You are on page 1of 16

1

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn DAN
Umur : 22 tahun
No. RM : 525805
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Panulisan 01/01 Dayeuh Luhur Cilacap
Tanggal periksa : 31 Mei 2011

II. ANAMNESIS
Autoanamnesa dari pasien pada tanggal 1 Juni 2011.
A. Keluhan Utama:
Post KLL, memar pada hidung, hidung berdarah, kelainan bentuk pada hidung,
luka di daerah antara hidung dengan mulut.
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien konsulan dari dr SpB dengan keterangan, hematom nasal,
deformitas nasal dengan epistaksis. Pasien mengatakan, pasien kecelakaan di
depan Taman Pintar, tabrakan antar sepeda motor. Riwayat hilang kesadaran
disangkal, pasien mengeluhkan nyeri didaerah sekitar hidung, dan bawah hidung,
perdarahan dirasakan keluar dari kedua lubang hidung, banyak, pasien tidak
mengeluhkan adanya gangguan penghidu.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami penyakit serupa.
Riwayat trauma kepala diterima.
D. Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
E. Anamnesis Sistem
- Sistem serebrospinal : tidak panas, pusing, tidak mual
- Sistem respiratorius : tidak sesak nafas, batuk (-)
- Sistem kardiovaskuler : tidak berdebar-debar
2
- Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
- Sistem anogenital : tidak ada keluhan
- Sistem muskuloskeletal : tidak ada hambatan dalam bergerak
- Sistem integumentum : suhu raba hangat, terdapat luka robek di bawah
hidung, nyeri

III. PEMERIKSAAN
Keadaan Umum : baik,
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Suhu : 37,2
0
C
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi Rate : 24 x/menit, reguler, thorako abdominal

Status Lokalis
Terdapat vulnus excoriatum di angulus nasolabialis, sudah diberi antiseptik.
Terdapat hematom di regio nasal.
Terdapat deformitas ke arah regio nasal sinistra.

1. Telinga

Inspeksi, Palpasi, Perkusi
AD/AS :hematom (-/-), edema (-/-), otore (-/-), CAE
(+/+), nyeri tragus (-/-), nyeri mastoid (-/-),
nyeri retro auriculer (-/-), fistel (-/-), nll. Tidak
teraba.
Otoskopi
AD/AS :CAE hiperemis (-/-), nyeri (-/-), otore (-/-),
cerumen (+/+) sedikit, membrana timpani
utuh, mukosa tidak hiperemis.

Fungsional (Test Pendengaran : Garpu Tala)
- Rinne : tidak dilakukan
- Webber : tidak dilakukan
- Swabach : tidak dilakukan

3
2. Hidung dan Paranasal



Inspeksi, Palpasi, Perkusi
Deviasi nasal (-), massa (-), obstruksi nasal (-),
rhinorrea (-), darah (+), nyeri tekan (+)
SPN : edema nasal (+), NT pipi/kelopak bawah (-),
NT pangkal hidung(+)/kelopak atas (-) .

Rhinoskopi Anterior
Septum letak sentral, deformitas os nasal (+).
ND/NS :Mukosa hiperemis (-/-), mukosa pucat (-/-),
edema concha (-/-), massa (-/-), vimbrissae
(+/+), discharge (+/+).

Rhinskopi Posterior
Tidak dilakukan

-
3. Tenggorokan dan Laring (Leher)


Inspeksi, Palpasi
Trakhea letak sentral, gld. Thyroid tak teraba, nll. tak
teraba, massa (-), NT (-), retraksi (-).
Cavum oris : Karies (-), gigi tanggal (-) ,mukosa
mulut dalam batas normal, papil lidah
dalam batas normal, lidah mobile, protrusi
asimetris lidah (-), uvula sentral, massa (-)
Faring : mukosa tidak hiperemis, edema (-), massa
(-)
Tonsil : tidak hiperemis, tidak membesar, abses
peritonsiler (-)
Arcus palatoglossus : tidak hiperemis, protrusi
asimetris (-), massa (-)
Arcus palatopharingeus : tidak hieperemis, protrusi
asimetris (-), massa (-)

Laringoskopi Indirek
Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (26 Mei 2010)
AL : 8,0 x 10
3
Hb : 15,9 g/dl
PTT : 15,3
4
APTT : 36,3
Gol.Da : A
HbsAg : (-)
Radiologis
Struktur tulang baik
Tampak Fraktur dan deformitas os nasal tengah lateral sinistra
V. KESIMPULAN
Seorang laki-laki 22 tahun, perdarahan dari hidung post KLL, nyeri daerah
hidung, tidak ada gangguan penghidu, telinga dalam batas normal, hidung terdapat
perdarahan, vulnus eksoriatum di angulus nasolabialis, tenggorokan dalam batas
normal, laboratorium dalam batas normal, radiologi menunjukkan fraktur dan
deformitas os nasal.

VI. DIAGNOSIS
Epistaksis dan deformitas os nasal et causa fraktur nasal

VII. TERAPI
a. Kausatif :
o Pasang Tampon Hidung
b. Simtomatik :
o Analgetik : injeksi Ketorolac 1 amp/12 jam
o Antibiotik : injeksi Ceftriaxon 1 gr/12 jam

VIII. PROGNOSIS
Que ad vitam : dubia ad bonam
Que ad sanam : dubia ad bonam
Que ad fungsionam : dubia ad bonam

5
FRAKTUR NASAL

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya.
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika
disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah
biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera
leher atau kepala.
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
1. Mendapat serangan misal dipukul.
2. injury karena olah raga
3. kecelakaan (personal accident).
4. kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 penyebab diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya
dipukul dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan cedera
hidung misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala;
olah raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke
belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate; serta petinju. Trauma nasal
yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur wajah.
Trauma wajah disebabkan oleh 5 hal tergantung dari kecepatan dan kekerasan
pukulan, yaitu :
1. Bukan fraktur, disebabkan pukulan yang tidak keras.
2. Fraktur kelas 1
3. Fraktur kelas 2
4. Fraktur kelas 3
5. fraktur Le Fort tipe 2 dan 3.

Komplikasi Trauma Nasal
1. Deviasi
Deviasi dapat terjadi pada septum nasal, tulang nasal atau keduanya. Tindakan
yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty. Selain itu seiring
6
dengan perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat dilakukan
rhinoplasty. Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung. Ada 2 macam :
a. Augmentasi rhinoplasty : penambahan pada hidung. Yang harus diperhatikan
tidak boleh menambahkan injeksi silicon. Yang boleh digunakan adalah bahan
dari luar, misalnya silicon padat maupun bahan dari dalam tubuh sendiri misal
tulang rawan, flap kulit/dermatograft.
b. Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.
2. Bleeding
Terjadi bleeding karena lacerasi mucosal sebaiknya dihentikan 24 jam dengan
nasal packing atau jika persisten dan banyak dilakukan dengan membuka arteri
sphenopalatine atau arteri ethmoidal anterior. Tempat terjadinya bleeding seharusnya
diidentifikasi dan jika dari sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan
ketika arteri dibebaskan dari segmen fraktur biasanya dihentikan dengan packing
(balutan). Jika arteri ethmoidal masih terjadi bleeding setelah fraktur ethmoidal maka
dilakukan clip dengan ethmoid eksternal yang sesuai.
3. Saddling
Biasanya terjadi pada fraktur kelas 3 dan hasilnya adalah kegagalan untuk
mengextract tulang nasal dari bawah tulang frontal atau terjadi malunion tulang nasal
yang disebabkan fraktur laybirith ethmoidal.
4. Kebocoran cairan serebrospinal
Ini jarang terjadi dan disebabkan fraktur cribriform plate, fraktur dinding
posterior sinus frontal, atau jika fragmen tulang menginsersi ke dalam area dural tear
(air mata) maka akan terjadi kebocoran. Tindakan yang dilakukan dengan craniotomy
frontal. Perlu diperhatikan juga bahwa kebocoran bisa terjadi karena komplikasi dari
meningitis sehingga perlu diobservasi kondisi pasien post trauma dan periode
discharge. Penanganan dengan antibiotic prophylactic perlu dilakukan. Kebocoran
kulit cukup diobservasi selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya terjadi penutupan
spontan. Jangan lupa untuk melakukan konsultasi dengan ahli bedah saraf.
5. Komplikasi orbital
Tindakan dacryocystorrhinostomy dilakukan untuk mengatasi masalah.

7
Diagnosis
1). ANAMNESA
Mengerti akan mekanisme trauma dapat membantu tenaga medis dalam
menghadapi pasien dengan trauma. Akan sangat berguna dengan mengetahui objek
yang melukai, dari arah mana datangnya, dan seberapa kekuatannya hingga mengenai
hidung.
Pasien akan mengatakan tentang kapan dia mendapatkan trauma dan apakah
terdapat perdarahan yang menyertainya. Informasi yang dibutuhkan lainnya adalah
mengenai riwayat pembedahan, trauma dan penilaian objektif mengenai tampilan dan
fungsi dasar hidung sebelumnya. Yang terakhir, perlu didapatkan informasi apakah
pasien mengkonsumsi alcohol sebelum trauma. Hal ini berpengaruh pada pemilihan
obat analgetik yang akan digunakan, kemungkinan terjadinya trauma kembali, dan
untuk penilaian status mental yang berhubungan dengan kemungkinan trauma kepala.
2). PEMERIKSAAN FISIK
Ketika menilai pasien dengan cedera akut pada hidung, pemeriksa jangan
mengesampingkan kemungkinan adanya trauma serius. Hal ini penting jika pasien
mendapatkan trauma pada pertengahan wajahnya, kerena dapat menyebabkan cedera
vertebra servikal, dan para medis harus mengenakan alat penyangga untuk
mengamankannya hingga cedera vertebra servikal telah tersingkirkan. Selama
penilaian awal, pemeriksa harus memastikan bahwa pasien mempunyai pernafasan
yang adekuat.
Cedera hidung dapat disertai dengan trauma kepala dan leher yang lain
misalnya kemungkinan terjadi fraktur mandibula. Serta tak menutup kemungkinan
fraktur pada semua sruktur tulang pada wajah, seperti area orbita, zygomatikus, gigi,
sehingga perlu dilakukan inspeksi yang teliti dan palpasi dengan hati-hati. Seluruh
laserasi pada wajah, pembengkakan, dan deformitas harus dicatat, dan mata harus
dinilai apakah simetris dan pergerakannya baik. Jika dicurigai fraktur mandibula atau
wajah, perlu dilakukan pemeriksaan radiology, bisa dilakukan CT scan jika ada
indikasi.
Sebuah deformitas pada hidung biasanya ditemukan pada kejadian fraktur
nasal. Akan tetapi, epistaksis tanpa deformitas nasal kemungkinan juga ditemukan
8
pada beberapa kasus fraktur nasal. Edema dan ekimosis pada struktur hidung dan
periorbital dapat terlihat pada pemeriksaan beberapa jam setelah cedera.
Palpasi struktur nasal dilakukan untuk memeriksa adanya krepitasi, indensitas
atau tulang nasal yang irregular. Jika ditemukan cairan cerebrospinal (SCF) berupa
rhinorrehea yang bening, subcutaneous emphysema, perubahan status mental,
maloklusi yang baru, atau pergerakan batas-batas ekstraokular harua segera dirujuk
ke subspesialis.
Pengetahuan tentang bentuk dan penampakan hidung pasien sebelum terjadi
cedera, bertujuan untuk menentukan derajat kepahan cedera hidung. Akan lebih baik
jika dapat menemukan foto pasien ketika sebelumnya. Jika foto tidak didapatkan,
foto pasien dalam kartu identitas juga dapat digunakan.
Pemeriksaan eksternal dan internal akan sulit jika cedera nasal disertai
dengan ekimosis, edema dan perdarahan, terlebih jika dilakukan setelah lebih dari 3
jam setelah terjadi cedera. Jika kasusnya adalah pasien dengan fraktur nasal akut
tanpa komplikasi, cukup diberikan resep analgetik dan memulangkan pasien dengan
instruksi untuk istirahat, kompres es, dan meminimalkan pergerakan kepala. Karena
tidak ada acuan klinik untuk dilakukan reduksi fraktur segera. Dilakukan evaluasi
dan penatalaksanaan akan lebih aman setelah bengkak berkurang, biasanya antara 3
sampai 4 hari. Reduksi dilakukan antara 5 hingga 10 hari setelah cedera, dan
sebelum tulang nasal mulai difiksasi. Akan tetapi, sebelum itu dilakukan penanganan
hematom pada septum. Hal ini dapat tampak pada satu atau kedua sisi dari septum
nasal. (Gambar 2). Gagal dalam mengidentifikasi dan mengatasi hematom pada
septum dapat menyebabkan timbulnya infeksi sehingga kartilago septal hilang dan
akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus dicurigai jika didapati
nyeri dan pembengkakan yang menetap. Splint silastic dapat digunakan untuk
mencegah reakumulasi darah pada tempat hematom.
Pada pemeriksaan internal, dibutuhkan lampu, suction, anesthesia dan
vasokonstriktor spray hidung. Speculum hidung dan lampu kepala akan memperjelas
visualisasi. Pada inspeksi internal akan terlihat seberapa besar jendalan darah, yang
akan dikeluarkan irigasi saline hangat, suction, dan aplikator dengan kapas.
9
Anesthesia dan vasokonstriktor yang adekuat perlu diberikan sebelum
dilakukan pemeriksaan internal lengkap. Suatu pilihan yang tepat jika menggunakan
agen topical seperti spray atau injeksi local. Cocaine dalam solution 5-10%,
merupakan single terapi yang mengandung analgesia sekaligus vasokonstriktor.
Alternatif lain yang termasuk anesthesia topical intranasal adalah spay lidocaine
(Xylocaine), bupivacaine (Marcaine), dan pontocaine (Opticaine). Topikal
vasokonstriktor seperti oxymetazoline (Afrin) dan phenylephrine hydrochloride
(Neo-Synephrine) merupakan pengontrol perdarahan mengurangi edema intranasal.
Beberapa sumber menyebutkan percampuran 1 banding 1 antara decongestant topical
oxymetazoline atau phenylephrine dan 4 % lidocaine topical (liquid) adalah sama
efektifnya dengan cocaine.
Selama pemeriksaan internal, pemeriksa harus menilai patensi dari jalan
napas dan mencari asal epistaksis ataupun deformitas septum. Kemudian laserasi
mukosa perlu dicatat untuk memperkirakan adanya fraktur.
3). PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ketika ada kecurigaan fraktur nasal dengan tanpa komplikasi, perencanaan
radiografi perlu dibuat. Radiografi tidak dapat mengidentifikasikan adanya desrupsi
kartilago, dan akan sulit untuk menginterpretasikan garis sutura normal pada fraktur
nondisplased. Maka dari itu, ketika ditemukan adanya rhinorrhea cairan
serebrospinal, adanya gerakan ekstraokuler yang abnormal, terjadi maloklusi,
pencitraan CT-scan diindikasikan untuk menilai fraktur mandibula dan wajah.

Penatalaksanaan
a). Pertolongan di pelayanaan primer
Pertolongan pertama dimulai dari mengevaluasi cedera, mengetahui cerita yang
akurat dari situasi dimana kecelakaan terjadi, dan memastikan bagaimana keadaan dan
fungsi wajah dan hidung sebelum terjadi kecelakaan. Luka yang serius harus
mendapatkan penanganan, inspeksi dan palpasi nasal dilakukan untuk menilai
kelancaran jalan napas, laserasi mukosa, deformitas septum. Lakukan penilaian dari
hidung dan struktur sekitarnya, meliputi mata, mandibula dan vertebra spinal haruslah
lengkap. Temukan jika terdapat fraktur pada wajah ataupun mandibula. Pasien dengan
10
septal hematom, rhinore cairan cerebrospinal, maloklusi, atau defek pergerakan
ekstraokular harus segera dirujuk ke subspesialis. Penanganan di layanan primer
meliputi evaluasi nyeri dan manajemen infeksi serta debridemen minimal. Jika tidak
ada indikasi untuk merujuk, evaluasi keadaan pasien 3-5 hari setelah kecelakaan.
Setelah memastikan jalan napas baik, ventilasi adekuat,dan secara umum pasien
telah stabil, dapat dilakukan penatalaksaan atas fraktur nasal itu sendiri.
Penatalaksanaan dimulai dengan manajemen cedera jaringan lunak eksternal. Jika
terdapat luka terbuka dan ada kontaminasi benda asing, lakukan irigasi. Lakukan
debridemen jika diperlukan. Akan tetapi, debridemen jangan sampai berlebihan karena
jaringan juga akan diperlukan untuk menutup kartilago yang terbuka.
Adanya epistaksis biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu
dikauter, tampon nasal atau ligasi pembuluh darah. Perdarahan anterior karena laserasi
arteri etmoid anterior, cabang dari arteri optalmikus (sistem karotis interna).
Perdarahan dari posterior dari arteri etmoid posterior atau dari arteri sfenopalatina
cabang nasal lateral, dan mungkin perlu ligasi arteri maksila interna untuk
menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak perlu terlalu banyak, karena
dapat mempengaruhi suplai darah pada septum yang mengalami trauma sehingga
menyebabkan nekrosis.
Lakukan penanganan septal hematom. Septal hematom adalah adanya jendalan
darah yang mengisi ruang antara kartilago dan perikondrium. Jika tidak ditangani,
akan memudahkan terjadinya infeksi. Adanya nekrosis pada lapisan kartilago, dapat
mengakibatkan deformitas pemanen. Ketika ditemukan adanya septal hematom, harus
dilakukan aspirasi ataupun incisi dengan local anesthesia (Gambar 4). Untuk
mencegah reakumulasi darah, drain steril dapat ditempatkan disana. Akan tetapi,
penggunaan drain ini masih diperdebatkan. Selanjutnya, penataksanaan petugas medis
harus dikonsulkan dengan seorang otolaryngologist atau ahli bedah plastic jika
memungkinkan.
Ahli medis melakukan pemeriksaan eksternal dan internal (endoskopi, jika
mungkin) terakhir, sebelum mengantar pasien kepada manipulasi dan reduksi fraktur
nasal. Pemeriksaan ini untuk meneliti apakah terdapat epistaksis atau hematom
signifikan yang masih tersembunyi.
11
Status tetanus pada semua pasien harus diselidiki dan dimanajemen, antibiotic
profilaksis dapat diberikan jika terdapat indikasi, seperti adanya kontaminasi rumput
pada fraktur terbuka. Atau juga untuk pasien yang mempunyai penyakit kelemahan
kronis, immuno-compromised dan dengan hematom septal.
Reduksi pada fraktur nasal akut di pelayaan kesehartan primer hanya dikerjakan
untuk reduksi tertutup pada fraktur unilateral ringan. Sedangkan untuk reduksi terbuka
dilakukan dalam kamar operasi. Para medis yang akan melakukan reduksi baik
tertutup maupun terbuka harus mengalami prosedur pelatihan sebelumnya. Di samping
itu, karena pentingnya fungsi dan hasil kosmetik dari reduksi fraktur nasal, merujuk
kepada otolaryngologist atau ahli bedah plastic tidak lebih dari 3-5 hari.
b). Tatalaksana operasi
1.Persiapan:
Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang
akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan
permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi (Informed consent).
Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi. Beberapa
instrument sederhana digunakan disini yaitu: elevator Boies atau Ballenger, forcep
Asch dan Walsham.
Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi. Antibiotika profilaksis,
Cefazolin atau kombinasi Clindamycin dan Garamycin, dosis menyesuaikan untuk
profilaksis.
2. Teknik Operasi
1. REDUKSI TERTUTUP
Prinsip reduksi tertutup adalah untuk menyatukan kartilago dan struktur tulang
pada tempat yang semestinya untuk mengurangi ketidaknyamanan serta
memaksimalkan patensi jalan napas. Teknik reduksi tertutup adalah singkat dan
optimal. Pemberian anxiolitik dan analgetik sebagai premedikasi juga dapat
dipertimbangkan.
12
Pembiusan dengan anestesi umum. Posisi pasien terlentang, dikerjakan di
kamar operasi dengan anestesi general atau lokal. Disinfeksi lapangan operasi
dengan larutan hibitan-alkohol 70% 1:1000.
Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril. Jarak antara tepi rongga
hidung ke sudut nasofrontal diukur, kemudian instrumen dimasukkan sampai batas
kurang 1 cm dari pengukuran tadi.
Fragmen yang depresi diangkat dengan elevator dalam arah berlawanan dari
tenaga yang menyebabkan fraktur, biasanya kearah antero-lateral. Reposisi fraktur
nasal dan fraktur dapat dilakukan dengan forsep Walsham. Jangan terlalu ditekan
(dibawah tulang hidung yang tebal dekat sutura nasofrontal) karena daerah ini
jarang terjadi fraktur, lagipula bisa menyebabkan robekan mukosa dan perdarahan.
Reduksi disempurnakan dengan melakukan molding fragmen sisa dengan
menggunakan jari. Pada kasus fraktur dislokasi piramid bilateral, reduksi septum
nasal yang tidak adekuat menyebabkan reposisi hidung luar tidak memuaskan.
Stabilisasi septum dengan splints Silastic, pasang tampon pada tiap lubang
hidung dengan sofratul. Splints dengan menggunakan gips kupu-kupu. Tampon
dilepas pada hari ke 3 paska reposisi.
Meskipun kebanyakan fraktur nasal dan septal dapat direduksi secara tertutup,
beberapa hasilnya tidak optimal, disini penting merencanakan reduksi terbuka.
2. REDUKSI TERBUKA
Tahapan operasi:
Penderita dalam anestesi umum dengan pipa orotrakheal, posisi telentang
dengan kepala sedikit ekstensi .desinfeksi lapangan operasi dengan larutan Hibitane
dalam alkohol 70% 1: 1000, seluruh wajah terlihat .
Persempit lapangan operasi dengan menggunakan kain steril. Insisi pada kulit
ada beberapa pilihan, melalui bekas laserasi yang sudah terjadi, insisi H, insisi
bilateral Z, Vertikal midline, insisi bentuk W. Insisi diperdalam sampai perios dan
perdarahan yang terjadi dirawat. Perios diinsisi, dengan rasparatorium kecil fragmen
tulang dibebaskan.
Dilakukan pengeboran fragmen tulang dengan mata bor diameter 1 mm, tiap
pengeboran lindungi dengan rasparatorium dan disemprot dengan aquadest steril.
13
Lakukan reposisi dan fiksasi antara kedua fragmen tulang dengan menggunakan
kawat 03 atau 05, sesuaikan dengan kondisi fragmen tulang. Pada fraktur komunitif
dapat dipertimbangkan penggunaaan bone graft.
Luka diirigasi dengan larutan garam faali. Luka operasi dijahit lapis demi
lapis, perios, lemak subkutan dijahit dengan vicryl atau dexon 03, kulit dijahit
dengan dermalon 05.
3. Perawatan Paska bedah
Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari.
Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian.
Analgetika diberikan kalau perlu.
Penderita sadar betul boleh minum sedikit-sedikit.
Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1 minggu ).
Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
Rawat luka pada hari ke 2 3 , angkat jahitan hari ke-7.
Follow-Up
Tampon hidung dilepas hari 3-4
Splint septum dilepas hari 10
Gips kupu-kupu dilepas minggu ke-3
Kontrol tiap bulan selama 3 bulan

Prognosa
Komplikasi lanjut
Komplikasi ini berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas
sekunder, synechiae, hidung pelana dan perforasi septal. Penatalaksanaan terbaik dari
komplikasi ini adalah dengan mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri.
Mortalitas
Fraktur nasal saja tanpa perdarahan hebat dan aspirasi tidak mengakibatkan
kematian.
14
DAFTAR PUSTAKA

1. Coulson, C. and R de C Coulson. (Juli 2006). Management of nasal injuries by UK
accident and emergency consultants: a questionnaire survey. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2579544/?tool=pmcentrez
2. Kucik, Corry J., Timothy Clenney, and James Phelan. (1 Oktober 2004). Management
of Acute Nasal Fractures. Diakses dari:
http://www.aafp.org/afp/2004/1001/p1315.html
3. Anonim. Nose Fracture. Diakses dari:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000061.htm
4. Anonim. (14 Desember 2008). Reposisi Fraktur Nasal. Diakses dari:
http://bedahumum.wordpress.com
5. Anonim. (03 January 2010) Askep Fraktur Nasal. Diakses dari:
http://feeds.wordpress.com/1.0/gocomments/hidayat2.wordpress.com/110/


























15
PRESENTASI KASUS
EPISTAKSIS DAN DEFORMITAS OS NASAL ET CAUSA
FRAKTUR NASAL
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Ujian
Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Bagian I lmu Kesehatan THT









Diajukan kepada :
dr.H. Adnan Abdullah, Sp.THT




Disusun oleh:
Rr Wiwara Awisarita
20050310095







FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RS PKU YOGYAKARTA
16
2011

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Presentasi Kasus dengan judul:

EPISTAKSIS ET CAUSA FRAKTUR NASAL

Pada tanggal Juni 2010
Tempat RSUD Setjonegoro Wonosobo




Dosen Pembimbing dan Penguji,




(Preseptor : dr.Noer Ali Udin, Sp.THT )

You might also like