You are on page 1of 14

Menulis sebuah esai atau makalah, tanpa mempedulikan topiknya, adalah sebuah pro

ses:
* Bangun dan definisikan topikmu
Tuliskan tema atau topik utama esaimu dalam satu atau dua kalimat paling b
anyak.
* Tentukan pembaca esaimu
Apakah yang membaca esaimu adalah dosen yang memberi nilai atau asisten do
sen?
Teman sekelasmu yang akan memberikan kritikan? Sekelompok profesional unt
uk review?
Sekelompok profesional untuk review?
Ingatlah akan pembaca ini selama kamu menulis esai
* Rencanakan kurun waktu
Buat suatu kurun waktu penulisan esai, dan antisipasi adanya perkembangan
topik esaimu dan revisi. Seringkali suatu esai yang sempurna adalah esai yang d
irevisi setelah selesai dibuat.
* Kumpulkan bahan-bahan
Orang: dosen, asisten dosen, pustakawan, ahli dalam bidang, profesional
Referensi: buku teks, rekomendasi kerja, web site, majalah, buku harian,
laporan profesional
* Riset: baca, wanwancara, eksperimen, kumpul data-data, dll. dan catat sele
ngkap mungkin. Gunakan kartu indek atau word processing.
* Organisasi catatanmu dengan menulis dahulu di kertas lain:
fokus pada bebas menulis, petaan, and/atau garis besarnya.
* Buatlah esai pertamamu (rough draft)
Tentukan bagaimana kamu mengembangkan argumentasi: Gunakan logika yang bai
k dalam argumentasi untuk membantu mengembangkan tema dan/atau mendukung tema. A
pakah kamu akan membuat perbandingan atau definisi? Apakah kamu akan mengfritik
atau menjelaskan? Lihat definisi istilah-istilah esai di situs Pedoman Belajar.
Paragraf pertama
* Kenalkan topikmu!
* Beritahukan pandanganmu kepada pembaca!
* Rangsang pembaca menyelesaikan membaca esaimu!
* Fokuskan pada tiga poin untuk kemudian
Paragraf pertama biasanya paling sulit dikerjakan. Bila kamu menemui masala
h, biarkanlah dan usahakan untuk menulisnya ulang nanti, bahkan setelah kamu sel
esai mengerjakan paragraf terakhir. Akan tetapi perlu diingat bahwa paragraf pe
rtamalah yang menarik perhatian pembaca ke topik dan pendapatmu, serta penting u
ntuk membuat mereka membaca esaimu sampai selesai.he first paragraph is often th
e most difficult to write.
Isi Esai
* Bangunlah alur isi esai dari satu paragraf ke paragraf yang lainnya
o Kalimat transisi, klausa, atau kata-kata pada awal paragraf meng
hubungkan ide pikiran ke ide lainnya.
(Lihatlah kata & frasa transisi)
o Kalimat-kalimat pokok, juga terdapat pada awal setiap paragraf,
menjelaskan ide yang termuat di dalamnya sesuai dengan konteks esai keseluruhan.
o Hindari satu atau dua paragraf yang mungkin menunjukkan kurang d
ikembangkannya poinmu.
* Tulis dengan kalimat-kalimat aktif
o "Panitia Akademis memutuskan ..." bukan "Telah diputuskan oleh .
.."
o Hindari pemakaian kata kerja "menjadi" untuk presentasi yang jel
as, dinamis dan efektif.
(Hindari pemakaian kata kerja "menjadi" dan presentasimu efektif
, jelas dan dinamis.)
o Menghindari "menjadi" berarti penggunaan kalimat pasif akan berk
urang.
* Gunakan kutipan untuk mendukung pandanganmu
o Kutiplah dan jelaskan secara tepat setiap ungkapan yang dipakai.
o Gunakan kutipan dengan gaya blok atau indented secara terpisah k
arena mereka dapat merusak alur isi esaimu.
* Buktikan setiap poin pendapatmu secara berkesinambungan dari awal samp
ai akhir esai
o Jangan meninggalkan fokus utama esaimu.
o Jangan langsung meringkas pada isi esaimu. Tunggu sampai pada p
aragraf kesimpulan.
Kesimpulan
* Baca paragraf pertama dan isi esaimu dulu
* Ringkas, kemudian simpulkan argumentasimu
* Tinjau kembali (sekali lagi) pada paragraf pertama sekaligus isi esai.
Apakah paragraf terakhir:
o menyatakan ulang tema utama secara singkat?
o merefleksikan keberhasilan dan pentingnya argumentasi yang ada p
ada isi esai?
o menyimpulkan isi esai secara logika?
* Edit/tulis ulang paragraf pertama
Hal ini dapat membuat isi dan kesimpulan esaimu lebih baik.
Ambil satu atau dua hari libur!
Baca kembali esaimu dengan pikiran yang segar dan pensil yang runcing
Edit, koreksi dan tulis ulang bila diperlukan
Kumpulkan esaimu
Rayakan pekerjaan yang telah kamu selesaikan dengan baik (kamu harus percaya
ini!).
Kalimat terakhir di atas ini sangat penting.
Menakar Kejujuran Ujian Nasional
Perasaan plong disertai harap-harap cemas terpancar dari setiap wajah siswa usai
menyelesaikan rangkaian ujian
nasional (UN). Kelegaan sesaat setelah beberapa hari berkutat dengan soal-soal u
jian. Perasaan harap-harap cemas
muncul karena status kelulusan yang masih mengambang. Lulus atau tidak?
Tulisan ini selesai disusun setelah UN tingkat sekolah menengah (SMP dan SMA) te
lah usai. Pengalaman dan pelajaran
berharga diperoleh selama penyelenggaraan UN.
Ternyata UN mempunyai efek luar biasa bagi siapa saja yang bersangkutan. Ada yan
g menyambutnya dengan biasa saja
ada juga yang menghadapinya dengan resah. Bagi yang menghadapinya dengan resah U
N menjadi sangat menakutkan.
Mulai dari siswa, kepala sekolah, guru mata pelajaran yang diujikan, orang tua d
an bahkan pengelola pendidikan dalam
hal ini dinas pendidikan kabupaten/ kota.
Mereka secara berjamaah takut UN. Siswa takut tidak bisa melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua
takut gagal mendidik anak sehingga menjadi aib keluarga. Kepala sekolah dan guru
mata pelajaran takut reputasi mereka
jeblok karena banyak siswanya tidak lulus. Tak terkecuali dinas pendidikan turut
takut karena mutu pendidikan menjadi
rendah sehingga berpengaruh pada turunnya gengsi pendidikan di daerah.
Strategi antitakut
Apakah benar UN menjadi momok yang menakutkan? Kenapa harus takut pada UN? Kenap
a harus takut pada UN jika
setiap siswa telah menyiapkan diri dengan matang dan terencana sejak awal. Kenap
a harus was-was jika para orang tua
selalu mendampingi anaknya untuk belajar sungguh-sungguh sejak tahun ajaran baru
. Kenapa harus deg-degan jika
para kepala sekolah dan guru mata pelajaran telah menyajikan/ menyampaikan mater
i dan bahan ajar yang sesuai dan
berkualitas.
Ketakutan pada UN lebih diakibatkan karena yang bersangkutan kurang mengantisipa
si sejak dini. Hasilnya saat akan
diselenggarakan UN semuanya seakan terkejut dan terkesan mendadak. Karena itu pe
rlu strategi untuk menyongsongnya
sejak awal tahun ajaran baru. Pertama, menyadarkan siswa untuk sadar belajar jan
gan malah sering dibiarkan keluyuran.
Kalau perlu diadakan program karantina untuk bidang studi yang diujikan. Kedua, me
mberdayakan peran orang tua
untuk mengawasi dalam pengajaran informal di rumah. Ketiga, bersikap apa adanya
dan tidak berlebihan dalam
menghadapi UN secara fair.
Dengan beberapa strategi tersebut ketakutan menghadapi UN akan terkikis. Sehingg
a dengan sendirinya akan
menghilangkan tindakan untuk saling melindungi. Jangan sampai ada kepala sekolah d
an guru mata pelajaran
melindungi anak didiknya dengan membocorkan dan membenarkan jawaban. Jangan samp
ai terjadi orang tua membeli
soal. Dan jangan sampai ada lagi siswa melakukan perbuatan tercela yang akan mer
ugikan diri sendiri dan
almamaternya.
Takaran kejujuran
Ujian nasional adalah investasi yang mahal. Alur panjang mulai dari penyusunan s
oal, pencetakan soal, pendistribusian
soal, penilaian sampai kepada supervisi memerlukan biaya besar. Di satu sisi UN
juga telah bergeser fungsinya dari
sekedar ujian untuk mengukur prestasi menjadi ujian untuk mengukur kejujuran. Ba
ik untuk siswa, kepala sekolah, guru,
orang tua dan dinas pendidikan.
Jujur adalah bibit unggul. Percuma baik tetapi tidak unggul. Ibarat padi, dia bi
sa dipanen dan dikonsumsi, tetapi kalau
tidak unggul dia hanya mandeg sampai dikonsumsi saja.. Tetapi kalau unggul dia m
asih bisa dijadikan bibit lagi untuk
menghasilkan butiran-butiran padi yang lain. Karenanya jangan gadaikan UN dengan
sikap tidak jujur. Nilai kejujuran bisa
dinilai dari pemahaman pada setiap diri yang tersangkut dalam UN. Apakah pendidi
k sudah mengajar dengan baik?
Apakah bahan yang diajarkan telah memenuhi standar dan berkualitas? Apakah saran
a dan prasarana sekolah telah
dimanfaatkan dengan maksimal? Apakah siswa telah belajar dengan sungguh-sungguh,
memahami materi dan mampu
mengerjakan soal dengan baik?
Jika semua pihak bisa introspeksi diri dengan usaha yang telah dilakukan maka it
ulah takaran yang sesungguhnya. Hasil
UN yang dicapai menunjukkan sejauh mana pihak yang terkait telah menjalankan tug
as dan tanggung jawabnya secara
benar. Kini UN bisa dijadikan tolok ukur kejujuran suatu bangsa. Bangsa yang juj
ur akan menghasilkan masyarakat yang
jujur. Masyarakat yang jujur akan menghasilkan pemimpin yang jujur yang tentu di
pilih oleh rakyat yang jujur.
Konsekuensi kejujuran
Jujur mempunyai konsekuensi yang berat. Jujur mengakui ketidakulusan lebih baik
daripada meluluskan dengan cara
yang curang. Apapun hasil dari UN adalah usaha maksimal yang telah dilakukan. Ka
laupun belum berhasil dengan
maksimal bukan berarti patut disesali. Justru karena itu patut dievaluasi dan di
perbaiki.
Kalau dalam UN terdapat kebohongan hal itu justru akan menjadi boomerang. Kualit
as pendidikan dan lulusan akan
menjadi taruhan. Karena hasil itu adalah semu dan rekayasa.
Pemerintah tentu mempunyai kebijakan untuk lebih memperhatikan daerah yang tingk
at kelulusan masih rendah. Baik
berupa bantuan khusus tentang sarana-prasarana, peningkatan kompetensi sumber da
ya pendidik, fasilitasi pendidikan,
kucuran blockgrant, hibah dan berbagai program dalam rangka peningkatan mutu pen
didikan. Dengan berbagai program
tersebut diharapkan tingkat kelulusan di masa mendatang akan meningkat. Dan otom
atis mutu pendidikan juga akan
terangkat.
Akhirnya, jangan kotori prestasi dengan sikap tidak jujur. Jangan cemari pendidi
kan Indonesia dengan sikap tidak jujur.
Kejujuran adalah investasi yang mahal untuk mencetak bangsa yang bermartabat. Se
dikit saja dimasuki kotoran maka
kualitasnya akan tercemar. Kejujuran perlu dijaga kemurnian dan dilestarikan sel
amanya.
Semoga tulisan ini menyadarkan kita semua untuk menempatkan kejujuran dimana saj
a dan kapan saja. Baik diawasi
ataupun tidak kita harus bisa bersikap jujur pada diri kita. Ujian nasional hany
a media untuk mengukur sampai sejauh
mana kita telah menempatkan kejujuran. Lebih dari itu jiwa dan sikap kita yang a
kan menunjukkan kualitas kejujuran.
Sudahkah kita jujur?
Menuntut Keadilan Ujian Nasional
Selama tiga hari berturut-turut, Selasa 22 April sampai dengan Kamis 24 April ta
hun 2008 ini dilaksanakan Ujian Nasional
(Unas) SMA dan MA secara serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Berapa jumlah peserta Unas SMA dan madrasah aliyah (MA) tahun ini? Entahlah angk
a pastinya, yang pasti lebih dari satu
juta siswa SMA dan MA tahun ini berpartisipasi mengikuti upacara akademik akhir ta
hun. Itu berarti Unas SMA dan MA
menentukan nasib lebih dari satu juta manusia Indonesia.
Menurut amanat Pasal 15 UU Sisdiknas, pendidikan umum merupakan pendidikan yang
mengutamakan perluasan
pengetahuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjan
g yang lebih tinggi. Dalam konteks
pendidikan menengah, lulusan SMA dan MA dipersiapkan untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi.
Apabila kita cermati pelaksanaan Unas pada tahun yang sudah-sudah terdapat varia
si yang signifikan dalam hal
keketatan dalam pengawasan ujian; maksudnya banyak daerah yang melakukan pengawasa
n ujian dengan ketat akan
tetapi banyak pula daerah yang kurang ketat dalam pengawasan ujian. Hal ini dise
babkan masing-masing daerah, konon,
memiliki kebijakan (tersembunyi) tersendiri dalam pelaksanaan Unas.
Perbedaan dalam keketatan pe-ngawasan ujian tersebut bahkan menurun sampai ke se
kolah; maksudnya ada sekolah
yang disiplin dan ketat dalam pengawasan ujian namun ada pula sekolah yang kuran
g disiplin dan longgar dalam
pengawasan ujian. Perbedaan perilaku pengawasan ujian ini sudah barang tentu ber
dampak secara signifikan terhadap
psikologi dan perilaku siswa yang nota bene sebagai peserta Unas; yang ujung-uju
ngnya berpengaruh pada tingkat
kelulusan.
Dalam skala daerah, konon ada daerah tertentu yang membentuk tim sukses guna mem
bantu meluluskan siswa,
sementara banyak daerah yang berlaku apa adanya tanpa ada upaya untuk membantu m
eluluskan siswa de-ngan cara
yang aneh-aneh.
Kalau tim sukses di tingkat sekolah kiranya telah menjadi rahasia umum; maksudny
a masyarakat banyak yang tahu kalau
di berbagai sekolah dibentuk tim sukses yang bekerja secara negatif dalam menjal
ankan Unas. Sudah tentu banyak pula
sekolah yang sama sekali tidak memberlakukan tim sukses yang negatif tersebut.
Beda Papua dengan Jawa
Dalam hal itulah ketidakadilan terjadi; di daerah atau sekolah pertama, siswa le
bih terbantu untuk lulus, sementara di
daerah yang kedua, siswa harus berjuang mati-matian untuk dapat meraih kelulusan
. Terhadap siswa yang berjuang mati-
matian ini kita perlu memberikan rasa salut, meskipun di balik itu terselip pula
rasa kasihan kepadanya.
Apa ada ketidakadilan lainnya berkenaan dengan pelaksanaan Unas di negara yang s
udah merdeka lebih dari 60 tahun
ini? Masih banyak ketidakadilan kalau kita mau cermati; meski masalah keadilan d
an ketidakadilan itu sangat interpretatif.
Secara akademik, sebagai ujian yang bersifat nasional seharusnya materi soal ada
lah sama untuk mata pelajaran yang
sama pada satuan pendidikan yang setara dan sejenis. Materi soal Bahasa Inggris
di SMA harus sama baik untuk SMA
negeri maupun SMA swasta; baik untuk SMA di Pulau Jawa maupun SMA di luar Pulau
Jawa, baik untuk SMA yang memiliki
sarana dan fasilitas belajar lengkap maupun SMA yang tidak lengkap. Kalaupun mat
eri soalnya tidak sama, tetapi tingkat
kesulitan dan bobotnya harus sama. Itulah sebabnya materi tes yang tidak sama un
tuk kepentingan ini harus terlebih
dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya.
Penulis sering ke Papua dan daerah remote lain di Indonesia. Sekitar dua jam per
jalanan darat dari Kota Mimika terdapat
SMA yang sarana dan fasilitas belajarnya tidak standar. Jangankan LCD Projector
dan lap top atau note book; sedangkan
OHP saja tak memilikinya, belum lagi jaringan listrik tidak memadai, masih suka
biarpet.
Nah, adilkah kalau SMA seperti ini siswanya diberi materi soal ujian yang sama d
engan SMA di Yogyakarta atau di Jakarta
yang sarana dan fasilitas belajarnya serba lengkap? Dalam kasus tersebut secara
akademis memang adil namun secara
sosial menjadi sangat tidak adil. Memang keadilan itu relatif namun jelas sekali
bahwa dalam Unas pun bisa terkandung
ketidakadilan.
Kasihanilah Mendiknas
Meskipun bukan berlatar belakang akademik pendidikan murni namun banyak orang me
nyatakan bahwa Bambang
Sudibyo selaku menteri pendidikan secara serius ingin meningkatkan mutu pendidik
an nasional. Dibentuknya Tim
Independen dari perguruan tinggi, Tim Pemantau, Tim Pengawas, dsb, untuk menjala
nkan Unas dengan tertib (dan adil)
merupakan langkah Mendiknas yang perlu diapresiasi. Ini merupakan upaya keras Ba
mbang selaku Mendiknas untuk
meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui mekanisme Unas.
Sayang, upaya keras Mendiknas tersebut seringkali tidak diimbangi dengan penuh k
esungguhan oleh banyak orang di
lapangan alias sekolah; termasuk oknum guru, kepala sekolah dan bahkan petugas d
inas pendidikan di berbagai tempat.
Dibentuknya tim sukses yang bekerja secara negatif dan tidak sehat dalam menjala
nkan Unas, misalnya mengerjakan
materi soal ujian dan mendistribusikannya pada saat yang tidak tepat, merupakan
bukti nyata tentang ketidaksungguhan
dalam mengimbangi upaya keras menteri pendidikan nasional.
Demi peningkatan mutu pendidikan nasional maka Mendiknas harus bertindak tegas;
kalau ada guru dan kepala sekolah
yang terbukti melakukan kesalahan dalam Unas maka harus dikenai sanksi yang teru
kur. Pak Bam-bang harus berani
membersihkan oknum guru dan kepala sekolah yang bermain curang dalam pelaksanaan U
nas.
Oleh: Ki Supriyoko, Pamong Tamansiswa, mantan anggota Badan Pertimbangan Pendidi
kan Nasional (BPPN), serta
doktor di bidang penelitian dan evaluasi pendidikan.
Instrumen Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan Berpotensi Merugikan Siswa
UJIAN (Akhir) Nasional alias UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam
upacara ritual tahunan tanpa
memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembina dan pengelola serta pelaksana
pendidikan pada tingkat sekolah
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi
pendidikan yang diperoleh lewat
Ujian Akhir Nasional hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi doku
men mati.
APABILA sumber data ujian itu dipakai, pemanfaatannya pun hanya sebatas pada bah
an kajian beberapa peneliti Pusat
Penilaian Pendidikan (Puspendik) untuk kepentingan cum jabatan peneliti; sedangk
an para pejabat pengelola kebijakan
pada tingkat pusat (direktorat, Puspendik, dan pusat kurikulum) hampir dapat dip
astikan tidak akan menyentuh dan
memperbincangkannya lagi sampai masa ujian berikutnya.
Keteguhan sikap Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk tetap mempertahank
an praktik UN pada sistem
pendidikan menengah patut dihormati. Namun, pandangan dan pemikiran kritis terha
dap praktik ujian akhir itu harus
diutarakan agar sasaran yang dibuat dapat lebih proporsional, terarah, dan penca
paiannya dapat dimaksimalkan.
Meskipun praktik ujian akhir dapat digunakan untuk memengaruhi kualitas pendidik
an, namun sebagaimana
dikemukakan Ken Jones, asumsi dan rasionalitas yang digunakan pada high stake ex
ams (seperti UN ini) pada
umumnya sering bertentangan dengan kenyataan lapangan. Sebagaimana diketahui bah
wa realitas pendidikan (sekolah)
di Tanah Air sangat beragam, apakah itu sarana-prasarana pendidikan, sumber daya
guru, dan school leadership.
Diskrepansi kualitas pendidikan yang begitu lebar sebagai akibat dari keterbatas
an kemampuan pengelola pendidikan
pada tingkat pusat, daerah, dan sekolah semakin menguatkan tuduhan masyarakat se
lama ini bahwa penggunaan
instrumen UN untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) dan seleksi berpotensi mis
leading, bias, dan melanggar keadilan
dalam tes.
Selain itu, instrumen UN yang akan digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berb
agai pertanyaan mendasar yang
menuntut jawaban (baca: pembuktian), khususnya menyangkut metodologi, terutama p
ada saat melakukan interpretasi
terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggar
akannya UN (validity evidence).
Pemanfaatan ganda (multiple purposes) hasil skor ujian yang bersifat tunggal sem
acam UN sebenarnya menyimpan
berbagai potensi permasalahan mendasar secara metodologis, yang sebenarnya sudah
sangat diketahui dan dipahami
jajaran Puspendik Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun, yang agak m
encengangkan dan mengundang
pertanyaan, mengapa potensi kesalahan seperti pemanfaatan hasil skor UN untuk be
rbagai keperluan dan tujuan secara
bersamaan tidak dikemukakan secara jujur kepada masyarakat pemakai (users) produ
k pendidikan dan stakeholders.
Kenapa Puspendik tidak mengusulkan pemanfaatan hasil skor UN hanya sebatas pada
alat pengendali mutu pendidikan
nasional, sebagaimana yang dilakukan pada National Assessment of Educational Pro
gress (NAEP) di Amerika Serikat,
dan bukan untuk penentuan kelulusan (sertifikasi), apalagi sebagai tujuan untuk
seleksi dan memecut mutu pendidikan
sehingga persoalan metodologi yang mungkin timbul dapat dihindarkan.
TULISAN ini ditujukan sebagai masukan konstruktif bagi Mendiknas yang berkaitan
dengan konsep dan praktik penilaian
pendidikan di Tanah Air. Ujian atau tes sebenarnya berfungsi sebagai alat rekam
dan/atau prediksi. Sebagai alat rekam
untuk memotret, tes biasanya diselenggarakan untuk mengetahui sejauh mana pemaha
man siswa terhadap suatu materi
atau sejumlah materi dan keterampilan yang sudah diajarkan/dipelajari sesuai den
gan tujuan kurikulum sehingga guru
dapat menentukan langkah-langkah program pengajaran berikutnya.
Selain itu, tes juga bisa digunakan sebagai alat prediksi sebagaimana yang lazim
digunakan pada tes seleksi masuk
perguruan tinggi atau tes-tes yang digunakan untuk menerima pegawai baru atau pr
omosi jabatan pada suatu
perusahaan atau instansi pemerintah. Sebagai alat prediksi, hasil tes diharapkan
mampu memberikan bukti bahwa
seorang dapat melakukan tugas atau pekerjaan yang akan diamanatkan kepadanya. Ap
abila hasil tes yang digunakan
mampu menunjukkan bukti terhadap peluang keberhasilan seorang kandidat mahasiswa
atau calon pegawai melakukan
tugas dan pekerjaan di hadapannya, tes itu diyakini memiliki kelayakan validity
evidences.
Ujian atau tes sebenarnya hanyalah sebuah alat (bukan tujuan) yang digunakan unt
uk memperoleh informasi pencapaian
terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan dan/atau yang akan diselenggarak
an. Ujian atau tes tidak berfungsi
untuk memecut, apalagi memiliki kemampuan mendorong mutu.
Namun, ujian atau tes memiliki kemampuan untuk memengaruhi proses pembelajaran d
i tingkat kelas sehingga menjadi
lebih baik dan terarah sesuai dengan tuntutan dan tujuan kurikulum. Karena ujian
hanya mampu memengaruhi pada
proses pembelajaran pada tingkat kelas, maka pengaruh yang diakibatkannya tidak
senantiasa positif. Sebaliknya,
pengaruh itu dapat juga sangat bersifat destruktif terhadap kegiatan pendidikan,
seperti apabila guru hanya memfokuskan
kegiatan pembelajaran pada latihan-latihan Ujian Akhir Nasional atau pimpinan se
kolah sengaja mengundang dan
membiarkan Bimbingan Tes Alumni (BTA) masuk ke dalam sistem sekolah untuk menged
ril siswa yang akan menempuh
ujian akhir itu.
Dalam bahasa testing kegiatan itu disebut teaching for the test. Praktik pendidi
kan semacam itu sangat bertentangan
dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena aka
n menyebabkan terjadinya proses
penyempitan kurikulum (curriculum contraction).
UNSUR yang paling pokok dan sangat penting yang harus diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat
interpretasi hasil skor tes siswa peserta ujian adalah validitas. Konsep validit
as ini sebelumnya dipahami sebagai sebuah
konsep yang terfragmentasi sehingga sering mengantarkan praktisi penilaian pendi
dikan kepada kebingungan dan
berpikir secara keliru.
Studi validitas dilakukan untuk membuktikan bahwa kegiatan interpretasi dan pema
nfaatan hasil skor tes yang ada sudah
sesuai dengan tujuan diselenggarakan ujian. Sebagai misal, apabila kita menyusun
seperangkat tes
kemampuan/keterampilan membaca yang digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan
kelulusan (sertifikasi) SMA.
Bagaimana cara kita menilai apakah proses interpretasi hasil ujian itu sudah dil
akukan secara valid? Untuk keperluan itu
kita harus membuat sejumlah pertanyaan, antara lain: apakah hasil skor tes itu s
udah merupakan alat ukur yang sesuai
dan tepat untuk tujuan di muka, yaitu untuk mengukur kemampuan/keterampilan memb
aca.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi ujian akhir adalah untuk memberika
n sertifikasi bahwa siswa sudah
belajar atau menguasai keterampilan membaca sebagaimana yang diminta pada kuriku
lum. Atas dasar itu, bukti-bukti
validitas yang diperlihatkan harus mampu membuktikan bahwa skor yang diperoleh b
enar sudah mengukur keterampilan
membaca, sebagaimana yang dijabarkan pada tujuan kurikulum.
Terdapat banyak sekali bukti yang harus dikumpulkan untuk melakukan kegiatan int
erpretasi terhadap hasil skor tes itu.
Kita dapat menunjukkan bahwa instrumen tes yang digunakan sudah sesuai dengan tu
juan pelajaran keterampilan
membaca pada kurikulum. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa juml
ah jawaban yang benar pada soal
tes betul-betul sudah sejalan dengan penekanan kegiatan pengajaran membaca pada
kurikulum. Lebih dari itu, kita juga
harus mampu menunjukkan bahwa keterampilan membaca teks singkat yang tercermin d
ari kemampuan siswa
menjawab dengan benar soal pilihan ganda itu memiliki kualifikasi yang sama apab
ila yang bersangkutan diberikan teks
bacaan yang lebih panjang, atau membaca novel, artikel surat kabar. Kita juga ha
rus mampu membuktikan bahwa konten
bacaan yang disajikan pada soal tes sudah merupakan representasi dari isi bacaan
yang dianggap penting dan
challenging yang mampu menggali kemampuan/keterampilan membaca siswa yang lebih
dalam dan ekstensif; jadi
bukan hanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat superficial, faktual, ata
u trivial.
Apabila kita tidak mampu menunjukkan seluruh bukti di muka, validitas interpreta
si yang dibuat terhadap hasil skor tes
sangat lemah. Selain itu, kita juga harus mampu membuktikan bahwa skor yang ting
gi yang diperoleh siswa bukan
semata-mata sebagai akibat dari test wiseness, yaitu kemampuan siswa menjawab so
al dengan benar sebagai akibat
dari format soal pilihan ganda, tutorial khusus yang diberikan menjelang tes, se
perti kegiatan bimbingan tes, menyontek,
dan seterusnya. Lebih dari itu kita juga harus mampu menunjukkan bahwa skor rend
ah yang diperoleh siswa bukan
hanya semata-mata disebabkan oleh faktor kegugupan pada diri siswa pada saat uji
an. Selain itu, kita juga harus mampu
menunjukkan bahwa latar belakang budaya siswa tidak membawa pengaruh terhadap ke
mampuan mereka menjawab
soal tes dengan benar.
Semua faktor yang disajikan di muka dapat merupakan ancaman terhadap interpretas
i validitas sebuah alat ukur yang
bersifat tunggal (seperti pada UN) yang digunakan untuk mendeteksi kemampuan/ket
erampilan membaca. Apabila kita
tidak mampu menunjukkan bukti (evidences), hasil ujian berupa skor tes untuk men
gukur kemampuan/keterampilan
membaca memiliki tingkat validitas yang rendah.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di muka bahwa kita harus mampu menunju
kkan bukti dan penalaran yang logis
untuk membuat keputusan pemanfaatan atas hasil skor tes. Untuk keperluan itu kit
a tidak bisa hanya berpatokan pada
hasil satu kali studi dan mengklaim bahwa kita sudah memiliki tes valid yang dap
at digunakan untuk berbagai keperluan.
Benarkah Ujian Nasional Dapat Memengaruhi Peningkatan Mutu Pendidikan dan Etos K
erja?
(Sebuah Masukan untuk Pemerintah)
SAYA terharu dan ikut merasakan keprihatinan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap
rendahnya etos kerja rakyat Indonesia.
Keprihatinan ini jelas dirasakan oleh para pendiri republik ini. Karena itu, pen
diri republik menetapkan bahwa salah satu
fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk itu pula para pendiri republik menetapkan dalam UUD 1945 perlu diselenggar
akannya satu sistem pengajaran
nasional (sistem persekolahan) dan memajukan kebudayaan nasional. Para pendiri r
epublik berangkat dari
pengalamannya sendiri-sendiri mengikuti pendidikan sekolah yang bermutu dan perb
andingan perkembangan
negara-negara yang kini masuk dalam jajaran negara maju, adalah negara yang menj
adikan sekolah sebagai wahana
untuk membangun suatu negara bangsa melalui proses transformasi budaya. Pertanya
annya adalah seberapa jauh ujian
nasional dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan dan etos kerja rakyat
Indonesia?
Sebagai pelajar ilmu pendidikan yang telah berkesempatan mempelajari pendidikan
sebagai ilmu pengetahuan sejak
usia muda, yang berkesempatan terlibat dalam proses pembaruan pendidikan pada ta
hun 1963-1967 dan 1971-1981,
yang berkesempatan mempelajari pelaksanaan pendidikan di negara maju (2 tahun di
Amerika Serikat, 4 tahun di
Jerman, 4 bulan di Jepang, dan 3 bulan di Singapura) dan secara terus-menerus me
njadi pengajar ilmu pendidikan,
melalui tulisan ini ingin memberikan tinjauan analitik secara ringkas tentang fa
ktor yang memengaruhi peningkatan mutu
pendidikan dan kedudukan evaluasi dan ujian nasional terhadap peningkatan mutu p
endidikan.
SUATU pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdas
kan kehidupan bangsa dan
memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi
muda yang cerdas, berkarakter,
bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996) mampu moulding the chara
cter and mind of young
generation.
Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana
dan proses pembelajaran yang
menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri se
cara optimal sesuai dengan
bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkem
bang secara optimal sesuai
dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. S
ebagai lawan dari
penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk
memilih dan memilah.
Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Je
rman, tidak mengenal ujian nasional
untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap
peserta didik dapat berkembang
secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluru
h waktunya dicurahkan untuk menjadi
pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapa
t belajar dengan penuh kegembiraan
dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (
3) menyediakan media pembelajaran
yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar me
lalui membaca buku wajib, buku
rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan p
erpustakaan yang memungkinkan
peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang teru
s-menerus, komprehensif dan obyektif.
Yang terakhir inilah, yang dalam pandangan saya berdasarkan penelitian, dapat me
mengaruhi dapat tidaknya kita
menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos
kerja, disiplin, jujur dan cerdas,
serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta di
dik setiap saat dinilai tingkah lakunya,
kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya
dalam belajar yang-menurut
pengamatan saya-menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat mampu menghasil
kan rakyat yang beretos kerja
tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.
Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang
proses maupun hasilnya dinilai dan
nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya. Model seperti i
ni di Indonesia, dari periode Menteri
Mashuri sampai Daoed Joesoef, telah dikembangkan melalui Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) di beberapa
tempat (Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang,
sekarang Makassar). Melalui
sekolah-sekolah tersebut diterapkan prinsip belajar tuntas (learning for mastery
) sebelum mencapai tingkat penguasaan
tertentu belum boleh mengikuti pelajaran berikutnya dan belajar berkelanjutan (c
ontinuous progress).
Setelah enam tahun dicobakan, model tersebut ternyata lebih efektif dari sistem
yang di sekolah biasa. Sayangnya, karena
pertimbangan mahalnya pelaksanaan model tersebut, oleh Menteri Nugroho Notosusan
to program tersebut tidak
dilanjutkan. Pada periode itu, yaitu periode Menteri Mashuri, Menteri Soemantri
Brojonegoro, Menteri Sjarif Thayeb, dan
Menteri Daoed Joesoef, dari tahun 1968 sampai dengan periode Menteri Nugroho Not
osusanto, Indonesia tidak
menerapkan ujian nasional. Semula Menteri Daoed Joesoef akan menerapkan ujian na
sional, pada saat itu sebagai Staf
Ahli Menteri-yang baru menyelesaikan penelitian untuk disertasi doktor pada tahu
n 1981, saya menulis memo kepada
Menteri Daoed Joesoef, yang intinya agar beliau tidak menerapkan ujian nasional.
Dari penelitian yang kami lakukan dan dilakukan di Amerika Serikat (Benjamin Blo
om) ditemukan bahwa tingkah laku
belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang
akan dinilai (diujikan). Karena itu, ujian
nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menja
dikan peserta didik selama belajar
tidak merasa perlunya melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca
novel, tidak perlu latihan mengarang,
tidak perlu melakukan kegiatan terus-menerus secara berdisiplin dan berbagai keg
iatan belajar yang dalam dirinya
diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap. Sebab, kesemuanya itu
tidak akan diujikan/dinilai.
Dampak lebih lanjut adalah munculnya lembaga bimbingan tes yang mengakibatkan ti
dak lagi menjadikan sekolah
sebagai pusat pembudayaan.
Saya tidak menolak keampuhan pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sebagai ind
ikator kecerdasan peserta didik.
Akan tetapi, dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian, SMA sebagai sekolahnya
semua lulusan SMP. Bandingkan
dengan Singapura, yang untuk masuk SMA (Junior College) peserta didik sudah disa
ring sejak kelas 5 SD, demikian juga
dengan Jerman yang untuk memasuki SMA Jerman (Gymnasium), anak didik disaring se
jak masuk kelas V, dan di
Amerika Serikat yang sejak kelas 9 telah diadakan diversifikasi kurikulum, yaitu
kurikulum untuk calon mahasiswa
(Preparatory College) yang berbeda dari kurikulum untuk mereka yang tidak memenu
hi syarat untuk menjadi calon
mahasiswa.
Mengapa? Karena SMA di Indonesia peserta didiknya meliputi juga mereka yang seca
ra akademik tidak memenuhi syarat
untuk menjadi calon mahasiswa dan dengan fasilitas tenaga guru yang tidak merata
, baik jumlah maupun mutunya. Di
Amerika Serikat dan Jerman, untuk menjadi mahasiswa-apa pun jurusannya-harus ber
hasil dalam pelajaran Kalkulus,
Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Dr Mochtar Buchori menyatakan bahwa kuri
kulum SMA kita hanya dapat diikuti
oleh 30 persen peserta didik. Karena itu, dapat diramalkan bahwa mereka yang ben
ar-benar dapat lulus ujian nasional,
yang seharusnya minimum 6 (sesuai dengan pandangan Wapres) tidak akan lebih dari
40 persen.
Dan, dapat diramalkan pula bahwa bila demikian hasilnya akan berakibat hasil uji
an nasional kembali hanya akan
menjadi salah satu penentu kelulusan. Dan ini yang terjadi pada tahun 2004, yang
karena rendahnya jumlah yang lulus,
lalu dilakukan rumus konversi. Apalagi kalau dikembalikan ke daerah, akan kembal
i bahwa semua dapat diatur dan tidak
ada aturan yang pasti. Dan ini, dalam pandangan saya, adalah akar dari budaya ko
ruptif.
ATAS dasar serangkaian ulasan terdahulu, seyogianya ujian nasional yang sudah di
rencanakan tidak digunakan untuk
menentukan kelulusan, apalagi untuk SMP. Karena, SMP adalah bagian dari wajib be
lajar, yang ketentuannya adalah
lamanya pendidikan yang harus ditempuh, yaitu sembilan tahun. Rencana ujian nasi
onal itu hanya dapat digunakan untuk:
(1) memperoleh peta mutu hasil belajar pada tiga mata pelajaran yang diujikan se
bagai dasar untuk melakukan
serangkaian perbaikan dan pembaruan, (2) menentukan lulusan SMA yang dapat melan
jutkan pendidikan ke universitas,
untuk itu minimum nilai kelulusan adalah 6 (dalam skala 1-10), dan (3) menentuka
n lulusan SMP yang dapat melanjutkan
pendidikan ke SMA.
Adapun kelulusan peserta didik ditetapkan oleh sekolah berdasarkan prestasi mere
ka yang diamati secara
terus-menerus oleh para pendidik.
Secara ringkas kiranya dapat disimpulkan bahwa ujian nasional, seperti pendapat
Prof Dr Winarno Surakhmad, tidak
dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan, banyak elemen dari sistem per
sekolahan yang perlu ditata sebagai
minimum quality assurance bagi meningkatnya mutu pendidikan. Dan, bila ketentuan
UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sistem
Pendidikan Nasional secara konsekuen dilaksanakan, mutu pendidikan akan dapat mu
lai ditingkatkan.
H Soedijarto Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidika
n Indonesia, Ketua Badan Akreditas
Sekolah Nasional, Ketua CINAPS

You might also like