I ch glaube nicht, mit all diesen Dingen verstehen.
Nur eine Sache, die ich kenne, ist die Heimat Dear diary, Aku tidak mengerti dengan semua hal ini. Aku selalu disembunyikan dari dunia luar. Tak tahu apa alas an dan tujuannya. Mereka semua seolah menjauhkan dunia dariku. Atau memang aku yang menjauhkan diri dari dunia luar. Atau mereka yang menjauhkanku dari dunia. Entalah! Aku tak mengerti dengan semuanya. Hanya satu hal yang aku tahu yaitu RUMAH. Best Regards, Alvar Social less Ya! Mungkin kata inilah yang tepat untuk menggambarkan diriku. Aku pun tidak pernah mengetahui tentang dunia diluar pagar rumahku. Dari kecil aku memang terbiasa oleh kehangatan dan ketenangan rumah meskipun aku sering ditinggal oleh orangtuaku untuk waktu yang lumayan lama. Ayahku yang notabennya adalah prajurit swastika Jerman ini sangat melindungiku terlebih dari liarnya dunia luar. Aku tidak pernah diberikan sedikitpun kelonggaran untuk menikmati langkahku bersalam sapa dengan orang asing di luar rumahku. Hanya tempat kecil di belakang rumah inilah yang menjadi duniaku. Tempat berukuran panjang 8meter dengan lebar 6meter inilah tempatku berirama, melantunkan lagu, serta meluangkan isi pikiranku kedalam sebuah buku merah kecil dengan kertas coklat buram yang sudah kusam. Tinta dan pena berwarna merah iniah yang terus menerus menemaniku di hari-hariku yang selalu sepi. Duduk dibawah pohon meanatap langit yang cerah dengan burung-burung yang saling bercanda tawa dengan kicaunya yang meramaikan langit hari ini. Ingin sekali rasanya aku melompati dinding pembatas setinggi 2meter itu agar aku dapat menikmati keindahan dunia sepenuhnya. Namun lilitan kawat yang terhias melingkar diatas dinding itu membuatku selalu mengurungkan niatanku ini. Juga penjaga yang selalu mengawasiku dari jendela tua yang rapuh itu, membuatku harus menjaga perilakuku agar mata tajam itu tidak terus memandang ke arahku. Di siang hari yang sangat cerah itu, rasa penasaranku selama ini sudah tak tertahankan lagi. Pendaman rasa ini telah membuatku terpikir untuk keluar dari penjara hangat ini sejenak hanya untuk menghirup udara segar yang berhembus diluaran. Aku terus menggali otakku agar menemukan cara dan alasan untuk keluar. Aku terus terdiam tanpa kata di tempatku bersandar, menunggu, menunggu dan terus menunggu hingga mata itu lengah dan terlepas dari hadapanku. Ketika saatnya tiba, mata tajam itu menghilang lengah ke ruangan lain. Dengan sigapnya aku lekas lari, lari dan berlari layaknya anjing peliharaan yang selama ini terikat oleh tali rantai telah terbebas. Tanpa memikirkan siapa dibelakang, samping, ataupun depan. Aku terus melaju memaksimalkan kaki-kaki kecilku untuk berlari semaksimal mungkin yang aku bisa. Sekitar dua ratus langkah telah membawaku cukup jauh dari muka rumahku. Aku pun tiba di tempat yang penuh dengan pepohonan dan kerumunan bunga-bunga warna-warni yang sedang merekah. Tanpa piker panjang, aku segera membaringkan tubuh ringanku ini diatas rerumputan hijau yang cukup lebat, menatap hamparan biru di hadapan mataku. Kapas-kapas raksasa yang terus bergerak perlahan sesekali menutupi sinar matahari yang menyilaukan mataku. Tidak sedikitpun aku rela melewati semua ini. Begitu indah, begitu nyaman, begitu tenang dan damai karunia yang Tuhan berikan ini. Sungguh tidak ada yang lebih indah dibanding benda-benda menakjubkan yang dapat dilihat semua mata ini, tanpa pandang tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, dan Jerman ataupun Yahudi. Semua mata dapat memandanginya sepuas mereka tanpa batasan waktu, tempat dan dimensi. Sungguh Tuhan sangatlah adil! Alvar! Alvar! teriakkan suara yang berat dan rendah mematahkan lamunanku. Aku pun menoleh ke arah kanan dan melihat sesosok pria bertubuh tegap dan besar dengan seragam abu- abu militer yang tampak taka sing bagiku. Segera aku terbangun dari baringanku. Belum cukup puas rasanya aku menikmati semua ini, namun suara ayah telah melenyapkan semuanya. Hatiku berdentaman keras saat pria yang ternyata ayahku itu bergerak mendekat ke arahku. Aku takut, sangat takut akan kemarahannya. Namun ayah yang datang segera membelai kepalaku dan berkata lembut dengan mimic yang terlihat jelas bahwa ia tak menyukai apa yang ku perbuat ini. Alvar tolong jangan pernah lakukan hal ini lagi kalimat itu terurai dari mulutnya. Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab dan memberi alasanku, tarikan tangan ayah telah membawaku pergi menjauhi dunia yang tak pernah terjamah sebelumnya olehku. Langkah demi langkah terus menjauh dari tempat itu. Semakin lama semakin jauh semakin lenyap tempat itu dari pandangan mataku. Pagar kayu yang berdenyit memilukan telinga saat dibuka itu telah kami lewati. Sampailah kami di tempat yang disebut rumah ini. Tarikan ayahku terus membawaku hingga mencapai ruang kamarku. Kulihat penjaga yang biasanya menjagaku sedang berdiri tegang dengan tangan dibelakang di ruang tamu rumahku. Layaknya prajurit yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya dengan membiarkan tawanan lepas kabur begitu saja. Sekuat apapun usahanya menyembunyikan semua perasaannya, tetap saja rasa kecewa dan takut terus terpancar dari mata coklatnya itu. Sungguh aku sangat merasa bersalah akan hal ini. Tersadarkan aku oleh pintu kamar yang telah di depan mata hamper saja tertabrak olehku. Setelah masuk ke kamar itu, terdengar suara besi tercangklik, pintu itu dikunci dari luar. Ini berarti ayah tidak ingin aku mengetahui apa yang terjadi di luar kamarku. Terdengar suara ayah yang melemparkan beberapa pertanyaan kepada pria penjaga itu. Aku mendekatkan telingaku ke pegangan pintu seraya mencari-cari sumber suara agar dapat mendengar dengan jelas apa yang terjadi di luar. Terdengar olehku penjaga itu