You are on page 1of 34

KATA PENGANTAR

Ungkapan rasa syukur kami, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Alah SWT,
karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang
tentu kami masih penuh dengan kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.Salah satu hal yang
selama ini mengganjal dalam benak kami, adalah apakah politik hukum mengenai hukum
agraria di indonesia dalam perjalananya telah tampil menjadi produk hukum yang syarat
dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan tampil progresif. Dari sejarahnya memuat
perjalanan politik hukum tersebut dari sebelum sampai merdekanya indonesia. Mencoba
mengkaji sekaligus membuat makalah ini untuk menambah perpustakaan mengenai politik
hukum agraria di indonesia.





























BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan antara manusia dengan tanah sepanjang dunia masih ada dan akan tetap
ada. Dari manusia lahir sampai mati, pasti kita selalu berhubungan dan bersinggungan dengan
tanah, sehingga tanah menjadi suatu hal yang penting dan sangat menarik minat untuk
dilakukan kajian.
Berkaitan dengan dengan tersebut, Negara Indonesia yang merupakan negara agraris
juga sangat berhubungan erat dan berkepentingan dengan tanah dan hal ini akan terus
berlangsung tanpa adanya cara untuk mengakhiri. Oleh karena itu Negara kita juga mengatur
pengunaaan dan peruntukan tanah khususnya mengenai Hak Menguasai Tanah oleh Negara,
adalah tidak lain bertujuan untuk memberilkan kepastian hukum dan tanah dapat digunakan
untuk kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia.
Berdasarkan kepentingan ini peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam
beberapa periode pemerintahan memperlihatkan bagaimana politik hukum negara terhadap
pertanahan, maka negara telah mengeluarkan peraturan-peraturan mengatur dan menetapkan
ketentuan tenatang hak menguasai tanah oleh negara. Dari peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan dari beberapa masa pemerintahan, maka kita akan tahu dan melihat politik hukum
pertanahanan negara.
Dari ketentuan-ketentuan yang telah diberlakukan tersebut maka kita dapat mengkaji
sejarah dan kemauan politik hukum pertanahan bangsa kita, khususnya dalam pengaturan Hak
Menguasai Tanah Oleh Negara. Tujuannya adalah menemukan keadilan di dalam penguasaan
hak atas tanah oleh negara guna kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia.
Dengan kita mengetahui ketentuan hukum yang pernah berlaku, kita akan menegtahui
politik hukum pertanahan di Indonesia, dengan demikian diharapkan kita akan tahu kearah
mana Pemerintah menerapkan kebijakan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara dan dari situ
kita akan dapat menentukan dasar perbaikan dalam hukum pertanahan khususnya dalam Hak
Menguasai Tanah Oleh Negara.






BAB II
LATAR BELAKANG

SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA).

I. Masa Pendudukan Belanda.
Sejarah tranformasi agraria di Indonesia dari masa kolonial sampai kini belum pernah
terselesaikan, dan sering menimbulkan gejolak sosial yang dipenuhi kekekarasan. Pada masa
Belanda berkuasa di Indonesia, sturktur agraria kita berdasarkan pada struktur agraria yang
bersistem feodalisme yang tidak lain hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan dari
bangsa penjajah. Pada masa ini domain negara dalam menguasai tanah adalah sebagai pemilik
(eiginaar), sehingga penguasaan hak atas tanah oleh negara adalah mutlak bahwa negara
adalah sebagai pemilik eigenaar terhadap hak atas tanah. Sehingga persedian dan
peruntukan tanah adalah kewenangan sepenunhya dari Pemerintah hal ini diatur dalam
Agrarische Wet 1980, . Tujuan Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan kepada pengusaha swasta Belanda agar dapat berkembang di Hindia
Belanda yang pada akhirnya menguntungkan penguasa/ pemerintah administratisi Hindia
Belanda. Pengaturan lebih lanjut Agrarische Wet adalah Agrarische Besluit yang
menyengsarakan rakyat atau bangsa Indonesia dengan asas domeinverklaring. Dalam Pasal 1
AB dinyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
eigendomnya adalah domain (milik) Negara.
Domain domeinverklaring berfungsi :
a. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang memwakili Negara sebagai pemilik
tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat.
b. Di bidang pembuktian pemilikan Pasal 1 AB sesuai dengan Pasal 519 dan Pasal
590 KUHPerdata setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki kalau tidak dimiliki
oleh perorangan atau bdan hukum, maka Negaralah pemiliknya.
Dalam perkembangannya, telah terjadi penghancuranan struktur agraria atas sistem
feodalisme dan digantikan dengan stuktur agraria yang bersifat kolonialistik pada periode
tahun 1870 (Agrarische Wet) telah memperluas pergolakan sosial di pedasaan. Dalam sejarah
tercatat beberapa gerakan protes petani yang menggunakan ideologi Ratu Adil, antara lain :
Gerakan Haji Rifangi
Di Pekalongan (1960); gerakan Mangkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten (1865);
gerakan Tirtiwiat alias Raden Joko di desa Bakalan, Kertosuro(1888); pemberontakan petani
banten (1888); pemberontakan petani Candi Udik (1892); peristiwa Gedabangan (1904) dan
beberapa peristiwa lainnya .

II. Masa Pendudukan Jepang.
Setelah Belanda, Indonesia pernah juga di oleh Bangasa Jepang yakni dimulai pada tanggal 8
Maret 1942 s/d 15 Agustus 1945, sistem agraria tidak jauh berbeda yang ada hanya istilah-
istilah yang digantikan namanya saja dan hak penguasa tanah oleh negara tetap pada
pokoknya Negara adalah sebagai pemilik hak atas tanah sehingga masyarakat kita tetap
tertindas, karena tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan pemerintah Jepang.

A. Pengertian Hukum Agraria.
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum
agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
1. Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum
perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan
bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula
wewenang yang bersumber pada huungan tersebut.
2. Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi bagian dari
hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang,
bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas mengurus
masalah agraria.

Dari pada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria
meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian
hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang
merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-
sumber daya alam yang meliputi :
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan
bumi
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law),
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum
Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah
permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi,
air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan
peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.

B. Hukum Tanah.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi
dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya
yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi
serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun demikian
perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan
penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai
bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.
Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas tanah diberikan wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah
2. Hak menguasai negara atas tanah;
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak perseorangan, meliputi :
a. Hak-hak atas tanah, meliputi :
1. Hak milik atas;
2. Hak guna usaha;
3. Hak guna bangunan;
4. Hak pakai;
5. Hak sewa;
6. Hak membuka tanah;
7. Hak memungut hasil hutan;
8. Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang
disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
c. Hak milik atas satuan rumah susun.
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,
hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau
badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai
obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang
haknya.
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas
tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan
horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dengan
memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas
pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah san segala benda yang
melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang
peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan
hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan vertikal
merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan
KUHPerdata.
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa sejak berlakunya
KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang
berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam
hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali
tentang hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah
merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja
yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5
UUPA).

C. Sumber Hukum Agraria.
1. Sumber Hukum Tertulis.
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam
Pasal 33 ayat (3) ditentukan :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
b. Undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undang ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang :
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan
dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan pelaksanaan UUPA
2). Peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam
praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan,
masih berlaku.

2. Sumber Hukum Tidak Tertulis.
a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik agraria.
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.

D. Pengertian Politik Hukum Nasional
1. Politik Menurut Black politik adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan atau
administrasi pemerintah, Negara dan bangsa, atau juga hal-hal yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pelaksanaan fungsi-fungsi penyelenggaraaan pemerintah, atau mengatur urusan
pemerintah Menurut Badudu-Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia politik di
definisikan dengan segala macam urusan ketatanegaraan yang menyangkut pengaturan
pemerintahan yang di dalamnya termasuk system, kebijaksanaan, serta siasat baik terhadap urusan
dalam negeri maupun luar negeri
2. Hukum Definisi hukum memiliki banyak arti. Namun dalam kaitanny adengan masalah ini, Prof.
Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. SoerjonoSoekanto S.H.,M.H., antara lain mengemukakan
bahwa:
a. Hukum sebagai kaidah atau norma
b. Hukum sebagai tindak yang ajeg atau teratur
Ter Haar Bzn dalam teorinya yakni beslissingenleer mengemukakan bahwa hukum sebagai
keputusan penguasa. CJM Schuyt memberikan definisi hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
Menurut Prof. Dr. Mertokusumo, S.H., berbicara hukum pada umumnya yang di maksudkan
adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama. Hukum bukanlah
sebagai tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan
berkembang karena rangsangan dari luar hukum.
3. Tanah Nasional Dalam Lingkup Agraria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah yang
dimaksudkan disini bukan mengatur dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa hak menguasai negara dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian,
jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah
adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar. Urip Santoso ( 2005:10). Boedi Harsono (2003:18) menjelaskan mengenai hak
atas tanah, yang berarti hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang
dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan.
Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2)UUPA dinyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya
memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang
bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang
yanga da di atasnya.
4. Politik Hukum Tanah nasional Menurut
Hukum Adat
1. PengertianMenurut Maria R. Ruwiastuti menyatakan bahwa Hukum Adat adalah
hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, tumbuh darikesadaran
hukum, menjelmakan rasa hukum yang nyata dari rakyatserta pembentukan norma tidak
bergantung pada penguasa rakyat
2. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat UUPA Pasal 3 (Urip Santoso, 2005:79)
menyatakan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan
pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi
Boedi Harsono (2005: 185-186) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak
ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya.
5. Tanah Negara
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan PertanahanNasional Nomor 9 Tahun
1999 Tentang Tata cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan, Pasal 1Angka (2) menyebutkan bahwa Tanah Negara adalah tanah yang langsung
dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam UUPA

POLITIK PERTANAHAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA
UNDANG UNDANG POKOK POKOK AGRARIA

A.1 Sebelum berlakunya UUPA
1. Hukum Agraria lama bersifat dualistik
Pada zaman kolonial terdapat tanah-tanah yang merupakan hak barat seperti tanah
eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal. Sedangkan tanah-tanah yang merupakan hak
Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanag
agraricsh eigendom dan lain-lain.
Tanah-tanah eropa hampir semuanya terdaftar di kantor Ordonansi Balik Nama.
Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan hukum agraria barat misalkan, seperti cara
memperoleh, pemeliharaan, lenyapnya, pembebanan dan lain-lain. Perbuatan hukum yang
dapat dilakukan terbatas sesuai dengan ketentuan agraria barat. Misalkan tanah egeindom
tidak dapat digadaikan, tetapi dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotik menurut
BW. Tanah Indonesia adalah tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, tanah Indonesia hampir
semuanya belum terdaftar, kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, seperti tanah milik di
dalam kota Yogyakarta dan Surakarta. Tanah Indonesia tunduk pada ketentuan hukum adat
Indonesia. Namun tidak seluruh tanah Indonesia memiliki status sebagai hak-hak asli adat,
ada juga yang bukan merupakan hak asli adat seperti tanah agrarissh eigendom yang
merupakan ciptaan pemerintah.
Selain dua macam tanah diatas terdapat juga tanah lain, seperti tanah Tionghoa. Tanah
Tionghoa adalah tanah-tanah yang dimiliki dengan landerijenbezitrecht. Landerijenbezitrecht
adalah hak yang dengan sendirinya diperoleh seorang timur asing pemegang hak usaha di
tanah partikelir, yang sewaktu-waktu tanah partikelir bisa dibeli kembali oleh pemerintah.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah tersebut pada asasnya adalah hak milik Indonesia
namun subjeknya terbatas pada golongan timur asing.

2. Hukum Agraria Barat Berjiwa Liberal Individual
Dianutnya asas konkordansi di dalam penyusunan perundang-undangan Hindia Belanda dari
hukum perdata Prancis, maka secara tidak langsung KUH Perdata Indonesia mengkorkondasi
hukum perdata prancis, dikarenakan KUH Perdata Indonesia merupakan konkordansi dari
Burgerlijk Wetbook.
Asas-asas hukum Code Civil Prancis yang berjiwa liberal individualistis di
konkordansi oleh hukum agraria barat. Hal itu dapat dilihat pada pasal 570 KUH Perdata,
Hak eigendom itu adalah hak yang memberi wewenang penuh untuk menikmati kegunaan
sesuatu benda untuk berbuat bebas terhadap benda sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang ditetapkan oleh badan penguasa dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain.
Hak eigendom yang bersumber dari hukum agraria barat yang benar-benar
memberikan wewenang penuh terhadap eigenaar untuk berbuat bebas terhadap benda yang
dimilikinya.
Konsepesi eigendom berpangkal pada kebebasan individu, kebebasan untuk berusaha
dan kebebasan untuk bersaing. Tetapi kemudian terjadilah sedikit perubahan pemikiran
manusia barat. Masyarakat yang berkonsepsi liberialisme dan individualismemengalami
pengaruh masyarakat sosialisme. Masyarakat sosialisme beranggapan bahwa untuk mencapai
masyarakat yang adil dan sejahtera diperlukan pengaturan dari negara dan pembatasan
terhadap kebebasan individu.
Konsepsi ini berpengaruh pada isi hak eigendom yang pada kenyataannya membatasi
luasnya kebebasan dan wewenang yang ada pada seorang eigenaar. Hak eigendom tidak lagi
bersifat mutlak , seorang eigenaar tidak lagi memiliki kebebasan penuh untuk berbuat pada
benda yang dimilikinya. Kepentingan masyarakat lebih mendapat perhatian di dalam
melaksanakan hak-hak individu.
Namun bagaimanapun pada asasnya konsepsi barat tetap berjiwa individualis yang
bertentangan dengan konsepsi Pancasila yang berjiwa gotong royong dan kekeluargaan. Oleh
karena itu hukum agraria barat tidak dapat terus dipertahankan.



A.2 Sesudah berlakunya UUPA
1. Hak menguasai dari Negara
Dalam pasal 2 ayat 1 UUPA ditentukan, bahwa :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat
Pasal 2 UUPA sekaligus memberi tafsiran resmi atau interpretasi otentik mengenai arti
dikuasai yang dipergunakan di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sebelum berlakunya
UUPA ada yang menafsirkan bahwa dikuasai itu sama dengan dimiliki. Namun UUPA
dengan tegas menyatakan bahwa perkataan itu bukan berarti dimiliki. Bahkan asas domein
negara dihapuskan oleh UUPA.
Kekuasaan Negara tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum atara orang-orang dengan bumi dan lain-
lainnya.
c. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai air, bumi dan ruang angkasa.

2. Instansi pelaksana dari hak menguasai tersebut
Hak menguasai bumi, air dan ruang angkasa ada pada Negara. Pelaksana dari
kekuasaan itu , jika pada bidang legislatif wewenang itu dijalankan oleh DPR bersama
pemerintah, jika di eksekutif dijalankan oleh presiden atau menteri.
Pada pasal 2 ayat 4 UUPA pelaksana dari hak menguasai negara tersebut dapat
dikuasai atau dilimpahkankepada daerah-daerahSwatantra dan masyarakat hukum adat.
Dengan demikian pelaksanaannya, dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan penguasa
hukum adat yang bersangkutan.

TUJUAN PENDAFTARAN TANAH
Pasal 19 ayat 1 UUPA sebagaimana dijelaskan diatas tadi bahwa setiap tanah yang
ada diseluruh wilayah indonesia diperintahkan untuk didatarkan ke BPN hal ini dipertegas
pada pasal 3 PP no. 24 tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah bertujuan sbb :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak
atas suatu bidang tanah, disamping itu agar dapat membuktikannya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan, dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai tanah tanah yang ada.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan

SISTEM PENDAFTARAN TANAH
Untuk mewujudkan tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum
maka didalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dikenal 2 sistem pendaftaran tanah :
1. Sistem Positif
2. Sistem Negatif
Menurut WANTJIK SALEH K, mengemukakan :
1. Yang dimaksud dengan sistem positif
Adalah pada sistem ini apa yang tercantum didalam buku pendaftaran tanah dan surat
surat tanda bukti yang dikeluarkan pada pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian
yang mutlak. Surat surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat sehingga keterangan keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai
kekuatan yang harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar sepenjang
tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.
2. Sistem Negatif
Pada saat ini apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat surat bukti
tanah tindakan merupakan alat pembuktian yang mutlak apabila keterangan dari
pendaftaran tanah ada yang tidak benar maka dapat diadakan perubahan pembetulan
seperlunya oleh karena itu jaminan perlindungan yang diberikan oleh sistem negatif
tidaklah bersifat mutlak.
Seperti pada sistem positif, UUPA tidaklah menganut sistem positif karena sistem ini
dalam pelaksanaannya memerlukan ketelitian yang sangat tinggi tenaga dan biaya yang
banyak. Oleh karena itu memerintahkan agar pendaftaran tanah tidak menggunakan sistem
publikasi positif yang kebenaran datanya dijamin ole negara melainkan menggunakan sistem
publikasi negatif sedangkan kelemahan sistem publikasi negatif adalah pihak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi
kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu.
Menurut keterangan pemerintah no. 24 tahun 1997 terutama pasal 32 ayat 2 sistem
publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Namun apabila
dihubungkan dengan pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA bahwa surat tanda bukti yang diterbitkan
berlaku sebagai alat bukti yang kuat hal ini diperkuat lagi oleh pasal 23,32 & 38 UUPA, yang
menjelaskan bahwa pendaftaran sebagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang
kuat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah di indonesia tidak menganut
sistem negatif karena hak ini diungkapkan dengan jelas oleh pasal 32 ayat 2 PP no. 24 tahun
1997. menurut pasal 1 angka 20 PP. No. 24 tahun 1997., menjelaskan bahwa sertifikat itu
adalah surat tanah bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat untuk hak atas tanah. Hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang
masing masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang ersangkutan.
Menurut pasal 32 ayat 1 PP. No. 24 tahun 1997 menjelaskan sertifikat merupakan surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang luas mengenai data data fisik
dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

USAHA PENYESUAIAN HUKUM AGRARIA KOLONIAL DENGAN KEADAAN
DAN KEPERLUAN SESUDAH KEMERDEKAAN.

Dalam alam kemerdekaan, masalah masalah keagrariaan yang timbul telah
mendorong pihak pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan hukum agraria. Tetapi
usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria, ternyata tidak mudah dan memerlukan
waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan kebijaksaan
baru terhadap undang undang keagrarian yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai
dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Seperti halnya dalam
menghadapi pemberian hak atas dasar pernyataan domein yang nyatanya bertentangan dengan
kepentingan hak ulayat yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat sebagai
hak-hak rakyat atas tanah.
Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya hukum agraria
yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang dimaksudkan untuk meniadakan
beberapa lembaga feodal dan kolonial, misalnya :
a. Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan lembaga apanage suatu
lembaga yang mewajibkan para penggarap tanah raja untuk menyerahkan seperdua atau
sepertiga dari hasil tanah pertanian atau untuk kerja paksa bagi para penggarap tanah
pekarangan didaerah Surakarta dan Yogyakarta.
b. Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan tanah partikelir yaitu tanah-tanah eigendom
yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada pemiliknya diberi hak hak
pertuanan/landheerlijk rechten), yang bersifat ketatanegaraan, seperti mengesahkan hasil
pemilihan / menghentikan kepala kepala desa/kampung, hak untuk menuntut kerja
paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa, dan lain lain.
c. Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanha rakyat. Pembatasan
masa sewa dan besarnya sewa, dan kemudian UU No. 38 Prp 1960.
d. Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan UU. No. 1 (dar) 1952.
e. Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin dengan UU No.8 (dar)
tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956.
f. Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan perjanjian bagi hasil.
ASAS DOMEIN BERDASARKAN PASAL 1
AGRARICSH BESLUIT (S.1870-118)

A. Riwayat Agraricsh Wet (S.1870-118)
Agraricsh wet ini merupakan pokok yang terpenting dari hukum agraria dan semua
peraturan-peraturan yang diselenggarakan oleh pemerintah dahulu. Adapun isinya adalah
memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian yang besar-besar untuk
berkembang di Indonesia. Sedangkan hak-hak rakyat Indonesia harus tetap diperhatikan.
Pasal satu yang mengandung suatu dasar yang lazim disebut : asas umum tanah negara
atau asas Domeinverklaring. Pernyataan umum itu dipandang perlu sebab, pemerintah harus
mempunyai kekuasaan atas tanah-tanah yang kuat seperti erfpacht, opstal, dan lain sebagainya
kepada orang lain.
Untuk menjaga jangan sampai bangsa Indonesia tidak mempunyai tanah, maka dengan
S.1875-179 diadakan larangan penjualan tanah dari bangsa Indonesia ke bukan bangsa
Indonesia. Larangan menjual tanah tersebut dalam pasal 51 I.S. bermaksud mencegah
bertambahnya tanah partikelir, yang merupakan suatu Negara dalam Negara. Hal ini dianggap
membahayakan bangsa Indonesia dari sudut politik.

B. Agraisch Besluit (S.1870-118)
Sebagai pelaksana Agrarisch Wetkeputusan Raja tanggal 20 Juli 1870 -15 (1870-
118), telah ditetapkan peraturan yang dinamakan Keputusan Agraria (Agrarisch Besluit).
Peraturan ini hanya berlaku di daerah Gubernemen di Jawa dan Madura.
Keputusan yang terpenting dari Keputusan Agraria itu termuat pada pasal 1 yang berbunyi
: ... semua tanah yang tidak dapat dibuktikan, bahwa tanah tersebut menjadi eigendom
orang lain, adalah tanah Negara (domein van de staat)
Keputusan pasal 1 menyatakan bahwa semua tanah milik negara, kecuali tanah yang
dapat dibuktikan kepemilikannya (tanah eigendom).

Dikarenakan rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat, sementara dalam hukum
adat tidak ada ketentuan yang sama dengan pasal 570 BW. Oleh karenanya jika ketentuan
pasal 1 diterapkan maka seluruh tanah rakyat Indonesia menjadi milik negara. Olehkarenanya
pemerintah mengkategorikan tanah-tanah yang bukan milik negara, seperti :
a. Tanah-tanah daerah swapraja
b. Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain menurut pasal 570 BW
c. Tanah-tanah partikelir
d. Tanah-tanah eigendom agraria

Melihat dari ketentuan di atas maka secara prinsip tanah negara dibagi menjadi 2 :
1. Tanah negara yang bebas, artinya tanah-tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa
Indonesia
2. Tanah Negara yang tidak bebas, artinya tanh-tanah yang terikat dengan hak-hak bangsa
Indonesia.

A. BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA).

III. Masa Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 8 Agustus 1945 Bangsa Indonesia telah memproklamirkan
kemerdekaannya, tetuntunya dengan menyandang negara yang MERDEKA, maka negara kita
juga berhak dan bebas didalam menentukan arah kebijakkannya. Untuk itu terhadap hak
menguasai tanah oleh negara di Indonesia diatur di dalam pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 45) yang dengan tegas dinyatakan : Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat dan dalam pejelasan Pasal 33 ayat (3) alinea 4 UUD 45 berbunyi Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakayat. Pasal 33 ayat (3) merupakan memontum lahirnya Politik Pertanahan
Nasional (Politik Pertanahan Indonesia) . Ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan penjelasnya tidak
memuat penjelasan mengenai maksud arti kata dikuasai oleh Negara. Hal ini dapat
menimbulkan pengartian yang sangat luas dan akan kembali seperti pada pengaturan-
penganturan yang sebelumnnya. Pada setelah kemerdekaan, pada kurun waktu antara tahun
1948 1957 antara Pemerintah ini timbul pergolakan antara Pemerintah Republik dan
perkebunan disatu pihak dengan petani di pihak lain yang menduduki tanah-tanah perkebunan
milik Perusahaan Belanda yang diterlantarkan akibat perang . Politik hukum berhubungan dengan
kebijaksanaan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan ideologi penguasa. Oleh
karena itu banyak istilah yang digunakan untuk politikhukum seperti: pembangunan hukum,
pembaharuan hukum, pembentukan hukum dan perubahan hukum. Sedangkan masalah yang di kaji
dalam politik hukum menurut Rahardjo :
a. Tujuan yang hendak dicapai;
b. Cara apa yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut dancara mana yang paling baik
untuk mencapai tujuan tersebut;
c. Mengapa hukum itu perlu diubah dan apa dampaknya;
d. Cara bagaimanakah perubahan itu sebaiknya dilakukan.Politik hukum pertanahan
merupakan kebijakan pemerintah di bidangpertanahan yang ditujukan untuk
mengatur penguasaan/ pemilik tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih
menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan
ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang pertanahan dan peraturanpelaksanaannya. Jadi
politik hukum pertanahan harus dilandasi dengan itikad baik pemerintah dan pejabat/ aparatnya
untuk mencapai tujuan yang baik pula, baik pada saat ini maupun pada saat mendatang.
Dengan diundangkannya UUPA, terjadi perombakan Hukum Agraria di Indonesia, yaitu
penjebolan Hukum Agraria kolonial dan pembangunan Hukum Agraria nasional. Dengan
diundangkannya UUPA, Bangsa Indonesia telah mempunyai Hukum Agraria yang sifatnya
nasional, baik ditinjau dari segi formal maupun dari segi materilnya.Sifat nasional UUPA dari
segi formalnya dapat dilihat dalam Konsiderannya di bawah perkataan menimbang yang menyebutkan
tentang keburukan dan kekurangan dalam Hukum Agraria yang berlaku sebelum UUPA. Segi materiilnya,
Hukum Agraria yang baru harus bersifat nasional pula, artinya berkenan dengan tujuan, asas-asas
dan isinya harus sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam
Konsiderannya di bawah perkataan berpendapat salah satunya yakni bahwa Hukum Agraria yang baru
harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah.
Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria kolonial, maka tercapailah unifikasi
(kesatuan) Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia,yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan
Bangsa Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, Hukum Adat tentang
tanah dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum Adat dijadikan dasar dikarenakan
hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia sehingga Hukum Adat tentang tanah
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Agraria nasional.
Hukum Adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria nasional memang menghadapi
kesulitan-kesulitan tertentu. Kesulitan tersebut berkaitan dengan sifat pluralisme Hukum Adat itu
sendiri, masing-masing masyarakat hukum adat mempunyai Hukum Adatnya sendiri-sendiri yang
tentunya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut kesimpang siuran pemahaman mengenai posisi hukum-
hukum dan hak-hak adat kelompok-kelompok penduduk asli atas tanah dan sumber-sumber
agraria secara tidak langsung telah menghambat penentuan sikap di kalangan penduduk asli setempat
mengenai sengketa-sengketa penguasaan tanah yang melibatkan kepentingan mereka. Salah satu bentuk
kebimbangan yang mereka nyatakan selama ini, misalnya: apa bedanya tanah-tanah hak adat dan
tanah Negara. Erat hubungannya dengan apa yang dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan
makalah ini kami tertarik untuk membahas mengenai PERSPEKTIF POLITIK HUKUM TANAH
TERHADAP HAK NEGARA DAN HAK ADAT ATAS TANAH. Melihat pergolakan-pergolakan
yang ada, dan guna mempertegas makna dari menguasai Negara atas Sumber Daya Agraria,
pada tanggal 24 September 1960 oleh DPR telah ditetapkan Undang-Undang Nomor : 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Agraria sebagai landasan hukum untuk melaksanakan
Land Reform di Indonesia.

Didalam penjelasan umum UUPA dikatakan bahwa Negara kita susunan corak
kehidupnya masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangunan masyarakat yang adil
dan makmur sebagai mana yang kita cita-cita. Pada waktu sebelum UUPA ditetapkan Hukum
Nasional kita ternyata belum bisa membangunan masyarakat yang adil dan makmur sebagai
mana yang kita cita-cita dan bahkan atas tujuan tersebut terhambat. Hal itu disebabkan :
1. karena hukum agraria yang berlaku tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari emerintahan jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan
pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasinal sekarang ini
2. karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakukanya peraturan-
peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan dari dan yang
didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah
antar-golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita bangsa
3. karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
Dengan dibentuknya UUPA, memberikan kemungkinan tercapinya fungsi fungsi bumi,
air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan untuk membangunan masyarakat yang adil
dan makmur sebagai mana yang kita cita-citakan dan dengan dibentuknya UUPA tidak lain
untuk menjelaskan maksud lain dari kata dikuasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal
33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD45). Dengan demikian UUPA hanyalah azas-
azas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja oleh karena itu disebut Undang-Undang
Pokok Agraria, mana tujuan pokoknya adalah :
a. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebagianan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat,
terutama rakyat tani, dalam masyarakat adil dan makmur;
b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dalam hukum pertanahan;
c. meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan pada tujuan huruf c tersebut, Pasal 2 UUPA ini merupakan aturan pelaksana dari
Pasal 33 (3) UUD 45, yang menjelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh
negara sebagai berikut :
1. atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 dan hal-hal sebagi yang dimaksud
dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang
untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adapt, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Dalam penjelasan umum II/2 UUPA antara lain dikemukakan bahwa :
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang
ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidak pula pada
tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah, adalah
lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku
Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan bahwa, Bumi, air dang ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terjkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara. Sesuai pangkal
pendirian tersebut di atas perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah berarti dimiliki,
akan tetapi adalah penertian, memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan
dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air
dan ruang angkasa itu
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengneai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatu dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat (2 dan 3)).
Berdasarkan Pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian
dikuasai oleh negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak yang memberi wewenang
kepada negara untuk mengtur 3 hal tersebut di atas, isi wewenang negara yang bersumber
pada hak menguasa sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik,
yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewenang untuk
mengusasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang
hak atas tanah yang bersifat pribadi . Dengan demikian apabila negara memerlukan tanah
untuk membangun kantor-kantor pemerintah, maka terlebih dahulu ditempuh cara dengan
memberikan hak atas tanah (hak pakai atau hak pengelolaan) kepada instansi pemerintah yang
memerlukan tanah itu (jadi bukan semata-mata menyerbot dan memberikannya begitu saja).
Dengan berlakunya UUPA tidak secara otomatis berjalan sebagaimana di harapkan. Dalam
prakteknya muncul resistensi golongan pemilik tanah luas yang melibatkan berbagai kekuatan
politik yang saling berseberangan menentang pelaksanaan land reform. Konflik agraria
kemudian berkembang menjadi konflik politik dan ideologi yang puncaknya terjadi pada
tahun 1965 dengan menimbulkan korban yang tidak sedikit dipihak petani

IV. Masa Orde Baru.
Pada tahun 1966 telah terjadi pergerakan yang menyebabkan peralihan kekuasaan dari
Presiden Soekarno berpindah ketangan Presiden Soeharto dan yang kita kenal dengan Masa
Orde Baru, didalam melaksanakan land reform dan UUPA pada masa ini kita harus melihat
konteks dan motif ideologi politik yang melatar belakanginya sebagai faktor utama yang
mengubah cara pandang pada masa ini atas agraria dan berbagai permasalahan struktural yang
mengiringnya. Pemerintah Orde Baru memandang tanah sebagai sumber-sumber agraria
lainnya sebagai sumber komoditi, bukan sebagai sumber hajat hidup orang banyak yang harus
diatur dan ditata secara adil dan merata untuk kepentingan rakyat. Ketika Orde Baru Lahir
dihadapkan pada situasi ketidakstabilan politik dan kemerosotan ekonomi yang parah. Angka
inflasi tinggi, devisit neraca pembayaran, cadangan devisa rendah dan hutang luar negeri
banyak. Situasi seperti ini kemudian dijadikan pembenaran untuk melaksanakan
pembangunan yang bertumpu pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi .
Berdasarkan pada alasan tersebut, maka kebijakan Orde Baru menggunakan strategi
pembangunan yang dipilih adalah system ekonomi kapitalistik yang membuka seluas-luasnya
pada modal swasta baik asing maupun domestik untuk menggerakan roda perekonomian
nasional selain perusahaan Negara. Pengaturan ini dapat kita lihat dari :
1. penyediaan tanah dan pemberian hak atas tanah bagi perusahaan yang mengadakan
penanaman modal menurut Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing dan Undang Undang Nomor : 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri yang dalam ketentuan tersebut dinyatakan pemilik
modal asing dapat menguasai tanah di Indonesia melalui fasilitas Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai antara 10 tahun s/d 30 tahun.
2. dalam kebijakan lain dalam upaya mengeksploitasi sumber daya alam dengan
ditetapkannya Undang Undang Nomor : 5 Tahun 1976 tentang Pokok Pokok
Kehutanan dimana dengan dibuat kebijakan ini telah menciptakan kontroversi karena
undang-undang tersebut dalam konsiderannya tidak mengacu lagi pada UUPA sebagai
undang-undang payung yang berkaitan dengan agraria.
3. pada tahun yang sama juga dikeluarkan Undang-Undang Nomor : 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Pertambangan yang mana dalam pengeluaran undang-
undang tersebut ditujukan dalam rangka meraih devisa sebesar-besarnya untuk
mendanai pembangunan orde baru .
Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, banyak tanah yang diberikan kepada investor
penguasaannya adalah tanah hak ulayat, sehingga menyebabkan hilangnya sebagaian tanah-
tanah ulayat masyarakat hukum adat. Selain Undang-undang tersebut demikian pula dengan
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang didasari pada Undang-Undang
Nomor : 61 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda Benda Yang Ada
Diatasnya dan Keputusan Presiden Nomor : 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepantingan Umum ( pada jaman reformasi telah dinati dengan Peraturan Presiden Nomor :
36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum) telah terjadi pengambilan tanah punya perorangan secara paksa,
contohnya adalah pembangunan Waduk Jatigede, dan Pembangunan Lapangan Golf Cimacan
Jawa Barat yang menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah/pengusa dengan rakyat
sehingga menimbulkan masalah tanah yang berkepanjangan .
Berdasarkan pada ketentuan ketentuan tersebut, dapat dikatakan masa Orde Baru telah
menanggalkan strategi pembangunan ekonomi yang yang menekankan perombakan struktur
sosial-ekonomi secara mendasar dan lebih memandang peninggkatan pertumbuhan ekonomi
dalam waktu singkat dibandingkan dengan pelaksanaan Land Reform sebagai pondasi untuk
menunju industrialisasi nasional yang kokoh dan mandiri.
Dari kejadian-kejadian tersebut diatas, ada beberapa alasan-alasan mengapa Orde Baru
membekukan UUPA, yakni :
1. Adanya keyakinan dikalangan elit politik, birokrat, tehnokrat dan kelompok militer
pendukung Orde Baru bahwa untuk membangun ekonomi dan kesejahteraan rakyat
mutlak diperlukan stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis.
Karena itu strategi ekonomi yang menekankan perombakan struktur sosial ekonomi
secara radikal dan mengabaikan peranan modal asing tidak mungkin diterapkan.
Program ini juga diperkirakan akan mengakibatkan larinya modal ke luar negeri.
2. Kelompok militer menganggap bahwa land reform yang disponsir golongan kiri pada
tahun 1960an dapat mengancam keberadaannya atas penguasaan tanah-tanah
perkebunan yang telah dinasionalisasi pada tahun 1957.
3. Dilihat dari segi ekonomi, strategi radikal tersebut tidak menguntungkan dan tidak
realistis mengharapkan pemerintah baru yang sumber pengahsilannya begitu terbatas
untuk menerapkan program yang begitu radikal.

V. Masa Reformasi.
Gejolak dan gerakan reformasi menyebabkan Presiden Suharto jatuh pada pertengahan
tahun 1998 yang kemudian melahirkan pemerintahan baru hasil pemilu yang demokratis pada
tahun 1999, sebenarnya telah sedikit ada harapan untuk segera mewujudkan reforma agraria
yang diawalinya dengan dikeluarkan TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaharuan
Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaharuan agararia mencakup suatu proses
yang berkesiambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian hukum dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh
Rakyat Indonesia (Pasal 2). Dimasa ini pembaharuan agraria/reforma agraria mendapat
legitimasinya, yang kemudian mendorong untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera
merevisi UUPA yang perlu disesuaikan pada keadaan saat ini, akan tetapi sampai dengan saat
ini hal ini tidak pernah terjadi dan menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan.
Dalam pelaksanaan semangat reforma agraria ini terdapat suatu kejanggalan terhadap
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan dengan tanah yakni dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal . Dalam
Bab X Pasal 21 dan Pasal 22 yang menyatakan bahwa untuk penanaman modal Hak Guna
Usaha berlaku sema 95 tahun, Hak Guna Bangunan berlaku selama 80 tahun dan Hak Pakai
berlaku untuk masa 70 tahun tidak sesuai dengan pasal yang mengatur jangka waktu Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dalam UUPA. Hal ini jelas-jelas
bertentangan dengan semangat untuk membangunan masyarakat yang adil dan makmur
sebagai mana yang kita cita-cita.




DASAR DASAR PENGATURAN UUPA
Pada tanggal 24 september 1960 RUU yang telah disetujui oleh DPR GR itu
disyahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menurut diktumnya yang kelima dapat disebut dan
selanjutnya memang lebih terkenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA diundangkan di dalam Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 104, sedang
penjelasannya dimuat didalam tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. UUPA mulai
berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 24 september 1960
Dalam penjelasan UUPA dirumuskan tujuan yang hendak dicapai oleh PA, yaitu
meletakkan dasar-dasar :
1. Bagi penyusunan hukum agraria nasional
2. Untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.

Ad.a. Dasar Kenasionalan
Secara formal UUPA memang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang
(yaitu, Presiden dengan persetujuan DPR) di Indonesia, dalam bahasa Indonesia dan
dinyatakan berlaku untuk seluruh negara Republik Indonesia. Secara materil yaitu tujuan dan
asas dari isi UUPA juga mencerminkan dasal kenasionalan tersebut.
a. ayat 1,2,dan 3 dari pasal 1 UUPA merupakan perwujudan dari dasar falsafah Pancasila
terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan Indonesia.
b. Negara merupakan badan penguasa. Ditegaskan oleh pasal 2 ayat 1 bahwa bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat Indonesia.
c. Hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hubungan sepenuhnya. Pasal 9 ayat 1
UUPA menegaskan kedudukan warga negara Indonesia dalam hubungandengan
penguasaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
d. Pengutamaan kepentingan nasional. Pernyataan pasal 5, bahwa hukum agraria yang
baru berlaku ialah hukum adat sebagai hukum asli, disatu pihak menunjukkan bahwa
UUPA telah memilih hukum yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa daripada
hukum agraria berdasarkan hukum perdata Barat (BW) dan politik agraria kolonial.


Ad.b. Dasar Kesatuan dan Kesederhaan
Dihapuskannya dualisme hukum, dengan pencabutan hukum agraria kolonial dan K.B.
tentang Besluit, pencabutan BW (KUHPerdata) sepanjang mengenai tanah (Diktum pertama
UUPA) serta penetapan hukum adat sebagai dasar hukum agraria (Pasal 5 UUPA),
mencerminkan dsar kesatuan termaksud.
Dalam hal ini, hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia sesuai dengan sifat
dan tingkat pengetahunan bangsa Indonesia yang masih sederhana.

Ad.c. Dasar Kepastian Hukum
1. Dikembangkannya peraturan peraturan hukum tertulis sebagai pelaksanaan UUPA,
akan memungkinkan pihak-pihak yang berkepentinan untuk dengan mudah mengetahui
hukum yang berlaku dan wewenang serta kewajiban apa yang ada padanya atas tanah
yang dipunyainya.
2. Diselenggarakannya pendaftaran tanah yang efektif, akan memungkinkan pihak pihak
yang berkepentingan dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dipunyainya
dan mengetahui sesuatu atas tanah kepunyaan pihak lain.

PERATURAN PERALIHAN
Dalam UUPA terdapat 6 pasal kententuan peralihan, yaitu :
1. Pasal-pasal yang mengatur sendiri (kaidah berdiri sendiri):
a. Hak-hak yang sifatnya sementara (pasal 53)
b. Menanggalkan kewarganegaraan rangkap (Pasal 54)
c. Hak-hak asing (Pasal 55)
2. Pasal-pasal yang menunjuk (Kaidah penunjuk):
a. Peraturan mengenai hak milik, sebelum terbitnya UU hak milik termaksud
dalam pasal 50 UUPA
b. Peraturan mengenai hipotek dan creditverband, selama belum terbitnya UU
mengenai hak tanggungan termaksud dalam pasal 51 UUPA (Pasal 57)
c. Peraturan peralihan umumnya (Pasal 58)

TENTANG PELAKSANAAN UUPA
Catatan tentang berlakunya UUPA di beberapa propinsi :
1. Dengan telah selesainya Penentuan Pendapatan Rakyat pada tahun 1969 dan
dibentuknya Irian Barat sebagai salah satu Propinsi di Indonesia (UU No. 12/1969),
maka dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1971 (tanggal 26
September 1971)UUPA dan peraturan-peraturan perundangan agraria lainnya untuk
keseragaman dinyatakan berlaku diwilayah Propinsi Irian Jaya mulai tanggal 26
September 1971.
2. berdasarkan undang-undang tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU
No. 3/1950), beberapa urusan diserahkan kepada Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai kewenangan otonom. Salah atu akibat dari penyerahan
kewenangan ini adalah belum diberlakukannya UUPA No. 5 tahun 1960 di Propinsi
tersebut secara penuh.
Kemudian setelah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan
persyaratan untuk memberlakukan UUPA secara penuh, agar dapat lebih berdaya guna dan
berhasil guna, diterbitkanlah Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 30 tahun 1984
bertanggal 1 April 1984.

PENGELOLAAN PERTANAHAN & SUMBER DAYA ALAM LAIN.
Sumber daya alam memiliki sifat dan potensi masing-masing, namun karena letak dan
keberadaannya dalam suatu space (tanah) sehingga pengelolaan saling membatasi.Oleh
karena itu UU sektoral harus konsisten mengatur asas-asas dan prinsip pengaturan dan
pengelolaan secara sinkron, sinergis serta terkoordinasi dengan baik agar mendorong
pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Regulasi parsial yang dikawal kuatnya ego-sektoral
telah menimbulkan berbagai masalah dan tumpang-tindih lingkup kewenangan, telah
berakibat timbulnya konflik dan semakin menurunnya kwalitas lingkungan hidup.
Keprihatinan terhadap kondisi itu, maka sangat beralasan jika dasar-dasar koordinasi dan
sinkronisasi pengelolaan sumber daya agraria dapat diatur melalui amandemen
UndangUndang Dasar. Sejalan dengan itu, beberapa hal perlu menjadi perhatian:
1. UUPA sebagai Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dimaksudkan sebagai lex
superior terhadap semua UU Sumber Daya Agraria, sejak awal telah dihianati.
Regulasi sumber daya agraria dibangun secara parsial, selain telah mengingkari asas
dan prinsip dasar, bahkan tidak menjadikan UUPAsebagai konsiderans. Politik
pertanahan yang terdapat dalam UUPA, pada hakikatnya berorientasi pada semangat
kebangsaan dan nasionalisme, sebagai refleksi nilai-nilai luhur Pancasila berpihak
pada rakyat, mengedepankan fungsi sosial, menghargai asas persamaan hak dan
memuat pembatasan guna mencegah monopoli penguasaan serta perlindungan
terhadap golongan ekonomi lemah.
2. Namun hal itu sering dianggap menjadi kendala dalam proses pembangunan yang
berorientasi pada investasi berskala besar.
UUPA sebagai politik dan kebijakan agraria/pertanahan belum ditindak- lanjuti
dengan peraturan perundang-undangan yang mendasar mengenai hubungan hukum
maupun perbuatan hukum orang perorang maupun badan hukum dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Sampaisaat ini belum ditetapkan UU
Hak Milik Atas Tanah, Land Use Planning, Prinsipprinsip Penguasaan dan
PenggunaanTanah Pantai, Pulau-pulau Kecil dan Wilayah Perbatasan.
3. Perombakan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah melalui gerakan
andreform yang dimulai sejak tahun enam puluhan, tidak didukung political willyang
kuat. Dalam perjalanan Landreform mengalami kelesuandan memasuki tahun delapan
puluhan ahirnya mengalami mati suri. Seiring kebijakan ekonomi yang mengusung
pertumbuhan tinggi guna mendorong pemerataan (trickle down effect), menimbulkan
penguasaan lahan skala besar yang berimbas melemahnya akses pengembangan petani
skala kecil.
Menyusul gerakan Pembaruan Agraria dengan tema tanah untuk keadilan dan kesejahteraan
rakyat yang dicanangkan melalui pidato kenegaraan Presiden tanggal 31 Januari2007. Janji
redistribusi tanah seluas 9,15 juta hektar kepada petani hingga kini masih menjadi penantian
yang tidak jelas.
4. Dalam perjalanan 53 tahun UUPA sampai saat ini mengalami perubahan lingkungan
strategis. Lingkungan global ikut mewarnai arah kebijakan politik dan ekonomi
Indonesia, sehingga sumberdaya alam menjadi tumpuan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan strategis dalam UUPA yang memuat asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokok, belum menjadi induk pengelolaan sumber daya alam yang
memakmurkan rakyat. Bahkan cenderung ditafsirkan menurut kebutuhan dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi berkembang. Secara perlahan UUPA
mengalami pembonsaian. Saat ini, terdapat lebih 12 peraturan perundangundangan
yang merupakan bagian-bagian dalam mengatur dan memanfaatkan sumberdaya alam
secara parsial, seperti hutan, tambang, migas, irigasi, kelautan, perkebunan. UU
tersebut masingmasing bersifat sektoral dan cenderung mengutamakan prinsipprinsip
ekonomi serta kurang mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas dan aspek
konservasi serta lingkungan hidup.
5. UUPA sebagai sumber kebijakan untuk pengelolaan sumber daya agraria
berkelanjutan tidak lagi menjadi acuan, sehingga semangat nasionalisme dan
keberpihakan pada rakyat semakin menjauh.
POKOK PERMASALAHAN
Selain tumpang-tindih lingkup kewenangan, UU sektoral juga mengidap disparitas substantif
yang sangat rawan menimbulkan konflik, seperti terefleksi dalam semangat dan ketentuan
masing-masing UU:
* UUPA mengemban filosofi tanah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat luas yang
berkeadilan dengan perlindungan golongan ekonomi lemah. Dalam Bab I UUPA
sudah ditetapkan asas-asas pengelolaan sumber daya agraria, bahkan juga mengatur
Hak Memungut Hasil Hutan bagi masyarakat untuk memanfaatkan lebenstraumnya
guna memenuhi kebutuhan dan mengembangkan kehidupannya;
* UU Kehutanan mengemban substansi menjaga ekosistem berorientasi pengelolaan
bagi investor dengan menegasikan peluang Hak Memungut Hasil Hutan bagi rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam UUPA;
* UU Pertambangan menganut prioritas bagi pemegang ijin untuk melakukan
pembebasan hak tanah dan hak keperdataan eksistingtanpa memperhatikan kebutuhan
hidup dan lebenstraum masyarakat lokal dalam wilayah tambang.

Keberpihakan kepada investor menegasikan peluang kemitraan saling menguntungkan
dengan masyarakat lokal yang umumnya memiliki hak-hak tradisional secara turuntemurun
atas lokasi. Kesenjangan substansi dan tumpang tindih lingkup kewenangan antar UU
Sektoral sangat eksesifbagi timbulnya berbagai masalah dikotomik dilapangan, yakni
korporate terganggu oleh masyarakat lokal, dan masyarakat tersisih serta kehilangan akses
pengembangan bahkan timbulnya konflik dimensional. Kesadaran kembali mengenai
pentingnya mempertahankan prinsip dasar dalam UUPA muncul, melalui TAP MPR-RI
Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan SDA, menugaskan
Presiden bersama DPR, antara lain,

a. Agar dilakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatika memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat;
b. Meningkatkan keterpaduan dan kordinasi antar sektor pembangunan dan antar
daerah dalam melakukan pembaruan agraria;
c. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor.

Selanjutnya melalui KEPRES No. 34 Tahun 2003 menugaskan Badan Pertanahan
Nasional melakukan percepatan penyempurnaan UUPA dan menyusun peraturan
perundangan agraria lainnya. Sementara itu upaya penyempurnaan UUPA sejak tahun 2003,
telah mengalami berbagai tantangan sehingga berujung kesepakatan politik antara BPN
dengan Komisi II DPR RI pada tanggal 29 Januari 2007, bahwa UUPA masih relevan dan
mampu menghadapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga belum mendesak
disempurnakan. Populasi penduduk dan perkembangan tehnologi serta kemajuan peradaban,
terus menimbulkan tekanan dibidang pertanahan sehingga membutuhkan diantaranya
penyempurnaan UUPA, yang meliputi halhal mendasar, antara lain :

(i) Penegasan wawasan nusantara;
(ii) Sumber daya tanah sebagai perekat tegaknya NKRI;
(iii) Sumber daya alam milik Bangsa Indonesia;
(iv) Mekanisme koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria;
(v) Rambu-rambu dalam pengelolaan sumber daya agraria;
(vi) Penegasan hak azasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup
(vii) Pengaturan wilayah perbatasan negara;
(viii) Perlindungan pemilikan tanah pertanian skala kecil;
(ix) Konsolidasi tanah terutama dalam peremajaan kota;
(x) Land use planning, sebagai dasar Perencanaan Tata Ruang Wilayah dengan
memperhatikan ekoregion;
(xi) Perlindungan hak atas tanah rakyat dalam wilayah tambang;
(xii) Pengaturan hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
(xiii) Hak Guna Ruang Bawah Tanah dan Guna Ruang Atas Tanah;
(xiv) Pendaftaran Tanah Perairan Dangkal.

PASANG-SURUT KELEMBAGAAN AGRARIA/ PERTANAHAN.
VISI, MISI & Struktur Kelembagaan, mencerminkan arah dan prioritas pembangunan
setiap Orde Pemerintahan. Demikian tercermin dari fluktuasi bentuk kelembagaan yang
menyelenggarakan tugas-tugas agraria/pertanahan sejak kemerdekaan. Kelembagaan telah
mengalami pasang-surut dari bentuk Departemen Agraria, Dirjen Agraria DDN, Dirjen
Agraria dan Transmigrasi, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Negara Agraria, dan saat
ini kembali menjadi Badan Pertanahan Nasional. Status dan bentuk kelembagaan dimaksud
sekaligus mencerminkan komitmen pemerintah meletakkan strategi dan prioritas tugas
keagrariaan/ pertanahan dalam kerangka pembangunan nasional. Konsekwensi dari pasang-
surut kelembagaan sangat mempengaruhi kebijakan dan penerapannya, baik ditinjau dari segi
efektivitas, koordinasi, keserasian dan sinergitas program, pelaksanaan serta pembiayaannya.
Tugas pokok dan fungsi lembaga pertanahan pada hakikatnya menyelenggarakan kewenangan
negara dalam hal mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum antara subyek dan obyek
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya pertanahan/ keagrariaan
sebagaimana diatur dalam UUPA. Penyelenggaraan tugas keagrariaan/pertanahan bersifat
multi dimensi, sehingga kelembagaan yang menangani harus memiliki kewenangan dan
fungsi koordinatif secara nasional, sektoral dan regional.
Guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya secara optimal, maka kelembagaan
harus disertai kesiapan sumber daya manusia yang cukup, memiliki integritas dan dedikasi
yang tinggi serta kompetensi yang sesuai. Sejalan dengan itu, penyempurnaan UUPA juga
perlu segera disertai pengkajian semua UU Sektoral agar terjadi sinkronisasi.
Penyelenggaraan tugas pembaruan dan perombakan serta pengaturan kembali struktur
penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah melalui Landreform atau Pembaruan Agraria
harus dilaksanakan secara berkelanjutan sebagai upaya untuk terus memelihara dan menjamin
keberlanjutan pengelolaan sumber daya tanah/agraria yang berkeadilan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Institusi Pertanahan dapat memantaskan diri untuk peningkatan
kelembagaan dengan membangunUU Pertanahan melalui penyempurnaan UUPA sebagai
lex superiorterhadap semua UU Sektoral Sumber Daya Agraria, daripada membangun UU
Pertanahan secara parsial sebagai lex specialis.










BAB III
PENUTUP.
Meskipun di Negara kita telah beberapa kali mengalami perubahan pergantian
pemerintahan, baik Era Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi sampai dengan saat ini
belum ada perubahan berarti dibidang agraria, penguasaan hak atas tanah oleh Negara masih
saja mengabaikan semangat untuk membangunan masyarakat yang adil dan makmur sebagai
mana yang kita cita-cita. Namun ada sisi positif lain, ada sikap politik wilayah dari pemrintah
yang mengharapakan adanya perbaikan. Akan tetapi hal itu saja tidak cukup karena
bagaimana mungkin pelaksanaan penguasaan hak atas tanah oleh Negara dan reforma agraria
bisa berhasil sementara sistem sosial ekonominya pro pada neo-liberalisme.

Pelaksanaan penguasaan hak atas tanah dan reforma agraria tidak bisa dilepaskan dari
pilihan kebijakan ekonomi-politik Penguasaan tanah oleh negara dan land reformnya tidak
akan berhasil tanpa dilengkapi dengan kebijak proteksi, insestif dan subsidi bagi semangat
untuk membangunan masyarakat yang adil dan makmur sebagai mana yang kita cita-cita
(kususnya petani). Oleh karena itu didalam hak menguasai hak atas tanah oleh Negara perlu di
batasi, dan hal ini sesuai dengan pendapat dari Maria Sriulani Sumardjono yang menghendaki
agar wewenang mengatur negara yang bersumber pada hak mernguasai di batasi oleh :
a. Tidak boleh melanggar hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar;
b. Tidak boleh melanggar tujuan hak menguasai tanah oleh negara sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, dan semua peraturan perundang-undangan
pertanahan harus ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat.








DAFTAR PUSTAKA

[1] Syaiful Bahri, Land Reform Di Indonesia Tantangan Dan Prospek Kedapan, KARSA
Jurnal Pembaharuan Pedasaan Dan Agraria, Edisi 1 Tahun I 2007. Hal 5 6.
[2] Syaiful Bahri, Idbid . Hal 6.
[3] Muhamad Bakri Hak Mengusasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria), Citra Media, Hukum, Hal 5.
[4] Syaiful Bahri, Opcit hal 6.
[5] Syaiful Bahri, Opcit hal 6.
[6] Endang Suhendar dan Ifhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas
Kebijakan Tanah Orde Baru, ELAM, 1996, hal 66 67.
[7] Muhamad Bakri, Opcit hal 6.
[8] Enadng Suhendar dan Ifhal Kasim, Opcit hal 11 dan 12.
[9] Muhamad Bakri, Opcit hal 10 11.
[10] Ruchhiyat, Eddy (1986), Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA,
Bandung : Penerbit Alumni












POLITIK HUKUM AGRARIA INDONESIA
BERKAITAN DENGAN HAK MENGUASAI
TANAH OLEH NEGARA









Mata Kuliah : POLITIK HUKUM
Fakultas : ILMU HUKUM
Kelas : F
Dosen : NINIK HARTARININGSIH. SH. MH
Disusun Oleh Kelompok
Ketua : LASTONO
Sekretaris : MURNIATIN
Anggota :
1. BAYU ERLANGGA
2. REZA
3. ARIEF RAHADI TRIDASA
4. DRAZAT PRAKOSO
5. ERNA
6. LINA

You might also like