You are on page 1of 37

i

REFERAT
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

Disusun oleh :
Arby Shafara Sekundaputra
20090310177

Diajukan kepada :
dr. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KRT. SETYONEGORO WONOSOBO
2013
ii

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal :
18 November 2013


Oleh : Arby Shafara Sekundaputra





Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian ilmu Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo



dr. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes
iii

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr. Wb.

Allahamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan REFERAT untuk memenuhi
sebagian syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi kedokteran di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo dengan judul:
LUPUS ERITEMATOSUSU SISTEMIK
Penulisan REFEREAT ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, maka
dengan kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Dr. Arlyn Yuanita, Sp. PD, M.Kes , selaku dosen pembimbing dan penguji
2. Segenap perawat bangsal cempaka dan IGD RSUD Wonosobo
3. Teman-teman dokter muda
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan REFERAT ini,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menyempurnakannya.
Wasalamualaikum wr.wb.

Wonosobo, November 2013


Penulis
iv

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 2
BAB II 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
A. Definisi 3
B. Epidemiologi 3
C. Patogenesis 4
D. Manifestasi Klinik 6
E. Penegakan Diagnosis 9
F. Pemeriksaan Penunjang 11
G. Derajat Berat Ringannya Penyakit 12
H. Penatalaksanaan LES Secara Umum 14
I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus 21
J. Prognosis 29
BAB III 31
KESIMPULAN 31
DAFTAR PUSTAKA 32
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi
patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang
bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, perikarditis,
kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat
1
.
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-
370 s.m) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus
(1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea
kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti
kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi
sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William Osler
(1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis dan
endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan
gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan
Schifrin serta Gross, Keith dan Rowntree
2
.
Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1
3
. Belum terdapat
data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus
LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat,
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan
2

klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode
aktif, terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul,
LES dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat
4
.
Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data
yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien
dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-
tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
5
.
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam
dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat, untuk inilah referat ini dibuat.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis serta terapi dan prognosis dari Lupus
Eritematosus Sistemik (LES).
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan
1
.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh
4
. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang)
yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan
mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi
mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ
yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir
dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya,
artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES
belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem
imun.
B. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi
dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat
4

ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun
(masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar
antara 5,5-9 : 1
1
.
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian
pada periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000
perawatan. Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per
10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per
10.000 perawatan
1
.
C. Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama
gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan
gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II,
yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4,
dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin
6
.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa
gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem
fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
5

Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis
sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun
6
.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada
self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis
keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok
memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung
dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga
memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah
satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis
6
.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal
sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES
7
.
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (
ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel
lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal
9
.
6

D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh
serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada
akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
1. Manifestasi konstitusional
1

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya,
kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan
kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan,
serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat
badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40
0
C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
1

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling
sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
7

berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu
artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali
dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas ,
kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit
dan terapi steroid.
3. Manifestasi Kulit
9

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat
ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,
livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Paru
9

Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi
pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara
akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita
akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal.
Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau
pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus
ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis
1,9

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
8

muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid
jangka panjang.
6. Manifestasi Renal
1

Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai
keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal
1,9

Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit
hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,
splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan
SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.
8. Manifestasi Hemopoetik
9

Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES
yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf
9

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
9

Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan
psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
E. Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium.
American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11
kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis
LES dapat ditegakan (lihat tabel 1).

10

Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
10
No Kriteria Batasan
1. Ruam malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
2. Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada
LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
3. fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
4. Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa.
5. Artitritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. serositis
a. Pleuritis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Perikarditis
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium
7. Gangguan renal
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. atau

Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
8. Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit). atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
9.
Gangguan
hematologi
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
10.
Gangguan
imunologik
a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal.
Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau

c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis sekurang-
kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi anbodi treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
11

antinuklear positif
(ANA)
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.


Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki
sensitifitas 85% dan spesi isitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria
dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
12

lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi
kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan
atau pada orang normal.

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes
ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran
klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2
sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES
umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-
dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan
ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes
spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan
diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat
rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -
30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang
normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk
diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti
anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
G. Derajat Berat Ringannya Penyakit
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
13

pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.

Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa
11
1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,
emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi.
14

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, trombosis vena atau arteri.


H. Penatalaksanaan LES Secara Umum
1. Edukasi
12

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu
secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya,
penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka
dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari,
baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari.
Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari
jendela. Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung,
ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan
pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut
gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau
siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES
15

dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan
aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal
penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila
pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari
2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-
5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian
panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan
kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat
yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
3. Terapi Konservatif
a) Athritis, athralgia dan myalgia
1

Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat
diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid.
Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek
sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek
samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus
16

diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara
berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian
obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam
waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera
distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin
lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini
mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons
adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis
rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat
dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi arthritis pada penderita LES.
b) Lupus Kutaneus
1

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas.
Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar
ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar
fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung terhadap
paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,
kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan
menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa
krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar
ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah
mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal
harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat
diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,
17

teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan
dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik,
misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan
glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason
dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi
harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang
berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus
kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.
Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan
imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson
dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem
hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan
anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di
kulit.
c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik
1

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.
Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan
penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh
pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi
masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan
yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES
dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
d) Serositis
1

18

Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat
diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria
atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang
berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol
penyakitnya

4. Terapi Agresif
a) Kortikosteroid
12

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan
efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak
dipakai sebagai antiin lamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid
yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah
interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi
berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.

Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid
Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison
atau setara perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison
atau setara perhari
Dosis sangat tinggi >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse >250 mg prednison atau setara perhari
untuk 1 hari atau beberapa hari

Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana
kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang
aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut
yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
19

Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini
biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram
metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut.
b) Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol
penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent
ini adalah siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.
1) Siklofosfamid
1

Indikasi siklofosfamid pada LES :
1.1) Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid
sparing agent).
1.2) Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi.
1.3) Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid
jangka lama atau berulang.
1.4) Glomerulonefritis difus awal.
1.5) LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
1.6) Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin
serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
1.7) LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl
0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24
jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada
terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
20

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus
dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis
siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan
jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid
yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada
pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan
muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan
fungsi ovarium dan azoospermia.
2) Azatioprin
1

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari
dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12
bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan
dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga
dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya
betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
3) Siklosporin
1

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES
adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini
dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.
Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin
darah sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya harus
diturunkan.
21

Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini


Keterangan :
TR : tidak respon
RS : respon sebagian,
RP : respon penuh
OAINS : obat anti inflamasi non steroid,
CYC : siklofosfamid,
NPSLE : neuropsikiatri SLE.
KS : kortikosteroid setara prednison
AZA : azatioprin
MP : metilprednisolon

I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus
1. Lupus dalam Kehamilan
12

Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan
namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis
masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam
22

keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia
juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a) Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi
total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan
remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
b) Kontrasepsi untuk LES
12

Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus
sangatlah terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara
individual, tergantung kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan
pilihan bagi penderita dengan keadaan yang stabil, tanpa sindrom
antifospolipid (APS). Kekhawatiran penggunaan kontrasepsi oral ini
sebelumnya adalah kekambuhan penyakit akibat hormon estrogen yang
ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian mendapatkan bukti ini
sangat lemah. Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada
penderita LES dengan APS karena dapat mengakibatkan trombosis.
Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita yang
mendapat kortikosteroid atau obat imunosupresan tidak
direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan
hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron acetate
(DMPA) dapat merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini
dikhawatirkan adanya kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang
(menimbulkan osteoporosis), sehingga hanya diberikan berdasarkan
indikasi tiap-tiap individu, contohnya mereka dengan kelainan
perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA merupakan pilihan
yang terbaik.

23

c) Medikamentosa:
1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan
penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan
obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.

Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui
12
Nama obat Kehamilan Menyusui
NSAID Boleh (hindari setelah
minggu ke 32
boleh
Anti malaria boleh boleh
Kortikosteroid Boleh sebaiknya dosis
tidak lebih dari 7.5
mg/hari
Boleh sampai 20
mg/hari
Siklosporin boleh boleh
Azitosprin Boleh, dosis sebaiknya
tidak lebih dari 1,5-2
mg/kgBB/hari
boleh
Metrotrexat Tidak, dan harus
dihentikan minimal 3
bulan sebelum konsepsi
Tidak
Siklofosfamid Tidak Tidak
Wafarain Tidak boleh
Heparin boleh boleh
Aspirin dosis rendah boleh boleh

2. Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)
12

Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma
Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana
terjadi akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid.
Penyakit ini merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang
24

atau keduanya disertai peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang
menetap yaitu antibodi antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan
(LA). Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan konsensus internasional
kriteria klasifikasi sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang disepakati
tahun 2006, apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan
laboratorium sebagaimana tertera di bawah ini:
Kriteria Klinis:
a) Trombosis vaskular: Penyakit tromboembolik vena (Trombosis
vena dalam, emboli pulmonal)
b) Penyakit tromboemboli arteri : Trombosis pembuluh darah kecil
c) Gangguan pada kehamilan:
> 1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia 10
minggu kehamilan atau
> 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan 34
minggu atau
> 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada
usia kehamilan < 10 minggu
Kriteria Laboratorium:
a) Positif lupus antikoagulan
b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang
atau tinggi).
c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein
(anti 2 GP) I (sedang atau tinggi).
Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang
berikutnya adalah 12 minggu untuk melihat persistensinya
3. Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)
12

Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria
diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE
sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan
dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan
psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari
25

kasus NPSLE akibat tidak adanya kesepakatan dalam definisi
penyakit, karena itu American College of Rheumatology (ACR)
mengeluarkan suatu klasifikasi untuk membuat keseragaman tersebut.

Tabel 4.Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR
Sistem saraf pusat Sistem saraf perifer
Acute confusional state Polineuropati
Disfungsi kognitif pleksopati
psikosis Mononeuropati (tunggal/ multi
pleks)
Gangguan mood Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain dan
hipertensi intrakranial ringan)
Mistenia gravis
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial

Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan
manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.
Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti,
namun tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja,
namun berbagai mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan
penyebabnya sehingga disimpulkan LES sendiri sebagai penyebab
manifestasi tersebut (NPSLE primer) sedangkan sisanya 40% disebabkan
oleh faktor sekunder yang berhubungan dengan LES seperti infeksi, efek
26

samping obat atau gangguan metabolik akibat kerusakan pada organ lain
dalam tubuh.
Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan
NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47% penderita
dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI
konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan
penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization
Transfer Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi
secara kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI konvensional dalam
mendeteksi NPSLE primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka
dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan.
4. Lupus Nefritis
12

Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.
Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan
menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World
Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh
International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari
imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.




27

Tabel 5. Klasifikasi lupus nefritis oleh
I nternational Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (I SN/RPS)
12
Kelas I Minimal mesangial lupus nefritis
Kelas II Mesangial proliferative lupus nefritis
Kelas III Fokal lupus nefritis
III(A) : Lesi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis
III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing
lupus nefritis
III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S(A) : Lesi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis
IV-G(A) : Lesi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis
IV-S (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-G (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-S (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
IV-G (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar
Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis

Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering
tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau
hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut
adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti
dsDNA dan C3.
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi prognosis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut adalah ras
hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi
imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk







28

Tatalaksana Lupus Nefritis
12
a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan
tersedianya dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan
sangat berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan
biopsi ginjal diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis
dimana terapi tambahan agresif diperlukan.
b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama
sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen,
anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung
situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis
diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain
diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.
c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien
dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat
antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan
angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama
untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja
atau dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada
seluruh pasien hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop
diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi
dengan monitor elektrolit yang baik.
d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga
harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target
terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah
kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan
LES masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus
dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak
seperti HMG Co-A reductase inhibitors
29

e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam
dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih
dari 3 bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi,
obat-obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat
(kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameter berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit,
kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot,
fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan
situasi klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari
kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi
bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).
Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam
waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat
risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian
gagal ginjal juga meningkat.
J. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada
pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,
tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita
30

pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih
rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan
dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,
perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan
medis umum.
31

BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan saalah satu penyakit yang tidak
mudah didiagnosa dikarenakan banyaknya variasi dari manifestasi klinis yang
ditimbulkannya. Dalam melakukan penegakan diagnosa LES dibutuhkan
adanya pengamatan klinis yang baik serta pemeriksaan Antibodi Antinuklear
(ANA), yang keduanya harus menunjukan hasil yang positif.
Penatalaksanaan pada LES dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis
diantaranya edukasi dan program rehabilitasi, sedangkan terapi farmakologis
meliputi terapi konservatif dan terapi agresif





32

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf

3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus
rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318.

4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat
alaksanaannya.pdf

5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.
J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110
8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production
by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol; 282-
288
9. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7].
Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Roth ield NF, et al.
1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277

33

11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta

You might also like