You are on page 1of 18

TUGAS

PENYAKIT MEMBRAN HIALIN





Oleh
Mitha Ratna Dewi
H1A007039

Pembimbing :
dr. Hj. Artsini Manfaati, Sp.A




DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
DI SMF ANAK RSUP NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2012
2

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Membran Hialin (PMH) disebut juga Sindrom Gangguan Pernapasan
(SGP),merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi kurang. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan dan 50% pada
bayi dengan berat badan lahir 501-1500 gram. PMH merupakan penyebab terbanyak dari angka morbiditas dan
mortalitas pada bayi prematur.
Penyakit ini terjadi pada bayi kurang bulan karena pematangan paru yang belum
sempurna. Pada PMH tingkat pematangan paru lebih berperan terhadap timbulnya penyakit bila
dibandingkan dengan masalah kurang bulan sehingga dengan pengelolaan yang baik bayi dengan PMH dapat
diselamatkan sehingga angka kematian dapat ditekan. Keberhasilan ini dapat dicapai dengan
memperbaiki keadaan surfaktan paru yang belum sempurna dengan ventilasi mekanik, pemberian
surfaktan dari luar tubuh, asuhan antenatal yang baik serta pemberian steroid pada ibu dengan
kehamilan kurang bulan dengan janin yang mengalami stres pernapasan. Defisiensi surfaktan
diperkenalkan pertama kali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya
PMH. Penemuan surfaktan untuk PMH termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran karena
pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen
yang tinggi. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan PMH maupun sebagai terapi penyakit
pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.
Penyakit membran hialin biasanya muncul dalam beberapa menit setelah bayi lahir yang
ditandai dengan pernapasan cepat, frekuensi napaas lebih dari 60x/menit, pernapasan cuping
hidung, retraksi interkostal, suprasternal, dan epigastrium. Manifestasi dari PMH disebabkan
adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke
dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Faktor yang mempermudah terjadinya
PMH adalah persalinan kurang bulan, asfiksia intrauterin, tindakan seksio caesaria, diabetes
melitus dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan sebelumnya, kelahiran yang dipercepat
setelah perdarahan antepartum, serta riwayat sebelumnya dengan penyakit membran hialin.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Penyakit Membran Hialin (PMH) adalah nama lain untuk Sindrom Gangguan Pernafasan
(SGP) atau Respiratory Distress Syndrome (RDS). Gangguan napas ini merupakan sindrom yang terdiri
dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: takipnea (frekuensi napas > 60 x/menit), retraksi dinding dada, merintih
dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar, yang memburuk dalam 48 96 jam pertama kehidupan.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Kejadian PMH ini berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat lahir. Di
Amerika Serikat, PMH telah diperkirakan terjadi pada 20,000-30,000 bayi baru lahir setiap tahun
dan merupakan komplikasi pada sekitar 1% kehamilan. Sekitar 50% dari neonatus yang lahir
pada usia kehamilan 26-28 minggu terjadi PMH, sedangkan kurang dari 30% dari neonatus
prematur lahir pada usia kehamilan 30-31 minggu terjadi kondisi tersebut. Secara umum PMH
terjadi pada ~ 50% dari bayi dengan berat lahir antara 501 dan 1500 g (< 34 minggu usia gestasi).

2.3 ETIOLOGI
Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab utama dari PMH.
Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin (lesitin), phosphatidylglycerol,
apoprotein (protein surfaktan SP-A,-B,-C,-D), dan kolesterol. Dengan pertambahan usia
kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II.
Bahan aktif-permukaan ini akan dilepaskan ke dalam alveoli, dimana mereka akan mengurangi
tegangan permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah runtuhnya ruang
udara kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan muncul pada paru-paru
janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada
cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu
kehamilan.
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontribusi untuk terjadinya
gangguan pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta sebuah gen bertanggung jawab
4

untuk mengangkut surfaktan melintasi membran (ABC transporter 3 [ABCA3]) berhubungan
dengan penyakit pernapasan berat dan sering mematikan, yang diturunkan. Sebagian sintesis surfaktan bergantung
pada pH normal, suhu, dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya terkait dengan
hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin, dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru-
paru juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek dari manajemen respirator,
sehingga mengakibatkan pengurangan surfaktan yang lebih lanjut.

2.4 PATOFISIOLOGI
Kegagalan untuk mencapai kapasitas residu fungsional (Fungsional Residual
Capacity[FRC]) yang memadai dan kecenderungan paru-paru yang terkena untuk menjadi
atelektatik berkorelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi dan tidak adanya surfaktan paru.
Atelektasis alveolar, pembentukan membran hialin, dan edema interstisial membuat paru- paru
kurang komplians (daya pengembangan paru), sehingga tekanan lebih besar diperlukan untuk
mengembangkan alveoli dan saluran-saluran napas yang kecil. Pada bayi yang sudah terkena PMH,
bagian bawah dinding dada ditarik ke dalam apabila diafragma menurun, dan tekanan intratoraks
menjadi negatif, sehingga membatasi jumlah tekanan intratoraks yang dapat diproduksi, hasilnya
akan terjadi atelektasis. Dinding dada yang sangat komplians pada bayi prematur memberikan
ketahanan lebih rendah dari bayi yang matur dengan kecenderungan paru-paru untuk kolaps. Dengan
demikian, pada akhir ekspirasi, volume toraks dan paru-paru cenderung untuk mendekati volume
residu, dan atelektasis dapat terjadi.
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan, bersama-sama dengan unit pernapasan
kecil dan dinding dada yang komplians, menghasilkan atelektasis dan menghasilkan alveoli yang
diperfusi tetapi tidak berventilasi, yang menyebabkan hipoksia. Penurunan komplians paru-paru,
volume tidal yang kecil, peningkatan ruang mati fisiologis, peningkatan kerja pernapasan, dan
ventilasi alveolar yang tidak memadai pada akhirnya menyebabkan hiperkapnia. Kombinasi
hiperkapnia, hipoksia, dan asidosis mengakibatkan vasokonstriksi arteri pulmonari dengan
peningkatan shunting kanan-ke-kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus dan dalam paru-
paru itu sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan cedera iskemik pada sel-sel yang memproduksi
surfaktan dan pembuluh darah yang akan mengakibatkan terjadi efusi bahan protein ke dalam ruang
alveolar dan terjadi pembentukan membran hialin (Gambar 1).

5

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Membran Hialin.
Prematuritas

Sintesa dan pelepasan surfaktan turun

Tegangan permukaan alveoli meningkat

Atelektasis

Hipoksemia, hiperkarbia

Asidosis respiratorik dan metabolik

Resistensi paru dan vasokonstriksi meningkat

Kebocoran kapiler paru

Pelepasan eksudat fibrinosa

Membran hyalin (hambatan difusi meningkat)

Hipoksia, asidosis, hipotermia, dan hipotensi dapat mengganggu produksi dan/atau
sekresi surfaktan. Pada sebagian neonatus, toksisitas oksigen dengan barotrauma dan volutrauma
pada paru-paru mereka yang belum matang secara struktural menyebabkan influks sel inflamasi,
yang memperburuk cedera vaskular, menyebabkan displasia bronkopulmonal
(Bronchopulmonary Dysplasia [BPD]). Kekurangan antioksidan dan cedera radikal bebas
memperburuk kecederaan. Pada evaluasi makroskopik, paru-paru bayi baru lahir yang terkena
tampak pengap dan kemerahan (yaitu, seperti hepar). Oleh karena itu, paru-paru memerlukan
peningkatan tekanan pembukaan yang penting untuk mengembang. Atelektasis difus rongga udara
distal bersama dengan distensi saluran napas distal dan daerah perilimfatik dapat diamati secara
mikroskopis. Atelektasis progresif, barotrauma atau volutrauma, dan toksisitas oksigen merusak
sel-sel endotel dan epitel pada lapisan saluran udara distal ini, mengakibatkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hialin yang melapisi alveoli dapat membentuk dalam waktu setengah
jam setelah kelahiran. Pada bayi prematur lebih besar, epitel mulai menyembuh dalam waktu 36-
72 jam setelah lahir, dan sintesis surfaktan endogen dimulai. Fase pemulihan ditandai dengan
regenerasi sel-sel alveolar, termasuk sel tipe II, dengan peningkatan dalam aktivitas surfaktan.
Proses penyembuhan ini adalah kompleks. Sebuah proses kronis sering terjadi kemudian pada bayi yang
6

sangat immatur dan sakit berat dan pada bayi lahir dari ibu dengan korioamnionitis, sehingga
menyebabkan BPD. Pada bayi yang sangat prematur, penghentian dalam pengembangan paru-
paru sering terjadi selama tahap sakular, mengakibatkan penyakit paru-paru kronis yang disebut BPD .

2.5 DIAGNOSIS
Anamnesis
- Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM.
- Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin).
- Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin.
Pemeriksaan Fisik
- Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
- Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
Takipnea ( > 60x/menit)
Grunting atau napas merintih
Retraksi dinding dada
Kadang dijumpai sianosis (pada udara kamar)
- Bunyi nafas mungkin normal atau berkurang dengan kualitas tubular yang keras dan, pada inspirasi
dalam, ronki halus dapat didengar, terutama pada bagian posterior basal paru-paru
- Perhatikan tanda prematuritas
- Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru
- Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama.
- Kematian jarang pada hari pertama penyakit, biasanya terjadi antara hari ke 2 dan 7, dan
berhubungan dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks),
perdarahan paru, atau perdarahan intraventikular (IVH). Kematian mungkin tertunda
beberapa minggu atau bulan jika BPD berkembang pada bayi dengan PMH yang parah
yang dipasang ventilasi mekanik.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Analisis gas darah (AGD):
Dilakukan untuk untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandaidengan: PaCO2 >
50 mmHg, PaO2 < 60mmHg, atau saturasi oksigen arterial <90%. Dilakukan pada
7

BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20 menit.darah arterial lebih
dianjurkan.
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari arteri umbilikalis
atau pungsi arteri.
Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosi respiratorik dan
keadaan hipoksia.
Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau over
distensisaluran napas bawah.
Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan
hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme anaerobic. Hipoksi terjadi akibat pirau
dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
Pulse oxymeter, digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau saturasi
oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.
b. Elektrolit:
Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolic
untuk hiperkapnea kronik.
Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahantubuh;
hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan kontraksiotot.
c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia kronik.
2. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH, menunjukkan gambaran
retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance yang difus bilateral
disertai dengan gambaran bronkogram udara (air bronchogram) dan paru tidak berkembang.
8


Stadium temuan pada pemeriksan radiologik toraks
Stadium Gambaran radiologi
I Ringan Kadang normal atau gambaran retikulogranuler, homogen, tidak ada air
bronchogram
II Ringan-Sedang Seperti tersebut di atas ditambah gambaran air bronchogram
III Sedang-Berat Seperti di atas ditambah batas paru-jantung menjadi tidak jelas
IV Berat white lung (paru putih menyeluruh)

2.6 DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia neonatal
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan
HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan
HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy
coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.
Transient Tachypnea of The Newborn
Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.





9

Gambar Rontgen TTN

Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas retikulogranular
bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap
minimal 3 4 hari.
Sindroma aspirasi mekonium
Gambar Rontgen MAS (Meconuim Aspiration Syndrome)

Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal.
Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi.

2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi akut dari penyakit membran hialin termasuk sebagai berikut:
Ruptur alveolar
Infeksi
10

Perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular
P atent ductus arteriosus (PDA) dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
Perdarahan paru-paru
Necrotizing enterocolitis (NEC) dan / atau perforasi gastrointestinal (GI)
Apnea pada bayi premature
Komplikasi kronis penyakit membran hialin meliputi:
Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
Retinopati pada bayi prematur (RBP)
Gangguan neurologis
Ruptur alveolar
Diduga terjadi kebocoran udara (misalnya, pneumomediastinum, pneumopericardium,
emfisema interstisial, pneumotoraks) ketika bayi dengan penyakit membrane hialin tiba-tiba
memburuk dengan hipotensi, apnea, atau bradikardia atau ketika asidosis metabolik
menjadi persisten.
Infeksi
Infeksi dapat mempersulit penatalaksanaan penyakit membrane hialin dan
dapat bermanifestasi dalam berbagai cara, termasuk kegagalan untuk memperbaiki, pemburukan
secara tiba-tiba, atau perubahan jumlah sel darah putih atau trombositopenia. Juga, prosedur invasif
(misalnya, venipuncture, insersi kateter, penggunaan peralatan pernapasan) dan penggunaan steroid
pasca kelahiran memberi akses untuk organisme menyerang hos dengan kekebalan tubuh yang sudah
terkompromi. Dengan munculnya terapi surfaktan, bayi kecil dan sakit dapat bertahan, dengan
peningkatan insiden terjadi septikemia sekunder bagistaphylococcal epidermidis dan / atau
infeksi candida. Ketika septikemia dicurigai, dapatkan kultur darah dari 2 lokasi dan mulailah pemberian
antibiotik yang tepat sampai hasil kultur diperoleh.
Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular
Perdarahan intraventricular diamati pada 20-40% bayi prematur, dengan frekuensi yang
lebih besar pada bayi dengan penyakit membrane hialin yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasonografi
kranial dilakukan pada minggu pertama dan selanjutnya seperti yang diindikasikan pada
neonatus prematur yang lebih muda dari usia kehamilan 32 minggu. Profilaksis terapi
indometasin dan steroid antenatal telah menurunkan frekuensi perdarahan intrakranial pada
11

pasien dengan PMH. Hypokarbia dan korioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan
leukomalacia periventrikular.
Patent ductus arteriosus dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
Pirau ini dapat mempersulit perjalanan penyakit membrane hialin, terutama pada bayi
yang disapih cepat setelah terapi surfaktan. Bayi diduga mempunyai patent ductus
arteriosus (PDA) pada setiap bayi yang mengalami perburukan setelah perbaikan awal atau
mempunyai sekret trakeal yang berdarah. Meskipun membantu dalam diagnosis PDA, murmur
jantung dan tekanan nadi yang lebar tidak selalu jelas pada bayi yang kritis. Ekokardiogram memungkinkan
dokter untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tatalaksana PDA dengan ibuprofen atau indometasin,
yang dapat diulang selama 2 minggu pertama jika PDA membuka kembali. Dalam insiden penyakit membrane
hialin yang refrakter atau pada bayi yang memiliki kontraindikasi terapi medis, dilakukan operasi
penutupan PDA.
Perdarahan paru
Kejadian perdarahan paru meningkat pada bayi prematur kecil, terutama setelah terapi
surfaktan. Tingkatkan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) pada ventilator dan berikan
epinefrin intratrakeal untuk mengelola perdarahan paru. Pada beberapa pasien, perdarahan paru
mungkin terkait dengan PDA; perdarahan paru pada individu tersebut harus segera terobati.
Necrotizing enterocolitis dan / atau perforasi GI
Pada setiap bayi dengan temuan abdominal abnormal pada pemeriksaan fisik dicurigai
menderita NEC dan / atau perforasi gastrointestinal. Radiografi perut membantu dalam
mengkonfirmasikan adanya penyakit tersebut. Perforasi spontan (tidak harus sebagai bagian dari
NEC) kadang terjadi pada bayi prematur yang sakit kritis dan telah dikaitkan dengan penggunaan steroid dan
/ atau indometasin.
Apnea prematuritas
Apnea prematuritas adalah umum pada bayi yang belum matur, dan insiden telah meningkat dengan
terapi surfaktan, mungkin karena ekstubasi dini. Tatalaksana apnea prematuritas dengan metilxantin
(kafein) dan / atau tekanan aliran udara yang positif melalui nasal (CPAP) atau dengan ventilasi yang
dibantu pada insiden yang refrakter. Septikemia, kejang, refluks gastroesophageal, dan penyebab
metabolik dan lainnya harus disingkirkan pada bayi prematur dengan apnea.


12

Bronkopulmonary displasia
BPD adalah penyakit paru-paru kronis yang didefinisikan sebagai kebutuhan oksigen
pada usia kehamilan 36 minggu yang sudah dikoreksi. BPD terkait langsung dengan volume tinggi dan / atau
tekanan yang digunakan untuk ventilasi mekanis atau untuk mengelola infeksi, peradangan, dan kekurangan
vitamin A. Insiden BPD meningkat pada usia kehamilan yang semakin rendah. Penggunaan terapi
surfaktan postnatal, ventilasi yang tidak berlebihan,vitamin A, steroid dosis rendah, dan inhalasi oksida
nitrat dapat mengurangi keparahan BPD.
Retinopati pada bayi prematur (RBP)
Bayi dengan penyakit membran hialin yang memiliki nilai tekanan parsial oksigen
(PaO2) lebih dari 100 mmHg mempunyai resiko tinggi untuk menderita RBP. Oleh karena itu, harus dipantau
ketat PaO2 dan dijaga agar nilai PaO2 tetap pada 50-70mm Hg. Meskipun oksimetri nadi
digunakan pada semua bayi prematur, ia tidak membantu dalam mencegah RBP.
Gangguan neurologis
Gangguan neurologis terjadi pada sekitar 10-70% dari bayi dan berhubungan dengan usia
kehamilan bayi, tingkat dan jenis patologi intrakranial, dan apa adanya hipoksia dan infeksi.
Cacat pendengaran dan penglihatan dapat menganggu perkembangan pada bayi yang menderita
penyakit tersebut. Pasien dapat mengembangkan ketidakmampuan belajar yang spesifik dan
perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu, bayi ini harus ditindaklanjuti secara berkala untuk
mendeteksi bayi yang mempunyai gangguan neurologis, dan dapat dilakukan intervensi yang tepat.

2.8 TATA LAKSANA
1. Pencegahan
Kortikosteroid antenatal.
National Institutes of Health Consensus Development Conference pada tahun 1994 tentang
efek kortikosteroid untuk pematangan janin padahasil perinatal menyimpulkan bahwa
kortikosteroid antenatal mengurangi risiko kematian, PMH, dan intraventricular
hemorrhage (IVH). Penggunaan betametason antenatal untuk meningkatkan kematangan
paru janin sekarang telah dilaksanakan dan umumnya dianggap sebagai standar
perawatan. Regimen glukokortikoid yang direkomendasikan terdiri dari pemberian dua
dosis betametason 12 mg yang diberikan intramuskuler 24 jam secara terpisah kepada
13

ibu. Deksametason tidak lagi dianjurkan karena peningkatan risiko leukomalacia
periventrikular kistik pada bayi yang sangat prematur yang mengalami efek obat sebelum lahir.
Beberapa tindakan pencegahan dapat meningkatkan kelangsungan hidup bayi beresiko
untuk PMH dan termasuk ultrasonografi antenatal untuk penilaian lebih akurat usia
kehamilan dan kesejahteraan janin, pemantauan janin secara berterusan
untuk mendokumen kesejahteraan janin selama persalinan atau tanda-tanda perlunya
intervensi saat gawat janin ditemukan, agen tokolitik yang mencegah dan mengobati
persalinan prematur, dan penilaian kematangan paru janin sebelum persalinan (rasio
lesitin- sphingomyelin [LS] dan phosphatidylglycerol) untuk mencegah prematuritas iatrogenik.
2. Terapi Pengganti Surfaktan
Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai standar perawatan
pada pengobatan bayi diintubasi dengan PMH. Sejak akhir 1980-an, lebih dari 30
percobaan klinis telah dilakukan secara acak yang melibatkan > 6000 bayi telah
dilakukan. Tinjauan sistematis terhadap uji coba ini menunjukkan surfaktan ini, apakah digunakan
secara profilaksis dalam ruang persalinan untuk mencegah PMH atau dalam pengobatan
penyakit yang telah terjadi, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam risiko
pneumotoraks dan risiko kematian. Manfaat ini diamati baik di uji coba surfaktan ekstrak
alami atau surfaktan sintetik. Surfaktan pengganti, meskipun terbukti segera efektif dalam
mengurangi keparahan PMH, tidak bukti jelas ia dapat menurunkan kebutuhan oksigen
jangka panjang atau perkembangan perubahan kronis paru-paru. Saat ini, penelitian tindak lanjut
jangka panjang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pasien yang diobati
surfaktan dan kelompok kontrol yang tidak diobati sehubungan dengan PDA, IVH, RBP, NEC,
dan BPD. Ada bukti menunjukkan bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan
ventilator total telah berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia
kehamilan, walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat rendah. Sebuah
kejatuhan dramatis pada kematian akibat PMH dimulai pada tahun 1991. Ini mungkin
mencerminkan pengenalan terapi surfaktan penggantidi negara-negara tentang. Dalam
tindak lanjut studi jangka panjang, tidak ada efek samping disebabkan terapi surfaktan
telah diidentifikasi.
3. Dukungan Pernapasan
14

a. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi dengan
PMH yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan asidosis respiratorik
yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai dengan kadar 30-60 napas/menit dan rasio
inspirasi-ekspirasi 1:2. Sebuah PIP awal 18-30 cm H2O digunakan, tergantung pada ukuran bayi
dan keparahan penyakit. Sebuah PEEP dengan 4-5 cm H2O menunjukkan hasil oksigenasi yang
meningkat, mungkin karena membantu dalam pemeliharaan dari FRC yang efektif. Tekanan
terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen inspirasi diselenggarakan
dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada jaringan parenkim. Ventilator
dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya pernafasan dapat mengurangi
barotrauma. Penggunaan awal HFOV telah menjadi semakin populer dan merupakan
modus ventilator yang sering digunakan untuk bayi berat badan lahir rendah.
b. CPAP dan nasal synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV).
Nasal CPAP (NCPAP) atau nasopharyngeal CPAP (NPCPAP) dapat digunakan dini untuk
menunda atau mencegah kebutuhan untuk intubasi endotrakeal. Untuk meminimalkan cedera paru-
paru berhubungan dengan intubasi dan ventilasi mekanis, telah ada minat baru
dalam menggunakan CPAP sebagai strategi pengobatan awal untuk mengobati PMH
bahkan pada bayi berat badan lahir sangat rendah. Di beberapa pusat, praktik ini
telah telah digunakan dengan sukses dan menghasilkan penurunan insiden BPD. Selain itu,
pengobatan dini dengan surfaktan, yang dikelola selama periode singkat intubasi
diikuti oleh ekstubasi dan penerapan NCPAP semakin sedang digunakan di Eropa.
Pendekatan ini telah digunakan pada bayi prematur usia kehamilan <30 minggu
kehamilan dan secara signifikan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik
selanjutnya. NCPAP dan NPCPAP dapat digunakan pada ekstubasi dan dapat mengurangi
kemungkinan diintubasi lagi.
4. Dukungan cairan dan nutrisi
Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan dukungan gizi dengan
nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang. Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan
telah dipahami dengan baik, dan persiapan nutrisi yang tersediamencerminkan pemahaman ini.
5. Terapi antibiotik
Antibiotik yang mencakup infeksi neonatal yang paling sering biasanya dimulai secara
awal. Dosis interval aminoglikosida ditingkatkan untuk bayi prematur.
15

6. Sedasi
Sedasi umumnya digunakan untuk mengontrol ventilasi pada bayi yang sakit.
Fenobarbital sering digunakan untuk menurunkan tingkat aktivitas bayi. Morfin, fentanil,
atau lorazepamdapat digunakan untuk analgesik serta obat penenang. Kelumpuhan otot
dengan pankuronium untuk bayi dengan PMH tetap menjadi kontroversial. Sedasi
mungkin diindikasikan untuk bayi yang "melawan" ventilator dan menghembuskan napas selama
inspirasi siklus ventilasi mekanis. Pola pernapasan dapat meningkat kemungkinan karena
komplikasi seperti kebocoran udara dan seharus dihindari. Sedasi bayi dengan fluktuasi
kecepatan aliran darah otak secara teoritis menurunkn resiko IVH.


16

2.9 PROGNOSIS
Steroid antenatal, penggunaan surfaktan postnatal, peningkatan modus ventilasi, dan
perawatan sesuai perkembangan penyakit telah menurunkan mortalitas dari PMH. Hasil yang
optimal tergantung pada ketersediaan personil yang berpengalaman dan terampil, unit rumah
sakit daerah khusus dirancang dan diselenggarakan, peralatan yang tepat, dan kurangnya
komplikasi seperti asfiksia berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi
surfaktan telah mengurangi angka kematian dari PMH sekitar 40%. Prognosis untuk bertahan hidup
dengan atau tanpa gejala sisa neurologis pernapasan sangat tergantung pada berat badan lahir dan
usia kehamilan. Kematian meningkat umumnya berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan
besarnya bayi. Prognosis jauh lebih baik bagi mereka dengan berat lebih dari 1.500 gram. Bayi
dengan PMH, 80 sampai 90% bertahan hidup, dan sebagian besar pasien memiliki paru-paru normal pada
usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin
memerlukan konsentrasi oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan
perjalanan penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernafasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun sebagian bayi fungsi
paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami laju aliran ekspirasi yang berkurang
dan di masa kanak-kanak akhir sering memiliki bronkospasme yang diinduksi aktifitas atau
metakolin. Bayi prematur dengan gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki
gangguan perkembangan dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan neonatal.


17

BAB III
KESIMPULAN

Penyebab paling umum dari gangguan pernapasan pada bayi prematur adalah penyakit membran hialin.
Insiden meningkat dari 30% bayi lahir di 30-31 minggu usia kehamilan kepada lebih dari 50% dari bayi yang lahir
pada 26-28 minggu kehamilan. Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan. Surfaktan
menurunkan tegangan permukaan di alveolus selama ekspirasi dan mempertahankan kapasitas
residual fungsional. Tidak adanya surfaktan menyebabkan komplians paru-paru yang rendah dan
atelektasis. Bayi dengan penyakit membran hialin menunjukkan semua tanda-tanda klinis
gangguan pernapasan seperti takipnea, sianosis, dan ekspirasi yang disertai rintihan. Pada
auskultasi, didapatkan gerakan udara berkurang meskipun usaha napas bayi kuat. Foto rontgen
dada menunjukkan atelektasis difus bilateral, menyebabkan gambaran ground-glass. Saluran
udara utama yang yang ditandai oleh kantung udara atelektatik, menghasilkan air bronchogram.
Pada anak yang tidak diintubasi, pengkubahan dari diafragma dan hipoekspansi terjadi. Oksigen
tambahan, penggunaan CPAP hidung, intubasi dini untuk administrasi surfaktan dan ventilasi,
dan penempatan selang arteri umbilikalis dan vena adalah intervensi awal yang diperlukan. Sebuah
ventilator yang dapat memberikan bantuan napas yang disinkronkan dengan upaya pernapasan bayi harus
digunakan. Terapi pengganti surfaktan, digunakan baik di ruang bersalin sebagai profilaksis maupun pada
bayi yang sudah dengan penyakit membran hialin, menurunkan tingkat kematian.

18

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Bhakta KY. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenweld EC,Stark AR,
editors. Manual of Neonatal Care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h.
323-30.
Dudell GG, Stoll BJ. Respiratory Distress Syndrome (Hyaline Membrane Disease). Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE,Jenson HB, Stanton BF, editors. NelsonTextbook of Pediatrics.Edisi
ke 18. Philadelphia: Saunders; 2007.
Hansen TH. Hyaline Membrane Disease. Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM,Hostetter, MK,
Lister G, Siegel NJ. Rudolph's Pediatrics, Edisi ke-21. New York:McGraw-Hill Companies;
2003.
Hermansen, Christian L., Kevin N. Lorah. 2007. Respiratory Distress in The Newborn. Am Fam
Physician 2007;76:987-94
Kosim MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,Dewi Rizalya, dkk. Buku
Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2008. h. 126-45.
Mohamed FB. Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Dalam:Gomella
TL,Eyal FG, Zenk KE, editors. Neonatology: Management, Procedures, On-Call Problems,
Diseases, and Drugs.Edisi ke-5. New York: The McGraw-Hill Companies; 2004.
Nur A, Etika R, Damanik SM dkk. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory
Distress Syndrome. Available from: www.pediatrik.com/buletin/06224113905-76sial.doc.
Pudjiadi, Antonius H, dkk (editor). 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. IDAI.
Thilo EH. The Newborn Infant. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR,
editors. Current Pediatric Diagnosis & Treatment,Edisi ke-18.Colorado: The McGraw-Hill
Companies; 2007.

You might also like