You are on page 1of 84

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG,

SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA


MENGGUNAKAN METODE WAVELET









Oleh :

Imam Pamuji
C64104019

























PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009


ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI



Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG,
SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA
MENGGUNAKAN METODE WAVELET

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.














Bogor, November 2008





Imam Pamuji
C64104019













iii

RINGKASAN
IMAM PAMUJI. Analisis Variasi Muka Laut di Perairan Sabang, Sibolga,
Padang, Cilacap dan Benoa Menggunakan Metode Wavelet. Dibimbing oleh
JOHN ISKANDAR PARIWONO dan PARLUHUTAN MANURUNG.
Adanya data muka laut dari hasil pengukuran stasiun pasang-surut yang
terdapat di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa merupakan suatu modal
yang sangat mendukung untuk mengetahui mengenai perubahan kondisi laut di
daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisis dan pengkajian dari data yang telah
ada tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola variasi muka laut di
stasiun yang dikaji untuk mengetahui pola rambatannya dan menganalisis periode
fluktuasi muka laut pada tiap stasiun melalui spektrum densitas energi untuk
mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi serta menunjukkan hubungan
fluktuasi muka laut antar stasiun melalui spektrum korelasi silang.
Pola variasi muka laut yang terjadi di tiap stasiun ditampilkan dalam
bentuk grafik dengan menggunakan metode wavelet dimensi pada perangkat
lunak matlab 7.1. Untuk menganalisis variasi muka laut berdasarkan periode
dilakukan analisis spektrum densitas energi, sedangkan untuk mengetahui
hubungan antara muka laut antar stasiun ditunjukkan dengan analisis spektrum
korelasi silang. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak statistica 6.
Secara umum tinggi muka laut di stasiun yang dikaji memperlihatkan
adanya periode tengah tahunan (semi annual), tinggi muka laut mengalami dua
kali maksimum dan dua kali minimum dalam setahun. Terjadinya tinggi
maksimum pada periode bulan April hingga bulan Mei (musim peralihan 1) dan
pada bulan November ( musim peralihan 2) di stasiun yang dikaji diperkirakan
disebabkan oleh adanya gelombang Kelvin yang terbentuk di Samudera Hindia.
Periode fluktuasi spektrum densitas energi muka laut yang ditemukan di tiap
stasiun mengindikasikan adanya beberapa fenomena seperti fenomena musiman
(seasonal), intra musiman (intraseasonal) dan dua mingguan (fortnightly).
Hubungan yang erat fluktuasi muka laut terdapat pada korelasi silang
antara stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Sibolga dan Padang,
Padang dan Cilacap, Cilacap dan Benoa yang mengindikasikan bahwa adanya
saling keterkaitan mengenai perubahan muka laut yang terjadi. Hubungan
fluktuasi muka laut antara di Padang dan Sibolga sangat erat pada periode 4-6
bulan yang ditunjukkan dengan nilai koherensi sebesar 0,98 untuk periode 4 bulan
dan 0,97 untuk periode 6 bulan. Nilai beda fase bernilai negatif yang berarti
bahwa fluktuasi muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang kemudian diikuti
fluktuasi muka laut di Sibolga setelah 12 jam untuk periode 4 bulan dan 2 hari
untuk periode 6 bulan. Secara fisik ini berarti bahwa perubahan muka laut berupa
perambatan gelombang bermula dari Padang menuju ke Sibolga.







iv


ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG,
SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA
MENGGUNAKAN METODE WAVELET







SKRIPSI


Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor







Oleh :

Imam Pamuji
C64104019















PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009


v





















Hak cipta milik Imam Pamuji, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya























vi

Judul Skripsi : ANALISIS VARIASI MUKA LAUT


DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG,
CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN
METODE WAVELET
Nama Mahasiswa : Imam Pamuji
NRP : C64104019



Disetujui,


Pembimbing I Pembimbing II




Dr.Ir. John Iskandar Pariwono Dr. Parluhutan Manurung
NIP 130 536 686 NIP 370 000 662



Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan





Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP. 131 578 799




Tanggal Lulus : 10 Januari 2009
vii

KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, Puji dan syukur penulis haturkan atas nikmat dan karunia
Allah SWT , karena atas hidayah-Nya skripsi mengenai Analisis Variasi Muka
Laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa Menggunakan
Metode Wavelet dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca
untuk perbaikan di masa mendatang.
Terakhir penulis mengucapakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr Ir. John Iskandar Pariwono yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam proyek
penelitian ini yang bekerja sama dengan BAKOSURTANAL.
2. Bapak Dr Parluhutan Manurung sebagai pembimbing II yang telah
banyak memberikan saran dan arahan dalam skripsi ini.
3. Bapak Yadi Aryadi S.Si yang telah membantu pengolahan data dan
mengajarkan teknis wavelet beserta seluruh staf Pusat Geodesi dan
Geodinamika BAKOSURTANAL atas kemudahan dan kerja samanya
selama pengerjaan skripsi ini.
4. Bapak Dr.Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Si selaku Dosen penguji tamu
dan Bapak Dr.Ir. James P. Panjaitan, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1
ITK.
5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa, dorongan,
inspirasi dan motivasi.
6. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan ITK 41 atas rasa kekeluargaan yang
telah terjalin selama ini.

Bogor, November 2008


Penulis
viii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
I.I. Latar belakang .................................................................................. 1
I.2. Tujuan .............................................................................................. 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Paras laut ......................................................................................... 3
2.2. Gelombang Kelvin .......................................................................... 6
2.3. Wavelet ............................................................................................ 9
2.3.1. Pengenalan wavelet .............................................................. 9
2.3.2. Analisa wavelet ................................................................... 10
2.3.3. Transformasi wavelet .......................................................... 12
2.3.3.1. Transformasi wavelet diskret ................................ 14
2.3.3.2. Dekomposisi wavelet ........................................... 15
2.3.3.3. Dekomposisi paket wavelet .................................. 17

3. BAHAN DAN METODE ..................................................................... 18
3.1. Lokasi dan waktu penelitian ........................................................ 18
3.2. Penentuan data penelitian .............................................................. 19
3.2.1. Mekanisme Tide gauge ........................................................ 19
3.2.1. Data pasang surut ................................................................. 20
3.3. Metode analisis data ...................................................................... 21
3.3.1.Analis deret waktu................................................................. 22
3.3.2.Analisa Spektrum .................................................................. 23
3.3.2.1.Spektrum densitas energi .......................................... 23
3.3.2.2.Spektrum korelasi silang ........................................... 24
3.3.3.Diagram alir penelitian .......................................................... 28

4.HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 29
4.1.Variasi muka laut ........................................................................... 29
4.1.1. Variasi muka laut di Sabang ................................................ 30
4.1.2. Variasi muka laut di Sibolga ................................................ 32
4.1.3. Variasi muka laut di Padang ................................................ 33
4.1.4. Variasi muka laut di Cilacap ................................................ 34
4.1.5. Variasi muka laut di Benoa .................................................. 36
4.2.Spektrum densitas energi muka laut .............................................. 37
4.2.1. Fenomena musiman (seasonal) ............................................ 40
4.2.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal) ............................ 41
4.2.3. Fenomena dua mingguan (fortnightly) ................................. 43
4.3.Spektrum korelasi silang muka laut ............................................... 43
ix

4.3.1 Fenomena musiman (seasonal) ............................................ 44


4.3.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal) ............................ 51
4.3.3. Fenomena dua mingguan (fortnightly) ................................. 54


5.KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 58
5.1.Kesimpulan .................................................................................... 58
5.2.Saran ............................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 61

LAMPIRAN .............................................................................................. 64

RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 71


































x

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Proses penyebab terjadinya perubahan paras
laut beserta periode dan amplitudonya .................................................... 5

2. Periode perekaman data pasang surut di stasiun-stasiun
pasang surut yang dikaji ......................................................................... 21

3. Komponen analisis spektrum korelasi silang ......................................... 25

4. Periode dan spektrum densitas energi muka laut di stasiun
Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa ........................................ 40

5. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode musiman .................................................... 45

6. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode intra musiman ............................................ 51

7. Spektrum korelasi silang muka laut
antar stasiun dalam periode fortnightly .................................................. 54
























xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Bentuk gelombang ................................................................................ 10

2. Translasi pada Wavelet ....................................................................... 10

3. Perubahan skala pada Wavelet .............................................................. 11

4. Korespondensi antara skala pada
waktu dengan frekuensi pada Wavelet .................................................. 11

5. Beberapa tipe dari fungsi Wavelet (x) ............................................... 12

6. Proses dekomposisi Wavelet ................................................................. 16

7. Proses multilevel dekomposisi Wavelet................................................ 16

8. Proses multilevel dekomposisi Paket Wavelet ...................................... 17

9. Peta sebaran stasiun pasang surut di Indonesia .................................... 18

10. Diagram alir penelitian ......................................................................... 28

11. Variasi muka laut di Stasiun Sabang dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 30

12. Variasi muka laut di Stasiun Sibolga dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 32

13. Variasi muka laut di Stasiun Padang dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 34

14. Variasi muka laut di Stasiun Cilacap dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 35

15. Variasi muka laut di Stasiun Benoa dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D .......................... 37
16. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sabang periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 38

17. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sibolga periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 38

18. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Padang periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 39
xii


19. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Cilacap periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 39

20. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Benoa periode
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 ......................... 39

21. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sabang dan Sibolga ....................................................... 47

22. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sabang dan Padang ....................................................... 48

23. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Sibolga dan Padang ....................................................... 50

24. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Padang dan Cilacap ....................................................... 55

25. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Padang dan Benoa ......................................................... 56

26. Spektrum korelasi silang muka laut
antara stasiun Cilacap dan Benoa ......................................................... 57
























xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat pasang surut .................................................................................... 65

2. Data tinggi muka laut stasiun Sabang .................................................... 66

3. Data tinggi muka laut stasiun Sibolga .................................................... 67

4. Data tinggi muka laut stasiun Padang .................................................... 68

5. Data tinggi muka laut stasiun Cilacap .................................................... 69

6. Data tinggi muka laut stasiun Benoa ...................................................... 70






























1


1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Informasi mengenai perubahan muka laut dewasa ini semakin dibutuhkan dan
meningkat secara mencolok untuk berbagai kepentingan baik terkait dengan
navigasi maupun sampai adanya pendugaan peristiwa perubahan muka laut yang
diakibatkan oleh adanya fluktuasi iklim global.
Indonesia telah memiliki jaringan pengamatan pasang-surut laut nasional
yang terdiri atas 90 stasiun (yang seluruhnya dioperasikan oleh Bakosurtanal
secara terintegrasi) merupakan suatu aset yang dapat memberikan kontribusi
penting untuk pemantauan kedudukan permukaan laut dan untuk mengetahui
variasi muka lautnya. (Manurung et al., 2003)
Adanya data muka laut dari hasil pengukuran stasiun pasang-surut yang
terdapat di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa merupakan suatu modal
yang sangat mendukung untuk mengetahui mengenai perubahan kondisi laut di
daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisis dan pengkajian dari data yang telah
ada tersebut.
Pengkajian mengenai perubahan muka laut di sepanjang pantai barat
Sumatera dan selatan pulau Jawa serta selatan pulau Bali mempunyai arti penting
dalam hal untuk menganalisis variasi muka laut yang terjadi di daerah
khatulistiwa Lautan Hindia bagian tengah (Pariwono, 1993). Hal ini merupakan
akibat perubahan dinamika atmosfer atau lautan yang merambat dari daerah
khatulistiwa Lautan Hindia bagian tengah menuju pantai barat Sumatera, sinyal
ini akan terekam pada perubahan muka laut yang terjadi di pantainya. Jika sinyal
2


tersebut cukup kuat maka akan merambat hingga ke arah pantai selatan Jawa
bahkan jika lebih kuat lagi dapat mencapai ke arah pantai selatan Bali. Sinyal ini
diduga merupakan perambatan dari sinyal gelombang panjang.
Sinyal gelombang panjang ini dianalisis dengan menggunakan metode
wavelet. Pengkajian di bidang oseanografi menggunakan metode wavelet masih
jarang dilakukan, sehingga dalam penelitian ini digunakan metode wavelet untuk
menunjukkan variasi muka laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut yang
dikaji.
Penelitian yang terkait pernah dilakukan oleh Pariwono (1993) mengenai
Keragaman Muka Laut Sepanjang Tepi Luar Pantai Kepulauan Sunda Besar.
Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran
mengenai variasi muka laut di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa.

1.2. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pola variasi muka laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang,
Cilacap dan Benoa untuk mengetahui pola rambatannya.
2. Menganalisis periode fluktuasi muka laut pada tiap stasiun melalui
spektrum densitas energi untuk mengetahui fenomena-fenomena yang
terjadi.
3. Menunjukkan hubungan fluktuasi muka laut antar stasiun melalui
spektrum korelasi silang.
3



2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Paras laut
Sepanjang sejarah bumi paras laut rata-rata tidak pernah berada dalam
keadaan konstan. Pada masa sekarang keadaan paras laut 100 meter lebih tinggi
dari pada masa terakhir zaman es 18.000 tahun yang lalu (National Research
Council,1990).
Perubahan tinggi paras laut merupakan hasil dari beberapa proses yang
saling mempengaruhi. Perubahan terjadi dalam skala waktu dan ruang, dari yang
bersifat lokal sampai global, dan dari kurun waktu beberapa detik sampai
beberapa ribu tahun (National Research Council,1990). Hasil pengukuran tinggi
permukaan laut di dalam suatu periode merupakan interaksi tiga komponen yang
terkait di dalamnya yang diformulasikan secara umum (Pugh, 1987) seperti di
bawah ini:
X (t) = Zo (t) + T (t) + S (t) .................................................................... (1)
dimana :
X (t) : Muka laut yang terukur.
Zo (t) : Muka laut rata-rata atau disebut Mean Sea Level (MSL), yaitu kedudukan
rata-rata muka laut yang umumnya didasarkan dari hasil pengukuran
berinterval 1 jam dalam suatu periode sekurang-kurangnya 1 tahun.
T (t) : Pasut, yaitu gerak periodik muka laut dimana amplitudo dan fasenya
berhubungan langsung terhadap gaya geofisika yang periodik, yakni gaya
yang ditimbulkan oleh adanya sistem gerak reguler bulan- bumi dan bumi-
4

matahari. Sistem gerak muka laut yang demikian disebut sebagai


gravitational tides. Komponen pasut yang timbul oleh faktor astronomi
bersifat periodik, sedangkan gangguan faktor meteorologi bersifat
musiman. Apabila tanpa memperhatikan faktor meteorologi, maka elevasi
pasut merupakan penjumlahan dari komponen yang membentuknya dan
dapat dinyatakan dalam fungsi sinus seperti di bawah ini :
(t) = S
O +
ss
O +

=

N
1 i
) P t cos( A i i i ............................................ (2)
dimana : (t) = Elevasi pasut fungsi dari waktu
i A = Amplitudo komponen ke-i
i = 2 / T
i ,
T
i
= periode komponen ke-i
P
i
= Fase komponen ke-i
` S
O
= Mean Sea Level (MSL)
ss
O
= Perubahan MSL yang disebabkan oleh efek monsun atau
angin, jadi oleh faktor meteorologi
t = Waktu
N = Jumlah komponen
S (t) : Residu meteorologi, yaitu komponen non pasut yang akan terlihat setelah
dilakukan pengambilan komponen pasutnya dari suatu analisa. Komponen
tersebut terlihat tak teratur, yang merupakan cerminan variasi musim.
Komponen residu meteorologi ini juga sering disebut residu gelombang,
walaupun istilah gelombang sering digunakan untuk menyebut kejadian
khusus terhadap komponen non pasut yang lebih besar. Komponen yang
termasuk dalam residu ini adalah antara lain :
5

1. Angin, arus laut dan perubahan tekanan atmosfer. Variasi tekanan


atmosfer akan menghasilkan variasi yang berkebalikan pada tinggi paras
laut. Penurunan tekanan atmosfer sebesar 1 mb akan menghasilkan
perbedaan tekanan atmosfer sebesar 1 centimeter (National Research
Council,1990). Gaya gesekan angin bisa memiliki pengaruh yang penting
terhadap perubahan tinggi paras laut. Amplitudo perubahan tinggi paras
laut di pantai sebagai respon dari gaya gesekan angin ini memiliki periode
beberapa hari, bersifat lokal dan bukan merupakan penyebab utama dari
perubahan tinggi paras laut frekuensi rendah .
2. Perubahan jumlah massa air lautan disebabkan karena pencairan es di
kutub atau penambahan massa air laut dari pelepasan sumber air daratan.
Naiknya suhu udara yang disebabkan karena bertambahnya konsentrasi
CO
2
dan gas-gas rumah kaca lainnya bisa menyebabkan semakin
banyaknya jumlah es di kutub yang mencair. Es yang mencair ini
selanjutnya akan mengalir ke lautan dan akan menyebabkan penambahan
tinggi paras laut .
3. Perubahan volume air lautan tanpa mengubah jumlah massa air laut yang
merupakan respon dari perubahan suhu dan salinitas. Perubahan tinggi
paras laut yang disebabkan karena perubahan suhu dan salinitas massa air
akan memiliki periode beberapa hari, bulan atau bahkan beberapa tahun
dengan magnitudo yang bisa mencapai 5 sampai 15 centimeter.
4. Perubahan volume lautan dunia yang disebabkan karena gaya-gaya
tektonik seperti seafloor spreading, plate convergence dan pengangkatan
dasar lautan serta proses sedimentasi dasar laut.
6

Periode dan besaran sinyal paras laut yang dihasilkan oleh proses
penyebab terjadinya perubahan paras laut ditampilkan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Proses penyebab terjadinya perubahan paras laut beserta periode dan
amplitudonya
Faktor penyebab Periode
(tahun)
Besaran
perubahan
(mm)
Perubahan volume air laut karena perubahan
suhu dan salinitas
Perairan dangkal (0 sampai 500 m)
Perairan dalam (500 sampai 40000 m)


10
-1
sampai 10
-2

10
-1
sampai 10
-4



10
0
sampai 10
3
10
0
sampai 10
4
Pencairan massa es
Gunung es
Massa es di Greenland
Massa es di Antartika Timur
Massa es di Antartika Barat

10
-1
sampai 10
-2

10
-2
sampai 10
-5
10
-3
sampai 10
-5

10
-1
sampai 10
-4



10
1
sampai 10
3
10
1
sampai 10
4
10
4
sampai 10
5
10
3
sampai 10
4

Penambahan massa air laut dari sumber air
daratan
Sumber air bawah tanah
Danau dan bendungan


10
2
sampai 10
5

10
2
sampai 10
5




10
2
sampai 10
4
10
0
sampai 10
2

Perubahan bentuk kerak bumi
Lithosphere Formation and Subduction
Glacial Isostatic Rebound
Continental Collision
Sea Floor and Continental Epeirogeny
Sedimentation


10
5
sampai 10
8
10
2
sampai 10
4
10
5
sampai 10
8
10
5
sampai 10
8
10
4
sampai 10

10
3
sampai 10
5
10
2
sampai 10
4
10
4
sampai 10
5
10
4
sampai 10
5
10
3
sampai 10
5

Sumber : National Research Council (1990)



2.2. Gelombang Kelvin
Gelombang Kelvin merupakan bentuk gelombang gravitasi yang
termodifikasi oleh gaya Coriolis sebagai akibat adanya rotasi bumi dan batas
lateral, untuk gelombang gravitasi dengan periode (T) mendekati setengah hari
pendulum (2/f), suku-suku Coriolis (fu, fv) menjadi cukup berarti. Pada
7

gelombang-gelombang laut dengan periode lebih kecil; seperti gelombang angin


dan swell, suku-suku Coriolis dapat diabaikan karena periodenya jauh lebih kecil
daripada 2 /f.
Pada persamaan gerak fluida, suku advektif dapat diabaikan karena
dianggap sangat kecil, sehingga menjadi :
x
g fv
t
u

...................................................................................... (3)
y
g fu
t
v


= +

...................................................................................... (4)
Untuk persamaan kontinuitas dengan kedalaman rata-rata, h, konstan dan << h
menjadi :


y
v
x
u
h
t
................................................................................. (5)
Lord Kelvin menurunkan suatu solusi gelombang dengan cara menerapkan
batas lateral (vertikal) terhadap persamaan (3 dan 4) serta (5), yang kemudian
dikenal sebagai gelombang Kelvin :
h
g
u = , v = 0 dan
( ) t kx cos
c
fy
exp
0


=
, sin 2 f , cg gh c = = = dan h =konstan ........................................... (6)
dimana:
: Elevasi permukaan air
u : komponen kecepatan arah x
v : komponen kecepatan arah y
8

h : kedalaman perairan
g : percepatan gravitasi
Dari persamaan momentum arah -x dan persamaan kontinuitas, dengan
v = 0, diperoleh bahwa kecepatan penjalaran gelombang (c= gh ) tidak
dipengaruhi oleh efek rotasi, melainkan hanya oleh percepatan gravitasi dan
kedalaman perairan, sedangkan persamaan momentum arah y merupakan
persamaan geostrofik (Pond,1983).
Gelombang Kelvin menjalar dengan batas (daratan) berada di kiri dari arah
penjalaran gelombang untuk Belahan Bumi Selatan, atau di sebelah kanan untuk
Belahan Bumi Utara. Amplitudo terbesar berada di batas dan berkurang secara
eksponensial ke arah laut lepas. Gelombang Kelvin juga dapat muncul di
sepanjang ekuator, dimana f berganti tanda, penjalarannya adalah dari barat ke
timur. Tidak ada batasan yang pasti mengenai frekuensi dari Gelombang Kelvin,
hanya saja frekuensinya harus cukup rendah sehingga asumsi gelombang panjang
dapat terpenuhi.
Clarke dan Liu (1993) mengemukakan bahwa gelombang Kelvin menjalar
dari bagian barat Samudera ekuatorial dalam waktu sebulan yang kemudian
menabrak pantai barat Sumatera Indonesia yang terletak di atas ekuator.
Gelombang Kelvin membangkitkan gelombang Rossby yang masuk kembali ke
Samudera Hindia yang berpropagansi ke utara dan selatan sebagai Coastally
Trapped Kelvin Wave, yang berhubungan secara langsung dengan pengamatan
naiknya tinggi muka laut di sepanjang panjang Sumatera dan Jawa.




9

2.3. Wavelet
2.3.1. Pengenalan wavelet
Analisis Transformasi Fourier adalah sebuah perangkat matematik untuk
mentransformasi sudut pandang kita terhadap sinyal dari domain waktu ke domain
frekuensi, tetapi transformasi Fourier mempunyai kekurangan, yaitu apabila kita
melakukan transformasi ke domain frekuensi maka informasi waktu akan hilang.
Maksudnya adalah apabila kita melihat transformasi Fourier dari suatu sinyal
maka adalah tidak mungkin untuk mengetahui kapan event itu terjadi.
Sebagai usaha untuk mengurangi kekurangan pada transformasi Fourier
yang gagal memberikan informasi waktu dan frekuensi secara bersamaan, Gabor
memperkenalkan teknik STFT (Short Time FourierTransform) yang melakukan
pemetaan sebuah sinyal ke dalam fungsi berdimensi dua, yaitu dalam waktu dan
frekuensi. STFT memberikan informasi mengenai kapan dan pada frekuensi
berapa suatu sinyal event terjadi. Tetapi, STFT memiliki keterbatasan bahwa
informasi serentak dalam waktu dan frekuensi dapat dicapai dengan presisi yang
terbatas, dibatasi oleh ukuran jendela (window) yang dipilih. Sekali dipilih
ukuran tertentu dari jendela maka jendela tersebut akan sama untuk frekuensi.
Wavelet adalah gelombang kecil yang mempunyai energi terkonsentrasi
dalam waktu yang dapat dipakai sebagai alat analisis fenomena transien,
nonstasioner, atau time varying. Transformasi wavelet menguraikan sinyal
melalui dilatasi dan tranlasi wavelet (Habibie, 2007).






10

2.3.2. Analisis wavelet


Sebuah gelombang (wave) biasanya didefinisikan sebagai sebuah fungsi
osilasi dari waktu, misalnya sebuah gelombang sinusoidal. Sebuah wavelet
merupakan gelombang singkat (small wave) yang energinya terkonsentrasi pada
suatu selang waktu untuk memberikan kemampuan analisis transien,
ketidakstasioneran, atau fenomena berubah terhadap waktu (time-varying)
(Polikar,1996). Karakteristik dari wavelet antara lain adalah berosilasi singkat,
translasi (pergesaran) dan dilatasi (skala). Berikut ini akan diperlihatkan gambar
dari sebuah sinyal biasa dan sinyal wavelet.




Sumber : The Math Works Inc (2000)

Gambar 1. Bentuk gelombang
(a) Sinyal Sinus (b) Sinyal Wavelet


Secara sederhana, translasi (pergeseran) pada Wavelet bermaksud untuk
menggeser permulaan dari sebuah wavelet. Secara matematis, pergeseran sebuah
fungsi f(t) dengan k direpresentasikan dengan f(t-k) (The Math Works Inc, 2000).






Sumber : The Math Works Inc (2000)

Gambar 2. Translasi pada Wavelet
(a) Wavelet (t) (b) Fungsi Wavelet Yang Digeser (t-k)


11

Skala (dilatasi) dalam sebuah wavelet berarti pelebaran atau penyempitan


wavelet. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:





Sumber : The Math Works Inc (2000)

Gambar 3. Perubahan skala pada Wavelet
(a)Nilai skala kecil (b) Nilai skala besar

Sebuah faktor skala dapat dinyatakan sebagai . Apabila diperkecil
maka wavelet akan menyempit dan terlihat gambaran mendetail namun tidak
menyeluruh, kebalikannya apabila diperbesar maka wavelet akan melebar dan
terlihat gambaran kasar, global namun menyeluruh. Dengan menggunakan
wavelet pada skala resolusi yang berbeda, akan diperoleh gambaran keduanya,
yaitu gambaran mendetail dan menyeluruh. Selain itu, terdapat keterkaitan antara
skala pada wavelet dengan frekuensi yang dianalisa oleh wavelet. Nilai skala
yang kecil berkaitan dengan frekuensi tinggi (high frequency) sedangkan nilai
skala yang besar berkaitan dengan frekuensi rendah. Untuk mempermudah
pemahaman tentang ini, maka dapat dilihat gambar berikut ini.







Sumber: The Math Works Inc (2000)

Gambar 4. Keterkaitan antara skala
pada waktu dengan frekuensi pada Wavelet
12

Tahap pertama analisis wavelet adalah menentukan tipe wavelet, yang


disebut dengan mother wavelet atau analysing wavelet, yang akan digunakan.
Hal ini perlu dilakukan karena fungsi wavelet sangat bervariasi dan
dikelompokkan berdasarkan fungsi dasar masing-masing. Berikut ini adalah
gambar dari beberapa tipe fungsi wavelet :

Sumber: The Math Works Inc (2000)

Gambar 5 Beberapa tipe dari fungsi Wavelet (x)

2.3.3. Transformasi wavelet
Transformasi wavelet memiliki kemampuan untuk menganalisa suatu data
dalam domain waktu dan domain frekuensi secara simultan. Analisa data pada
transformasi wavelet dilakukan dengan membagi suatu sinyal ke dalam
komponen-komponen frekuensi yang berbeda-beda dan selanjutnya masing-
masing komponen frekuensi tersebut dapat dianalisa sesuai dengan skala
resolusinya. Hal ini seperti proses filtering, dimana sinyal dalam domain waktu
13

dilewatkan ke dalam filter highpass dan lowpass dan memisahkan komponen


frekuensi tinggi dan frekuensi rendah.
Wavelet merupakan sebuah fungsi variabel real t, diberi notasi dalam
t
dalam ruang fungsi L
2
(R). Fungsi ini dihasilkan oleh parameter dilatasi dan
translasi, yang dinyatakan dalam persamaan (Wang and Nicholas, 1998) :
( ) , 0 a ;
a
b t
t
a
2 / 1
b , a
>


=

b R ..................................................... (7)
( ) ( ); k t 2 t
j
2 / j
k , j 2
= j,k Z .............................................................. (8)

dimana :
a = parameter dilatasi
b = parameter translasi
R= mengkondisikan nilai a dan b dalam nilai integer
2
j
= parameter dilatasi (parameter frekuensi atau skala)
k = parameter waktu atau lokasi ruang
Z = mengkondisikan nilai j dan k dalam nilai integer

Fungsi wavelet pada persamaan (7) dikenalkan pertama kali oleh
Grossman dan Morlet, sedangkan persamaan (8) oleh Daubechies (Polikar,1996).
Pada fungsi Grossman-Morlet, a adalah parameter dilatasi dan b adalah parameter
translasi, sedangkan pada fungsi Daubechius, parameter dilatasi diberikan oleh 2
j

dan parameter translasi oleh k. Kedua fungsi dapat dipandang sebagai mother
wavelet, dan harus memenuhi kondisi (Wang and Nicholas, 1998 ) :
14

+

= 0 dx ) x ( ......................................................................................... (9)
yang menjamin terpenuhinya sifat ortogonalitas vektor.
Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe
berdasarkan nilai parameter translasi dan dilatasinya, yaitu transformasi wavelet
kontinu (continue wavelet transform), dan diskrit (discrete wavelet transform).
Transformasi wavelet diskrit bertujuan untuk mengurangi redundansi yang terjadi
pada transformasi kontinu dengan cara mengambil nilai diskrit dari parameter a
dan b.
Continous Wavelet Transform (CWT) menganalisa sinyal dengan
perubahan skala pada window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu
dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar,1996).
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
CWT (a,b) =

) t ( f
a,b
* (t) ............................................................... (10)
dimana
a,b
seperti pada persamaan (8), sedangkan transformasi wavelet diskrit
menganalisa suatu sinyal dengan skala yang berbeda dan merepresentasikannya ke
dalam skala waktu dengan menggunakan teknik filtering, yakni menggunakan
filter yang berbeda frekuensi cut off-nya.


2.3.3.1. Transformasi wavelet diskrit
Berdasarkan fungsi mother wavelet, bahwa fungsi wavelet penganalisa
untuk transformasi wavelet diskrit dapat didefinisikan dalam persamaan (9).

15

Berdasarkan persamaan tersebut, representasi fungsi sinyal f (t) L


2
(R) dalam
domain wavelet diskrit didefinisikan sebagai (Gonzales et al.,1993) ;
) t ( a ) t ( f
k , j
k , j
k , j
=

.............................................................................. (11)
a
j,k
ini merupakan discret wavelet transform dari fungsi f(t) yang dibentuk oleh
inner product antara fungsi wavelet induk dengan f(t) :
( ) ) t ( f , a
k , j k , j
= .................................................................................... (12)

sehingga f (t) disebut sebagai inverse discret wavelet transform dapat dinyatakan
dengan :
) t ( ) t ( ) t ( f
k , j k , j
k , j
=

..................................................................... (13)

2.3.3.2. Dekomposisi wavelet
Dalam beberapa aplikasi, kita tidak pernah harus berhubungan secara
langsung dengan fungsi penskalaan atau wavelet. seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa pada DWT (Discret Wavelet Transform) suatu resolusi sinyal
dapat diubah dengan menggunakan teknik filtering (analisa filter bank).
Jadi proses transformasi pada wavelet ini pertama kali dapat diwakili dengan
proses melewatkan sinyal asli ke dalam Low Pass Filter (LPF) dan High Pass
Filter (HPF). LPF menghasilkan komponen aproksimasi yang merupakan
komponen sinyal berfrekuensi rendah dan berskala tinggi,sedangkan HPF
menghasilkan komponen detail yang merupakan komponen sinyal berfrekuensi
tinggi dan berskala rendah. Komponen aproksimasi dan detail yang dihasilkan
melalui proses pemfilteran ini kemudian melewati proses down sampling. Proses
16

ini bertujuan untuk menurunkan jumlah sampel yang dihasilkan untuk masing-
masing komponen menjadi setengah dari jumlah sampel sinyal asli. Proses ini
biasa dikenal dengan istilah dekomposisi wavelet. Proses dekomposisi wavelet
dapat digambarakan sebagai berikut (The Math Works Inc, 2000)


Sumber: The Math Works Inc (2000)

Gambar 6. Proses dekomposisi Wavelet


Proses dekomposisi dapat dilakukan berulang kali pada komponen
aproksimasi, sehingga didapatkan banyak komponen resolusi yang lebih rendah
dari sebuah sinyal. Proses multilevel dekomposisi ini digambarkan sebagai
berikut :


Sumber: The Math Works Inc (2000)

Gambar 7. Proses multilevel dekomposisi Wavelet
Keterangan :
S = Sinyal Asli
17

A (A1, A2, A3) = Komponen aproksimasi yang merupakan komponen sinyal


berfrekuensi rendah dan berskala rendah
D (D1, D2, D3) = Komponen detail yang merupakan komponen sinyal
berfrekuensi tinggi dan berskala rendah

2.3.3.3. Dekomposisi paket wavelet
Metode dekomposisi paket wavelet menawarkan jangkauan analisis
sinyal yang lebih luas. Pada dekomposisi paket wavelet, proses dekomposisi
tidak hanya dilakukan pada komponen aproksimasi tetapi pada komponen detail
juga (The Math Works Inc, 2000). Proses yang terjadi dapat digambarkan sebagai
berikut :

Sumber: The Math Works Inc (2000)

Gambar 8. Proses multilevel dekomposisi paket Wavelet










18

3. BAHAN DAN METODE



3.1. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian yang dikaji adalah stasiun pasang-surut Sabang, Sibolga,
Padang, Cilacap dan Benoa. Posisi geografis dari masing-masing stasiun akan
diuraikan sebagai berikut ; stasiun pasang-surut Sabang terletak pada posisi
koordinat 550 LU dan 9520 BT, Sibolga pada posisi koordinat145 LU dan
9846 BT, Padang berada pada posisi koordinat 057 LS-dan 10022 BT,
stasiun Sibolga dan Padang merupakan stasiun-stasiun yang terletak di sepanjang
perairan barat Sumatra. Cilacap terletak pada posisi koordinat 745 LS-dan
10901 BT atau berada di perairan selatan Jawa serta Benoa yang terletak pada
koordinat 845 LS-dan 11513 BT di perairan selatan Bali.











Gambar 9. Peta lokasi penelitian
19

Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan Februari sampai


dengan bulan Agustus 2008, proses pengolahan awal di Laboratorium Pusat
Pemantauan Pasang Surut Indonesia, Bakosurtanal selanjutnya dilakukan
pengolahan data di Laboratorium Oseanografi, Program Studi Ilmu Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

3.2. Penentuan data penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
data pasang surut perairan Indonesia pada tahun 2007 yang diperoleh dari stasiun
pasang surut yang dioperasikan oleh Bakosurtanal yang terkonsentrasi di stasiun
Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Data tersebut diperoleh dari
Laboratorium Pusat Pemantauan Pasang Surut Indonesia, Bakosurtanal.

3.2.1. Mekanisme Tide gauge
Perekamanan data pasang surut dalam penelitian ini menggunakan tide
gauge yang mana tersebar di semua lokasi stasiun yang dikaji. Tide gauge
mempunyai tiga sensor utama yaitu encoder (sensor pelampung), sensor pressure
gauge dan radar gauge serta satu sensor tambahan yaitu Switch. Sensor
pelampung bekerja berdasarkan prinsip kontak langsung terhadap naik turunnya
permukaan laut melalui pelampung dan gerakan ini direkam dalam bentuk digital.
Sensor pressure gauge bekerja berdasarkan prinsip dari rumus P= g h (dimana P
= tekanan (Pa), = densitas air laut (kg/m
3
), g = gravitasi (m/s
2
), h= tinggi muka
air laut (m)) dengan meningkatnya tekanan maka tinggi muka laut akan meninggi,
sedangkan sensor radar gauge bekerja berdasarkan prinsip pemantulan
20

gelombang radar. Switch berfungsi untuk validasi data, pada saat muka laut naik
atau turun dan melewati Switch, maka waktu saat muka laut lewat Switch tersebut
akan dikirim ke data logger. Adapun software komunikasi yang digunakan untuk
menerima data tinggi muka laut dari data logger adalah Satlink Communicator.
Data tinggi muka laut dikirim setiap 15 menit sekali ke satelit meteosat,
data tinggi muka laut ini kemudian dapat diakses melalui GTS (Global
Telecomunication Satellite) receiver. GTS receiver ini hanya dimiliki oleh BMG
(Badan Meteorologi Geofisika) yang merupakan anggota dari WMO (World
Meteorogycal Organization), sehingga di Indonesia data tinggi muka laut ini
hanya dapat diakses langsung oleh BMG dan selebihnya dapat diakses di internet.
Juga dilengkapi dengan dua receiver GPS untuk sinkronisasi waktu sensor dari
data logger tehadap waktu GPS yang presisi.

3.2.2. Data pasang surut
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, data pasang surut yang
terekam di setiap stasiun pasang surut yang dikaji diperoleh dari hasil perekaman
alat pasang surut tide gauge, data tersebut direkam dengan interval satu jam sekali
dengan satuan mm (milimeter). Periode data pasang surut yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini :





21

Tabel 2. Periode perekaman data pasang surut di stasiun-stasiun pasang


surut yang dikaji
No Nama Stasiun Periode Perekaman
1. Sabang Januari 2007 Desember 2007
2. Sibolga Januari 2007 Desember 2007
3. Padang Januari 2007 Desember 2007
4. Cilacap Maret 2007 Desember 2007
5. Benoa Januari 2007 Desember 2007

Dari tabel di atas diperoleh informasi bahwa periode perekaman data
pasang surut yang digunakan dalam penelitian ini hampir semuanya dalam satu
tahun (tahun 2007), kecuali di stasiun Cilacap dimana data yang digunakan dalam
penelitian ini dimulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Desember 2007, data
yang digunakan tidak penuh satu tahun karena pada stasiun Cilacap terdapat sela
(gap) data akibat alat tide gauge mengalami kerusakan sementara.

3.3. Metode analisis data
Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan cara mengelompokkan
terlebih dahulu data tinggi muka laut di setiap stasiun pasang surut, data pasang
surut dikelompokkan berdasarkan waktu perekaman, penyusunan data pasang
surut ini menggunakan perangkat lunak Microsoft office excel 2007. Setelah itu
untuk melihat pola variasi muka laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut
dapat ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan metode wavelet I
dimensi pada perangkat lunak Matlab 7.1. Dalam menggunakan metode wavelet I
dimensi terlebih dahulu harus memilih jenis wavelet yang akan digunakan,
pengolahan data dalam penelitian menggunakan jenis wavelet daubechius 1 level
22

5, karena wavelet daubechius baik dalam kompresi data (Edwards,1991). Wavelet


memiliki keterbatasan dalam mengektraksi data residual pasut, sehingga
digunakan program World Tides untuk menghasilkan data tersebut.
Selanjutnya data muka laut di setiap stasiun tersebut perlu dihilangkan
pengaruh pasang surut (faktor astronomis) dengan menggunakan program World
Tides, program ini menghasilkan data residual (non pasut) dari data pasang surut
yang terekam. Data residual (non pasut) ini yang menjadi data dasar dalam
penelitian ini.

3.3.1. Analisis deret waktu
Analisis deret waktu (Time series analysis) merupakan analisis yang
didasarkan pada asumsi bahwa nilai-nilai yang berurutan pada berkas data diambil
pada pengukuran dengan selang waktu pengukuran yang sama. Analisis deret
waktu mempunyai dua tujuan utama :
1. Mengidentifikasi fenomena alam yang diperlihatkan oleh pengamatan
yang berurutan dimana terdapat fenomena-fenomena yang berulang
dengan melihat periodisitas dominannya.
2. Memprediksi nilai variabel deret waktu di masa yang akan datang. Salah
satu bentuk analisis deret ukur adalah penggunaannya untuk mengamati
fenomena yang ada seperti variabilitas musiman (seasonal variability)
dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan (Stasoft, 1984) in
(Wilopo, 2005).


23

3.3.2. Analisis spektrum


Untuk menganalisis variasi muka laut berdasarkan frekuensi atau periode
selama waktu pengamatan, maka dilakukan penghitungan nilai spektrum densitas
energi dari tiap data muka laut di setiap stasiun. Penghitungan ini menggunakan
perangkat lunak Statistica 6.
Data muka laut (non pasut) dari tiap stasiun terlebih dahulu diubah dari
domain waktu menjadi domain frekuensi dengan menggunakan metode Fast
Fourier Transform (FFT) method berikut ini (Bendat dan Piersol, 1971) :
) N / ) t . k . 2 . i exp(( x t ) f ( X
1 N
0 t
t k
=

=
........................................... (14)
Keterangan :
X (f
k
) = komponen Fourier dari data deret waktu (x
t
) pada frekuensi ke-k (f
k
)
t = selang waktu pengambilan data (1 jam)
N = jumlah data
i = -1 (bilangan imajiner)
t = 0, 1, 2, ..., N

3.3.2.1. Spektrum densitas energi
Dari nilai FFT tersebut maka akan didapatkan nilai spekrum densitas
energi dari tiap data muka laut di setiap stasiun dengan menggunakan rumus
(Bendat dan Piersol, 1971) :

( )
( )
2
k x
f X
N
t 2
S

= ......................................................... (15)
Keterangan :
S
x
= nilai densitas energi satu rekaman data deret waktu (x
t
)
24

X (fk) = komponen Fourier dari data deret waktu (x


t
) pada frekuensi ke-k (f
k
) ;
diperoleh dari (14)
t = selang waktu pengambilan data (1 jam)
N = jumlah data
Pada grafik spektrum densitas energi, diplotkan juga garis selang
kepercayaan 95%. Garis tersebut berupa garis putus-putus yang merupakan nilai
standar atau signifikan level. Nilai spektrum densitas energi dianggap signifikan
jika jarak dari dasar ke puncak kurva lebih besar daripada lebar garis selang
kepercayaan yang tepat berada di bawah puncak kurva, sedangkan garis putus-
putus vertikal menunjukkan puncak-puncak spektral yang berkorelasi yang
diplotkan pada gambar korelasi silang spektrum densitas energi.

3.3.2.2. Spektrum korelasi silang
Untuk mengetahui hubungan antara muka laut di setiap stasiun yaitu
stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa maka ditunjukkan dengan
analisis spektrum korelasi silang. Analisis spektrum silang ini dilakukan pada
stasiun-stasiun yang lokasinya berdekatan yang bertujuan untuk mengetahui pada
frekuensi atau periode berapa saja variasi muka laut antar stasiun memiliki nilai
koherensi dan juga dapat diketahui beda fase (phase lag) antara satu stasiun
terhadap stasiun lainnya. Tetapi, khusus untuk analisis spektrum korelasi silang
antara stasiun Cilacap dengan stasiun lainnya dilakukan berbeda karena stasiun
Cilacap memiliki jumlah deret waktu yang berbeda terhadap jumlah deret waktu
stasiun lainnya, sehingga jumlah deret waktu pada stasiun lainnya disesuaikan
dengan jumlah deret waktu di stasiun Cilacap.
25

Komponen yang dl diperlukan dalam analisis spektrum korelasi silang ini


akan adalah variabel (x) dan variabel (y). Variabel (x) merupakan peubah bebas
yang akan menjelaskan (y) dan variabel (y) merupakan sebaliknya yaitu peubah
yang tidak bebas yang akan dijelaskan oleh (x). Pasangan peubah (x) dan (y)
dalam analisis ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Nilai koherensi yang tinggi menunjukkan hubungan yang erat antara satu
stasiun terhadap stasiun lainnya dan sebaliknya. Beda fase menunjukkan
informasi mengenai perbedaan waktu antara kedua periode fluktuasi. Beda fase
positif menandakan bahwa fluktuasi peubah (x) mendahului fluktuasi peubah (y)
dan sebaliknya jika beda fase negatif menandakan bahwa fluktuasi peubah (y)
mendahului fluktuasi peubah (x).
Tabel 3. Komponen analisis spektrum korelasi silang
No Peubah (x) Peubah (y)
1. Data muka laut (residual)
stasiun Sabang
Data muka laut (residual)
stasiun Sibolga
2. Data muka laut (residual)
stasiun Sabang
Data muka laut (residual)
stasiun Padang
3. Data muka laut (residual)
stasiun Sibolga
Data muka laut (residual)
stasiun Padang
4. Data muka laut (residual)
stasiun Padang
Data muka laut (residual)
stasiun Cilacap
5. Data muka laut (residual)
stasiun Padang
Data muka laut (residual)
stasiun Benoa
6. Data muka laut (residual)
stasiun Cilacap
Data muka laut (residual)
stasiun Benoa

Rumus matematikanya ditulis oleh Bendat dan Piersol (1971) dengan
lebih dahulu menghitung nilai spektrum densitas energi silang (S
xy
(f
k
) ) dari dua
pasang data deret waktu arus (x
t
) dan (y
t
) sebagai berikut :
( ) ( )
k k k y x
f Y * f X
N
t 2
) f ( S

= ....................................................(16)

26

Keterangan :
) f ( S
k y x
: spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (f
k
)
k
f : k/Nh, k = 0,1, 2, ..., N-1
( )* f X
k
: kompleks conjugate dari X (f
k
)
( )
k
f X : komponen Fourier dari data deret waktu (x
t
); diperoleh dari ( 14)
( )
k
f Y : komponen Fourier dari data deret waktu (y
t
); diperoleh dari ( 14)
t : selang waktu pengambilan data (1 jam)
N : jumlah data
Nilai koherensi ditentukan dengan rumus :
( )
) f ( S ) f ( S
f S
) f (
k y k x
2
k xy
k
y x
2
= .......................................................(17)
Keterangan :
) f (
k
y x
2
: nilai koherensi pada frekuensi ke-k
k
f ( )
( )
k xy
f S : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k
k
f ( )
( )
k x
f S : spektrum densitas energi dari komponen Fourier X (f
k
)
( )
k y
f S : spektrum densitas energi dari komponen Fourier Y (f
k
)
Beda fase (phase lag) dihitung sebagai berikut :

=

) f ( C
) f ( Q
tan ) f (
k xy
k xy
1
k y x
........................................................(18)
Keterangan :
y x
: beda fase pada frekuensi ke-k ) f (
k

) f ( Q
k xy
: bagian imaginer dari ( )
k xy
f S
27

) f ( C
k xy
: bagian nyata dari ( )
k xy
f S
Pada perangkat lunak Statistica 6 diperoleh satuan beda fase (
y x
) dalam
bentuk tan
-1
, kemudian satuan ini dikonversi dalam bentuk waktu (jam)
dikarenakan satuan beda fase yang digunakan dalam spektrum korelasi silang
muka laut (residual) antar stasiun adalah dalam bentuk jam. Sebelum dikonversi
dalam bentuk jam, terlebih dahulu bentuk tan
-1
diubah kedalam bentuk derajat
dengan menggunakan perintah ATAN (
xy
(fk))*180/PI() pada Microsoft office
excel 2007, Setelah itu dapat dilakukan konversi kedalam bentuk jam. Rumus
matematikanya sebagai berikut :
beda fase (jam) = periode
360
) f ( arctg
k xy

fluktuasi (jam) .........(19)















28

3.3.3. Diagram alir penelitian :






































Gambar 10. Diagram alir penelitian









Data pasut
Metode
Wavelet 1-D
Mother Wavelet
Daubechies 1 level 5
Transformasi Wavelet
(filtering)
LPF = A (aproksimasi) HPF =D (detail)
Dekomposisi Wavelet
Variasi Temporal
Residual Pasut
Fast Fourier Transform
(FFT)
Spektrum
densitas
energi
Spektrum
Korelasi
Silang

29


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Variasi muka laut

Variasi muka laut di setiap stasiun pasang surut yang dikaji dianalisis dengan
menggunakan metode wavelet 1-D, dengan metode ini dapat dilihat variasi muka
laut yang terjadi di setiap stasiun pasang surut sepanjang tahun 2007. Seperti
yang telah dijelaskan pada bagian bahan dan metode (Bab 3) jenis wavelet yang
digunakan dalam penelitian adalah wavelet daubechius 1 level 5 sehingga akan
diperoleh variabel s, d1, d2, d3, d4 dan a5 di setiap gambar variasi muka laut yang
disajikan yang terjadi di setiap stasiun pasang surut. Variabel s merupakan sinyal
asli yang kemudian pertama kali akan dilewatkan ke dalam Low Pass Filter (LPF)
dan High Pass Filter (HPF) melalui proses transformasi wavelet.
HPF menghasilkan komponen detail yang merupakan komponen sinyal
berfrekuensi tinggi dan berskala rendah (d1, d2, d3 dan d4) sedangkan LPF
menghasilkan komponen aproksimasi yang merupakan komponen sinyal
berfrekuensi rendah dan berskala tinggi (a1, a2, a3, a4 dan a5). Variabel
aproksimasi dan detail yang dihasilkan melalui proses pemfilteran ini kemudian
melewati proses down sampling (telah dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka di
Bab 2).
Dalam penelitian ini untuk menunjukkan sinyal muka laut dari sinyal asli
maka perlu dilakukan proses transformasi wavelet seperti yang diungkapkan di
atas karena untuk menghilangkan pengaruh frekuensi tinggi yakni pengaruh pasut
harian. Analisis mengenai variasi muka laut dapat dilihat dari variabel a5 yang
dihasilkan dari proses transformasi wavelet. Variabel ini diperoleh setelah
30

menggunakan induk wavelet daubechius 1 level 5. Variabel a5 merupakan


turunan terakhir dari induk wavelet daubechius 1 level 5.
Berdasarkan gambar tinggi muka laut di setiap stasiun yang dikaji dalam
penelitian ini secara umum memperlihatkan adanya periode tengah tahunan (semi
annual), dimana tinggi muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali
minimum dalam setahun. Pada stasiun Sibolga dan Padang terlihat jelas periode
tengah tahunan (semi annual) yang terjadi pada perubahan muka lautnya, tetapi di
stasiun-stasiun lainnya tidak terlalu jelas.

4.1.1. Variasi muka laut di Sabang
Variasi tinggi muka laut di stasiun Sabang periode Januari 2007
Desember 2007 disajikan pada Gambar 11. Pada gambar ini dapat dilihat naik
turun perubahan kedudukan muka laut yang terjadi di stasiun Sabang.








Waktu (bulan)







Gambar 11.Variasi muka laut di Stasiun Sabang dari bulan Januari 2007
sampai dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D
31

Muka laut tertinggi (maksimum) di Sabang terjadi sekitar bulan April


hingga Mei selanjutnya terjadi pada bulan Agustus dan terjadi lagi pada bulan
November. Periode tengah tahunan di Sabang tidak begitu jelas jika
dibandingkan dengan periode tengah tahunan yang terjadi di Sibolga dan Padang.
Variasi muka laut maksimum yang terjadi pada bulan April hingga Mei
dan bulan Agustus serta bulan November diduga berhubungan erat dengan
perubahan muka laut yang terjadi di bagian selatan di daerah khatulistiwa.
Perubahan muka laut di daerah khatulistiwa diwakili oleh stasiun Sibolga dan
Padang.
Menurut Pariwono (1993), mengikuti teori perambatan dan hukum
kekekalan massa (conservation of mass), maka peninggian muka laut di perairan
pantai barat Sumatera sekitar khatulistiwa akan merambat ke dua arah, selatan dan
utara. Perambatan perubahan muka laut akan berbentuk gelombang. Gelombang
ini akan merambat sepanjang pantai Sumatera dari Padang ke arah selatan,
kemudian berbelok ke timur dengan merambat sepanjang pantai selatan Jawa.
Jika energi dari gelombang tersebut masih mampu mengatasi gesekan yang
ditemui sepanjang jalur lintasannya, maka gelombang tersebut masih dapat
diamati di perairan pantai selatan Jawa. Pada penelitian ini ada dua stasiun yang
digunakan untuk keperluan ini, yaitu Cilacap dan Benoa.
Gelombang yang merambat dari khatulistiwa ke arah utara di sepanjang
pantai barat Sumatera, juga akan mengalami keadaan yang serupa. Jika energinya
masih memungkinkan untuk gelombang tersebut merambat terus ke utara, maka
keberadaan gelombang tersebut diduga dapat diamati di daerah Sibolga yang
berada berseberangan dengan daerah Padang pada garis khatulistiwa dan Sabang
32

yang berada di ujung Pulau Sumatera. Stasiun Sabang dan Sibolga ini digunakan
untuk melihat kemungkinan tersebut.
4.1.2. Variasi muka laut di Sibolga
Variasi muka laut di Sibolga ditampilkan pada gambar di bawah ini
(Gambar 12), berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat perubahan muka laut
(variasi muka laut) yang terjadi sepanjang tahun 2007. Variasi muka laut di
Sibolga menunjukkan adanya pola periode tengah tahunan (semi annual) dimana
tinggi muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali minimum. Tinggi
muka laut di Sibolga mengalami tinggi maksimum pada periode bulan April
hingga bulan Mei (musim peralihan 1) dan terjadi kembali tinggi maksimum pada
bulan November (musim peralihan 2).










Waktu (bulan)
Gambar 12. Variasi muka laut di Stasiun Sibolga dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D




33

Terjadinya tinggi maksimum pada musim peralihan 1 dan musim peralihan


2 di Sibolga diperkirakan disebabkan oleh adanya gelombang Kelvin. Menurut
(Wyrtki, 1973) gelombang Kelvin dibangkitkan oleh westerly wind burst di barat
ekuatorial Samudera Hindia pada bulan April Mei dan Oktober November.
Hal yang sama mengenai gelombang Kelvin juga dikemukakan oleh Sprintall et
al. (2000) yang menyatakan bahwa Gelombang Kelvin terbentuk akibat gangguan
yang berasal dari Samudera Hindia. Gangguan tersebut berupa angin baratan
(westerly wind burst) yang bertiup di bagian barat ekuator Samudera Hindia
sekitar April-Mei dan Oktober-November menghasilkan Coastally Trapped
Kelvin Wave. Gelombang ini menjalar di ekuator lalu menabrak Pulau Sumatera
dalam waktu sekitar sebulan kemudian terpecah ke utara dan selatan.
Karakteristik gelombang di utara ekuator menjalar di kiri daratan sedangkan di
selatan ekuator menjalar di sebelah kanan daratan.
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Wyrtki (1973), Creswell dan
Fieux (1981), maupun Quadfasel (1982) in Pariwono (1993) menjelaskan bahwa
pada musim peralihan ini terjadi arus deras (jet stream) di daerah khatulistiwa dari
lautan Hindia bagian tengah yang mengalir dari barat ke timur. Akibat arus deras
ini muka laut di pantai Sumatera bagian barat meninggi.

4.1.3. Variasi muka laut di Padang
Pola variasi muka laut di Padang dapat diamati pada Gambar 13, dari
gambar ini dapat dilihat perubahan muka laut di Padang sepanjang tahun 2007.
Pola variasi muka laut di Padang hampir sama dengan variasi muka laut yang
terjadi di Sibolga yaitu menunjukkan adanya pola semi annual (periode tengah
tahunan) dimana tinggi muka laut mengalami dua kali maksimum dan dua kali
34

minimum dalam periode satu tahun. Tinggi muka laut maksimum di Padang juga
terjadi pada bulan April hingga Mei dan terjadi lagi pada bulan November. Hal
ini terjadi diduga karena adanya pengaruh dari gelombang Kelvin.










Waktu (bulan)
Gambar 13. Variasi muka laut di Stasiun Padang dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D


Adanya kesamaan pola variasi muka laut di Padang dan Sibolga atau
dengan kata lain terjadinya perubahan muka laut di Padang juga akan ditemui di
Sibolga, hal ini terjadi dikarenakan Stasiun Padang dan Sibolga berseberangan
pada garis khatulistiwa.

4.1.4. Variasi muka laut di Cilacap
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa data yang ada di Cilacap
tidak sampai satu tahun dikarenakan pada stasiun Cilacap terdapat gap (sela),
sehingga analisis variasi muka laut di Cilacap dimulai pada bulan Maret 2007
hingga Desember 2007. Pola variasi muka laut dapat dilihat pada Gambar 14.
35

Stasiun Cilacap terletak di Pantai Selatan Jawa, dimana diasumsikan bahwa


penjalaran gelombang Kelvin akan mengenai perairan selatan Jawa maka stasiun
ini masih akan dipengaruhi oleh gelombang Kelvin. Hal ini dapat dilihat dari
gambar variasi muka laut yang terjadi di Cilacap, stasiun ini mengalami dua kali
puncak maksimum dari tinggi muka laut yaitu terjadi pada bulan April hingga Mei
dan terjadi lagi pada bulan November. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa gelombang Kelvin ini akan merambat sepanjang pantai Sumatera dari
Padang ke arah selatan yang kemudian akan berbelok ke timur dengan merambat
sepanjang pantai selatan Jawa, sehingga akan melewati stasiun Cilacap.









Waktu (bulan)

Gambar 14. Variasi Muka Laut di Stasiun Cilacap dari bulan Maret 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D





Pada stasiun Cilacap tidak begitu jelas pola semi annual dari variasi muka
lautnya dikarenakan data yang dikaji kurang dari satu tahun, tetapi dapat dilihat
36

pada gambar variasi muka lautnya (Gambar 14) bahwa terjadi dua kali puncak
maksimum dari tinggi muka laut di Cilacap.


4.1.5. Variasi muka laut di Benoa
Berdasarkan Gambar pola variasi muka laut di stasiun Benoa (Gambar 15)
dapat dilihat mengenai variasi muka laut yang terjadi pada sepanjang tahun 2007.
Stasiun Benoa yang terletak di selatan perairan Bali diperkirakan masih akan
dipengaruhi oleh perambatan gelombang Kelvin, yang sebelumnya gelombang
Kelvin ini merambat melewati pantai selatan Jawa kemudian ke perairan selatan
Bali. Ini dapat dilihat pada Gambar pola variasi muka laut di stasiun Benoa
mengalami peninggian muka laut pada bulan Februari, kemudian terjadi lagi pada
bulan April hingga Mei serta pada bulan November. Peninggian muka laut yang
terjadi pada bulan April hingga Mei yang merupakan musim peralihan 1 dan
bulan November yang merupakan musim peralihan 2, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sprintall et al. (2000), sehingga
diperkirakan terjadinya peninggian muka laut di Benoa dipengaruhi oleh
perambatan gelombang Kelvin.







37












Waktu (bulan)






Gambar 15.Variasi Muka Laut di Stasiun Benoa dari bulan Januari 2007 sampai
dengan Desember 2007 dengan analisis wavelet 1-D




4.2. Spektrum densitas energi muka laut
Pola fluktuasi berulang yang telah digambarkan pada sebaran temporal muka
laut di setiap stasiun yang dikaji kadang tidak begitu jelas sehingga sulit untuk
mengetahui periode fluktuasi yang dominan dari data. Untuk mengetahui nilai
densitas energi dan periode fluktuasi yang signifikan maka digunakan spektrum
densitas energi.
Spektrum densitas energi muka laut di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan
Benoa disajikan masing-masing pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20. Periode
fluktuasi dari spektrum densitas energi disajikan pada Tabel 4.
Periode fluktuasi energi muka laut yang ditemukan di tiap stasiun pasut
mengindikasikan adanya beberapa fenomena seperti fenomena musiman
(seasonal), intra musiman (intraseasonal) dan dua mingguan (fortnightly)
38

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000


Periode (jam)
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
m

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
4380 jam
2920 jam
2190 jam
1752 jam
1251,429 jam
324,4445 jam
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
m

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
4380 jam
2920 jam
2190 jam
1752 jam
1095 jam
324.4445 jam
sehingga di bagian sub bab ini akan diuraikan mengikuti fenomena-fenomena
tersebut.









Gambar 16. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sabang periode
Januari 2007 sampai dengan Desember 2007








Gambar 17. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Sibolga periode
Januari 2007 sampai dengan Desember 2007












39

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000


Periode (jam)
0
5
10
15
20
25
30
35
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
m

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
4380 jam
2920 jam
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
0
10
20
30
40
50
60
70
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
m

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
3672 jam
2448 jam
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (J am)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
m

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
4380 jam
2920 jam
2190 jam
1752 jam
324,4445 jam














Gambar 18. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Padang periode
Januari 2007 sampai dengan Desember 2














Gambar 19. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Cilacap periode
Januari 2007 sampai dengan Desember 2007














Gambar 20. Spektrum densitas energi muka laut stasiun Benoa periode
Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
40

Tabel 4. Periode dan spektrum densitas energi muka laut di stasiun Sabang,
Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa
No Stasiun
Periode
Fluktuasi (jam)
Spektrum
Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Keterangan
1 Sabang 4380 12,49 6 bulan
2920 10,54 4 bulan
2190 8,34 3 bulan
1752 4,79 2,4 bulan
1251,43 3,11 1,7 bulan
324,44 1,87 13,5 hari
2 Sibolga 4380 12,60 6 bulan
2920 11,94 4 bulan
2190 2,07 3 bulan


1752 5,86 2,4 bulan
1095 2,07 1,5 bulan
324,44 1,97 13,5 hari
3 Padang 4380 14,91 6 bulan
2920 11,96 4 bulan
2190 9,42 3 bulan
1752 5,14 2,4 bulan
324,44 1,42 13,5 hari
4 Cilacap 3672 44,46 5 bulan
2448 22,49 3,4 bulan
5 Benoa 4380 23,49 6 bulan
2920 12,67 4 bulan




4.2.1. Fenomena musiman (seasonal)
Periode fluktuasi 4,5 dan 6 bulanan yang terdapat pada Tabel 4
dikategorikan ke dalam variasi musiman (seasonal). Secara konsisten variasi
musiman tersebut ditemukan di semua stasiun yang dikaji, sinyal tersebut
menunjukkan adanya kekuatan musim. Fenomena musiman (seasonal) ini
diperkirakan terjadi pada saat pergantian musim baik dari Musim Barat menuju
Musim Timur atau sebaliknya, sedangkan untuk periode fluktuasi 4 bulanan
41

diperkirakan juga berkaitan dengan pergantian musim yakni dari Musim Barat ke
peralihan satu, lalu Musim Timur ke peralihan dua.
Nilai densitas energi muka laut pada variasi musiman (seasonal) di tiap
stasiun tidak jauh berbeda, nilai ini dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai densitas
energi muka laut yang dominan di Sabang berturut-turut pada periode 6 bulanan
dan 4 bulanan sebesar 12,49 m/siklus per jam dan 10,54 m/siklus per jam. Variasi
musiman di Sibolga memiliki nilai densitas energi muka laut sebesar 12,60
m/siklus per jam dan 11,94 m/siklus per jam untuk masing-masing periode
6 bulanan dan 4 bulanan, sedangkan nilai densitas energi muka laut di Padang
yang terjadi pada periode yang sama dengan di Sabang dan Sibolga, dengan
masing-masing sebesar 14, 91 m/siklus per jam untuk periode 6 bulanan dan
11,96 m/siklus per jam untuk periode 4 bulanan.
Adapun variasi musiman yang terjadi di Cilacap memiliki nilai densitas
energi muka laut tertinggi yaitu sebesar 44,46 m/siklus per jam, sedangkan untuk
fenomena musiman di Benoa memiliki nilai densitas energi muka laut sebesar
23,48 m/siklus per jam.

4.2.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal)
Periode fluktuasi selanjutnya yang dominan yang juga ditemukan di tiap
stasiun yaitu pada periode 1,5 bulan 3,4 bulan dengan kisaran nilai densitas
energi muka laut masing-masing sebesar 3,11 - 8,34 m/siklus per jam di Sabang,
2,07 - 5,86 m/siklus per jam di Sibolga dan 5,14-9,42 m/siklus per jam di Padang
serta di Cilacap sebesar 44,46 m/siklus per jam. Periode ini mengindikasikan
adanya fenomena intraseasonal (berkisar antara 1 bulanan sampai 3 bulanan)
42

yang diperkirakan terjadi karena mengikuti mekanisme perambatan gelombang


Kelvin.
Dari hasil penelitian Iskandar et al. (2004) juga ditemukan adanya Variasi
intraseasonal yang terjadi di sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa.
Iskandar et al. (2004) mengemukakan bahwa terdapat variasi intraseasonal muka
laut dengan periode 20-40 hari dan 60-90 hari di sepanjang pantai selatan
Sumatera dan Jawa, dimana dalam penelitian tersebut menggunakan data insitu.
Hal ini sesuai dengan hasil teoritis yang ditemukan Gill (1982) dan hasil
pengamatan mengenai gelombang internal Kelvin (Wyrtki,1971) in Iskandar et al.
(2004), yang mengemukakan bahwa diduga variasi intraseasonal ini berhubungan
dengan perambatan gelombang Kelvin.
Hal ini juga dijelaskan oleh Clarke and Liu (1993) in Iskandar et al. (2004),
memperkirakan bahwa variasi muka laut di sepanjang batas arah timur Samudera
Hindia sebagian besar bergantung pada angin. Untuk mengidentifikasi jenis gaya
atmosferik apa yang berpengaruh terhadap osilasi muka laut, Iskandar et al.
(2004) menggunakan analisis wavelet yang sama terhadap angin jauh (remote
winds) di timur ekuator Samudera Hindia dan angin lokal di sepanjang pantai
Sumatera dan Jawa. Hal ini menghasilkan osilasi intraseasonal dengan periode
20-40 hari selama musim Timur (boreal summer) yang hanya terdapat di timur
ekuator samudera Hindia, ini menunjukkan betapa pentingnya energi angin jauh
(remote winds) dalam menjelaskan variasi intraseasonal muka laut di sepanjang
pantai Sumatera dan Jawa. Selama musim Barat (boreal winter), osilasi
intraseasonal dengan periode 60-90 hari ditemukan pada kedua jenis angin, baik
angin di timur ekuator Samudera Hindia dan angin di sepanjang pantai Sumatera
43

dan Jawa, yang mana merespon spektra intraseasonal dari variasi muka laut.
Oleh karena itu Iskandar et al. (2004) mengemukakan bahwa energi angin jauh
(remote winds) dan angin lokal berperan penting dalam menjelaskan variasi
intraseasonal di sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera.
Jadi, yang menyebabkan terjadinya sinyal intraseasonal di sepanjang pantai
adalah energi dari angin, baik angin di sepanjang ekuator maupun di sepanjang
pantai. Akan tetapi, angin di sepanjang ekuator yang lebih dominan (Iskandar,
2008, komunikasi pribadi).


4.2.3. Fenomena dua mingguan (Fortnightly)
Selain sinyal musiman dan intra musiman juga ditemukan adanya sinyal
dua mingguan di stasiun pasut yang dikaji, hal ini diperkirakan karena kuatnya
sinyal pasut (Iskandar, 2008, komunikasi pribadi). Berdasarkan Tabel 4
ditemukan periode fluktuasi 13,5 hari yang mempresentasikan bahwa adanya
sinyal pasut dua mingguan. Periode tersebut di temukan di Sabang, Sibolga dan
Padang dengan nilai densitas energi berturut-turut sebesar 1,87 m/siklus per jam,
1,95 m/siklus per jam dan 1,42 m/siklus per jam.


4.3. Spektrum korelasi silang muka laut
Analisis spektrum korelasi silang dilakukan untuk mengetahui hubungan
muka laut di antara stasiun Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Analisis
ini dilakukan antara stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Sibolga dan
Padang, Padang dan Cilacap, Padang dan Benoa, Cilacap dan Benoa. Gambar
44

grafik spektrum korelasi silang antar stasiun masing-masing disajikan pada


Gambar 21, 22, 23, 24, 25 dan 26. Gambar grafik ini terdiri dari tiga bagian yaitu;
a) Spektrum densitas energi korelasi silang, b) Koherensi, c) Beda fase. Nilai
hubungan keeratan dan nilai sela fase (phase lag) antar stasiun dapat dilihat pada
Tabel 5, 6 dan 7.

4.3.1. Fenomena musiman (seasonal)
Berdasarkan dari gambar grafik yang menyajikan spektrum korelasi silang
muka laut antar stasiun dapat dilihat bahwa terdapat variasi musiman (seasonal).
Hal ini diperjelas lagi pada Tabel 5 dimana periode fluktuasi yang dominan terjadi
pada periode 6 bulanan, 5 bulanan dan 4 bulanan yang mengindikasikan adanya
variasi musiman (seasonal). Periode-periode tersebut menunjukkan kesamaan
dengan periode musiman yang dihasilkan spektrum densitas energi muka laut di
tiap stasiun dan juga secara konsisten variasi musiman tersebut ditemukan
disemua stasiun yang dikaji.
Pada Gambar 21 (grafik spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun
Sabang dan Sibolga) periode fluktuasi dominan terjadi pada periode 6 bulan
kemudian diikuti periode 4 bulan. Dimana memiliki hubungan yang sangat kuat,
yang dapat dilihat pada nilai koherensi (Tabel 5) masing-masing memiliki nilai
koherensi sebesar 0,94 dan 0,98. Beda fase yang terjadi pada periode 6 bulan dan
4 bulan bertanda negatif yang berarti bahwa tinggi muka laut di Sibolga akan
berubah terlebih dahulu yang kemudian akan diikuti perubahan muka laut di
Sabang masing-masing setelah 6 hari dan 3 hari.
45

Variasi musiman (seasonal) terjadi juga pada spektrum korelasi silang muka
laut antara stasiun Sabang dan Padang (Gambar 22), Periode fluktuasi yang
dominan terjadi pada periode 6 bulan dan 4 bulan. Dimana nilai spektrum
korelasi silangnya telah disajikan pada Tabel 5. Hubungan keeratan muka laut
antara stasiun Sabang dan Padang tinggi, dapat dilihat dari nilai koherensi yang
tertera pada Tabel 5 yaitu masing-masing memiliki nilai koherensi sebesar 0,86
untuk periode 6 bulan dan 0,94 untuk periode 4 bulan. Dari nilai sela fase yang
ada dapat diketahui bahwa perubahan muka laut terjadi terlebih dahulu di Padang
yang kemudian akan diikuti perubahan muka laut di Sabang dengan kelambatan
waktu selama 8 hari untuk periode 6 bulan dan 3 hari pada periode 4 bulan.
Tabel 5. Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun dalam periode musiman
No
Korelasi
Stasiun
Periode
fluktuasi
(jam) Keterangan
Spektrum
Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Koherensi

Beda fase
(tan-1) Waktu
1 Sabang - Sibolga 4380 6 bulan 11,86 0,94 -0,22 6 hari
2920 4 bulan 10,97 0,98 -0,15 3 hari
2 Sabang - Padang 4380 6 bulan 12,16 0,86 -0,29 8 hari
2920 4 bulan 10,71 0,94 -0,18 3 hari
3 Sibolga - Padang 4380 6 bulan 13,50 0,97 -0,05 2 hari
2920 4 bulan 11,80 0,98 -0,03 12 jam
4 Padang - Cilacap 3672 5 bulan 22,07 0,82 0,12 3 hari
5 Padang - Benoa 4380 6 bulan 9,99 0,52 -0,03 20 jam
2920 4 bulan 9,86 0,51 -0,02 11 jam
6 Cilacap - Benoa 3672 5 bulan 29,96 0,96 -0,03 18 jam

Korelasi selanjutnya dilakukan antara stasiun Sibolga dan Padang, grafik
korelasi silang antar kedua stasiun tersebut telah disajikan pada Gambar 23 dan
nilainya tertera pada Tabel 5. Pada Gambar grafik tersebut dapat diketahui bahwa
periode fluktuasi densitas energi yang dominan terjadi pada periode 6 bulan dan 4
bulan yang mengindikasikan adanya variasi musiman (seasonal). Nilai koherensi
yang ditunjukkan pada masing-masing periode fluktuasi sangat tinggi ini berarti
46

bahwa perubahan muka laut yang terjadi di Sibolga dipengaruhi oleh perubahan
muka laut di Padang. Nilai koherensi pada periode 6 bulan sebesar 0,97 dan nilai
koherensi pada periode 4 bulan sebesar 0,98. Nilai beda fase yang diperoleh pada
periode 6 bulan dan 4 bulan diperoleh nilai negatif yang berarti perubahan muka
laut terjadi terlebih dahulu di Padang kemudian diikuti perubahan muka laut di
Sibolga dengan kelambatan waktu sebesar 2 hari untuk periode 6 bulan dan 12
jam untuk periode 4 bulan.
Periode fluktuasi terjadi pada periode 5 bulan dari korelasi silang densitas
energi antara Stasiun Padang dan Cilacap yang mengindikasikan adanya variasi
musiman, periode fluktuasi tersebut memiliki nilai densitas energi 22,07 m/siklus
per jam. Nilai koherensi diantara kedua stasiun tersebut juga tinggi yaitu sebesar
0,82 ini menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan muka laut di Padang
berhubungan erat dengan perubahan muka laut di Cilacap. Beda fase (sela fase)
yang diperoleh pada periode 5 bulan bernilai positif ini berarti bahwa fluktuasi
muka laut di Padang terjadi lebih dahulu kemudian diikuti fluktuasi muka laut di
Cilacap setelah 3 hari.








47

Spektrum densitas energi silang


Peubah X : Muka Laut Stasiun Sabang
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Sibolga
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-2
0
2
4
6
8
10
12
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
(
m
)

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a

f
a
s
e

(
t
a
n
-
1
)
a)









b)













c)














Gambar 21. Spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sabang dan Sibolga
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %


48

Spektrum densitas energi silang


Peubah X : Muka Laut Stasiun Sabang
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Padang
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
(
m
)

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a

f
a
s
e

(
t
a
n
-
1
)
a)













b)













c)










Gambar 22. Spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sabang dan Padang
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %
49

Seperti yang terlihat pada Gambar 25 maka dapat diketahui bahwa hubungan
antara perubahan muka laut yang terjadi di Padang sudah tidak berhubungan lagi
dengan perubahan muka laut yang terjadi Benoa dikarenakan nilai koherensi yang
didapatkan rendah yaitu berturut-turut 0,52 dan 0,51 untuk masing-masing
periode 6 bulan dan 4 bulan. Nilai spektrum densitas energi silang muka laut
antara stasiun Padang dan stasiun Benoa juga rendah bila dibandingkan dengan
hasil korelasi silang antar stasiun-stasiun lainnya (dapat dilihat pada Tabel 5).
Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun yang terakhir dilakukan
antara stasiun Cilacap dan stasiun Benoa, periode fluktuasi dominan yang terekam
yaitu terjadi pada periode 5 bulan yang memilki nilai densitas energi sebesar
29,96 m/siklus per jam. Hubungan yang terjadi pada perubahan muka laut di
Cilacap dengan perubahan muka laut di Benoa sangat erat, ini didasari dari nilai
koherensi yang diperoleh hampir mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,96. Dari nilai
beda fase yang ada menunjukkan bahwa perubahan muka laut musiman
(seasonal) berfluktuasi terlebih dahulu di stasiun Benoa kemudian diikuti stasiun
Cilacap setelah 18 jam.
Dari penjabaran-penjabaran diatas maka dapat dinyatakan bahwa sinyal
musiman yang diperoleh dari korelasi silang muka laut antar stasiun secara
konsisten terdapat di semua stasiun yang dikaji dengan periode berkisar antara 4-6
bulanan.








50

Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a

f
a
s
e

(
t
a
n
-
1
)
Spektrumdensitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Sibolga
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Padang
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
(
m
)

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
a)












b)














c)






Gambar 23. Spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sibolga dan Padang
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %


51

4.3.2. Fenomena intra musiman (intraseasonal)


Hasil spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun menunjukkan bahwa
selain terdapat variasi musiman (seasonal) juga ditemukan adanya variasi intra
musiman (intraseasonal), berikut akan dijelaskan mengenai variasi intraseasonal
yang terjadi di antara stasiun tersebut.
Tabel 6. Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun dalam periode intra
musiman
No
Korelasi
Stasiun
Periode
fluktuasi (jam) Keterangan
Spektrum
Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Koherensi

Beda fase
(tan-1) Waktu
1 Sabang - Sibolga 2120 3 bulan 9,26 0,99 -0,10 1 hari
2 Sabang - Padang 2190 3 bulan 8,70 0,97 -0,07 1 hari
1752 2.4 bulan 4,88 0,97 -0,05 13 jam
1251,43 1.7 bulan 2,07 0,93 -0,42 3 hari
1095 1.5 bulan 1,94 0,94 -0,45 3 hari
3 Sibolga - Padang 2190 3 bulan 9,87 0,99 0,02 8 jam
1095 1.5 bulan 1,94 0,98 -0,03 6 jam
4 Padang - Cilacap 2448 3.4 bulan 14,62 0,89 0,25 4 hari
5 Padang - Benoa 2190 3 bulan 6,46 0,56 0,18 3 hari
6 Cilacap - Benoa 2448 3.4 bulan 14,33 0,95 0,11 2 hari


Variasi intraseasonal antara stasiun Sabang dan stasiun Sibolga terjadi pada
periode 3 bulan yang memiliki hubungan yang sangat erat dimana nilai
koherensinya mendekati 1 yaitu sebesar 0,99 sedangkan nilai beda fase bernilai
negatif yang berarti bahwa perubahan muka laut terjadi lebih dahulu di stasiun
Sibolga kemudian diikuti perubahan muka laut di Sabang dengan kelambatan
waktu sebesar 1 hari.
Pada korelasi antara stasiun Sabang dan Padang terdapat periode fluktuasi 3
bulan; 2,4 bulan; 1,7 bulan dan 1,5 bulan yang mengindikasikan adanya variasi
intraseasonal. Nilai koherensi yang tertera pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
hubungan sinyal intraseasonal antara stasiun Sabang dan stasiun Padang sangat
52

erat. Sela fase muka laut berfluktuasi terlebih dahulu di stasiun Padang kemudian
diikuti oleh muka laut di stasiun Sabang setelah 1 hari untuk periode 3 bulan; 13
jam untuk periode 2,4 bulan; 3 hari untuk periode 1,7 bulan dan 1, 5 bulan. Ini
diduga berkaitan dengan perambatan gelombang Kelvin, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Selanjutnya pada Gambar 23 juga terdapat sinyal intraseasonal dari
spektrum korelasi silang muka laut antara stasiun Sibolga dan stasiun Padang,
yang terjadi pada periode 3 bulan dan 1,5 bulan. Hubungan variasi intraseasonal
diantara kedua stasiun tersebut sangat erat dapat dilihat pada Gambar 23 dan
Tabel 5. Berdasarkan nilai beda fase (sela fase) yang bernilai negatif maka
fluktuasi muka laut terjadi terlebih dahulu di stasiun Padang kemudian diikuti
fluktuasi muka laut di stasiun Sibolga setelah 6 jam untuk periode 1,5 bulan.
Periode fluktuasi yang terjadi pada periode 3,4 bulan dari korelasi antara
stasiun Padang dan Cilacap menunjukkan adanya variasi intra musiman
(intraseasonal), antara kedua stasiun ini memiliki hubungan yang sangat erat
dikarenakan nilai koherensinya tinggi yaitu sebesar 0,89. Perubahan muka laut
terlebih dahulu terjadi di stasiun Padang kemudian disusul dengan perubahan
muka laut di Cilacap dengan kelambatan waktu selama 4 hari.
Seperti yang terlihat pada Gambar 25 maka dapat diketahui bahwa
hubungan antara perubahan muka laut yang terjadi di Padang sudah tidak
berhubungan lagi dengan perubahan muka laut yang terjadi Benoa dikarenakan
nilai koherensi yang didapatkan kecil yaitu 0,56 untuk periode 3 bulan Nilai
densitas energi muka lautnya juga rendah bila dibandingkan dengan hasil korelasi
silang antar staiun-stasiun lainnya (dapat dilihat pada Tabel 5). Variasi intra
53

musiman(intraseasonal) juga terjadi pada spektrum korelasi silang muka laut


antara stasiun Cilacap dan stasiun Benoa, dimana periode fluktuasi terjadi pada
periode 3,4 bulan dengan nilai koherensi sebesar 0,95 yang menunjukkan
hubungan yang sangat erat diantara kedua stasiun tersebut. Berdasarkan nilai
beda fase yang tertera pada Tabel 5 maka perubahan muka laut di Cilacap
berfluktuasi terlebih dahulu yang kemudian disusul perubahan muka laut di Benoa
setelah 2 hari.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, periode fluktuasi spektrum
korelasi silang muka laut yang dominan berkisar pada periode 1,5-3,4 bulan yang
mengindikasikan fenomena intra musiman. Secara keseluruhan kisaran periode
fluktuasi ini masih termasuk dalam kisaran periode intra musiman yang
ditemukan pada densitas energi muka laut.
Hubungan yang erat fluktuasi muka laut terdapat pada korelasi silang antara
stasiun Sabang dan Sibolga, Sabang dan Padang, Padang dan Cilacap, Cilacap dan
Benoa yang mengindikasikan bahwa adanya saling keterkaitan mengenai
perubahan muka laut yang terjadi, sedangkan hasil korelasi silang spektrum
densitas energi muka laut antara stasiun Padang dan Benoa menunjukkan sudah
tidak saling berkaitan lagi mengenai perubahan muka laut yang terjadi karena nilai
koherensi yang didapatkan rendah.
Berdasarkan beda fase dari hasil korelasi silang antar stasiun maka dapat
diinterpretasikan mengenai perambatan muka laut yang berbentuk gelombang, di
selatan khatulistiwa gelombang merambat dari barat ke timur melalui Padang-
Cilacap-Benoa dan di utara khatulistiwa gelombang merambat dari selatan ke
utara melalui Padang-Sibolga-Sabang.
54

4.2.3. Fenomena dua mingguan (Fortnightly)


Sinyal 13,5 hari sampai dengan 14 hari juga ditemukan pada hasil spektrum
korelasi silang muka laut antar stasiun, sinyal ini diduga karena adanya pengaruh
dari pasut dua mingguan. Sinyal-sinyal ini ditemukan pada hasil korelasi silang
muka laut antara stasiun Sabang dan Padang dan hasil korelasi silang muka laut
stasiun Sibolga dan Padang
Tabel 7. Spektrum korelasi silang muka laut antar stasiun periode fortnightly
No
Korelasi
Stasiun
Periode
fluktuasi (jam) Keterangan
Spektrum
Densitas Energi
(m) / siklus / jam) Koherensi

Beda fase
(tan-1) Waktu
1 Sabang - Padang 324,44 13.5 hari 0,82 0,47 -0,74 1 hari
2 Sibolga - Padang 324,44 13.5 hari 1,61 0,94 -0,11 6 jam















55

Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a

f
a
s
e

(
t
a
n
-
1
)
Spektrum densitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Padang
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Cilacap
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-5
0
5
10
15
20
25
30
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
(
m
)

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
a)









b)













c)









Gambar 24. Spektrumkorelasi silang muka laut antara stasiun Padang dan Cilacap
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %


56

Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a

f
a
s
e

(
t
a
n
-
1

)
Spektrumdensitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Padang
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Benoa
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Periode (jam)
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
(
m
)

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r

j
a
m
]
a)













b)













c)








Gambar 25. Spektrumkorelasi silang muka laut antara stasiun Padang dan Benoa
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %



57

Koherensi
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
K
o
h
e
r
e
n
s
i
Beda fase
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
B
e
d
a

f
a
s
e

(
t
a
n
-
1
)
Spektrum densitas energi silang
Peubah X : Muka Laut Stasiun Cilacap
Peubah Y : Muka Laut Stasiun Benoa
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Periode (jam)
-10
0
10
20
30
40
50
S
p
e
k
t
r
u
m

D
e
n
s
i
t
a
s

E
n
e
r
g
i

[
(
m
)

/

s
i
k
l
u
s

p
e
r
j
a
m
]
a)












b)








c)







Gambar 26. Spektrumkorelasi silang muka laut antara stasiun Cilacap dan Benoa
a) Spektrum densitas energi silang
b) Koherensi
c) Beda fase
Jarak antara Garis Putus-putus (warna merah) menunjukkan taraf nyata 95 %
58

58



5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan


Variasi muka laut di setiap stasiun pasang surut yang dikaji dalam
penelitian ini yang dianalisa dengan menggunakan metode wavelet secara umum
memperlihatkan adanya periode tengah tahunan (semi annual), dimana tinggi
muka laut mencapai dua kali maksimum dan dua kali minimum dalam setahun.
Tinggi maksimum terjadi pada periode April hingga Mei (musim peralihan 1) dan
November (musim peralihan 2) hal ini diduga berkaitan dengan perambatan
gelombang Kelvin. Dalam penelitian ini perambatan muka laut yang berbentuk
gelombang merambat ke dua arah, di selatan khatulistiwa gelombang merambat
dari barat ke timur melalui Padang-Cilacap-Benoa dan di utara khatulistiwa
gelombang merambat dari selatan ke utara melalui Padang-Sibolga-Sabang.
Dari hasil spektrum densitas energi muka laut di tiap stasiun menunjukkan
berbagai variasi, seperti variasi musiman (seasonal), variasi intra musiman
(Intraseasonal) dan dua mingguan. Variasi musiman ditemukan di semua stasiun
dengan periode fluktuasi berkisar antara 4-6 bulan hal ini diperkirakan karena ada
pengaruh saat terjadinya pergantian musim dari Musim Barat ke Musim Timur
atau sebaliknya. Variasi intraseasonal ditemukan hampir di semua stasiun,
kecuali stasiun Benoa. Periode fluktuasi variasi antar musiman berturut-turut di
Sabang terjadi pada periode 3 bulan; 2,4 bulan dan 1,7 bulan, di Sibolga pada
periode 3 bulan ; 2,4 bulan dan 1,5 bulan, di Padang pada periode 3 bulan dan 2,4
bulan dan terakhir di Cilacap pada periode 3,4 bulan. Variasi intraseasonal ini
59

diduga mengikuti perambatan dari sinyal gelombang Kelvin, hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Iskandar et al.( 2004) yang
mengemukakan bahwa terdapat variasi intraseasonal muka laut dengan periode
20-40 hari dan 60-90 hari di sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa, dimana
dalam penelitian tersebut menggunakan data insitu. Hal ini juga sesuai dengan
hasil teoritis yang ditemukan Gill (1982) dan hasil pengamatan mengenai
gelombang internal Kelvin (Wyrtki,1971) in Iskandar et al. (2004), yang
mengemukakan bahwa diduga variasi intraseasonal ini berhubungan dengan
perambatan gelombang Kelvin. Untuk stasiun Sabang, Sibolga dan Padang juga
ditemukan periode fluktuasi densitas energi muka laut dengan periode 13,5 hari,
ini mempresentasikan bahwa adanya sinyal dua mingguan.
Spektrum silang juga menunjukkan bahwa perubahan muka laut diantara
stasiun saling mempengaruhi, ini dapat dilihat dari nilai koherensi yang relatif
tinggi. Kecuali spektrum silang muka laut antara Padang dan Benoa yang
menunjukkan bahwa sudah tidak berhubungan lagi mengenai perubahan muka
laut yang terjadi. Koherensi yang tertinggi terjadi pada spektrum silang muka laut
antara Sibolga dan Padang, ini menunjukkan bahwa hubungan yang sangat erat
mengenai perubahan muka yang terjadi di Sibolga dan Padang. Adanya
kesamaan pola variasi muka laut di Padang dan Sibolga atau dengan kata lain
terjadinya perubahan muka laut di Padang juga akan ditemui di Sibolga, hal ini
diperkirakan dikarenakan Stasiun Padang dan Sibolga berseberangan pada garis
khatulistiwa.


60


5.2. Saran

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai variasi muka laut di Sabang, Sibolga,
Padang, Sibolga dan Benoa maka dibutuhkan data dengan periode yang lebih
panjang sehingga dapat diketahui mengenai variasi tahunan (annual) maupun
variasi antar tahunan (inter annual) yang terjadi di setiap stasiun. Juga perlu
dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai variasi muka laut
menggunakan metode wavelet agar dapat mengetahui lebih dalam mengenai arti
dari komponen detil (d1, d2, d3 dan d4 ) dan komponen aproksimasi (a1, a2, a3,
a4 dan a5) yang dihasilkan dari metode tersebut.



















61

DAFTAR PUSTAKA

Bendat, J.S. and A.G. Piersol. 1971. Random Data Analysis and Measurement
Procedures. John Wiley abd Sons Inc. New York.

Boon, J.D., 2007. World Tides User Manual. www.worldtidesandcurrents.com.
(12 Mei 2008)

Clarke, A. J., and X. Liu (1993), Observations and dynamics of semiannual and
annual sea levels near the eastern equatorial Indian Ocean boundary,
J.Phys.Geophys ., 23, 386-399.

Cresswell, G., and M. Fieux, 1981. The Wyrtki equatorial jet, May/June 1980.
Tropical Ocean-Atmosphere News1. Jan 1981 : 3.

Edwards, T., 1991, Discrete Wavelet Transforms: Theory and Implementation,
Stanford University, USA.

Gill, A. E. (1982), Atmosphere-Ocean Dynamics, Int. Geophys. Ser., vol. 30,
62 pp., Elvisier, New York.

Gonzales, R. C. and Woods. R. 1993. Digital Image Processing.
USA: Addison-Wesley Publishing Company.
Habibie, N.S. 2007. Deteksi Kelainan Jantung Berdasarkan Suara Jantung
Menggunakan Paket Wavelet dan Jaring Syaraf Tiruan LVQ (Learning
Vector Quantization). Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Teknik
Elektro. Sekolah Tinggi Teknologi Telkom. Bandung.

Iskandar, I., W. Mardiansyah, Y.Masumoto, and T. Yamagata. 2005.
Intraseasonal Kelvin Waves Along the Southern Coast of Sumatra and Java.
J. Geophys. Res.,110,C04013,d0i:10.1029/2004JC002508.

Manurung, P., J. Ananto, Sudomo, R.Sorrongan, Supriyadi dan S. Barlianto
(2003). Pemantauan Perubahan Permukaan Air Laut Berdasarkan
Pengamatan Pasang Surut. Prosiding Seminar Oseanografi Untuk
Pembangunan Sumberdaya laut Berkelanjutan.

[NRC] National Research Council. 1990. Sea Level Change. National Academy
Press. Washington D.C

Pariwono, J.I. 1993. Keragaman Muka Laut Sepanjang Tepi-Luar Pantai
Kepulauan Sunda Besar. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Polikar, R. 1996. The Wavelet Tutorial. Rowan University College of
Engineering, www.rowan.edu.
62


Pond, S and G.L Pickard, 1983.Introductory to Dynamical Oceanography.
Pergamon Press, Oxford.

Potemra, J.T., S.L. Hautala, J.Sprintall, and W. Pandoe. 2002. Interaction between
the Indonesian seas and Indian Ocean in observations and numerical models.
J.Geophys. Oceanogr., 32.1838-1854.

Pugh, D.T., 1987. Tides, surges and mean sea level. John Wiley and Sons,
Chichester : 472 pp.

Quadfasel, D.R., 1982. Low Frequency Variability of the 20 C Isotherm
Topography in the Western Equatorial Indian Ocean. J. Geophys. Res.,87,
No. C3, 1990-1996.

Sakti, E.P. 2004. Variabilitas Angin dan Paras Laut Serta Interaksinya di Perairan
Utara dan Selatan Pulau Jawa. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Sprintall, J., A. L. Gordon, R. Murtugudde, and R. W. Susanto. 2000. A
Semiannual Indian Ocean Forced Kelvin Wave Observed in the Indonesian
Seas in May 1997. J. Geophys. Res. 105 (C7) : 17,217-17,230.

Tjakrawiralaksana, S. N. 2003. Pengaruh Muson Terhadap Perubahan Paras Laut
di Perairan Barat Sumatera. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

The Math Works Inc. 2000. MATLAB Image Processing Toolbox User
Guide.
The Math Works Inc. 2000. MATLAB Wavelet Toolbox User Guide.
UHSLC, 2007. www.ilikai.soest.hawai.edu. (14 April 2008).

Wang C. T. and Nicolas B. K., August 1998. Detection of
Microcalcifications in Digital Mammograms Using Wavelets. IEEE
Transaction Medical Imaging , vol. 17, no. 4, pp. 498-509.




63

Wilopo, M.D. 2005. Karakter Fisik Oseanografi di Perairan Barat Sumatera dan
Selatan Jawa-Sumbawa dari Data Satelit Multi Sensor. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wyrtki, K., 1973. An equtorial jet in the Indian Ocean, Science, 181:262-264.























LAMPIRAN
65














(a) (b)










(c) (d)














(e)

66

Lampiran 1: (a) Stasiun pengamatan pasang surut, (b) Solar panel dan antena
komunikasi , (c) Sensor pelampung, (d) Data logger, (e) Sensor radar
(Bakosurtanal, 2008)
Lampiran 2. Data tinggi muka laut stasiun Sabang

Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi Muka Laut (mm)
2007 1 1 1 1191
2007 1 1 2 1317
2007 1 1 3 1295
2007 1 1 4 1189
2007 1 1 5 1014
2007 1 1 6 805
2007 1 1 7 646
2007 1 1 8 565
2007 1 1 9 594
2007 1 1 10 736
2007 1 1 11 955
2007 1 1 12 1189
2007 1 1 13 1435
2007 1 1 14 1613
2007 1 1 15 1655
2007 1 1 16 1516
2007 1 1 17 1317
2007 1 1 18 986
2007 1 1 19 690
2007 1 1 20 476
2007 1 1 21 370
2007 1 1 22 400
2007 1 1 23 551
2007 1 1 24 773
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1491
2007 12 31 22 1397
2007 12 31 23 1293
2007 12 31 24 1145

Keterangan :
dst : dan seterusnya







67




Lampiran 3. Data tinggi muka laut stasiun Sibolga

Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi muka laut (mm)
2007 1 1 1 1739
2007 1 1 2 1617
2007 1 1 3 1552
2007 1 1 4 1485
2007 1 1 5 1564
2007 1 1 6 1741
2007 1 1 7 1855
2007 1 1 8 2037
2007 1 1 9 2196
2007 1 1 10 2323
2007 1 1 11 2355
2007 1 1 12 2305
2007 1 1 13 2200
2007 1 1 14 2006
2007 1 1 15 1836
2007 1 1 16 1690
2007 1 1 17 1571
2007 1 1 18 1525
2007 1 1 19 1609
2007 1 1 20 1657
2007 1 1 21 1763
2007 1 1 22 1848
2007 1 1 23 1967
2007 1 1 24 1957
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1897
2007 12 31 22 1807
2007 12 31 23 1759
2007 12 31 24 1737

Keterangan :
dst : dan seterusnya






68




Lampiran 4. Data tinggi muka laut stasiun Padang

Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi Muka Laut (mm)
2007 1 1 1 1718
2007 1 1 2 1577
2007 1 1 3 1496
2007 1 1 4 1510
2007 1 1 5 1516
2007 1 1 6 1673
2007 1 1 7 1902
2007 1 1 8 2118
2007 1 1 9 2272
2007 1 1 10 2451
2007 1 1 11 2472
2007 1 1 12 2421
2007 1 1 13 2220
2007 1 1 14 2031
2007 1 1 15 1771
2007 1 1 16 1589
2007 1 1 17 1471
2007 1 1 18 1442
2007 1 1 19 1466
2007 1 1 20 1535
2007 1 1 21 1695
2007 1 1 22 1831
2007 1 1 23 1885
2007 1 1 24 1936
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1992
2007 12 31 22 1822
2007 12 31 23 1708
2007 12 31 24 1668

Keterangan :
dst : dan seterusnya






69




Lampiran 5. Data tinggi muka laut stasiun Cilacap

Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi Muka Laut (mm)
2007 3 1 1 1510
2007 3 1 2 1560
2007 3 1 3 1520
2007 3 1 4 1429
2007 3 1 5 1341
2007 3 1 6 1247
2007 3 1 7 1219
2007 3 1 8 1235
2007 3 1 9 1373
2007 3 1 10 1536
2007 3 1 11 1721
2007 3 1 12 1852
2007 3 1 13 1916
2007 3 1 14 1914
2007 3 1 15 1796
2007 3 1 16 1545
2007 3 1 17 1318
2007 3 1 18 1036
2007 3 1 19 862
2007 3 1 20 783
2007 3 1 21 814
2007 3 1 22 935
2007 3 1 23 1193
2007 3 1 24 1440
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1767
2007 12 31 22 1678
2007 12 31 23 1460
2007 12 31 24 1325

Keterangan :
dst : dan seterusnya






70




Lampiran 6. Data tinggi muka laut stasiun Benoa

Tahun Bulan Tanggal Jam Ke- Tinggi muka laut (mm)
2007 1 1 1 1050
2007 1 1 2 1095
2007 1 1 3 1032
2007 1 1 4 901
2007 1 1 5 730
2007 1 1 6 675
2007 1 1 7 690
2007 1 1 8 833
2007 1 1 9 1059
2007 1 1 10 1358
2007 1 1 11 1659
2007 1 1 12 1919
2007 1 1 13 2031
2007 1 1 14 1979
2007 1 1 15 1748
2007 1 1 16 1417
2007 1 1 17 992
2007 1 1 18 537
2007 1 1 19 179
2007 1 1 20 32
2007 1 1 21 69
2007 1 1 22 226
2007 1 1 23 463
2007 1 1 24 744
dst dst dst dst dst
2007 12 31 21 1520
2007 12 31 22 1376
2007 12 31 23 1173
2007 12 31 24 951

Keterangan :
dst : dan seterusnya






71




DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pagar Alam, 1 Oktober 1986
sebagai anak ketiga dari empat putra bersaudara dari
pasangan Bapak Um Kusuma, BA dan Ibu Megawati.
Pada tahun 2001-2004 penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Menengah Umum Negeri 1 (SMUN 1)
Pagar Alam (Sumatera Selatan).
Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB).
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten beberapa
mata kuliah, seperti Asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan 2007/2008,
Oseanografi Umum 2007/2008 dan Oseanografi Fisika 2007/2008 serta menjadi
Asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan 2008/2009 untuk program
mahasiswa Diploma Teknik dan Manajemen Lingkungan.
Selain itu penulis juga aktif terlibat dalam berbagai kepengurusan
organisasi seperti HIMPRO HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan) sebagai staff Departemen Pengembangan Sumberdaya
Manusia periode 2005/2006, Ketua Departemen Pengembangan Sumberdaya
Manusia periode 2007 dan di OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMUSI
(Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya) sebagai Ketua Divisi Eksternal periode
2006/2007 serta aktif dalam berbagai kepanitiaan.
Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul
Analisis Variasi Muka Laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan
Benoa Menggunakan Metode Wavelet.

You might also like