You are on page 1of 11

PATOFISIOLOGI STROKE

Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease / CVD) atau stroke adalah setiap kelainan
otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak.
Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah, perubahan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri.
Perubahan dinding pembuluh darah serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena
kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti peradangan
arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul secara
klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow /CBF) turun sampai ke tingkat melampaui
batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of brain
functional activity).. Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke.
Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik ataupun perdarahan.
Patogenesis infark otak
Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Terdapat perbedaan etiologi keduanya. Pada
iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi (syok ireversible
karena henti jantung, perdarahan sistemik yang masif, fibrilasi atrial berat dll). Sedangkan
iskemik fokal terjadi akibat menurunnya tekanan perfusi otak karena ada sumbatan atau
pecahnya salah satu pembuluh darah otak yang berakibat lumen pembuluh darah yang terkena
akan tertutup sebagian atau seluruhnya.Tertutupnya lumen pembuluh darah oleh karena iskemik
fokal, disebabkan antara lain :
Perubahan patologi pada dinding arteri pembuluh darah otak meniimbulkan trombusis.
Adanya trombusis ini, diawali oleh proses arteriosklerosis di tempat tersebut. Pada
arteriole dapat terjadi vaskulitis atau lipohialinosis yang akan menyebabkan stroke
iskemik berupa infark lakunar.
Perubahan akibat proses hemodinamik dimana tekanan perfusi sangat menurun karena
sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri seperti sumbatan arteri karotis atau
vertebro-basilar.
Perubahan yang terjadi akibat dari perubahan sifat sel darah, misalnya: anemia sickle-
cell, leukemia akut, polisitemia, hemoglobinopati dan makroglobulinemia.
Tersumbatnya pembuluh akibat emboli daerah proksimal misalnya: trombosis arteri
arteri, emboli jantung, dan lain-lain.
Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka terjadi serangkaian
proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di tingkat seluler, berupa perubahan
fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan pada fungsi utama serta integritas fisik dari
susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron.
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler, karena peningkatan
pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat neurotransmiter (glutamat) serta metabolisme
sel-sel yang iskemik, disertai kerusakan sawar darah otak. Seluruh proses ini merupakan
perubahan yang terjadi pada stroke iskemik.
Perubahan fisiologi pada aliran darah otak
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain, akan menyebabkan
iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah sekitarnya disertai mekanisme
kompensasi fokal berupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini:
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dikompensasi
dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis gejala yang timbul
adalah transient ischemic attack (TI A) yang timbul dapat berupa hemiparesis sepintas
atau amnesia umum sepintas, yaitu selama <24 jam.
2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional lebih
besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan fungsi
neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu. Mungkin pada
pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut RIND
(Reversible Ischemic Neurologic Deficit).
3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga mekanisme
kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam keadaan ini timbul defisit
neurologis yang berlanjut.
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat perbedaan tingkat
iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat karena CBF-nya
paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh darah tanpa adanya aliran
darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi dengan PO
2
yang rendah. Daerah ini akan
mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih lebih tinggi
daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak sampai mati, fungsi sel
terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada daerah ini PO
2
rendah, PCO
2
tinggi dan
asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat,
edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna
pucat. Astrup menyebutnya sebagai ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin
diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema. Pembuluh darah
mengalami dilatasi maksimal, PCO
2
dan PO
2
tinggi dan kolateral maksimal. Pada daerah
ini CBF sangat meninggi sehingga disebut sebagai daerah dengan perfusi berlebihan
(luxury perfusion).
Konsep penumbra iskemia merupakan sandaran dasar pada pengobatan stroke, karena
merupakan manifestasi terdapatnya struktur selular neuron yang masih hidup dan mungkin masih
reversible apabila dilakukan pengobatan yang cepat.
Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus tepat waktunya
supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat, sehingga neuron penumbra tidak
mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic window) yaitu jendela
waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan melakukan tindakan resusitasi
sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu diingat di daerah penumbra ini sel-sel neuron
masih hidup akan tetapi metabolisme oksidatif sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat
minimal mengalami proses depolarisasi neuronal.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah iskemia, sehingga respons
arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen atau karbondioksida menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah, berkurangnya aliran darah
seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi hemisfer yang berlawanan (diaskisis) dalam
tingkat yang lebih ringan. Disamping itu, di daerah cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral
hemisfer mengalami proses diaskisis yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga
pada sisi kontralateral hemisfer serebral (remote area)


Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut diaskisis (Meyer et
al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak, dimana seluruh aliran darah otak
berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer terutama lebih besar pada sisi yang tersumbat
(ipsilateral dari sumbatan).
Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus pembuluh darah di oatak)
mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh
darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh mekanisme neurotransmiter dopamin atau serotonin
yang mengalami perubahan keseimbangan mendadak sejak saat stroke.
Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu) tergantung luasnya infark.
Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global dan pengaturan neurotransmiter.
Perubahan-perubahan ini tampak secara eksperimental maupun dengan pemeriksaan PET scan,
akan tetapi tidak ada manifestasi klinik sebagai akibat dari diasksis maupun iskemia pada daerah
hemisfer kontralateral.
Perubahan pada tingkat seluler / mikro-sirkulasi
Perubahan yang kompleks terjadi pada tingkat seluler/mikro-sirkulasi yang saling berkaitan.
Secara eksperimental perubahan ini telah banyak diketahui, akan tetapi pada keadaan sebenarnya
pada manusia (in vivo) ketetapan ekstrapolasi sulit dipastikan.
Astrup dkk (1981) menunjukkan bahwa pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur otak
pada daerah penumbra terletak antara batas kegagalan elektrik otak (electrical failure) dengan
batas bawah kegagalan ionik (ion-pump failure). Selanjutnya dikatakan bahwa aliran darah otak
di bawah 17 cc/ 100 g otak / menit, menyebabkan aktifitas otak listrik berhenti walaupun
kegiatan pompa ion masih berlangsung.
Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron penumbra masih hidup jika CBF berkurang
di bawah 20 cc/ 100 gram otak/ menit dan kematian neuron akan terjadi apabila CBF di bawah
10 cc/ 100 gram otak/ menit.


CBF 50 fungsi normal
40

30 gangguan fungsi
Time mal EEG
-EEG silence
-Evoked Potensials



Membran dan kerusakan K
+ +
reflux irreversible

Time Na
+
influx
Ca
2+
influx
Hachinsky (1989)

Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi kembali sebelum
jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat. Sedangkan sebagian lesi tetap
akan mengalami kematian setelah beberapa jam atau hari setelah iskemik otak temporer.
Dengan kata lain, di daerah ischemic core kematian sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis
akibat kegagalan energi (energy failure) yang secara dahsyat merusak dinding sel beserta isinya
sehingga mengalami lisis (sitolisis). Sementara pada daerah penumbra jika terjadi iskemia
berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya sehingga akan terjadi
kematian sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis, yaitu disintegrasi elemen-
elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel yang disebut juga programmed cell
death.
Kumpulan sel-sel ini disebut sebagai selectively vulnerable neuron, seperti pertama kali
dilaporkan Kirino (1982) & Pulsmelli (1982), dan diuraikan oleh Kogure & Kato (1992) pada
percobaan dengan binatang. Pada neuron-neuron tersebut terdapat hirarki sensitifitas terhadap
iskemia diawali pada daerah hipokampus CA1 dan sebagian kolikulus inferior, kemudian jika
iskemia lebih dari 5 menit (10-15 menit) akan diikuti oleh lapis 3 dan 5 neokortex striatum
septum, hipokampus sektor CA 3, thalamus, korpus genikulatum medial, dan substania nigra.
Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di daerah sistem limbik
dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap iskemia. Keadaan ini penting dalam
hubungannya dengan stroke yang disertai dengan demensia. Hal yang juga menarik adalah
bahwa sel-sel yang sensitif terhadap iskemia terutama merupakan bagian dari serabut yang terisi
glutamat. Iskemia menyebabkan aktifitas intra seluler Ca
2+
meningkat hingga peningkatan ini
akan menyebabkan juga aktifitas Ca
2+
di celah sinaps bertambah sehingga terjadi sekresi
neutransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat, aspartat dan kainat yang bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992), membuktikan bahwa, akibat
lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat yang dikeluarkan oleh sel, menyebabkan juga
aktifitas reseptor neurotropik yang merangsang pembukaan kanal Ca
2+
yang tidak tergantung
pada kondisi tegangan potensial membran seluler (receptor-operated gate opening), disamping
terbukanya kanal Ca
2+
akibat aktivitas NMDA reseptor voltage operated gate opening yang
telah terjadi sebelumnya.
Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca
2+
ion ekstraseluler ke dalam ruang
intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan membrane sel
dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya proses fosforilase dari regulator sekunder
sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis yang akan menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel dapat langsung terjadi
pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total dari sel karena berhentinya aliran darah.
Disamping itu,desintegrasi sitoplasma dan disrupsi membran sel juga menghasilkan ion-ion
radikal bebas yang dapat lebih memperburuk keadaan lingkungan seluler.
Edema serebral dan infark otak
Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat kegagalan energi dari sel-sel
otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na
+
, K
+
) dan perubahan permeabilitas membran serta
gradasi osmotik. Akibatnya terjadinya pembengkakan sel (cytotoxic edema). Keadaan ini terjadi
pada iskemia berat dan akut seperti hipoksia dan henti jantung. Selain itu edema serebri dapat
juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan permeabilitas kapiler rusak,
sehingga cairan dan protein bertambah mudah memasuki ruangan ekstraseluler sehingga
menyebabkan edema vasogenik (vasogenic edema). (Klatzao 1967, diulas Bougainas dkk 1995).
Efek edema jelas menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan memperburuk
iskemia otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan akibat herniasi otak.






Dampak lain stroke iskemik akut
1. Bocornya radikal bebas.
Jenis radikal bebas ini dalam tubuh kita terdiri atas :
Radikal bebas oksigen
Radikal bebas oksida nitrit
Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit
sebagai bagian produk dari metabolisme oksidatif terutama dalam mitokondria.Pada keadaan
iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting karena merupakan bagian dari
patofisiologi iskemia fokal maupun global. Superoksida, radikal bebas oksigen telah ditemukan
pada iskemia terutama pada periode referfusi jaringan, yang berasal dari proses alamiah maupun
sebagai tindakan pengobatan. Radikal bebas oksigen dihasilkan dari proses lipolisis kaskade
arakhidonat dalam sel-sel di daerah penumbra. Sumber lain dari superoksida ialah aktivitas
enzimatik (monoaminoksidase) dalam otooksidase dari biologiamin (efinefrin, serotonin dan
sebagainya).
Pada iskemia fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktifitasnya karena:
1) Timbulnya edema otak vasogenik/seluler, telah diketahui bahwa endothelium
memproduksi aksida nitrit (NO) dan pada keadaan patologi menghasilkan radikal bebas
yang akan memperburuk timbulnya edema.
2) Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium akibat kerusakan
membrane sel yang berkaitan dengan pompa ion. Gangguan ini mempercepat masuknya
kalsium dan natrium ke dalam sel.
3) Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik neurotransmitter glutamat.
Meningkatnya aktifitas superoksida mempercepat dan memperbesar pengeluaran
neurotransmitter eksitatorik glutamat dan aspartat. Usaha pengobatan dilakukan untuk
menghambat akibat dari ekses superoksida dengan pemberian anti oksidan seperti
glutation,vitamin E, dan L arginin. Meskipun secara eksperimental telah dibuktikan
manfaat dari antioksidan dalam memperkecil daerah iskemik, tetapi dalam praktek
sehari-hari evaluasi hasil terapi anti oksidan pada penderita stroke masih terus diteliti.
2.Eksitatorik neurotransmitter
Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi iskemik. Dalam keadaan
normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam terminal saraf dan di dalam proses
transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Glutamat diekspresikan di dalam ruangan ekstra
seluler dengan cepat akan di ambil kembali (reuptake) ke dalam oleh sel.
Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa ekses dari glutamat
ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel neuron yang berisi glutamat juga
mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi kebocoran glutamat akibat kerusakan dinding sel
(sitolisis) dan nekrosis, serta apoptosis yang menimbulkan masuknya ion kalsium ke dalam sel.
Penumpukan neurotransmiter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses
eksitotoksisitas glutamat.
Seluruh keadaan ini mempengaruhi sel-sel neuron SSP yang berbeda sensitifitasnya. Sebetulnya
yang terkena secara mudah adalah neuron hipokampus CA 3 sel-sel piramida. Selanjutnya akibat
dari eksitotoksisitas terhadap neuron adalah timbilnya edema selular, degenerasi organel
intraseluler serta degenerasi piknotik inti sel yang diikuti kematian sel. Usaha terapi pengobatan
akibat stroke adalah menghambat stimulasi glutamate terhadap reseptor NMDA (N-Metil D
Aspartate), AMPA (d amino 3-hidroksi-5-metil-4-isokasolopropionik acid) dan kainat yang
berperan penting dalam pengaturan masuknya ion kalsium. Obat-obat tersebut mempunyai
peranan untuk mencegah proses disintegrasi sel-sel.
Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti pada penderita stroke
misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini belum meyakinkan.
Reperfusi
Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark otak, pengalaman klinis
serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pada infark otak, pulihnya aliran
darah otak ke taraf normal tidak selalu memberikan manfaat yang diharapkan, yaitu hilangnya
gejala klinis secara total. Selain faktor lamanya iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus
diperhitungkan dalam proses pengobatan infark otak.
Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada penutupan
/penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi kompleks di tingkat
mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme kapiler/arteriol, penggumpalan sel-
sel darah merah, asidosis jaringan, aliran kalsium masuk ke dalam sel, dan dilepaskannya radikal
bebas. Perubahan ini dapat demikian hebat sehingga disebut sebagai reperfusion injury yang
berakibat munculnya gejala neurologik yang relatif menetap.
Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan iskemia otak, yaitu:
a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh melebarnya
pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada +20 menit pertama setelah
penyumbatan pembuluh darah otak terutama pada iskemia global otak.
b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya. Keadaan ini
ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan), naiknya produksi tromboksan
A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini yang akhirnya menghasilkan nekrosis dan
kerusakan sel yang diikuti oleh munculnya gejala neurologik.
Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak tidak sesederhana yang
dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang memang hasil akhirnya adalah
kematian sel.

Jadi, pada infark otak terjadi proses sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan hanya terhentinya
aliran darah otak. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir mengenai perubahan
patologik mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan lanjutan pengobatan.
Patofisiologi Emboli Kardiak
Penelitian stroke yang berdasarkan populasi (population-based study) belum ada di Indonesia.
Penelitian stroke di negara negara ASEAN, yaitu ASNA Stroke Epidemiological Study 1996,
yang merupakan penelitian prospektif berbasis rumah sakit menunjukkan bahwa pada 3.723
kasus yang diteliti, pemeriksaan CT scan dilakukan pada 2.801 kasus (74%), stroke iskemik
ditemukan pada 51% kasus, sedangkan perdarahan 26%, sisanya 8% didapat gambaran CT Scan
normal
Dari seluruh penderita yang diteliti, faktor risiko untuk stroke terbanyak adalah hipertensi pada
71%, riwayat stroke terdahulu/TIA. pada 25% kasus, merokok 19%, dan diabetes mellitus pada
22% kasus. Sedangkan penyakit jantung sebagai risiko adalah atrial fibrilasi pada 6% kasus;
penyakit jantung iskemik 19% kasus; penyakit jantung katup mitral 3%, katup aorta 0,6%
keduanya (mitral aorta) pada 0,2%, sedang penyakit jantung kongestif terjadi pada 4% kasus.
Secara keseluruhan total kelainan jantung yang ditemukan pada penelitian ASNA ini adalah
32,8% atau hampir sepertiga dari total penelitian.
Angka angka Indonesia merupakan bagian dari penelitian ASNA, penyakit jantung
keseluruhan ditemukan pada 550 kasus dari total 2.065 pasien yang diteliti (27,5%). Temuan dari
20% penyakit jantung iskemik, didapat 4,5% penyakit katup jantung dan 4% penyakit jantung
kongestif. Stroke iskemik ditemukan pada 42,5% kasus berdasarkan pemeriksaan CT scan otak.
Untuk menentukan secara pasti apakah suatu stroke iskemik disebabkan akibat emboli kardiak
diperlukan pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, yaitu memastikan ada sumber emboli di
jantung dan emboli tersebut menjalar ke otak secara sistemik.
Caplan (1993) meneliti susunan dari trombus yang terdapat pada otopsi jantung penderita stroke.
Ditemukan bahwa susunannya bervariasi, terdiri dari red-fibrin dependent thrombi, white platelet
fibrin particles, combined red and white plateled-fibrin particles, combined red and white
thrombi, fragmen dari non-infected valve vegetation, elemen kalsifikasi dari calcified valves serta
kalsifikasi annulus mitral, material fibromyzoma dari degenerasi mitral dengan prolaps dan sel-
sel tumor dari tumor kardiak seperti myzoma.
Penyebab stroke embolik terbanyak adalah fibrilasi atrial. Yang dapat disebabkan oleh penyakit
reumatik. Mural trombus pada dinding jantung kiri sering ditemukan pada otopsi penderita MCI
(20 60%) dengan 3 10% diantaranya terjadi emboli sistemik (Castillo dan
Bougousslausky,1997).
Protesis mekanik katup jantung merupakan penyebab tersering dari stroke embolik pasca
operatif. Sedangkan prolaps mitrai jarang menyebabkan stroke emboli serebral, tetapi
frekuensinya masih belum jelas (kontroversial) terutama pada katup yang redunden dan menebal.
Pada endokarditis bakterial, 3% terjadi emboli serebral disebabkan karena lepasnya elemen
vegetasi septic katup jantung (Castillo dan Bougousslausky,1997).
Penyebab lain dari emboli serebral adalah adanya trombosis arteri ke arteri, yaitu terjadi
pelepasan elemen embolik dari pembuluh-pembuluh ekstra/intra kranial aterosklerotik yang
lepas ke distal menutupi pembuluh distal yang lebih kecil. Lepasnya elemen yang berbentuk
mural thrombus dari dinding pembuluh darah arterio-sklerotik di arteri karotis interna, bifurkasio
karotis dan percabangan-percabangan arteri intrakranial.
Ulcerated plaque arteriosclerotic merupakan sumber emboli dan isinya juga bervariasi, yaitu red
fibrin-dependent thrombi, white plateled-fibrin particles, kombinasi trombus merah dan putih,
debris kristal kolesterol, plak atheroma, partikel kalsifikasi dari dinding arteri yang terkalsifikasi,
dan zat-zat lain sperti lemak, udara dan tumor. Selama itu yang dapat menjadi sumber emboli
adalah arkus aorta, yaitu atheroma yang menonjol dan bergerak (mobile) karena aliran darah
yang cepat. Frekuensinya mulai sering ditemukan dan frekuensi ini meningkat dengan usia dan
beratnya jantung (heart-weight).
Patogenesis Perdarahan Otak
Pendarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20 30
% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian
stroke oleh Misbach,1997 menunjukkan stroke perdarahan 26 %, terdiri dari lobus 10 %,
ganglionik 9 %, serebellar 1 %, batang otak 2 % dan perdarahan sub arakhnoid 4 %.
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebab, perdarahan
intraserebral dibagi atas perdarahan intra serebral primer dan sekunder.
Perdarahan intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif) disebabkan oleh
hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh
darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali
vaskuler kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non hipertensif (amiloid serebral),
vaskulitis, moya-moya, post stroke iskemik, obat anti koagulan (fibrinolitik atau
simpatomimetik). Diperkirakan hampir 50 % penyebab perdarahan intraserebral adalah
hipertensif kronik, 25 % karena anomali kongenital dan sisanya penyebab lain (Kaufman,1991).
Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau pada massa
otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang
subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh
kerusakan dindingnya (arteriosklerosis), atau karena kelainan kongenital misalnya malformasi
arteri-vena, infeksi (sifilis), dan trauma.
Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm)
akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, pons dan
batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan oleh sebab lain misalnya
tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak yang pecah, atau penyakit pada
dinding pembuluh darah otak primer misalnya Congophilic angiopathy, tetapi dapat juga akibat
hipertensi maligna dengan frekuensi lebih kecil dari pada perdarahan subkortikal.
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis,
nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-cabang
lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus (thalamo perforate arteries) dan cabang-cabang
paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan degeneratif yang sama.
Kenaikan tekanan darah yang mendadak (abrupt) atau kenaikan dalam jumlah yang sangat
mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari
(early afternoon). (Batytr, 1992 dikutip Falker & Kaufman,1997).
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam
(Broderick et al,1990) dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan
menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk dan
menyela di antara selaput akson massa putih dissecan spilitting tanpa merusaknya. Pada
keadaan ini absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang
lebih berat dapat menyebabkan hermiasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang
otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak
terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan pons. Selain kerusakan
parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian
tekanan intrakranial yang menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya
drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan
perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan
lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc
maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar.
Sedangkan bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 60 cc diperkirakan
kemungkinan kematian sebesar 75 %, tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah
berakibat fatal (Fayad dan Awad, 1998).
Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan
nekrosis. Akhir-akhir ini para ahli bedah otak di Jepang berpendapat bahwa pada fase awal
perdarahan otak ekstravasasi tidak langsung menyebabkan nekrosis. Pada saat-saat pertama,
mungkin darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena saat itu difusi
darah ke jaringan belum terjadi. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan tindakan pembedahan
untuk mengeluarkan darah agar dapat dicegah gejala sisa yang lebih parah. Absorpsi darah
terjadi dalam waktu 3-4 minggu. Gejala klinik perdarahan di korteks mirip dengan gejala infark
otak, tetapi mungkin lebih gawat apabila perdarahan sangat luas.


Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid (SAH) relatif kecil jumlahnya (< 0,01 % dari populasi di USA)
sedangkan di ASEAN 4 % (hospital based) dan di Indonesia 4,2 % (hospital based, Misbach
1996). Meskipun demikian angka mortalitas dan disabilitas sangat tinggi, yaitu hingga 80 %
(USA).
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler pada 80 % kasus non
traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat (acquired)
akibat proses hemodinamika pada bifurkasio pembuluh arteri otak. Terutama di daerah sirkulus
Willisi (Meir B. 1987 ; Ratcheson and Wirth, 1994. Lokasi aneurisma intraserebral tersering
adalah: di a.komunikans anterior (30%), di pertemuan antara a.komunikans posterior dengan
a.karotis interna (25%), di bifurkasio dari a.karotis interna dan a.serebri media (20-25%).
Anerisma ini adalah multipel pada sekitar 25% dari pasien. Sekitar 3% aneurisma berhubungan
dengan adanya polikistik ginjal.
Penyebab lain adalah aneurisma fusiforra/aterosklerosis pembuluh arteri basilaris, aneurisme
mikotik dan traumatik selain AVM. Perdarahan ini dapat juga disebabkan oleh trauma (tanpa
aneurisma), arteritis, neoplasma dan penggunaan kokain / amfetamin berlebihan, hipertensi,
perokok dan peminum alkohol.
Gejala yang karakteristik dari perdarahan subarakhnoid ini, adalah tiba-tiba sakit kepala hebat
dan muntah muntah yang biasanya digambarkan sebagai sakit kepala terburuk yang pernah saya
alami sepanjang hidup saya. Dengan atau tanpa defisit neurologi dan sering disertai dengan
perubahan mental status. Perdarahan subarakhnoid aneurisma, kadang ditandai dengan sakit
kepala sedang berat bila disebabkan oleh sentinel bleed . Perburukan klinis dapat disebabkan
karena perdarahan ulang akibat dari tidak terdiagnosa dini dan terlambat diterapi.
Dari CT Scan non kontras, terlihat gambaran adanya darah di cistern, fisura Sylvii atau sulci
yang meliputi konveksitas. Terkadang terlihat juga darah di intraparenkimal. Bila secara klinis
kuat duagaan kearah perdarahan subarakhnoid tetapi pada CT Scan tidak terlihat adanya darah,
maka pemeriksaan selanjutnya adalah melakukan Lumbal Punksi.
Darah yang masuk ke ruang subarakhnoid dapat menyebabkan komplikasi hidrosefalus karena
gangguan absorpsi cairan otak di granulation Pacchioni. Komplikasi lain yang bisa terjadi
adalah intraparenchymal extention yang menyebabkan edema otak, seizure, vasospasme.
Perdarahan subarakhnoid sering bersifat residif selama 24-72 jam pertama, dan dapat
menimbulkan vasospasme serebral hebat disertai infark otak.
Pasien dengan perdarahan subarakhnoid dapat diklasifikasi dengan skala klinis I-IV berdasarkan
tingkat kesadaran dan gejala fokal defisit neurologi yang berguna untuk menentukan
prognosisnya.
Skala klinis tersebut adalah :
Grade I Sadar, tanpa gejala atau dengan sakit kepala ringan dan/atau ada
kaku kuduk
Grade II Sadar, dengan sakit kepala sedang sampai berat dan ada kaku
Kuduk

Grade III Mengantuk atau Bingung, dengan atau tanpa defisit fokal neurologi
Grade IV Stupor dengan hemiparesis sedang sampai berat dan ada tanda
dari peningkatan tekanan intra kranial
Grade V Koma dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial berat
Klasifikasi dengan skala klinis ini menunjukkan bahwa bila pasien berada di Grade I atau II,
maka pasien mempunyai prognosis baik dan dapat segera dilakukan angiografi serta tindakan
intervensi sesuai dengan indikasinya. Bila pasien berada di grade IV dan V, maka pasien
mempunyai prognosis buruk dan memerlukan terapi medikamentosa dulu sampai kondisi stabil
dan baik, baru direncanakan dilakukan angiografi untuk menentukan tindakan terapi lanjutan
sesuai kebutuhan pasien

You might also like