You are on page 1of 15

n a s k a h l e n g k a p

ComMmmg Edmsaitioja
Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan
Anak VI
K U L I A H
ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK PERINATAL
(Perinatal Hypoxic Ischemic Encephalopathy)
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto,
Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik
Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya

Korespondensi:
Agus Harianto
Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Jl.
Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya Telp.: (031) 5501681 Fax: (031)
5501748 Email: agus_h@pediatrik.com


Hotel JW Marriott Surabaya, 29- 30 Juli 2006
2006 Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR - RSU Dr. Soetomo Surabaya. Produced by OpenUrika Creative Multimedia and Presentations Division S 031 5049596
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


Abstract
Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy is an acquired syndrome characterized by clinical and laboratory
evidence of acute brain injury due to asphyxia. Its remains a serious condition causing significant mortality and
long-term morbidity. The mortality rate is as high as 50%. The incidence of long-term complication depends on
the severity of the disease. The diagnosis is based on the history and physical examination. No specific test
excludes or confirms a diagnosis of Perinatal Hypoxic-Ishemic Encephalopathy. All tests are performed to assess
the severity of brain injury and to monitor the functional status of systemic organs. The current treament is
supportive with prompt treatment of convulsion and stabilization of physiologic parameters. Continuation of
seizure medications should depend on envolving CNS symptoms and EEG findings. Even asymptomatic seizures
may continue to injure the brain. They should be monitored in a reguler pediatric clinic. Severely disabled
children may need to be monitored in multispecialty clinics.
Keywords: Hypoxic Ischemic Encephalopathy, perinatal asphyxia
Abstrak
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia. Sindroma
ini merupakan masalah penting yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas. Angka kematiannya masih tinggi
sekitar 50%. Angka kejadian komplikasi jangka panjang tergantung beratnya kelainan ini. Diagnosis dibuat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak ada test yang spesifik baik untuk menyingkirkan atau
menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik perinatal. Semua test dikeijakan untuk mengetahui beratnya
jaringan otak yang cedera dan monitor fungsi organ lainnya. Pengobatan bersifat suportif dengan penanganan
yang optimal untuk kejangnya dan stabilisasi fungsi organ lainnya. Lamanya pengobatan kejang tergantung dari
gejala neurologi dan pemeriksaan EEG. Walaupun secara klinis penderita tidak kejang, tetapi cedera otak bisa
berlanjut. Setelah pulang, penderita harus dimonitor secara teratur di klinik pediatrik. Penderita yang mengalami
kecacatan yang berat perlu ditangani oleh beberapa keahlian disiplin ilmu.
Kata kunci: Ensefalopati Hipoksik Iskemik, asfiksia perinatal PENDAHULUAN
Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau neonatus mengalami kekurangan oksigen (hipoksia)
dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi
dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul laktik asidosis. Pengaruh hipoksia dan iskemia tidak
sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih. Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia.
1-7

Asfiksia dapat terj adi pada waktu pre, peri dan postnatal.
1-7
American Academy of Pediatrics (AAP) and the
American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) membuat definisi asfiksia perinatal sebagai berikut: (1) adanya asidosis
metabolik atau mixed acidemia (pH<7.00) pada darah umbilikus atau analisa gas darah arteri apabila fasilitas
tersedia; (2) adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit; (3) manifestasi neurologis segera pada waktu
perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik iskemik; dan (4) adanya gangguan fungsi
multiorgan segera pada waktu perinatal.
8
Tidak ada satu tes darah yang spesifik untuk mendiagnosis asfiksia
perinatal.
4
Nilai yang pasti untuk menentukan adanya asidemia yang merusak organ tidak diketahui dengan pasti.
Pada pH<7.0 secara klinis menimbulkan asidosis, tetapi belum pasti cedera hipoksik telah terjadi. Nilai apgar
berguna untuk menilai status keadaan bayi baru lahir, tetapi nilai apgar saja adalah paramater yang tidak dapat
menentukan adanya asfiksia.
8
Nilai apgar saja menurut AAP/ACOG tidak bisa digunakan sebagai bukti bahwa
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


kerusakan neurologi karena hipoksia yang diakibatkan cedera saraf atau penatalaksanaan intrapartum yang tidak
optimal.
8

Istilah ensefalopati hipoksik iskemik perinatal sering ditulis ensefalopati hipoksik iskemik, sehingga
istilah ensefalopati hipoksik iskemik lebih banyak digunakan dan dikenal orang.
1-7
Ensefalopati adalah istilah
klinis tanpa menyebutkan etiologi di mana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan
pemeriksaan.
1-5
Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya
kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena
asfiksia.
1-6
Diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak
ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik.
1-3

Semua pemeriksaan dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang terjadi dan memonitor fungsi dari
organ sistemik lainnya.
1-7
Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,01,5% bayi lahir hidup.
1
Insiden
semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir.
1-7
Insiden HIE di Amerika Serikat
terjadi pada 2-9 per 1000 bayi aterm yang lahir hidup.
1
Angka kejadian di negara berkembang per 1.000 bayi
aterm lahir hidup, Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265,
3
di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita asfiksia.
9
Angka kematiannya tinggi sekitar 50%,
angka kecacatan berhubungan dengan beratnya penyakit.
10
Anggapan bahwa penyebab utama CP dan
kemunduran mental karena asfiksia perinatal adalah tidak benar, hanya 8,2% kasus CP yang terbukti karena
asfiksia perinatal.
1-4
Penanganan yang utama adalah pencegahan karena tidak ada satupun obat yang dapat
memperbaiki sel syaraf yang telah mati.
1-7
Di samping mengatasi kejang, pengobatan suportif dengan resusitasi
dan penanganan organ lainnya yang mengalami kelainan sangat diperlukan.
1-7,11,12
Saat ini sedang dilakukan
penelitian pemberian obat neuroprotektif untuk mencegah atau mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
1-7

Penanganan harus cepat, tepat dan adekuat.
1-11

ETIOLOGI
Bermacam-macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu
1-4
:
1)gangguan oksigenasi pada ibu hamil, 2)penurunan aliran darah dari ibu ke plasenta atau dari plasenta ke fetus,
3)gangguan pertukaran gas yang melalui plasenta atau fetus, 4)peningkatan kebutuhan fetal oksigen. Faktor
resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal, plasenta-tali pusat dan fetus/neonatus:
1-3

- kelainan maternal: hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug abuse, penyakit jantung, paru, dan
susunan syaraf pusat, hipotensi, infeksi, ruptura uteri, tetani uteri, panggul sempit.
- kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio plasenta, prolaps atau kompresi tali
pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus.
- kelainan fetus atau neonatus: anemia, perdarahan, hidrops, infeksi, pertumbuhan janin terhambat
(intrauterine growth retardation), serotinus.
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


PATOFISIOLOGI
Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan pada dewasa.
1-2
Hal ini dibuktikan bahwa pada
saat terjadi hipoksik iskemik, fetus berusaha mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi)
dari paru-paru, gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot, dan kulit, menuju ke otak, jantung, dan adrenal
(diving reflex). Pada fetal distress maka peristaltik usus meningkat, spinchter ani terbuka, mekonium akan keluar
bercampur dengan air ketuban, skuama, lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-paru, sehingga tubuhnya
berwarna hijau dan atau kekuningan. Kombinasi antara fetal hypoxia yang kronis dengan cedera hipoksik
iskemik akut setelah lahir mengakibatkan kelainan neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya.
Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun, meningkatkan tekanan darah yang ringan
untuk memelihara perfusi pada otak, meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah jantungt. Bila asfiksianya
berlanjut dengan hipoksia yang berat, dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, curah jantung yang
menurun, dan menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan
energi. Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek, maka
asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik, maka asam laktat akan dimobilisasi dari
jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan perfusi. Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif
serebral sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan proses glikolisis
anaerobik tidak efektif dan produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan
penggunaan glukosa. Adanya asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis, hilangnya autoregulasi
serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung, menyebabkan iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada
setiap jaringan. Cadangan glukosa menjadi berkurang, cadangan energi berkurang, dan timbunan asam laktat
meningkat. Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun, dan adanya
kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi fosforisasi dan produksi ATP
menurun. Karena kekurangan energi, maka ion pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl
-
, H
2
O,
Ca
2+
intraseluler, K+, glutamat, dan aspartate ekstraseluler.
1, 2
Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada
neonatus yang mengalami asfiksia sekarang masih dalam penelitian.
1
Teori yang dianut kematian sel otak melalui
proses apoptotis dan nekrosis, tergantung perjalanan prosesnya akut atau kronis, lokasi, dan stadium
perkembangan parensim otak yang cedera.
1, 2

Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik ditandai dengan sekelompok sel neuron
edema, disentegrasi dari membran, pecahnya sel, isi sel tumpah ke rongga ekstraselular yang memberikan reaksi
inflamasi dan fagositosis. Apoptosis terjadi pada sel individu, sel mengerut/mengecil, kromatin kelihatan
piknotik, membran sel membentuk gelembung-gelembung (blebbing), inti sel berfragmentasi dan sel terbelah-
belah dengan masing-masing pecahan (yang mengandung pecahan nukleus dan organella) terbungkus oleh
membran sel yang utuh, ini disebut apoptotic bodies. Apoptotic bodies ini kemudian akan mengalami
fagositosis oleh makrofag ataupun sel sekitarnya. Kematian sel nekrotik terjadi segera setelah adanya injury
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


(immediately cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang mature. Sebaliknya kematian sel apoptotik
terjadinya lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang immature
2

Nekrosis
2

Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx Ca
2
+ ke dalam sel dan ekspresi
gluatamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh hilangnya keseimbangan potensial membran dan terbukanya
saluran ion yang voltage-dependent (VDCC = Voltage Dependent Calcium Channels). Metabolisme glukosa
beralih ke proses yang anaerobik, ATP terkuras dan terjadinya lactic acidosis. Glutamat memicu reseptor NMDA
(N-Methyl-D-Aspartate) dengan efek membuka reseptor tersebut untuk Ca
2
+ masuk. Ion Calcium yang masuk di
dalam neuron mengaktifkan enzim-enzim seperti protease, lipase, endonuclease dan berakibat pada fosfolipid
sebagai konstituen sel membran. Terjadi mobilisasi asam arakidonat yang diproses oleh lipoksigenase dan siklo-
oksigenase dalam sitosol menjadi leukotrienes, prostaglandin dan tromboksan. Proses ini diserta pelepasan
radikal oksigen bebas yang berakibat terjadinya proses peroksidasi membran sel yang kemudian pecah dan isi sel
mengalir keluar. Neuron mengalami kematian akibat nekrosis. Proses peroksidasi diperberat dengan terbentuknya
NO (nitric oxide) sebagai akibat enzim Nitric Oxide Syntase diaktifkan oleh kadar ion Ca
2
+ intra-selullar yang
meningkat tajam, NO dengan radikal oksigen bebas membentuk peroksinitrit suatu senyawa yang sangat reaktif
(merusak) karena memacu proses peroksidasi lipid. Reaksi peradangan dan ekspresi sitkin pro-inflamasi
berakibat mobilisasi lekosit polymorphonuclear dan timbulnya intercellular adhesion molecules (ICAM), lekosit
beraggregasi di dinding kapiler dan efek menyumbat ini berakibat no-reflow phenomena yang menyebabkan
secondary ischemia. Proses reperfusi yang terjadi spontan maupun karena upaya terapetik membuat pembentukan
radikal oksigen bebas (Reactive Oxygen Species = ROS) meningkat karena pengaliran kembali darah ke jaringan
di mana taraf ekstraksi oksigen sudah meningkat tajam. Kedua hal ini menyebabkan meningkatnya kerusakan
jaringan yang dikenal sebagai reperfusion injury.
Apoptosis
2

Influx Ca
2
+ berakibat mitokondria menjadi overloaded dalam usaha mengatasi influx tersebut, terjadi
kegagalan metabolik pada mitokondria. Akibatnya cytocrome-c bocor dari ruang intermembran mitokondria dan
berikatan membentuk suatu kompleks dengan apaf-1 (Apoptotic Protease Activating Factor) dan pro-caspase9,
yang disebut: Apoptosome. Apoptosome mengaktifkan caspase (Cysteine aspartic acid-specific protease)9,
yang selanjutnya mengaktifkan pro-caspase3 menjadi caspase3 yang aktif. Caspase 8 dan 9 adalah initiator
caspase sedangkan caspase 3,6, dan 7 disebut effector caspases karena mengeksekusi proses apoptosis, yaitu
merombak enzim, unsur protein rangka sel (B-actin, lamins, fodrin, dan lain-lain), ICAD (Inhibitor of Caspase
Activated DNAse) yang berakibat DNAse menjadi aktif dan merusak DNA nukleus dan protein-protein lainnya
yang terlibat dalam regulasi (ketahanan) survival sel seperti Bcl-2, Bcl- xL, phospholipase A2, dan protein
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


kinase Co, hingga akhirnya mengakibatkan apoptosis, atau sering juga disebut: programmed Cell Death. Bcl-2,
Bcl-xL, Bax, Bid, dan Bad adalah protein yang tergolong Bcl2-family dan bersifat pro-apoptotik (Bax, Bid, dan
Bad) dan anti-apoptotik (Bcl-2, Bcl-xL). Bax dan Bid mengakibatkan terjadinya Permeability Transition Pore
(PTP) pada membran luar mitokondria sehingga cytochrome-c bisa bocor keluar dengan akibat apoptosis. Bcl-2
dan Bcl-xL mencegah terjadinya PTP ini. Bax bisa bekerja dengan membuat saluran untuk Ca atau meningkatkan
Bcl-2 sehingga efek anti-apoptotik Bcl-2 terhalang, demikian pula Bad mengikat Bcl-xL. Kerusakan pada DNA
terjadi karena antara lain: AIF (Apoptosis Inducing Factor) yang berasal dari ruang intermembran mitokondria,
bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan kerusakan, aktifnya endonucleases seperti Endonuclease G, PARP
(Poly-ADP Ribose Polymerase) memicu kematian sel melalui apoptosis dengan menempuh berbagai jalur. Salah
satu jalur melibatkan (protein) reseptor CD
95
atau FAS receptor (yang tergabung dalam TNF receptor family)
beserta Fas ligand, yang disebut TRAIL (TNF Receptor Apoptosis Inducing Ligand) yang membentuk jalur
menuju apoptosis yang disebut jalur ekstrinsik atau juga Death Receptor Pathway. Dibedakan dengan jalur
mitokondria yang disebut jalur intrinsik, keduanya melibatkan caspase. Disamping itu masih ada satu jalur yang
tidak melibatkan caspase, dinamakan: Caspase- independent Pathway yang dipicu oleh keluarnya AIF dari
mitokondria, dan karena pengaruh aktivasi PARP bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan fragmentasi DNA,
diikuti apoptotic death.
MANIFESTASI KLINIS
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah merupakan sindroma dengan manifestasi klinisnya mulai dari yang
ringan sampai yang berat.
1, 3 6
Sarnat dan Sarnat membagi ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus yang
umur kehamilannya >36 minggu.
10
American Medical Association pada tahun 1976 menerbitkan modifikasi
pembagian ensefalopati hipoksik iskemik menurut Sarnat dan Sarnat pada bayi aterm yang sampai sekarang
masih dipergunakan.
6

Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik




Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ yaitu: otak, jantung, paru,
ginjal, hepar, saluran cerna, dan sumsum tulang.
1-7
Didapatkan satu atau lebih organ yang mengalami kelainan
pada 82% kasus asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling sering terkena (72%), ginjal
42% kasus, jantung 29%, gastrointestinal 29%, paru-paru 26%.
13
Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut
adalah sebagai berikut:
1-7, 13, 14

1. Ginjal
Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Waspadailah kemungkinan timbul acute tubular necrosis (ATN),
dan gagal ginjal akut.
2. Sistem kardiovaskuler
Hipotensi, tricuspid insufficiency, nekrosis, iskemik miokardial, disfungsi ventrikuler, syok, gagal
jantung congesif
3. Paru
Edema paru-paru, pendarahan paru-paru (shock lung), respiratory distress syndrome, meconeal aspiration
syndrome, dan persistent pulmonary hypertension.
Tabel 1. Pembagian ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm.
6

Tanda Klinis Stadium 1
(Ringan)
Stadium 2
(Sedang)
Stadium 3 (Berat)
Tingkat kesadaran Hyperalert/irritable Letargi Stupor, koma
Tonus otot Normal Hipotonik Flacid
Postur Normal Flexi Decerebrate
Reflek tendon/klonus Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak
Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis
Tidak sama, reflek cahaya
lemah
Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi
EEG Normal
Voltase rendah sampai
bangkitan kejang
Burst suppression ke
isoelektrik
Lamanya <24 jam 24 jam sampai 14 hari Beberapa hari - minggu

Meninggal, atau cacat
Hasil Baik Bervariasi berat
(Dikutip dari Stoll BJ, Kliegman RM..Nervous System Disorders. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17
th
ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68).
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


4. Sistem saluran cerna
Fungsional intestinal obstruction, paralytic ileus, ulkus, perforasi atau necrotizing enterocolitis.
5. Metabolik
Asidosis, hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremi, syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
(SIADH),
6. Hepar
Gangguan fungsi liver, pembekuan darah, metabolisme bilirubin, albumin dan shock liver.
7. Hematologi
Pendarahan-pendarahan, disseminated intravascular coagulation (DIC).
8. Kematian otak (brain death). Belum ada kesepakatan umum yang mendefinisikan kematian otak pada
neonatus, apalagi pada neonatus yang umurnya <7 hari.
1-7
AAP membuat kriteria diagnosa kematian otak
pada bayi yang umurnya >7 hari pada bayi aterm dan prematur dengan umur kehamilan >32 minggu
sebagai berikut:
15

a. Apnea dan koma: tidak responsif terhadap nyeri, rangsangan sinar/penglihatan.
b. Hilangnya reflek batang otak (dilatasi pupil yang tidak ada respon terhadap rangsangan sinar,
hilangnya gerakan spontan mata, hilangnya gerakan otot bulbar termasuk otot facial dan
oropharyngeal, reflek kornea, batuk, menghisap, dan rooting, hilangnya gerakan pernapasan di
mana penderita tanpa respirator).
c. Penderita tidak hipotermi maupun hipotensi.
d. Tonusnya flacid dan hilangnya gerakan spontan atau rangsangan.
e. Observasi 2 kali pemeriksaan klinis dan EEG dalam waktu 48 jam.
Rekomendasi yang spesifik pada bayi umur <7 hari tidak ada karena tidak adanya
data. Ada perbedaan yang mendasar antara evolusi kematian otak pada neonatus dan bayi yang umurnya
lebih tua. Pada neonatus struktur suturanya paten dan fontanela yang masih terbuka membuat tidak
terjadinya kenaikan tekanan intrakarnial dan menurunnya perfusi serebral. Reflek batang otak dan apnea
yang dipakai sebagai dasar klinis untuk menentukan kematian otak sulit dievaluasi pada neonatus yang
umur kehamilannya <32 minggu.
16

Kriteria klinis 2 hari pada neonatus aterm dan 3 hari pada bayi prematur untuk memprediksi
adanya kematian batang otak masih menjadi perdebatan.
1, 3-7
Sebetulnya untuk menentukan kematian otak
pada neonatus diperlukan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan EEG dan atau isotop aliran darah
otak.
1,3
Peranan EEG untuk menentukan kematian otak pada neonatus masih belum jelas.
2
Tidak adanya
cerebral blood flow pada radionuclide scans dan aktivitas elektrik pada EEG adalah tidak konsisten
didapatkan pada neonatus yang secara klinis mengalami kematian otak.
1
Diagnosis kematian batang otak
pada pada neonatus cukup berdasarkan klinis di mana penyebab koma sudah diketahui dan semua
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


pengaruh obat-obatan dan keadaan yang bersifat reversibel sudah disingkirkan.
16
Jika secara klinis tidak
ada perubahan selama 24 jam, maka dapat dibuat diagnosis kematian batang otak.
16
Pada neonatus,
sebagai tambahan petunjuk klinis kematian otak adalah fixed heart rate tanpa deselerasi atau akselerasi.
1, 2

DIAGNOSA BANDING
Perlu dipikirkan penyakit atau keadaan lain yang manifestasi klinisnya berupa neonatal ensefalopati,
yaitu:
1-7
1)Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan, 2) Infeksi
virus, sepsis atau meningitis, 3) Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru, 4)Penyakit
neuromuskular, 4)Trauma persalinan, 5) Kelainan metabolisme bawaan.
Hal ini perlu dikomunikasikan kepada orang tua. Kalau neonatus nilai apgarnya rendah, beritahu pada
keluarganya kalau bayinya nilai apgarnya rendah atau bayi dalam keadaan jelek, hindari kata-kata asfiksia
sebelum penyebab asfiksia diketahui.
3
Sebaliknya kalau nilai apgarnya baik jangan katakan bayinya dalam
keadaan baik, tetapi katakanlah nilai apgarnya baik, bayi ini masih dalam masa transisi kehidupan intrauterine ke
ekstrauterine antara 6 sampai 72 jam pertama.
1,3

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis ensefalopati
hipoksik iskemik. Pemeriksaan laboratorium dikerjakan untuk memonitor fungsi maupun kelainan organ sistemik
dan cedera otak.
1-7
Pemeriksaan antara lain:
1. Pemeriksaan darah lengkap.
2. Gula darah.
3. Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
4. Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg).
5. BUN dan serum kreatinin.
6. Faal pembekuan darah.
7. Faal hati.
8. Analisa gas darah.
9. Foto torak.
10. Pungsi lumbal dikerjakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pendarahan intrakarnial atau
menyingkirkan adanya meningitis.
2, 7

11. Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan prognosis penderita.
2, 3 4

12. Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sangat membantu pada bayi yang prematur.
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya <30 minggu, minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14
hari, dan diperiksa kembali pada umur kronologisnya 36-40 minggu. Cara ini dapat mengidentifikasi
pendarahan intraventrikuler dan necrosis basal ganglia dan thalamus.
4-5

13. Computed tomography (CT) scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami cedera hipoksik iskemik
biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala pada usia 2-5 hari, di mana pada waktu tersebut timbul
edema cerebri yang maksimal. Proses perdarahan akut dan klasifikasi intrakranial akan lebih baik
divisualisasi dengan pemeriksaan CT scan dibandingkan dengan pemeriksaan MRI. Pada bayi prematur
yang mengalami hypoxic
ischemic injury, pemeriksaan dengan CT scan kepala kurang memberikan hasil yang memuaskan
karena pada bayi prematur struktur jaringan otaknya masih imatur dan lebih banyak mengandung
cairan.
2, 4 5

14. Magnetic resonance imaging (MRI) kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi bayi prematur
maupun aterm yang mengalami cedera hipoksik iskemik yang mungkin tidak bisa divisualisasi dengan
cara neuro imaging lainnya. Jika pemeriksaan CT scan telah dilakukan dan tidak menghasilkan
kesimpulan, maka MRI dikerjakan antara umur 2-10 hari. Tetapi karena kesulitan teknik,
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemeriksaan dan sulitnya monitoring bayi yang
mengalami cedera hipoksik iskemik, maka penggunaannya dibatasi.
2, 4 5

PENATALAKSANAAN
A. Upaya yang optimal adalah pencegahan.
1-7
Tujuan utama, yaitu mengidentifikasi dan mencegah fetus dan
neonatus yang mempunyai resiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga persalinannya.
B. Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan atau ensefalopati hipoksik iskemik.
1-
7

1. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO
2
dalam kadar yang fisiologis.
Hypercarbia akan menyebabkan acidosis cerebral dan vasodilatasi pembuluh darah cerebral yang
menyebabkan aliran perfusi pada daerah yang tidak terkena menjadi meningkat dengan relatif iskemia
merusak jaringan tersebut (steal phenomenon) memperluas infark, dan menimbulkan pendarahan
intrakranial. Sebaliknya hipokarbia (Paco
2
< 20-25 mm Hg) akan menyebabkan menurunnya aliran
darah otak dengan akibat ischemic injury.
2. Oksigenasi yang adekuat. Hypoxia akan menyebabkan pressure-passive circulation dan neuronal injury
yang disebabkan karena adanya gangguan autoregulasi vaskuler serebral. Sebaliknya hyperoxia akan
menyebabkan neuronal injury karena berkurangnya aliran darah otak dan adanya perubahan vaso-
obliterative yang menyebabkan retinopathy of prematurity. Di samping itu, hyperoxia akan
menyebabkan kerusakan jaringan bertambah berat karena adanya peningkatan radikal bebas.
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


3. Perfusi yang adekuat. Mempertahankan tekanan darah arterial dalam batas normal sesuai dengan umur
kehamilan dan beratnya. Jika terlalu rendah akan menyebabkan iskemik, bila terlalu tinggi akan
menyebabkan pendarahan pada daerah germinal matrix dan intraventrikular pada bayi prematur.
Hindarilah hematrocrit lebih dari 65% (hiperviskositas)
yang dapat menyebabkan menurunnya cerebral blood flow velocity dan timbul ischemic dan pendarahan
dengan gejala-gejala klinis neurologi kejang, letargi, atau apnea.
4. Koreksi asidosis metabolik. Tujuan utama untuk memelihara keseimbangan asam basa dalam jaringan tetap
normal. Perfuse or lose gunakan bikarbonat hanya bila resusitasi kardiopulmonar berkepanjangan dan bayi
tidak ada respon serta ventilasi sudah baik. Diberikan NaBic 4,2% dosis 1-2 mEq/Kg BB atau 2 ml/Kg BB.
Penggunaan bikarbonat mungkin menyebabkan hypercarbia dan asidosis intraselular dan meningkatnya asam
laktat.
5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL, untuk menyediakan bahan yang adekuat
bagi metabolisme otak. Hindarilah hyperglycemia untuk mencegah hyperosmolality dan kemungkinan
meningkatnya kadar asam laktat dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan edema cerebri dan mengganggu
autoregulasi vaskuler sehingga timbul pendarahan. Bila kadar glukosa rendah dapat menimbulkan neuronal
injury dan memperluas daerah yang mengalami infark.
6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal. Hypocalcemia adalah suatu kelainan elektrolit
yang sering dijumpai pada sindroma postasfiksia neonatal dengan gejala kejang. Diberikan Ca glukonas 10%
200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan secara intravena
dalam waktu 5 menit.
7. Atasi kejang. Bila ada kejang maka phenobarbital adalah obat pilihan.
1-7, 11 12
Dosis 20 mg/kg diberikan iv
dalam 10-15 menit.
1-7
Dosis ini dapat mencapai kadar dalam darah 20
g/ml. Sayangnya di Indonesia belum tersedia preparat phenobarbital yang diberikan intravena. Phenobarbital
dapat diberikan secara intramuskuler.
2
Dosis intramuskuler yang diberikan adalah 10-15% lebih tinggi dari
pemberian intravena.
2
Jika kejangnya hilang diberikan dengan dosis rumatan 3-4 mg/kg BB/hari dengan
selisih waktu 12 jam kemudian.
1,

2
Secara teoritis, bila penderita masih kejang dapat diberikan tambahan
phenobarbital dengan dosis 5 mg/kg BB setiap 5 menit sampai kejang berhenti, atau sampai dosis 40 mg/kg
BB sudah tercapai. Tetapi kenyataannya pada neonatus yang mengalami asfiksia di mana telah mendapatkan
phenobarbital dosis 20 mg/kg BB akan menyebabkan ngantuk dan sulit menganalisa neorologisnya. Oleh
karena itu apabila neonatus yang mengalami asfiksia dan kejang yang telah diberikan phenobarbital dosis
sampai 20 mg/kg BB tidak memberikan respon, maka diberikan fenitoin dengan dosis 20 mg/kg BB intravena
dalam waktu 30 menit atau 1 mg/kg BB/menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 5-10 mg/kg/BB/hari
diberikan setiap 8 jam.
2
Perlu diperhatikan obat harus masuk dalam intravena karena pH larutannya 12
sehingga menyebabkan vena perifer mudah pecah. Di samping itu perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


kardiak aritmia.
2
Pada umumnya dengan pengobatan kombinasi
penobarbital dengan fenitoin maka 85% kejang dapat diatasi. Bila tetap kejang maka diberikan
lorazepam.
2
Lorazepam adalah suatu anti convulsan golongan benzodiazepim diberikan dengan dosis
0,05-0,10 mg/kg BB intravena dalam waktu beberapa menit. Dengan pengobatan ini, 95-100% kejang
akan berhenti.
2
Keuntungan lorazepam efek sampingnya terhadap depresi pernafasan dan hipotensi lebih
ringan dibandingkan diazepam. Disamping itu pengeluarannya dari jaringan otak lebih lambat, tetapi
preparat ini belum tersedia di Indonesia. Pemberian diazepam pada asfiksia perinatal yang mengalami
kejang tidak begitu disukai apalagi dikombinasikan dengan pemberian phenobarbital.
1, 3
Secara teoritis,
pemberian diazepam dalam beberapa menit sudah dikeluarkan dari otak, menyebabkan depresi kardio
pulmonar apabila dikombinasikan dengan phenobarbital, adanya Na-benzoate sebagai vehikulum akan
terjadi kompetitif inhibitor terhadap ikatan kompleks albumin bilirubin sehingga bayi menjadi ikterus.
2

Tetapi kenyataannya masih dapat diberikan pada neonatus yang mengalami asfiksia berat dengan dosis
0,3 mg/kg BB/jam secara continous infusion
2
Pemberian obat antikonvulsan dapat menghentikan kejang
secara klinis, tetapi belum tentu menghilangkan kejang elektrografik.
1, 2
Jadi hilangnya kejang secara
klinis belum menunjukkan keberhasilan pengobatan.
2
Perlu dilakukan pemeriksaan EEG.
1-7
Bila saat
pulang pemeriksaan EEG normal maka antikonvulsan diberhentikan. Jika EEG saat pulang masih
abnormal, terapi antikonvulsan phenobarbital 3-4 mg/kg/hari dilanjutkan 1 bulan, jika menggunakan
antikonvulsan fenitoin, maka dosis rumatannya 3-4 mg/kg/hari. Apabila pemeriksaan EEG setelah 1 bulan
normal, pengobatan dihentikan, tetapi bila hasil pemeriksaan EEG tetap abnormal, terapi dilanjutkan
sampai 3 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan EEG lagi. Bila pemeriksaan EEG tetap abnormal,
terapi dilanjutkan sampai umur 1 tahun.
2

8. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah timbulnya edema cerebri dengan cara
mencegah overload dari cairan. Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah
bayi kemungkinan timbul SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Deuretic Hormon). Penggunaan
glucocorticoids dan osmotic agents tidak direkomendasikan.
1-7, 11 12

C. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat (delayed neural death)
1
'
1
Secara estimasi,
ada celah waktu (window of opportunity) 6-12 jam untuk mengurangi atau mencegah kerusakan otak pada
neonatus yang timbul asfiksia dengan cara memberikan suatu neuroprotektif.
2, 4
Mencegah otak dari
kerusakan tergantung dari status dasar otak fetus. Banyak cara yang masih dalam penelitian, antara lain:
1-7

1. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan allopurinol, superoxide
dismutase, vitamin E, resusitasi dengan udara ruangan.
1-5, 7

2. Hipotermi. Dengan cara selective head cooling, atau mild systemic hypothermia, atau selective head
cooling dan mild systemic hypothermia dapat mencegah kerusakan otak
17-20
dengan cara:
2

a. Mengurangi proses metabolisme dan energi yang hilang.
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


b. Mengurangi pelepasan glutamat (excitatory transmitter).
c. Mengurangi ion Ca yang masuk dalam sel.
d. Menghambat produksi radikal bebas dan sintesis nitric oxide.
3. Pemberian phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg BB intravena dalam waktu 1 jam.
21

4. Ca
2
+ channel blockers.
1-7

5. Magnesium sulfat.
1-7

Saat ini, di antara beberapa macam cara pengobatan di atas, yang banyak menjadi perhatian untuk penelitian,
yaitu dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dan hipotermi yang titik kerjanya di
beberapa tempat.
1-2

D. Pengobatan supportive untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan. Pada asfiksia perinatal pada
umumnya terjadi kelainan dari berbagai organ. Pengobatan ensefalopati hipoksik iskemik perinatal secara
holistik menyeluruh dan utuh, karena kelainan satu organ akan mempengaruhi organ lainnya.
1-7

PROGNOSIS
Penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh total,
cacat, atau meninggal dunia.
1-7
Di Amerika Serikat angka kematian bayi secara keseluruhan pada bayi dengan
ensefalopati hipoksik iskemik ringan sampai berat adalah 12,5%
1
, di Rumah Sakit Dr. Soetomo angka kematian
18,85%.
9
Pada stadium ringan pada umumnya sembuh total, pada stadium sedang, 80% normal, sisanya timbul
kelainan bila gejalanya tetap ada lebih dari 5-7 hari.
10
Pada abad 19 di Amerika Serikat ada anggapan bahwa
penyebab utama dari CP dan
22 3,5,22
retardasi mental adalah asfiksia intrapartum. Pendapat ini adalah keliru. Hanya 8% penderita CP yang terbukti
disebabkan karena asfiksia perinatal.
23
Pada anak yang menderita serebral palsi, 80% nilai apgarnya normal. 80%
palsi serebral terjadi antepartum.
22-28
Menurut data dari National Collaborative Perinatal Project (NCPP) dan
British National Child Development Study (BNCDS), faktor persalinan perinatal memberikan dampak yang kecil
terhadap timbulnya retardasi mental dan kejang.
1
Hanya 3-13% anak yang menderita palsi serebral terbukti
menderita asfiksia intrapartum.
1

Dikatakan CP menyebabkan asfiksia perinatal.
22
CP yang disebabkan oleh karena asfiksia perinatal pada
umumnya berupa serebral palsi quadri plegia spastik atau diskinetik.
2, 3

Bagaimanapun juga nilai prediksi untuk hasil perkembangan neurologi yang lanjut sulit dievaluasi,
terutama jika dianalisa secara individual, karena pengaruh lingkungan, psikososial, kebiasaan, dan pengaruh
lainnya merupakan faktor yang mempengaruhi outcome jangka panjang. Tetapi ada beberapa faktor atau keadaan
yang dapat dipakai untuk menilai prognosis. Prognosisnya jelek apabila:
1-4, 10

1. Asfiksia berat yang berkepanjangan (Apgar score =3 pada umur 20 menit).
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


2. Ensefalopati hipoksik iskemik stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat, 50% meninggal dunia, sisanya
timbul gejala sisa yang berat.
3. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan multi organ.
4. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat dipulangkan, 50% akan timbul epilepsi.
5. Adanya oliguria persisten (produksi urine <1 ml/kg BB per jam selama 36 jam pertama).
6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio lingkaran kepala yang didapatkan pada
waktu lahir dibandingkan dengan usia 4 bulan dibagi rerata lingkaran kepala pada usianya kali 100% >
3,1% merupakan cara untuk memprediksi timbulnya mikrosefali sebelum usia 18 bulan.
29

7. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat.
1, 2 5-7
Adanya EEG yang normal atau ringan yang terjadi
pada hari pertama setelah lahir merupakan tanda outcome yang normal, Adanya EEG yang normal atau
mendekati normal yang terjadi pada hari pertama setelah lahir walaupun bayinya koma, merupakan
prediksi yang kuat outcome neurologik yang baik. Pemulihan EEG yang normal pada hari ke-7 biasanya
disertai dengan outcome yang normal.
2

8. Adanya kelainan CT scan yang berupa pendarahan yang berat, periventrikuler leukomalasi (PVL) atau
nekrosis.
9. Kelainan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir. Sebaliknya pemeriksaan MRI yang
normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir selalu menghasilkan prediksi outcome yang baik, walaupun
pada neonatus yang mengalami asphyxia berat.
1, 2

FOLLOW UP PENDERITA
Sejak awal, orang tua atau keluarga penderita perlu diberi penjelasan kemungkinan yang terbaik dan yang
terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan fisik, rehabilitasi
medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit, penderita yang mengalami ensefalopati
hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi secara berkesinambungan di poliklinik khusus dengan melibatkan
beberapa keahlian disiplin ilmu, seperti neonatologi, pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh kembang
anak, rehabilitasi medis, orthopedi, dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk
menangani penderita ensefalopati hipoksik iskemik.
1-7

DAFTAR PUSTAKA
1. Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR eds. Manual of
Neonatal Care 5
th
ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 536-55.
2. Volpe J.J. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In:Volpe J.J.eds. Neurology of the Newborn 4
th
ed.
Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of
Neonatology 4
th
ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL,
Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems,
Continuing Education XXXVI
Ensefalopati Hipoksik Iskemik Perinatal
Martono Tri Utomo, Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M Damanik


Diseases, and Drugs 5
th
ed. New York, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004; 208
11.
5. Hill A. Neurogical and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald MG, Mullett MD, Seshia MMK eds.
Avery's Neonatalogy Pathophysiology & Management of the Newborn 6
th
ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2005; 1384-409.
6. Stoll BJ, Kliegman RM..Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM Jenson HB eds.
Nelson Textbook of Pediatrics 17
th
ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
7. Scher MS.Brain Disorders of the Fetus and Neonate. In: Klaus MH, Fanaroff AA eds. Care of The High
Risk Neonate 5
th
ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2001; 481-527.
8. American Academy of Pediatrics Committee on Fetus and Newborn and American College ofObstetrics
and Gynecologists Committee on Obstetric Practice: Use and abuse of the Apgar score. Pediatrics
1996(98): 141-2.
9. Laporan Tahunan Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2004.
10. Sarnat HB,Sarnat MS. Neonatal encephalopathy following fetal distress. A clinical and
electroencephalographic study. Arch Neurol 1976(33):696-705.
11. Vannuci RC. Current and potentially new management strategies for perinatal hypoxic-ischemic
encephalopathy. Pediatrics 1990(85):961-8.
12. Vannuci RC, Perlman JM. Interventions for perinatal hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics
1997(100): 1004-14.
13. Martin-Ancel A, Garcia-Alix A, Cabanas FGF. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia. J
Pediatr 1995(127):786-93.
14. Perlman J.M., E.D. Tack, T. Martin, G. Shackelford, E. Amon. Acute systemic organ injury in term
infants after asphyxia.Am J Dis Child 1989(143): 617-20.
15. Ad Hoc Task Force. Guidelines for the determination of brain death in children American Academy of
Pediatrics Task Force on Brain Death in Children. Pediatrics 1987(80): 298-300.
16. Ashwal S, Schenider S. Brain death in the newborn. Pediatrics 1989(84): 429-37.
17. Gunn AJ,Gluckman PD,Gunn TR. Selective head cooling in newborn infants after perinatal asphyxia: A
safety study. Pediatric 1998(102):885-92.
18. Battin MR,Dezoete JA,Gunn TR,Gluckman PD,Gunn AJ. Neurodevelopmental outcome of infants
treated with head cooling and mild hypothermia after perinatal asphysia. Pediatrics 2001(107):480-4.
19. Rutherford MA,Azzopardi D,Whitelaw A,S.Renowden FC,Edwards AD,Thoresen M. Mild hypothermia
and the distribution of cerebral lesions in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics
2005(116): 1001-6.
20. Battin MR,Penrice J,Gunn TR,Gunn AJ. Treatment of term infants with head cooling and mild systemic
hypothermia (35.0
0
C and 34.5
0
C) after asphyxia. Pediatrics 2003(111): 244-51.
21. Hall RT,Hail FK,Daily DK. High-dose phenobarbital therapy in term newborn infants with severe perinatal
asphyxia: A randomized,prospective study with three-year follow-up. J.Pediatr 1998(132): 345-8.
22. Perlman JM. Intrapartum hypoxic-ischemic cerebral injury and subsequent cerebral palsy: medicolegal issues.
Pediatrics 1997(99): 851-9.
23. Blair E,Stanley FJ. Intrapartum asphyxia: A rare cause of cerebral palsy. J.Pediatr 1998;112:515-9.
24. Freeman JM, Avery G, Brann AW. National Institutes of Health Report on Causes of Mental Retardation and
Cerebral Palsy. Pediatrics 1985(76) :457-8.
25. Torfs CP, Van den Berg BJ, Oechsli FW, Cummins S. Prenatal and perinatal factors in the etiology of
cerebral palsy. J Pediatr 1990: 615-9.
26. Freeman JM, Nelson KB. Intrapartum asphyxia and cerebral palsy. Pediatrics 1988(82):240-9.
27. Scher MS, Belfar H, Martin J, Painter MJ. Destructive brain lesions of presumed fetal onset: Antepartum
causes of cerebral palsy. Pediatrics 1991(88): 898-906.
28. Lupton BA, Hill A, Roland EH, Whitfield MF, Flodmark O. Brain swelling in the asphyxiated term newborn:
Pathogenesis and outcome. Pediatrics 1988(82): 139-46.
29. Cordes I,Roland EH,Lupton BA,Hill A.Early Prediction of the development of microcephaly after hypoxic-
ischemic encephalopathy in the full-term newborn. Pediatrics 1994(93):703-7.

You might also like