Professional Documents
Culture Documents
RINGKASAN
IMAM PAMUJI. Analisis Variasi Muka Laut di Perairan Sabang, Sibolga,
Padang, Cilacap dan Benoa Menggunakan Metode Wavelet. Dibimbing oleh
JOHN ISKANDAR PARIWONO dan PARLUHUTAN MANURUNG.
Adanya data muka laut dari hasil pengukuran stasiun pasang-surut yang
terdapat di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa merupakan suatu modal
yang sangat mendukung untuk mengetahui mengenai perubahan kondisi laut di
daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisis dan pengkajian dari data yang telah
ada tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola variasi muka laut di
stasiun yang dikaji untuk mengetahui pola rambatannya dan menganalisis periode
fluktuasi muka laut pada tiap stasiun melalui spektrum densitas energi untuk
mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi serta menunjukkan hubungan
fluktuasi muka laut antar stasiun melalui spektrum korelasi silang.
Pola variasi muka laut yang terjadi di tiap stasiun ditampilkan dalam
bentuk grafik dengan menggunakan metode wavelet dimensi pada perangkat
lunak matlab 7.1. Untuk menganalisis variasi muka laut berdasarkan periode
dilakukan analisis spektrum densitas energi, sedangkan untuk mengetahui
hubungan antara muka laut antar stasiun ditunjukkan dengan analisis spektrum
korelasi silang. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak statistica 6.
Secara umum tinggi muka laut di stasiun yang dikaji memperlihatkan
adanya periode tengah tahunan (semi annual), tinggi muka laut mengalami dua
kali maksimum dan dua kali minimum dalam setahun. Terjadinya tinggi
maksimum pada periode bulan April hingga bulan Mei (musim peralihan 1) dan
pada bulan November ( musim peralihan 2) di stasiun yang dikaji diperkirakan
disebabkan oleh adanya gelombang Kelvin yang terbentuk di Samudera Hindia.
Periode fluktuasi spektrum densitas energi muka laut yang ditemukan di tiap
stasiun mengindikasikan adanya beberapa fenomena seperti fenomena musiman
(seasonal), intra musiman (intraseasonal) dan dua mingguan (fortnightly).
Hubungan yang erat fluktuasi muka laut terdapat pada korelasi silang
antara stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Sibolga dan Padang,
Padang dan Cilacap, Cilacap dan Benoa yang mengindikasikan bahwa adanya
saling keterkaitan mengenai perubahan muka laut yang terjadi. Hubungan
fluktuasi muka laut antara di Padang dan Sibolga sangat erat pada periode 4-6
bulan yang ditunjukkan dengan nilai koherensi sebesar 0,98 untuk periode 4 bulan
dan 0,97 untuk periode 6 bulan. Nilai beda fase bernilai negatif yang berarti
bahwa fluktuasi muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang kemudian diikuti
fluktuasi muka laut di Sibolga setelah 12 jam untuk periode 4 bulan dan 2 hari
untuk periode 6 bulan. Secara fisik ini berarti bahwa perubahan muka laut berupa
perambatan gelombang bermula dari Padang menuju ke Sibolga.
iv
ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG,
SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA
MENGGUNAKAN METODE WAVELET
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Imam Pamuji
C64104019
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
v
Hak cipta milik Imam Pamuji, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, Puji dan syukur penulis haturkan atas nikmat dan karunia
Allah SWT , karena atas hidayah-Nya skripsi mengenai Analisis Variasi Muka
Laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa Menggunakan
Metode Wavelet dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca
untuk perbaikan di masa mendatang.
Terakhir penulis mengucapakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr Ir. John Iskandar Pariwono yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam proyek
penelitian ini yang bekerja sama dengan BAKOSURTANAL.
2. Bapak Dr Parluhutan Manurung sebagai pembimbing II yang telah
banyak memberikan saran dan arahan dalam skripsi ini.
3. Bapak Yadi Aryadi S.Si yang telah membantu pengolahan data dan
mengajarkan teknis wavelet beserta seluruh staf Pusat Geodesi dan
Geodinamika BAKOSURTANAL atas kemudahan dan kerja samanya
selama pengerjaan skripsi ini.
4. Bapak Dr.Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Si selaku Dosen penguji tamu
dan Bapak Dr.Ir. James P. Panjaitan, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1
ITK.
5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa, dorongan,
inspirasi dan motivasi.
6. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan ITK 41 atas rasa kekeluargaan yang
telah terjalin selama ini.
Bogor, November 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
I.I. Latar belakang .................................................................................. 1
I.2. Tujuan .............................................................................................. 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Paras laut ......................................................................................... 3
2.2. Gelombang Kelvin .......................................................................... 6
2.3. Wavelet ............................................................................................ 9
2.3.1. Pengenalan wavelet .............................................................. 9
2.3.2. Analisa wavelet ................................................................... 10
2.3.3. Transformasi wavelet .......................................................... 12
2.3.3.1. Transformasi wavelet diskret ................................ 14
2.3.3.2. Dekomposisi wavelet ........................................... 15
2.3.3.3. Dekomposisi paket wavelet .................................. 17
3. BAHAN DAN METODE ..................................................................... 18
3.1. Lokasi dan waktu penelitian ........................................................ 18
3.2. Penentuan data penelitian .............................................................. 19
3.2.1. Mekanisme Tide gauge ........................................................ 19
3.2.1. Data pasang surut ................................................................. 20
3.3. Metode analisis data ...................................................................... 21
3.3.1.Analis deret waktu................................................................. 22
3.3.2.Analisa Spektrum .................................................................. 23
3.3.2.1.Spektrum densitas energi .......................................... 23
3.3.2.2.Spektrum korelasi silang ........................................... 24
3.3.3.Diagram alir penelitian .......................................................... 28
4.HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 29
4.1.Variasi muka laut ........................................................................... 29
4.1.1. Variasi muka laut di Sabang ................................................ 30
4.1.2. Variasi muka laut di Sibolga ................................................ 32
4.1.3. Variasi muka laut di Padang ................................................ 33
4.1.4. Variasi muka laut di Cilacap ................................................ 34
4.1.5. Variasi muka laut di Benoa .................................................. 36
4.2.Spektrum densitas energi muka laut .............................................. 37
4.2.1. Fenomena musiman (seasonal) ............................................ 40
4.2.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal) ............................ 41
4.2.3. Fenomena dua mingguan (fortnightly) ................................. 43
4.3.Spektrum korelasi silang muka laut ............................................... 43
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Proses penyebab terjadinya perubahan paras
laut beserta periode dan amplitudonya .................................................... 5
2. Periode perekaman data pasang surut di stasiun-stasiun
pasang surut yang dikaji ......................................................................... 21
3. Komponen analisis spektrum korelasi silang ......................................... 25
4. Periode dan spektrum densitas energi muka laut di stasiun
Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa ........................................ 40
5. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode musiman .................................................... 45
6. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode intra musiman ............................................ 51
7. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode fortnightly .................................................. 54
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk gelombang ................................................................................ 10
2. Translasi pada Wavelet ....................................................................... 10
3. Perubahan skala pada Wavelet .............................................................. 11
4. Korespondensi antara skala pada
waktu dengan frekuensi pada Wavelet .................................................. 11
5. Beberapa tipe dari fungsi Wavelet (x) ............................................... 12
6. Proses dekomposisi Wavelet ................................................................. 16
7. Proses multilevel dekomposisi Wavelet................................................ 16
8. Proses multilevel dekomposisi Paket Wavelet ...................................... 17
9. Peta sebaran stasiun pasang surut di Indonesia .................................... 18
10. Diagram alir penelitian ......................................................................... 28
11. Variasi muka laut di Stasiun Sabang dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 30
12. Variasi muka laut di Stasiun Sibolga dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 32
13. Variasi muka laut di Stasiun Padang dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 34
14. Variasi muka laut di Stasiun Cilacap dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 35
15. Variasi muka laut di Stasiun Benoa dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 37
16. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sabang periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 38
17. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sibolga periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 38
18. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Padang periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 39
xii
19. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Cilacap periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 39
20. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Benoa periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 39
21. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sabang dan Sibolga ....................................................... 47
22. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sabang dan Padang ....................................................... 48
23. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sibolga dan Padang ....................................................... 50
24. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Padang dan Cilacap ....................................................... 55
25. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Padang dan Benoa ......................................................... 56
26. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Cilacap dan Benoa ......................................................... 57
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat pasang surut .................................................................................... 65
2. Data tinggi muka laut stasiun Sabang .................................................... 66
3. Data tinggi muka laut stasiun Sibolga .................................................... 67
4. Data tinggi muka laut stasiun Padang .................................................... 68
5. Data tinggi muka laut stasiun Cilacap .................................................... 69
6. Data tinggi muka laut stasiun Benoa ...................................................... 70
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Informasi mengenai perubahan muka laut dewasa ini semakin dibutuhkan dan
meningkat secara mencolok untuk berbagai kepentingan baik terkait dengan
navigasi maupun sampai adanya pendugaan peristiwa perubahan muka laut yang
diakibatkan oleh adanya fluktuasi iklim global.
Indonesia telah memiliki jaringan pengamatan pasang-surut laut nasional
yang terdiri atas 90 stasiun (yang seluruhnya dioperasikan oleh Bakosurtanal
secara terintegrasi) merupakan suatu aset yang dapat memberikan kontribusi
penting untuk pemantauan kedudukan permukaan laut dan untuk mengetahui
variasi muka lautnya. (Manurung et al., 2003)
Adanya data muka laut dari hasil pengukuran stasiun pasang-surut yang
terdapat di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa merupakan suatu modal
yang sangat mendukung untuk mengetahui mengenai perubahan kondisi laut di
daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisis dan pengkajian dari data yang telah
ada tersebut.
Pengkajian mengenai perubahan muka laut di sepanjang pantai barat
Sumatera dan selatan pulau Jawa serta selatan pulau Bali mempunyai arti penting
dalam hal untuk menganalisis variasi muka laut yang terjadi di daerah
khatulistiwa Lautan Hindia bagian tengah (Pariwono, 1993). Hal ini merupakan
akibat perubahan dinamika atmosfer atau lautan yang merambat dari daerah
khatulistiwa Lautan Hindia bagian tengah menuju pantai barat Sumatera, sinyal
ini akan terekam pada perubahan muka laut yang terjadi di pantainya. Jika sinyal
2
tersebut cukup kuat maka akan merambat hingga ke arah pantai selatan Jawa
bahkan jika lebih kuat lagi dapat mencapai ke arah pantai selatan Bali. Sinyal ini
diduga merupakan perambatan dari sinyal gelombang panjang.
Sinyal gelombang panjang ini dianalisis dengan menggunakan metode
wavelet. Pengkajian di bidang oseanografi menggunakan metode wavelet masih
jarang dilakukan, sehingga dalam penelitian ini digunakan metode wavelet untuk
menunjukkan variasi muka laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut yang
dikaji.
Penelitian yang terkait pernah dilakukan oleh Pariwono (1993) mengenai
Keragaman Muka Laut Sepanjang Tepi Luar Pantai Kepulauan Sunda Besar.
Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran
mengenai variasi muka laut di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa.
1.2. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pola variasi muka laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang,
Cilacap dan Benoa untuk mengetahui pola rambatannya.
2. Menganalisis periode fluktuasi muka laut pada tiap stasiun melalui
spektrum densitas energi untuk mengetahui fenomena-fenomena yang
terjadi.
3. Menunjukkan hubungan fluktuasi muka laut antar stasiun melalui
spektrum korelasi silang.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Paras laut
Sepanjang sejarah bumi paras laut rata-rata tidak pernah berada dalam
keadaan konstan. Pada masa sekarang keadaan paras laut 100 meter lebih tinggi
dari pada masa terakhir zaman es 18.000 tahun yang lalu (National Research
Council,1990).
Perubahan tinggi paras laut merupakan hasil dari beberapa proses yang
saling mempengaruhi. Perubahan terjadi dalam skala waktu dan ruang, dari yang
bersifat lokal sampai global, dan dari kurun waktu beberapa detik sampai
beberapa ribu tahun (National Research Council,1990). Hasil pengukuran tinggi
permukaan laut di dalam suatu periode merupakan interaksi tiga komponen yang
terkait di dalamnya yang diformulasikan secara umum (Pugh, 1987) seperti di
bawah ini:
X (t) = Zo (t) + T (t) + S (t) .................................................................... (1)
dimana :
X (t) : Muka laut yang terukur.
Zo (t) : Muka laut rata-rata atau disebut Mean Sea Level (MSL), yaitu kedudukan
rata-rata muka laut yang umumnya didasarkan dari hasil pengukuran
berinterval 1 jam dalam suatu periode sekurang-kurangnya 1 tahun.
T (t) : Pasut, yaitu gerak periodik muka laut dimana amplitudo dan fasenya
berhubungan langsung terhadap gaya geofisika yang periodik, yakni gaya
yang ditimbulkan oleh adanya sistem gerak reguler bulan- bumi dan bumi-
4
=
N
1 i
) P t cos( A i i i ............................................ (2)
dimana : (t) = Elevasi pasut fungsi dari waktu
i A = Amplitudo komponen ke-i
i = 2 / T
i ,
T
i
= periode komponen ke-i
P
i
= Fase komponen ke-i
` S
O
= Mean Sea Level (MSL)
ss
O
= Perubahan MSL yang disebabkan oleh efek monsun atau
angin, jadi oleh faktor meteorologi
t = Waktu
N = Jumlah komponen
S (t) : Residu meteorologi, yaitu komponen non pasut yang akan terlihat setelah
dilakukan pengambilan komponen pasutnya dari suatu analisa. Komponen
tersebut terlihat tak teratur, yang merupakan cerminan variasi musim.
Komponen residu meteorologi ini juga sering disebut residu gelombang,
walaupun istilah gelombang sering digunakan untuk menyebut kejadian
khusus terhadap komponen non pasut yang lebih besar. Komponen yang
termasuk dalam residu ini adalah antara lain :
5
Periode dan besaran sinyal paras laut yang dihasilkan oleh proses
penyebab terjadinya perubahan paras laut ditampilkan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Proses penyebab terjadinya perubahan paras laut beserta periode dan
amplitudonya
Faktor penyebab Periode
(tahun)
Besaran
perubahan
(mm)
Perubahan volume air laut karena perubahan
suhu dan salinitas
Perairan dangkal (0 sampai 500 m)
Perairan dalam (500 sampai 40000 m)
10
-1
sampai 10
-2
10
-1
sampai 10
-4
10
0
sampai 10
3
10
0
sampai 10
4
Pencairan massa es
Gunung es
Massa es di Greenland
Massa es di Antartika Timur
Massa es di Antartika Barat
10
-1
sampai 10
-2
10
-2
sampai 10
-5
10
-3
sampai 10
-5
10
-1
sampai 10
-4
10
1
sampai 10
3
10
1
sampai 10
4
10
4
sampai 10
5
10
3
sampai 10
4
Penambahan massa air laut dari sumber air
daratan
Sumber air bawah tanah
Danau dan bendungan
10
2
sampai 10
5
10
2
sampai 10
5
10
2
sampai 10
4
10
0
sampai 10
2
Perubahan bentuk kerak bumi
Lithosphere Formation and Subduction
Glacial Isostatic Rebound
Continental Collision
Sea Floor and Continental Epeirogeny
Sedimentation
10
5
sampai 10
8
10
2
sampai 10
4
10
5
sampai 10
8
10
5
sampai 10
8
10
4
sampai 10
10
3
sampai 10
5
10
2
sampai 10
4
10
4
sampai 10
5
10
4
sampai 10
5
10
3
sampai 10
5
Sumber : National Research Council (1990)
2.2. Gelombang Kelvin
Gelombang Kelvin merupakan bentuk gelombang gravitasi yang
termodifikasi oleh gaya Coriolis sebagai akibat adanya rotasi bumi dan batas
lateral, untuk gelombang gravitasi dengan periode (T) mendekati setengah hari
pendulum (2/f), suku-suku Coriolis (fu, fv) menjadi cukup berarti. Pada
7
...................................................................................... (3)
y
g fu
t
v
= +
...................................................................................... (4)
Untuk persamaan kontinuitas dengan kedalaman rata-rata, h, konstan dan << h
menjadi :
y
v
x
u
h
t
................................................................................. (5)
Lord Kelvin menurunkan suatu solusi gelombang dengan cara menerapkan
batas lateral (vertikal) terhadap persamaan (3 dan 4) serta (5), yang kemudian
dikenal sebagai gelombang Kelvin :
h
g
u = , v = 0 dan
( ) t kx cos
c
fy
exp
0
=
, sin 2 f , cg gh c = = = dan h =konstan ........................................... (6)
dimana:
: Elevasi permukaan air
u : komponen kecepatan arah x
v : komponen kecepatan arah y
8
h : kedalaman perairan
g : percepatan gravitasi
Dari persamaan momentum arah -x dan persamaan kontinuitas, dengan
v = 0, diperoleh bahwa kecepatan penjalaran gelombang (c= gh ) tidak
dipengaruhi oleh efek rotasi, melainkan hanya oleh percepatan gravitasi dan
kedalaman perairan, sedangkan persamaan momentum arah y merupakan
persamaan geostrofik (Pond,1983).
Gelombang Kelvin menjalar dengan batas (daratan) berada di kiri dari arah
penjalaran gelombang untuk Belahan Bumi Selatan, atau di sebelah kanan untuk
Belahan Bumi Utara. Amplitudo terbesar berada di batas dan berkurang secara
eksponensial ke arah laut lepas. Gelombang Kelvin juga dapat muncul di
sepanjang ekuator, dimana f berganti tanda, penjalarannya adalah dari barat ke
timur. Tidak ada batasan yang pasti mengenai frekuensi dari Gelombang Kelvin,
hanya saja frekuensinya harus cukup rendah sehingga asumsi gelombang panjang
dapat terpenuhi.
Clarke dan Liu (1993) mengemukakan bahwa gelombang Kelvin menjalar
dari bagian barat Samudera ekuatorial dalam waktu sebulan yang kemudian
menabrak pantai barat Sumatera Indonesia yang terletak di atas ekuator.
Gelombang Kelvin membangkitkan gelombang Rossby yang masuk kembali ke
Samudera Hindia yang berpropagansi ke utara dan selatan sebagai Coastally
Trapped Kelvin Wave, yang berhubungan secara langsung dengan pengamatan
naiknya tinggi muka laut di sepanjang panjang Sumatera dan Jawa.
9
2.3. Wavelet
2.3.1. Pengenalan wavelet
Analisis Transformasi Fourier adalah sebuah perangkat matematik untuk
mentransformasi sudut pandang kita terhadap sinyal dari domain waktu ke domain
frekuensi, tetapi transformasi Fourier mempunyai kekurangan, yaitu apabila kita
melakukan transformasi ke domain frekuensi maka informasi waktu akan hilang.
Maksudnya adalah apabila kita melihat transformasi Fourier dari suatu sinyal
maka adalah tidak mungkin untuk mengetahui kapan event itu terjadi.
Sebagai usaha untuk mengurangi kekurangan pada transformasi Fourier
yang gagal memberikan informasi waktu dan frekuensi secara bersamaan, Gabor
memperkenalkan teknik STFT (Short Time FourierTransform) yang melakukan
pemetaan sebuah sinyal ke dalam fungsi berdimensi dua, yaitu dalam waktu dan
frekuensi. STFT memberikan informasi mengenai kapan dan pada frekuensi
berapa suatu sinyal event terjadi. Tetapi, STFT memiliki keterbatasan bahwa
informasi serentak dalam waktu dan frekuensi dapat dicapai dengan presisi yang
terbatas, dibatasi oleh ukuran jendela (window) yang dipilih. Sekali dipilih
ukuran tertentu dari jendela maka jendela tersebut akan sama untuk frekuensi.
Wavelet adalah gelombang kecil yang mempunyai energi terkonsentrasi
dalam waktu yang dapat dipakai sebagai alat analisis fenomena transien,
nonstasioner, atau time varying. Transformasi wavelet menguraikan sinyal
melalui dilatasi dan tranlasi wavelet (Habibie, 2007).
10
=
b R ..................................................... (7)
( ) ( ); k t 2 t
j
2 / j
k , j 2
= j,k Z .............................................................. (8)
dimana :
a = parameter dilatasi
b = parameter translasi
R= mengkondisikan nilai a dan b dalam nilai integer
2
j
= parameter dilatasi (parameter frekuensi atau skala)
k = parameter waktu atau lokasi ruang
Z = mengkondisikan nilai j dan k dalam nilai integer
Fungsi wavelet pada persamaan (7) dikenalkan pertama kali oleh
Grossman dan Morlet, sedangkan persamaan (8) oleh Daubechies (Polikar,1996).
Pada fungsi Grossman-Morlet, a adalah parameter dilatasi dan b adalah parameter
translasi, sedangkan pada fungsi Daubechius, parameter dilatasi diberikan oleh 2
j
dan parameter translasi oleh k. Kedua fungsi dapat dipandang sebagai mother
wavelet, dan harus memenuhi kondisi (Wang and Nicholas, 1998 ) :
14
+
= 0 dx ) x ( ......................................................................................... (9)
yang menjamin terpenuhinya sifat ortogonalitas vektor.
Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe
berdasarkan nilai parameter translasi dan dilatasinya, yaitu transformasi wavelet
kontinu (continue wavelet transform), dan diskrit (discrete wavelet transform).
Transformasi wavelet diskrit bertujuan untuk mengurangi redundansi yang terjadi
pada transformasi kontinu dengan cara mengambil nilai diskrit dari parameter a
dan b.
Continous Wavelet Transform (CWT) menganalisa sinyal dengan
perubahan skala pada window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu
dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar,1996).
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
CWT (a,b) =
) t ( f
a,b
* (t) ............................................................... (10)
dimana
a,b
seperti pada persamaan (8), sedangkan transformasi wavelet diskrit
menganalisa suatu sinyal dengan skala yang berbeda dan merepresentasikannya ke
dalam skala waktu dengan menggunakan teknik filtering, yakni menggunakan
filter yang berbeda frekuensi cut off-nya.
2.3.3.1. Transformasi wavelet diskrit
Berdasarkan fungsi mother wavelet, bahwa fungsi wavelet penganalisa
untuk transformasi wavelet diskrit dapat didefinisikan dalam persamaan (9).
15
.............................................................................. (11)
a
j,k
ini merupakan discret wavelet transform dari fungsi f(t) yang dibentuk oleh
inner product antara fungsi wavelet induk dengan f(t) :
( ) ) t ( f , a
k , j k , j
= .................................................................................... (12)
sehingga f (t) disebut sebagai inverse discret wavelet transform dapat dinyatakan
dengan :
) t ( ) t ( ) t ( f
k , j k , j
k , j
=
..................................................................... (13)
2.3.3.2. Dekomposisi wavelet
Dalam beberapa aplikasi, kita tidak pernah harus berhubungan secara
langsung dengan fungsi penskalaan atau wavelet. seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa pada DWT (Discret Wavelet Transform) suatu resolusi sinyal
dapat diubah dengan menggunakan teknik filtering (analisa filter bank).
Jadi proses transformasi pada wavelet ini pertama kali dapat diwakili dengan
proses melewatkan sinyal asli ke dalam Low Pass Filter (LPF) dan High Pass
Filter (HPF). LPF menghasilkan komponen aproksimasi yang merupakan
komponen sinyal berfrekuensi rendah dan berskala tinggi,sedangkan HPF
menghasilkan komponen detail yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi
tinggi dan berskala rendah. Komponen aproksimasi dan detail yang dihasilkan
melalui proses pemfilteran ini kemudian melewati proses down sampling. Proses
16
ini bertujuan untuk menurunkan jumlah sampel yang dihasilkan untuk masing-
masing komponen menjadi setengah dari jumlah sampel sinyal asli. Proses ini
biasa dikenal dengan istilah dekomposisi wavelet. Proses dekomposisi wavelet
dapat digambarakan sebagai berikut (The Math Works Inc, 2000)
Sumber: The Math Works Inc (2000)
Gambar 6. Proses dekomposisi Wavelet
Proses dekomposisi dapat dilakukan berulang kali pada komponen
aproksimasi, sehingga didapatkan banyak komponen resolusi yang lebih rendah
dari sebuah sinyal. Proses multilevel dekomposisi ini digambarkan sebagai
berikut :
Sumber: The Math Works Inc (2000)
Gambar 7. Proses multilevel dekomposisi Wavelet
Keterangan :
S = Sinyal Asli
17
gelombang radar. Switch berfungsi untuk validasi data, pada saat muka laut naik
atau turun dan melewati Switch, maka waktu saat muka laut lewat Switch tersebut
akan dikirim ke data logger. Adapun software komunikasi yang digunakan untuk
menerima data tinggi muka laut dari data logger adalah Satlink Communicator.
Data tinggi muka laut dikirim setiap 15 menit sekali ke satelit meteosat,
data tinggi muka laut ini kemudian dapat diakses melalui GTS (Global
Telecomunication Satellite) receiver. GTS receiver ini hanya dimiliki oleh BMG
(Badan Meteorologi Geofisika) yang merupakan anggota dari WMO (World
Meteorogycal Organization), sehingga di Indonesia data tinggi muka laut ini
hanya dapat diakses langsung oleh BMG dan selebihnya dapat diakses di internet.
Juga dilengkapi dengan dua receiver GPS untuk sinkronisasi waktu sensor dari
data logger tehadap waktu GPS yang presisi.
3.2.2. Data pasang surut
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, data pasang surut yang
terekam di setiap stasiun pasang surut yang dikaji diperoleh dari hasil perekaman
alat pasang surut tide gauge, data tersebut direkam dengan interval satu jam sekali
dengan satuan mm (milimeter). Periode data pasang surut yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
21
=
........................................... (14)
Keterangan :
X (f
k
) = komponen Fourier dari data deret waktu (x
t
) pada frekuensi ke-k (f
k
)
t = selang waktu pengambilan data (1 jam)
N = jumlah data
i = -1 (bilangan imajiner)
t = 0, 1, 2, ..., N
3.3.2.1. Spektrum densitas energi
Dari nilai FFT tersebut maka akan didapatkan nilai spekrum densitas
energi dari tiap data muka laut di setiap stasiun dengan menggunakan rumus
(Bendat dan Piersol, 1971) :
( )
( )
2
k x
f X
N
t 2
S
= ......................................................... (15)
Keterangan :
S
x
= nilai densitas energi satu rekaman data deret waktu (x
t
)
24
Keterangan :
) f ( S
k y x
: spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (f
k
)
k
f : k/Nh, k = 0,1, 2, ..., N-1
( )* f X
k
: kompleks conjugate dari X (f
k
)
( )
k
f X : komponen Fourier dari data deret waktu (x
t
); diperoleh dari ( 14)
( )
k
f Y : komponen Fourier dari data deret waktu (y
t
); diperoleh dari ( 14)
t : selang waktu pengambilan data (1 jam)
N : jumlah data
Nilai koherensi ditentukan dengan rumus :
( )
) f ( S ) f ( S
f S
) f (
k y k x
2
k xy
k
y x
2
= .......................................................(17)
Keterangan :
) f (
k
y x
2
: nilai koherensi pada frekuensi ke-k
k
f ( )
( )
k xy
f S : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k
k
f ( )
( )
k x
f S : spektrum densitas energi dari komponen Fourier X (f
k
)
( )
k y
f S : spektrum densitas energi dari komponen Fourier Y (f
k
)
Beda fase (phase lag) dihitung sebagai berikut :
=
) f ( C
) f ( Q
tan ) f (
k xy
k xy
1
k y x
........................................................(18)
Keterangan :
y x
: beda fase pada frekuensi ke-k ) f (
k
) f ( Q
k xy
: bagian imaginer dari ( )
k xy
f S
27
) f ( C
k xy
: bagian nyata dari ( )
k xy
f S
Pada perangkat lunak Statistica 6 diperoleh satuan beda fase (
y x
) dalam
bentuk tan
-1
, kemudian satuan ini dikonversi dalam bentuk waktu (jam)
dikarenakan satuan beda fase yang digunakan dalam spektrum korelasi silang
muka laut (residual) antar stasiun adalah dalam bentuk jam. Sebelum dikonversi
dalam bentuk jam, terlebih dahulu bentuk tan
-1
diubah kedalam bentuk derajat
dengan menggunakan perintah ATAN (
xy
(fk))*180/PI() pada Microsoft office
excel 2007, Setelah itu dapat dilakukan konversi kedalam bentuk jam. Rumus
matematikanya sebagai berikut :
beda fase (jam) = periode
360
) f ( arctg
k xy
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Variasi muka laut
Variasi muka laut di setiap stasiun pasang surut yang dikaji dianalisis dengan
menggunakan metode wavelet 1-D, dengan metode ini dapat dilihat variasi muka
laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut sepanjang tahun 2007. Seperti
yang telah dijelaskan pada bagian bahan dan metode (Bab 3) jenis wavelet yang
digunakan dalam penelitian adalah wavelet daubechius 1 level 5 sehingga akan
diperoleh variabel s, d1, d2, d3, d4 dan a5 di setiap gambar variasi muka laut yang
disajikan yang terjadi di setiap stasiun pasang surut. Variabel s merupakan sinyal
asli yang kemudian pertama kali akan dilewatkan ke dalam Low Pass Filter (LPF)
dan High Pass Filter (HPF) melalui proses transformasi wavelet.
HPF menghasilkan komponen detail yang merupakan komponen sinyal
berfrekuensi tinggi dan berskala rendah (d1, d2, d3 dan d4) sedangkan LPF
menghasilkan komponen aproksimasi yang merupakan komponen sinyal
berfrekuensi rendah dan berskala tinggi (a1, a2, a3, a4 dan a5). Variabel
aproksimasi dan detail yang dihasilkan melalui proses pemfilteran ini kemudian
melewati proses down sampling (telah dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka di
Bab 2).
Dalam penelitian ini untuk menunjukkan sinyal muka laut dari sinyal asli
maka perlu dilakukan proses transformasi wavelet seperti yang diungkapkan di
atas karena untuk menghilangkan pengaruh frekuensi tinggi yakni pengaruh pasut
harian. Analisis mengenai variasi muka laut dapat dilihat dari variabel a5 yang
dihasilkan dari proses transformasi wavelet. Variabel ini diperoleh setelah
30
Waktu (bulan)
Gambar 11.Variasi muka laut di Stasiun Sabang dari bulan Januari 2007
sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
31
yang berada di ujung Pulau Sumatera. Stasiun Sabang dan Sibolga ini digunakan
untuk melihat kemungkinan tersebut.
4.1.2. Variasi muka laut di Sibolga
Variasi muka laut di Sibolga ditampilkan pada gambar di bawah ini
(Gambar 12), berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat perubahan muka laut
(variasi muka laut) yang terjadi sepanjang tahun 2007. Variasi muka laut di
Sibolga menunjukkan adanya pola periode tengah tahunan (semi annual) dimana
tinggi muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali minimum. Tinggi
muka laut di Sibolga mengalami tinggi maksimum pada periode bulan April
hingga bulan Mei (musim peralihan 1) dan terjadi kembali tinggi maksimum pada
bulan November (musim peralihan 2).
Waktu (bulan)
Gambar 12. Variasi muka laut di Stasiun Sibolga dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
33
minimum dalam periode satu tahun. Tinggi muka laut maksimum di Padang juga
terjadi pada bulan April hingga Mei dan terjadi lagi pada bulan November. Hal
ini terjadi diduga karena adanya pengaruh dari gelombang Kelvin.
Waktu (bulan)
Gambar 13. Variasi muka laut di Stasiun Padang dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
Adanya kesamaan pola variasi muka laut di Padang dan Sibolga atau
dengan kata lain terjadinya perubahan muka laut di Padang juga akan ditemui di
Sibolga, hal ini terjadi dikarenakan Stasiun Padang dan Sibolga berseberangan
pada garis khatulistiwa.
4.1.4. Variasi muka laut di Cilacap
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa data yang ada di Cilacap
tidak sampai satu tahun dikarenakan pada stasiun Cilacap terdapat gap (sela),
sehingga analisis variasi muka laut di Cilacap dimulai pada bulan Maret 2007
hingga Desember 2007. Pola variasi muka laut dapat dilihat pada Gambar 14.
35
pada gambar variasi muka lautnya (Gambar 14) bahwa terjadi dua kali puncak
maksimum dari tinggi muka laut di Cilacap.
4.1.5. Variasi muka laut di Benoa
Berdasarkan Gambar pola variasi muka laut di stasiun Benoa (Gambar 15)
dapat dilihat mengenai variasi muka laut yang terjadi pada sepanjang tahun 2007.
Stasiun Benoa yang terletak di selatan perairan Bali diperkirakan masih akan
dipengaruhi oleh perambatan gelombang Kelvin, yang sebelumnya gelombang
Kelvin ini merambat melewati pantai selatan Jawa kemudian ke perairan selatan
Bali. Ini dapat dilihat pada Gambar pola variasi muka laut di stasiun Benoa
mengalami peninggian muka laut pada bulan Februari, kemudian terjadi lagi pada
bulan April hingga Mei serta pada bulan November. Peninggian muka laut yang
terjadi pada bulan April hingga Mei yang merupakan musim peralihan 1 dan
bulan November yang merupakan musim peralihan 2, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sprintall et al. (2000), sehingga
diperkirakan terjadinya peninggian muka laut di Benoa dipengaruhi oleh
perambatan gelombang Kelvin.
37
Waktu (bulan)
Gambar 15.Variasi Muka Laut di Stasiun Benoa dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
4.2. Spektrum densitas energi muka laut
Pola fluktuasi berulang yang telah digambarkan pada sebaran temporal muka
laut di setiap stasiun yang dikaji kadang tidak begitu jelas sehingga sulit untuk
mengetahui periode fluktuasi yang dominan dari data. Untuk mengetahui nilai
densitas energi dan periode fluktuasi yang signifikan maka digunakan spektrum
densitas energi.
Spektrum densitas energi muka laut di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan
Benoa disajikan masing-masing pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20. Periode
fluktuasi dari spektrum densitas energi disajikan pada Tabel 4.
Periode fluktuasi energi muka laut yang ditemukan di tiap stasiun pasut
mengindikasikan adanya beberapa fenomena seperti fenomena musiman
(seasonal), intra musiman (intraseasonal) dan dua mingguan (fortnightly)
38
Tabel 4. Periode dan spektrum densitas energi muka laut di stasiun Sabang,
Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa
No Stasiun
Periode
Fluktuasi (jam)
Spektrum
Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Keterangan
1 Sabang 4380 12,49 6 bulan
2920 10,54 4 bulan
2190 8,34 3 bulan
1752 4,79 2,4 bulan
1251,43 3,11 1,7 bulan
324,44 1,87 13,5 hari
2 Sibolga 4380 12,60 6 bulan
2920 11,94 4 bulan
2190 2,07 3 bulan
1752 5,86 2,4 bulan
1095 2,07 1,5 bulan
324,44 1,97 13,5 hari
3 Padang 4380 14,91 6 bulan
2920 11,96 4 bulan
2190 9,42 3 bulan
1752 5,14 2,4 bulan
324,44 1,42 13,5 hari
4 Cilacap 3672 44,46 5 bulan
2448 22,49 3,4 bulan
5 Benoa 4380 23,49 6 bulan
2920 12,67 4 bulan
4.2.1. Fenomena musiman (seasonal)
Periode fluktuasi 4,5 dan 6 bulanan yang terdapat pada Tabel 4
dikategorikan ke dalam variasi musiman (seasonal). Secara konsisten variasi
musiman tersebut ditemukan di semua stasiun yang dikaji, sinyal tersebut
menunjukkan adanya kekuatan musim. Fenomena musiman (seasonal) ini
diperkirakan terjadi pada saat pergantian musim baik dari Musim Barat menuju
Musim Timur atau sebaliknya, sedangkan untuk periode fluktuasi 4 bulanan
41
diperkirakan juga berkaitan dengan pergantian musim yakni dari Musim Barat ke
peralihan satu, lalu Musim Timur ke peralihan dua.
Nilai densitas energi muka laut pada variasi musiman (seasonal) di tiap
stasiun tidak jauh berbeda, nilai ini dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai densitas
energi muka laut yang dominan di Sabang berturut-turut pada periode 6 bulanan
dan 4 bulanan sebesar 12,49 m/siklus per jam dan 10,54 m/siklus per jam. Variasi
musiman di Sibolga memiliki nilai densitas energi muka laut sebesar 12,60
m/siklus per jam dan 11,94 m/siklus per jam untuk masing-masing periode
6 bulanan dan 4 bulanan, sedangkan nilai densitas energi muka laut di Padang
yang terjadi pada periode yang sama dengan di Sabang dan Sibolga, dengan
masing-masing sebesar 14, 91 m/siklus per jam untuk periode 6 bulanan dan
11,96 m/siklus per jam untuk periode 4 bulanan.
Adapun variasi musiman yang terjadi di Cilacap memiliki nilai densitas
energi muka laut tertinggi yaitu sebesar 44,46 m/siklus per jam, sedangkan untuk
fenomena musiman di Benoa memiliki nilai densitas energi muka laut sebesar
23,48 m/siklus per jam.
4.2.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal)
Periode fluktuasi selanjutnya yang dominan yang juga ditemukan di tiap
stasiun yaitu pada periode 1,5 bulan 3,4 bulan dengan kisaran nilai densitas
energi muka laut masing-masing sebesar 3,11 - 8,34 m/siklus per jam di Sabang,
2,07 - 5,86 m/siklus per jam di Sibolga dan 5,14-9,42 m/siklus per jam di Padang
serta di Cilacap sebesar 44,46 m/siklus per jam. Periode ini mengindikasikan
adanya fenomena intraseasonal (berkisar antara 1 bulanan sampai 3 bulanan)
42
dan Jawa, yang mana merespon spektra intraseasonal dari variasi muka laut.
Oleh karena itu Iskandar et al. (2004) mengemukakan bahwa energi angin jauh
(remote winds) dan angin lokal berperan penting dalam menjelaskan variasi
intraseasonal di sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera.
Jadi, yang menyebabkan terjadinya sinyal intraseasonal di sepanjang pantai
adalah energi dari angin, baik angin di sepanjang ekuator maupun di sepanjang
pantai. Akan tetapi, angin di sepanjang ekuator yang lebih dominan (Iskandar,
2008, komunikasi pribadi).
4.2.3. Fenomena dua mingguan (Fortnightly)
Selain sinyal musiman dan intra musiman juga ditemukan adanya sinyal
dua mingguan di stasiun pasut yang dikaji, hal ini diperkirakan karena kuatnya
sinyal pasut (Iskandar, 2008, komunikasi pribadi). Berdasarkan Tabel 4
ditemukan periode fluktuasi 13,5 hari yang mempresentasikan bahwa adanya
sinyal pasut dua mingguan. Periode tersebut di temukan di Sabang, Sibolga dan
Padang dengan nilai densitas energi berturut-turut sebesar 1,87 m/siklus per jam,
1,95 m/siklus per jam dan 1,42 m/siklus per jam.
4.3. Spektrum korelasi silang muka laut
Analisis spektrum korelasi silang dilakukan untuk mengetahui hubungan
muka laut di antara stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Analisis
ini dilakukan antara stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Sibolga dan
Padang, Padang dan Cilacap, Padang dan Benoa, Cilacap dan Benoa. Gambar
44
Variasi musiman (seasonal) terjadi juga pada spektrum korelasi silang muka
laut antara stasiun Sabang dan Padang (Gambar 22), Periode fluktuasi yang
dominan terjadi pada periode 6 bulan dan 4 bulan. Dimana nilai spektrum
korelasi silangnya telah disajikan pada Tabel 5. Hubungan keeratan muka laut
antara stasiun Sabang dan Padang tinggi, dapat dilihat dari nilai koherensi yang
tertera pada Tabel 5 yaitu masing-masing memiliki nilai koherensi sebesar 0,86
untuk periode 6 bulan dan 0,94 untuk periode 4 bulan. Dari nilai sela fase yang
ada dapat diketahui bahwa perubahan muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang
yang kemudian akan diikuti perubahan muka laut di Sabang dengan kelambatan
waktu selama 8 hari untuk periode 6 bulan dan 3 hari pada periode 4 bulan.
Tabel 5. Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun dalam periode musiman
No
Korelasi
Stasiun
Periode
fluktuasi
(jam) Keterangan
Spektrum
Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Koherensi
Beda fase
(tan-1) Waktu
1 Sabang - Sibolga 4380 6 bulan 11,86 0,94 -0,22 6 hari
2920 4 bulan 10,97 0,98 -0,15 3 hari
2 Sabang - Padang 4380 6 bulan 12,16 0,86 -0,29 8 hari
2920 4 bulan 10,71 0,94 -0,18 3 hari
3 Sibolga - Padang 4380 6 bulan 13,50 0,97 -0,05 2 hari
2920 4 bulan 11,80 0,98 -0,03 12 jam
4 Padang - Cilacap 3672 5 bulan 22,07 0,82 0,12 3 hari
5 Padang - Benoa 4380 6 bulan 9,99 0,52 -0,03 20 jam
2920 4 bulan 9,86 0,51 -0,02 11 jam
6 Cilacap - Benoa 3672 5 bulan 29,96 0,96 -0,03 18 jam
Korelasi selanjutnya dilakukan antara stasiun Sibolga dan Padang, grafik
korelasi silang antar kedua stasiun tersebut telah disajikan pada Gambar 23 dan
nilainya tertera pada Tabel 5. Pada Gambar grafik tersebut dapat diketahui bahwa
periode fluktuasi densitas energi yang dominan terjadi pada periode 6 bulan dan 4
bulan yang mengindikasikan adanya variasi musiman (seasonal). Nilai koherensi
yang ditunjukkan pada masing-masing periode fluktuasi sangat tinggi ini berarti
46
bahwa perubahan muka laut yang terjadi di Sibolga dipengaruhi oleh perubahan
muka laut di Padang. Nilai koherensi pada periode 6 bulan sebesar 0,97 dan nilai
koherensi pada periode 4 bulan sebesar 0,98. Nilai beda fase yang diperoleh pada
periode 6 bulan dan 4 bulan diperoleh nilai negatif yang berarti perubahan muka
laut terjadi terlebih dahulu di Padang kemudian diikuti perubahan muka laut di
Sibolga dengan kelambatan waktu sebesar 2 hari untuk periode 6 bulan dan 12
jam untuk periode 4 bulan.
Periode fluktuasi terjadi pada periode 5 bulan dari korelasi silang densitas
energi antara Stasiun Padang dan Cilacap yang mengindikasikan adanya variasi
musiman, periode fluktuasi tersebut memiliki nilai densitas energi 22,07 m/siklus
per jam. Nilai koherensi diantara kedua stasiun tersebut juga tinggi yaitu sebesar
0,82 ini menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan muka laut di Padang
berhubungan erat dengan perubahan muka laut di Cilacap. Beda fase (sela fase)
yang diperoleh pada periode 5 bulan bernilai positif ini berarti bahwa fluktuasi
muka laut di Padang terjadi lebih dahulu kemudian diikuti fluktuasi muka laut di
Cilacap setelah 3 hari.
47
Seperti yang terlihat pada Gambar 25 maka dapat diketahui bahwa hubungan
antara perubahan muka laut yang terjadi di Padang sudah tidak berhubungan lagi
dengan perubahan muka laut yang terjadi Benoa dikarenakan nilai koherensi yang
didapatkan rendah yaitu berturut-turut 0,52 dan 0,51 untuk masing-masing
periode 6 bulan dan 4 bulan. Nilai spektrum densitas energi silang muka laut
antara stasiun Padang dan stasiun Benoa juga rendah bila dibandingkan dengan
hasil korelasi silang antar stasiun-stasiun lainnya (dapat dilihat pada Tabel 5).
Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun yang terakhir dilakukan
antara stasiun Cilacap dan stasiun Benoa, periode fluktuasi dominan yang terekam
yaitu terjadi pada periode 5 bulan yang memilki nilai densitas energi sebesar
29,96 m/siklus per jam. Hubungan yang terjadi pada perubahan muka laut di
Cilacap dengan perubahan muka laut di Benoa sangat erat, ini didasari dari nilai
koherensi yang diperoleh hampir mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,96. Dari nilai
beda fase yang ada menunjukkan bahwa perubahan muka laut musiman
(seasonal) berfluktuasi terlebih dahulu di stasiun Benoa kemudian diikuti stasiun
Cilacap setelah 18 jam.
Dari penjabaran-penjabaran diatas maka dapat dinyatakan bahwa sinyal
musiman yang diperoleh dari korelasi silang muka laut antar stasiun secara
konsisten terdapat di semua stasiun yang dikaji dengan periode berkisar antara 4-6
bulanan.
50
Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a
f
a
s
e
(
t
a
n
-
1
)
Spektrumdensitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Sibolga
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Padang
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m
D
e
n
s
i
t
a
s
E
n
e
r
g
i
[
(
m
)
/
s
i
k
l
u
s
p
e
r
j
a
m
]
a)
b)
c)
Gambar 23. Spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sibolga dan Padang
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %
51
erat. Sela fase muka laut berfluktuasi terlebih dahulu di stasiun Padang kemudian
diikuti oleh muka laut di stasiun Sabang setelah 1 hari untuk periode 3 bulan; 13
jam untuk periode 2,4 bulan; 3 hari untuk periode 1,7 bulan dan 1, 5 bulan. Ini
diduga berkaitan dengan perambatan gelombang Kelvin, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Selanjutnya pada Gambar 23 juga terdapat sinyal intraseasonal dari
spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sibolga dan stasiun Padang,
yang terjadi pada periode 3 bulan dan 1,5 bulan. Hubungan variasi intraseasonal
diantara kedua stasiun tersebut sangat erat dapat dilihat pada Gambar 23 dan
Tabel 5. Berdasarkan nilai beda fase (sela fase) yang bernilai negatif maka
fluktuasi muka laut terjadi terlebih dahulu di stasiun Padang kemudian diikuti
fluktuasi muka laut di stasiun Sibolga setelah 6 jam untuk periode 1,5 bulan.
Periode fluktuasi yang terjadi pada periode 3,4 bulan dari korelasi antara
stasiun Padang dan Cilacap menunjukkan adanya variasi intra musiman
(intraseasonal), antara kedua stasiun ini memiliki hubungan yang sangat erat
dikarenakan nilai koherensinya tinggi yaitu sebesar 0,89. Perubahan muka laut
terlebih dahulu terjadi di stasiun Padang kemudian disusul dengan perubahan
muka laut di Cilacap dengan kelambatan waktu selama 4 hari.
Seperti yang terlihat pada Gambar 25 maka dapat diketahui bahwa
hubungan antara perubahan muka laut yang terjadi di Padang sudah tidak
berhubungan lagi dengan perubahan muka laut yang terjadi Benoa dikarenakan
nilai koherensi yang didapatkan kecil yaitu 0,56 untuk periode 3 bulan Nilai
densitas energi muka lautnya juga rendah bila dibandingkan dengan hasil korelasi
silang antar staiun-stasiun lainnya (dapat dilihat pada Tabel 5). Variasi intra
53
Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a
f
a
s
e
(
t
a
n
-
1
)
Spektrum densitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Padang
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Cilacap
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-5
0
5
10
15
20
25
30
S
p
e
k
t
r
u
m
D
e
n
s
i
t
a
s
E
n
e
r
g
i
[
(
m
)
/
s
i
k
l
u
s
p
e
r
j
a
m
]
a)
b)
c)
Gambar 24. Spektrumkorelasi silang muka laut antara stasiun Padang dan Cilacap
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %
56
Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a
f
a
s
e
(
t
a
n
-
1
)
Spektrumdensitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Padang
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Benoa
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m
D
e
n
s
i
t
a
s
E
n
e
r
g
i
[
(
m
)
/
s
i
k
l
u
s
p
e
r
j
a
m
]
a)
b)
c)
Gambar 25. Spektrumkorelasi silang muka laut antara stasiun Padang dan Benoa
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %
57
Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a
f
a
s
e
(
t
a
n
-
1
)
Spektrum densitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Cilacap
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Benoa
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-10
0
10
20
30
40
50
S
p
e
k
t
r
u
m
D
e
n
s
i
t
a
s
E
n
e
r
g
i
[
(
m
)
/
s
i
k
l
u
s
p
e
r
j
a
m
]
a)
b)
c)
Gambar 26. Spektrumkorelasi silang muka laut antara stasiun Cilacap dan Benoa
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %
58
58
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Variasi muka laut di setiap stasiun pasang surut yang dikaji dalam
penelitian ini yang dianalisa dengan menggunakan metode wavelet secara umum
memperlihatkan adanya periode tengah tahunan (semi annual), dimana tinggi
muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali minimum dalam setahun.
Tinggi maksimum terjadi pada periode April hingga Mei (musim peralihan 1) dan
November (musim peralihan 2) hal ini diduga berkaitan dengan perambatan
gelombang Kelvin. Dalam penelitian ini perambatan muka laut yang berbentuk
gelombang merambat ke dua arah, di selatan khatulistiwa gelombang merambat
dari barat ke timur melalui Padang-Cilacap-Benoa dan di utara khatulistiwa
gelombang merambat dari selatan ke utara melalui Padang-Sibolga-Sabang.
Dari hasil spektrum densitas energi muka laut di tiap stasiun menunjukkan
berbagai variasi, seperti variasi musiman (seasonal), variasi intra musiman
(Intraseasonal) dan dua mingguan. Variasi musiman ditemukan di semua stasiun
dengan periode fluktuasi berkisar antara 4-6 bulan hal ini diperkirakan karena ada
pengaruh saat terjadinya pergantian musim dari Musim Barat ke Musim Timur
atau sebaliknya. Variasi intraseasonal ditemukan hampir di semua stasiun,
kecuali stasiun Benoa. Periode fluktuasi variasi antar musiman berturut-turut di
Sabang terjadi pada periode 3 bulan; 2,4 bulan dan 1,7 bulan, di Sibolga pada
periode 3 bulan ; 2,4 bulan dan 1,5 bulan, di Padang pada periode 3 bulan dan 2,4
bulan dan terakhir di Cilacap pada periode 3,4 bulan. Variasi intraseasonal ini
59
diduga mengikuti perambatan dari sinyal gelombang Kelvin, hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Iskandar et al.( 2004) yang
mengemukakan bahwa terdapat variasi intraseasonal muka laut dengan periode
20-40 hari dan 60-90 hari di sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa, dimana
dalam penelitian tersebut menggunakan data insitu. Hal ini juga sesuai dengan
hasil teoritis yang ditemukan Gill (1982) dan hasil pengamatan mengenai
gelombang internal Kelvin (Wyrtki,1971) in Iskandar et al. (2004), yang
mengemukakan bahwa diduga variasi intraseasonal ini berhubungan dengan
perambatan gelombang Kelvin. Untuk stasiun Sabang, Sibolga dan Padang juga
ditemukan periode fluktuasi densitas energi muka laut dengan periode 13,5 hari,
ini mempresentasikan bahwa adanya sinyal dua mingguan.
Spektrum silang juga menunjukkan bahwa perubahan muka laut diantara
stasiun saling mempengaruhi, ini dapat dilihat dari nilai koherensi yang relatif
tinggi. Kecuali spektrum silang muka laut antara Padang dan Benoa yang
menunjukkan bahwa sudah tidak berhubungan lagi mengenai perubahan muka
laut yang terjadi. Koherensi yang tertinggi terjadi pada spektrum silang muka laut
antara Sibolga dan Padang, ini menunjukkan bahwa hubungan yang sangat erat
mengenai perubahan muka yang terjadi di Sibolga dan Padang. Adanya
kesamaan pola variasi muka laut di Padang dan Sibolga atau dengan kata lain
terjadinya perubahan muka laut di Padang juga akan ditemui di Sibolga, hal ini
diperkirakan dikarenakan Stasiun Padang dan Sibolga berseberangan pada garis
khatulistiwa.
60
5.2. Saran
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai variasi muka laut di Sabang, Sibolga,
Padang, Sibolga dan Benoa maka dibutuhkan data dengan periode yang lebih
panjang sehingga dapat diketahui mengenai variasi tahunan (annual) maupun
variasi antar tahunan (inter annual) yang terjadi di setiap stasiun. Juga perlu
dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai variasi muka laut
menggunakan metode wavelet agar dapat mengetahui lebih dalam mengenai arti
dari komponen detil (d1, d2, d3 dan d4 ) dan komponen aproksimasi (a1, a2, a3,
a4 dan a5) yang dihasilkan dari metode tersebut.
61
DAFTAR PUSTAKA
Bendat, J.S. and A.G. Piersol. 1971. Random Data Analysis and Measurement
Procedures. John Wiley abd Sons Inc. New York.
Boon, J.D., 2007. World Tides User Manual. www.worldtidesandcurrents.com.
(12 Mei 2008)
Clarke, A. J., and X. Liu (1993), Observations and dynamics of semiannual and
annual sea levels near the eastern equatorial Indian Ocean boundary,
J.Phys.Geophys ., 23, 386-399.
Cresswell, G., and M. Fieux, 1981. The Wyrtki equatorial jet, May/June 1980.
Tropical Ocean-Atmosphere News1. Jan 1981 : 3.
Edwards, T., 1991, Discrete Wavelet Transforms: Theory and Implementation,
Stanford University, USA.
Gill, A. E. (1982), Atmosphere-Ocean Dynamics, Int. Geophys. Ser., vol. 30,
62 pp., Elvisier, New York.
Gonzales, R. C. and Woods. R. 1993. Digital Image Processing.
USA: Addison-Wesley Publishing Company.
Habibie, N.S. 2007. Deteksi Kelainan Jantung Berdasarkan Suara Jantung
Menggunakan Paket Wavelet dan Jaring Syaraf Tiruan LVQ (Learning
Vector Quantization). Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Teknik
Elektro. Sekolah Tinggi Teknologi Telkom. Bandung.
Iskandar, I., W. Mardiansyah, Y.Masumoto, and T. Yamagata. 2005.
Intraseasonal Kelvin Waves Along the Southern Coast of Sumatra and Java.
J. Geophys. Res.,110,C04013,d0i:10.1029/2004JC002508.
Manurung, P., J. Ananto, Sudomo, R.Sorrongan, Supriyadi dan S. Barlianto
(2003). Pemantauan Perubahan Permukaan Air Laut Berdasarkan
Pengamatan Pasang Surut. Prosiding Seminar Oseanografi Untuk
Pembangunan Sumberdaya laut Berkelanjutan.
[NRC] National Research Council. 1990. Sea Level Change. National Academy
Press. Washington D.C
Pariwono, J.I. 1993. Keragaman Muka Laut Sepanjang Tepi-Luar Pantai
Kepulauan Sunda Besar. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Polikar, R. 1996. The Wavelet Tutorial. Rowan University College of
Engineering, www.rowan.edu.
62
Pond, S and G.L Pickard, 1983.Introductory to Dynamical Oceanography.
Pergamon Press, Oxford.
Potemra, J.T., S.L. Hautala, J.Sprintall, and W. Pandoe. 2002. Interaction between
the Indonesian seas and Indian Ocean in observations and numerical models.
J.Geophys. Oceanogr., 32.1838-1854.
Pugh, D.T., 1987. Tides, surges and mean sea level. John Wiley and Sons,
Chichester : 472 pp.
Quadfasel, D.R., 1982. Low Frequency Variability of the 20 C Isotherm
Topography in the Western Equatorial Indian Ocean. J. Geophys. Res.,87,
No. C3, 1990-1996.
Sakti, E.P. 2004. Variabilitas Angin dan Paras Laut Serta Interaksinya di Perairan
Utara dan Selatan Pulau Jawa. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sprintall, J., A. L. Gordon, R. Murtugudde, and R. W. Susanto. 2000. A
Semiannual Indian Ocean Forced Kelvin Wave Observed in the Indonesian
Seas in May 1997. J. Geophys. Res. 105 (C7) : 17,217-17,230.
Tjakrawiralaksana, S. N. 2003. Pengaruh Muson Terhadap Perubahan Paras Laut
di Perairan Barat Sumatera. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
The Math Works Inc. 2000. MATLAB Image Processing Toolbox User
Guide.
The Math Works Inc. 2000. MATLAB Wavelet Toolbox User Guide.
UHSLC, 2007. www.ilikai.soest.hawai.edu. (14 April 2008).
Wang C. T. and Nicolas B. K., August 1998. Detection of
Microcalcifications in Digital Mammograms Using Wavelets. IEEE
Transaction Medical Imaging , vol. 17, no. 4, pp. 498-509.
63
Wilopo, M.D. 2005. Karakter Fisik Oseanografi di Perairan Barat Sumatera dan
Selatan Jawa-Sumbawa dari Data Satelit Multi Sensor. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wyrtki, K., 1973. An equtorial jet in the Indian Ocean, Science, 181:262-264.
LAMPIRAN
65
(a) (b)
(c) (d)
(e)
66
Lampiran 1: (a) Stasiun pengamatan pasang surut, (b) Solar panel dan antena
komunikasi , (c) Sensor pelampung, (d) Data logger, (e) Sensor radar
(Bakosurtanal, 2008)
Lampiran 2. Data tinggi muka laut stasiun Sabang
Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi Muka Laut (mm)
2007 1 1 1 1191
2007 1 1 2 1317
2007 1 1 3 1295
2007 1 1 4 1189
2007 1 1 5 1014
2007 1 1 6 805
2007 1 1 7 646
2007 1 1 8 565
2007 1 1 9 594
2007 1 1 10 736
2007 1 1 11 955
2007 1 1 12 1189
2007 1 1 13 1435
2007 1 1 14 1613
2007 1 1 15 1655
2007 1 1 16 1516
2007 1 1 17 1317
2007 1 1 18 986
2007 1 1 19 690
2007 1 1 20 476
2007 1 1 21 370
2007 1 1 22 400
2007 1 1 23 551
2007 1 1 24 773
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1491
2007 12 31 22 1397
2007 12 31 23 1293
2007 12 31 24 1145
Keterangan :
dst : dan seterusnya
67
Lampiran 3. Data tinggi muka laut stasiun Sibolga
Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi muka laut (mm)
2007 1 1 1 1739
2007 1 1 2 1617
2007 1 1 3 1552
2007 1 1 4 1485
2007 1 1 5 1564
2007 1 1 6 1741
2007 1 1 7 1855
2007 1 1 8 2037
2007 1 1 9 2196
2007 1 1 10 2323
2007 1 1 11 2355
2007 1 1 12 2305
2007 1 1 13 2200
2007 1 1 14 2006
2007 1 1 15 1836
2007 1 1 16 1690
2007 1 1 17 1571
2007 1 1 18 1525
2007 1 1 19 1609
2007 1 1 20 1657
2007 1 1 21 1763
2007 1 1 22 1848
2007 1 1 23 1967
2007 1 1 24 1957
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1897
2007 12 31 22 1807
2007 12 31 23 1759
2007 12 31 24 1737
Keterangan :
dst : dan seterusnya
68
Lampiran 4. Data tinggi muka laut stasiun Padang
Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi Muka Laut (mm)
2007 1 1 1 1718
2007 1 1 2 1577
2007 1 1 3 1496
2007 1 1 4 1510
2007 1 1 5 1516
2007 1 1 6 1673
2007 1 1 7 1902
2007 1 1 8 2118
2007 1 1 9 2272
2007 1 1 10 2451
2007 1 1 11 2472
2007 1 1 12 2421
2007 1 1 13 2220
2007 1 1 14 2031
2007 1 1 15 1771
2007 1 1 16 1589
2007 1 1 17 1471
2007 1 1 18 1442
2007 1 1 19 1466
2007 1 1 20 1535
2007 1 1 21 1695
2007 1 1 22 1831
2007 1 1 23 1885
2007 1 1 24 1936
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1992
2007 12 31 22 1822
2007 12 31 23 1708
2007 12 31 24 1668
Keterangan :
dst : dan seterusnya
69
Lampiran 5. Data tinggi muka laut stasiun Cilacap
Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi Muka Laut (mm)
2007 3 1 1 1510
2007 3 1 2 1560
2007 3 1 3 1520
2007 3 1 4 1429
2007 3 1 5 1341
2007 3 1 6 1247
2007 3 1 7 1219
2007 3 1 8 1235
2007 3 1 9 1373
2007 3 1 10 1536
2007 3 1 11 1721
2007 3 1 12 1852
2007 3 1 13 1916
2007 3 1 14 1914
2007 3 1 15 1796
2007 3 1 16 1545
2007 3 1 17 1318
2007 3 1 18 1036
2007 3 1 19 862
2007 3 1 20 783
2007 3 1 21 814
2007 3 1 22 935
2007 3 1 23 1193
2007 3 1 24 1440
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1767
2007 12 31 22 1678
2007 12 31 23 1460
2007 12 31 24 1325
Keterangan :
dst : dan seterusnya
70
Lampiran 6. Data tinggi muka laut stasiun Benoa
Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi muka laut (mm)
2007 1 1 1 1050
2007 1 1 2 1095
2007 1 1 3 1032
2007 1 1 4 901
2007 1 1 5 730
2007 1 1 6 675
2007 1 1 7 690
2007 1 1 8 833
2007 1 1 9 1059
2007 1 1 10 1358
2007 1 1 11 1659
2007 1 1 12 1919
2007 1 1 13 2031
2007 1 1 14 1979
2007 1 1 15 1748
2007 1 1 16 1417
2007 1 1 17 992
2007 1 1 18 537
2007 1 1 19 179
2007 1 1 20 32
2007 1 1 21 69
2007 1 1 22 226
2007 1 1 23 463
2007 1 1 24 744
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1520
2007 12 31 22 1376
2007 12 31 23 1173
2007 12 31 24 951
Keterangan :
dst : dan seterusnya
71
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pagar Alam, 1 Oktober 1986
sebagai anak ketiga dari empat putra bersaudara dari
pasangan Bapak Um Kusuma, BA dan Ibu Megawati.
Pada tahun 2001-2004 penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Menengah Umum Negeri 1 (SMUN 1)
Pagar Alam (Sumatera Selatan).
Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB).
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten beberapa
mata kuliah, seperti Asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan 2007/2008,
Oseanografi Umum 2007/2008 dan Oseanografi Fisika 2007/2008 serta menjadi
Asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan 2008/2009 untuk program
mahasiswa Diploma Teknik dan Manajemen Lingkungan.
Selain itu penulis juga aktif terlibat dalam berbagai kepengurusan
organisasi seperti HIMPRO HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan) sebagai staff Departemen Pengembangan Sumberdaya
Manusia periode 2005/2006, Ketua Departemen Pengembangan Sumberdaya
Manusia periode 2007 dan di OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMUSI
(Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya) sebagai Ketua Divisi Eksternal periode
2006/2007 serta aktif dalam berbagai kepanitiaan.
Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul
Analisis Variasi Muka Laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan
Benoa Menggunakan Metode Wavelet.