RA). Pemisahan 3 mm atau lebih dalam fleksi dan ekstensi dianggap tidak stabil dan merupakan bukti instabilitas (Tulaar, 2008).
Gambar 4. Antlantodens Interval
Vertebra C2 dapat melakukan rotasi dengan artikulasi di atasnya, yaitu dengan C1, dan memiliki rotasi dan fleksi yang terbatas dengan artikulasi di bawahnya, dan dengan C3. Korpus C2 adalah yang terbesar di antara semua tulang vertebra servikal. Artikulasi superior terletak pada daerah lateral mass. Proyeksi superior dari odontoid distabilkan pada cincin C1 dengan bantuan ligamen transversus dan alar. Aksis adalah vertebra yang faset artikulasi superiornya terletak pada anterior dan faset artikulasi inferiornya terletak pada posterior. Isthmus atau pedikel pada tulang ini sering mengalami fraktur. Prosesus spinosus yang prominen bisa diraba dibawah oksiput. Bagian odontoid atau dens dari tulang ini memiliki variasi normal, salah satunya yang jarang, tetapi bisa diinterpretasikan salah sebagai fraktur adalah dens yang sepenuhnya tidak ada, dens yang hipoplastik atau yang fusinya pada korpus 8
C2 tidak komplit. Kelainan yang terakhir ini disebut Os Odontoideum. Os Odontoideum lebih kecil dari dens yang normal dan terikat ke cincin anterior C1 (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.1.1.3 Vertebra C3-C7 Vertebra servikal yang tipikal (C3-C7) mempunyai sifat khusus, yaitu bagian anterior lebih lebar dari posterior, yang menyebabkan lordosis servikal. Permukaan superior berbentuk konkaf dari ujung ke ujung akibat prosesus uncinatus (uncovertebral bodies) yang juga disebut sendi Luschka. Sendi tersebut muncul dari tepi posterolateral badan vertebra dan terletak di anterior akar saraf yang keluar dari foramen intervertebra. Sendi itu tidak ada saat lahir, tetapi berkembang pada akhir dekade pertama kehidupan. Walaupun masih kontroversial, sendi itu tidak termasuk sendi asli (true joint) karena tidak mempunyai sinovium. Artikulasi uncovertebral disangka berkembang dari celah (clefts) degeneratif atau dari resorpsi jaringan fibrosa di tepi supraposterolateral. Artikulasi tersebut dapat berdegenerasi mengalami hipertrofi dan kalsifikasi bersamaan dengan degenerasi diskus. Proses itu dapat mengakibatkan penyempitan foramen intervertebra sehingga menekan akar saraf bahkan medulla spinalis. Permukaan inferior vertebra C3-C7 berbentuk konkaf anteroposterior dan konveks lateral. Foramen terletak di setiap prosesus transversum di setiap sisi badan vertebra. Arteri vertebral melalui foramen itu (Elsevier, 2013).
Gambar 5. Artikulasi uncovertebral (Elsevier, 2013)
2.1.2 Diskus Intervertebralis Di antara dua vertebra, mulai di bawah C2, terdapat diskus intervertebralis, yang lebih lebar anterior dibandingkan posterior. Setiap diskus terdiri atas annulus dan nukleus, serta mempunyai struktur dalam yang lunak disebut nukleus pulposus. Diskus intervertebralis mempunyai suplai vaskuler sejak lahir sampai sekitar dekade kedua dalam kehidupan saat 9
pembuluh darah mulai terobliterasi dan mulai terjadi kalsifikasi lempeng ujung (endplates) vertebra. Pada dekade ketiga diskus menjadi avaskuler, dan nutrisi diskus melalui difusi dialisat melalui endplate serta imbibisi tekanan osmotik (osmotic gradient) ion yang larut di dalam substansi diskus. Terdapat juga faktor mekanik untuk imbibisi. Pada saat diskus mengalami penekanan ia mengeluarkan cairan dan saat relaks menyerap cairan, penekanan- relaksasi bergantian tersebut memungkinkan diskus menyerap (imbibition) seperti busa. Elastisitas serabut annular dan kompresibilitas nukleus memungkinkan aksi menyerap secara mekanik (Tulaar, 2008).
Gambar 6. Diskus Intervertebralis Nukleus berupa gel proteoglikan sangat terhidrasi (80% air) dan mengandung serabut kolagen yang tersebar (<5%). Gel proteoglikan mengandung banyak kelompok sulfat bermuatan negatif yang menarik dan mengikat air serta mencegah difusi ke luar. Nukleus secara utuh terkandung di dalam tabung annular yang mempertahankan tekanan intrinsik (Tulaar, 2008).
10
2.1.3 Ligamen Pada Vertebra Servikal Vertebra servikalis dihubungkan oleh jaringan ligamen yang kompleks. Jaringan ligamen ini menyebabkan tulang-tulang ini dapat bekerja sebagai satu kesatuan unit yang utuh. Adapun beberapa ligamen yang terdapat pada tulang servikal antara lain adalah: 1. Ligamen transversum, menahan prosesus odontoid ke dalam notch yang terletak posterior di pusat lengkung anterior, memungkinkan kepala dan atlas rotasi ke kiri dan kanan. Selain itu mempertahankan prosesus odontoid di daerah anterior kanal spina serta memberi ruangan cukup bagi medulla spinalis. Apabila terjadi kerusakan pada ligamen, prosesus odontoid dapat bergerak ke posterior dan menekan medulla spinalis. Pemeriksaan radiografik dapat memperlihatkan aspek lateral spina servikal pada fleksi ke depan, atau dengan pencitraan MRI. Derajat penekanan dapat dilihat secara klinis dengan pemeriksaan neurologik yang menunjukkan tanda upper motor neuron (Tulaar, 2008). 2. Ligamen alar, membatasi rotasi dan membatasi gerakan lateral prosesus odontoid, Apabila salah satu ligamen alar rusak, dapat menyebabkan kepala dan atlas subluksasi ke lateral (Tulaar, 2008). 3. Ligamen accessory atlantoaksial, membatasi derajat rotasi kepala terhadap atlas dan atlas terhadap aksis, Kerusakan salah satu ligamen tersebut dapat menyebabkan gerakan berlebihan ke sisi berlawanan. Dapat dilihat melalui pencitraan mulut terbuka (open mouth) dengan rotasi kepala ke dua arah. Ligamen alar dan accessory adalah ligamen pendek yang terikat pada dua struktur tulang berdekatan sehingga mudah cedera, misalnya karena rotasi berlebihan, tiba-tiba atau paksa (forceful) (Tulaar, 2008).
11
Gambar 7. Ligamen Pada Vertebra Servikal (Hansen, 2010)
Kompleks Ligamen Oksipito-atlanto-aksial Kestabilan sendi ini karena adanya ligament dan sedikit bantuan oleh sendi artikulasi tulang. Ligamen yang memegang atlas (C1) dengan oksiput adalah: 1. Membran anterior atlanto-oksipital: ekstensi sefalad dari anterior longitudinal ligamen. Berasal dari tepi anterior foramen magnum (FM) ke arkus anterior (C1) 2. Membran posterior atlanto-oksipital: menghubungkan tepi posterior FM dengan arkus posterior C1 (Mahadewa dan Maliawan, 2009). 12
Ligamen yang memegang aksis atau C2 (via odontoid) ke oksiput adalah (Mahadewa dan Maliawan, 2009) : Membran tektorial: ekstensi sefalad dari ligamen posterior longitudinal. Ligamen alar: 1. Pars oksipito-alar : menghubungkan tepi dari dens dengan kondilus oksipital 2. Pars atlanto-alar : menghubungkan tepi dari dens dengan lateral mass dari C1 Ligamen apikal : menghubungkan ujung dari dens dengan Foramen magnum
2.1.4 Otot-otot Leher Secara Fungsional Massa terbesar otot leher terletak di bagian ekstensor segmen servikal atas, daerah atlantoaksial, yang menandakan kebutuhan akan otot kuat di regio tersebut untuk menjaga terhadap trauma. Massa terbesar otot fleksor terletak di region servikal tengah (C4-C5) adalah regio segmen servikal bawah yang mempunyai derajat gerak terbesar. Oleh karena itu merupakan daerah yang mengalami mechanical wear & tear serta paparan trauma dan stress besar (Tulaar, 2008).
Gambar 8. Otot-otot superfisial dan bagian dalam leher yang bertanggung jawab untuk menggerakkan kepala, tulang leher, dan skapula 1. Otot yang membuat fleksi dan ekstensi kepala terhadap spina, disebut capital movers, yaitu capital flexor terdiri atas rektus pendek dan kapitis longus, serta capital extensor. Otot tersebut terdiri atas 4 otot pendek yang berjalan dari basis kranium ke atlas (C1) dan aksis (C2): posterior rectus capitis minor & major, obliquus capitis superior & inferior. 13
Gambar 10. Bagian superficial otot ekstensor: 1) trapezius, 2) levator scapulae, 3) splenius cervicis, 4) splenius capitis
2. Otot yang membuat fleksi dan ekstensi seluruh sisa spina servikal, disebut cervical movers. 3. Otot yang lebih panjang seperti splenius capitis dan splenius cervicis terutama untuk rotasi kepala, akan tetapi dapat juga menjadi ekstensor apabila berkontraksi bersamaan/bilateral. 4. Otot panjang dari spina torasik dan skapula yang membuat ekstensi, rotasi dan fleksi lateral spina servikal, yaitu trapesius, levator scapulae, dan lain-lain (Tulaar, 2008).
14
2.1.5 Persarafan Vertebra Servikalis Saraf servikal keluar melalui kanal akar saraf sambil membagi diri menjadi (Tulaar, 2008): 1. Ramus anterior, yang mensuplai otot prevertebra dan paravertebra serta membentuk pleksus brachialis untuk ekstremitas atas. 2. Ramus posterior, yang membagi menjadi cabang muskular, kutan, dan artikular untuk struktur leher posterior termasuk otot postvertebral.
Ada dua komponen sistem saraf simpatetik yang mempengaruhi daerah spina servikal. Semuanya terlibat dalam efek sirkulasi, kelenjar keringat, dan folikel rambut, tetapi bagaimana mereka terkait dengan nyeri dari dan dalam daerah servikal masih kontroversial (Tulaar, 2008). Komponen tersebut adalah rantai simpatik (sympathetic chain) dan saraf vertebralis (vertebral nerve). Semua ramus saraf servikal adalah saraf postganglionic kelabu (gray) tak bermielin (unmyelinated) yang telah muncul pada sinaps di ganglia, dengan serabut preganglionic dari spina torasik. Ramus kelabu tersebut berlanjut dalam tiga arah: 1. Mendampingi akar saraf ke dalam ramus primer anterior dan posterior ke tujuan (sensoris dan motorik) di jaringan servikal posterior dan ekstremitas atas (ekstraforamina), 2. Bersinaps dengan serabut postganglionik yang berlanjut ke mata, saraf cranial, arteri kepala dan leher, dan ke pleksus kardiak (ekstraforamina), 3. Mendampingi cabang sensoris akar saraf spinal membentuk saraf sinuvertebral (saraf Luschka atau saraf meningeal rekuren) untuk kembali melalui foramen intervertebra kedalam kanalis spinalis. Saraf tersebut dianggap sebagai saraf sensoris ke dura, ligamen longitudinal posterior, dan serabut diskus annular luar (intraforamina) (Tulaar, 2008).
Nyeri atau parestesi dihantar melalui saraf simpatetik. Nyeri di wajah, distribusi saraf kranial, dan tengkorak dikaitkan pada iritasi suplai saraf simpatetik ke jaringan tersebut. Sindroma Barre-Lieou telah dikaitkan dengan iritasi saraf vertebra, dan gejala termasuk vertigo, nyeri fasial, nyeri kepala, tinnitus, gangguan hidung, wajah memerah (facial flushing) dan parestesia faringeal (Tulaar, 2008).
15
2.2 Biomekanika Vertebra Servikalis Gerakan leher yang utama adalah fleksi yaitu membawa dagu kearah dada, ekstensi yaitu memutar kepala kebelakang untuk melihat langit-langit, lateral fleksi yaitu membawa telinga kearah bahu dan rotasi yaitu memutar kepala ke setiap sisi dengan menatap langsung pada bahu. Stabilitas tulang belakang servikal ditopang oleh kombinasi sendi zygapophyseal, banyak ligamen dan otot. Ekstensi, fleksi, gerakan lateral, dan rotasi diinduksi oleh orientasi sendi zygapophyseal (Bickley, 2009).
Gambar 11. Gerakan leher/servikal (Banton, 2012)
Atlas dan aksis dalam kombinasi dengan kranial-oksiput (CO) membantu fleksi, ekstensi dan rotasi. Artikulasi atlantooksipital (CO-C1) memungkinkan fleksi 10 dan ekstensi 25. Rotasi terbanyak di spina servikal terjadi di persendian C1- C2, dengan rotasi 45 ke arah kiri atau kanan. Sedikit derajat fleksi-ekstensi terlihat juga di persendian C1-C2. Sendi sinovial asli (true synovial joint) terletak di antara lengkung anterior atlas dan prosesus odontoid (Tulaar, 2008). Vertebra regio servikal bawah masing-masing serupa dalam bentuk dan fungsi dan dapat dikatakan merupakan unit fungsional yang khas (typical). Vertebra C3-C7 mempunyai 16
badan kecil dan dimensi terpanjang pada bidang koronal. Prosesus spinosus bifida dari C3 sampai C6, dan C7 mempunyai prosesus spinosus terpanjang yang mudah teraba pada palpasi. Sendi zygapophyseal di servikal lebih konkaf dibandingkan di torakal dan lumbal. Orientasi faset di servikal adalah 45 (dibandingkan 60 di torakal dan 90 di lumbal). Prosesus spinosus, prosesus transversa dan lamina menjadi daerah perlekatan otot (Tulaar, 2008). Di perbatasan C2 dan C3 terdapat perubahan bentuk persendian yang menyebabkan perbedaan bermakna dalam fungsi serta merupakan daerah transisi yang mengubah gerakan dari rotasi ke fleksi dan ekstensi. Terjadi sekitar 10 fleksi pada masing-masing segmen dengan fleksi terbesar pada C4-C5 dan C5-C6. Fleksi lateral terjadi terutama di C3- C4 dan C4-C5. Pemindahan horizontal (horizontal displacement) vertebra >3,5 mm saat fleksi dan ekstensi atau deformitas angular >11 menandakan instabilitas spina. Semua gerakan servikal berpasangan sehingga rotasi dikaitkan dengan fleksi lateral dan sebaliknya. Pembatasan lingkup gerak (ROM) dalam satu bidang memungkinkan klinisi mendeteksi segmen yang terlibat terutama letaknya apakah di regio servikal atas atau bawah (Tulaar, 2008). Mobilitas unit fungsional vertebra servikal dibatasi oleh elastisitas terbatas serabut annular setiap annulus intervertebral serta ligamen longitudinal anterior dan posterior (yang terikat pada setiap vertebra dari kranium sampai sakrum). Fleksi dibatasi oleh ligamen longitudinal posterior, ligamen intervertebra posterior, elastisitas terbatas fascia otot ekstensor (erektor spina). Fleksi berlebihan melewati batas fisiologis juga dibatasi oleh ligamen spinosum posterior dan interspinosum serta elastisitas fascia otot erektor spina. Ekstensi berlebihan dibatasi oleh kontak langsung lamina, faset dan prosesus spinosus posterosuperior (Tulaar, 2008). Gerakan unit fungsional ke arah manapun menyebabkan sedikit distorsi pada diskus intervertebralis. Pada fleksi ke depan, ruang anterior diskus mengalami penekanan dengan pemisahan simultan elemen posterior. Juga terjadi gerakan meluncur (gliding) vertebra superior di atas vertebra berikut yang di bawahnya. Diskus intervertebralis tertekan di anterior serta melebar di posterior, dan fleksi ini disertai sedikit gesekan (shear) anterior. Pemanjangan berlebihan serabut annular posterior diskus dalam fleksi juga dibatasi oleh ligamen longitudinal posterior (Tulaar, 2008).
2.2.1 Kompleks occipitoatlantoaxial Kompleks occipitoatlantoaxial (C0-C1-C2) merupakan sebuah struktur yang rumit dimana pergerakannya ditentukan oleh morfologi tulang, dan orientasi dari prosesus 17
artikularis serta dibatasi oleh kapsula join disusun oleh kompleks joint/sendi occipitoatlantal (C0-C1) dan atlantoaxial (C1-C2). kedua segmen gerakan ini berhubungan erat dan pergerakan selalu berpasangan. Sendi atlantooccipital joints (C0-C1) berorientasi anteromedial merupakan artikulasio berbentuk sferis dan dihubungkan dengan kapsul yang sangat erat, kemampuan mekanisnya ditentukan oleh bentuk dari tulang tulang penyususnnya. fleksi dan ekstensi dilaporkan berkisar antara 13 and 25 (in total range), tergantung dari banyak peneliti, dan merupakan pergerakan utama persendian tersebut (Suchomel and Buchvald, 2011).
Gambar 12. Kompleks occipitoatlantoaxial joint: 1. oksiput, 2. atlas, 3. axis
Gerakan fleksi dibatasi oleh bagian batas anterior dari foramen magnum (bursa apici dentis) dan ekstensi dibatasi terutama oleh membran tektorial yang berinsersi pada korpus axis dan batas anterior foramen magnum dan perlu diingat fungsi sebenarnya dari membran tektorial masih diperdebatkan. Translasi pada sendi ini adalah minimal pada kondisi normal dan selama gerakan arah sagital tidak berubah posisinya lebih dari 1 mm. Gerakkan menekuk ke lateral hanya sekitar 3 dan 5 pada masing masing sisi. Walaupun pada suatu penelitian sebelumnya dikatakan tidak ada gerakan rotasi dari axial pada sendi ini namun pada penelitian terakhir menyebutkan kemungkinan adanya gerakan rotasi axial. Gerakan rotasi dan menekuk ke lateral dari C0-C1 dikontrol oleh kapsula join namun juga oleh alar ligamen (Suchomel and Buchvald, 2011).
18
Gambar 12. Gerakan dari kompleks occipitoatlantoaxial joint: a) fleksi, b) ekstensi, c) lateral fleksi The atlantoaxial complex (C1-C2) terdiri dari empat persendian: dua atlantoaxial lateral joints, atlantoaxial median joint (diantara arkus anterior dari atlas dan dens axis), dan sendi antara permukaan posterior dens dan ligamen transversus. Stabilitas dari persendian yang sangat mobile ini sangat tergantung terutama pada struktur ligamennya. Gerakan fleksi dan ekstensi pada C1-C2 dilaporkan rata rata 20 derajat oleh beberapa peneliti. Menekuk ke lateral dibatasi oleh ligamen alar menurut beberapa peneliti namun dapat mencapai 710 menurut peneliti yang lain. Pada occipitoatlantoaxial complex, 8590% dari rotasi axial berasal dari segmen atlantoaxial. Penning and Wilmink menemukan bahwa atlantoaxial complex berkontribusi 56% terhadap keseluruhan gerakan rotasi servikal. Rentang normal rotasi antara C1 dan C2 rata rata 40 pada masing masing sisi. Rentang normal rotasi axial ke 19
satu sisi dari pada C1-C2 telah dilaporkan pada beberapa penelitian yaitu 23 dan 47. Perbedaaan yang signifikan dari beberapa penelitian tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan serta adanya banyak perbedaan antara penelitian in vivo dan in vitro. Sebagai contoh Dvorak et al. melaporkan penelitian in vivo berupa uji menggunakan CT scan untuk melihat rentang rata rata gerakan rotasi axial rotation yaitu 32.2 dan 43.1. Pergerakan rotasi yang besar difasilitasi oleh kapsul dari atlantoaxial joint yang sangat longgar dan dibatasi oleh alar ligaments. Alar ligaments (yang menghubungkan dens axis dengan kondilus occipital dengan arkus anterior atlas) mengandung serat kolagen dalam jumlah yang banyak dan fungsi utamanya adalah mencegah gerakan rotasi berlebihan dari ke arah yang berlawanan. Ligamen-ligamen ini bersama dengan membran tektorius juga membatasi gerakan flexi dari occiput dan pada gerakan menekuk ke lateral bertugas melawan gerakan rotasi axis (Suchomel and Buchvald, 2011).
2.3 Jenis-jenis Trauma Pada Vertebra Servikalis 2.3.1 Atlanto-Oksipital Dislokasi Dikenal juga dengan istilah Cranioservikal junction dislocation. Sering tidak terdiagnosis. Insiden 1 % dari cedera vertebra servikal, terjadi karena longitudinal distraksi, anterior dislokasi, atau posterior dislokasi. Lebih dari 2 kalinya terjadi pada anak-anak. Pasien biasanya mengalami defisit neurologis minimal atau mengalami bulbar-servikal dissosiasi. Mortalitasnya diakibatkan oleh respiratory arrest (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.3.2 Atlantoaksial Dislokasi Morbiditas dan mortalitasnya lebih rendah dari atlanto oksipital dislokasi, ada 2 tipe (Mahadewa dan Maliawan, 2009): 1. Rotario subluksasi : sering pada anak-anak setelah trauma minor 2. Anterior subluksasi
2.3.2.1 Atlantoaksial Rotatori Subluksasi Dapat terjadi spontan setelah trauma mayor atau minor atau dengan rheumatoid arthritis (RA). Kalau ligamen transversus (LT) intak, hasilnya rotasi tanpa displacement anterior. Bila LT inkompeten, mungkin ada displaced anterior dengan potensial cedera neurologis. Displaced posterior sangat jarang. Jarang terdapat defisit neurologis, mungkin 20
terdapat tortikolis, penurunan range of motion (ROM) leher, dan fasial flattening. Bisa direduksi dengan traksi ringan (pada anak-anak mulai dengan 7-8 pon dan tingkatan bertahap sampai 15 pon setelah beberapa hari, pada dewasa mulai dengan 15 pon dan tingkatkan bertahap sampai 20 pon) (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.3.2.2 Anterior Atlantoaksial Dislokasi Sepertiga pasien dengan defisit neurologis atau meninggal. Fraktur dengan ligament intak dapat menggunakan servikal orthosis. Fusion direkomendasi bila ligamen transversus rusak atau iredusibel subluksasi (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.3.3 Fraktur Atlas (C1) Fraktur C1 berkisar 3-31% dari fraktur c-spine, 56% dari 57 pasien mengalami isolated C1 fractures; 44% dengan kombinasi fraktur C1-2; 9% dengan noncontiguous C- spine fractures, 21% berhubungan dengan cedera kepala. Pada fraktur ini tidak disertai defisit neurologis akibat pelebaran cincin C1 sehingga tidak menekan medulla spinalis (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.3.4 Fraktur Aksis (C2) Berkisar 20% dari fraktur c-spine, defisit neurologis jarang, dan terjadi pada < 10% kasus. Sebagian besar ditangani dengan prosedur immobilisasi. Manifestasi klinis dapat asimtomatik sampai frank paralisis. Berbagai fraktur yang biasa terjadi pada vertebra C2 yaitu: odontoid fraktur, C2 lateral mass frakturs, C2 extension teardrop frakturs, dan traumatic spondylisthesis of C2 (hangmans fraktur) (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.3.4.1 Fraktur Hangmans (FH)
Gambar 13. Fraktur Hangmans (Hansen, 2010) 21
Dikenal dengan traumatic spondylisthesis dari C2. Istilah ini diperkenalkan oleh Schneider dkk, meski mekanismenya berbeda, yaitu hiperekstensi ligamen dan aksial loading, akibat kecelakaan bermotor atau menyelam dibandingkan dengan mekanisme gantung diri (hiperekstensi dan distraksi). Terdapat fraktur bilateral pars interartikularis (isthmus) pedikel C2. Sering anterior subluksasi C2 pada C3 yang biasanya stabil. Defisit neurologis jarang dan jarang nonunion, 90% menyembuh dengan hanya immobilisasi. Operasi fusion jarang diperlukan fraktur C2 yang tidak mengenai isthmus bukan fraktur hangman murni dan memerlukan penanganan yang berbeda. Sebagian besar (95%) tanpa defisit, dengan defisit sekalipun biasanya minor monoparesis dan membaik dalam sebulan. Pasien mengeluh nyeri leher bagian atas dan neuralgia oksipital (Mahadewa dan Maliawan, 2009).
2.3.4.2 Fraktur Odontoid Fraktur prosesus odontoid biasanya merupakan akibat trauma hebat pada kepala di daerah oksiput. Pada awalnya fraktur ini jarang menimbulkan defisit neurologis. Fraktur prosesus odontoid C2 diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis garis frakturnya (Satyanegara, 2010).
Gambar 14. Fraktur odontoid (Hansen, 2010) Pengklasifikasian yang lebih awal dikenal dan dibuat oleh De Morgues and Fischer pada 1972, dimana fraktur odontoid dibagi menjadi 2, yaitu fraktur dari dasar odontoid dan fraktur dari leher prosesus odontoid. Sistem lainnya yang lebih banyak digunakan membagi fraktur odontoid menjadi 3 tipe, yaitu: Tipe I: apikal (tip) fraktur, dimana terjadi fraktur yang miring yang melewati bagian atas dari prosesus odontoid, adakalanya fraktur ini dikaitkan dengan ketidakstabilan akibat kekuatan traksi dan trauma pada ligamen. Fraktur tipe ini terjadi pada kurang dari 5% kasus fraktur odontoid. 22
Tipe II : fraktur yang terjadi pada dasar odontoid yang terikat pada korpus servikal, terjadi pada 60% kasus. Tipe III : jika garis fraktur meluas, melewati korpus servikal 2, garis fraktur dapat meluas ke lateral sampai ke faset artikular superior. Meliputi 30% kasus fraktur odontoid (Mahadewa dan Maliawan, 2009). Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II dilakukan dengan mengikat lamina C1 dan prosesus spinosus C2, atau memasang klem Halifax. Prosedur alternatif lain yang dapat diterapkan untuk fraktur tipe II adalah memasang sekrup melalui sumbu tulang ke dalam prosesus odontoid melalui pendekatan anterolateral dan pemantauan fluroskopi. Fraktur tipe III biasanya akan pulih hanya dengan stabilisasi melalui pemasangan traksi servikal (Satyanegara, 2010).
23
DAFTAR PUSTAKA
Banton, Richard A. 2012. Biomechanics of The Spine. Available from http://www.spinerf.org/sites/default/files/journal/Banton%20Biomechanics.pdf accessed at : March 15 th , 2014 Bickley, Lynn S. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Edisi ke2. EGC Daniels, J., Kary, J. 2010. The Cervical Spine Available from http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9781441955 227-c1.pdf?SGWID=0-0-45-971670-p173941445. Accessed at : March 15 th , 2014 Elsevier. 2013. Applied anatomy of the cervical spine. Available from http://www.orthopaedicmedicineonline.com/downloads/pdf/B9780702031458000600 _web.pdf . Accessed at : March 28 th , 2014 Hansen, JT. 2010. Netters Clinical Anatomy. 2 nd edition. Available from https://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781437702729/Chapter %2002.pdf accessed at : March 15 th , 2014 Mahadewa, T GB., Maliawan, S. 2009. Cedera Saraf Tulang Belakang Aspek Klinis dan Penatalaksanaannya. Udayana University Press. Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia. Suchomel P., Buchvald P. 2011. Bhiomechanichal Remarks.ld Available from https:// www.springer.com%2Fcda%2Fcontent%2Fdocument%2Fcda_downloaddocument% Accessed at : March 15 th , 2014 Tambunan, SN. 2011. Hubungan Dimensi Vertikal Antara Tulang Vertebra Servikalis Dan Pola Wajah Pada Oklusi Normal. Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28869/4/Chapter%20II.pdf Accessed at : May 1 th , 2014 Tulaar, Angela BM., 2008. Nyeri Leher dan Punggung. Departemen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 58, Nomor: 5.