You are on page 1of 42

MAKALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN FARMASI

KASUS BERKAITAN DENGAN UU NO. 36 TAHUN 2009


TENTANG KESEHATAN, PP NO. 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN, DAN KODE
ETIK APOTEKER
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Peraturan Perundang-undangan
Farmasi

Disusun oleh:
Siti Amirotun Zakiyah (260110120015)
Yuliani Septiani (260110120017)
Rembulan Kusmawanti (260110120018)
Fitri Nurul Ramadhani (260110120022)
Tazyinul Qoriah Alfauziah (260110120027)



FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah
memberikan nikmat-Nya pada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan
tepat waktu. Makalah yang berjudul KASUS BERKAITAN DENGAN UU
NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN, PP NO. 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN, DAN KODE ETIK
APOTEKER ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Peraturan
Perundang-undangan Farmasi. Selain itu, dengan disusunnya makalah ini dapat
membantu kami dalam menambah wawasan dalam mata kuliah tersebut.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak ada
gading yang tidak retak. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari pembaca.
Semoga dengan adanya makalah ini, kebutuhan pembaca untuk
mencari informasi dapat terpenuhi dan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Jatinangor, Juni 2014
Tim Penulis
ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ......... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang . 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan .. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 3

2.2 Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian . 19
2.3 Kode Etik Apoteker .. 25
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ... 38
3.2 Saran . 38
DAFTAR PUSTAKA


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009,
kesahatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis. Kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat
kesejahteraan manusia sehingga menjadi prioritas dalam pembangunan
nasional suatu bangsa. Penyelenggaraan kesehatan ini membutuhkan banyak
komponen yang bisa bekerja sama dengan baik. Masing-masing komponen
atau tenaga kesehatan memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda. Oleh
karena itu, disusunlah berbagai peraturan perundang-undangan mengenai
komponen kesehatan tersebut agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi
tumpang-tindih pekerjaan.
Tenaga kesehatan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan, adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upata kesehatan. Adapun tenaga kesehatan
tersebut terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian,
tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga
keteknisian medis.
Sampai saat ini, telah banyak peraturan perundang-undangan yang
dibuat dalam rangkan menegaskan wewenang tenaga kesehatan tersebut, baik
dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kesehatan, maupun
Undang-undang. Akan tetapi, banyaknya peraturan ini justru menjadi dilema
bagi para pembuat kebijakan, karena tidak menutup kemungkinan banyak
terjadi ketidaksesuaian antarperaturan.
Selain itu, banyaknya jenis tenaga kesehatan pun menjadi masalah
yang tidak dapat diabaikan. Di lapangan, sering terjadi tumpang-tindih
2

wewenang sehingga pelanggaran pun semakin tidak terelakkan. Dengan
demikian, penyusunan makalah ini diharapkan dapat menguraikan pokok-
pokok masalah tenaga kesehatan yang telah terjadi dengan solusinya sehingga
bisa menjadi cerminan tenaga kesehatan lainnya untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penyusunan makalah kali ini adalah
masalah apa saja yang terjadi berkaitan dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang
Kesehatan, PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dan Kode
Etik Kefarmasian beserta dengan solusinya.
1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk mengidentifikasi
masalah yang berkaitan dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Kesehatan, PP
No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dan Kode Etik
Kefarmasian serta menemukan solusi dari masalah tersebut.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
studi pustaka, yaitu mencari berita yang berkenan dengan peraturan
perundang-perundangan yang telah disebutkan di media elektronik, dan
diskusi bersama teman-teman untuk mencari solusi yang baik dari
permasalahan yang telah dicari.





3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
2.1.1 Kasus 1
Seorang anak, sebut saja si AB diculik orang yang tak
dikenal di Jawa Tengah, setelah beberapa hari kemudian, penculik
tersebut mengembalikan bocah malang tersebut dengan tubuh yang
tak lengkap lagi, dan disumpal uang Rp. 1 juta. Kasus selanjutnya di
Tangerang, dengan modus yang sama penculik mengembalikan anak
tersebut kepada keluarganya tanpa memiliki ginjal lagi. Sampai saat
ini tersangka penculikan dan penjualan anak belum tertangkap
sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Tidak ada kelanjutan
kasus tersebut. Pengawasan terkait dengan perdagangan organ tubuh
anak masih lemah di Indonesia, bahkan polisi kesulitan untuk
membuktikan hal itu. Organ tubuh yang diperdagangkan tersebut tentu
berkaitan dengan dunia kedokteran, karena sejumlah negara di Asia
dan Eropa telah berhasil melakukan transplantasi organ tubuh seperti
kornea mata, hati dan ginjal.
Analisis
Bila dikaitkan dengan UU No 36 tahun 2009, kasus ini berkaitan
dengan pasal 64 dan pasal 65:
Pasal 64
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan
dengan dalih apapun.
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
4

dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang
donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang
bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau
ahli waris atau keluarganya.
Disebutkan pula dalam Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1981,
tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia.
Pasal 11
a. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan
oleh dokter yang ditunjuk oleh mentri kesehatan.
Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan
transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal
dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga terdekat.
Pasal 17
Dilarang memperjual-belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pada kasus ini yang dititikberatkan adalah masalah
penjualan/pengambilan organ yang dilakukan oleh penculik. Telah
diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 pasal 64 dan 65 bahwa
transplantasi organ hanya dilakukan untuk urusan kemanusiaan,
dilakukan oleh tenaga ahli yang berwenang dan harus diketahui dan
disetujui oleh keluarga yang bersangkutan. Sedangkan dalam kasus
ini, tanpa ada persetujuan dari pihak keluarga, karena memang
dilakukan penculikan, dan korban adalah anak dibawah umur serta
pengambilan organ pun tidak diketahui dilakukan oleh tenaga ahlli
atau tidak.
Pelaku pun telah melanggar beberapa peraturan. Berkenaan
dengan hal ini, pelaku dapat terjerat beberapa sanksi, di antaranya
5

disebutkan pada pasal 83 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak:
Setiap orang yang menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000; (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000;(enam Puluh juta rupiah).
Sesuai UU No. 23 tahun 1992 pasal 81 (2) poin a, sanksi yang dapat
dikenakan pada penculik adalah:
Barang siapa dengan sengaja :
a. mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan
kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris
atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00
(seratus empat puluh juta rupiah).
Sedangkan dalam UU No. 36 Tahun 2009 pasal 192, menyebutkan
bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Banyak peraturan yang mengatur sanksi yang diberikan
kepada pelaku penculikan dan penjualan organ manusia. Dalam kasus
tadi bisa saja pelaku dijerat pasal berlapis, yaitu pasal penculikan dan
penjualan organ tubuh manusia. Penjualan organ tubuh manusia saat
ini sudah dirasa sudah menjadi sesuatu yang harus ditindak lanjuti
lebih. Dapat terlihat pada perubahan dari UU No. 23 tahun 1992 ke
UU No. 36 Tahun 2009 bahwa pidana penjara dan denda untuk pelaku
6

penjualan organ tubuh manusia semakin lama dan semakin besar nilai
dendanya.
2.1.2 Kasus 2
Pantauan Liputan6.com, Sabtu (12/4/2014), MK dan RH
awalnya membeli obat sakit lambung di apotek. Sepasang kekasih itu
kemudian menginap di rumah paman RH di Desa Karangmangu,
Kroya, Cilacap pada Senin 31 Maret 2014.
"Ngakunya datang dari Cilacap. Lalu saya tanyain dan dia
mengaku sakit. Katanya mau ke dokter. Itu cuma di depan rumah, lalu
mereka pergi lagi," ujar Bejo, paman RH, Sabtu (12/4/2014).
Pada malam hari, RH yang didampingi MK meminum obat
sakit lambung yang tadi ia beli. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul
23.00 WIB, RH mulas dan mual hingga akhirnya keguguran di kamar
mandi. Niatnya RH hendak buang air kecil, tapi bayinya justru keluar.
Namun proses keluarnya bayi itu tak berjalan mulus karena
sungsang. Kaki terlebih dulu keluar. MK dan RH panik menarik si
bayi hingga membuat kepala putus tak sempurna. Tali pusarnya pun
belum terlepas. MK kemudian mengambil gunting dan memotongnya.
Potongan janin itu kemudian dibungkus kaos dan dibawa ke kamar.
"Bayi ditarik oleh tersangka laki-laki dan akhirnya putus pada
bagian leher sehingga tinggal kepala yang ada di rahim perempuan,"
kata Agus.
Setelah itu, RH mengalami pendarahan hebat. Remaja
tersebut kemudian dibawa ke puskemas terdekat untuk diberikan
pertolongan pertama. RH kini sudah sembuh dan menjadi tersangka
bersama pacarnya, MK.
Analisis
Kasus aborsi ini melanggar pasal 63 (4) UU No. 36 tahun 2009 yang
berbunyi:
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh
7

tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan: oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
Dalam UU HAM, pasal 53 ayat 1 disebutkan bahwa Setiap
anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.
Aborsi adalah suatu perbuatan yang sangat dilarang,
terkecuali dengan alasan medis tertentu. Jadi dilakukannya pun harus
oleh tenaga kesehatan yang ahli, dalam hal ini pelaku melakukan
aborsi dengan cara yang sangat tidak sesuai dengan seharusnya, tanpa
memiliki keahlian, sehingga membunuh janin/bayinya. Sedangkan
setiap anak mempunyai hak untuk hidup.
Sanksi yang dapat diberikan:
Pasal 82 ayat 1 poin a UU No. 23 Tahun 1992
Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (4); dipidana dengan pidana penjara paling
8

lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 194 UU No. 36 Tahun 2009
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
KUHP Bab XIX
Pasal 346
Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku aborsi. Aborsi saat ini
sudah dirasa sudah menjadi sesuatu yang sangat kriminal. Dapat
terlihat pada perubahan dari UU No. 23 tahun 1992 ke UU No. 36
Tahun 2009 bahwa pidana penjara dan denda untuk pelaku aborsi
semakin lama dan semakin besar nilai dendanya. Dan banyak sekali
peraturan yang mengatur sanksi untuk pelaku aborsi tersebut
2.1.3 Kasus 3
Pabrik Obat Palsu Kapolda Jabar Irjen Pol Mochamd Iriawan
(tengah) meninjau lokasi penggerebekan tempat pembuatan pabrik
obat palsu terbesar di Bandung, milik PT Himajaya Raya, Bandung,
Jawa Barat, Jumat (24/1). PT Himajaya Raya memproduksi sekitar
600 ribu butir/hari obat palsu jenis kalsium laktat, carnoven, amnofein
dan somadril senilai Rp. 540 juta.
Bandung (ANTARA News) - Polres Bandung menggerebek
sebuah pabrik yang membuat obat palsu di Jalan Dian Permai Nomor
9

11 Kelurahan Babakan, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung,
Jumat.
Pada penggerebekan tersebut polisi berhasil menemukan
jutaan obat dalam bentuk kapsul dan tablet, selain itu di dalam pabrik
juga ditemukan bahan pembuatan obat, dan alat cetak.
Selain itu, polisi juga mengamankan seorang pemilik pabrik
tersebut berinisial BH serta delapan orang karyawannya.
Menurut Mashudi, pabrik obat palsu tersebut diperkirakan
memiliki omzet sekitar Rp540 juta per harinya.
"Jadi BH dalam sehari bisa memproduksi 600 ribu tablet.
Obat itu dikemas menjadi 10 butir per kemasannya. Satu kemasan itu
dijual Rp9 ribu. Kalau dikalikan 60 ribu kemasan maka jumlahnya
Rp540 juta. Sehingga dalam sebulan bisa mencapai sekitar Rp16
miliar," kata Mashudi.
Sementara itu, Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Mochamad
Iriawan yang turut menyaksikan penggerebekan pabrik tersebut
menuturkan pabrik itu telah beroperasi selama dua tahun.
Saat ini, pemilik pabrik tersebut yakni BH dan delapan orang
karyawannya dibawa ke Mapolrestabes Bandung untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. (KR-ASJ/E005)
Analisis
Ada tiga kategori suatu obat disebut obat palsu.
Pertama, yaitu bahan, takaran dan mereknya sama dengan obat asli,
tetapi dibuat oleh produsen bukan pemegang merek.
Kedua, mereknya sama tetapi bukan buatan produsen yang sama, dan
isinya substandar.
Ketiga, mereknya sama, tetapi isinya bukan obat dan tidak jelas
pembuatannya. Jenis ketiga ini paling merugikan.
Obat palsu juga mencakup suatu produk yang tidak mendapat izin
resmi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 242 tahun 2000,
10

yang dikategorikan sebagai obat palsu adalah obat yang diproduksi
oleh pihak yang tidak berhak menurut undang-undang.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1010/MENKES/PER/I/2008 tentang Registrasi Obat
Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh orang yang tidak berhak
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain
yang telah memiliki izin edar.
Berdasarkan UU no 36 tahun 2009, kasus ini terkait dengan pasal:
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus
memenuhi syarat farmakope I ndonesia dan atau buku standar
lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika
serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau
persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1995
tentang Izin Usaha Industri
(1) Setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memperoleh Izin
Usaha Industri.
(2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berbentuk perorangan, perusahaan persekutuan atau badan hukum
yang berkedudukan di Indonesia.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor Hk.03.1.33.12.12.8195 tahun 2012 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik
Pasal 1
11

2. I ndustri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari
Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau
bahan obat.
Banyak sekali yang persepsi tentang obat palsu, dalam hal ini
dapat digarisbawahi bahwa obat palsu yang dimaksudkan adalah obat
yang dibuat oleh suatu pabrik yang merupakan obat merk dagang yang
sudah ada, dan pabrik tersebut belum terdaftar sebagai industri farmasi
yang punya berkas-berkas penunjangnya. Dan pembuatan obatnya pun
tidak dapat dipastikan memenuhi CPOB sehingga keamanan obat
masih diragukan.
Sanksi pasal 81 (2) UU No. 23 tahun 1992 yang berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja :
b. memproduksi dan atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2);
c. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat
puluh juta rupiah).
Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Dalam hal pembuatan obat palsu ini sanksi yang diberikan
sangat berat, hal ini berkaitan dengan keamanan konsumen.
Dikhawatirkan obat tersebut dapat membahayakan nyawa konsumen,
dan dapat mencemarkan nama baik pabrik pembuat obat yang
sesungguhnya.
12

2.1.4 Kasus 4
BATURAJA Tim gabungan Pemkab Ogan Komering Ulu
(OKU) melakukan operasi pasar dari pasar tradisional hingga ke
swalayan kemarin. Dari hasil di lapangan, selain ditemukan makanan
yang dicurigai mengandung bahan berbahaya, di pasar swalayan
terkemuka di daerah itu (Ramayana), banyak juga ditemukan makanan
yang tidak berlabel kedaluwarsa. Adapun tim gabungan tersebut
terdiri dari beberapa instansi, seperti Disperindagkop dan UKM, Dinas
Kesehatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas
Peternakan dan Perikanan, BKP, Bulog, Satpol PP, dan MUI. Mereka
melakukan inspeksi mendadak (sidak) di sejumlah pasar tradisional
dan supermarket di Kota Baturaja, Kabupaten OKU.
Di supermarket terkemuka, petugas juga banyak menemukan
sejumlah makanan yang dikemas sendiri tanpa melampirkan label
masa kadaluwarsa dan hanya melampirkan masa pengemasan. Untuk
kasus seperti ini, kita memberikan peringatan kepada pihak pengelola
dengan bentuk teguran. Hal ini juga agar diperhatikan ,jangan sampai
mengelabui konsumen, tapi jika teguran tersebut tidak diindahkan
maka kita akan memberikan sanksi yang lebih berat,timpalnya.
Fahruddin menambahkan, dari beberapa sampel makanan yang
diindikasikan terdapat campuran bahan berbahaya, pihaknya
menyerahkan kepada laboratorium dengan memakan waktu 2-3 hari
baru diketahui hasilnya. Begitu hasil laboratorium keluar, kita akan
informasikan, imbuhnya sembari mengimbau warga agar berhati-
hati dalam membeli makanan.
Pantauan di lapangan, pedagang cukup terkejut dengan
adanya sidak yang dilakukan Tim dari Pemkab OKU. Bahkan, dari
pihak Ramayana begitu mendapat teguran langsung memasang label
ke bagian produk makanan yang dikemasnya sendiri. Dari sekian
banyak produk, ada juga jenis minuman susu yang terpajang,
sementara masa kedaluwarsa jatuh bulan ini. Sementara itu, Adnan,
13

penanggung jawab Supermarket Ramayana Baturaja OKU,
mengatakan bahwa makanan yang dikemas sendiri tersebut memang
tidak dilampirkan masa kedaluwarsa karena masa kedaluwarsanya
berada di dus. Di kemasan hanya dibuat masa pengemasan dan
semua yang kita kemas masa kadaluwarsanya pada 2013, ujarnya.
Kasi Farmasi Dinkes OKU Suhanda menyampaikan, pihaknya belum
bisa memublikasikan sampel makanan yang diambil dari pasar yang
dicurigai mengandung campuran bahan berbahaya. Untuk saat ini,
kita belum bisa sampaikan apakah sampel yang kita ambil untuk diuji
ke la-boratorium mengandung zat berbahaya atau tidak,tandasnya.
/sindo diambil dari: Baturaja Online
Analisis
Kasus ini melanggar pasal 21 ayat (1) dan (2) UU no. 23 tahun 1992
yang berbunyi:
(1) Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan
kesehatan.
(2) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda
atau label yang berisi :
a. bahan yang dipakai;
b. komposisi setiap bahan;
c. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;
d. ketentuan lainnya.
Pasal 111 UU No. 36 Tahun 2009
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat
harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
14

(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda
atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan
makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 180
/Men.Kes/Per/Iv/85 tentang Makanan Daluwarsa
Pasal 1
Yang dimaksud dalam peraturan ini dengan :
a. Makanan adalah barang yang diwadahi dan diberikan label dan
yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, akan
tetapi bukan obat;
b. Label adalah tanda berupa tulisan, gambar, atau bentuk
pernyataan lain yang disertakan pada wadah atau pembungkus
makanan sebagai keterangan atau penjelasan;
c. Makanan daluwarsa adalah makanan yang telah lewat tanggal
daluwarsa;
d. Tanggal daluwarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin
mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang
diberikan oleh produsen;
Pasal 2
(1) Pada label dari makanan tertentu yang diproduksi, diimpor dan
diedarkan harus dicantumkan tanggal daluwarsa secara jelas
Pada sebuah makanan atau obat atau barang apapun
diproduksi dan digunakan langsung oleh tubuh seharusnya disertakan
tanggal kadaluwarsa atau cara penggunaan (jika ada penggunaan
khusus). Karena dikhawatirkan ketika telah lewat masa tersebut dapat
membahayakan konsumen.
15

Sanksi yang diberikan atas pelanggaran ini adalah:
Pada UU No 23 Tahun 1992 Pasal 84
Barang siapa mengedarkan makanan dan atau minuman yang
dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2.1.5 Kasus 5
JAKARTA, KOMPAS.com - Layanan jasa tukang gigi
yang kerap menyebut diri sebagai ahli gigi banyak bermunculan di
sejumlah tempat. Praktik non-medis ini tidak memiliki izin dari
Kementerian Kesehatan. Mereka melakukan praktik secara mandiri
melebihi kewenangan pekerjaan seperti pemasangan kawat gigi,
pencabutan dan penambalan gigi.
Dedi Kuswenda, Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan, saat acara jumpa pers di Gedung Kementrian
Kesehatan, Sabtu (17/3/2012), mengatakan, praktik ini ketentuan
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
Pasal 73 ayat 2. Aturan itu menyebutkan, setiap orang dilarang
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi.
"Pekerjaan yang diizinkan dokter gigi sebetulnya hanya
pembuatan gigi tiruan lepasan dari akrilik sebagian atau penuh. Jadi
jika mereka melakukan hal lain diluar itu berarti melanggar
ketentuan," katanya.
Sementara itu, drg. Zaura Anggraeni, Ketua Pengurus Besar
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mengatakan, tukang gigi
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan dapat
dikenakan tindakan administratif berupa teguran lisan sampai dengan
pencabutan izin.
16

Zaura menegaskan, pelayanan orthodenti, pencabutan gigi,
pemasangaan behel, bracket, dan penambalan memerlukan
pemahaman atau dasar keilmuan yang kuat serta kompetensi yang bisa
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini tukang gigi bukanlah orang
yang kompeten, sehingga salah jika ada orang yang beranggapan
tukang gigi bisa melakukannya.
"Masyarakat pergi ke tukang gigi dengan keadaan yang
ringan tetapi akibat dari pekerjaan yang tidak dapat
dipertanggunjawabkan, justru malah menimbulkan akibat yang
akhirnya memerlukan pembiayaan yang lebih tinggi," kata dia.
Analisis
Bila dikaitkan dengan UU No 36 tahun 2009, kasus ini melanggar
pasal 23 dan pasal 24 :
Pasal 23
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
wajib memiliki izin dari pemerintah.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pada kasus ini dititikberatkan pada masalah perizinan dan
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standar. Sesuai dengan
putusan MK bahwa pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai setiap
orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
17

telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik,
kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah. Hal
ini berarti praktik tukang gigi hanya boleh dilakukan oleh tukang gigi
yang memiliki izin. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1871/MENKES/PER/IX/2011 memutuskan bahwa Tukang gigi yang
telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan
Tukang Gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai Tukang
Gigi sampai berlakunya Peraturan ini dan/atau habis masa berlaku izin
yang bersangkutan, dan tidak dapat diperpanjang kembali. Tukang
gigi dapat memperoleh izin praktik dengan memenuhi beberapa
persyaratan antara lain kondisi tempat praktik, alat-alat, dan
kemampuan tukang gigi bersangkutan. Selain itu perizinan juga harus
diperpanjang setiap tiga tahun, dan perizinan tidak dapat diwariskan
kepada sanak keluarga atau individu lain.
Layanan jasa tukang gigi yang kerap menyebut diri sebagai
ahli gigi tersebut melakukan praktik secara mandiri melebihi
kewenangan pekerjaan seperti pemasangan kawat gigi, pencabutan,
dan penambalan gigi. Untuk itu, sejak tahun 1989 telah dilakukan
pembatasan kewenangan dan upaya penertiban Tukang Gigi dengan
dikeluarkannya Permenkes No. 339 Tahun 1989 tentang Pekerjaan
Tukang Gigi. Menurut Permenkes tersebut, setiap tukang gigi dilarang
untuk :
a. Melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun
b. Melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat/mahkota
tumpatan tuang dan sejenisnya
c. Menggunakan obat-obatan yang berubungan dengan tambalan
gigi baik sementara ataupun tetap
d. Melakukan pencabutan gigi,baik dengan suntikan maupun tanpa
suntikan
18

e. Melakukan tindakan tindakan secara medis termasuk pemberian
obat-obatan
f. Mewakilkan pekerjaannya kepada siapapun
Namun karena masih banyak ditemukannya tukang gigi yang
tidak memiliki izin dari Kementerian Kesehatan bahkan berpraktek
mandiri melebihi kewenangan pekerjaan yang diatur pada Permenkes
No. 339 tahun 1989, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang
Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi untuk
melindungi masyarakat dari pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
standar.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang
Gigi
Pasal 2
(2) Kewenangan pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan lepasan dari akrilik; dan
b. memasang gigi tiruan lepasan.
Berdasarkan pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran, sanksi
yang akan diberikan atas pelanggaran ini adalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp
150 juta. Namun, berdasarkan UU No 23 Tahun 1992 Pasal 84 poin
5 yang berbunyi: Barang siapa yang menyelenggarakan sarana
kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ayat (1) atau tidak memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
19

2.2 Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
2.2.1 Kasus 1
Suatu apotek F tidak mempunyai Standar Prosedur
operasional secara tertulis dalam melaksanakan praktik kefarmasian.
Analisis
Hal ini jelas melanggar PP No. 51 Tahun 2009 Pasal 11.
Seharusnya di dalam suatu apotek atau industri kefarmasian harus
memiliki suatu standar prosedur operasional dalam melakukan praktik
kefarmasiannya mulai dari produksi hingga obat tersebut
didistribusikan. Apoteker harus membuat SPO yang mencangkup
berbagai aspek/fungsi yang dilakukan di apotek dan prosedur hukum
dan etika yang harus selalu diingat ketika menulis dan mengikuti SPO.
Isi SPO harus jelas dan mudah dipahami oleh petugas farmasi. Hal ini
diatur dalam PP No. 51 Tahun 2009 Pasal 11 dan 16.
Pasal 11
1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur
Operasional.
2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan
diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun manfaat dari SPO adalah :
1. SPO memberikan kejelasan kepada petugas apotek untuk
mengikuti langkah-langkah/ prosedur, sistematis, dan seragam.
2. SPO membantu petugas farmasi dalam melakukan tugas dan
tanggung jawab di apotek, sehingga menghindari kebingungan, dan
fungsi tumpang tindih.
3. SPO membantu untuk memastikan bahwa pelayanan kefarmasian
yang baik dapat diikuti dan dicapai setiap saat.
20

4. SPO adalah alat yang berguna untuk pelatihan anggota baru staf.
5. SPO membantu untuk menjamin kualitas dan konsistensi
pelayanan, sehingga akan meminimalkan efek yang
membahayakan pasien.
Kasus di atas juga melanggar kode etik apoteker pada pasal 8
yang berbunyi Seorang apoteker harus aktif mengikuti
perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan
pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Maksud dari
kode etik tersebut adalah apoteker harus membuat standar prosedur
operasional (SPO) sebagai pedoman kerja bagi seluruh personil di
sarana pelayanan kefarmasian sesuai kewenangan atas dasar peraturan
perundangan yang ada.
2.2.2 Kasus 2
Obat dengan resep dokter diserahkan oleh seorang
pembantu di salah satu apotek di Karawang.
Analisis
Menurut PP. No 51 Tahun 2009 Pasal 21 ayat 2, penyerahan
dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh
apoteker. Dalam sebuah apotek penyerahan obat selain obat resep
dapat diserahkan/dilakukan oleh seorang asisten apoteker, dengan
ketentuan pada PP. No 51 Tahun 2009 Pasal 60 ayat 2 :
Pasal 60
2) Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat
Izin Asisten Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib
menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Kasus tersebut juga melanggar UU nomor 36 Tahun 2009 Pasal 108
ayat 1:
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
21

penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga kejadian diatas merupakan suatu pelanggaran
karena obat diserahkan oleh seseorang yang tidak mempunyai
kewenangan untuk menyerahkan obat dengan resep dokter.
Hal ini dapat dikenakan pidana sesuai dengan UU No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 198 bahwa setiap orang yang
tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2.2.3 Kasus 3
Di suatu desa terpencil peracikan obat dilakukan oleh seorang mantri
karena tidak terdapat apoteker.
Analisis
Menurut PP No. 51 Tahun 2009 Pasal 21 ayat 3, disebutkan bahwa:
2) Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri
dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang
diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada
pasien.
Pada kasus ini berarti mantri tersebut telah melakukan
pelanggaran dimana hanya seorang tenaga teknis kefarmasian yang
telah memiliki STRTTK yang dapat meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien. Seorang mantri adalah seorang tenaga kesehatan tetapi
tidak memiliki kewenangan untuk meracik dan menyerahkan obat
walaupun di daerah tempat mantri berpraktik tidak terdapat apoteker.
Hal ini berdasarkan UU No.36 tahun 2009 pasal 108 menyebutkan
22

bahwa bila tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu
dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara
lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun,
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan mantri
kesehatan asal Kalimantan Timur yang mengajukan uji materi atas
pasal 108 ayat 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dari
putusan MK, seorang mantri dalam keadaan tertentu diperkenankan
untuk melakukan praktik kefarmasian demi menyelamatkan pasien.
Sehingga mantri tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan dengan UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 198
bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2.2.4 Kasus 4
Seorang asisten apoteker (tenaga kefarmasian)
memberitahukan penyakit seorang pasien kepada temannya yang
mengenal pasien tersebut.
Analisis
Hal ini melanggar PP No. 51 Tahun 2009 Pasal 30 ayat 1
1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan
Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia
Kefarmasian.
2) Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat dibuka
untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan/atau
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan peraturan tersebut bahwa seorang tenaga
kefarmasian seperti apoteker sarjana farmasi, ahli madya farmasi,
analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker harus
23

mampu menyimpan rahasia kedokteran tujuannya agar tidak
menggangu psikologis pasien, bila ada orang lain yang mengetahui
penyakitnya. Rahasia kedokteran itu sendiri adalah sesuatu yang
berkaitan dengan praktek kedokteran yang tidak boleh diketahui oleh
umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika
seorang asisten apoteker seperti pada kasus tersebut memberitahukan
penyakit seorang pasien tanpa sepengetahuan dan seizin pasien dan
bukan untuk kepentingan pasien serta kepentingan hukum, tentu saja
asisten apoteker tersebut telah melanggar PP No.51 Tahun 2009.
Selain itu berdasarkan UU 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan pasal 57 dimana:
1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya
yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan.
2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Jika pasien yang bersangkutan merasa dirugikan maka pasien
tersebut berhak untuk menuntut ganti rugi kepada asisten apoteker
tersebut. Sebagaimana disebutkan pada UU 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan pasal 58 ayat 1: Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Kerugian yang dimaksud adalah adanya pembocoran rahasia
kedokteran seperti memberitahukan penyakit pasien pada teman
pasien bukan untuk kepentingan pasien dan hukum.
24

2.2.5 Kasus 5
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta
dalam resep tidak dapat dilayani. Setelah di cek ternyata IFRS
(Instalasi Farmasi Rumah Sakit) mempunyai obat Y yang
kandungannya sama dari pabrik lain. Harga obat pengganti memang
lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera dapat
dilayani, tidak ada pasien yang membeli obat di luar RS dan efisiensi
perputaran stok di IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y
tersebut.
Analisis
Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009 Pasal 24 ayat 2
Pasal 24
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat: mengganti obat merek dagang dengan
obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang
lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
Berdasarkan PERMENKES No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010
pasal 7: Apoteker dapat mengganti obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien.
Apoteker mengganti merek obat tetapi zak aktifnya sama
adalah tindakan yang sesuai dengan PP No.51 Tahun 2009 pasal 24
dan PERMENKES No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 pasal
7. Tetapi jika pergantian merek obat dengan harga yang lebih mahal
tersebut tanpa pemberitahuan kepada pasien adalah hal yang kurang
tepat. Seharusnya jika apoteker akan mengganti obat yang diresepkan
disampaikan kepada pasien alasan dan rekomendasi bahwa mereknya
berbeda tetapi isinya sama, karena seorang apoteker juga harus
memperhatikan hak-hak pasien seperti pada UU Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan:
Pasal 5:
25

(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.
Tetapi pada kasus di atas, apoteker tersebut selain
mempertimbangkan pelayanan terhadap pasien dia juga
mempertimbangkan regulasi instalasi farmasi rumah sakit khususnya
regulasi obat. Sebenarnya bisa saja pasien tidak dilayani dengan cara
tidak diberikan obat yang dimaksud karena habis dan pasien bisa saja
membeli di tempat lain. Tetapi jika apoteker melakukan hal demikian
dia meninggalkan dua tanggung jawab sekaligus yaitu pelayanan
kepada pasien dan regulasi obat di rumah sakit tersebut dimana
distribusi obat merupakan salah satu tugas apoteker, seperti pada pasal
1 PP No. 51 tahun 2009.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang apoteker
diperbolehkan mengganti merk dagang dengan zat aktif yang sama
diperbolehkan asalkan terdapat persetujuan dari pihak pasien.
2.3 Kode Etik Apoteker
2.3.1 Kasus 1
Apotek Surya, berada di sebuah kota di pinggir kota wisata,
buka hanya sore hari jam 16.00 sd 21.00, tetapi pasiennya sangat
ramai, jumlah resep yang di layani rata-rata perhari 75 lembar, apotek
tsb memiliki 1 apoteker 2 AA dan 2 pekarya.
26

Ketika penyerahan obat mereka tidak sempat memberikan
informasi yg cukup, karena banyaknya pasien yg di layani,
apotekernya datang tiap hari pada jam 19.00, karena pegawai dinas
kesehatan setempat.
Analisis
Pada kasus tersebut Apoteker melanggar Sumpah Profesi terutama
pada poin 1 dan 4, karena Apoteker tersebut tidak menjalanakan tugas
dengan sebaik-baiknya, Apoteker datang terlambat dan tidak
memberikan informasi kepada pasien sehingga penggunaan obat oleh
pasien tidak dilakukan dengan baik, hak pasien juga tidak dipenuhi,
akibatnya memungkinkan terjadinya pelanggaran pada kepentingan
perikemanusiaan.
Sumpah Apoteker
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian
Selain itu Apoteker dalam kasus di atas telah melanggar kode etik
apoteker pasal 1 yang menyatakan bahwa apoteker harus menjunjung
tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah apoteker, dimana pada
pembahasan sebelumnya apoteker tersebut telah melanggar sumpah
apoteker yaitu tidak menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya,
apoteker datang terlambat dan tidak memberikan asuhan kefarmasian
kepada pasien. Apoteker tersebut juga tidak menjalankan profesinya
sesuai kompetensi apoteker Indonesia karena apoteker tersebut tidak
memberikan informasi obat dan konseling kepada pasien, dimana
apoteker berkewajiban untuk memberikan informasi obat dan
konseling kepada pasien hal ini terdapat pada pasal 3.
Pasal 1
Sumpah/janji apoteker,setiap apoteker harus menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah apoteker
27

Pasal 3
Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan
berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya
Dari kasus di atas Apoteker tidak memberikan informasi
kepada pasien, sehingga Apoteker secara jelas melanggar Pasal 7
Kode Etik Apoteker. Pelanggaran yang dilakukan oleh Apoteker jelas
menunjukkan bahwa Apoteker tidak mengutamakan dan tidak
berpegang teguh pada Prinsip Kemanusiaan. Dampak dari kurangnya
informasi penggunaan obat dapat menyebabkan efek yang merugikan
bagi pasien bahkan dapat membahayakan. Pada kasus tersebut,
seorang apoteker tidak menjalankan kode etik pasal 7 dengan baik.
Menurut pasal 7, seorang apoteker harus mengutamakan kepentingan
masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi
makhluk hidup insani, namun apoteker tersebut tidak memberikan
informasi yang cukup kepada pasien. Sehingga dapat merugikan
pasien. Jika apoteker melanggar atau tidak mematuhi kode etik maka
harus siap menerima sanksi dari ISFI.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan
profesinya
Pasal 9
Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi
penderita dan melindungi makhluk hidup insani
Pasal 15
Setiap apoteker bersungguh sungguh menghayati dan mengamalkan
kode etik apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas
kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang apoteker baik dengan
sengaja maupun tidak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode
28

etik apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima
sangsi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang
menanganinya (ISFI) dan mempertanggung jawabkannya kepada
Tuhan YME.
Pada kasus tersebut Apoteker datang pada jam 19.00,
sedangkan apotek dibuka pada jam 16.00, yang memungkinkan
pelayanan resep dari jam 16.00 sampai jam 19.00 tidak dilakukan oleh
apoteker. Hal tersebut jelas bertentangan dengan pasal 3 dan 21 pada
PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Tidak
disampaikannya informasi obat kepada pasien menyebabkan berbagai
efek yang merugikan bagi pasien seperti tidak membaiknya kondisi
pasien, penyakit bertambah parah, timbul efek samping yang dapat
membahayakan keselamatan pasien.
Pasal 3
Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah,
keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta
keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan
Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu,
dan kemanfaatan
Pasal 21
(2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker
Tetapi pada kasus di atas apoteker tersebut tidak sepenuhnya
salah karena apotekernya tetap datang dan memantau apotek, serta
pada apotek tersebut terdapat asisten apoteker yang dapat membantu
pada pelayanan kefarmasian seperti disebutkan pada PP No.51 Tahun
2009 Pasal 20: Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Tapi
dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian tersebut harus berdasarkan
29

SOP yang telah dibuat oleh apoteker, disebutkan dalam PP No.51
Tahun 2009 Pasal 23:
(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menetapkan
Standar Prosedur Operasional.
Saat keadaan apotek sedang ramai dengan pasien sebaiknya
pemberian informasi kepada pasien harus tetap diberikan walaupun
oleh seorang asisten apoteker.
2.3.2 Kasus 2
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada
pasien anak kecil kejang yang diantar oleh orang tuanya ke rumah
sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit)
memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan
darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan
apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau
menolaknya. Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker S
memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga
kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke
rumah sakit terdekat.
Analisis
Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 3 disebutkan
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan
berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
Implementasi Pasal 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama
dalam setiap tindakan dan keputusan seorang apoteker Indonesia
2. Bilamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik
tanggung jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada
30

seorang apoteker harus memilih resiko yang paling kecil dan paling
tepat untuk kepentingan pasien serta masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi
pasien dan melindungi mahluk hidup insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus
berpihak pada kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk
menjaga kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta
orang dalam kondisi lemah.
Tindakan apoteker dapat dibenarkan mengingat pemberian
obat golongan psikotropika tanpa resep dokter tersebut bertujuan
sebagai pertolongan darurat kepada pasien sehingga nyawa pasien
dapat terselamatkan. Tetapi jika apoteker tersebut dengan sengaja
tidak memberikan pertolongan pertama padahal dirinya mampu dan
mengetahui ilmunya maka akan dikenakan denda sesuai dengan UU
no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 190 ayat 1 yang berbunyi:
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)





31

2.3.3 Kasus 3
Seorang pasien diberikan obat yang sudah kadaluarsa oleh pihak
apotek RSUD Sanggau.
Analisis
Pada kasus yang terjadi di apotek RSUD Sanggau, dimana
seorang pasien diberikan obat yang sudah kadaluarsa oleh pihak
apotek, dapat dikategorikan ke dalam kasus pelanggaran kode etik
apoteker. Kode etik apoteker Indonesia merupakan asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak dan nilai-nilai yang dianut dan menjadi
pegangan dalam praktik kefarmasian. Di dalam Kode Etik Apoteker
Indonesia Bab II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Pasien,
dimana pasal 9 berbunyi, Seorang Apoteker dalam melakukan
praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat,
menghormati hak azasi pasien, dan melindungi makhluk hidup
insani, memiliki pedoman pelaksanaan dimana salah satu
pedomannya yaitu seorang Apoteker harus yakin bahwa obat yang
diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu,
keamanan, khasiat, dan cara pakai obat yang tepat. Berdasarkan
pasal di atas, apoteker sebagai mitra pasien dalam menjalani
pengobatan seharusnya lebih teliti, bertanggung jawab, dan lebih
mementingkan kepentingan dan keselamatan pasien.
Tanggal kadaluarsa merupakan tanggal yang ditetapkan oleh
produsen obat bahwa sampai pada tanggal tersebut, produsen obat
bertanggung jawab penuh atas keamanan dan kualitas obat.
Selebihnya, jika terjadi hal yang tidak diinginkan saat pemakaian
setelah kadaluarsa, bukan lagi menjadi tanggung jawab produsen.
Kualitas obat dari sejak diproduksi akan mengalami penurunan
kualitas hingga waktu tertentu yang biasanya disebut sebaga tanggal
kadaluarsa. Obat menjadi tidak berkhasiat lagi atau bisa saja
membahayakan konsumen. Oleh karena itu tanggal kadaluarsa obat
32

menjadi sesuatu yang penting untuk menjadi catatan apoteker atau
tenaga pengelola apotek.
Kasus pemberian obat kadaluarsa ini merupakan medication
eror (kesalahan medis) yang sebetulnya bisa dicegah. Laporan dari
IOM (Institute of Medicine) 1999 secara terbuka menyatakan bahwa
paling sedikit 44.000 bahkan 98.000 pasien meninggal di rumah sakit
dalam satu tahun akibat dari kesalahan medis (medical errors).
Kuantitas ini melebihi kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kanker
payudara dan AIDS. Penelitian Bates (JAMA,1995, 274; 29-34)
menunjukkan bahwa peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan
(medication error) pada tahap ordering (49%), diikuti tahap
administration management (26%), pharmacy management (14%),
transcribing (11%). Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden
Keselamatan Pasien (Konggres PERSI Sep2007), kesalahan dalam
pemberian obat menduduki peringkat pertama (24.8%) dari 10 besar
insiden yang dilaporkan. Jika disimak lebih lanjut, dalam proses
penggunaan obat yang meliputi prescribing, transcribing, dispensing
dan administering, dispensing menduduki peringkat pertama
Pada permasalahan ini, solusi yang dapat ditawarkan antara lain:
Pemberian sanksi berupa peringatan awal secara lisan dan tertulis
Pembinaan terhadap pengelola apotek
Peningkatan kualitas managemen keluar-masuk obatobatan
sehingga apabila terdapat obat kadaluarsa bisa ditangani secara
cepat dalam upaya pencegahan obat kadaluarsa terdistribusi ke
konsumen.
2.3.4 Kasus 4
Apoteker AN bekerja sebagai medical representativ (Medref) disalah
satu Industri Farmasi PMA. Sebagai salah satu cara untuk menarik
perhatian dokter dalam mempromosikan produk obatnya, maka
Apoteker AN bersedia menanggung biaya dan memfasilitasi dokter
33

tersebut untuk mengikuti simposium ilmiah di luar negeri, yang sudah
disetujui juga oleh industri tempat Apoteker tersebut bekerja.
Analisis
Kasus tersebut melanggar Kode Etik Profesi Apoteker, yaitu:
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker I ndonesia serta selalu mengutamakan
dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker
harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri
semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang
baik bagi orang lain
Selain itu telah disepakati bersama tentang etika promosi obat
antara Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter
Indonesia bahwa untuk mewujudkan upaya promosi obat yang
beretika dengan tujuan mengingatkan kembali pelaksanaan etika
profesi kedokteran dan etika para pengusaha farmasi dalam rangka
ketersediaan dan keterjangkauan sediaan obat yang merupakan salah
satu komponen penting untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia bersama-sama
dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan disaksikan oleh
Pemerintah dengan ini meneguhkan kembali tentang:
KESEPAKATAN BERSAMA ETIKA PROMOSI OBAT
Sebagai berikut:
1. GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia mewajibkan
seluruh elemen Pelaku Usaha Farmasi Indonesia yang tergabung
34

dalam GP Farmasi Indonesia dan kalangan profesi kedokteran yang
tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (termasuk
organisasi seminat / spesialis dan organisasi lain di lingkungan
IDI) untuk menerapkan secara konsekuen pelaksanaan Etika
Promosi Obat dengan penuh tanggung jawab. Poin-poin etika
promosi obat dan kesepahaman yang dimaksud adalah:
(b) Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada
seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak
boleh diisyaratkan/dikaitkan dengan kewajiban
untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.

Etika Promosi Obat
GP Farmasi-IDI
1. Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan
promosi obat adalah dilarang menjuruskan pasien untuk
membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah
menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
2. Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada
seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak
boleh disyaratkan /dikaitkan dengan kewajiban untuk
mempromosikan atau meresepkan suatu produk
3. Perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada
seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan
kedokteran berkelanjutan yaitu hanya untuk biaya registrasi,
akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara
pendidikan kedokteran berkelanjutan
4. Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau
uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan
35

kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan
sebagai pembicara atau menjadi moderator

Kode etik IPMG (Internasional Pharmaceutical Manufacturers
Group)
Interaksi dengan Profesi Kesehatan
4.2. Sponsor Untuk Profesi Kesehatan
Setiap sponsor yang diberikan kepada individu profesi
kesehatan tidak boleh didasarkan atas kewajiban
untuk mempromosikan, merekomendasikan atau menuliskan
resep suatu produk farmasi.
Pasal 5
Hadiah Dan Alat Medis
5.1. Prinsip Umum
Tidak diperbolehkan menawarkan hadiah/penghargaan,
insentif, donasi, keuangan, dan sejenisnya kepada profesi
kesehatan dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran
penggunaan obat/produk suatu perusahaan.
5.3. Donasi
5.3.1. Donasi hanya boleh diberikan kepada institusi, dan
dilarang keras untuk diberikan secara langsung
kepada profesi kesehatan.
2.3.5 Kasus 5
Apoteker H, seorang apoteker baru yang belum lama
disumpah menjadi apoteker di salah satu perguruan tinggi terkenal di
Yogyakarta. Ia ditawari beberapa pemilik sarana apotek untuk
mendirikan apotek di suatu tempat yang strategis namun berdekatan
dengan beberapa apotek yang telah ada. Apoteker H segera menerima
tawaran tersebut tanpa berkonsultasi dengan sejawat lainnya ataupun
organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia).
Analisis
36

Kode Etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Jabaran Kode Etik
Bab I pasal 5:
Di dalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus
menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
Bab II tentang kewajiban apoteker terhadap teman sejawat
Pasal 10:
Seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana dia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11:
Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik.
Pasal 12:
Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerja sama yang baik sesama apoteker didalam
memelihara keluhuran martabat, jabatan kefarmasian, serta
mempertebal rasa saling mempercayai didalam menunaikan
tugasnya.
Permenkes No.184 tahun 1995 pasal 18:
Apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar kode etik
apoteker.
Kode Etik Apoteker pasal 2:
Setiap Apoteker/Farmasis harus berusaha dg sungguh2 menghayati
dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Farmasis Indonesia.
Kepmenkes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002
Pasal 9
Terhadap permohonan izin apotik yang ternyata tidak
memenuhi persyaratan dimaksud pasai 5 dan atau pasal 6 , atau
lokasi Apotik tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat dalam jangka waktu selambat-
37

lambatnya 12 (dua belas)hari kerja wajib mengeluarkan Surat
Penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan mempergunakan
contoh Formulir Model APT- 7.
Kesimpulan dan Saran:
Sebaiknya apoteker H tidak langsung menerima tawaran
tersebut dan harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada IAI karena
mengingat peraturan yang telah ditetapkan. Meningkatkan informasi
tentang berita baru/tawaran yang lebih baik. Selain itu, jarak
apotek perlu (biasanya diatur perda/IAI kecuali apotek yang dibuka
dirumah pribadi, karena UU sekarang tidak lagi mengatur jarak, dulu
jalan lurus 500 m) agar tidak terjadi konflik. Apoteker harus
menghindarkan diri dari konflik yang dapat merusak pekerjaan
profesi.




38

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dilihat dari banyaknya masalah yang terjadi dalam hal pelayanan
kesehatan menandakan bahwa tingkat kesadaran tenaga kesehatan dalam
menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan masih rendah. Hal ini dapat
terjadi karena kekurangpahaman tenaga kesehatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku, masih banyaknya peraturan perundang-
undangan yang tidak sinkron satu sama lain, kurangnya pengawasan pihak
yang berwenang terhadap peraturan perundang-undangan yang telah berlaku
akibat terlalu banyaknya tenaga kesehatan, dan masih banyak lagi.
3.2 Saran
1) Melakukan sosialisasi secara keseluruhan baik terhadap tenaga kesehatan
maupun terhadap calon tenaga kesehatan
2) Menata ulang peraturan perundang-undangan yang telah berlaku sehingga
tidak terjadi tumpang tindih pada peraturan tertentu
3) Mempertegas sanksi terhadap setiap pelanggaran, agar terjadi efek jera
bagi pelaku





DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, Arbi. 2014. Tersangka Aborsi Hingga Kepala Janin Tertinggal
Menggunakan Obat. Tersedia di
http://news.detik.com/read/2014/04/12/133118/2553227/10/tersangka-
aborsi-hingga-kepala-janin-tertinggal-menggunakan-obat (Diakses pada
tanggal 5 Mei 2014 pukul 10.36)
Baturaja Online. 2012. Makanan Tak Berlabel Kedaluwarsa Beredar. Tersedia di
http://baturajaonline.com/featured/makanan-tak-berlabel-kedaluwarsa-
beredar/. (Diakses pada tanggal 5 Mei 2014 11.37)
Hardi, Erick P. 2014. Polisi Bongkar Pabrik Obat Palsu Skala Besar. Tersedia di
http://www.tempo.co/read/news/2014/01/24/058548053/Polisi-Bongkar-
Pabrik-Obat-Palsu-Skala-Besar. (Diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul
11.13)
Ikatan Apoteker Indonesia. Keputusan Kongres Nasional XVIII/2009 Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia tentang Kode Etik Apoteker Indonesia.
Keputusan Kongres Nasional XVIII/2009 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
No. 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 tentang Kode Etik Apoteker
Indonesia.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pekerjaan
Kefarmasian. PP No. 51 tahun 2009.
Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan. UU No. 36
tahun 2009.
Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan. UU No. 23
tahun 1992.
Kompas. 2012. Praktik Tukang Gigi Dihentikan. Tersedia di
http://health.kompas.com/read/2012/03/15/03255311/Praktik.Tukang.Gigi.
Dihentikan. (Diakses pada tanggal 5 Mei 2014 11.49)
Lastania, Ezhter, Joniansyah, dan Endri K. 2010 Mengerikan, Penculikan dan
Penjualan Organ Tubuh Anak Marak. Tersedia di
http://www.tempo.co/read/news/2010/08/23/057273147/Mengerikan-
Penculikan-dan-Penjualan-Organ-Tubuh-Anak-Marak (Diakses pada
tanggal 5 Mei 2014 pukul 10.48)

You might also like