You are on page 1of 51

i

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI






















Oleh :
Siti Nur Azizah
B1J011086



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

2014
ii

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI









Oleh :
Siti Nur Azizah
B1J011086






Laporan ini Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Ujian Akhir
Praktikum Mata Kuliah Parasitologi di Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto




Disetujui dan Disahkan
Purwokerto, April 2014
Asisten,
Rizka Yunida
B1J011018




iii

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga laporan praktikum Parasitologi terselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya. Laporan ini merupakan salah satu syarat
untuk mengikuti ujian akhir praktikum mata kuliah Parasitologi di Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen pengajar mata kuliah Parasitologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Sordirman
2. Seluruh asisten praktikum Parasitologi yang telah memberi bimbingan dan
pengarahan selama praktikum maupun dalam penyusunan laporan ini.
3. Semua pihak yang telah membantu pelaksanaan praktikum dan penyusunan
laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Purwokerto, April 2014
Penulis


iv

DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ................................................................................................................... i
PENGESAHAN ....................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................iv
I. Pemeriksaan Ektoparasit pada Ikan
II. Pemeriksaan Parasit pada Hospes Intermedier
III. Diagnosis Laboratorium Beberapa Penyakit Parasiter













v

PEMERIKSAAN EKTOPARASIT PADA IKAN


















Oleh :
Nama : Siti Nur Azizah
NIM : B1J011086
Kelompok : 2
Rombongan : II
Asisten : Rizka Yunida






KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

vi

2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Parasit adalah organisme yang hidup pada tubuh organisme lain dan umumnya
menimbulkan efek negatif pada organisme yang ditempatinya. Salah satu organisme yang
sering terserang parasit adalah ikan. Infeksi parasit dapat menyebabkan penyakit pada
tubuh maupun organ dalam ikan. Selain itu, dapat berpengaruh terhadap kesehatan
manusia apabila mengkonsumsi ikan yang mengandung parasit zoonotik. Berbagai jenis
atau spesies ikan dapat ditempati oleh parasit baik endoparasit maupun ektoparasit (Akbar,
2011).
Parasit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan terhadap ikan dapat disebabkan
oleh organisme lain, pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang kehidupan
ikan. Dengan demikian timbulnya seranganpenyakit ikan di kolam merupakan hasil interaksi
yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit. Interaksi yang
tidak serasi ini telah menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri
yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit (Sachlan,
1972).
Penyakit ikan berdasarkan faktor penyebabnya dibedakan menjadi dua yaitu
penyakit non infeksi dan infeksi. Salah satu penyebab penyakit ikan yang cukup berbahaya
adalah aktivitas organisme parasit. Parasit adalah organisme yang hidup di luar dan di
dalam tubuh ikan yang mendapatkan perlindungan dan memperoleh makanan dari
inangnya untuk keberlangsungan hidupnya (Afriyanto, 1992).
Parasit dibagi menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. endoparasit
merupakan parasit yang terdapat pada bagian dalam tubuh ikan seperti hati, limpa, dalam
sistem pencernaan, sirkulasi darah serta jaringan tubuh lainnya (Afriyanto, 1992),
sedangkan ektoparasit merupakan parasit yang hidup pada bagian permukaan tubuh
hospes atau inangnya dan mendapatkan makanan dari tubuh hospes. Beragam jenis parasit
yang menyerang hewan ikan dapat dibedakan menjadi Protozoa, Helminth, dan Crustacea
parasit ikan. Cacing parasitik yang biasanya menempel dan menjadi parasit pada insang
atau di permukaan tubuh ikan adalah cacing monogenea. Monogenea merupakan cacing
pipih yang tidak memiliki segmen tubuh dengan organ perlekatan berbentuk sucker (batil
isap) atau cakram perlekatan. Tidak semua spesies dari subkelas Monogenea berperan
vii

sebagai ektoparasit ikan, akan tetapi hanya sebagian kecil yang hidup sebagai endoparasit.
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), Monogenea parasit ikan yang terpenting secara
ekonomis di perairan tawar antara lain adalah famili Dactylogyridae dan Gyrodactylidae.
Protozoa parasit yang sering menyebabkan penyakit pada ikan antara lain Tricodina sp.,
Oodinium sp., Myxobolus sp., Hexamita sp., Heneguya sp., Voticella sp., dan Epistylis sp.
Selain cacing dan protozoa juga terdapat crustacea yang menyerang ikan yaitu Lernaea
cyprinacea.
viii

B. Tujuan
Praktikum Pemeriksaan Ektoparasit Pada Ikan ini bertujuan untuk :
1. Mengenal, mengetahui, dan memahami morfologi parasit ikan (protozoa, trematoda
monogenea, dan crustacea)
2. Mengetahui jenis parasit ikan yang berada di bagian sirip, mata, mulut, insang, dan
operkulum.







9

II. MATERI DAN CARA KERJA
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gunting, mikroskop cahaya,
baki, pinset, object glass, cawan petri, baskom, label, pipet tetes, tissue, masker, sarung
tangan, dan pensil.
Bahan-bahan yang digunakan adalah air, Ikan Gurame (Osphronemus gouramy),
Ikan Nilem (Osteochilus hasselti), Ikan Tawes (Puntius javanicus), Ikan Mujair
(Oreochromis mossambicus) dan Ikan Mas (Cyprinus carpio)


B. Cara Kerja
1. Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan terlebih dahulu.
2. Ikan yang telah disipakan diambil sebanyak empat macam dan dimasukkan ke
dalam baki praktikum dan sebelumnya telah dimatikan otaknya agar tidak sulit
untuk mengambil sampel bagian tubuh ikan.
3. Bagian sirip ikan digunting secukupnya untuk masing masing jenis ikan.
4. Sirip yang digunakan yaitu sirip dada, sirip punggung, sirip ekor, sirip perut, dan
sirip anal.
5. Setelah didapatkan potongan berbagai sirip dari masing masing ikan diletakkan
pada object glass.
6. Kemudian ditetesi sedikit air dengan menggunakan pipet tetes.
7. Diamati di bawah mikroskop cahaya dan dilakukan pengamatan terhadap
ektoparasit yang menempel pada sirip ikan kemudian dicatat.
8. Setelah bagian sirip telah selesai dilakukan lalu masing masing ikan diambil
secukupnya bagian insangnya dengan menggunakan gunting.
9. Potongan insang yang telah diambil diletakkan pada object glass dan ditetesi sedikit
air kemudian diamati dengan mikroskop cahaya.
10. Perlakuan yang sama dilakukan pada bagian yang lain dari masing masing jenis
ikan yaitu bagian operculum lalu diamati dan dihitung jumlah parasit yang terdapat
pada ikan tersebut.
10

11. Parasit yang telah ditemukan diidentifikasi nama species dan termasuk ke dalam
kelompok protozoa, helminth atau crustacean.
11

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
I. Tabel Pengamatan Ektoparasit pada Ikan
Spesies
Bagian yang diamati
Sirip
Dada
Sirip
Pungg
ung
Sirip
Ekor
Sirip
Perut
Sirip
Anal
Insang
Operc
ulum
Mul
ut
Ma
ta
Sisik
Ikan Emas
- -
Ichthy
opthiri
us
multifi
liis
- -
Ichthy
opthiri
us
multifi
liis
Ichthy
opthiri
us
multifi
liis
- - -
Ikan Nilem Ichthy
opthiri
us
multifi
liis
- -
Ichthy
opthiri
us
multifi
liis
Ichthyo
pthirius
multifili
is
- - - -
Ikan
Mujair
Tricodi
na sp.
- - - - - - - - -
Ikan
Gurame
- - - - - - - - - -
Ikan
Tawes
- - - - - - - - -

II. Gambar Pengamatan Ektoparasit pada Ikan

Gambar 1. Ichthyopthirius multifiliis pada
Sirip Perut Ikan Nilem

Gambar 2. Ichthyopthirius multifiliis pada
Sisik Ikan Mas

12


Gambar 3. Ichthyopthirius multifiliis pada
Sirip Anal Ikan Nilem

Gambar 4. Ichthyopthirius multifiliis pada
Sirip Dada Ikan Nilem

Gambar 5. Tricodina sp. pada sirip dada
Ikan Mujair

Gambar 6. Ichthyopthirius multifiliis pada
Operculum Ikan Mas

Gambar 7. Ichthyopthirius multifiliis pada
Insang Ikan Mas

Gambar 8. Ichthyopthirius multifiliis pada
Sirip Ekor Ikan Mas

Gambar 9. Tricodina sp. pada Insang Ikan

13

Mujair

14

B. Pembahasan
Praktikum pemeriksaan ektoparasit ikan ini, ikan yang digunakan kelompok kami
sebagai sampel untuk mengidentifikasi ada tidaknya parasit pada ikan yakni Ikan Tawes,
Ikan Gurame, Ikan Nilem, Ikan Mujair dan Ikan Mas. Berdasarkan pengamatan, didapatkan
hasil bahwa, ditemukan 2 jenis parasit ikan, yakni Trichodina sp., dan Ichthyophthirius
multifilis. Parasit yang menyerang ikan Mas adalah Ichthyophthirius multifilis terdapat pada
insang, operculum dan sirip ekor, Trichodina terdapat pada insang dan sirip dada Ikan
Mujair, sedangkan parasit yang menyerang ikan nilem adalah Ichthyophthirius multifilis
terdapat pada sirip ekor, dan sirip dada. Ikan Gurame dan Ikan Tawes tidak ditemukan
parasit. Kedua spesies tersebut dideskripsikan sebagai berikut :
a. Trichodina sp.
Trichodina sp., termasuk dalam jenis parasit Ciliata, yaitu parasit yang bergerak
dengan menggunakan bulu-bulu getar (cilia) dan memiliki susunan taksonomi sebagai
berikut:
Filum : Protozoa
Sub filum : Ciliophora
Kelas : Ciliata
Ordo : Peritrichida
Sub ordo : Mobilina
Famili : Trichodinidae
Genus : Trichodina
Spesies : Trichodina sp.

Gambar 2. Trichodina sp.
Menurut Afrianto dan Liviawati (1992) mengemukakan bahwa Protozoa yang
menyerang ikan mas dan nila adalah Trichodina sp., Penyakitnya disebut Trichodiniasis.
Trichodiniasis merupakan penyakit parasit pada larva dan ikan kecil yang disebabkan oleh
ektoparasit Trichodina sp. Beberapa penelitian membuktikan bahwa ektoparasit Trichodina
15

sp. mempunyai peranan yang sangat penting terhadap penurunan daya kebal tubuh ikan
dan terjadinya infeksi sekunder.
Trichodina sp. merupakan ektoparasit yang menyerang atau menginfeksi kulit dan
insang, biasanya menginfeksi semua jenis ikan air tawar. Populasi Trichodina sp. di air
meningkat pada saat peralihan musim, dari musim panas ke musim dingin. Berkembang
biak dengan cara pembelahan yang berlangsung di tubuh inang, mudah berenang secara
bebas, dapat melepaskan diri dari inang dan mampu hidup lebih dari dua hari tanpa inang.
Parasit jenis ini memiliki dua bagian yaitu anterior dan posterior yang berbentuk cekung
dan berfungsi sebagai alat penempel pada inang. Parasit ini juga memiliki dua inti, yaitu inti
besar dan inti kecil, inti kecil yang dimiliki berbentuk bundar menyerupai vakuola dan inti
besar berbentuk tepal kuda (Brown, 1969).
Parasit ini tidak dapat hidup jika di luar inang. Penempelan Trichodina sp. pada
tubuh ikan sebenarnya hanya sebagai tempat pelekatan (substrat), sementara parasit ini
mengambil partikel organik dan bakteri yang menempel di kulit ikan. Tetapi karena
pelekatan yang kuat dan terdapatnya kait pada cakram, mengakibatkan seringkali timbul
gatal-gatal pada ikan sehingga ikan akan menggosok-gosokkan badan ke dasar kolam atau
pinggir kolam, sehingga dapat menyebabkan luka.
Ikan yang terserang parasit Trichodina sp. akan menjadi lemah dengan warna tubuh
yang kusam dan pucat (tidak cerah), Produksi lendir yang berlebihan dan nafsu makan ikan
turun sehingga ikan menjadi kurus. Beberapa penelitian membuktikan bahwa ektoparasit
Trichodina sp. mempunyai peranan yang sangat penting terhadap penurunan daya tahan
tubuh ikan dengan rendahnya sistem kekebalan tubuh maka akan terjadinya infeksi
sekunder. Kematian umumnya terjadi karena ikan memproduksi lendir secara berlebihan
dan akhirnya kelelahan atau bisa juga terjadi akibat terganggunya sistem pertukaran
oksigen, karena dinding lamela insang dipenuhi oleh lendir. Penularan penyakit ini bisa
melalui air atau kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi dan penularannya akan
didukung oleh rendahnya kualitas air pada wadah tempat ikan dipelihara (Susanto, 1987).
Menurut Laporan Pemantauan HPIK Stasiun Karantina Ikan Kelas II Luwuk Banggai
(2007) Perlakuan yang diberikan untuk ikan yang terinfeksi Trichodiniasis adalah dengan
perendaman dengan garam atau asam asetat untuk ikan air tawar sedangkan ikan air laut
dengan perendaman air tawar, dapat juga menggunakan formalin dengan kosentrsi
tertentu.


16

b. Ichthyophthirius multifiliis


Gambar 11. Ichthyophthirius multifiliis
Parasit ini juga ditemukan pada lendir ikan lele yang diamati, sama seperti
Trichodina sp., lchthyophthirius multifiliis juga merupakan jenis parasit ciliata.
lchthyophthirius multifiliis menyebabkan penyakit bintik putih atau white sp.ot disease atau
Ich. Adapun susunan taksonomi dari lchthyophthirius multifiliis adalah sebagai berikut :
Filum : Protozoa
Sub filum : Ciliophora
Kelas : Ciliata
Sub kelas : Holotrichia
Ordo : Hymenostomatida
Famili : Ophryoglenia
Genus : Ichthyophthirius
Sp.esies : lchthyophthirius multifiliis
lchthyophthirius multifiliis, parasit ini tidak memiliki inang spesifik dan merupakan
ektoparasit yang paling berbahaya diantara ektoparasit ikan air tawar. Kecuali pada bagian
anterior yang berbentuk cincin (cystome), hampir di seluruh permukaan tubuh
Ichthyophthirius multifiliis tertutup oleh cilia yang berfungsi untuk pergerakannya, bagian
sitoplasmanya terdapat makronukleus yang berbentuk seperti tapal kuda, mikronukleus
(inti yang kecil) yang menempel pada makronukleus dan sejumlah vakuola kontraktil.
Parasit ini terlihat seperti bintik-bintik putih pada kulit atau sisik ikan (inangnya).
Hal ini terlihat jelas dari pengamatan terhadap ikan lele, karena warna dasar dari ikan lele
yang gelap dan bintik-bintik putih yang menempel pada tubuhnya menandakan adanya
Ich yang menempel. Parasit ini dapat menginfeksi kulit, insang dan mata pada berbagai
jenis ikan baik ikan air tawar selain ikan lele, ikan air payau dan laut serta dapat
menyebabkan kerusakan kulit. Penetrasi parasit ke dalam jaringan kulit ikan menyebabkan
perubahan pada jaringan integument, yaitu terbentuknya rongga di sekitar parasit,
epithelial sel rusak, pembuluh darah di daerah infeksi pecah, dan jaringan akan diselimuti
17

oleh sel darah. Parasit akan tumbuh dan menyebabkan bengkaknya permukaan kulit ikan.
Perkembangan selanjutnya rongga parasit akan pecah, dan epithelium rusak meninggalkan
luka menganga sehingga lapisan dermis terekspose pada perairan. Keadaan seperti ini ikan
akan mengalami ketidakseimbangan osmoregulasi. Seperti pada permukaan tubuh,
epithelium insang juga merupakan organ target dari parasit ini. Adapun keberadaan Ich
pada organ dalam ikan, maka akan lebih berbahaya karena Ichthyophthirius multifiliis,
selain merusak jaringan epithelium, membuat permukaan insang tidak berfungsi. Hal ini
karena lamela dipenuhi oleh lendir, dan dinding lamela yang berfungsi sebagai alat
pertukaran ion. Akhirnya ekskresi dan osmoregulasi terganggu. Keadaan demikian biasanya
kematian ikan akan tinggi, karena ikan mengalami gangguan penyerapan oksigen (Fujaya,
1999).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain dan
mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak.
Berdasarkan habitatnya, parasit dalam tubuh ikan dibagi menjadi dua yaitu ektoparasit
(parasit yang menyerang bagian luar tubuh ikan, misalnya pada insang, sirip dan kulit), dan
endoparasit (parasit yang menyerang bagian dalam tubuh ikan, misalnya usus, ginjal dan
hati) (Ulkhak et al., 2012). Adapun jenis parasit ikan lain yang biasanya menyerang ikan
namun tidak ditemukan pada saat praktikum, antara lain sebagai berikut :
a. Gyrodactylus sp.

Gambar 12. Gyrodactylus sp.
Gyrodactylus sp. sering ditemukan sebagai kutu parasit dicampur bersama dengan
protozoa parasit seperti Trichodina sp. yang juga berkontribusi terhadap iritasi dan
kerusakan. Mekanisme penyerangan parasit baik Dactylogylus sp. maupun Gyrodactylus sp.
menurut (Sachlan, 1952) yaitu dimulai dengan cacing dewasa yang menempel pada insang
atau bagian tubuh lainnya. Setelah matang gonad, telurnya akan jatuh ke perairan. Dalam
23 hari dengan suhu 2428
o
C, telur yang jatuh akan menjadi larva infektif kemudian
membentuk dua tonjolan di bagian anterior. Pecahnya telur tersebut terjadi akibat adanya
18

tekanan dari dalam dorongan perkembangan larva. Kemudian larva akan keluar dan
berenang bebas mencari inang untuk tumbuh menjadi dewasa. Apabila pada suhu 20
o
C
28
o
C larva parasit tidak bisa menemukan inangnya, ia tetap bisa bertahan sampai 12 jam
sampai pada akhirnya pada suhu 23
o
C telur akan menetas dalam 2,5 4 hari. Pada suhu 13

o
C 14
o
C larva akan menjadi dewasa dalam 4,5 minggu.

b. Dactylogyrus sp.
Parasit ini ditemukan pada insang ikan Mujaer dan ikan Mas. Hal ini sesuai
pendapat Sarig (1971) bahwa Dactylogyrus sp. sering menyerang pada bagian insang ikan
air tawar, payau dan laut serta menambahkan bahwa gejala infeksi Dactylogyrus sp. pada
ikan antara lain: pernafasan ikan meningkat, produksi lendir berlebih. Sedangkan grabda
(1991), mengemukakan bahwa Dactylogyrus sp. menginfeksi insang semua jenis ikan air
tawar, terutama ukuran benih.


Gambar 13. Dactylogyrus sp..
Secara taksonomi, klasifikasi dari parasit Dactylogyrus sp. ini adalah sebagai berikut:
Filum : Vermes
Sub Filum : Platyhelmintes
Kelas : Trematoda
Ordo : Monogenea
Family : Dactylogyridae
Sub-family : Dactylogyrinae
Genus : Dactylogyrus sp.
Parasit Dactylogyrus sp. mempunyai siklus hidup langsung yang melibatkan satu
inang. Parasit ini merupakan ektoparasit pada insang ikan. Telur-telur yang dilepaskan akan
menjadi larva cilia yang dinamakan penetasan oncomiracidium. Oncomiracidium
mempunyai haptor dan dapat menyerang sampai menyentuh inang. Sebagian besar parasit
19

monogenea seperti Dactylogyrus sp. bersifat ovivarus (bertelur) dimana telur yang menetas
menjadi larfa dan berenang bebas yang dinamakan oncomiracidium. Insang yang terserang
berubah warnanya menjadi pucat dan keputih-putihan. Penyerangan dimulai dengan cacing
dewasa menempel pada insang atau bagian tubuh lainnya (Sachlan, 2002).
Beberapa gejala klinis akibat infeksi parasit yang dapat digunakan sebagai presumtif
enderu antara lain ikan tampak lemah, tidak nafsu makan, pertumbuhan lambat, tingkah
laku dan berenang tidak normal disertai produksi enderu yang berlebihan. Ikan sering
terlihat mengumpul di sekitar air masuk, karena pada daerah ini kualitas air terutama kadar
oksigen lebih tinggi. Sering mengapung dipermukaan air, insang tampak pucat dan
membengkak, sehingga operculum terbuka. Kerusakan pada insang menyebabkan sulit
bernafas, sehingga tampak megap-megap seperti gejala kekurangan oksigen. Insang ikan
rusak, dan luka (Brown, 1969).
c. Argulus sp.
Argulus sp. merupakan ektoparasit ikan yang menyebabkan argulosis dengan
klasifikasi antara lain sebagai berikut :
Fhylum : Arthropoda,
Klas : Crustacea
Subkelas : Entomostsaca,
Ordo : Copepoda
Subordo : Branchiora
Famili : Argulidae
Genus : Argulus
Sp.esies : Argulus sp.

Gambar 14. Argulus sp.
Akibat yang ditimbulkan oleh infeksi Argulus sp. pada ikan adalah beberapa sisik
tubuh terlepas, terdapat titik-titik merah pada kulit, insang berwarna kehitam-hitaman dan
timbulnya lendir (mukus) yang berlebih pada sirip. Parasit ini masuk ke dalam tempat
20

pemeliharaan biasanya melalui pergesekan antar kulit ikan yang terinfeksi Argulus sp.. Sifat
parasitik Argulus sp. cenderung temporer yaitu mencari inangnya secara acak dan dapat
berpindah dengan bebas pada tubuh ikan lain atau bahkan meninggalkannya. Hal ini dapat
dilakukan karena Argulus sp. mampu bertahan hidup selama beberapa hari di luar tubuh
ikan (Fujaya, 1999).
Parasit pada ikan dapat langsung mempengaruhi host pada tingkat individu dan
populasi dengan mengurangi pertumbuhan dan reproduksi atau tidak langsung yaitu
dengan mengubah perilaku (Grutter, 2011). Menurut Sachlan (1952), Dactylogylus sp.
tersebut merupakan parasit yang sering menyerang ikan air laut maupun air tawar
terutama ikan Mujaer. Gyrodactylus sp. ini sering ditemukan menginfeksi ikan-ikan air
tawar seperti Ikan Mas (Cyprinus carpio), Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata) dan Ikan Nila
(Oreochromis sp.). Dactylogylus ini banyak ditemukan di insang sedangkan Gyrodactylus sp.
lebih banyak ditemukan di sekitar kulit dan sirip ikan, meskipun kadang-kadang juga
ditemukan di insang (secara umum Dactylogyrus sp. lebih menyukai insang). Kedua jenis
parasit ini merupakan jenis parasit yang bersifat ektoparasit (menyerang di bagian luar
tubuh ikan).
Gyrodactylus sp. dan Dactylogylus sp. ini dapat menyerang ikan secara eksternal
karena kedua parasit ini tersusp.ensi di air sehingga bagian-bagian awal yang terkena
parasit ini adalah organ luar salah satunya insang. Insang ikan sangat mudah terkena
penyakit parasit karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa insang ini terdiri dari
bagian yang berjajar dan panjang yang memilki selaput yang tipis. Hal ini menyebabkan
insang sangat mudah terkena penyakit apalagi insang ini berfungsi sebagai jalur
penyaringan air yang keluar masuk ke dalam tubuh ikan.
Cacing parasitik yang termasuk ke dalam kelas Trematoda sub kelas Monogenea
dan sub kelas Digenea, merupakan jenis cacing parasitik yang sering menyerang ikan-ikan
air tawar pada semua fase pertumbuhan mulai dari fase benih sampai dengan fase dewasa.
Infeksi parasit ini dapat menyebabkan luka pada tubuh yang dapat memicu terjadinya
infeksi sekunder oleh bakteri ataupun virus. Infeksi sekunder inilah yang dapat
menyebabkan kematian pada ikan. Pintu masuk penyakit pada ikan bisa melalui oral,
inhalasi, serta kulit atau luka dan sebagian besar cacing parasitik masuk melalui insang ikan.
Penyakit yang disebabkan oleh cacing parasitik yang menyerang insang sangat sulit untuk
dideteksi secara dini. Ciri ikan yang terserang parasit diantaranya tutup insang akan
mengembang sehingga sulit untuk ditutup dengan sempurna dan lembaran-lembaran
insang akan terlihat lebih pucat apabila lokasi infeksinya meluas. Jika pada insang terlihat
21

adanya bintik putih, kemungkinan besar disebabkan oleh adanya cacing parasitik yang
menempel pada insang (Dogiel et al., 1961).
Monogenea merupakan parasit obligat yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan
melangsungkan hidupnya tanpa inang. Waktu hidup monogenea tanpa inang relatif lebih
pendek dibandingkan dengan yang masih menempel pada inang. Hal ini diakibatkan
monogenea yang telah dilepaskan dari inang tidak mendapatkan pasokan makanan dari
inang, baik yang berasal dari sel epitel, lendir maupun darah, (Cheng, 1973). Ketiadaan
pasokan makanan ini mengakibatkan monogenea tidak mempunyai energi untuk
mempertahankan hidupnya, termasuk untuk menyesuaikan tekanan osmotiknya sebagai
upaya adaptasi terhadap salinitas. Monogenea yang masih menempel pada inang,
mempunyai ketahanan yang lebih lama daripada tanpa inang. Monogenea yang masih
menempel pada inang mendapat pasokan makanan sebagai sumber energi yang berfungsi
untuk mempertahankan ketahanan tubuhnya dan untuk menyesuaikan tekanan osmotik
cairan tubuhnya terhadap salinitas. Namun, apabila terjadi perubahan lingkungan diluar
kisaran toleransinya, monogenea tidak dapat bertahan sehingga prevalensi dan intesitas
terus menurun.
Dactylogyrus sp. sering menyerang ikan di kolam yang kepadatannya tinggi dan
ikan-ikan yang kurang makan lebih sering terserang parasit ini dibanding yang kecukupan
pakan. Parasit cacing ini termasuk parasit yang perlu diperhatikan, karena secara nyata
dapat merusak filament insang, dan relatif lebih sulit dikendalikan dan penyakit ini sangat
berbahaya karena biasanya menyerang ikan bersamaan dengan parasit lain. Infeksi
Gyrodactylus sp. memiliki gejala yang hampir sama dengan infeksi oleh Dactylogyrus sp
karena keduanya merupakan parasit yang menyerang insang ikan (Hariyadi, 2006).
Gyrodactylus sp. menyerang bagian tubuh ikan hingga menghentikan laju pertumbuhan,
sedangkan Dactylogyrus sp. menyerang bagian insang yang menyebabkan sistem respiratori
ikan terganggu (Dasgupta, 2011).
Menurut Lom (1995), Trichodina merupakan ektokomensal yaitu menggunakan
inang sebagai daerah untuk mencari makanannya (partikel air, bakteri dan detritus). Infeksi
organisme ini dapat menyebabkan iritasi yang disebabkan oleh penempelan cawan
adhesivenya. Jika permukaan tubuh ikan ditutupi oleh lapisan tebal parasit ini, maka dapat
menimbulkan kerusakan yang serius pada sel epidermal. Dalam kondisi ini, Trichodinid
berlaku seperti ektoparasit sejati yang memakan sel rusak dan bahkan dapat menembus
masuk ke dalam insang dan jaringan kulit.
22

Penyakit ikan biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang
diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang
diberikan, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran ikan
yang tinggi jika faktor lingkungan kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam
dalam air rendah, pakan yang diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya,
penanganan ikan kurang sempurna, maka ikan akan menderita stress. Dalam keadaan
demikian ikan akan mudah terserang oleh penyakit (Snieszko, 1973 ; Sarig, 1971).
Menurut Brown (1969) berdasarkan daerah penyebarannya, penyakit atau parasit
ikan dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1. Penyakit atau parasit pada kulit.
Penyakit atau parasit ini menyerang bagian kulit ikan sehingga dengan mudah
dapat dideteksi. Apabila organisme penyebabnya berukuran cukup besar, maka dengan
mudah dapat langsung diidentifikasi. Akan tetapi bila berukuran kecil harus di identifikasi
dengan mempergunakan sebuah mikroskop atau dengan mengamati akibat yang timbulkan
oleh serangan organisme-organisme tersebut. Biasanya ikan yang terserang akan terlihat
menjadi pucat dan timbul lendir secara berlebihan. Organisme yang menyerang bagian kulit
dapat berasal dari golongan bakteri, virus, jamur atau lainnya. Bila disebabkan oleh jamur,
maka akan terlihat bercak-bercak berwama putih, kelabu atau kehitam-hitaman pada kulit
ikan. Ikan yang mengalami serangan penyakit atau parasit pada kulitnya, biasanya akan
menggosok-gosokkan badannya kebenda-benda disekelilingnya sehingga sering kali
menimbulkan luka baru yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder.
2. Penyakit atau parasit pada insang.
Penyakit atau parasit yang menyerang organ insang agak sulit untuk dideteksi
secara dini karena menyerang bagian dalam ikan. Salah satu cara yang dianggap cukup
efektif untuk mengetahui adanya serangan penyakit atau parasit pada insang adalah
mengamati pola tingkah laku ikan.
Ciri utama ikan yang terserang organ insangnya adalah menjadi sulit untuk
bernafas. Selain itu, tutup insang akan mengembang sehingga sulit untuk ditutup dengan
sempurna. Jika serangannya sudah meluas, lembaran-lembaran insang menjadi semakin
pucat. Sering pula dijumpai adanya bintik-bintik merah pada insang yang menandakan telah
terjadi pendarahan (peradangan). Jika terlihat bintik putih pada insang, kemungkinan besar
di sebabkan oleh serangan parasit kecil yang menempel.
3. Penyakit atau parasit pada organ dalam.
23

Ciri utama ikan yang terkena serangan penyakit atau parasit pada organ (alat-alat)
dalamnya adalah terjadi pembengkakan di bagian perut disertai dengan berdirinya sisik.
Akan tetapi dapat terjadi pula bahwa ikan yang terserang organ dalamnya memiliki perut
yang sangat kurus. Jika pada kotoran ikan sudah dijumpai bercak darah, ini berarti pad usus
terjadi pendarahan (peradangan). Jika serangannya sudah mencapai gelembung renang
biasanya keseimbangan badan ikan menjadi terganggu sehingga gerakan berenangnya
jungkir balik tidak terkontrol.


24

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum pemeriksaan ektoparasit ikan dapat
disimpulkan bahwa:
1. Ektoparasit ikan uji didapatkan dari golongan cacing-cacingan Protozoa (Trichodina sp.
dan lchthyophthirius multifiliis). Parasit Ichthyophthirius multifiliis menyebabkan
penyakit white spot pada tubuh ikan sementara Trichodina sp. dapat menyebabkan
Trichodiniasis dan ikan yang terserang bisa dilihat dengan tanda-tanda terdapat bintik
putih keabuan pada bagian tubuh yang terserang terutama kepala dan punggung,
nafsu makan hilang hingga ikan menjadi kurus.
2. Ektoparasit yang dapat menyerang ikan antara lain berupa Trichodina sp., Dactylogyrus
sp., Gyrodactylus sp., Ichthyophthirius multifiliis, dan Argulus sp.


B. Saran
Sebaiknya Pemeriksaan ektoparasit ikan sebaiknya dilakukan dengan lebih teliti,
Praktikan wajib menggunakan sarung tangan agar ketika membedah tidak terinfeksi oleh
parasit.
25

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan Liviawaty, E. 1992. Pengendalian Hama. & Penyakit Ikan. Penerbit.
Kanisisus, Yogyakarta.
Afrianto, E., dan Liviawaty, E. 2003. Pengendalian Hama. & Penyakit Ikan. Penerbit.
Kanisisus, Yogyakarta.
Akbar, Junius. 2011. Identifikasi Parasit Pada Ikan Betok. Bioscientiae Vol 8(2): 36-45.
(Anabastestudieus) Brown, H. W. 1969. Dasar Parasitoogi Klinis. Gramedia, Jakarta Cheng.
1973. General Parasitology. Orlado. Academic Press. Florida. 965p.
Dasgupta, Somsuvra. 2011. Studies on Parasitic Diseases of Fish in East Kolkata Wetland
and Their Anti-parasitic Treatment which Threat to Environment. Dept. of Zoology,
University of Kalyani. 22nd National Congress of Parasitology.
Dogiel VA, GK Petrushevski dan YI Polyanski. 1961. Parasitology of Fishes. London: Oliver
and Byod Ltd.
Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.A
Grutter, A. S., Crean, A. J., Curtis, L. M., Kuris, A. M., Warner, R. R., and McCormick, M. I.
2011. Indirect Effects Of an Ectoparasite Reduce Successful Establishment Of a
Damselsh at Settlement. Functional Ecology Vol 25:586-594.
Hariyadi, A. 2006. Pemetaan Infestasi Cacing Parasit dan Resiko Zoonosis pada Ikan Laut di
Perairan Indonesia Bagian Selatan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Lom, J. 1995. Trichodinidae and other ciliates (phylum ciliopgora). In fish diseases and
disorders. Volume I. Protozoan and Metazoan Infectons. Edited by P. T. K. Woo,
Department of Zoology, University of Guelph, Canada. Cab Intenational. Canada P:
229-257.
Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi Dan Penyakit Ikan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB, Bogor.
Sachlan, M. 1952. Notes on parasites of freshwater fishes in Indonesia. Contrib. Inl.
Fish.Res. Stat. No. 2. 1 - 60.
Sarig, S. 1971. Diseases of Warmwater Fishes. TFH Publ., Neptune City, New Jersey.
Snieszko, S.F. 1973. The effect of environmental stress on outbreak of infection diseases of
fishes. J. Fish. Biol. (6) : 197-208.
Ulkhaq, Mohammad Faizal, Kismiyati dan Rahayu Kusdarwati. studi identifikasi dan
prevalensi endoparasit pada saluran pencernaan ikan kerapu tikus (cromileptes
altivelis) di keramba jaring apung unit pengelola budidaya laut situbondo, jawa
timur. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 4 (1): 93-101.

26


27

DIAGNOSIS LABORATORIUM BEBERAPA PENYAKIT PARASITER


















Oleh :
Nama : Siti Nur Azizah
NIM : B1J011086
Kelompok : 2
Rombongan : II
Asisten : Rizka Yunida





KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

28

2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama
pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang cukup
besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam
kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan
cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya. Hewan ternak yang paling
banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah sapi (Bos sp.) dan kerbau (Bubalus sp.). Saat ini
pertumbuhan produksi hasil ternak sapi dan kerbau berupa daging selama 20 tahun
terakhir rata - rata 6,70% . Pertumbuhan produksi daging ini masih jauh dari angka harapan
yaitu 7,10%. Penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit saluran pencernaan menjadi
salah satu penyebab rendahnya produksi daging oleh ternak. Berdasarkan survei di
beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% hewan ternak sapI dan
kerbau mengidap penyakit cacingan yaitu cacing hati (Fasciola hepatica), cacing gelang
(Neoascaris vitulorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus). Penyebab cacingan
antara lain konsumsi hijauan yang masih berembun dan tercemar vektor pembawa cacing
(Nofyan et al., 2010).
Salah satu jenis penyakit yang diakibatkan oleh infeksi cacing berasal dari kelompok
Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah.
Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected diseases tersebut merupakan
penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan bahkan sering kurang diawasi dan diteliti
oleh petugas kesehatan (Sudomo, 2008). Infeksi ini juga dapat berakibat menurunnya
kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi
banyak menyebabkan kerugian. Selain itu, dengan kehilangan nutrisi karbohidrat dan
protein serta kehilangan darah yang dikonsumsi oleh cacing pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas sumber daya manusia. Risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan
dimilki oleh kelompok ekonomi lemah karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga
kebersihan dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya (Sumanto, 2010).
Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth dan
seringkali menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp.).
Infeksi cacing tambang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia.
29

Spesies cacing ini yang banyak ditemukan di Indonesia ialah N. americanus. Penularan yang
terjadi dapat melalui hewan vektor (zoonosis) dengan gejala klinis berupa ground itch dan
creeping eruption. Pneumonitis, abdominal discomfort, hipoproteinemia dan anemia
defisiensi besi merupakan manifestasi infeksi antropofilik. Komponen sistim imun yang
berperan utama ialah eosinofil, IgE, IgG4 dan sel Th2 (Manalu, 2006). Diagnosis data
epidemiologi berupa pengamatan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang termasuk
pemeriksaan imunologis (Sumanto, 2010).
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat
sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang
berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi
parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam
keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung
dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa
adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan
kulit maupun imunologis (Kadarsan, 1983).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing
ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa
tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya (Gandahusada.dkk,
2000). Pemeriksaan feces dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Secara
kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung, metode harada mori, dan Metode
kato. Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara
kuantitatif dilakukan dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada
didalam usus.


B. Tujuan
Praktikum Diagnosis Laboratorium Beberapa Penyakit Parasiter ini bertujuan untuk:
1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit melalui pemeriksaan feses
2. Mengetahui teknik pemeriksaan telur pada feses
3. Mengetahui bentuk-bentuk dari cacing parasit (telur, larva, dan dewasa)



30





31

II. MATERI DAN CARA KERJA
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gunting, tabung reaksi,
mikroskop cahaya, baki sebagai tempat kerja praktikum, rak tabung reaksi, object glass,
cover glass, cawan petri, lidi, label, pipet tetes, tissue, masker dan sarung tangan, pensil,
beaker glass, kertas saring, plastik, dan saringan teh.
Bahan-bahan yang digunakan faeces manusia berumur 6 12 tahun, Faeces
Bebek, Faeces Ayam, Faeces Sapi, Faeces Kambing, larutan eosin 2%, larutan NaCl jenuh
dan akuadest.

B. Cara Kerja
Metode Natif :
1. Alat dan bahan yang akan digunakan terlebih dahulu disiapkan.
2. Preparat berupa faeces manusia, bebek, ayam, sapi dan kambing masing
masing diambil hanya sedikit dengan menggunakan lidi dan diulaskan pada
object glass.
3. Kelima object glass tersebut ditetesi dengan larutan eosin 2% secukupnya lalu
ditutup dengan cover glass.
4. Setelah itu, diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran lemah
terlebih dahulu secara satu per satu dan diteliti adanya kandungan telur parasit
pada faeces atau tidak (positif atau negatif).
5. Apabila telah didapatkan hasil lalu dimasukkan ke dalam tabel pengamatan.

Metode Apung :
1. Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan terlebih dahulu.
2. Sebanyak kurang lebih 10 gram faeces manusia atau secukupnya dicampur
dengan larutan NaCl jenuh (33%) ke dalam beaker glass kemudian diaduk hingga
larut.
3. Setelah itu, dilakukan penyaringan dengan menggunakan saringan teh yang
diletakkan di atas beaker glass lainnya.
4. Tuangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh (hingga cembung), yaitu rata
dengan permukaan tabung lalu diamkan 5 10 menit.
32

5. Cover glass diambil dan diletakkan pada bagian atas tabung reaksi dan segera
diangkat.
6. Selanjutnya, cover glass tersebut diletakkan di object glass kemudian diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran lemah terlebih dahulu.
7. Langkahh di atas dilakukan pada keemapt faeces lainnya dengan cara yang sama
dan dicatat hasilnya.

Metode Harada Mori :
1. Sediakan alat dan bahan yang diperlukan dalam praktikum menggunakan
metode Harada Mori.
2. Ambil faeces dari manusia yang cukup banyak dengan lidi lalu dioleskan pada
bagian tengah kertas saring yang tadinya telah dimodifikasi menjadi berbentuk
segi lima dengan ujung bagian bawah meruncing.
3. Kertas saring yag telah dioleskan faeces tersebut dimasukkan ke dalam plastik
yang telah berisi akuadest kurang lebih 5 mL.
4. Kertas tersebut pastikan mengenai pada akuadest sehingga akuadest tersebut
dapat terserap pada kertas dan naik ke permukaan atas.
5. Plastik kemudian diberi nama sesuai dari sumber faeces lalu bagian ujung atas
dilipat dan diklip.
6. Langkah langkah di atas dilakukan pula pada faeces lainnya kemudian
disimpan hingga 7 hari pada suhu kamar.
7. Setelah 7 hari dilakukan pengamatan dengan cara memanaskan pada air yang
mendidih namun masih dalam plastik.
8. Lalu setelah dipastikan larva cacing tambang dalam plastik telah mati dilipat
kembali bagian ujung atas dan dimiringkan sedikit kemudian bagian ujung
samping digunting untuk mendapatkan lubang kecil.
9. Akuadest yang terdapat larva cacing tersebut dimasukkan dalam puvet untuk
selanjutnya disentrifuge.
10. Setelah didapatkan hasil sentrifuge lalu diambil sedikit dengan menggunakan
pipet tetes dan diletakkan pada object glass serta diamati menggunakan
mikroskop cahaya jenis cacingnya.
33

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
I. Tabel Pengamatan Ektoparasit pada Ikan


Gambar 1. Dicrocoelium dendriticum
terdapat dalam Kambing dengan Metode
Apung

Gambar 2. Bunostomum phlebotomum
terdapat dalam Sapi dengan Metode
Apung

Metode
Sample
Feses Manusia Feses Sapi Feses Ayam Feses Kambing
Apung - Bunostomum
phlebotomum
- Dicrocoelium
dendriticum
Natif - - - -
Harada mori - - - -
34

B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dengan menggunakan sampel yang
antara lain feses dari manusia 6 12 tahun, bebek, sapi, kambing, dan ayam sementara
metode yang digunakan ialah Metode Natif, Apung dan Harada Mori, didapatkan hasil
bahwa pada feses sapi ditemukan parasit Bunostomum phlebotomum dan pada feses
kambing ditemukan parasit Dicrocoelium dendriticum menggunakan metode apung ,
sementara pada sampel lainnya diperoleh hasil yang negatif.

Gambar 3. Bunostomum phlebotomum (Wyk et al., 2013)
Dicrocoelium dendriticum merupakan spesies dari genus Dicrocoelium dari sub klas
Digenea, cacing ini berbentuk pipih berukuran kecil atau sedang, biasanya berbentuk
tombak, yang terdapat di dalam pembuluh empedu dan pankreas berbagai vertebrata
(Levine, 2004). Semua cacing daun yang termasuk golongan sub klas Digenea ini berparasit
pada siklus hidupnya. Sebagai induk semang perantara adalah mollusca tetapi kadang juga
pelkecypoda.
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber infeksi, cara
penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini menentukan
penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu. Penyakit yang
disebabkan oleh parasit dapat bersifat menahun disertai dengan sedikit atau tanpa gejala.
(Noble, 1961).
Pemeriksaan feses pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara
kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feses secara kualitatif, yaitu
pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkannya telur pada masing-masing metode
pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya Metode yang digunakan pada pemeriksaan ini ialah
metode Natif (secara sederhana) dan metode Apung. Metode Natif dipergunakan untuk
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi yang berat namun untuk infeksi ringan
sulit ditemukan keberadaan telur telur cacing parasitnya sedangkan pada metode Apung
digunakan untuk pemeriksaan telur-telur parasit bagi infeksi yang ringan mudah dideteksi
namun untuk infeksi berat sulit dideteksi. Berdasarkan banyak tidaknya sampel feses yang
digunakan pada metode natif hanya membutuhkan sedikit feses bahkan hanya diulaskan
35

saja sedangkan pada metode Apung dibutuhkan banyak sampel feses dan waktu perlakuan
sedikit lebih lama yaitu menunggu waktu 5 10 menit (Gandahusada, 2000).
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara pemeriksaan,
menurut Sumarwanta dan Ari (2013) antara lain sebagai berikut :
1. Metode Natif, Pemeriksaan kualitatif terhadap adanya telur cacing dalam feses
dilakukan dengan mengambil feses sebesar separuh butir beras diletakan di atas
dek glas dan ditambahkan satu tetes air kemudian diaduk supaya bercampur.
Setelah bercampur merata ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah
mikroskop). dengan perbesaran 10 kali. Metode ini sangat simple dan cepat serta
bila hasilnya positif sama akuratnya dengan metode sentrifus.
2. Metode Sentrifus. Sampel feses diambil 5 gr ditaruh dalam tabung sentrifus dan
ditambah air sampai tabung dan diaduk. Setelah dibiarkan sekitar 5 menit air
beserta bahan yang terapung dibuang dengan hati-hati, kemudian ditambah air lagi
sampai tabung dan diaduk. Diputar dengan sentrifuse selama 10 menit dengan
kecepatan 5.000 putaran/menit. Cairan yang di atas dibuang dengan hati-hati. Di-
tambahkan larutan NaCl jenuh sampai tabung dan diaduk sampai rata diputar
lagi selama 10 menit. Tabung diambil dan diletakan berdiri pada rak kemudian
ditambahkan lagi sedikit demi sedikit larutan NaCl jenuh sampai permukaan
cembung dan biarkan selama 5 menit. Setelah 5 menit di atas permukaan cembung
ditempelkan gelas obyek, cepat segera di balik cairan yang menempel ditutup
dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10
kali.
Kelebihan metode Natif dapat dilakukan secara cepat dan mampu mendeteksi
infeksi berat namun kelemahannya tidak mampu mendeteksi infeksi ringan. Sementara
metode Apung memiliki kelebihan dalam hal pemeriksaan yang mampu mendeteksi infeksi
ringan namun kelemahannya tidak mampu mendeteksi infeksi berat dan membutuhkan
waktu serta alat yang banyak. Pemeriksaan terhadap larva cacing dapat digunakan metode
Harada Mori. Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis, dan
Trichostrongylus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini menggunakan cara
dengan membiakkan telur cacing menjadi larva infektif pada kertas basah selama kurang
lebih 7 hari kemudian larva ini akan ditemukan di dalam air yang terdapat pada ujung
kantong plastik. Kekurangan metode ini membutuhkan waktu yang lama dan peralatan
yang cukup banyak namun kelebihannya dapat mendeteksi larva infektif yang menyerang
36

hospes tertentu bak hewan maupun manusia. Selain pemeriksaan secara kualitatif juga
dapat dilakukan pemeriksaan feses secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feses yang
didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram feses. Metode yang digunakan dinamakan
Metode Kato. Metode ini memiliki kelebihan untuk pemeriksaan feses dapat secara massal
karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat
diagnosis. Kekurangannya membutuhkan waktu yang lama karena butuk ketelitian dan
kecermatan untuk menghitung semua telur yang terlihat di bawah mikroskop
(Gandahusada, 2000).
Metode pemeriksaan parasit menurut Nofyan et al. (2010), Pemeriksaan kuantitatif
diperlukan untuk menentukan jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing.
Diletakkan karton yang berlubang diatas kaca objek, kemudian feses dimasukkan pada
lubang tersebut, diberi setetes akuades. Lalu karton berlubang tersebut diambil dan feses
ditutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato. Kemudian tinja dir akan
dengan tutup botol karet hingga merata. Periksa tinja dibawah mikroskop dan hitung
jumlah telur yang ada pada sediaan tersebut. Sampel berupa feses sapi dan kerbau di
identikasi untuk mendapatkan jenis telur cacing Kepadatan jumlah telur cacing
Perhitungan kepadatan jumlah telur berdasarkan banyaknya jumlah telur yang ditemukan
pergram sampel.
Berdasarkan keterangan standar infeksi, maka infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi
ringan jika jumlah telur 1-499 butir per gram, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur
500 - 5000 butir per gram dan infeksi berat ditunjukkan jika telur yang dihasilkan > 5000
butir per gram feses ternak. Namun yang harus diingat, ditemukannya jumlah telur cacing
per gram feses ternak tidak selalu dapat menunjukkan tingkat infeksi yang sebenarnya. Hal
ini mengacu pada kenyataan bahwa hanya cacing dewasa saja yang dapat menghasilkan
telur, sedangkan larva cacing belum menghasilkan telur. Larva kemudian menjadi dewasa
secara seksual, dan ada yang menjadi cacing jantan yang juga patut diperhitungkan untuk
menentukan tingkat infeksi pada hewan ternak. Jumlah telur yang diproduksi dengan
jumlah telur yang ditemukan per gram feses ternak dipengaruhi oleh faktor cacing jantan,
larva, resistensi hospes dan tingkat infeksi cacing parasit usus tersebut serta kadar serat
kasar yang terdapat pada pakan ternak sapi dan kerbau.Makin banyak kadar serat kasar
pada pakan ternak sapi dan kerbau maka makin sedikit jumlah telur cacing dalam feses
ternak (Nofyan et al., 2010).
37

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum Diagnosis Laboratorium Beberapa
Penyakit Parasiter dapat disimpulkan bahwa:
1. Setelah feses didiagnosa menggunakan metode apung, didapatkan parasit
Bunostomum phlebotomum pada feses sapi dan ditemukan parasit Dicocroelium
dendriticum pada feses kambing.
2. Metode yang dapat digunakan dalam pemeriksaan feses terhadap penyakit parasit
dapat dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode Natif (secara
sederhana), Metode Apung, serta Harada Mori untuk mendeteksi adanya larva
cacing.
3. Cacing parasit terdapat dalam berbagai bentuk yang dapat menyebabkan penyakit
pada hospes, antara lain telur, larva dan bentuk dewasanya. cacing dewasa dapat
menghasilkan telur, sedangkan larva cacing belum menghasilkan telur. Larva
kemudian menjadi dewasa secara seksual.

B. Saran
Praktikum yang dilakukan sudah baik dengan menggunakan metode yang tepat,
namun tidak semua praktikan dapat merasakan melakukan berbagai metode, maka
sebaiknya perlakuan dilakukan bersama-sama supaya mahasiswa benar-benar terampil dan
memahami dari masing-masing metode pemeriksaan feses.
38

DAFTAR REFERENSI
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas
kedokteran UI, Jakarta.
Kadarsan,S. 1983. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.
Levine, Norman.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada Unversity
Press. Yogyakarta.
Noble, R.N. 1961. An Illustrated Laboratory Manual of parasitology. Burgess publishing,
Minnesota.
Nofyan, Erwin, Mustaka Kamal, dan Indah Rosdiana. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing
Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus sp.) Di Rumah Potong
Hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sain Vol 10(6).
Sudomo, M. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia, Orasi
Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska, Jakarta.
Sumanto, Didik. 2010. Faktor risiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah (Studi kasus
kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak). Tesis Program Studi Magister
Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang Hal 1-158.
Sumarwanta, Edy dan Ari Puspita Dewi. 2013. Kejadian ascariasis pada anak sapi bawah
lima bulan (balilan) di kabupaten kebumen tahun 2011. Jurnal Laboratorium
Veteriner Vol. 13(1): 14-21.
Wyk, Jan A. Van. 2013. Morphological identfcaton of parasitc nematode infectve larvae of
small ruminants and catle: A practcal lab guide. Onderstepoort Journal of Veterinary
Research 80(1): 1-14.
39

PEMERIKSAAN PARASIT PADA HOSPES INTERMEDIER
















Oleh :
Nama : Siti Nur Azizah
NIM : B1J011086
Kelompok : 2
Rombongan : II
Asisten : Rizka Yunida








KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

40

2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Parasitologi adalah suatu ilmu cabang Biologi yang mempelajari tentang semua
organisme parasit. Tetapi dengan adanya kemajuan ilmu, parasitologi kini terbatas
mempelajari organisme parasit yang tergolong hewan parasit, meliputi: protozoa,
helminthes, arthropoda dan insekta parasit, baik yang zoonosis ataupun anthroponosis.
Organisme parasit adalah organisme yang hidupnya bersifat parasitis, yaitu hidup yang
selalu merugikan organisme yang ditempatinya (hospes) (Brotowidjojo, 1987). Parasit dapat
diperankan oleh binatang atau tumbuhan. Jika yang bertindak sebagai parasit tersebut
binatang, disebut zooparasit, sedangkan jika tumbuhan disebut phytoparasit. Sekarang ini
yang dimaksud dengan parasit, yaitu zooparasit sehingga untuk selanjutnya parasit dibatasi
pada zooparasit, sedangkan parasit yang termasuk ke dalam phytoparasit dipelajari dalam
bakteriologi (LIPI, 1983).
Menurut Arbi et. al. (2010), hubungan parasitisme, organisme parasit
memanfaatkan organisme lainnya (inang) sebagai tempat hidup untuk melangsungkan
sebagian besar siklus hidupnya. Inang seringkali merupakan tempat tinggal sekaligus
sebagai sumber makanan bagi parasit. Hospes yang dirugikan itu dapat digolongkan
menjadi 4 macam yaitu hospes definitif, hospes perantara, hospes predileksi dan hospes
reservoir. Hospes definitif yaitu hospes yang membantu hidup parasit dalam stadium
dewasa/stadium seksual. pengaruh parasit terhadap hospesnya yaitu menderita kerugian
(parasitisme), menderita kerugian, terjadi keseimbangan antara parasit dengan hospes.
Penyakit cacing ini pada berbagai kasus. Umumnya menyerang ternak yang dipelihara
dengan tata laksana kurang baik, khususnya ternak yang berumur muda. Geografis
Indonesia yang terletak di daerah sangat basa (super humid climatic area). Dengan
demikian, pengaruh kekeringan tidak pernah berlangsung lama hingga dapat mematikan
stadia di alam bebas, sedangkan suhu udara sepanjang tahun adalah optimal bagi
kelangsungan hidup stadia infeksi cacing untuk berkembang. Oleh karenanya ketahanan
hidup/survival rate stadia infektif di luar hospes (ternak sapi) tinggi dan populasi stadium
infektif meningkat dengan cepat. Fascioliasis pada ternak sapi ini mempunyai prevalensi
yang tinggi karena sapi yang dipelihara secara ekstensif, dimana untuk dapat makanan sapi
mencari sendiri sehingga tidak menjamin baik secara kuantitas maupun kualitas mendapat
makanan sesuai dengan kebutuhannya. Kekurangan makanan akan menyebabkan ternak
41

mengalami malnutrisi. Sebaiknya sapi yang mengalami malnutrisi akan lebih peka
(Brotowidjojo, 1987).
Mengenai hospes (tuan rumah) yang menjadi tempat bagi parasit untuk
menggantungkan hidup dan pembiakannya, ada beberapa istilah yang perlu diketahui.
Hospes definitif (hospes terminal/akhir), yaitu manusia, hewan, atau tumbuhan yang
menjadi tempat hidup parasit dewasa dan atau parasit mengadakan rcproduksi seksual.
Hospes perantara (intermediate host), yaitu manusia, hewan, atau tumbuhan yang menjadi
tempat parasit menyempurnakan sebagian dari siklus hidupnya dan atau tempat parasit
mengadakan pembiakan aseksualnya. Beberapa penelitian menunjukkan, keong berperan
sebagai inang perantara cacing golongan Trematoda (cacing yang memiliki batil isap). Jenis
cacing Trematoda yang dapat hidup dan berkembang biak dalam tubuh manusia dan
ditularkan melalui perantara siput/keong adalah salah satunya cacing dari famili
Echinostomatidae. Sebagian besar siput berperan sebagai hospes perantara dalam
Trematoda. Stadium pertumbuhannya adalah Sporokista, Redia, Serkaria yang terjadi dalam
organ hati siput. Oleh karena itu dalam pemeriksaan pemotongan tubuh siput dilakukan
pada lingkaran atau ruas ketiga cangkang siput. Trematoda memiliki fase pertumbuhan
aseksual di dalam tubuh siput.

B. Tujuan
Praktikum Pemeriksaan Parasit pada Hospes Intermedier bertujuan :
1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada hati sapi, empedu sapi, babat
(lambung) sapi, dan usus ayam.
2. Mengetahui siput sebagai hospes intermedier dan fase-fase yang terjadi dalam tubuh
hospes intermedier.
3. Mengetahui morfologi cacing parasit (telur, larva, dan dewasa)







42

II. MATERI DAN CARA KERJA
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gunting, mikroskop cahaya,
baki, pinset, object glass, cover glass, seperangkat lat alat bedah, baskom, label, pipet
tetes, tissue, masker dan sarung tangan, pensil dan kamera digital.
Bahan-bahan yang digunakan adalah air usus ayam kampung, hati sapi, babat sapi
dan keong (sawah dan sungai).

B. Cara Kerja
Metode yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan hospes parasit adalah :
Cara kerja Pemeriksaan Parasit pada Hati Sapi
1. Hati sapi dibawa ke laboratorium.
2. Kemudian diambil sedikit dan di taruh di obyek glass
3. Diamati di mikroskop.
Cara kerja Pemeriksaan Parasit pada Usus Ayam
1. Usus ayam yang diambil dari pemotongan ayam, dibawa ke laboratorium.
2. Usus ayam kampung di bedah dengan gunting secara hati-hati.
3. Diamati bagian yang keluar dari dalam usus ayam.
Cara kerja Pemeriksaan Parasit pada Babat Sapi
1. Babat sapi dibawa ke laboratorium.
2. Diambil babat sapi tadi sedikit dan di taruh di obyek glass
3. Diamati di mikroskop.
Cara Kerja Intermedier
1. Keong dipotong atau diiris, tepatnya di bagian sutura ketiga (pada bagian hati)
2. Irisan tadi dibuka dan cairan yang keluar dari keong langsung diteteskan diatas
objek gelas.
3. Kemudian ditutup dengan cover glass
4. Bagian bawah gelas obyek dilap dengan tisue
5. Diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah terlebih dahulu.
43

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
I. Tabel Pengamatan Ektoparasit pada Ikan
Preparat Parasit
Keong sawah Brevifurcate cercaria
Keong sungai -
Hati sapi Fasciola Hepatica
Usus ayam -
Babat sapi -

II. Gambar Pengamatan Ektoparasit pada Ikan

Gambar 1. Brevifurcate cercaria dari Keong
Sawah

Gambar 2. Fasciola Hepaticadari
Hati Sapi

44

B. Pembahasan
Praktikum pemeriksaan hospes parasit ini menggunakan 4 preparat yaitu hati sapi,,
babat, usus ayam kampung, dan keong sebagai hospesnya. Berdasarkan praktikum yang
telah dilakukan, ditemukan cacing Fasciola hepatica dalam preparat hati sapi yang diamati,
sedangkan pada keong ditemukan spesies Brevifurcate cercaria. Menurut Bendryman
(2004), penyakit yang disebabkan oleh cacing dengan genus Fasciola baik F. hepatica
maupun F. gigantica disebut dengan Fascioliasis dan ditandai dengan adanya cacing
tersebut di bagian hati. Cacing ini termasuk golongan trematoda. Cacing ini banyak
menyerang sapi dan domba dengan predileksi di ductus biliverus. Jenis cacing Fasciola yang
yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica memiliki bentuk yang hampir sama, tetapi
Fasciola gigantic mempunyai bentuk yang sedikit lebih besar baik ukuran cacing dewasa dan
telurnya (Soulsby, 1977).
Ciri-ciri umum dari Fasciola sp. yaitu bentuk tubuh seperti daun dengan panjang 20
mm 30 mm dan lebar 13 mm. Warna cacing hati dewasa merah kecoklatan, bentuk
luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten, merupakan modifikasi dari epidermis, cacing
dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan
membelok. Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam inang yaitu: Inang
perantara yakni siput air, dan Inang menetapnya yaitu hewan bertulang belakang pemakan
rumput seperti sapi dan domba. Fasciola hepatica merupakan entoparasit yang melekat
pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada endothelium
venae dengan alat penghisapnya. Makanannya diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan
sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah. Di dalam
tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfa, kemudian sisa-sisa metabolisme
tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang
berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi
silang melalui canalis laurer (Purwanta et al., 2006).
Menurut Suweta (1985) Fasciola sp. (Cacing Hati) terdapat dua spesies yang
penting dan tersebar diseluruh dunia adalah :
1. Fasciola hepatica
Kingdom : Animalia
Phyulm : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Echinostomida
45

Famili : Fasciolidea
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica
2. Fasciola gigantica
Kingdom : Animalia
Phyulm : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Echinostomida
Famili : Fasciolidea
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola gigantica
Secara anatomi, Fasciola sp. terdiri dari faring yang letaknya terdapat di bawah
oral, cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Adapun
terdapat sebuah pharing, namun pharing tersebut tidak berotot. Tegumen atau lapisan
kutikula berfungsi memberi perlindungan terhadap pengaruh enzim pencernaan. Tegumen
padat endoparasit membantu menyerap glukosa dan asam amino. Selain itu terdapat
arterium yang letaknya di bawah penis dan esofangus. Selain itu, terdapat uterus, vasikula
seminalis, ovary serta oviduk pada hewan ini. Dalam beberapa negara infeksi pada manusia
adalah klinis meningkat danmasyarakat masalah kesehatan. Parasit kosmopolitan
inidistribusi dan terjadi dalam hati domba, kambing, sapi dan manusia (Hafeez, 2003).
Cacing Fasciola sp. menyebabkan penyakit yang disebut fasciolosis. Pada umumnya
yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica. Fasciolosis pada kerbau sapi
biasanya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian
akibat fasciolosis ditaksir 20 Milyard rupiah/tahun yang berupa : penurunan berat badan
serta tertahannya pertumbuhan badan, hati yang terbuang dan kematian. Disamping itu
kerugian berupa penurunan tenaga kerja dan daya tahan tubuh ternak terhadap penyakit
lain yang tidak terhitung. Fasciola sp. hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini
memakan jaringan hati dan darah. Cacing Fasciola sp. mengalami proses pendewasaan di
dalam saluran empedu. Cacing Fasciola sp. dewasa dalam hospes definitive dapat hidup
rata-rata antara satu sampai tiga tahun di dalam hati (Bendryman, 2004).
Parasit yang sama sekali tidak dapat hidup tanpa hospes disebut parasit obligat
(permanen), sedangkan organisme yang hidup bebas akan tetapi suatu waktu dapat
menjadi parasit disebut parasit fakultatif (opportunist), contohnya Micronema dan
beberapa amoeba yang hidup bebas akan tetapi pada suatu waktu dapat masuk dan
46

membentuk koloni di dalam otak manusia, yaitu genus Acanthamoeba dan Naegleria.
Untuk organisme demikian, Noble et al. (1989) menamakan amphizoic, yang dimaksud
dengan parasit temporer atau intermitten, yaitu parasit yang sebagian masa hidupnya,
hidup bebas, sewaktu-waktu akan menjadi parasit, contohnya Strongyloides stercoralis.
Spesies asing yang melalui intestinum dan ditemukan dalam tinja manusia dalam keadaan
hidup/mati disebut parasit koprozoik atau parasit spuria (palsu); sedangkan pseudoparasit
merupakan artefak yang mirip parasit, sering kali disangka sebagai parasit. Jika parasit
kebetulan bersarang pada hospes yang biasanya tidak dihinggapinya disebut parasit
insidentil.
Pemahaman terhadap epidemologi infeksi Trematoda memerlukan pengetahuan
umum tentang kejadian kompleks yang terdapat antara ekskresi telur inang tetap dan
pembentukan tahap larva akhir. Terdapat empat bentuk larva yang berbeda (kecuali pada
Trematoda darah yang hanya memiliki tiga) yaitu mirasidium, sporokista, redia, dan serkaria
(Brotowidjoyo, 1987).
Daur hidup Fasciola sp. menurut Bendryman (2004)
1. Telur keluar ke alam bebas bersama faeces domba. Bila menemukan habitat basah.
telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium.
2. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan
Sporokista.
3. Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia
4. Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh
siput menempel pada rumput dan berubah menjadi metaserkaria.
5. Metaserkaria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang
selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk
memulai daur hidupnya.

47

Cacing Trematoda memiliki fase pertumbuhan aseksual di dalam tubuh siput.
Pertumbuhan ini dimulai dengan masuknya mirasidium ke dalam jaringan tubuh siput bila
mirasidium telah mencapai tempat yang sesuai. Mirasidium yang keluar dari telur
bentuknya seperti buah jambu dan seluruh tubuhnya dikelilingi oleh silia sehingga dapat
berenang aktif pada air. Mirasidium dapat menembus tubuh siput karena mempunyai
enzim litik. Mirasidium lebih senang pada spesies siput karena dipengaruhi faktor
kemotaksis cairan jaringan dan lendir yang terdapat pada tubuh siput tersebut. Setelah
berada di perairan, kemudian mirasidium melepaskan silia dan menembus tubuh siput,
hanya memerlukan waktu beberapa menit di dalam tubuh siput (Brotowidjoyo, 1987).
Mirasidium akan kehilangan silia dan akan berubah menjadi sporokista yang
bentuknya memanjang. Sporokista ini mempunyai dinding badan, rongga badan, dan sel-sel
germinal yang membantu sporokista kedua atau redia, kemudian bentuk kedua ini
membentuk serkaria. Sporokista berpindah ke jaringan hati siput tempat larva ini
meneruskan ke pembentukan masa sel nutfah di dalam struktur serupa kantung. Redia
berada di dalam rongga tubuh siput yang berisi cairan limfe. Sporokista kemudian
mengalami perubahan morfologi lagi untuk menjadi larva yang lebih terdeferensiasi yang
mempunyai mulut, faring, usus sederhana, sistem ekskresi, sel pengumpul, sel germinal,
dan dapat menembus kulit hospes definitif karena saluran pencernaan yang rudimenter,
tahap ini disebut redia (Noble dan Noble, 1989).
Serkaria terbentuk dalam redia kemudian keluar dari tubuh siput. Serkaria
mencapai bentuk yang khas yaitu tubuh elips, ekor panjang bentuk lokomosi, sudah
mempunyai oral sucker dan ventral sucker bermacam-macam alat seperti duri atau jarum,
alat pencernaan, sistem reproduksi sederhana, sistem ekskresi, kelenjar kepala uniseluler,
dan lubang-lubang saluran disekitar oral sucker. Serkaria Schistosoma sp dapat menembus
kulit hospes definitif karena larva ini membentuk sekret litik yang dihasilkan oleh kelenjar
sefalik. Serkaria ini juga dapat masuk ke dalam jaringan hospes perantara siput, serkaria
dapat menginfeksi inang perantara baru. yaitu ikan air tawar, ketam atau vegetasi air.
Serkaria terdiri dari delapan jenis yaitu Longifurcate cercaria, Pleurolophocerecus cercaria,
Monostome cercaria, Gymnechepalous cercaria, Echinostome cercaria, Xipidio cercaria,
Amphisome cercaria, dan Brevifurcate cercaria.
Setelah terjadi infeksi, serkaria kehilangan ekor dan membuang dinding kista di
sekitar larva. Bentuk kista seperti ini disebut metasercaria yang bentuknya bulat.
Metasercaria ini hidup dalam hospes perantara dua misalnya Crustacea, ikan, dan
tumbuhan air. Metasercaria masuk ke dalam hospes definitif karena termakan atau
48

menembus kulit. Hospes definitif, cacing dewasa muda pindah ke organ pencernaan yang
cocok dan tumbuh menjadi dewasa (Ngurah dan Putra, 1997).
Siklus hidup Fasciola gigantika dewasa, hidup dalam kantung empedu sapi, kerbau
domba, kambing dan ruminansia lain (Levine, 1990), untuk kesempurnaan hidupnya parasit
ini membutuhkan dua macam induk, yaitu host definitif pada hewan herbivora dan host
intermediet pada siput air tawar. Fasciola gigantica dewasa bertelur dalam kantung dan
saluran empedu dan meletakkan telurnya dalam jumlah yang besar. Telur-telur tersebut
keluar dari tubuh host definitif bersama dengan feses dan dalam perkembangan harus
mencapai air.
Cacing memerlukan kondisi lingkungan yang basah. Hal ini berarti bahwa cacing
tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada
kondisi yang basah atau lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu
juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum
masuk ke tubuh ternak (Arifin, 2006). Brotowidjoyo, (1987) menyatakan bahwa suhu dan
kelembaban udara adalah faktor yang paling penting dalam mempengaruhi kehidupan telur
dan larva Fasciola gigantica, telur akan menetas menjadi mirasidia dalam waktu 19 hari
setelah mendapati air pada suhu 27
o
C. Mirasidia berenang aktif selama beberapa jam
dalam air sehingga bertemu siput yang sesuai. Apabila mirasidia tidak menemukan siput,
maka dalam waktu sekitar 8-40 jam larva ini akan mati. Mirasidia masuk ke dalam tubuh
siput dengan jalan menembus tubuh siput melalui daerah mantel, kaki, kepala atau
tentakel. Lalu melepaskan silianya masuk ke hepatopankreas, berubah menjadi sporosista
dan berkembang mencapai 1-3 mm. Larva ini tidak akan berkembang menjadi redia dan
kemudian menghasilkan metaserkaria. Lama waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan
dari mirasidia menjadi tahap serkaria pada tubuh siput adalah 41-70 hari. Sedangkan siklus
hidup lengkap dari telur sampai serkaria dibutuhkan kira-kira 60100 hari. Serkaria
meninggalkan tubuh siput sekitar 37 minggu (tergantung dari suhu) setelah infeksi, dan
langsung berenang aktif dalam air. Dalam dua jam mereka melepaskan ekornya dan
menempel pada tumbuh-tumbuhan air untuk menjadi metaserkaria (Noble dan Noble,
1989).





49


50

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan
bahwa :
1. Pemeriksaan hospes parasit keong, hati, babat, dan usus ayam kampung didapatkan
parasit Fasciola hepatica pada hati sapi dan Brevifurcate cercaria pada keong sawah.
Cacing Trematoda parasit membutuhkan hospes perantara (siput/keong) dalam siklus
hidupnya Miracidium, sporocyste, Redia, serkaria, dan metaserkaria merupakan stadia
yang terdapat di dalam tubuh siput/keong.
2. Cacing Fasciola hepatica memiliki siklus hidup dengan hospes intermedier berupa
keong dan hospes definitif yaitu sapi pada bagian tubuh hati.
3. Stadium yang dialami cacing Fasciola hepatica dimulai dari telur yang berkembang
menjadi miracidium kemudian masuk ke dalam hospes intermedier dan berkembang
menjadi sporokista lalu berkembang lagi menjadi redia dan menjadi serkaria. Serkaria
kemudian keluar dari hospes intermedier dan berkembang menjadi kista yang
kemudian menempel pada rumput dan jika dimakan oleh hewan ternak sebagai
hospes definif akan menjadi cacing dewasa.

B. Saran
Saran pada acara praktikum kali ini yaitu alat-alat yang disediakan kurang memadai
sehingga tidak semua praktikan melakukan pencarian cacing dan dirasa kurang efektif,
maka sebaiknya alat yang digunakan lebih baik jika sesuai dengan jumlah preparat sehingga
dapat dilakukan praktikum dengan cepat.




51

DAFTAR REFERENSI
Arbi, Ucu Yanu dan Indra Bayu Vimono. 2010. Hubungan parasitisme antara siput Thyca
crystallina dan bintang laut biru Linckia laevigata di perairan ternate, maluku utara.
Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(2): 227-242.

Arifin M., 2006. Pengaruh Iradiasi Terhadap Infektivitas Metaserkaria Fasciola gigantica
pada Kambing. http://digilib.batan.go.id/eprosiding/File%Prosiding/ Kesehatan/
Risalah % 2000/2000/M-Arifin.pdf, diakses pada tanggal 1 April 2014.

Bendryman, S. S. 2004. Aspek Biologis dan Uji Diagnostik Fasciola. Universitas Airlangga.
Surabaya.

Brotowidjojo, M.D. 1987.Parasit dan Parasitisme.Pt. Melton Putra, Jakarta.

Hafeez, M. D. 2003. Helminth Parasit of Public Health Importance-Trematodes. Journal of
Parasitic Diseases Vol. 27 (2): 69-75.

Lembaga Biologi Nasional (LIPI). 1983. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional (LIPI),
Bogor.

Levine, N. D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Gatut Ashadt.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Ngurah D. D. M. dan A. A. G. Putra . 1997. Penyidikan Penyakit Hewan C. V. Bali Media,
Denpasar.

Noble, E. R dan G. A. Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. UGM, Yogyakarta.

Purwanta et al. 2006. Penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada Sapi Bali di Perusahaan Daerah
Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Makassar. Jumal Agrisistem. Vol. 2 (II) : 63-69.

Sulianti, L. 2006. Bahaya Makan Tutut Tidak Matang. http://www.Kesehatan & Psikologi-
Suplemen-Hikmah- Pikiran-Rakyat-EdisiOnline-www.pikiranrakyat.com.html. Di akses
tanggal 2 April 2014.
Soulsby, E.J.L, 1977, Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal, Lea &
Febriger, Philadelphia, 22-23.

Suweta, Putu. 1985. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Sapi. Alumni, Bandung.

Widyastuti, R. 2002. Parasitologi. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta.

You might also like